Pendekar Binal Jilid 35

Pendekar Binal
Gu Long (Khu Lung)
-------------------------------
----------------------------
Minyak lentera tembaga itu sudah hampir kering, terpaksa Kang Giok-long merangkak balik ke gua yang digalinya itu untuk menambah minyak, ia pun mengambil sedikit ransum dan air minum, dengan munduk-munduk ia antar semua itu ke hadapan Siau-hi-ji. Setelah Siau-hi-ji kenyang makan barulah ia berani makan sisanya.

Kalau saja bapaknya melihat sikap Kang Giok-long itu, bisa jadi ayahnya akan mati melotot karena keki. Soalnya belum pernah Kang Giok-long berbuat sebakti itu kepada bapaknya.

Selesai makan, Siau-hi-ji mengusap mulut dan bergumam, "Kini tinggal sebuah kamar saja yang belum kita periksa. Kukira jalan keluarnya berada di situ."

Akhirnya ia memutar roda perak, di balik dinding perak itu ternyata lain daripada yang lain. Di sinilah letak istana di bawah tanah yang sebenarnya. Beberapa kamar Siau Mi-mi terhitung indah dan mewah, tapi kalau dibandingkan kamar perak ini boleh dikatakan seperti rumah kampung berbanding gedung megah di kota.

Tepat di balik dinding perak itu adalah sebuah lorong, lantainya dilapisi permadani halus tebal, kedua sisi lorong itu ada enam daun pintu yang diberi berkerai mutiara.

Cahaya lampu menyinari kerai mutiara yang gemerlapan itu. Siau-hi-ji merasa seperti berada di Surgaloka. Tetapi sedikit pun ia tidak tertarik oleh keindahan hiasan itu, dia hanya bergumam, "Sungguh aneh, lima orang mengapa ada enam kamar? Orang keenam, mungkin juga tidak mahir ilmu silat, kalau tidak, mengapa meja pendek di sana cuma ada lima buah saja?"

Sembari berucap ia pun melangkah masuk ke kamar pertama. Kamar ini dipajang seperti kamar perempuan, di samping meja tertaruh bahan dan alat rias komplet. Di belakang tempat tidur bahkan ada sebuah Bhe-tang, yakni tong yang terbuat dari kayu untuk buang air.

Siau-hi-ji jadi tercengang sehingga matanya terbelalak, serunya, "He, kamar wanita? Jadi tuan rumah di sini seorang perempuan? Ah, mati pun aku tidak percaya."

Kelambu bersulam tampak setengah terjuntai. Waktu Siau-hi-ji menyingkap kelambu itu, di atas ranjang berbaring sesosok jerangkong, rambut dan tusuk kundai masih utuh tertinggal di atas bantal, jadi jelas memang seorang perempuan.

Siau-hi-ji berkerut kening, katanya sambil menoleh, "Beberapa kerangka jerangkong tadi lelaki atau perempuan, apakah kau memperhatikannya?"

"Lelaki, kalau perempuan tentu tulang pinggulnya lebih besar," jawab Giok-long.

"Dalam hal membedakan beginian kau memang ahli, itulah sebabnya aku tidak membunuh

"Bisa jadi orang keenam adalah perempuan."

"Betul," kata Siau-hi-ji.

Tetapi mereka ternyata salah duga semuanya. Kamar kedua tetap kamar orang perempuan, yang menggeletak di ranjang situ juga jerangkong perempuan. Kamar ketiga, keempat, semuanya juga begitu.

Siau-hi-ji menggeleng-geleng kepala, katanya, "Kiranya di sini tidak hanya ada lima orang atau enam orang, rupanya para tokoh Bu-lim ini datang ke sini dengan istri masing-masing. Mereka terbunuh sehingga istri mereka pun ikut menjadi korban."

"Tampaknya Hiat-to perempuan-perempuan ini tertutuk, habis itu baru mati kelaparan," ujar Giok-long.

"Tapi kukira orang yang menutuk mereka itu tiada maksud hendak membunuhnya."

"Namun mereka telah mati semua."

"Mungkin orang yang menyerang mereka itu bermaksud kembali lagi untuk membuka Hiat-to mereka, tapi entah mengapa ia sendiri pun terbunuh dan yang celaka adalah perempuan-perempuan ini."

"Jika begitu, mana orang yang membunuh mereka itu?"

Melongo juga Siau-hi-ji oleh pertanyaan itu, jawabnya kemudian, "Setan yang tahu."

Lalu ia masuk ke kamar kelima dan menyingkap kelambu pula sambil berkata, "Manusia memang aneh, sekali pun sudah tahu yang berbaring di ranjang ini adalah tulang belulang orang perempuan, toh dia tetap ingin membuka kelambu untuk melihatnya...." Belum habis ucapannya segera ia tahu dugaan sendiri kembali salah lagi.

Di atas ranjang itu ada kerangka jerangkong, lelaki dan perempuan, yang lelaki tengkurap menindih di atas jerangkong perempuan, tulang punggungnya hancur terpukul, tampaknya sekali dihantam orang terus binasa. Agaknya sebelum terbunuh, kedua orang itu sedang main cinta.

"Inilah orang yang sedang lupa daratan dibuai asmara dan mendadak disergap orang," kata Giok-long. "Ai, orang yang menyerang ini sungguh keterlaluan."

Mereka menuju ke kamar keenam, baru saja Siau-hi-ji menyingkap kerai dan melongok sekejap ke dalam, seketika melongo terkesima.

Di bawah gemerlapnya cahaya lampu, seorang lelaki kekar bercambang berkopiah tampak duduk menghadap pintu, kedua tangannya memegang meja seperti orang hendak menubruk ke depan.

Waktu diteliti, terlihat alisnya tebal dan matanya melotot penuh hasrat membunuh, tertampak dari mata, mulut dan telinganya mengeluarkan darah, cuma noda darah itu sudah mengering, maka tidak terlihat jelas.

"Ah, kiranya orang ini juga sudah mati," ucap Siau-hi-ji.

"Dia pasti mati berbareng dengan kelima orang lainnya," ujar Kang Giok-long.

"Tetapi mayatnya mengapa masih utuh begini," kata Siau-hi-ji.

Giok-long memetik satu biji mutiara dari kerai pintu terus disambitkan ke tubuh lelaki godek itu, terdengar "tek" satu kali, mutiara itu terpental balik. Tubuh orang itu ternyata keras sebagai batu.

"Jangan-jangan ini cuma patung kayu saja," kata Siau-hi-ji.

"Bukan patung, tapi manusia dan sudah mati," lalu Kang Giok-long langsung menuju ke tempat tidur sana dan menyingkap kelambunya.

Di atas ranjang juga menggeletak sesosok tubuh perempuan, perempuan yang mahacantik. Tubuh juga utuh seperti orang hidup, sedikit pun tidak rusak. Kalau air mukanya tidak pucat menghijau sungguh boleh dikatakan wanita cantik yang sukar dicari bandingnya.

Sesungguhnya selama hidup Kang Giok-long juga tidak pernah melihat perempuan secantik itu, walau pun tahu orang mati, tidak urung ia pun agak terkesima memandangnya.

"Di waktu hidupnya entah berapa banyak lelaki yang terpikat olehnya," ujar Siau-hi-ji dengan gegetun. "Kalau dibandingkan perempuan ini, Siau Mi-mi paling-paling hanya dapat angka lima."

"Sungguh tak tersangka di dunia ini ada wanita secantik ini," Kang Giok-long juga gegetun.

"Cuma sayang dia sudah mati sangat lama."

"Ya, sedikitnya ada beberapa puluh tahun."

"Sungguh aku tidak paham, mengapa jenazahnya tetap utuh."

"Cara mati kedua orang ini berbeda dengan yang lain, tampaknya mereka mati oleh sejenis racun yang sangat aneh, kadar racun ini dapat membuat mayat mereka tidak membusuk dan tetap utuh," kata Giok-long setelah berpikir sejenak. "Ai, tampaknya perempuan ini sangat sayang akan wajah cantik sendiri... ya, memang juga pantas disayangi."

"Apakah maksudmu dia membunuh diri sendiri?" tanya Siau-hi-ji.

"Jika orang lain hendak membunuh dia, buat apa susah payah mencari racun yang begitu aneh."

"Ehm, masuk akal juga," kata Siau-hi-ji sambil mengangguk. "Cuma... bagaimana pula dengan lelaki cambang ini? Sudah mati berpuluh tahun orang ini masih begini gagah, waktu hidupnya tentu seorang tokoh pilihan."

"Mungkin dia adalah tuan rumah yang sesungguhnya," kata Giok-long.

"Betul, tampaknya dia memang mampu menciptakan hasil karya sehebat ini."

"Tetapi kalau kelima orang itu dibunuh olehnya, lalu cara bagaimana pula ia sendiri pun mati dan mengapa istrinya membunuh diri? Apa hubungannya dengan kelima orang itu? Untuk apa dia membuang tenaga dan biaya sebesar ini hanya untuk membangun istana di bawah tanah ini dan mengapa dia bersembunyi serahasia ini?"

"Pertanyaanmu ini membuat kepalaku menjadi pusing," kata Siau-hi-ji dengan tersenyum.

Meskipun kedua anak itu adalah manusia mahapintar, akan tetapi sampai pecah kepala mereka juga sukar memecahkan rahasia ini. Kendatipun kedua orang mempunyai empat mata, tapi siapa pun tidak melihat bahwa di samping bantal terdapat satu jilid buku kain sutra, jika mereka tidak melihat isi buku itu, maka selama hidup mereka jangan harap akan dapat memecahkan teka-teki istana bawah tanah ini.

Syukurlah akhirnya Siau-hi-ji dapat melihatnya. Cepat ia ambil buku itu dan membacanya dua-tiga halaman, mendadak ia berteriak, "Aha, ini dia... segala rahasianya berada di sini."

Buku itu penuh tertulis huruf-huruf kecil, gaya tulisannya yang lembut bagus itu jelas tulisan tangan orang perempuan.

Itulah kisah hidup perempuan mahacantik yang berbaring di ranjang itu, kisah yang asyik tapi juga tragis sehingga membuat orang sukar mempercayai pengalamannya itu.

Sebelum ajalnya perempuan cantik itu telah menyingkap seluruh rahasia yang menyangkut istana bawah tanah ini. Dengan sendirinya tulisannya bukan sengaja diperlihatkan kepada Siau-hi-ji, tapi ditujukan kepada siapa saja yang dapat melihatnya atau membacanya.

Perempuan itu hanya ingin membeberkan segenap isi hatinya sebelum ajalnya. Cuma waktu dia akan mati di sekitarnya sudah tiada manusia hidup lagi, terpaksa isi hatinya itu dituangkan dalam bentuk tulisan.

Menurut kisahnya, perempuan itu bernama Pui Leng-ki, berasal dari keluarga bahagia di daerah Kang-lam. Tapi ia sendiri ternyata tidak menikmati penghidupan yang bahagia.

Pada waktu berumur empat tahun ia ikut sang ibu menjenguk sanak keluarga di Sohciu, waktu mereka pulang, rumah mereka yang cukup megah itu telah berubah menjadi puing belaka. Berpuluh anggota keluarga mereka pun habis terbunuh.

Menghadapi musuh keji yang pasti akan babat rumput sampai akar-akarnya itu, terpaksa dia bersama ibunya memulai pelariannya, meski dia tidak menguraikan secara jelas kisah pelariannya ini, tapi dapat dibayangkan pasti mengalami pahit getir yang sukar dilukiskan.

Selama masa menderita itulah, akhirnya mereka dapat mengetahui nama musuhnya, yaitu Auyang Ting, "Tang-se-jin-kiat" (manusia ksatria jaman) Auyang Ting.

Musuh itu ternyata adalah pendekar besar yang paling termasyhur pada jaman itu, salah satu tokoh dunia silat yang paling tangguh dan seorang hartawan yang kaya raya. Dengan sendirinya juga salah seorang yang paling licin di dunia Kangouw.

Hidup sengsara mengembara kian kemari, meski mereka ibu dan anak juga memiliki sedikit ilmu silat, tapi untuk menuntut balas, ibaratnya telur membentur batu, jelas tidak mungkin tercapai. Dalam keadaan merana, akhirnya sang ibu jatuh sakit dan meninggal.

Tiga tahun kemudian, Pui Leng-ki akhirnya berhasil mendekati musuhnya karena dia telah diperistri oleh Auyang Ting. Terpaksa ia harus memperalat kecantikannya yang tiada taranya sebagai senjata untuk menuntut balas.

Tapi Auyang Ting ternyata mempunyai suatu kebiasaan aneh, yaitu tidak suka tidur bersama siapa pun, tanpa kecuali istrinya sendiri. Jadi sebagai istrinya ia pun tidak tahu sang suami itu suka tidur di mana?

"Tentu inilah Auyang Ting yang dimaksud," ucap Siau-hi-ji sambil memandang sekejap lelaki godek itu.

"Orang ini benar-benar tidak malu sebagai manusia ksatrianya jaman," kata Kang Giok-long dengan gegetun. "Biar pun Pui Leng-ki membencinya sampai ke tulang sumsumnya, tapi di bawah tulisannya tetap kelihatan rasa kagumnya kepada sang suami."

"Selekasnya kau pun akan menjadi Auyang Ting kedua, soal waktu saja," kata Siau-hi-ji.

Kang Giok-long tidak berani menanggapinya, ia membelokkan pokok pembicaraannya dan berkata pula, "Sungguh aneh, kalau Auyang Ting cukup ternama dan berkedudukan, untuk apa dia membangun istana di bawah tanah ini? Urusan apa yang membuatnya bertekad mengeram di tempat yang terasing dari dunia luar ini?"

"Baca saja lebih lanjut tentu semuanya akan ketahuan," ujar Siau-hi-ji dan mereka pun membaca pula buku tadi....

Menurut catatan Pui Leng-ki, demi membangun istana bawah tanah ini entah betapa banyak tenaga dan pikiran yang telah dicurahkan oleh Auyang Ting. Sedikitnya tiga bulan dalam setahun Auyang Ting mengawasi sendiri pembangunan istana ini.

Sesudah istana ini selesai dibangun, entah dengan cara bagaimana Auyang Ting menipu datang lima tokoh ilmu silat yang paling terkemuka pada jaman itu, ia berhasil membujuk mereka agar bersama-sama menciptakan sejenis ilmu silat yang tiada taranya dan tiada bandingannya dengan alasan kalau ilmu silat ciptaan mereka itu diturunkan pada angkatan selanjutnya, maka nama mereka pasti akan terukir dengan harum sepanjang jaman.

"Meninggalkan nama harum sepanjang jaman", bujukan ini benar-benar mengetuk hati sanubari kelima tokoh itu, dengan gabungan daya cipta dan pengalaman mereka berlima, bersama-sama mereka lantas mencari dan menggali rahasia paling tinggi dari intisarinya ilmu silat. Tetapi sama sekali tak terpikir oleh mereka bahwa pada hari berhasilnya mereka juga merupakan hari ajal mereka.

Seterusnya Pui Leng-ki mencatat:

"Setelah pindah ke istana bawah tanah ini dia tidak tidur sendirian lagi, sebab sedikit pun dia tidak mencurigai diriku, sama sekali tak terpikir olehnya bahwa aku adalah musuhnya. Meski aku sudah ada kesempatan untuk turun tangan, tapi sejauh itu belum kulakukan. Aku masih harus menunggu. Ingin kutunggu bila dia sudah mencapai puncak kejayaannya barulah akan kubinasakan dia.

"Karena namanya termasyhur, hidupnya mewah, dengan sendirinya banyak juga kawan yang suka menjilat dan menyanjungnya, hidupnya yang serba kecukupan ini seharusnya membuatnya puas. Akan tetapi dia ternyata masih mempunyai ambisi lain lagi, ia ingin memiliki kepandaian yang tertinggi, yang tiada tandingannya di kolong langit ini, yang nomor satu di dunia. Oleh sebab itulah dengan segala tipu daya ia telah menipu kedatangan kelima tokoh top dunia persilatan itu.

"Sungguh kasihan kelima tokoh yang di dunia Kangouw terkenal sebagai 'Thian-he-ngo-coat' (lima top di dunia) itu harus menjadi korban ambisi gilanya itu. Soalnya kelima orang itu masing-masing juga mempunyai kelemahan, mencengkeram titik kelemahan orang adalah kepandaiannya yang khas, apa lagi tipu muslihatnya, soalnya Auyang Ting terkenal sebagai pendekar budiman, ksatria yang suka menolong.

"Begitulah Auyang Ting sudah mempunyai rencana membunuh kelima tokoh itu, meski aku tidak tahu bagaimana rencananya, tapi tipu keji Auyang Thing selamanya sangat sempurna, biar pun aku bermaksud membongkar muslihat kejinya itu, tapi sukar memperoleh buktinya, andaikan kubeberkan juga orang takkan percaya. Makanya aku tidak berani sembarangan bertindak, terpaksa aku hanya menunggu saatnya dia mencapai hasilnya saja.

"Kini sudah dekat dengan hari suksesnya yang ditunggu-tunggu itu, tampaknya dia akan menjadi manusia super yang belum pernah dicapai siapa pun juga selama ini. Dan kini yang sudah menunggunya adalah secangkir arak, arak beracun. Aku harus minum bersama dia...."

Sampai di sini Siau-hi-ji menjadi terharu sehingga matanya basah, mendadak ia lemparkan buku itu dan berkata, "Untuk apa dia mencatat semua ini sehingga orang yang membacanya juga merasa sedih, sungguh membikin celaka orang saja.... Ai, perempuan, dasar perempuan!"

"Manusia super, ksatria terbesar sepanjang jaman...." tiba-tiba Giok-long bergumam seperti orang linglung. "Tapi, ai, sayang, sungguh sayang!"

Sambil memandangi Auyang Ting yang sudah tak bernyawa itu, Siau-hi-ji berkata, "Setelah membunuh kelima tokoh itu dan selagi hendak minum arak bersama sang istri tercinta untuk merayakan hasil gemilangnya, tak tahunya arak bahagia yang diminum ternyata arak beracun.... Hah, sungguh lucu, sungguh menarik!"

"Pui Leng-ki itu pun orang yang luar biasa," ujar Kang Giok-long dengan gegetun. "Sebenarnya sudah cukup baginya bila dia berhasil menuntut balas, untuk apa dia mesti mati bersama musuhnya?"

"Kan sudah kukatakan sejak mula bahwa hati perempuan paling sukar diraba," ucap Siau-hi-ji menguap kemalasan. "Jika ada lelaki yang sengaja hendak menyelami jalan pikiran perempuan, maka orang itu kalau bukan orang tolol tentulah orang sinting."

Tiba-tiba Kang Giok-long menjemput kembali buku tadi dan membacanya pula, ia bergumam mengulang suatu kalimat di dalam buku itu, "Sedikit pun dia tidak menaruh curiga padaku.... Ai, dapat dibayangkan Auyang Ting itu pasti sangat mencintai istrinya, sebaliknya Pui Leng-ki pasti juga terguncang perasaannya setelah menjadi suami istri sekian lamanya. Tokoh ksatria begitu, biar pun dibenci perempuan juga tetap membuat kagum orang perempuan...."

"Ah, dasar perempuan...." gumam Siau-hi-ji.

"Namun Pui Leng-ki tetap bertekad membunuh Auyang Ting, setelah membunuhnya dia sendiri juga menderita, maka terpaksa ia ikut mati bersamanya, sebab ia merasa tidak sanggup hidup lagi sendirian," Giok-long menghela napas panjang, lalu menyambung pula, "Kisah Pui Leng-ki dengan Auyang Ting ini banyak miripnya dengan kisah Sesi dengan Go-ong (di jaman Cunciu), antara dendam dan kepentingan negara dengan cinta pribadi, pilih yang mana? Mungkin tak banyak orang yang mampu memecahkan soal ini dengan bijaksana."

Siau-hi-ji memandang Kang Giok-long dengan tak berkedip, mendadak ia tertawa dan berkata, "Terkadang aku heran, entah kau ini lelaki atau perempuan?"

Giok-long melengak, tapi cepat menjawab dengan tertawa, "Masa engkau tidak tahu aku lelaki atau perempuan?"

"Sudah tentu kau lelaki, tapi juga mirip perempuan," ujar Siau-hi-ji.

"Aku... aku mirip perempuan?"

"Ya, terkadang hatimu keji dan tanganmu ganas, tidak kenal kawan tanpa peduli keluarga. Tapi ada kalanya kau pun berubah menjadi alim, berperasaan dan baik hati. Jarang lelaki yang berhati begitu, hanya hati perempuan saja yang dapat berubah sebanyak dan secepat itu," Siau-hi-ji bergelak tertawa, lalu menyambung pula, "Jika telingaku tidak mendengar sendiri kau dipanggil Siau-sik-kui (setan cilik penggemar perempuan) oleh Siau Mi-mi, bisa jadi aku akan mengira kau ini orang perempuan menyamar sebagai lelaki...."

"Betul, aku dapat menjadi saksi baginya bahwa sekujur badannya, setiap senti, setiap mili, sepenuhnya adalah tubuh lelaki, sedikit pun tidak palsu!" mendadak seorang menanggapi dengan tertawa genit.

Suara tertawa genit begitu jelas sudah sangat dikenal mereka, siapa lagi dia kalau bukan Siau Mi-mi.

Seketika ruas tulang Siau-hi-ji serasa terlepas semua, badan menjadi lemas lunglai, segera dirasakannya sepotong benda runcing dingin menempel di kuduknya.

"Jangan bergerak, sayang, jangan menoleh!" terdengar Siau Mi-mi berkata pula dengan suara lembut. Lalu ia memanggil Kang Giok-long yang ketakutan itu, "Kemarilah Giok-long.... Nah, beginilah, kau memang anak penurut. Sekarang kau pun membalik ke sana, berdiri berjajar dengan dia."

Siau-hi-ji berharap Kang Giok-long jangan terlalu penurut, diharapkan dia melakukan sedikit pembangkangan, dengan demikian Siau-hi-ji akan sempat mengeluarkan air berbisa dari bajunya.

Akan tetapi Kang Giok-long yang sialan itu justru sangat penurut, dengan tunduk kepala dan tangan lurus ia menuruti semua perintah Siau Mimi, isyarat yang diberikan Siau-hi-ji dianggap sepi olehnya.

Diam-diam Siau-hi-ji mendongkol dan geregetan, tapi apa daya, kuduknya terancam pedang, biar pun mempunyai seribu satu upaya juga tak bisa berkutik. Namun dia juga tidak putus asa, ia tetap menantikan kesempatan baik, asalkan dia sempat mengeluarkan air berbisa itu atau bumbung jarum, maka Siau Mi-mi pasti dapat dibereskan.

Sungguh celaka tiga belas, yang dibereskan ternyata bukan Siau Mi-mi melainkan Siau-hi-ji sendiri. Tiba-tiba Siau Mi-mi menggagapi baju anak muda itu sehingga semua isi diambilnya.

"Wah, setan cilik, banyak juga barangmu, ada Tau-kut-ciam, ada Ngok-tok-cui, untung aku tidak lengah, kalau tidak pasti celakalah aku," kata Siau Mi-mi dengan tertawa.

"Yang celaka sekarang kan aku," ucap Siau-hi-ji sambil menghela napas.

"Juga tidak terlalu celaka, sementara ini belum akan kubunuhmu," kata Siau Mi-mi dengan tertawa dan mendadak ia tarik tangan kanan Siau-hi-ji dan tangan kiri Kang Giok-long, lalu menyambung pula, "Kalian adalah sahabat baik, silakan berjabat tangan...."

Siau-hi-ji merasa tangan Kang Giok-long itu sedingin es dan gemetar serta penuh keringat dingin. Padahal tangannya sendiri juga begitu.

"Klik" mendadak tangan mereka itu telah bertambah dengan sebuah borgol yang hitam dan berat, tangan mereka terbelenggu menjadi satu.

Dengan tertawa nyaring lalu Siau Mi-mi berputar ke depan mereka, dengan kerlingan genit dan tertawa kenes ia memandangi kedua anak muda itu, katanya dengan suara lembut, "Sekarang kalian benar-benar sahabat karib sehidup semati, tiada satu pun yang meninggalkan yang lain."

"Sekarang aku justru berharap dia benar adalah perempuan," ujar Siau-hi-ji dengan menyengir.

"Sungguh aku suka padamu," kata Siau Mi-mi pula, "Dalam keadaan begini kau masih dapat berkelakar, rasanya di dunia ini tidak banyak orang macam dirimu. Sebenarnya, belenggu ini memang disediakan untuk seorang lelaki dan seorang perempuan."

Dia meraba-raba pipi Siau-hi-ji dengan penuh gairah, lalu berkata pula, "Apakah kau tahu nama belenggu ini? Belenggu cinta, inilah namanya, kau harus tahu bahwa selamanya tiada orang yang mampu membuka belenggu cinta."

"Belenggu cinta?" Siau-hi-ji menegas dan gegetun, "Kenapa tidak dibelenggu bersamamu saja?!"

Tapi Siau Mi-mi lantas meraba-raba pipi Kang Giok-long pula, katanya dengan suara halus, "Sayangku, jangan takut, jangan gentar, jika tiada kau, tentu aku tidak tahu di bawah tanah sini masih ada tempat pesiar seindah ini. Sungguh aku harus berterima kasih padamu."

"Cara... cara bagaimana kau masuk ke sini?" tanya Giok-long.

"Kalian heran bukan?" Siau Mi-mi tertawa.

"Setan yang tidak heran," omel Siau-hi-ji.

"Anak-anak yang pintar, mengapa mendadak kalian berubah menjadi bodoh?" Siau Mi-mi berseloroh. "Pikirkanlah, kalian sedemikian baik padaku, mana aku tega membikin kalian mati pengap?"

"O, jadi... jadi maksudmu ingin membunuh kami dengan tanganmu sendiri, begitu?" kata Giok-long.

"Sedikitnya aku kan harus menyaksikan kematian kalian barulah hatiku merasa lega," jawab Siau Mi-mi.

"Ah, aku... aku salah," ucap Giok-long tertunduk.

"Kau memang salah," kata Siau Mi-mi. "Seharusnya kau pikirkan apa bila aku tidak tahu jelas kalian berdua anak pintar ini masih hidup atau sudah mati, mana aku dapat makan dengan enak dan tidur dengan nyenyak?"

"Aku tidak paham...." kata Siau-hi-ji.

"Tidak paham apa? Jelas kalian sembunyi di bawah tanah dan aku tidak tahu keadaan di bawah, jika kumasuk begitu saja mustahil aku takkan mampus dijebak kalian?" Siau Mi-mi menghela napas, lalu menyambung pula, "Cara kalian terhadapku tentu tidak sebaik caraku terhadap kalian."

"Kau memang baik, makanya sengaja kau bikin kami mati sesak," ucap Siau-hi-ji.

"Kukira kalian belum tentu mati pengap, tapi sedikitnya akan membikin kalian lengah dan tidak berjaga-jaga lagi terhadap diriku," ujar Siau Mi-mi. "Kalian pasti mengira bila aku toh ingin mematikan kalian tentunya aku takkan masuk lagi ke bawah sini untuk melihat kalian. Betul tidak?"

"Tapi bisa jadi kami akan mati sesak," kata Siau-hi-ji.

"Jika kalian benar-benar mati sesak, kan aku juga perlu menguburkan kalian," kata Siau Mi-mi dengan tersenyum genit. "Memang begitulah sifatku, sekali berbuat tidak boleh tanggung-tanggung. Apa lagi kalian adalah anak-anak kesayanganku."

"Sekarang baru kutahu, adalah malang bagi seorang yang tidak jadi mati pengap, apa lagi bila dia disukai oleh perempuan, maka dia akan tambah sial," kata Siau-hi-ji.

"Ucapanmu sungguh lucu, sungguh menggelikan," kata Siau Mi-mi dengan tertawa ngikik. "Lain kali akan kuberitahukan kepada siapa pun bahwa orang yang dibenci adalah bahagia dan mujur bila mati pengap."

Dengan lagak seperti terpingkal-pingkal hingga hampir tak dapat bernapas, lalu Siau Mi-mi melanjutkan pula, "Sungguh aku ingin tahu setelah orang mendengar ceritaku ini entah bagaimana perasaan dan mimik wajahnya, mungkin dia akan... akan mengira aku ini orang gila."

"Haha, memangnya kau sangka kau orang waras?" kata Siau-hi-ji dengan tertawa.

Tampaknya ia sengaja memancing kemarahan Siau Mi-mi. Soalnya dia sudah kehabisan akal, ia tidak tahu apakah masih ada kesempatan untuk lolos. Sebenarnya ia bukan orang yang mudah menyerah pada nasib, tapi kalau menurut keadaan sekarang, betapa pun ia sudah putus harapan sama sekali. Makanya ia pikir harus membuat Siau Mi-mi marah, dengan begitu mungkin keadaan akan berubah.

Sialnya Siau Mi-mi sama sekali tidak naik pitam, hakikatnya ia tidak ambil pusing terhadap ocehan Siau-hi-ji, seluruh perhatiannya kini dicurahkan kepada barang-barang yang terdapat di kamar ini.

Ia mulai memeriksa dan menggeledah setiap pelosok kamar itu, betapa teliti cara memeriksanya dapat digambarkan seperti istri yang suka cemburu sedang menggeledah saku baju suaminya.

Tidak lama kemudian tiba-tiba wajahnya bercahaya, matanya juga bersinar. Sebab akhirnya ia menemukan apa yang ingin dicarinya. Yaitu buku kain sutera kekuning-kuningan itu yang berisi intisari ilmu silat ciptaan bersama kelima top jago silat itu.

Dia pegang kencang-kencang buku itu dan dipeluknya dengan kegirangan, lalu diciumnya dengan mesra dan ditempelkannya ke pipi seperti seorang kekasih yang lagi main cinta. Dia tertawa, tertawa ngikik terus-menerus, lalu bergumam, "O, jantung hatiku, setelah kumiliki dikau, apa pula yang perlu kutakuti...?. Eh, selanjutnya siapakah tokoh nomor satu di dunia? Tahukah kalian.... Dia bukan lain daripada diriku ini, nona Siau"

Sambil melototi kitab pusaka di tangan Siau Mi-mi, mata Kang Giok-long yang merah itu seakan-akan menyala.

Siau Mi-mi colek pipi Giok-long, katanya dengan terkikik, "Bicara sejujurnya aku harus berterima kasih juga kepada kalian. Jika tiada kalian, mana bisa aku menemukan si 'dia' ini?"

Dengan berlenggang menggiurkan ia membalik tubuh, gayanya seperti benar-benar lebih muda belasan tahun. Lalu ia berkata pula, "Kini, ayolah kalian jadi penunjuk jalanku, bawalah aku meninjau setiap tempat di sini, kukira barang-barang itu memang ditakdirkan bagiku, kalau aku tidak menerimanya bisa jadi kau akan kualat."

Padahal Siau Mi-mi sendiri juga tidak menyangka barang-barang yang "ditakdirkan untuknya" ini berjumlah sebanyak ini, ia sampai tidak percaya pada matanya sendiri.

Dengan tertawa ia meraba setiap benda yang dilihatnya, ucapnya dengan suara lembut, "O, sayangku, tinggal di sini dan tunggulah aku, kini kalian telah menjadi milikku. Kuyakin kalian pasti gembira mempunyai majikan seperti diriku."

Setelah memeriksa setiap kamar rahasia itu, kemudian Siau Mi-mi memandangi Siau-hi-ji dan Kang Giok-long dengan genit, katanya, "Anak sayang, tahukah kalian mengapa sampai sekarang tidak kubunuh kalian?"

Siau-hi-ji memandang dinding kamar yang masih utuh itu seperti tak dengar apa yang dikatakan Siau Mi-mi, sedangkan wajah Kang Giok-long pucat pasi, sama sekali ia tidak sanggup bicara lagi.

"Terus terang, suruh berputar sendirian di tempat setan ini, betapa pun aku juga takut, sebab itulah, makanya kutahan kalian untuk menemani aku," ucap Siau Mi-mi pula.

Kang Giok-long menggigit bibir, mukanya bertambah pucat.

Siau Mi-mi memandang Siau-hi-ji sekejap, lalu. berkata pula. "Kini tugas kalian telah selesai, kalian sudah terikat menjadi satu, untuk menerobos keluar lagi melalui terowongan itu kukira juga sulit, maka lebih baik kalian tinggal saja di sini."

Bibir Kang Giok-long sampai pecah tergigit, air mata pun bercucuran.

"Jangan menangis, anak manis," bujuk Siau Mimi dengan suara mesra, "Aku takkan menyakiti kalian, takkan kusiksa kalian, pasti akan kubikin kalian mati dengan enak, betapa pun kalian juga telah berbuat baik bagiku, begitu kan?"

Mendadak Kang Giok-long bertekuk lutut dan berkata dengan suara gemetar, "Kumohon... mohon dengan sangat, ampunilah jiwaku, janganlah membunuhku, selama hidup kurela menjadi budakmu, apa pun kusanggup berbuat bagimu...."

"Sangat menyesal, hanya urusan ini tak dapat kuterima permohonanmu," jawab Siau Mi-mi. "Selain itu, kalian menghendaki mati cara bagaimana bolehlah kalian pilih sendiri dan pasti akan kululuskan." Ia memandang sekejap pula ke arah Siau-hi-ji dan menambahkan lagi, "Kau dengar tidak, Siau-hi-ji?"

Akan tetapi Siau-hi-ji masih memandangi dinding tanah itu dan menjawab dengan tak acuh, "Ehm, apa?"

"Ada satu cara mati yang paling enak dan khas akan kusarankan bagi kalian, entah kalian dapat menerima atau tidak?" ucap Siau Mi-mi.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar