Pendekar Binal Jilid 29

Pendekar Binal
Gu Long (Khu Lung)
-------------------------------
----------------------------
"Eh, biasanya kau seperti orang sinting, tapi kalau menghadapi persoalan penting, nyatanya kau menjadi pintar," kata Siau-hi-ji sambil tertawa.

"Jika aku tidak pintar masakah dapat bertahan hidup sampai saat ini?" jengek Hian-ko-sin-kun. Lalu ia menyingkir dan duduk di sudut yang gelap, ia tidak bicara lagi melainkan menatap penuh perhatian ke mulut gua.

Di luar gua sudah mulai terang, angin bertiup sepoi-sepoi membawa suasana hangat musim panas, terdengar suara senda-gurau kawanan kera di luar gua yang membayangkan kebebasan yang tak terkekang.

Tiba-tiba Sim Gin-hong meneteskan air mata dan berpaling ke sana, katanya dengan terguguk, "Kau kira betul ada... ada orang datang?"

"Ya, pasti ada," ujar Siau-hi-ji.

"Tapi siapakah yang datang ini? Apakah ia akan menolong kita ke luar?" kata Sim Gin-hong pula.

"Tentu, tak mau menolong juga harus menolong," tukas Hian-ko-sin-kun dengan menyeringai. "Aku tidak peduli siapa dia, asalkan dia turun ke sini dengan tali kerek itu, tali itu...."

"Kau... kau akan...."

"Ya, peduli siapa dia sama saja bagiku, begitu datang segera dia akan binasa di tanganku, yang kuharapkan bukan manusianya tapi talinya."

"Tapi kalau maksud tujuannya bukan manusianya seperti kau melainkan harta mestikanya, begitu datang segera kau yang dibunuhnya, lalu bagaimana?" tanya Sim Gin-hong.

"Hehe, dia takkan mampu membunuhku, siapa pun tak dapat membunuhku," kata si kera dengan menyeringai. "Sebelum melihat diriku, lebih dulu sudah kubinasakan dia."

"Tapi kalau pendatang itu adalah kawanmu apakah juga...."

"Kawan?" si kera menegas dengan tertawa. "Hahaha, mana ada kawanku di dunia ini? Sejak berumur tujuh aku sudah tidak mempunyai kawan lagi. Bila mendengar kata-kata kawan seketika aku merasa mual."

"Bagus, sangat bagus!" ucap Sim Gin-hong sambil memejamkan mata.

Si kera berkata pula, "Ingat, bila kalian berdua juga ingin keluar dengan hidup, maka jangan sekali-kali bertindak bodoh. Kalian juga tidak perlu membantu apa-apa, cukup berusaha memancing perhatian pendatang nanti ke arah lain, kalau tidak...."

Serrrr, tiba-tiba sebatang pedang melayang masuk.

Tidak sampai pedang itu menumbuk dinding, cepat Sim Gin-hong menangkapnya di tangan, dilihatnya pedang itu bercahaya gemerlapan, kalau bukan pedang pusaka tentu juga senjata tajam pilihan.

"Mana orangnya?" teriak Hian-ko-sin-kun dengan bengis setelah menunggu sekian lama tidak tampak munculnya seorang pun.

"Orang? Tentunya juga sudah mati," kata Siau-hi-ji dengan acuh tak acuh. "Yang melempar masuk pedang ini adalah sanak saudaramu kawanan kera itu, bila pemilik pedang ini belum mati, mana bisa senjatanya jatuh di tangan kawanan kera?"

"Benar, pedang ada orangnya hidup, pedang hilang orangnya gugur," Sim Gin-hong menghela napas gegetun. Perlahan ia pegang gagang pedang yang berukir delapan huruf, arti huruf itu seperti apa yang diucapkannya itu.

"Yang cocok menggunakan pedang bagus ini tentunya juga pendekar pedang yang sudah ternama," kata Siau-hi-ji.

"Coba kau periksa gagang pedang ini, kecuali kedelapan huruf ini masih ada tanda apa lagi?" kata Sim Gin-hong sambil menyodorkan pedang itu.

Siau-hi-ji memandang sekejap, lalu berkata, "Tiada terdapat apa-apa lagi selain tiga lingkaran kecil saja."

"Benar, hanya tiga lingkaran kecil saja," kata Sim Gin-hong. "Tapi tahukah betapa besar artinya tiga lingkaran kecil ini di mata kaum ksatria Bu-lim umumnya?"

"Arti apa?" tanya Siau-hi-ji.

"Tiga lingkaran kecil ini adalah tanda pengenal 'Pendekar tiga rantai penguber sukma dan pencabut nyawa' Sim Yang," tutur Sim Gin-hong "Dengan tanda pengenal ini dalam sekejap saja dapat membuat berlaksa tahil emas berpindah tangan, dapat membuat beribu orang berganti haluan, dapat membuat dua seteru yang bermusuhan menjadi damai, hanya dengan tanda pengenal ini dapatlah menjelajahi tempat mana pun tanpa rintangan, pedang tiga rantai ini termasuk satu di antara ke-17 pedang terkemuka di jaman ini."

"O, begitu hebatkah orang she Sim itu?" tanya Siau-hi-ji.

"Huh, hebat apa? Hebat kentut anjing, lebih tepat dikatakan tidak berharga sepeser pun!" jengek Hian-ko-sin-kun mendadak.

"Kau berani meremehkan dan menghina pendekar pedang ternama?" damprat Sim Gin-hong gusar.

"Pikir saja," kata si kera, "Jika hebat seperti katamu, tentunya pedang ini kini berada di tangannya atau tergantung di pinggangnya, tapi mengapa bisa berada di tanganmu?"

Sim Gin-hong termenung sejenak dan tak dapat menjawab, katanya kemudian, "Tak tersangka pendekar pedang macam Sim Yang juga mati dalam pertarungan ini, sungguh sukar dimengerti. Tampaknya tidak sedikit tokoh terkemuka dunia persilatan yang terpancing datang oleh benda mestika yang kau lemparkan ke luar itu."

"Saat ini di atas jurang sana tentu lagi terjadi pertarungan sengit yang menarik, sungguh sayang kita tak dapat menyaksikannya," kata Siau-hi-ji dengan tertawa.

"Betul, di atas jurang sana saat ini tentu terjadi banjir darah," tukas Sim Gin-hong. "Dan semua itu adalah akibat perbuatanmu, seharusnya kau menyesal akan peristiwa ini...."

"Mereka saling labrak berebut harta karun, manusia tamak begitu masakan mengaku sebagai tokoh Bu-lim segala? Bagiku mereka tidak lebih hanya segerombolan orang tolol," Siau-hi-ji berolok-olok dengan tertawa.

Dan begitulah sehari telah berlalu pula tanpa berubah sesuatu, mata Hian-ko-sin-kun tambah melotot, hari sudah mulai petang, di dalam gua gelap gulita pula dan mata si kera menjadi mirip dua lentera.

Sampai tengah malam, tetap tiada nampak sesuatu. Menjelang subuh, di luar gua yang gelap itu mendadak berkumandang suara riuh ramai, suara ribut kawanan kera.

"Malam gelap begini tentu ada sebabnya kawanan kera itu ribut," ujar Sim Gin-hong dengan suara tertahan.

Belum habis ucapannya, terdengar suara gemerantang nyaring, berturut-turut kawanan kera telah melempar masuk gua belasan buah benda.

Karena gelap, kurang jelas benda apa yang di lempar masuk itu. Hanya terdengar suara ribut kawanan kera itu makin menjauh, merasa puas setelah melaksanakan tugas mereka.

Siau-hi-ji menggagapi benda itu dan dapat memungut sesuatu, katanya, " Coba terka apakah ini?"

"Dari suaranya yang nyaring tadi tentu sebangsa pedang dan golok," kata Sim Gin-hong.

"Memang betul, agaknya ini sebatang pedang," ucap Siau-hi-ji. Lalu ia menggagap pula dan berkata, "He, ada lagi benda bulat licin dan berantai segala, entah senjata apa ini?"

"Bundar dan licin? Ah, barangkali itulah Ngo-tok-pi-lik-cu (granat pancabisa)," kata Sim Gin-hong. "Coba kau periksa lagi, tapi harus hati-hati dan jangan sembarangan pegang, jika di antara berbagai senjata itu terdapat Pi-lik-cu yang berbisa itu, bukan mustahil banyak pula senjata lain yang beracun jahat."

"Orang macam diriku masakan bisa terkena racun orang lain?" ucap Siau-hi-ji dengan tertawa. "Sudah sejak tadi kubalut tanganku ini dengan kain. Eh, ada lagi sebatang golok, seperti bergelang lagi."

Benar juga, ketika ia guncang golok itu, segera menerbitkan suara mendering nyaring.

"Itukah Kiu-goan-to (golok bergelang sembilan) dari suaranya jelas sangat antap," kata Sim Gin-hong.

"Betul, memang sangat berat, sedikitnya ada 50 kati," kata Siau-hi-ji. Lalu ia menyambung pula, "He, ada lagi Boan-koan-pit, bobotnya juga tidak ringan. Orang yang mampu menggunakan senjata seberat ini, tampaknya ilmu silatnya tidak rendah."

"Coba kulihat," kata Sim Gin-hong.

"Masakah kau dapat melihatnya, lebih tepat dikatakan meraba saja," ucap Siau-hi-ji.

Setelah Sim Gin-hong meraba Boan-koan-pit itu, terasa ada ukiran beberapa huruf di gagang pensil baja itu, tiba-tiba ia bergumam, "Ternyata betul Seng-si-boan Tio Kang. Jika begitu, golok bergelang sembilan tadi adalah milik Tang-mo-to Can Lun dan pemilik pedang itu adalah Go-kau-kian.... Ai, agaknya jiwa para pemiliknya pasti sudah melayang. Tokoh-tokoh ini sekaligus mati dalam pertempuran ini, sungguh pertarungan dahsyat yang tak pernah terjadi."

"Ya, bahkan kematian orang-orang ini seperti terjadi di dalam waktu yang sama, dan orang yang mampu membinasakan tokoh terkemuka sebanyak ini dalam waktu sedemikian singkat pastilah bukan orang sembarangan," ujar Siau-hi-ji.

"Bukan saja tidak sembarangan, bahkan peristiwa yang sangat mengejutkan dan sukar dibayangkan," Sim Gin-hong menambahkan.

"Dapatkah kau menerka siapa yang membunuh tokoh-tokoh terkemuka ini?" tanya Siau-hi-ji.

"Walau pun tidak banyak orang yang mampu sekaligus membunuh tokoh terkemuka sebanyak ini, tapi kukira ada juga lima-enam orang dan di antaranya yang paling lihai dan paling keji caranya turun tangan adalah kedua Kiongcu dari Ih-hoa-kiong."

"Jangan khawatir, mereka pasti takkan datang ke tempat seperti neraka ini," ujar Siau-hi-ji. "Lalu siapa lagi selain mereka?"

"Ada lagi Toh Sat dan Thi Cian yang termasuk di antara ke-10 top penjahat mungkin juga mempunyai kemampuan sehebat ini."

"Tapi kedua orang ini pun tidak mungkin."

"Betul, kedua orang ini sudah lama menghilang, konon mereka sudah lama masuk ke Ok-jin-kok."

"Habis masih ada siapa lagi?'

"Masih ada beberapa orang, tapi lebih baik tidak kusebutkan saja, soalnya mereka adalah pendekar besar yang berbudi, mereka tidak mungkin melakukan tindakan sekeji ini."

"Siapa umpamanya?" tanya Siau-hi-ji.

"Umpamanya pendekar pedang nomor satu di jaman ini, Yan Lam-thian, Yan-tayhiap. Kalau beliau mau membunuh orang-orang ini boleh dikatakan semudah merogoh isi saku sendiri. Tapi kalau bukan manusia yang tak berbudi dan tak setia beliau sekali-kali tidak sudi turun tangan membunuhnya."

Siau-hi-ji jadi terharu dan terkenang pula kepada si paman "kaleng obat" yang berada di Ok-jin-kok sana, tanpa terasa air matanya berlinang, syukur dalam kegelapan sehingga Sim Gin-hong berdua tidak dapat melihatnya. Lekas ia berlagak menggagapi senjata yang berserakan di lantai, ia dapat memungut satu kantong senjata rahasia berbisa, ada jarum, pasir, pelor besi dan sebagainya.

"He, keluarga Tong dari Sujwan ada yang gugur di sini," ucap Sim Gin-hong.

"Tapi senjata rahasia ini sama sekali belum terpakai," kata Siau-hi-ji.

"Anak murid keluarga Tong terkenal sangat cekatan menggunakan senjata rahasia, tapi sekali ini belum sempat mengeluarkan ilmu kebanggaannya sudah mengalami nasib malang. Sungguh sukar kuterka siapakah gerangan pembunuhnya yang lihai ini?"

"Jika tak dapat menerkanya, biarlah, toh sebentar juga dia akan datang, kita tunggu dan lihat saja nanti," ujar Siau-hi-ji sambil menguap ngantuk.

Kedua mata Hian-ko-sin-kun yang melotot sejak tadi itu tampak mengunjuk rasa ngeri dan gentar, sekali pun ia tetap yakin kesanggupannya menyergap dari tempat gelap pasti akan berhasil nanti. Namun betapa tinggi kepandaian musuh yang akan muncul sungguh teramat lihai dan membuat rontok nyali orang, apa bila sekali sergap gagal, mungkin sukar lagi ada kesempatan kedua kalinya.

Ketika angin meniup lagi, mendadak dari luar gua terjulur masuk pula sebuah tangan. Tangan yang halus dan putih mulus tanpa cacat.

Di gua yang terletak di tengah jurang mendadak muncul sebuah tangan seindah ini, tentu saja terasa lebih misterius sehingga membuat orang sangsi apakah tangan ini tangan manusia atau bukan?

Seketika Sim Gin-hong terbelalak, Hian-ko-sin-kun juga melotot sambil menahan napas. Dilihatnya tangan itu mulai bergerak perlahan, tiba-tiba tangan itu mengetuk pada batu di mulut gua. Kalau tangan dan jarinya dapat bergerak, jelas itulah tangan manusia hidup.

Habis itu tiba-tiba terdengar suara yang merdu nyaring berkumandang di luar gua, "Sepada!"

Dalam keadaan dan saat demikian, suara halus merdu itu ternyata hanya mengucapkan sepatah kata "sepada" (siapa ada di situ) begitu, rasanya seperti nyonya muda tetangga yang iseng sengaja datang hendak mencari teman ngobrol saja.

Mendengar ucapan tadi, tanpa terasa Hian-ko-sin-kun dan Sim Gin-hong sama mengkirik, keduanya saling pandang dengan serba susah dan tidak tahu cara bagaimana harus menjawab.

Tiba-tiba Siau-hi-ji menanggapi suara tadi dengan tertawa, "Ada, ada beberapa di sini!"

"O, kalau ada kan seharusnya membukakan pintu!" kata pula suara manis itu dengan tertawa nyaring.

"Kemarin aku makan bakmi dan belum bayar, maka tak berani kubuka pintu," kata Siau-hi-ji.

"Wah, kakiku terasa capai, apakah aku boleh mampir duduk-duduk sebentar di situ?" tanya suara tadi sambil mengikik.

"Sudah tentu boleh," jawab Siau-hi-ji. "Cuma harus hati-hati, tangga pintu agak tinggi, awas gaunmu robek."

"Terima kasih!" di tengah suara tertawanya tangan putih halus itu pun meraih batu gua dan masuklah orangnya dengan langkah berlenggang-lenggok.

Nyata dia seorang nyonya muda dengan baju sutera tipis dan gaun warna hijau, setangkai bunga mawar menghiasi sanggulnya, langkahnya lemah gemulai dan pinggangnya ramping. Dia melangkah masuk dari luar gua yang berupa jurang itu, tapi mirip menantu tetangga sebelah memasuki rumah sendiri.

Dari tempat gelap segera Hian-ko-sin-kun menubruk maju. Karena tidak berjaga jaga, tampaknya nyonya muda itu pasti akan tergetar terpental keluar. Tapi entah cara bagaimana, hanya nampak pinggangnya meliak-liuk, tahu-tahu dengan gaya genit nyonya muda itu sudah berada di belakang Hian-ko-sin-kun.

Tentu saja si kera terkejut, cepat ia membalik tubuh, tapi sebelum dia menerjang lagi, si nyonya muda gaun hijau telah berkata dengan suara lembut, "Jika kau ingin keluar, biarlah segera kukeluar, buat apa kau marah dan menggunakan tenaga sebesar itu?"

Melihat gaya orang yang genit dan cara bicaranya yang manis, betapa pun tangan Hian-ko-sin-kun tak dapat dipukulkan pula, dengan suara serak ia tanya, "Kau... kau mau apa?"

Si nyonya muda gaun hijau melirik genit, katanya, "Kalau tuan muda ini tidak mengizinkan kumasuk, sebenarnya aku pun tidak berani masuk kemari. Sekarang aku sudah berada di sini, segala urusan terserahlah kepada engkau tuan besar, mana kuberani banyak omong dan membantah."

"Kau... kau...." tergagap juga Hian-ko-sin-kun. Meski biasanya dia sangat garang dan jahat, tapi menghadapi perempuan cantik yang lemah lembut demikian, mau tak mau terguncang juga perasaannya, kata kasar pun tak dapat keluar lagi dari mulutnya.

"Dan kalau tuan besar dapat menerima, biarlah kutinggal saja di sini dan bantu menyapu, menanak nasi, menambal baju," demikian ucap si nyonya muda pula.

Sejak tadi Siau-hi-ji mengawasi tingkah kenes nyonya muda itu, kini mendadak ia menimbrung dengan tertawa, "Kukira lebih baik kau menjadi biniku saja."

"Jika engkau benar sudi memperistri diriku, wah, pasti aku kegirangan setengah mati," ucap si nyonya muda dengan tertawa menggiurkan. "Suami secakap dan sepintar engkau ini, sudah sepuluh tahun kucari ke mana-mana dan tidak pernah menemukannya. Cuma sayang...."

"Sayang apa?" tanya Siau-hi-ji.

"Sayang usiaku sudah lanjut," kata nyonya itu dengan suara lembut, "bila mana engkau berumur 30 nanti, sementara itu aku sudah nenek-nenek, tatkala mana pasti engkau tak suka lagi padaku, tapi tidak sampai hati pula untuk membuang diriku, bukankah kau akan serba susah? Dan mana aku tega membikin susah."

Sudah tentu Siau-hi-ji tahu apa yang dikatakan itu tidak sepatah kata pun sungguh-sungguh hati, tapi aneh, entah mengapa, terasa senang juga oleh ucapan-ucapan itu. Dengan tertawa ia pun menjawab, "Kau tidak bilang usiaku terlalu muda, tapi mengatakan usiamu sendiri sudah lanjut. Dari cara bicaramu ini, biar pun benar kau adalah perempuan bermuka buruk dan suka membunuh orang, aku tetap suka padamu."

"Tak peduli ucapanmu ini benar atau pura-pura, yang pasti ucapanmu ini pasti akan selalu kuingat di dalam hati," kata si nyonya muda.

Dalam pada itu Hian-ko-sin-kun sudah tidak sabar lagi, dengan suara serak ia tanya, "Dan bagaimana jika aku tidak suka tinggal lagi di sini?"

"Bila tuan besar merasa di sini terlalu sumpek dan ingin jalan-jalan keluar, maka di luar sudah kusiapkan tangga, setiap saat tuan besar boleh silakan," kata si nyonya muda.

"Apa betul?" Hian-ko-sin-kun menegas.

"Kalau tuan besar sangsi, silakan naik dulu ke atas, habis itu baru kami menyusul, biarkan tuan muda ini berangkat terakhir dengan membawa peti besi, dengan demikian tuan besar tidak perlu curiga pada kami dan kami pun tidak perlu mencurigai engkau tuan besar."

Dalam hati Hian-ko-sin-kun seribu kali tidak sudi menuruti kehendak nyonya muda itu, tapi apa yang dikatakannya itu memang beralasan dan masuk akal sehingga mau tak mau ia harus menurut. Begitu pula Sim Gin-hong, meski tahu kena sihir, ia hanya mengangguk setuju saja.

Segera Siau-hi-ji menimbang pula, "Caramu memang sangat bagus. Bila orang lain naik dulu ke atas, saudara kera kita ini pasti khawatir, tapi sekarang si kera disilakan naik dulu dan ia harus menunggu orang terakhir juga naik ke atas dengan membawa peti harta karun, maka sebelum itu dia pasti takkan memotong tali tangga."

Hian-ko-sin-kun melotot ke arah si nyonya muda bergaun hijau, ia coba menegas pula, "Caramu ini benar-benar.... timbul dari maksud baikmu?"

"Apakah tuan besar mengira aku bermaksud jahat?" jawab si nyonya muda dengan suara lembut. "Ai, mungkin sudah nasibku dilahirkan untuk berbuat baik dan bekerja bakti bagi orang lain, apa mau dikatakan lagi?"

Hian-ko-sin-kun masih ragu-ragu, biji matanya yang kecil mengerling ke sana ke sini, tapi tetap sukar dirabanya di mana letak keburukan nyonya muda itu. Terpaksa ia nekat, katanya sambil membanting kaki, "Baik, apa pun juga, baik atau jahat, paling perlu kunaik dulu ke atas."

Sesungguhnya dia memang tidak sabar lagi, cahaya matahari yang hangat, embusan angin sejuk dan dunia yang bebas merdeka itu seakan-akan sedang melambai-lambaikan tangan padanya.

Ia coba melongok ke luar gua, benar saja ada seutas tali panjang terjulur dari atas, kalau tali itu putus, maka nyonya muda ini pun akan terkurung sendiri di sini. Asalkan tali ini tidak putus andaikan ada tipu muslihat hendak menjebaknya juga tak perlu dikhawatirkan lagi apa bila dirinya sudah berada di atas jurang sana.

Setelah menimbang-nimbang lagi dan merasa lebih banyak untung daripada ruginya, apa lagi dia sudah terkurung selama belasan tahun di dalam gua dan sudah merindukan kebebasan, maka tanpa ragu-ragu lagi segera ia pegang tali itu dan merambat ke atas sambil berseru tertawa, "Ayo Sim Gin-hong, kau ikut di belakangku...."

Belum habis ucapannya sekonyong-konyong tubuhnya terasa kejang lalu terjerumus ke jurang yang tak terkirakan dalamnya, suara tertawanya tadi mendadak berubah menjadi jeritan ngeri.

Keruan Sim Gin-hong terkejut dan berteriak "He, ken... kenapa?"

Air muka si nyonya muda bergaun hijau juga kelihatan pucat, serunya dengan suara gemetar, "Apa... apa yang terjadi?"

Mendadak Sim Gin-hong membalik tubuh dan membentak si nyonya muda, "Kau yang harus menjawab pertanyaan itu?!"

"Jangan-jangan beliau sudah tua, tenaga kurang, maka kurang kencang memegangi tali?" ujar si nyonya muda.

"Katakan terus terang, ada permainan gila apa pada talimu ini?" bentak Sim Gin-hong pula.

Tapi sorot mata nyonya itu sebening kaca, laksana mata anak kecil yang tak berdosa, jawabnya dengan suara lembut, "Tali itu kan baik-baik saja, kan juga tidak putus, bukankah tadi aku pun merosot dari atas dengan tali ini? Kalau tidak percaya boleh engkau menariknya."

Segera Sim Gin-hong mengulur tangan hendak menarik tali, tapi mendadak Siau-hi-ji berucap dengan tertawa, "Kalau di tali itu terpasang beberapa jarum berbisa, maka tangan yang menarik itu pasti enak rasanya."

Belum habis ucapannya secepat kilat Sim Gin-hong sudah menarik kembali tangannya, teriaknya bengis, "Betul, di ujung tali ini pasti terpasang beberapa jarum berbisa atau sebangsanya, kalau tidak masakah si kera tadi bisa terjerumus ke jurang, sungguh tidak disangka kau perempuan ini sedemikian keji, baru sekarang mataku benar-benar terbuka."

Dengan mengembeng air mata seperti perasaannya tersinggung, nyonya muda itu berkata, "Jika begitu tuduhanmu, apa yang bisa kukatakan lagi. Biarlah aku sendiri mencoba tali ini." Habis berkata, sekali pinggangnya meliuk, benar saja ia lantas merambat ke atas tali.

Terbelalak Sin Gin-hong menyaksikan nyonya muda itu merambat ke atas, gaun hijau yang tertiup angin itu tampaknya semakin mengecil, diam-diam ia merasa cemas dan menyesal pula. Suruh dia ikut merambat ke atas bersama nyonya muda yang tidak diketahui baik atau jahat itu rasanya tidak berani, tapi kalau kesempatan bagus menuju ke dunia bebas yang dirindukan itu tersia-sia begini saja, betapa pun ia juga sedih.

Selagi serba susah, tiba-tiba nyonya muda yang sukar diraba baik atau jahat itu terlihat turun pula dengan perlahan.

"Memang sudah kuduga kau pasti akan turun kembali," ucap Siau-hi-ji dengan tertawa.

"Sebenarnya aku tidak mau urus kalian lagi, tapi terasa tidak tega pula," kata si nyonya muda dengan menghela napas gegetun. "Ai, mengapa hatiku selalu lemah begini, aku sendiri pun tidak tahu apa sebabnya." Lalu ia menatap Sim Gin-hong dan menambahkan, "Nah, baik buruknya tali ini tentunya sudah kau saksikan bukan?"

Sampai di sini Sim Gin-hong menjadi bingung dan sangsi siapa yang harus dipercaya, ia bahkan mulai meragukan Hian-ko-sin-kun yang kurang erat memegangi tali sehingga terjerumus ke jurang.

"Jika masih kurang percaya, boleh juga kau bungkus saja tanganmu dengan kain," kata pula si nyonya muda dengan lembut.

Dipandangnya tali itu oleh Sim Gin-hong, ia memandang jauh pula ke sana, ke langit yang cerah, ke alam yang bebas, kemudian dipandangnya pula gua yang sempit dan seram ini, terkenang siksa derita selama 15 tahun. Ia pikir kesempatan baik ini tidak boleh tersia-sia, ia menggereget nekat, akhirnya dipandangnya pula Siau-hi-ji.

Anak muda itu pun berkerut kening, katanya, "Jangan kau pandang aku, sama sekali aku tidak berani memberi saran. Cuma kukira tali ini... tali ini tentu takkan putus, kalau tidak tentunya tadi ia sendiri tak dapat merambat ke atas."

"Ya, urusan sudah telanjur begini, betapa pun harus kucoba," kata Sim Gin-hong akhirnya. Segera ia melompat maju, ia pegang tali dan mulai merambat ke atas.

Dengan hati kebat-kebit Siau-hi-ji pandang orang yang merambat ke atas itu, satu kaki, dua kaki... tampaknya sudah belasan kaki Sim Gin-hong merambat ke atas, maka legalah hati Siau-hi-ji, katanya terhadap si nyonya muda, "Kau ini sesungguhnya baik atau jahat, sampai detik ini aku pun belum jelas...." belum lenyap suaranya tahu-tahu tali itu sudah putus.

Terdengar jerit ngeri Sim Gin-hong, tubuhnya terjerumus langsung ke jurang, hanya sekejap saja lantas menghilang, tertinggal sisa suara jeritan yang berkumandang jauh menggema angkasa lembab pegunungan.

Siau-hi-ji terkesima dan berdiri mematung, gumamnya kemudian, "Kau... kau benar-benar siluman yang menipu mati orang tidak mengganti nyawa!"

"Betulkah begitu?" ucap si nyonya gaun hijau dengan tersenyum manis.

"Dengan jarum yang kau selipkan di tali telah kau binasakan si kera tadi dan sekarang kau potong setengah bulatan tali itu sehingga Sim Gin-hong terjebak. Padahal dengan ilmu silatmu yang tinggi tanpa susah payah kau pun dapat membunuh mereka."

Nyonya muda itu tertawa, katanya, 'Turun tangan sendiri membunuh orang terasa tiada artinya. Selama hidupku belum pernah kubunuh orang dengan turun tangan sendiri, semua korbanku sama mati secara suka rela bagiku."

"Tapi aku pun tidak paham, setelah tali itu putus lalu cara bagaimana kau dapat naik ke atas?" tanya Siau-hi-ji.

"Di sini kan enak dan bahagia, aku tidak ingin naik ke atas lagi," kata nyonya muda itu.

Siau-hi-ji melengak, ia garuk-garuk kepala yang tidak gatal, katanya dengan tersenyum getir, "Kau inilah anak perempuan pertama yang ucapannya membingungkan diriku selama hidupku ini."

"Kawanmu telah kubikin mampus, kau tidak menuntut balas?" tanya si nyonya muda dengan tatapan tajam.

"Cara bagaimana aku dapat menuntut balas?" kata Siau-hi-ji. "Untuk berkelahi aku bukan tandinganmu, menipu juga kalah pandai. Apa lagi seperti ucapanmu tadi, kau tidak memaksa mereka mati, tapi mereka sendiri yang mengantarkan nyawa secara suka rela."

"Kau sendiri tidak susah?"

"Kedua orang tadi memang pantas mati sejak dulu-dulu, kini mereka telah menemui ajalnya, apa lagi yang perlu kususahkan?"

"Hihi, anak macam dirimu inilah sungguh belum pernah kulihat," kata si nyonya dan mengikik genit.

"Baiklah sekarang boleh kau mulai menipu aku sampai mati," kata Siau-hi-ji dengan tertawa.

"Menipu kau sampai mati, wah, kan kesepian aku tinggal di sini?"

"Masakah... masakah kau sendiri pun tidak dapat naik ke atas?"

"Aku kan tidak bersayap, memangnya dapat terbang?"

Siau-hi-ji melenggong sejenak, katanya kemudian dengan menyengir, "Kau benar-benar siluman perempuan."

"Kalau aku siluman perempuan, maka kau ini siluman cilik."

"Bagus juga, siluman perempuan dan siluman cilik tinggal bersama di gua neraka ini, bisa jadi akan melahirkan segerombolan siluman pula."

Belum habis ucapan Siau-hi-ji, nyonya genit itu sudah tertawa terpingkal-pingkal, semprotnya, "Huh, kau setan cilik ini juga paham soal bikin anak segala? Tapi aku bukan induk babi, mana bisa melahirkan anak satu gerombol!?"

Dengan tertawa Siau-hi-ji menanggapi, "Habis di gua ini apa yang dapat kita kerjakan selain membuat anak? Sebabnya orang miskin justru banyak anak juga lantaran mereka tidak mempunyai pekerjaan lain."

"Haha, tak kusangka banyak juga pengetahuanmu setan cilik."

"Masakah kau tidak tahu bahwa aku inilah si mahapintar di dunia ini? Jika benar kau akan hidup selamanya bersamaku, tanggung kau takkan kecewa dan kesepian."

Si nyonya genit menatapnya dengan tersenyum mesra, katanya, "Tapi kalau benar aku hendak melahirkan anak bersamamu, sedikitnya harus kutunggu tiga tahun lagi."

"Tidak perlu tunggu, sekarang juga aku sanggup," ucap Siau-hi-ji dengan sungguh-sungguh. "Tidak percaya boleh uji coba!"

"Buset!" semprot si nyonya genit dengan tertawa, "Kau memang...."

Pada saat itulah tiba-tiba terdengar suara tertawa berkumandang dari jauh, kata suara itu, "Hai, budak setan she Siau, kau takkan dapat kabur lagi, kecuali selama hidup ini kau takkan naik ke sini."

Suara itu jelas berkumandang dari puncak atas sana menembus kabut, tapi terdengar seperti orang berteriak di tepi telinga sehingga anak telinga serasa pekak.

Air muka si nyonya gaun hijau berubah pucat seketika.

"Keras juga tenggorokan orang itu," ujar Siau-hi-ji. "Orang yang berkerongkongan besar di dunia ini rasanya tidak banyak, entah dia lagi bicara dengan siapa. Apakah terhadapmu!"

"Ehm," jawab si nyonya genit singkat.

"Siapa dia?"

"Dia... dia bukan manusia, pada hakikatnya dia itu siluman tua!"

"Jadi lantaran kau tahu dia sedang menantikan dirimu di atas, makanya kau lebih suka sembunyi selama hidup di sini dan tidak berani naik ke atas, begitu bukan?"

"Ai, rupanya kau tidak tahu betapa lihainya siluman tua bangka ini," kata si nyonya genit dengan gegetun. "Tidak cuma ilmu silatnya saja yang lihai, bahkan tangannya ganas dan hatinya kejam."

"Masakah hatinya lebih kejam daripada hatimu dan tangannya lebih ganas daripada tanganmu?" ujar Siau-hi-ji.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar