Pendekar Binal Jilid 37

Pendekar Binal
Gu Long (Khu Lung)
-------------------------------
----------------------------
Dalam keadaan demikian pandangan Ok-tu-kui dengan sendirinya hanya tertuju pada jenazah Khu Jing-po dan sama sekali tidak memperhatikan Ong It-jiau dan Sun Thian-lam.

Tapi Siau-hi-ji dapat melihat kedua orang itu saling mengedip mata, mungkin kematian Khu Jing-po telah membangkitkan semangat jantan mereka, mendadak kedua orang bertindak bersama dan menubruk ke arah Ok-tu-kui.

Dengan jelas Siau-hi-ji melihat gerakan kedua orang itu sangat cepat, tipu serangannya juga sangat keji, serangan mendadak itu menurut perkiraan Siau-hi-ji pasti sukar dihindarkan Ok-tu-kui, bahkan menurut pandangan Kang Giok-long jiwa setan judi itu pasti akan melayang.

Tak tahunya mendadak terdengar Han-wan Sam-kong membentak keras dan kedua kepalan terus menonjok ke depan. Siau-hi-ji dan Kang Giok-long tidak sempat mengikuti tipu serangan Ok-tu-kui itu, tahu-tahu terdengar suara "blang-bluk" dua kali, kontan Ong It-jiau dan Sun Thian-lam mencelat jauh ke sana. Hanya menonjok dengan seenaknya saja seketika dua jagoan kelas tinggi itu digempur mundur.

Terkesiap Siau-hi-ji menyaksikan adegan luar biasa itu, dilihatnya Sun Thian-lam mencelat keluar jendela dan jatuh terkapar, sedangkan Ong It jiau sempat berjumpalitan satu kali di udara, lalu turun ke bawah dan berdiri tegak, namun wajahnya yang memang kurus itu kini bertambah kering.

"Haha, boleh juga kau anak kura-kura ini," ucap Ok-tu-kui dengan tertawa.

"Ehm," jengek Ong It-jiau.

"Sekarang kau mau bertaruh tidak denganku?"

Ong It-jiau tampak menggereget, jawabnya, "Bertaruh!"

"Baik, lebih dulu Locu bertaruh bahwa kedelapan belas tulang rusuk di dada Sun Thian-lam itu telah patah seluruhnya, kalau ada satu saja tidak patah anggaplah Locu yang kalah, kuserahkan kepalaku padamu."

"Ehm," dengus Ong It-jiau.

"Lalu Locu bertaruh pula tonjokanku ini pasti membinasakanmu, jika kau tidak mati, boleh kau cengkeram tenggorokanku sesukamu dengan cakar setanmu itu."

Ong It-jiau tidak bersuara lagi, ia terdiam sekian lama, akhirnya tersembul juga senyuman pedih pada bibirnya, lalu berkata dengan suara lemah, "Aku menyerah kalah!" suaranya hampir tak jelas, begitu kata-kata "kalah" terucapkan serentak darah segar pun tersembur dari mulutnya dan tubuhnya lantas jatuh terguling.

Kang Giok-long sampai mandi keringat dingin menyaksikan semua kejadian itu, dilihatnya kedua kaki yang dekil tadi perlahan-lahan bergeser ke bawah, menyusul lantas tertampak punggungnya.

Baju yang dipakainya ternyata compang-camping, perawakannya tinggi besar, bahunya lebar, kepalanya juga besar melebihi orang biasa.Terdengar Ok-tu-kui itu bergumam, "Sialan, Locu tidak ingin membunuh orang, tapi kawanan kura-kura ini justru tidak mau berjudi denganku."

Buli-buli arak di atas meja mendadak diraihnya, dengan langkah berat ia bertindak keluar. Setiba di ambang pintu, ia mengulet dalam-dalam lalu menghela napas dan bergumam pula, "Akhir-akhir ini setan judi macam Ong Tay-lip itu agaknya semakin sedikit...."

Siau-hi-ji merasa lega melihat Ok-tu-kui sudah pergi. Ia melelet lidah dan berkata, "Lihai benar ilmu silat setan judi ini."

"Ayolah kita lari," kata Kang Giok-long.

"Nenekmu, anak kura-kura mengapa harus lari?" jawab Siau-hi-ji dengan tertawa.

Ternyata makian model Ok-tu-kui itu dalam waktu singkat telah dapat dipelajari Siau-hi-ji dengan baik. Memang, siapa dan di mana saja, untuk belajar sesuatu bahasa daerah dengan cepat, maka yang pertama dikuasainya pasti istilah makian.

Begitulah dengan gotong royong, akhirnya kedua anak muda itu dapat mengangkat balok batu yang menutupi lubang keluar itu, cepat mereka menerobos ke atas. Di situ barulah mereka tahu bahwa patung yang dipuja adalah Tio Hian-tan yang bermuka hitam hangus.

Tanpa permisi lagi Siau-hi-ji terus comot ayam panggang dan digerogoti dengan lahapnya, katanya dengan tertawa sembari makan, "Sayang kita tidak melihat jelas muka Ok-tu-kui tadi, entah wajahnya sama tidak dengan Tio Hian-tan ini atau mungkin lebih hitam lagi."

"Kumohon, marilah lekas berangkat," kata Giok-long.

"Kau ingin menyusul Ok-tu-kui itu?" jawab Siau-hi-ji.

Kang Giok-long tertegun dan menghela napas.

"Makanlah, ini ayam panggang, itu daging rebus, rugi kau kalau tidak makan," kata Siau-hi-ji.

"Melihat mayat yang bergelimpangan begini, masih nafsu makan?"

"Membunuh orang saja matamu tidak pernah berkedip, melihat mayat masakah kau malah tidak nafsu makan?" ucap Siau-hi-ji sambil bergelak tertawa.

Tapi mendadak ia berhenti ngakak ketika dilihatnya Kang Giok-long terbelalak kesima. Cepat ia pun menoleh, maka tertampaklah sekarang wajah asli Han-wan Sam-kong alias Kian-jin-ciu-tu, Ok-tu-kui, setan judi, ketemu orang lantas bertaruh.

Muka Ok-tu-kui memang lain daripada yang lain, muka lebar hitam laksana pantat kuali penuh cambang, alis panjang tebal seperti sikat, matanya besar bagaikan gundu, tapi cuma sisa satu mata saja, mata kiri ditutup dengan sepotong kain hitam sehingga menambah keangkerannya dan juga menambah daya gaibnya.

Kini, dengan mata tunggal yang melotot bagai gundu itu sedang menatap Siau-hi-ji.

Kikuk juga Siau-hi-ji, ia menyengir dan berucap, "Lumayan juga ayam panggang ini, cuma sayang tidak ada arak."

Sorot mata Han-wan Sam-kong tampak gemerdep, agaknya merasa tertarik oleh tingkah laku Siau-hi-ji, tiba-tiba ia menyodorkan buli-buli araknya kepada anak muda itu dan berkata dengan tertawa, "Minumlah, arak ini sangat keras."

"O, keras?" tukas Siau-hi-ji, tanpa pikir ia angkat buli-buli itu terus ditenggaknya belasan teguk sekaligus, lalu ia mengusap mulut, air muka tidak berubah sedikit pun, ucapnya dengan tertawa, "Arak sehambar begini kau bilang keras? Huh, memangnya kau anggap aku ini anak kecil?!"

"Hahahaha!" Ok-tu-kui ngakak geli. "Memangnya kau bukan anak kecil?"

"Anak tua memang bukan, anak kecil juga tidak, tanggung barangkali!"

"Haha, lucu kau setan cilik ini. Kau datang dari mana?"

"Datang dari mana?" tukas Siau-hi-ji sambil berkedip-kedip. "O, dengan sendirinya merangkak masuk dari jendela sana."

"Masuk dari jendela sana untuk mencuri ayam panggang, tapi lagakmu seperti tuan rumah di sini?"

"Orang mati boleh terbang keluar jendela, orang hidup mengapa tidak boleh masuk dari jendela?"

"Jadi sejak tadi kau sudah berada di situ?" Ok-tu-kui menarik muka.

"Hihihi, memangnya tidak boleh?" jawab Siau-hi-ji dengan tertawa.

Ok-tu-kui mendelik, bentaknya, "Kau sekecil ini, untuk apa datang ke pegunungan sepi ini?"

"Untuk apa? Sudah tentu untuk mencari lawan bertaruh!"

Sampai sekian lama Ok-tu-kui menatapnya dengan terbelalak, mendadak ia terbahak-bahak pula dan berseru, "Hahahaha! Menarik, sungguh menarik...."

Segera buli-buli arak di tangan Siau-hi-ji direbutnya dan "kluk-kluk-kluk", sekaligus ditenggaknya belasan ceguk.

Kontan Siau-hi-ji merampas kembali buli-buli itu, ia pun menenggak belasan ceguk, lalu berkata dengan tertawa, "Kau jangan pelit, rokok dan arak adalah barang suguhan, ada arak harus diminum bersama."

Mendadak Han-wan Sam-kong menyeringai, katanya dengan melotot, "Kau setan cilik ini tidak takut padaku?"

Siau-hi-ji balas mendelik, katanya dengan lagak garang, "Nenekmu, aku tak punya rumah gadai dan juga tidak punya bini untuk dikalahkan olehmu, paling-paling hanya kepalaku saja kuserahkan, kenapa aku harus takut padamu?"

"Hahaha, jadi kau berani taruhan kepala dengan aku?"

"Mengapa tidak berani, cuma... cuma aku tidak mau kepalamu, kepalamu itu besar lagi hitam, tidak dapat masuk saku bajuku, dijinjing rasanya juga berat...."

"Aku mau kepalanya!" tiba-tiba seorang menimbrung dengan perlahan.

Suara tertawa ngakak Han-wan Sam-kong seketika berhenti seperti pengeras suara yang putus aliran listriknya. Siau-hi-ji terbelalak dan tercengang.

Ucapan tadi hanya singkat saja, tapi setiap katanya membawa daya pengaruh yang berwibawa.

Ok-tu-kui Han-wan Sam-kong berdiri membelakangi pintu, kini dia tetap tidak menoleh, sebab ia telah merasakan serangkum hawa tajam mengancam di punggungnya, kalau dia bergerak berarti memberi peluang bagi lawan untuk menyerang. Maka dengan tenang ia berkata, "Siapakah gerangannya yang menghendaki kepala Han-wan Sam-kong? Jika betul seorang ksatria sejati, kenapa aku harus sayang menyerahkan kepalaku ini?"

"Han-wan Sam-kong memang benar gagah perwira, sungguh menyenangkan!" kata orang itu dengan perlahan.

Berbareng dengan ucapannya itu, masuklah seorang Tojin berjubah biru, sebelah tangannya siap pegang gagang pedang yang tergantung di pinggangnya, pedang sudah terlolos sebagian. Walau pun cuma sebagian kecil saja pedang dilolos dari sarungnya, namun hawa tajamnya sudah cukup membuat gentar setiap orang.

"Apakah yang datang ini ketua Go-bi-pay?" bentak Han-wan Sam-kong.

Dengan sendirinya Siau-hi-ji kenal Tojin berjubah biru ini, yaitu Sin-sik Totiang, Ciangbunjin Go-bi-pay. Tapi tanpa menoleh Han-wan Sam-kong juga tahu siapa pendatang ini, sungguh mengherankan, memangnya punggungnya juga bermata?

Tampaknya Sin-sik Totiang juga merasa heran, dengan suara berat ia tanya, "Dari mana kau tahu akan diriku?"

Ok-tu-kui tertawa, katanya, "Kalau bukan Ciangbunjin sesuatu golongan atau aliran, tidak mungkin hawa pedangnya segemilang ini."

"Han-wan Siansing benar-benar hebat," ucap Sin-sik Totiang.

Mendadak Ok-tu-kui berhenti tertawa, katanya pula, "Tapi, belum lagi Totiang masuk pintu sudah lolos pedang lebih dulu, apakah tidak khawatir merosotkan derajatmu sebagai Ciangbunjin sesuatu aliran?"

"Menghadapi Han-wan Siansing yang namanya menggetar dunia ini, betapa pun aku harus hati-hati," jawab Sin-sik Totiang.

"Jika begitu, jadi Totiang sudah bertekad menginginkan kepalaku ini?" bentak Ok-tu-kui.

"Di sini adalah tempat suci Go-bi-pay, siapa yang membunuh di sini harus mati!" ucap Sin-sik Totiang dengan tegas.

"Hahahaha! Yang membunuh harus mati, hebat benar peraturan ini. Apakah Totiang menghendaki aku mengganti jiwa bagi beberapa anak kura-kura ini?"

"Bukan maksudku hendak menuntut balas bagi mereka, tapi tugas. Adalah kewajibanku untuk menegakkan peraturan ini."

"Bagus, cuma... untuk mengambil kepalaku ini rasanya tidak semudah apa yang dibayangkan Totiang."

"Han-wan Siansing terkenal suka bertaruh dan entah sudah berapa banyak kepala orang yang telah kau menangkan. Sekarang biar pun kepalamu kalah padaku rasanya juga belum terhitung apa-apa."

"Jika begitu, jadi maksud Totiang hendak taruhan denganku?"

"Ya, begitulah," jawab Sin-sik Totiang.

Diam-diam Siau-hi-ji merasa kagum juga akan wibawa Sin-sik Totiang. Tojin berjubah biru yang sudah luntur dan lusuh dan bertubuh kurus itu, tapi pedangnya yang sedikit terlolos itu telah membuat Han-wan Sam-kong tak berani sembarangan membalik tubuh. Dengan gegetun ia membatin, "Seumpama aku memang paling pintar di dunia dan beratus kali lebih pintar daripadamu, tapi aku tak dapat membuat orang gentar padaku seperti sekarang ini. Tampaknya seseorang memang perlu belajar ilmu silat dengan tekun jika ingin disegani dan dihormati, kalau tidak jangan harap hidupnya akan berwibawa dan berpengaruh."

Gaya tokoh terkemuka persilatan memang mempesonakan, sekali pun ucapannya saja juga lain bobotnya daripada kata-kata orang biasa.

Maka begitu kata-kata, "Ya, begitulah" terucapkan seketika Han-wan Sam-kong tak dapat tertawa lagi, katanya dengan prihatin, "Lalu cara bagaimana kau hendak bertaruh denganku?"

"Kita kan sama-sama orang persilatan, mau bertaruh, dengan sendirinya bertaruh tentang tinggi rendah ilmu silat masing-masing," kata Sin-sik Totiang.

"Berkelahi dan mengadu jiwa, masakah cara demikian juga termasuk pertaruhan?"

"Badan digunakan sebagai alat judi, jiwa dipakai bertaruhan, masakah di dunia ada pertaruhan sehebat ini? Masa cara begini tidak termasuk pertaruhan?"

"Baik, lalu dengan apa hendak kau gunakan sebagai imbalan taruhan kepalaku?" tanya Ok-tu-kui dengan bengis.

"Dengan sendirinya juga dengan kepalaku ini."

"Tidak, tidak bisa. Cara begini terlalu menguntungkan kau," ujar Han-wan Sam-kong.

Sin-sik Totiang merasa terhina, jengeknya, "Sejak umur enam aku memeluk agama. Sampai kini aku menjabat ketua Go-bi-pay, salah satu di antara ketujuh aliran ilmu pedang terkemuka, anak murid berjumlah dua ribu tujuh ratus tiga puluh dua orang, di mana Ciangbun-tang-hu (jimat tanda pengenal ketua) diperlihatkan, bukan saja anak murid Go-bi-pay sendiri akan tunduk pada segala perintah, bahkan kawan-kawan dari golongan lain juga segan dan suka membantu," sampai di sini mendadak ia berteriak, "Nah, kepala seorang pemimpin begini masakah tidak sesuai mengimbali kepalamu?"

"Meski kepalamu cukup berharga, tapi sayang tiada berguna bagiku," jawab Ok-tu-kui. "Sebaliknya kalau kau berhasil mengambil kepalaku, maka nama Go-bi-pay kalian pasti akan tambah dihargai, derajat pribadimu juga akan naik. Jadi kalau dihitung-hitung jelas aku yang rugi, maka cara pertaruhan begini tak dapat kuterima."

"Namun sekarang kau tiada pilihan lain lagi, mau tak mau kau harus bertaruh," jengek Sin-sik.

"Hehehe, ucapanmu ini entah sudah berapa kali kukatakan kepada orang lain, tak tersangka sekarang ada juga yang berucap demikian padaku. Namun, aku tetap tidak menginginkan kepalamu, jika kau tetap menghendaki kepalaku, memangnya aku tak dapat pergi saja?"

"Dapatkah kau pergi?" jengek Sin-sik.

"Memangnya aku tak dapat pergi?"

Sin-sik terdiam dengan ragu-ragu, akhirnya ia bertanya, "Kecuali apa kehendakmu?"

"Kecuali kau dapat mengeluarkan sesuatu benda yang sama nilainya dengan kepalaku ini, kalau tidak aku tak mau bertaruh denganmu," kata Ok-tu-kui.

"Di dunia ini, barang apakah yang sekiranya dapat mengimbali kepala Han-wan Siansing?"

"Barang demikian memang tidak banyak, tapi padamu sekarang ada suatu benda yang dapat kuterima sekadarnya."

Terkesiap Sin-sik Totiang, "Apa itu?"

"Yaitu Ciangbun-tang-hu yang kau bawa," kata Ok-tu-kui dengan tegas.

"Ciangbun-tang-hu?" tukas Sin-sik Totiang.

"Betul. Bila kau menang, silakan potong kepalaku, sebaliknya kalau kumenang, jiwamu takkan kuganggu, tapi jabatan ketua Go-bi-pay harus kau serahkan padaku, ingin kucicipi rasanya menjadi ketua sesuatu aliran terkenal."

Air muka Sin-sik Totiang tampak prihatin, dengan perlahan ia berkata pula, "Kecuali itu...."

"Kecuali itu tiada jalan lain," jawab Ok-tu-kui. "Tapi dapat kuberi keuntungan lain pula bagimu."

"Apa maksudmu?" tanya Sin-sik.

"Biarlah kutetap berdiri di sini dan kau boleh menyerang tiga kali, jika tiga kali seranganmu dapat melukaiku, dengan sendirinya anggap kukalah, bila kaki terangkat atau menggeser, juga dianggap kalah."

Sungguh tak terpikir oleh Siau-hi-ji bahwa Ok-tu-kui dapat mengajukan syarat pertaruhan segila dan sesombong itu. Ia coba menghitung kian kemari sampai kepala, pecah, tapi rasanya tiada harapan satu bagian pun Ok-tu-kui akan menang.

Bayangkan, hanya berdiri tegak, kaki tidak boleh bergerak, kan serupa patung saja. Padahal ilmu pedang Sin-sik Totiang terkenal ganas dan lihai, selama tiga puluh tahun malang melintang di dunia Kangouw, sekali pedangnya bergerak, biar pun burung juga sukar lolos. Mustahil tokoh mahalihai begitu tidak mampu merobohkan seorang yang mirip patung?

Diam-diam Siau-hi-ji menertawakan Ok-tu-kui yang sudah keblinger itu, ia pikir mungkin setan judi ini sudah mata gelap, makanya mengusulkan cara bertaruh segila itu.

Namun Sin-sik Totiang tetap prihatin, setelah termenung sejenak, kemudian ia tanya pula, "Dan kau balas menyerang tidak?"

"Dengan sendirinya tidak!" jengek Ok-tu-kui.

Sampai di sini, betapa pun sabarnya Sin-sik Totiang juga menampilkan rasa girang, serunya, "Baiklah, aku setuju!"

"Mana kau punya Ciangbun-tang-hu?" tanya Ok-tu-kui.

"Tang-hu berada di pinggangku, tolong Siausicu (budiman kecil) mengambilkan dan perlihatkan padanya," ucapan Sin-sik ini jelas tertuju kepada Siau-hi-ji.

Maklumlah, sejak tadi tangannya siap melolos pedang, kalau sebelah tangannya digunakan mengambil Tang-hu akan berarti perhatiannya terpencar dan bukan mustahil kesempatan itu akan digunakan Han-wan Sam-kong untuk membalik tubuh, jika hal ini terjadi berarti buyarlah keadaan yang sangat menguntungkan ini.

Maka terdengar Ok-tu-kui bergelak tertawa dan berkata, "Sin-sik Totiang sungguh cerdik, tapi setan cilik ini pun sangat nakal, apakah kau dapat mempercayai dia?

"Siausicu ini masih muda belia, hari depannya pasti gilang-gemilang bagi dunia persilatan, kemajuannya tentu sukar dibandingi orang lain, mana dia mau mengincar sepotong tembaga yang tidak berarti ini," kata Sin-sik dengan sungguh-sungguh.

Siau-hi-ji tertawa, katanya, "Tidak soal bagiku untuk sekadar menjadi pesuruh kalian, tidak perlu Totiang menyanjung diriku setinggi itu."

Walau pun mulutnya bilang begitu, tapi di dalam hati sesungguhnya sangat senang. Segera ia memutar ke belakang Sin-sik Totiang dan merogoh Tang-hu yang terikat di pinggang itu.

"Kuharap Siausicu menjaganya dengan baik," pesan Sin-sik Totiang.

"Jangan khawatir, Totiang," jawab Siau-hi-ji dengan tertawa. "Aku pun takkan memperlihatkan padanya, toh Tang-hu ini pasti takkan dimilikinya."

"Hah, baru dipuji begitu saja lantas berat sebelah," ucap Han-wan Sam-kong dengan terbahak.

"Yang jelas kau pasti kalah, maka bukan soal bagiku berat sebelah atau tidak," ujar Siau-hi-ji.

"Hm, tampaknya kau pasti kecewa," jengek Ok-tu-kui.

"Apakah kau sudah siap?" tanya Sin-sik.

"Sebelum kau masuk ke sini aku sudah siap siaga," jawab Ok-tu-kui.

"Jika begitu, awas, aku mulai menyerang!"

Habis ucapan Sin-sik ini, seketika suasana menjadi hening, sampai suara napas juga tak terdengar. Maklumlah, semua orang menahan napas saking tegangnya, yang terdengar hanya detak jantungnya sendiri saja.

"Cring", Sin-sik Totiang telah lolos pedangnya, hawa pedang yang dingin terpancar menggigilkan orang. Tapi Han-wan Sam-kong tetap berdiri membelakangi tanpa bergerak.

Sejenak Sin-sik mengatur napas dan menghimpun semangat, ujung pedang mengacung lurus ke depan, mendadak sinar pedang berkelebat terus menusuk.

Dalam keadaan begitu, bagaimanapun Han-wan Sam-kong berkelit tentu tubuhnya akan bergerak, baik mendoyong ke depan atau miring ke kanan atau ke kiri. Tusukan Sin-sik Totiang ini pun tidak berniat melukai lawan melainkan ingin membuatnya kehilangan imbangan badan, dengan demikian serangannya yang kedua pasti akan lebih jitu mencapai sasarannya.

Diam-diam Siau-hi-ji memuji kelihaian ketua Go-bi-pay itu dan juga mengagumi kebesaran jiwanya yang tidak mau turun tangan keji sekaligus.

Terlihat Han-wan Sam-kong meliuk pinggangnya yang kasar itu, mendadak ia berputar setengah. badan, bagian perut tersedot kempis sehingga pedang lawan menyambar lewat di depan perutnya.

Akan tetapi pedang Sin-sik itu masih mengandung gerakan sampingan, begitu tusukannya mengenai tempat kosong, segera pergelangan tangannya memutar, gerakan menusuk tadi tiba-tiba berubah menjadi menabas, jadi tanpa ditarik kembali pedangnya terus menabas ke perut lawan.

Diam-diam Siau-hi-ji menggeleng kepala melihat serangan yang tidak memberi peluang bagi lawan itu, ia pikir sekali ini Ok-tu-kui pasti tidak mampu menghindar lagi.

Siapa tahu, sekonyong-konyong pinggang Han-wan Sam-kong seperti patah menjadi dua, tubuh bagian bawah masih tetap bercokol kuat di lantai, tapi tubuh bagian atas mendadak menekuk ke bawah, jadi seperti batang tebu mendadak patah menjadi dua. Karena itu pedang Sin-sik Totiang lantas menyambar lewat di atas mukanya.

Cara menghindarnya ini sungguh berbahaya tapi juga menakjubkan. Hampir Siau-hi-ji bersorak memuji, sungguh tak terduga tubuh sebesar itu mendadak menekuk selemas itu ke belakang.

Sin-sik Totiang tersenyum, ujung pedangnya segera berputar pula dan mendadak menabas balik, secepat kilat mengarah lutut kiri Han-wan Sam-kong.

Perubahan serangan ini lebih cepat lagi daripada tadi, hanya sekejap saja tiga kali serangan dilontarkan sekaligus, tampaknya Sin-sik Totiang memang sudah memperhitungkan, jurus serangannya juga sudah disiapkan lebih dulu, cara Han-wan Sam-kong mengelak dengan memutar dan menekuk itu pun seakan-akan sudah berada dalam perhitungannya.

Meski cara menghindarkan serangan kedua tadi sangat bagus, namun Han-wan Sam-kong seperti juga menggusur dirinya ke jalan kematian, luang geraknya sekarang sangat terbatas, hampir tiada kelonggaran lagi. Umpama dia paksakan diri menghindarkan serangan itu dengan melompat, maka itu berarti dia kalah, sebab kedua pihak sudah berjanji, asalkan kaki Han-wan Sam-kong terangkat dianggap kalah.

Begitulah diam-diam Siau-hi-ji juga anggap sekali ini Ok-tu-kui pasti tak dapat mengelak dan berarti kalah, kepalanya terpaksa harus diserahkan kepada lawannya.

Di luar dugaan, sekonyong-konyong tubuh Han-wan Sam-kong bisa memelintir laksana sebuah handuk yang dipuntir, tiba-tiba ia mengulet ke samping terus membalik ke atas pula, mukanya yang semula menghadap ke atas kini mendadak menghadap ke bawah, mulutnya terpentang terus menggigit pergelangan tangan Sin-sik Totiang yang memegang pedang itu.

Mimpi pun Sin-sik tidak menyangka akan gerakan lawan yang aneh itu, pergelangan tangan seketika tergigit dan kesakitan, pedang tak dapat dipegang dengan kencang lagi, "trang", pedang jatuh ke lantai.

Dengan bergelak tertawa Han-wan Sam-kong lantas berdiri tegak pula, wajah Sin-sik Totiang tampak pucat sebagai mayat, ia berdiri melenggong hingga lama, akhirnya ia menjawab dengan tergagap, "Ju... jurus serangan macam apakah ini, rasanya tiada... tiada golongan atau aliran ilmu silat di dunia ini memiliki gaya serangan seperti ini."

"Jurus serangan kan mati, tapi manusianya kan hidup, kenapa orang hidup mesti menggunakan jurus serangan yang mati?" ucap Ok-tu-kui dengan tertawa.

"Tapi kau sudah berjanji takkan balas menyerang?" kata Sin-sik Totiang.

"Betul, aku sudah berjanji takkan balas menyerang, tapi kan tidak berjanji takkan balas menggigit?" kata Ok-tu-kui dengan ngakak.

Sin-sik jadi bungkam, ia termangu-mangu sejenak, akhirnya ia tersenyum kecut dan berkata, "Ya, aku yang kalah."

"Mana Tang-hu tadi," kata Han-wan Sam-kong sambil menyodorkan tangannya.

"Sementara ini Tang-hu ini belum dapat dianggap milikmu," kata Siau-hi-ji.

"Haha, memangnya kau setan cilik ini mau apa?" Han-wan Sam-kong menyeringai.

"Katanya kau berjuluk ketemu orang lantas bertaruh, nah, kenapa tidak bertaruh juga denganku?" ujar Siau-hi-ji dengan tertawa. "Kalau kau menang, bukan saja Tang-hu ini menjadi milikmu, bahkan diriku ini juga kuserahkan padamu. Tapi bila kau kalah, Tang-hu in harus diserahkan padaku "

"Kau pun ingin taruhan denganku?" tanya Ok-tu-kui dengan terkekeh-kekeh.

"Ya," jawab Siau-hi-ji.

"Dirimu akan dijadikan taruhan dengan Tang-hu ini?"

"Ya, cukup setimpal bukan?"

"Memangnya apa manfaatnya dirimu ini?"

"Banyak sekali manfaatnya! Umpama tatkala kau iseng, aku dapat mencarikan orang untuk berjudi denganmu, bila kau ingin minum tapi tidak ada arak, segera aku berusaha menipukan arak bagimu dan banyak lagi kepandaianku. Pendek kata, asalkan kau dapat mengalahkan diriku, tanggung selama hidupmu takkan kapiran."

"Hahaha, menarik juga jika setan judi tua macamku ini dikawani seorang setan judi cilik," Han-wan Sam-kong tertawa.

"Jadi kau setuju?" tanya Siau-hi-ji.

"Lalu cara bagaimana taruhannya?"

"Taruhannya aku yang mengemukakan, caranya bertaruh boleh kau saja yang menentukan."

"Ehm, betul, adil...." Ok-tu-kui gosok-gosok kedua tangannya sambil menatap tubuh Siau-hi-ji.

Sambil meraba biji kancing bajunya, Siau-hi-ji berkata dengan tertawa, "Apakah kau ingin pula bertaruh menebak jumlah biji kancingku?"

Sekonyong-konyong mata Han-wan Sam-kong bercahaya, serunya, "Haha, biarlah kita bertaruh tentang bekas luka di tubuhmu, aku bertaruh kau sendiri pasti tidak tahu jumlah bekas luka itu."

Diam-diam Kang Giok-long menghela napas, batinnya, "Tamatlah kau sekali ini, Siau-hi-ji."

Sin-sik Totiang yang berdiri di samping kini juga tambah muram.

Dada baju Siau-hi-ji terbuka, selain mukanya banyak terdapat codet, tubuhnya yang penuh bekas luka itu pun terlihat jelas, semuanya itu adalah tinggalan cakar harimau, serigala dan binatang lain waktu kecilnya dahulu, selain itu juga ada bekas luka pisau. Begitu banyak codet itu sehingga biar pun dia telanjang bulat dan menghitungnya sendiri juga sukar terhitung seluruhnya.

Maklumlah, kalau taruhan itu tidak yakin sembilan bagian pasti menang, jelas takkan diterima oleh Han-wan Sam-kong, si setan judi kawakan.

Seketika Siau-hi-ji melenggong, ucapnya dengan tergagap, "Kau... kau sungguh-sungguh hendak bertaruh jumlah codet di tubuhku?"

"Sudah tentu sungguh-sungguh," jawab Ok-tu-kui.

Setelah merenung sejenak, lalu Siau-hi-ji berkata, "Baik, supaya kau tahu, codet di tubuhku ini seluruhnya ber... berjumlah seratus."

"Seratus? Seratus bulat?" Ok-tu-kui menegas.

"Betul, seratus bulat, tidak lebih tidak kurang," jawab Siau-hi-ji dengan pasti dan yakin.

Melihat jawaban tegas Siau-hi-ji itu, bukan saja air muka Han-wan Sam-kong berubah, bahkan Kang Giok-long juga tercengang. Sungguh sukar dipercaya bahwa siluman cilik itu mempunyai kesaktian setinggi itu, sampai-sampai bekas luka di tubuh sendiri juga tahu jumlahnya.

Setelah melenggong sejenak, akhirnya Han-wan Sam-kong berkata, "Baiklah, coba buka bajumu, akan kuhitung."

Tanpa ragu-ragu Siau-hi-ji terus menelanjangi pakaian sendiri dan membiarkan Ok-tu-kui menghitung, tapi ia pun menjemput belati yang masih menggeletak di lantai tadi.

Mendadak Han-wan Sam-kong bergelak tertawa dari berteriak, "Aha, seluruhnya sembilan puluh satu, codet di tubuhmu hanya berjumlah sembilan puluh satu, kalahlah kau."

"Ah, masa cuma sembilan puluh satu, kau salah hitung," kata Siau-hi-ji, berbareng belati yang dipegangnya secepat koki memotong sayur ia menyayat sembilan kali di lengan dan dada sendiri. Meski tidak berat sayatannya, tapi darah bercucuran juga.

"He, apa-apaan kau, apa artinya ini?" tanya Ok-tu-kui heran.

"Ini artinya kau kalah," ucap Siau-hi-ji.

"Kentut! kau...."

"Sembilan puluh satu codet lama ditambah sembilan codet baru, total jenderal seratus persis, jadi kalahlah kau."

"Persetan! Masa ini dapat dianggap?" teriak Han-wan Sam-kong dengan gusar.

"Kenapa tidak dapat dianggap? Kau hanya bertaruh jumlah codet di tubuhku, kan tidak pernah menegaskan tentang codet lama atau codet baru, ayo, kau berani menyangkal?!" debat Siau-hi-ji dengan tertawa.

Setan judi itu tertegun, mendadak ia pun terbahak-bahak, katanya, "Hahaha, lucu, sungguh menarik, kau setan cilik ini memang menarik. Baiklah, aku mengaku kalah." Lalu ia berpaling dan menggapai Sin-sik Totiang, "Mari sini, lekas memberi hormat kepada Ciangbunjin baru Go-bi-pay kalian."

Sin-sik Tojin tampak muram dan lesu, tapi ia paksakan diri tersenyum, ucapnya, "Go-bi-pay semakin maju pesat dan memang memerlukan pimpinan seorang ksatria muda seperti saudara cilik ini, aku sendiri sudah tua, memang sepantasnya memberi tempat kepada yang lebih bijaksana."

"Kau benar-benar menghendaki aku menjadi ketua Go-bi-pay?" tanya Siau-hi-ji.

Dengan perlahan Sin-sik Tojin menjawab, "Tang-hu itu dapat dipegang olehmu, sungguh beruntung bagi Go-bi-pay, betapa pun aku...." belum habis ucapannya, mendadak sebentuk benda jatuh ke tangannya, apa lagi kalau bukan Ciangbun-tang-hu, tembaga tanda pengenal ketua itu.

Dengan tertawa Siau-hi-ji berkata, "Setelah menjadi ketua Go-bi-pay, setiap hari selain makan sayur melulu juga harus Liam-keng (baca kitab) dan entah apa lagi, mana aku tahan. Nah, kumohon jangan, engkau membikin susah diriku, mainan itu biarlah kau ambil kembali saja."

Kejut dan girang pula Sin-sik Totiang, ucapnya dengan tergagap, "Tapi... tapi... budi kebaikan saudara...."

"Ah, ini terhitung apa?" ujar Siau-hi-ji dengan tertawa. "Hari depanku gilang-gemilang, masa potongan tembaga begini menarik bagiku? Bukankah kau sendiri yang berucap demikian?"

Sambil menggenggam Ciangbun-tang-hu itu, Sin-sik Totiang memandang Siau-hi-ji dengan kesima. Entah berapa lamanya, tiba-tiba ia menjura dalam-dalam sembari berkata, "Jika demikian, sekarang juga kumohon diri." Habis berkata segera ia membalik tubuh terus melangkah pergi tanpa menoleh.

"Hidung kerbau ini sedikit pun tidak berperasaan, masa terima kasih saja tidak diucapkan," omel Han-wan Sam-kong.

"Budi besar tidak mementingkan terima kasih, tentunya kau tahu pemeo ini," kata Siau-hi-ji sambil merobek kain bajunya untuk membalut luka di lengannya. Cuma sebelah tangannya masih terbelenggu dengan tangan Kang Giok-long, dengan sendirinya gerak-geriknya tidak leluasa.

"He, mengapa kalian berdua semesra ini?" tanya Han-wan Sam-kong heran.

"Jika kau mampu membuat kami tidak mesra, akan kupuji kau memang jempolan," ucap Siau-hi-ji dengan tertawa.

Segera Han-wan Sam-kong menjemput pula belati tadi, "trang", mendadak ia tebas belenggu itu, tapi hanya lelatu saja tepercik, ujung belati patah menjadi dua, belenggu itu lecet saja tidak.

Kang Giok-long menghela napas, sedangkan Siau-hi-ji lantas tertawa dan berkata, "Nah, tahulah kau sekarang, bukankah mau tak mau kami harus hidup rukun mesra?"
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar