Pendekar Binal Jilid 36

Pendekar Binal
Gu Long (Khu Lung)
-------------------------------
----------------------------
"Ehmm!" kembali Siau-hi-ji menjawab seperti orang linglung.

"Akan kugigit mati kalian, mau tidak?" tanya Siau Mi-mi, lalu tangannya yang putih mulus itu meraba-raba tenggorokan Siau-hi-ji dan menambahkan pula dengan tertawa genit, "Di sini, asalkan kugigit sekali di sini dan bereslah segalanya."

Tanpa berkedip Siau-hi-ji kembali bersuara "ehmmm" saja, matanya tetap memandang dinding tanah.

Mendongkol juga Siau Mi-mi, katanya sambil berkerut kening, "Apanya yang menarik pada dinding tanah itu? Sesungguhnya apa yang sedang kau pikirkan?"

"Aku toh bakal mati, berpikir apa pun tiada gunanya," ujar Siau-hi-ji sembari menghela napas.

"Aku jadi ingin tahu apa yang kau pikirkan?" kata Siau Mi-mi.

"Kini engkau telah menjadi majikanku, untuk apa ingin tahu jalan pikiranku?"

"Sebagai majikan memang tidak perlu, tapi sebagai wanita, aku ingin tahu jalan pikiranmu. Jangan lupa, kan aku ini perempuan?"

"Kukira lebih baik kau bunuh aku saja daripada bikin susah."

"Semakin kau tak mau omong, semakin aku ingin tahu," kata Siau Mi-mi.

Siau-hi-ji menghela napas, katanya, "Baiklah, kau ingin tahu, terpaksa kukatakan juga." Setelah merenung sejenak, lalu ia menyambung, "Kupikir kalau di balik setiap dinding itu ada benda-benda aneh, maka di balik dinding tanah ini tidak mungkin kosong, lalu apakah isinya?"

Mata Siau Mi-mi jadi terang, serunya, "Betul, apa isinya?" Matanya jelalatan mengawasi sekelilingnya, lalu bergumam pula, "Sayang dinding tanah ini tidak terdapat roda putarnya, entah cara bagaimana membuka dinding ini?"

"Meski tiada roda putarnya, tapi di atas situ kan ada gelangan yang belum ditarik," ucap Siau-hi-ji.

Siau Mi-mi mendongak, benar, di atas dinding memang ada sebuah gelang tembaga, serunya girang, "He, betul, lekas menariknya!"

Dengan lagak acuh tak acuh Siau-hi-ji melangkah maju, tapi di dalam hati sebenarnya sangat girang. Padahal ia pun tidak tahu apa yang berada di balik dinding tanah itu, namun biar bagaimanapun toh takkan membikin lebih buruk daripada keadaannya sekarang, paling-paling hanya mati saja, maka ia tidak peduli apakah di balik dinding sana tersembunyi gerombolan setan iblis sekali pun. Sebab yang rugi kan cuma Siau Mi-mi saja. Apa lagi ia yakin Siau Mi-mi pasti akan tertipu, betapa pun lihainya Siau Mi-mi kan tetap perempuan, dan di dunia ini hampir tiada perempuan yang tidak sok ingin tahu.

Gelang tembaga itu tergantung rada tinggi, Siau-hi-ji sendiri tak dapat membuat gelang itu bergerak, tapi ketika Kang Giok-long ikut menariknya, seketika gelang tembaga itu tertarik turun.

Maka terdengarlah suara gemuruh yang keras laksana gugur gunung dahsyatnya, dinding tanah itu mendadak runtuh seluruhnya. Berbareng itu air bah terus melanda seperti dituangkan.

Siau Mi-mi menjadi kaget, wajah menjadi pucat. Seperti anak perempuan yang melihat seekor tikus, sekuatnya ia meloncat ke atas sebuah roda putar itu. Namun air bah itu sungguh dahsyat dan terlalu cepat melandanya, hanya sekejap saja roda putar itu pun kelelap.

Dalam keadaan demikian yang terpikir olehnya hanya berusaha lolos secepatnya, bahkan Siau-hi-ji dan Kang Giok-long juga tak dipedulikan lagi. Akan tetapi satu-satunya jalan keluar, terowongan itu, kini juga sudah terendam air.

Supaya maklum bahwa tempat mereka berada sekarang ini sama tingginya dengan jamban yang merupakan lubang keluar masuk itu, maka air yang memenuhi terowongan itu tidak dapat tersalur.

Dengan sendirinya Siau-hi-ji dan Kang Giok-long kini juga terendam di dalam air, Kang Giok-long ternyata mahir berenang, dia dapat mengapungkan diri di permukaan air. Dia tersenyum tenang melihat Siau Mi-mi yang kelabakan itu, gumamnya, "Siluman perempuan ini ternyata tidak mahir berenang, bagus, sungguh bagus sekali."

"Ini namanya pukul kanan kena kiri!" ucap Siau-hi-ji dengan tertawa.

"Kau sendiri apakah dapat berenang?" tiba-tiba Giok-long berpaling dan tanya Siau-hi-ji.

Sambil bertahan dengan tangannya, Siau-hi-ji tenang-tenang saja, jawabnya dengan tertawa, "Masa kau lupa akan namaku? Adakah di dunia ini ikan tidak mahir berenang?"

"Tapi tempat kau dibesarkan tiada terdapat sungai segala," jengek Kang Giok-long.

"Untuk ini aku harus berterima kasih kepada Li Toa-jui," tutur Siau-hi-ji dengan tertawa. "Waktu aku berumur dua tahun, Li Toa-jui telah merendam diriku di suatu tong besar. Waktu umurku tiga tahun, aku sudah dapat berenang di dalam tong itu seperti seekor ikan, sebab itulah mereka memberi nama ikan padaku?"

Dia bicara dengan lancar sehingga tidak nampak membual sedikit pun. Kang Giok-long melototnya sejenak, akhirnya ia tertawa dan berkata, "Baiklah, bagus sekali jika begitu!"

Sementara itu air terus mengalir sehingga ruangan itu hampir terendam seluruhnya.

Siau Mi-mi memang tidak pandai berenang, bahkan sangat takut pada air, kini dia benar-benar kelabakan setengah mati, kaki tangannya bergerak-gerak dan meronta-ronta, tapi semakin meronta semakin tenggelam ke bawah.

Dengan suara tertahan Kang Giok-long membisiki Siau-hi-ji, "Meskipun dia tak bisa berenang, tapi kalau dia dapat bersikap tenang dan tidak sembarang bergerak, tentu takkan tenggelam ke bawah, apa lagi Lwekangnya cukup tinggi, andaikan tenggelam juga takkan kemasukan air. Tapi kalau dia terus meronta seperti sekarang, sejenak lagi tentu dia akan minum air, dan sekali minum air, betapa pun tinggi kepandaiannya juga tiada gunanya lagi."

Benar juga, di sebelah sana Siau Mi-mi telah minum dua ceguk air sehingga membuatnya semakin bingung, dia berteriak dengan suara parau, "Tolong... tolong, masakah kalian ingin menyaksikan aku mati kelelap?"

"Sebenarnya kami tidak tega melihat kematianmu," ucap Kang Giok-long dengan suara halus, "asalkan kau lemparkan kitab pusaka itu kemari, segera akan kutolong kau."

Kang Giok-long tidak berani mendekati Siau Mi-mi, sebab kalau dia sampai terpegang, maka ia sendiri pasti juga akan celaka. Tapi bila kitab pusaka itu terlalu lama terendam air, mungkin tulisannya akan luntur dan pasti sukar lagi untuk dibaca.

Syukurlah Siau Mi-mi kini telah berubah penurut, cepat ia melemparkan kitab pusaka itu ke arah Kang Giok-long sambil berseru, "Nah, lekas-lekas tolong aku!" Begitu dia membuka mulut, segera ia gelagapan pula karena kemasukan air.

Dalam pada itu Kang Giok-long telah sambar kitab pusaka itu, Siau-hi-ji tidak berebut dengan dia, sebab tangannya yang memegang kitab terbelenggu bersama dengan tangan Siau-hi-ji, sedangkan tangannya yang lain memegang lentera. Dengan tertawa terkekeh-kekeh ia mengejek Siau Mi-mi, "Anak bodoh, memangnya kau kira aku benar-benar hendak menolongmu?"

Terpaksa Siau Mi-mi memohon dengan suara gemetar, "To... tolonglah, kumohon tolonglah aku...."

"Hm, justru ingin kusaksikan kau kenyang minum air, nanti kalau kau mati, perutmu akan melembung seperti balon, bentuknya tentu sangat menarik," Kang Giok-long berolok-olok pula.

Siau Mi-mi menjadi murka, dampratnya, "Kau anak jadah, bangsat keparat!"

"Makilah sesukamu, paling baik kalau kau dapat menyeberang ke sini dan pukul aku, tapi apakah kau mampu?" ejek Giok-long pula.

Dengan meronta-ronta Siau Mi-mi bermaksud menubruk ke sini, tapi semakin meronta semakin banyak air yang diminumnya.

"Nah, siapakah tokoh nomor satu di dunia persilatan yang akan datang, tahukah kau, Siau Mi-mi?" kata Giok-long dengan tertawa gembira. "Hahaha, biar kuberitahukan padamu, tokoh nomor satu itu ialah diriku ini, Kang-toasiauya!"

"Hm, belum tentu," jengek Siau-hi-ji tiba-tiba.

Cepat Kang Giok-long menyambung, "Sudah tentu, masih ada lagi tokoh nomor satu yang lain, yakni Kang Siau-hi, Kang-toako kita ini."

Siau-hi-ji menghela napas dan berkata, "Kukira kita jangan mimpi muluk-muluk, jalan keluar satu-satunya sekarang sudah terendam air, kecuali kita dapat berenang seperti ikan, kalau tidak kita juga akan mati sesak di sini."

Melenggong Kang Giok-long, seketika mukanya pucat pasi pula, ia pegang tangan Siau-hi-ji dan berseru, "Le... lekas engkau cari akal."

"Sudah kupikirkan sejak tadi," jawab Siau-hi-ji. "Antara dinding-dinding emas, perak, tembaga, besi dan timah, semuanya jalan mati, jalan buntu. Ruangan batu yang merupakan kuburan itu meski ada lubang ke atas, tapi lubang itu harus dibuka dari luar sana."

"Wah, jika begitu, apakah... apakah kita benar-benar akan mati di sini?" tanya Giok-long dengan tersenyum getir.

"Bisa jadi," ucap Siau-hi-ji. "Tapi kita masih ada suatu jalan."

"He, jalan mana?" tanya Giok-long girang.

"Roda putaran kayu itu kan belum kita sentuh," kata Siau-hi-ji.

Rasa girang Kang Giok-long lantas sirna pula, katanya dengan mendongkol, "Apakah engkau sudah lupa, bukankah kita masuk dari balik dinding kayu?"

"Betul, kita masuk dari sana, tapi menerobos dari bawahnya, bagaimana bagian atasnya?"

"Aha, betul, mengapa tak terpikir olehku?" teriak Giok-long kegirangan.

"Soalnya karena aku jauh lebih pintar daripadamu," ujar Siau-hi-ji dengan tertawa.

"Ya, dalam keadaan begini hanya kau saja yang masih dapat berpikir," ucap Giok-long dengan gegetun.

Dalam pada itu terlihat rambut Siau Mi-mi terapung di permukaan air, tubuhnya tidak dapat bergerak lagi.

Segera Kang Giok-long menyelam ke bawah untuk memutar roda kayu, sebelah tangannya mestinya memegang lentera, kini terpaksa dibuangnya, maka keadaan seketika gelap gulita.

Terdengar suara berkeriut, sekonyong-konyong air bah membanjir keluar sana, tanpa kuasa Siau-hi-ji dan Kang Giok-long juga ikut terhanyut, seketika dada dan pikiran pun terasa longgar.

Di luar dinding kayu itu ternyata betul ada jalan keluarnya, beratus-ratus undak-undakan batu menembus ke atas, selarik cahaya tampak menyorot masuk. Kang Giok-long berteriak gembira, air mata tanpa terasa pun bercucuran.

Bahwa di ujung undak-undakan batu sana ada cahaya yang menembus masuk, hal ini pun di luar dugaan. Di samping gembira Giok-long juga heran, katanya, "Jalan keluar ini juga aneh, masa tidak khawatir diketahui orang? Apa yang terdapat di bawah sini dibuat sedemikian rahasia, seyogianya jalan keluarnya juga harus dirahasiakan."

"Dipandang dari sini tampaknya tidak rahasia, tapi kukira pasti sangat tersembunyi tempatnya, kalau tidak mustahil selama ini tidak dimasuki orang?" kata Siau-hi-ji.

"Ya, masuk di akal juga, cuma...." belum habis ucapan Kang Giok-long, tiba-tiba terdengar suara orang bicara di atas sana.

Kedua orang itu terkejut, mereka melangkah dengan lebih hati-hati tapi juga tambah cepat. Sekaligus mereka naik sampai di ujung atas, terlihat lubang keluarnya tertutup sepotong papan batu, hanya kedua samping diberi celah-celah selebar dua-tiga senti. Cahaya udara menembus masuk dari celah itu, suara orang bicara itu pun berkumandang dari situ, keruan mereka terheran-heran pula dan coba mengintip ke atas sana.

Kiranya di atas sana adalah sebuah kelenteng kecil, patung malaikat apa yang dipuja di kelenteng ini tak tertampak jelas, sebab patung pemujaan justru terletak di atas papan batu yang berlubang itu. Dengan sendirinya tiada seorang pun yang menyangka di bawah patung pemujaan kelenteng kecil ini terdapat istana bawah tanah yang paling aneh dan rahasia dan juga paling megah itu.

Di luar situ terdapat sebuah meja sembahyang, meja itu tiada terdapat dupa atau lilin, tapi jelas ada sepasang kaki. Kaki itu hitam seperti besi, kaki celana tergulung sebatas dengkul, kaki kotor itu memakai sepatu rumput. Lebih atas daripada dengkul tak terlihat oleh mereka.

Pemilik kaki hitam dan kotor itu memakai sepatu rumput, jelas kini sedang duduk nongkrong di kolong patung pemujaan, maka kakinya terjulur ke meja sembahyang. Di atas meja terdapat buli-buli arak ukuran besar, ada dua ekor ayam panggang dan sepotong besar daging, satu ikat sosis dan seonggok taukua (tahu kering) serta satu onggok kacang rebus.

Bau sedap arak dan bau lezat makanan bercampur-baur dengan bau apak kaki yang kotor itu terembus angin masuk ke dalam lorong, keruan hidung Siau-hi-ji berkerut-kerut mengendus bau campur aduk alias gado-gado itu.

Sebenarnya Siau-hi-ji ingin menerjang keluar, tapi sekilas terlihat di depan meja sembahyang berdiri berjajar lima orang, maka ia tidak berani sembarangan bertindak lagi, bahkan ia hampir menjerit kaget ketika dilihatnya bahwa tiga orang yang berdiri di sebelah kanan sana adalah Ong It-jiau, Sun Thian-lam, dan Khu Jing-po, yaitu orang-orang yang telah ikut mencari harta karun bersama Tio Coan-hay dan lain-lain itu.

Dilihatnya pula orang yang berdiri paling kiri berkopiah indah, jubah merah bersulam huruf "Hok" (rezeki), perut rada buncit, usia setengah baya, pinggangnya terikat sebuah kantong dupa dan lilin. Jelas dia pasti seorang saudagar kaya yang saking iseng maka sengaja bersembahyang ke kelenteng di puncak gunung Go-bi-san.

Di sebelah saudagar kaya ini berdiri pula seorang dengan pakaian cukup mentereng, tapi dari sikapnya dapat diduga dia pasti pengiring si saudagar yang menjadi cukongnya ini.

Siau-hi-ji tidak habis heran, bahwasanya Ong It-jiau bertiga itu biasanya betapa angkuh dan garangnya, tapi sekarang semuanya menunduk lesu dengan wajah cemas dan takut.

Bahwa orang yang berkaki kotor dan duduk nongkrong di kolong patung pemujaan itu dapat membuat ketiga orang itu ketakutan sungguh Siau-hi-ji tak dapat membayangkan tokoh macam apakah orang ini.

Karena Siau-hi-ji tidak berani sembarangan bergerak, Kang Giok-long jadi lebih-lebih tidak berani bertindak.

Tertampak sepasang tangan yang berbulu panjang terjulur ke bawah, tangan kiri hanya tersisa jari-jari telunjuk dan ibu jari saja. Kedua tangan hitam berbulu itu membeset sepotong paha ayam panggang, lalu paha ayam itu menuding ke arah si saudagar, katanya, "Coba maju kau!"

Suaranya nyaring seperti bunyi genta sehingga menggetar anak telinga.

Hartawan yang bermuka gemuk itu kini berubah menjadi pucat, dengan tertatih-tatih dan gemetar ia melangkah maju, katanya dengan terputus-putus, "Hamba... hamba Thio Thek-bong memberi hormat."

Mendadak suara nyaring laksana bunyi genta tadi bergelak tertawa dan berkata, "Kakekmu, sudah terang kutahu kau anak kura-kura ini adalah hartawan kampungan di kota bawah sana, namamu Ong Leng-joan alias Ong Pek-ban, masakah kau anak kura-kura ini berani menipu Locu (bapakmu), memangnya kau minta Locu merangket dulu pantatmu?"

Cara bicaranya didahului dengan makian dan diselingi pula dengan istilah khas daerah Sujwan, cuma kedengarannya rada samar-samar, mungkin karena mulutnya lagi sibuk mengunyah paha ayam.

Serentak Ong Pek-ban yang terbongkar rahasianya itu berlutut dan menyembah, katanya dengan bersungut-sungut, "Hamba tidak banyak membawa uang, kurela persembahkan seluruhnya untuk Tay-ong (tuan besar atau raja besar)...."

"Kentut makmu!" terdengar suara nyaring tadi mendamprat. "Siapa yang ingin merampas uang busuk anak kura-kura macam kau ini. Soalnya Locu mendengar caramu berjudi sangat pintar dan licin, makanya Locu sengaja mencari kau ke sini untuk berjudi."

Agaknya Ong Pek-ban merasa lega setelah mengetahui maksud tujuan orang, dengan menyengir ia menjawab, "Jika Tay-ong berminat judi, baik main dadu, pay-kiu, ma-ciok, cap-ji-ki, apa pun akan kulayani. Cuma di sini tiada tersedia peralatan judi, biarlah hamba pulang dulu dan menyiapkan segalanya untuk menantikan kedatangan Tay-ong dan...."

Mendadak orang itu mencak-mencak dan membentak, "Persetan! Siapa yang ingin berjudi secara bertele-tele dengan kau anak kura-kura ini, kita berjudi secara cepat saja, ini mata uang, nah, kita bertaruh muka gambar atau muka angka, satu kali jadi."

"Tapi... tapi Tay-ong ingin taruhan apa?Modal judi yang kubawa tidak... tidak banyak," ucap Ong Pek-ban dengan tergagap-gagap.

"Locu bertaruh sebelah tanganmu dan sebelah kakimu."

Ong Pek-ban baru saja berbangkit, seketika kakinya lemas dan jatuh terduduk pula. Setelah diam sejenak, akhirnya ia menjawab dengan nekat, "Tapi kalau Tay... Tay-ong yang kalah, bagaimana?"

"Bila Locu kalah, segera kupotong satu jariku untukmu," kata suara itu.

"Ah, ini... ini...."

"Ini apa? Memangnya jariku tidak lebih berharga daripada sebelah kaki dan sebelah tanganmu?"

Gigi Ong Pek-ban gemertak karena tubuh menggigil ketakutan, jawabnya, "Ham... hamba tidak... tidak ingin berjudi."

"Kakekmu, tidak bisa, mau tak mau kau harus berjudi denganku."

Agaknya Ong Pek-ban menjadi nekat juga, jawabnya dengan suara keras, "Di dunia ini hanya ada perkosaan, mana, ada orang dipaksa berjudi?"

"Selama hidup Locu tidak melakukan kejahatan lain kecuali suka paksa orang berjudi. Kau anak kura-kura ini pun gemar berjudi, mujurlah hari ini kau bertemu dengan aku si Ok-tu-kui (setan judi jahat)."

Seketika mata Ong Pek-ban terbelalak, ia menegas, "Jadi... jadi engkau ini Han-wan...."

"Betul, Locu inilah Han-wan Sam-kong, rupanya kau anak kura-kura ini juga tahu namaku?"

Dengan meringis Ong Pek-ban menjawab, "Setiap orang yang gemar judi di mana-mana selalu menggunakan namamu sebagai kutukan, katanya siapa yang main curang semoga kepergok Han-wan Sam-kong. Padahal... padahal selamanya aku berjudi secara jujur, tak pernah curang, mengapa... mengapa aku malah kebentur padamu."

Orang yang bersuara nyaring dan berkaki kotor alis Han-wan Sam-kong itu bergelak tertawa, "Kalau kau sudah kenal Locu, seharusnya kau tahu cara judi Locu selamanya jujur dan tidak pernah curang, apa pula yang kau khawatirkan?"

Habis berkata, mendadak sebuah mata uang telah melayang ke udara dan berjumpalitan beberapa kali, lalu "trang", mata uang jatuh di atas meja, tangan Han-wan Sam kong yang besar itu segera menutupnya sembari berseru, "Gambar atau angka? Tebak, lekas!"

Dengan melongo heran Siau-hi-ji mengikuti semua percakapan itu di tempat sembunyinya, sungguh tak pernah terbayang olehnya bahwa lelaki berkaki kotor ini adalah Ok-tu-kui Han-wan Sam-kong, si setan judi jahat, salah satu di antara Cap-toa-ok-jin.

Tak terduga olehnya bahwa baru saja dia lolos dari cengkeraman salah seorang Cap-toa-ok-jin, kini dia harus kepergok lagi salah seorang dari kesepuluh top penjahat itu. Malahan anggota Cap-toa-ok-jin yang ditemukannya berturut-turut satu terlebih garang dan jahat daripada yang lain.

Baru saja ia lihat mata uang yang dilemparkan Ok-tu-kui itu jatuh dengan muka angka di atas, ia percaya Ong Pek-ban, si jutawan yang kelihatan tolol tapi sebenarnya cerdik itu pasti juga melihatnya. Maka dapat diduga si setan judi itu pasti akan kalah.

Dilihatnya Ong Pek-ban itu pucat dan gemetar, bibirnya bergerak-gerak, beberapa kali hendak bicara, tapi tiada sepatah kata pun tercetus dari mulutnya.

Han-wan Sam-kong menjadi tidak sabar, otot hijau telapak tangannya yang menutup mata uang itu tampak menonjol besar, agaknya dia juga agak tegang. Akhirnya ia membentak, "Ayo, lekas tebak, jika tidak, kuanggap kau kalah!"

"Ang... angka!" tercetus juga dari mulut Ong Pek-ban akhirnya.

Segera Han-wan Sam-kong mengangkat tangannya dan berteriak dengan terbahak-bahak, "Hahahaha! Anak kura-kura, kau kalah!"

Seketika Ong Pek-ban hampir kelengar. Siau-hi-ji juga terkejut. Sudah jelas dilihatnya sisi angka mata uang itu menghadap ke atas, mengapa bisa berubah mendadak? Apakah barangkali Han-wan Sam-kong sengaja membiarkan Ong Pek-ban melihat muka angka mata uang itu, tapi ketika tangannya menutup segera ia menyulapnya?

Secara jujur harus diakui bahwa cara Han-wan Sam-kong ini tidak dapat dikatakan curang, salah Ong Pek-ban sendiri yang mengintip.

Diam-diam Siau-hi-ji menghela napas gegetun dan mengakui kelihaian setan judi ini, waktu ia pandang Ong Pek-ban, jutawan she Ong itu tampak lemas terkulai di lantai. "Trang", sebilah belati terlempar di sampingnya, seketika tubuh hartawan itu menggigil ketakutan.

"Kau sudah kalah, ayo lekas potong sebelah kaki dan sebelah tanganmu," seru Han-wan Sam-kong.

"Aku... aku... mo... mohon...."

"Anak kura-kura, kau hendak mungkir janji ya?" semprot Han-wan Sam-kong dengan gusar.

Dengan suara serak Ong Pek-ban menjawab, "Ham... hamba rela menyerahkan seluruh harta bendaku, 17 rumah gadai ditambah tiga toko beras, asalkan engkau suka mengampuni jiwaku."

"Kau binatang tua yang pelit, kaya tapi tak berbudi, memangnya kau kira aku benar-benar menginginkan kakimu yang mirip kaki babi itu? Hm, meski Locu ini juga Ok-jin (penjahat), tapi caramu memeras kaum miskin betapa pun tak dapat kuterima." Mendadak ia menggabruk meja dan berteriak, "Baik, rumah gadai dan toko beras kuterima semuanya, lekas enyah dan buatkan kuitansinya untuk menunggu timbang terima denganku, memangnya Locu takut kau anak kura-kura berani ingkar janji?"

"Iya... iya...ya...." Ong Pek-ban terkencing-kencing saking takutnya, cepat ia lari pergi dengan setengah merangkak.

Yang satu baru saja lari, yang lain segera berlutut dan menyembah, yaitu pengiring Ong Pek-ban tadi, katanya dengan wajah minta dikasihani, "Hamba... hamba hanya kaum rendahan, tentunya engkau orang tua tidak sudi bertaruh dengan kaum hamba macamku ini, maka sudilah engkau membebaskan hamba."

"Hehehehe, kau salah, anak kura-kura," Han-wan Sam-kong terkekeh-kekeh. "Tahukah kau bahwa Locu masih mempunyai suatu julukan lain, yakni 'kian-jin-ciu-tu' (ketemu orang lantas bertaruh/berjudi). Tak peduli siapa dia, apakah dia si tua bangka kaisar sekarang ataupun si jembel di tepi jalan, asal ketemu dengan Locu harus taruhan juga denganku."

Pesuruh itu menjadi nekat, katanya, "Habis engkau ingin bertaruh secara bagaimana?"

"Locu bertaruh kau pasti tidak tahu berapa banyak biji kancing baju yang kau pakai itu," ucap Han-wan Sam-kong. "Kalau kau kalah, hidungmu akan kupotong, jika kau menang, ke-17 rumah gadai dan tiga buah toko beras itu akan kuberikan seluruhnya padamu."

Muka pesuruh itu menjadi pucat seperti mayat, tanpa terasa ia pegang batang hidung sendiri.

"Nah, coba pikir, biar pun kau banting tulang tujuh turunan juga tidak mungkin mendapatkan kekayaan sebesar itu," Han-wan Sam-kong bergelak tertawa, mendadak dia membentak, "Hai, tidak boleh memandang tubuh sendiri, kalau tidak kuanggap kau kalah dan segera kupotong hidungmu."

Pesuruh itu menjadi ketakutan dan terpaksa memandang lurus ke depan, katanya dengan tergagap, "Tapi... tapi rumah gadai dan toko beras itu kini masih berada di tangan Ong-loya."

"Kau anak kura-kura ini jangan khawatir, asalkan kau menang, kujamin dia akan menyerahkan semua miliknya kepadamu," kata Han-wan Sam-kong.

Mendadak pesuruh ini tertawa, katanya, "Sejak kecil hamba mempunyai kebiasaan suka telan biji kancing, oleh karena itu ibu hamba tak pernah memberi kancing pada baju yang dibuatkan untukku, semuanya diikat dengan tali, kebiasaan ini berlangsung hingga kini," sampai di sini ia lantas bangkit dan tepuk-tepuk baju sendiri, lalu menyambung pula, "Makanya di tubuh hamba ini, dari luar sampai ke dalam, dari kepala sampai ke kaki pada hakikatnya satu biji kancing saja tidak ada."

Seketika Han-wan Sam-kong melenggong, Ong It-jiau, Khu Jing-po dan lain-lain tampaknya juga ingin tertawa, tapi urung, kalau tidak ditahan sebisanya, mungkin perut Siau-hi-ji sudah mules tertawa terpingkal-pingkal.

"Sungguh tak tersangka bahwa ada kalanya Ok-tu-kui juga tertipu," demikian Siau-hi-ji membatin dengan geli.

Setelah melenggong sejenak, mendadak Han-wan Sam-kong juga terbahak-bahak, katanya, "Baiklah anggap kau anak kura-kura ini sedang mujur, lekas pulang ke rumah untuk menunggu menjadi cukong besar!"

Pesuruh itu memberi hormat, katanya dengan tertawa, "Hamba bernama Ong Tay-lip, kelak bila engkau masuk kota, jangan lupa mampir ke toko hamba agar hamba dapat sekadar bertindak sebagai tuan rumah." Setelah memberi hormat kepada hadirin, lalu ia melangkah pergi dengan gembira.

"Ong Tay-lip, kau anak kura-kura ini sungguh mujur...." demikian Han-wan Sam-kong belum mereda tertawanya, hanya sekejap saja dia menang harta benda bernilai jutaan dan dalam sekejap pula semuanya itu kalah ludes, tapi sedikit pun dia tidak sayang, bahkan tertawa riang.

Mendadak Khu Jing-po merasa tidak enak ketika sorot mata Han-wan Sam-kong mulai beralih ke arahnya.

"Khu-jitya, hehe, Khu-kongcu," demikian jengek Han-wan Sam-kong. "Kau putra keluarga terhormat, cakap dan pintar, di rumah tersedia serombongan guru silat, tapi betapa tinggi ilmu silat yang telah kau pelajari?"

Muka Khu Jing-po sebentar merah sebentar hijau, dengan nekat akhirnya ia menjawab, "Kuhormati engkau sebagai kaum Cianpwe dunia persilatan, tapi kalau engkau...."

"Betul juga, Khu-kongcu yang gagah dan tampan ini dengan sendirinya serba pintar, makan minum main perempuan dan berjudi, semuanya pasti serba mahir. Nah, cara bagaimana kau ingin bertaruh denganku? Boleh kau sebutkan caranya dan pasti kuterima, tapi jumlah taruhannya aku yang menentukan."

"Kuharap taruhannya jangan terlalu besar, seperti katamu, Cayhe memang serba mahir, maka engkau belum tentu akan menang," ujar Khu Jing-po dengan tertawa.

Han-wan Sam-kong tertawa keras, katanya, "Kau anak kura-kura ini sengaja main gertak ya? Haha, Locu berjudi sejak berumur enam, segala macam permainan juga kukenal, masakah kau bisa lebih mahir daripadaku?"

"Segala permainan pasti bisa main curang, kecuali satu macam saja," jengek Khu Jing-po.

"Satu macam apa? Coba katakan?" tanya Ok-tu-kui.

"Berapa renteng uang emas yang berada di ikat pinggangku ini, coba kau terka genap atau ganjil?" kata Khu Jing-po.

Han-wan Sam-kong berkeplok tertawa, katanya, "Nenekmu, cara pertaruhan ini memang adil, sama-sama tidak main curang dan cuma untung-untungan. Kau anak kura-kura ini memang pandai berjudi, sedikit pun Locu tak dapat mengakalimu."

Han-wan Sam-kong membetot lagi sepotong paha ayam panggang, sembari melalap ia pun berkata, "Kudengar binimu adalah wanita cantik nomor satu di kota Sohciu...."

Baru saja dia berkata satu kalimat, seketika air muka Khu Jing-po berubah, tukasnya, "Ap... apa maksudnya?"

"Maksudnya aku ingin taruhan istri," jawab Han-wan Sam-kong. "Bila kau kalah, maka binimu harus dioperkan padaku, kalau kukalah, istriku juga akan kuserahkan padamu, bahkan ketiga istriku sekaligus, kan lebih menguntungkanmu."

Air muka Khu Jing-po pucat seperti mayat, ucapnya dengan suara terputus-putus, "Apa... apa engkau sudah gila?"

"Haha, pikiranku cukup sadar dan segar!" kata Han-wan Sam-kong dengan tertawa.

"Tidak, tidak bisa," teriak Khu Jing-po.

"Kenapa tidak bisa," tukas Han-wan Sam-kong, "kan sudah kita sepakati, caranya menurut kau, taruhannya menurut aku, sekarang mau tak mau kau harus bertaruh, toh Locu juga belum pasti menang."

Gemetar tubuh Khu Jing-po, ia menjadi khawatir kalau-kalau istrinya benar-benar kalah dalam taruhan ini, lalu cara bagaimana dia harus bertanggung jawab kepada keluarga dan orang tua serta sanak saudara? Betapa pun ia berasal dari keluarga terhormat, perbuatan yang memalukan ini tidak mungkin ditanggungnya.

Dalam pada itu Han-wan Sam-kong tetap adem ayem saja, katanya, "Nah, sekarang Locu hendak mulai menebak, emas di ikat pinggangmu itu...."

"Tunggu dulu!" teriak Khu Jing-po mendadak.

"Tunggu apa lagi?" tanya Ok-tu-kui.

"Kenapa engkau harus paksa setiap orang untuk bertaruh denganmu?" teriak Khu Jing-po.

"Setiap orang yang kepergok Ok-tu-kui, mau tak mau harus bertaruh denganku."

"Tapi ada semacam orang yang sama sekali tak dapat kau paksa," jengek Khu Jing-po.

"Hah, masakah ada orang macam begitu?"

"Tentu saja ada," bentak Khu Jing-po.

"Coba katakan, orang macam apa?"

"Orang mati!" teriak Khu Jing-po dan mendadak sebelah tangannya menabok batok kepala sendiri sehingga hancur.

Sungguh di luar dugaan bahwa di dunia ini masih ada lelaki keras kepala yang lebih suka mati bunuh diri daripada kehilangan pamor. Agaknya Han-wan Sam-kong juga terkejut sehingga paha ayam yang belum habis dimakan itu jatuh di meja.....
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar