Pendekar Binal Jilid 31

Pendekar Binal
Gu Long (Khu Lung)
-------------------------------
----------------------------
Sekonyong-konyong terdengar suara orang tertawa dan berkata, "Haha, tidak tersangka saudara ini adalah kawan sepaham tuan rumah di sini."

Meski suara itu bernada lelaki, tapi perlahan dan halus mirip suara perempuan pula.

Cepat Siau-hi-ji berpaling, namun tiada nampak seorang pun, segera ia membentak, "Siapa? Di mana kau?"

"Kau tidak dapat melihat diriku, tapi aku dapat melihat dirimu," ucap suara itu dengan tertawa.

Meski tidak nampak seorang pun, tapi Siau-hi-ji melihat sebuah pintu lagi, segera ia menerobos ke sana, di balik pintu ternyata sebuah ruang duduk pula. Di tengah ruangan ada sebuah meja, di atas meja tertaruh sebuah mangkuk besar warna biru langit. Bau sedap yang membuat ngiler Siau-hi-ji tadi ternyata teruar dari mangkuk ini.

Memang benar, isi mangkuk itu adalah seekor ayam goreng saus. Keruan mata Siau-hi-ji melotot, seketika dan berulang-ulang menelan air liur.

Terdengar suara tadi bergema pula dari sudut lain, katanya dengan perlahan, "Kang Hi, Ang-sio-keh itu sangat empuk dan lezat, khusus di sediakan untukmu."

Tergetar tubuh Siau-hi-ji, teriaknya, "He, dari... dari mana kau tahu namaku?"

"Tuan rumah di sini serba tahu segalanya," ucap suara itu dengan tertawa.

Siau-hi-ji melengak dan menyurut mundur dua langkah, katanya kemudian, "Sesungguhnya-apa yang kalian kehendaki atas diriku?

"Besar sekali nyalimu kau berani menerobos ke sini," kata suara itu. "Tapi kalau kau benar-benar pemberani, ayolah makan ayam goreng itu, berani?"

Dengan melotot Siau-hi-ji pandang ayam goreng itu, jelas ayam goreng itu sangat menarik, empuk, sedap, sungguh membuatnya meneteskan air liur. Tapi bagaimana akibatnya setelah makan ayam goreng itu? Mati? Atau bisa pingsan? Atau menjadi gila?

Tapi biar pun dia tidak makan ayam goreng itu, lalu bisa apa lagi.

Mendadak ia bergelak tertawa dan berseru, "Hahaha, kau kira aku tidak berani makan?" Habis itu, tanpa pikir lagi ia terus ambil santapan lezat itu, seekor ayam goreng itu dimakannya habis bersih.

"Bagus, besar nyalimu!" kata suara itu.

Siau-hi-ji gosok-gosok tangannya yang berlepotan saus itu pada celananya, lalu berkata dengan tertawa, "Apa yang kutakuti? Seumpama kalian bukan manusia, semisal ayam goreng ini beracun. Semuanya bukan soal bagiku. Jika kalian setan, kalau kumati keracunan kan juga akan menjadi setan? Apa lagi kalau kalian inginkan kematianku aku juga masih banyak jalan lain, buat apa mesti susah payah menyuguh ayam goreng padaku?" Biar di mulut ia bicara seenaknya, tapi di dalam hati sebenarnya juga khawatir. Ia merasa lawan ini sangat menakutkan, soalnya ia tidak jelas siapakah pihak lawan dan juga tidak tahu apa maksud tujuan mereka. Yang lebih aneh adalah mereka tahu nama dirinya.

"Memangnya kau kira ayam goreng itu tidak beracun?" terdengar suara tadi berkata pula.

"Jadi ayam goreng ini beracun?"Siau-hi-ji sengaja tertawa. Tapi baru saja ia tertawa beberapa kali, mendadak ia benar-benar roboh terkulai tak sadarkan diri.

Namun Siau-hi-ji tidak mati, orang macam dia ini tidaklah mudah mati, waktu dia siuman, terasa seluruh tubuh lemas lunglai tanpa tenaga sedikit pun. Keadaan gelap gulita, apa pun tak terlihat dan tak terdengar sesuatu suara.

Dalam kegelapan ia berbaring dengan tenang, apa pun tak dipikirkan lagi. Semua pengalamannya itu toh sukar dipecahkan, kalau dipikirkan kepala bisa pusing malah.

Akhirnya terdengarlah suara dalam kegelapan. Tetap suara yang halus itu dan sedang menegurnya, "Kang Hi, kau sudah mendusin."

"Ehm," dengus Siau-hi-ji.

"Tahukah saat ini kau sudah mati atau masih hidup? Tahukah saat ini kau berada di mana dan tahukah cara bagaimana kau akan kami perlakukan?"

"Tidak, tidak tahu, semuanya tidak tahu."

"Habis apa saja yang kau ketahui? Jadi kau mengaku tidak tahu segalanya? Haha, bagus, bagus! Seorang yang berani mengakui kepicikannya, betapa pun masih terhitung pintar juga."

Siau-hi-ji tidak menanggapi, memang tiada sesuatu yang dapat dikatakan lagi.

"Sekarang coba pentang matamu lebar-lebar, tunggu dan lihatlah!" baru habis ucapan itu, sekonyong-konyong cahaya terang benderang.

Siau-hi-ji mendapatkan dirinya masih rebah di tempat tadi, tapi di kursi sekitarnya entah sejak kapan sudah duduk tujuh atau delapan orang.

Beberapa orang itu sama memakai jubah panjang yang longgar dan lemas, paling tua usianya baru likuran, semuanya berwajah putih bersih. Meski mereka lelaki semuanya, tapi tampaknya mirip perempuan, setiap orang duduk bermalas-malasan seperti habis kerja keras. Semuanya memandang Siau-hi-ji dengan menyengir.

"Kalian tuan rumah di sini?" tanya Siau-hi-ji.

Serentak beberapa orang itu menggeleng.

"Jadi kalian bukan tuan rumah di sini?"

Kembali orang-orang itu mengangguk bersama.

Orang-orang itu sama-sama lemas tak bertenaga seakan-akan tubuh mereka tak bertulang lagi. Meski masih hidup, tapi tidak berbeda banyak dengan orang mati.

"Siapakah sebenarnya majikan kalian? Mengapa tidak menemuiku? Jika dia bukan lelaki bukan perempuan seperti kalian dan mirip orang hampir mampus, huh, percuma juga aku menemui dia."

Orang-orang itu tidak marah, mereka masih tetap memandang Siau-hi-ji dengan tertawa. Seorang di antaranya membuka suara, "Jangan kau mengejek kami, tiga bulan kemudian kau juga akan berubah seperti kami ini."

"Huh, persetan, omong kosong!" dengus Siau-hi-ji.

"Kau tidak percaya? Lihat saja nanti, biar pun kau bertubuh sekuat baja juga takkan sanggup meladeni dia," kata orang itu dengan tertawa.

"Dia? Dia siapa?" tanya Siau-hi-ji.

"Dia adalah ratu kami," jawab orang itu.

"Ratu? Siapa ratu kalian?"

Tiba-tiba suara nyaring merdu genit menukasnya, "Akulah Ratu di sini!"

Suara itu seperti sudah dikenal baik oleh Siau-hi-ji. Cepat ia menoleh, maka tertampaklah orang yang bersuara itu, siapa lagi dia kalau bukan si nyonya muda bergaun hijau yang baru saja "mati terbakar" hidup-hidup itu.

Seketika Siau-hi-ji melongo terkesima, matanya terbelalak sebesar telur.

"Orang paling pintar di dunia ini, benarkah tiada seorang pun yang mampu menipu kau?" demikian nyonya jelita itu berseloroh sambil menatap mesra Siau-hi-ji.

Sejenak pula Siau-hi-ji terkesima memandangi nyonya muda itu, katanya kemudian, "Pantas mayat kedua orang itu lenyap tanpa bekas, pantas kau bisa menemukan jalan masuk lorong bawah tanah itu, kiranya kau sendiri adalah tuan rumah di sini. Kau... kau memang telah berhasil menipu aku."

"Sekarang kau mengaku kalah?"

"Ya, aku mengaku kalah. Sudah kukatakan bahwa kau adalah siluman perempuan yang menipu mati orang tanpa ganti nyawa, cuma tak terpikir olehku bahwa kau ini siluman yang timbul dari bawah tanah."

Tubuh nyonya jelita itu berputar gemulai dan meliukkan pinggang, katanya dengan tertawa, "Bagaimana pendapatmu atas istanaku ini?"

"Hebat, sungguh hebat," jawab Siau-hi-ji.

"Bagaimana pandanganmu atas para selirku ini?" tanya pula si nyonya sambil mengerling genit.

Mata Siau-hi-ji melotot kaget, ia menegas, "Selir...?. Maksudmu... mereka ini selirmu?"

Si nyonya tertawa cekikik-kikik, jawabnya, "Ya, kalau lelaki boleh punya beberapa bini dan satu rombongan gundik, kenapa perempuan tidak boleh?"

"O, ya, boleh, tentu boleh...." Siau-hi-ji meringis serba runyam. Mendadak ia melotot pula dan berseru, "He, jangan-jangan... jangan-jangan... kau pun akan menjadikan diriku sebagai... sebagai selirmu?"

Si nyonya gaun hijau memandangnya lekat-lekat, jawabnya dengan tersenyum, "Tidak!"

Tentu saja Siau-hi-ji merasa lega. Tapi tiba-tiba si nyonya jelita menyambung pula dengan suara lembut, "Kau akan kujadikan permaisuriku!"

Sampai sekian lama Siau-hi-ji melenggong. Mendadak ia tertawa keras, terpingkal-pingkal hingga perutnya mulas dan hampir tak dapat bernapas. Selama hidupnya belum pernah dia tertawa geli begini.

"Kau sangat gembira?" tanya si nyonya.

"Gembira, ya gembira sekali!" seru Siau-hi-ji. "Urusan gila macam apa pun pernah kubayangkan, tapi mimpi pun tak pernah kupikir bahwa pada suatu hari aku akan menjadi permaisuri."

"Kau tidak sudi?" tanya si nyonya genit.

"Mengapa aku tidak sudi?" tukas Siau-hi-ji dengan terbelalak. "Berapa lelaki di dunia ini dapat menjadi permaisuri?"

Mendadak ia duduk di atas meja dan berteriak kepada beberapa orang linglung tadi, "Hai, lekas kalian menyembah kepada Yang Mulia Permaisuri baru kalian!"

Beberapa lelaki linglung tadi saling pandang dengan bingung, tapi akhirnya mereka pun mendekati anak muda itu.

"Cukup menjura tiga kali saja, tidak perlu banyak-banyak," kata Siau-hi-ji.

Para pemuda linglung tadi berpaling ke arah si nyonya gaun hijau, tampak nyonya itu mengangguk dengan tertawa, maka mau tak mau mereka pun menjura dan menyembah.

"Habis menyembah sang permaisuri bolehlah kalian keluar saja," kata Siau-hi-ji. "Sekarang aku ingin minum arak bersama Sri Baginda Ratu. Nah, lekas keluar.... Para selir jangan sekali-kali bersaing dengan sang permaisuri jika kepala kalian tidak ingin dipenggal."

Para pemuda linglung tadi memandang Siau-hi-ji dengan terkesima, tampaknya mereka benar-benar ketakutan, mendadak mereka munduk-munduk dan meninggalkan ruangan itu.

"Hebat, sungguh hebat, enak juga rasanya menjadi permaisuri!" ucap Siau-hi-ji sambil berkeplok gembira.

Nyonya bergaun hijau tertawa geli, katanya kemudian, "Sungguh menarik kau setan cilik ini. sudah belasan tahun kutinggal di sini, tapi belum pernah segembira sekarang ini."

"Mulai sekarang, setiap hari akan kubuat kau bergembira, biar pun kau sendiri berjuluk 'Bi-si-jin-put-pwe-beng' (memikat orang sampai mati juga tidak perlu ganti nyawa), aku akan selalu memikat kau sampai mati."

Mendadak nyonya genit itu tidak tertawa lagi, matanya melotot, ia tanya, "He, dari... dari mana kau tahu julukanku?"

"Bukan saja kutahu julukanmu, bahkan kutahu kau bernama Siau Mi-mi kau pun termasuk satu di antara ke-10 top maha penjahat," ucap Siau-hi-ji dengan tertawa. "Meski kau kelihatan masih cantik dan genit, tapi sebenarnya usiamu sudah 40-50 tahun. Tapi jangan khawatir, aku takkan mencela kau sudah tua? Tua keladi, makin tua makin mendidih!"

Sekaligus anak muda itu mengucapkan serentetan asal-usul orang, seketika nyonya gaun hijau jadi melenggong.

Segera Siau-hi-ji menambahkan pula, "Ayolah, jangan cuma berdiri melongo saja, waktu adalah emas, lekas kemari bermesraan dengan daku sang permaisuri ini."

Nyonya itu memandangnya lekat-lekat, katanya kemudian, "Kau hanya keliru mengucapkan satu hal."

"O, apa?" tanya Siau-hi-ji.

"Usiaku tahun ini baru 37," kata si nyonya.

"Bukan soal, seumpama umurmu baru 17 juga boleh, jangan bicara soal umur dengan kaum wanita, semboyan ini sudah kupahami sejak kecil."

"Salah ucap dalam hal lain tidak menjadi soal, tapi kalau kau salah omong tentang usia perempuan, maka dia pasti takkan mengampuni kau."

"Hal lain juga takkan salah kuucapkan."

"Betul, hal lain memang tidak salah kau ucapkan aku inilah Siau Mi-mi," kata si nyonya genit sambil mendekati Siau-hi-ji, tangannya yang putih halus itu lantas merangkul bahu sang "permaisuri", lalu bertanya pula dengan tertawa manis, "Tapi dari... dari manakah kau mengetahui akan seluk-beluk diriku?"

Tangan yang halus disertai tawa menggiurkan. Tapi di balik tertawa itu terkandung hasrat membunuh dan tangan yang putih mulus itu pun dapat membinasakan orang dalam waktu sekejap, semua ini pun diketahui Siau-hi-ji. Tapi dia justru pura-pura tidak tahu, dengan tertawa ia menjawab, "Aku sudah tahu siapa kau ini, tapi apakah kau tahu siapa aku?

Siau Mi-mi si ahli pikat, tampak berpikir dengan mengerling genit, katanya, "Kau ...?."

"Jika Cap-toa-ok-jin juga mempunyai seorang sahabat, maka orang itu ialah diriku, Kang Hi, Kang Siau-hi."

"Kau... kau berani mengaku sebagai sahabat Cap-toa-ok-jin?"

"Memangnya kau sangka aku ini orang baik?"

"Dengan sendirinya kau ini bukan orang baik-baik, tapi kau masih kecil, masih hijau, mana pantas menjadi Ok-jin (orang jahat). Kukira kau ini mungkin... mungkin utusan siluman tua bangka itu, betul tidak? Kalau tidak, dari mana kau kenal akan diriku?"

"Aku memang kenal beberapa biji Lo-yau-koay (siluman tua)," jawab Siau-hi-ji.

"Berapa biji?" tanya Siau Mi-mi.

Siau-hi-ji berkedip-kedip, mendadak ia bergelak tertawa dan berkata, "Haha, caramu menikam harus sedemikian rupa sehingga pisaumu sudah bersarang di tubuh lawanmu juga masih belum dirasakannya, hahaha.... He, harus hati-hati caramu menyembelihnya, terlalu banyak mengalirkan darah dagingnya akan terasa kecut.... Hm, bunuh saja dan tidak perlu banyak cincong.... Ai, kau manusia banci ini.... Hihi, sudikah engkau padaku...."

Begitulah Siau-hi-ji menirukan cara bicara Ha-ha-ji, Li Toa-jui, Toh Sat, Im Kiu-yu dan To Kiau-kiau, bukan saja suaranya sama, bahkan lagak lagunya juga persis.

Siau- Mi-mi terbelalak, katanya kemudian dengan tertawa genit, "Kau setan cilik ini benar-benar kenal mereka? Cara bagaimana kau bisa kenal mereka?"

"Sejak kecil aku dibesarkan di Ok-jin-kok."

Segera Siau Mi-mi menurunkan tangannya, katanya sambil berkeplok tertawa, "Pantas, makanya kau pun berubah menjadi setan cilik, kiranya kau dibesarkan bersama mereka.... Eh, apakah mereka sering membicarakanku?"

"Ya," jawab Siau-hi-ji. "Bagaimana kata mereka?"

"Mereka berpesan padaku apa bila bertemu dengan kau harus hati-hati agar jangan sampai terpikat olehmu. Mereka bilang engkau tidak kenal lawan atau kawan, keluarga atau bukan, asal ketemu orang lantas memikat."

"Buset! Kau percaya ocehan mereka?" Siau Mi-mi terkikik genit.

Dengan memicingkan mata Siau-hi-ji menjawab, "Dapat berjumpa dengan orang seperti kau, biar pun mati terpikat juga aku rela."

"Ai, setan cilik, bisa jadi aku yang akan mati terpikat oleh mulutmu yang manis ini."

"Dan sekarang bolehkah kau mengajak minum arak bersamaku?" kata Siau-hi-ji dengan tertawa.

Waktu arak disuguhkan, yang melayani ternyata seorang anak.

Anak ini berwajah bersih, tapi rada kurus dan pucat seperti anak kurang normal pertumbuhannya. Melihat lagaknya seperti lebih tua daripada Siau-hi-ji, tapi perawakannya lebih kecil.

Sambil munduk-munduk anak muda itu memegang nampan dengan tangan rada gemetar, tapi sepasang matanya selalu melirik dada Siau Mi-mi yang montok itu.

"He, Siau-sik-kui (setan perempuan cilik), apa yang kau pandang?" tegur Siau Mi-mi.

Muka anak muda itu menjadi merah, ia tertunduk dan menjawab, "O, ti... tidak...."

"Apakah kau ingin mencium aku?" tanya Siau Mi-mi dengan tersenyum genit.

Tambah merah muka anak muda itu.

"Kemarilah, kalau ingin cium ya cium sajalah, kenapa malu-malu," kata Siau Mi-mi.

Eh, benar juga, mendadak anak tanggung itu menaruh nampannya terus menubruk ke arah Siau Mi-mi dan merangkulnya.

Tapi mendadak sebelah tangan Siau Mi-mi menampar, "plak", kontan anak itu tergampar hingga jatuh tersungkur.

"Mulutmu bau, tidak pernah sikat gigi, lekas enyah!" damprat Siau Mi-mi.

Siau-hi-ji geleng-geleng kepala menyaksikan semua itu, tiba-tiba dilihatnya ketika membalik ke sana wajah anak tanggung itu menampilkan rasa dendam dan benci yang tak terperikan, sungguh membuat orang merasa ngeri. Tapi waktu berdiri lagi, kembali anak itu mengunjuk sikap memelas seperti pengemis kecil yang minta dikasihani, lalu melangkah pergi dengan munduk-munduk.

"Apakah anak kecil ini pun selirmu?" tanya Siau-hi-ji.

"Memangnya kau cemburu?" jawab Siau Mi-mi dengan tertawa.

"Ai, kau benar-benar perusak daun muda."

"Jangan kau sangka dia masih kecil, sesungguhnya dia teramat busuk, lebih-lebih dalam hal...." mendadak muka Siau Mi-mi merah jengah dan mengomel pula, "Bisa jadi Siau-sik-kui itu jauh lebih busuk daripadamu."

"Belum tentu," ujar Siau-hi-ji. "Anak yang lebih busuk daripadaku belum lagi lahir. Kulihat dia sangat merana, mungkin teramat menderita disiksa olehmu."

"Aku memang sengaja menyiksa dia sampai mati," kata Siau Mi-mi.

"Sebab apa kau benci padanya? Dia kan cuma seorang anak kecil."

"Meski dia masih kecil, tapi ayahnya.... Hm, di dunia ini tiada manusia yang terlebih keji dan culas seperti ayahnya."

"O, apakah ayahnya bisa lebih culas daripada Im Kiu-yu dan lebih keji daripada Li Toa-jui misalnya?" tanya Siau-hi-ji dengan tertawa.

"Biar pun Im Kiu-yu dan Li Toa-jui cukup culas dan keji, tapi sekali pandang saja setiap orang akan tahu kebusukan mereka. Sedangkan ayah anak tadi, sekali pun segala kejahatan telah diperbuatnya, tapi khalayak ramai masih menyebutnya sebagai pendekar besar budiman."

Sejak tadi Siau-hi-ji tidak bertanya nama ayah anak tanggung itu, dan Siau Mi-mi juga tidak menerangkan.

Dalam pada itu anak tanggung tadi telah muncul kembali dengan membawa talam, ada arak, ada makanan.

Tiba-tiba Siau-hi-ji berkata sambil tepuk-tepuk perut sendiri, "Sebelum makan minum, lebih dulu aku harus menguras gudang."

"Buset!" omel Siau Mi-mi.

"Kalau sang Permaisuri masuk kakus kan harus dilayani salah seorang selir?" kata Siau-hi-ji dengan tertawa. Lalu dia tarik tangan anak tanggung itu dan mengajaknya, "Ayo, antarkan aku!"

"Hati-hati jangan sampai kecebur dan makan kenyang di sana, daharan di sini masih menunggu kau," seru Siau Mi-mi berseloroh.

Anak tanggung itu pun tidak menolak, dengan munduk-munduk ia berjalan di depan. Sambil memandangi punggung anak muda itu, Siau-hi-ji seperti sedang memikirkan sesuatu.

Bangunan istana di bawah tanah ini jelas diatur dengan sangat teliti, hampir setiap jengkal tanah tidak disia-siakan. Letak kakus adalah di pengkolan lorong panjang sana.

Sambil kada hajat, tiba-tiba Siau-hi-ji bertanya, "He, kau she apa?"

"Kang", jawab anak itu.

"Kau juga she Kang? Sungguh kebetulan," kata Siau-hi-ji dengan tertawa.

"Ya, sangat kebetulan."

"Tampaknya kau lebih kecil daripadaku."

"Ya, lebih kecil."

"Apakah kau ini burung beo?"

Air muka anak muda itu tetap saja kaku, jawabnya, "Ya, terserah tuan mau bilang aku ini apa."

"Kau jangan salah paham, tiada maksudku menghinamu."

"Ya, terima kasih."

"Siapa namamu?"

"Giok-long."

Siau-hi-ji mengernyitkan dahi, matanya mengerling, tiba-tiba ia tertawa dan berkata pula, "Aneh, tempat ini sudah di bawah tanah, dan masih ada jalan tembus lagi?"

"Di bawah ini tiada jalan tembus lagi, hanya ada kuburan," jawab anak tanggung yang mengaku bernama Kang Giok-long itu.

"Kuburan? Kuburan siapa.?" tanya Siau-hi-ji.

"Konon kuburan para pekerja yang dulu membangun tempat ini."

Kembali Siau-hi-ji mengerut kening, cepat ia berdiri dan berkata, "Banyak juga yang kau ketahui, tentunya sudah lama kau tinggal di sini."

"Ehm, setahun."

"Setahun...?. Cara bagaimana kau datang ke sini?'

"Tuan sendiri cara bagaimana datangnya?"

"Ya, betul, Siau Mi-mi tentu mempunyai cara sendiri untuk membawa kau ke sini.... Tampaknya di sini pasti ada jalan tembus untuk keluar, apakah.... apakah kau tahu?"

"Tidak tahu."

"Tidak pernah kau selidiki?"

"Tidak pernah."

"Masa kau tidak berusaha keluar, tidak ingin pulang?"

"Di sini sangat baik, sangat enak."

Mendadak Siau-hi-ji mencengkeram pundak Kang Giok-long dan membentaknya dengan suara tertahan, "Engkau setan cilik ini jangan coba mengelabui diriku. Kutahu di dalam hati kau sangat dendam dan setiap saat juga berikhtiar untuk keluar. Tidak perlu berdusta, jika kau mau bekerja sama denganku, tentu kita dapat mencari akal untuk keluar."

Sedikit pun wajah Kang Giok-long tidak memperlihatkan sesuatu perasaan, katanya dengan hambar, "Jika tuan sudah selesai, silakan tuan kembali ke sana untuk dahar."

Sekian lamanya Siau-hi-ji menatapnya dengan tajam, akhirnya ia berkata dengan sekata demi sekata, "Ingat baik-baik ucapanku tadi, ingat baik-baik setiap kataku."

Kang Giok-long tetap jalan terbungkuk-bungkuk di depan. Sambil memandangi bayangan punggung orang Siau-hi-ji juga masih merenungkan sesuatu. Akhirnya mereka berada kembali di ruangan tadi.

Dengan tertawa Siau Mi-mi lantas berkata, "Tampaknya persediaan gudangmu tidaklah sedikit. Kukira kau tenggelam ke dalam kakus."

Sambil meraba perut, Siau-hi-ji tertawa dan berkata, "Perut ini...."

"Dia hanya pura-pura berak," tiba-tiba Kang Giok-long memotong, "Yang benar dia ingin ajak aku membantu dia lolos dari sini, dia ingin mengorek keteranganku tentang jalan keluar dari sini."

Seketika Siau Mi-mi mendelik, jengeknya, "Hm, Kang Hi, benarkah kau ingin kabur dari sini? Hm, untuk apa kau tanya dia? Tanyakan saja padaku dan akan kuberitahu."

Siau-hi-ji tenang-tenang saja, bahkan dia malah bergelak tertawa, katanya, "Belasan tahun aku tinggal di Ok-jin-kok, masakah tempat ini terlebih buruk daripada Ok jin-kok? Aku sengaja mencoba hati si setan cilik ini, masa kau percaya pada ocehannya?"

"Padahal, baik sungguhan atau pura-pura toh tiada gunanya kau tanya dia," ucap Siau Mi-mi acuh. "Jalan keluar dari sini selain aku sendiri tiada seorang pun yang tahu." Lalu dia tepuk-tepuk kepala Kang Giok-long dan berkata pula, "Jujur juga kau ini."

Kembali merah muka Kang Giok-long, katanya dengan menunduk, "Asalkan senantiasa berada di sisi Nio-nio (Sri Ratu) sungguh aku tidak ingin pergi ke tempat lain lagi."

"Sudahlah, Siau-sik-kui, hari ini jangan kau pikirkan hal begituan lagi, pergilah tidur saja," kata Siau Mi-mi dengan tertawa genit.

"Tapi dia...." ucap Kang Giok-long sambil memandang Siau-hi-ji, "Apakah Nio-nio...."

"Kau ingin kubunuh dia?" tanya Siau Mi-mi.

"Dia... dia sesungguhnya...."

Belum lanjut ucapan Kang Giok-long, perlahan Siau Mi-mi telah menutuk jidatnya sambil mengomel dengan tertawa, "Sudahlah, lekas enyah, memangnya kau berhak cemburu?"

Dengan tunduk kepala terpaksa Kang Giok-long melangkah pergi.

Sama sekali Siau Mi-mi tidak memandang bocah itu lagi, setan cilik itu tidak diperhatikan olehnya, soalnya permainan gila apa pun dari bocah itu takkan lepas dari pengamatannya. Yang dia perhatikan sekarang ialah setan cilik yang satu lagi, yaitu Siau-hi-ji.

"Bocah itu sungguh telur busuk," kata Siau-hi-ji kemudian dengan tertawa.

"Dia telur busuk, kau pun bukan barang baik," kata Siau Mi-mi.

"Masa aku tidak lebih baik daripada dia?"

"Apakah kau tahu mengapa aku tidak membunuhmu?" tanya Siau Mi-mi dengan memicingkan mata.

"Sebab kau merasa sayang mematikan aku?"

"Benar, aku memang merasa sayang membunuhmu, aku justru ingin tahu sampai di mana kebaikanmu. Tentunya To Kiau-kiau telah mengajarkan beberapa jurus padamu, aku ingin mengujinya," sembari bicara Siau Mi-mi lantas membaringkan diri di atas dipan di pojok sana, wajahnya menampilkan rasa kehausan dan penuh harap. Katanya pula dengan lembut, "Ayolah kemari, tunggu apa lagi? Memang perlu kuajari pula?"

Berputar-putar biji mata Siau-hi-ji, jawabnya dengan tertawa, "Perempuan kalau sudah berumur 36 memang sebuas serigala dan segalak harimau."

"Kau takut?" tanya Siau Mi-mi.

"Anak banteng yang baru lahir tidak gentar pada harimau," ucap Siau-hi-ji.

"Jika begitu tunggu apa lagi?"

"Kukhawatir tidak...."

Belum habis ucapan Siau-hi-ji, mendadak Kang Giok-long menerobos masuk dengan wajah pucat lesi, serunya dengan terputus-putus, "Ce... celaka... celaka...."

"Kau mau apa?" bentak Siau Mi-mi gusar.

"Mati... mati semuanya," kata Kang Giok-long.

"Mati...? Siapa yang mati?" tanya Siau Mi-mi.

"Lekas engkau me... melihat ke sana... mereka... mereka...." belum selesai ucapannya, mendadak Kang Giok-long jatuh pingsan.

Orang mati, memang betul, mayat bergelimpangan di mana-mana, beberapa pemuda linglung tadi kini tiada satu pun yang tertinggal hidup, semua mati. Ada yang mukanya rusak dan sukar dikenali, ada yang lubang hidung, mulut dan telinga berdarah. Sampai orang tabah seperti Siau-hi-ji juga merasa ngeri menyaksikan adegan seram itu.

Siau Mi-mi rada gugup juga, ia berjingkrak gusar, "Ap... apa-apaan ini?"

"Jangan-jangan siluman tua itu diam-diam telah menyusup ke sini?" ujar Siau-hi-ji.

"Tidak mungkin, sama sekali tidak mungkin," kata Siau Mi-mi. "Jalan masuk ke sini jelas tiada yang tahu."

Habis bicara, tahu-tahu orangnya lantas menerobos keluar, tapi baru sampai di ambang pintu, mendadak ia berpaling dan berkata dengan bengis, "Awas, jika kau berani menguntit kemari, bisa benar-benar kubunuh kau."

"Jangan khawatir, aku masih ingin hidup lebih lama lagi," kata Siau-hi-ji dengan tertawa.

Tapi begitu Siau-hi-ji sudah keluar dari pintu depan, dengan cepat sekali ia pun sudah berada di pintu belakang. Dia tahu Siau Mi-mi pasti akan memeriksa keadaan jalan keluar yang dirahasiakannya itu, namun ia tidak ingin mengintip rahasia itu, soalnya yang ingin dia intip adalah rahasia seorang lain lagi.

Begitulah ia lantas mendekam di lantai dan mengintip dengan satu mata. Dilihatnya Kang Giok-long yang jatuh pingsan tadi mendadak kepalanya mulai bergerak, lalu dengan satu mata juga dia memandang sekelilingnya. Dengan sendirinya dia tidak melihat Siau-hi-ji yang sembunyi di balik pintu belakang itu.

Siau-hi-ji diam saja dengan menahan napas dan tidak bergerak sedikit pun.

"Kang-kongcu...." tiba-tiba Kang Giok-long berseru memanggil. "Kang Hi, marilah keluar saja."

Berdebar juga jantung Siau-hi-ji, disangkanya Kang Giok-long telah mengetahui jejaknya. Tapi dia tetap diam saja.

Kang Giok-long menunggu pula sejenak, habis itu mendadak melompat bangun. Kini gerak tubuhnya tiba-tiba berubah gesit dan cepat sekali, lebih ringan daripada burung walet dan lebih licin daripada belut, hanya sekilas saja dia sudah menyelinap masuk sebuah pintu yang pernah dimasukinya ketika dia membawa Siau-hi-ji ke kakus.

Sebelumnya Siau-hi-ji sudah memperhitungkan arahnya, begitu Kang Giok-long menyelinap keluar pintu kecil itu, dengan cepat Siau-hi-ji juga menyusul ke tepi pintu kamar kecil dan tetap mengintip dengan sebelah matanya.

Dilihatnya tubuh Kang Giok-long bergerak-gerak seperti gangsir, kepalanya menyusup ke lubang kakus, maka secepat burung Siau-hi-ji lantas melayang ke sana. Jelas tertampak sekarang, ternyata Kang Giok-long telah membuka tutup jamban dan sedang menerobos ke dalamnya.

Akan tetapi baru saja setengah badan saja Kang Giok-long menggangsir, tiba-tiba pinggang terasa kesemutan, ikat pinggangnya juga telah dipegang orang terus ditarik mundur.

"Kau ingin kabur sendirian, tidak boleh jadi," demikian terdengar suara Siau-hi-ji berseloroh.

Muka Kang Giok-long sekali ini benar-benar pucat ketakutan, katanya dengan gemetar, "Jangan... jangan bergurau."

"Siapa ingin bergurau denganmu?" jengek Siau-hi-ji. "Hm, bicara terus terang saja, apa yang sedang kau lakukan?"

"Hamba... hamba ingin buang air besar," tutur Kang Giok-long.

"Buang air besar? Buang air besar juga tidak perlu pakai menggangsir liang kakus!?" jengek Siau-hi-ji pula.

"Kuingin... ingin...."

"Ingin makan tahi?" tukas Siau-hi-ji.

"Konon tahi berkhasiat menawarkan racun, karena... karena aku keracunan, maka... maka...."

"Huh, kau setan cilik ini memang pintar putar lidah," jengek Siau-hi-ji. "Tapi jangan kau harap bisa mendustai aku. Kalau tidak bicara terus terang, segera kuseret kau menghadap Siau Mi-mi dan memberitahukan padanya bahwa beberapa selir kesayangannya itu terbunuh olehmu."

"Aku... aku tidak...." Kang Giok-long menjadi gemetar.

"Kau sengaja membunuh mereka untuk memancing pergi Siau Mi-mi, habis itu kau lantas sembunyi di suatu tempat rahasia, setelah Siau Mimi tidak dapat menemukan dirimu, lalu kau mencari kesempatan untuk meloloskan diri dari sini."

"Kau... dari mana kau...."

"Huh, hanya sedikit akal busukmu masakan dapat mengelabui aku? Sebelumnya memang sudah kuduga kau pasti akan berbuat sesuatu. Sekarang kalau kau masih ingin hidup, kau harus bekerja sama dengan aku."

Akhirnya Kang Giok-long menghela napas, katanya, "Baik, aku menyerah. Ucapanmu memang tidak salah, tempat sembunyiku itu justru berada di dalam jamban ini. Selama setahun barulah aku berhasil menggalinya."

"Sungguh luar biasa, tempat sembunyi dibuat di dalam jamban, masa tidak takut bau?"
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar