Pendekar Binal Jilid 28

Pendekar Binal
Gu Long (Khu Lung)
-------------------------------
----------------------------
Bahwa dua seteru dapat hidup bersama terkurung di dalam gua selama empat belas tahun, sungguh Siau-hi-ji tak dapat membayangkan cara bagaimana mereka dapat melewatkan hari-hari begitu.

Dilihatnya kedua orang itu sedang saling melotot, seperti panah yang sudah siap di busurnya, sekali jepret segera meleset. Tapi sampai sekian lamanya kedua orang ini ternyata tiada yang turun tangan lebih dulu.

Dengan menyeringai Hian-ko-sin-kun berkata, "Kau jangan lupa, kini sudah hadir setan cilik ini, aku takkan kesepian lagi, seumpama saat ini kubunuhmu juga bukan soal."

Sim Gin-hong menjengek, "Hm, lantaran kau dendam padaku, kau tidak rela mati duluan daripada diriku, makanya kau tahan hidup sampai sekarang. Jika aku benar-benar mati, kau pun takkan hidup lama lagi."

"He, jika begitu, lantaran kalian ini saling dendam, maka tahan hidup terus hingga sekarang," timbrung Siau-hi-ji.

"Memangnya orang Cap ji-she-shio boleh mati lebih dulu daripada si tukang kawal busuk ini?" ucap Hian-ko-sin-kun dengan menggereget.

"Jadi selama belasan tahun ini dilewatkan kalian dengan cara saling gebuk dan saling maki?" tanya Siau-hi-ji.

"Jika tidak saling gebuk dan saling maki, lalu cara bagaimana melewati hari-hari panjang ini?" kata Sim Gin-hong.

"Kalau tidak begitu, tentu sudah sejak dulu kumampuskan dia!" sambung Hian-ko-sin-kun.

"Sungguh tak tersangka bahwa dendam juga menimbulkan kekuatan sehebat ini," kata Siau-hi-ji dengan gegetun. "Aku cuma tahu bahwa dendam membuat orang mati, tak tersangka dendam juga membuat orang hidup, sungguh kejadian yang tak pernah kudengar."

"Kau masih terlalu muda, hal-hal yang belum kau pahami masih sangat banyak," ujar Sim Gin-hong.

"Tapi kalian berdua mengapa tidak berdaya upaya untuk lolos dari sini?" tanya Siau-hi-ji.

"Jika dapat lolos tentu sudah sejak dulu-dulu kutinggal pergi, masakah perlu kau setan cilik ini bertanya lagi?" jawab Hian-ko-sin-kun alias si kera.

"Kalau kalian tak dapat lolos dari sini, cara bagaimana pula kalian dapat masuk ke sini?"

"Soalnya partai harta benda itu disembunyikan di sini," tutur si kera dengan gemas. "Aku telah memaksa dia membawaku ke sini. Dengan sendirinya aku tidak percaya penuh padanya, maka kusuruh dia masuk ke sini lebih dulu dan aku ikut di belakangnya... kami masuk ke sini dengan menggunakan tali."

"O, kiranya aslinya dia tukang kawal, kau hendak merampas barang kawalannya, tapi dengan suatu tipu daya dia menyembunyikan barang kawalannya di sini sehingga kau menubruk tempat kosong," demikian Siau-hi-ji menguraikan kejadian dahulu menurut rekaannya. "Cuma ilmu silatnya bukan tandinganmu, akhirnya kau dapat memaksa dia membawamu ke sini."

"Walau pun masih ada liku-likunya, tapi garis besarnya memang begitu," kata Sim Gin-hong.

"Sampai di sini, kalian menggunakan tali kerek untuk turun ke sini," ucap Siau-hi-ji pula. "Dia di depan dan kau di belakang, soalnya kau khawatir dia memotong tali dan kau bisa jatuh ke jurang."

"Tukang kawal busuk ini tak dapat dipercaya, apa pun dapat dilakukannya, maka senantiasa aku harus waspada," kata si kera.

"Lalu ke mana tali itu?" kata Siau-hi-ji pula. "Mestinya kalian dapat merayap ke atas lagi dengan tali itu, memangnya tali itu telah dipotong putus oleh orang lain lagi?"

"Mana ada orang lain lagi yang memotong tali itu? Tatkala mana tiada bayangan setan sekali pun," tutur si kera.

"Aneh, habis ke mana tali itu?" tanya Siau-hi-ji heran.

Gigi si kera berkeriutan saking geregetan, katanya, "Begitu melihat harta karun, aku menjadi kegirangan dan lupa daratan, kesempatan itu telah digunakan tukang kawal busuk ini untuk membakar tali."

Siau-hi-ji berpikir sejenak, lalu bertepuk tangan dan berseru, "Aha, benar, tentunya tali itu telah dicelup ke dalam minyak sehingga mudah terbakar."

"Memang, baru saja tali itu tersulut api, wah, dalam sekejap saja lantas terbakar sebagian besar sehingga aku tak dapat berbuat apa pun. Sungguh tak pernah kuduga akan tindakannya yang licik ini," omel si kera.

"Ya, sungguh akal yang bagus, dengan sendirinya tak tersangka olehmu," ujar Siau-hi-ji. "Tampaknya dia memang sudah berniat mengurungmu di sini, ia sendiri pun bertekad akan gugur bersamamu, kalau tidak masakah dia sengaja membawamu ke tempat penyimpanan harta karun ini."

Sim Gin-hong menyeringai, katanya, "Sungguh tak nyana sekecil ini umurmu, tapi seperti cacing di dalam perutku saja yang dapat memahami jalan pikiranku. Tatkala mana memang telah kupikirkan tipu daya yang baik untuk menjebaknya, akhirnya kupikir hanya tempat ini saja yang dapat mengurungnya selama hidup, kalau tidak masakah aku mau membawanya ke sini?"

"Tapi selama ini cara bagaimana kalian hidup, sungguh aku tidak habis mengerti?"

"Sudah tentu berkat usahaku...." seru si kera.

"Aha, betul," kata Siau-hi-ji, "Julukan kera adalah 'Hian-ko' (mempersembahkan buah), kau adalah 'Hian-ko-sin-kun', dengan sendirinya kau tahu caranya menyuruh kawanan kera mempersembahkan buah-buahan kepada kalian."

Ucapannya bernada menyindir, tapi bagi pendengaran Hian-ko-sin-kun malah sangat menyenangkan. Dengan tertawa ia berkata, "Watak kawanan kera, rasanya di dunia ini tiada yang lebih mengenalnya daripadaku. Bila kulempar batu keluar gua untuk menimpuk mereka, dengan sendirinya mereka akan meniru dengan balas menyambit kami, dan yang mereka sambitkan ke sini adalah buah-buahan."

"Jika batu yang mereka sambitkan ke sini, lalu bagaimana?" tanya Siau-hi-ji.

"Di luar adalah tebing jurang yang beratus kaki tingginya, dari mana datangnya batu," ucap si kera dengan tertawa.

"Betul, betul," Siau-hi-ji mengangguk setuju. "Kera memetik buah memang jauh lebih mudah daripada memungut batu. Tapi... tapi hanya sedikit buah-buahan apakah kalian dapat makan kenyang?"

"Apa yang dimakan kawanan kera, apa pula yang kami makan, meski ukuran makan kera tidak banyak, tapi kami pun tidak perlu makan terlalu banyak," ujar Hian-ko-sin-kun.

Sambil memandangi tubuh mereka yang kecil dan kurus kering, Siau-hi-ji tertawa, katanya, "Betul juga, ini jelas kelihatan."

"Tapi kau setan cilik ini jangan keburu gembira," kata Hian-ko-sin-kun dengan menyeringai, "Selanjutnya yang kau makan juga begini-begini saja. Cuma kau pun jangan khawatir, selama belasan tahun ini hanya kau yang kulihat, tidak mungkin kubikin kau mati kelaparan."

"Aku pun sudah bosan melihat tampangmu yang monyong, seumpama hendak kau bikin dia mati kelaparan juga aku tidak setuju," timbrung Sim Gin-hong.

Siau-hi-ji tidak menggubris lagi pertengkaran kedua seteru itu, dia memandang keluar gua dengan termangu-mangu.

Dengan tertawa Hian-ko-sin-kun berkata pula, "Selanjutnya kita adalah anggota satu keluarga, bisa jadi kau pun akan tinggal di sini untuk tiga puluh atau lima puluh tahun. Eh, siapakah namamu, coba sebutkan!"

"Kang Hi," jawab Siau-hi-ji.

"Kang Hi...?. Haha, Ang-sio-hi, Jing-tim-hi, Sian-hi-theng.... Ehm, alangkah lezatnya makanan itu.... Ai, betapa baiknya jika kau ini benar-benar seekor ikan, tentu aku dapat menikmati santapan enak, sekali pun dimakan mentah-mentah juga lumayan," lalu si kera memejamkan mata dan membayangkan betapa lezatnya masakan di restoran, mulutnya tampak berkecek-kecek dan air liur pun hampir saja menetes.

"Hm, dalam keadaan begini, seekor ikan saja bagimu mungkin jauh lebih berharga daripada benda mestika," jengek Sim Gin-hong.

"Memang," sahut Hian-ko-sin-kun alias si kera. "Saat ini, detik ini, segenap benda mestika di seluruh dunia ini juga tak dapat ditukarkan satu porsi Ang-sio-hi yang sedap dengan saus tomat yang kental itu."

"Jika sejak mula kau tahu hal ini, tentu kau takkan datang ke sini," jengek Sim Gin-hong pula.

"Eh, bicara sekian lamanya, partai harta pusaka yang kalian sembunyikan itu berada di mana?" tiba-tiba Siau-hi-ji bertanya.

"Kau ingin melihatnya?" tanya Sim Gin-hong.

"Batu permata dan benda mestika, siapa pun ingin melihatnya," ucap Siau-hi-ji.

"Baiklah, ikutlah kemari...."

Tapi Hian-ko-sin-kun lantas membentak, "Semua itu milikku, berani kau menjamahnya segera kuhantam mampus kau!" Setelah mendelik sekian lama, akhirnya ia berkata pula dengan tertawa, "Tapi ada baiknya juga diperlihatkan kepada Siau-hi-ji ini agar dia tahu betapa kayanya aku ini."

Sembari berkata, segera ia menyeret keluar dua buah peti dari pojok yang gelap sana. Kedua peti besi itu sudah karatan, tapi ternyata penuh berisi ratna mutu manikam yang membuat pandangan silau.

Betapa bangga dan senangnya Hian-ko-sin-kun alias si kera, ini terbukti dari tertawanya yang terbahak-bahak sehingga matanya yang memang kecil itu bertambah sempit.

"Siau-hi-ji," katanya kemudian, "Sekarang kau sudah lihat bukan, semua ini adalah milikku, asalkan... asalkan kuberikan satu dua biji batu permata ini padamu, maka cukuplah bagimu untuk hidup mewah selama hidup tanpa bekerja."

Siau-hi-ji tidak menggubrisnya, ia terkesima memandangi benda mestika yang gemerlapan itu.

Selang sejenak barulah dia menghela napas dan berkata, "Sayang, sungguh sayang!"

Hian-ko-sin-kun juga ikut menghela napas, tukasnya, "Ya, memang sayang seribu sayang, memiliki harta benda sebanyak ini, tapi sedikit pun tak dapat menikmatinya."

"Tapi yang kusayangkan bukankah urusan ini," jengek Siau-hi-ji.

Si kera melotot, teriaknya, "Tidak menyayangkan urusan ini? Memangnya di dunia ini masih ada urusan lain yang harus disayangkan?"

"Yang kusayangkan adalah agak terlambat kalian bertemu dengan aku," kata Siau-hi-ji dengan tenang-tenang.

Melengak juga si kera, "Memangnya kenapa kalau kami lebih dini bertemu denganmu?"

"Jika satu tahun lebih dini kalian bertemu dengan aku, tentu saat ini kalian sudah hidup bebas bahagia selama setahun di dunia luar sana. Bila kalian bertemu lebih dini sepuluh tahun dengan aku, saat ini kalian sudah hidup mewah selama sepuluh tahun."

Persis seekor kera, Hian-ko-sin-kun garuk-garuk kepalanya yang tidak gatal dengan mata berkedip-kedip, katanya, "Maksudmu...."

"Maksudku jika kalian dapat lebih dini bertemu dengan aku, tentu sudah lama kutolong kalian keluar dari sini."

Serentak Hian-ko-sin-kun menyurut mundur dua langkah dengan mata melotot, matanya tidak berkedip-kedip lagi. Ia pandang Siau-hi-ji dengan heran seakan-akan di hidung anak muda itu timbul sekuntum bunga nan indah.

"Kau tidak percaya?" tanya Siau-hi-ji dengan tertawa.

Sekonyong-konyong si kera bergelak tertawa, tertawa geli, "Hahahaha, kau anak gila, pembual kecil, kau mampu menolong kami keluar Hahahaaah" Mendadak ia pegang bahu Sim Gin-hong dan tertawa terpingkal-pingkal sehingga perut terasa mules. Lalu katanya kepada kawannya itu, "Kau dengar tidak? Bocah ini bilang mampu menolong kita keluar? Hahaha, dia anggap dirinya orang macam apa? Hihi, mungkin dia kira dirinya malaikat dewata."

Sim Gin-hong tidak menanggapinya, ia pandang Siau-hi-ji, ia tatap mata Siau-hi-ji yang bening dan besar itu, ia perhatikan senyum yang terkulum di wajah anak muda itu, lalu berkata dengan perlahan, "Bisa jadi dia memang punya akal."

"Kau... kau juga percaya ocehan setan cilik ini?" teriak si kera.

"Dia tiada alasan membohongi kita," jawab Sim Gin-hong.

"Tapi neraka ini ke atas tidak mencapai langit, ke bawah tidak sampai di bumi, hanya terkatung-katung di dalam perut gunung, kita sendiri sudah berusaha selama belasan tahun dan tidak mampu keluar, masakah begitu si setan cilik ini datang segera kita dapat keluar?" teriak si kera pula.

Siau-hi-ji tersenyum, katanya, "Soalnya bentuk kepala tuan dengan kepala hamba ini rada berbeda."

Si kera menjadi gusar, dampratnya, "Memangnya kepalamu lebih berguna daripada kepalaku?"

"Mana kuberani bilang begitu," ujar Siau-hi-ji dengan tertawa, "Kepala hamba juga tidak banyak lebih berguna daripada kepala tuan, paling-paling hanya berselisih dua puluh kali lipat saja."

"Kentut busuk!" si kera berjingkrak gusar.

"Tapi tuanku juga tidak perlu marah," Siau-hi-ji berolok-olok pula. "Kepala yang dimiliki tuanku boleh dikatakan juga tidak jelek, sedangkan kepala hamba ini mungkin di seluruh jagat belum ada kepala lain yang sama."

"Baik, jika begitu, lekas katakan akalmu yang baik, kalau tidak pasti kubunuhmu," teriak si kera.

"Dan bila akalku sudah kukatakan, lalu bagaimana?" tanya Siau-hi-ji.

"Jika akalmu cukup bagus, biar kupanggil kau sebagai kakek juga aku rela," ucap si kera.

"Ai, ai, mana kuberani, cucu macam tuanku ini mana aku sanggup terima," ujar Siau-hi-ji sambil tertawa. "Tapi kalau tuanku berani, ayolah kita bertaruh!"

"Bertaruh apa?!" tanya Hian-ko-sin-kun.

"Di dalam tiga bulan kalau aku tak dapat menolong kalian keluar dari neraka ini, maka anggaplah aku kalah, kuberikan kepalaku ini."

"Tiga bulan?" si kera menegas, "He, hahaha, kukira kepalamu sakit, sekali pun tiga tahun...."

"Tidak perlu tiga tahun, cukup tiga bulan saja," tukas Siau-hi-ji. "Tapi di dalam tiga bulan ini kalau benar-benar aku dapat mengeluarkan kalian dari neraka ini, lalu bagaimana?!"

"Anggap aku kalah dan akan kuberikan delapan kepalaku."

"Kepala tuanku itu tidak leluasa dibawa ke sana kemari, diberikan kepada Li Toa-jui juga dia tidak doyan. Satu saja repot, kalau delapan kan bisa tambah runyam," dia goyang-goyangkan tangan mencegah ucapan si kera, lalu menyambung, "Bila tuanku kalah, cukup tuanku berjumpalitan beberapa kali di hadapanku saja."

Hian-ko-sin-kun berjingkrak gusar, katanya, "Baik, kau setan cilik ini membuat aku marah.... Baiklah, kalau aku kalah, boleh terserah apa kehendakmu, tapi kalau kau yang kalah, aku tetap menginginkan kepalamu."

"Kau kudu pegang janji," kata Siau-hi-ji.

"Kentut juga kuakui," jawab si kera tegas.

"Pokoknya bila aku berhasil menolong kalian keluar dari sini, kau harus menurut padaku."

"Baik, akan kuturuti semua kehendak makmu," kata si kera.

"Bagus, tiga bulan, terhitung mulai sekarang," seru Siau-hi-ji, mendadak ia comot sepotong jamrud yang paling besar terus dilemparkan keluar gua.

Jamrud yang hijau kemilau biar pun dalam kegelapan juga cukup menyolok mata. Sejak tadi Sim Gin-hong hanya memandangi Siau-hi-ji dengan mengulum senyum, kini ia pun terkejut demi melihat perbuatan anak muda itu.

Sudah tentu yang paling kelabakan adalah Hian-ko-sin-kun alias si kera, cepat saja ia cengkeram Siau-hi-ji dan membentak, "He, anak gila, tahukah apa yang kau lakukan itu?"

"Sudah tentu kutahu," jawab Siau-hi-ji dengan tertawa.

"Tahukah kau dengan melemparkan sepotong jamrud sebesar itu berarti sama nilainya dengan membuang sebuah gedung baru besar tiga tingkat... sama nilainya dengan membuang tiga ratus ekor sapi gemuk ditambah seribu ekor kuda dan...."

"Sudah tentu aku pun tahu."

"Nah, jika begitu mengapa... mengapa...."

"Kau mengakui kentutmu tidak? Baru saja kau menyatakan akan menuruti semua kehendak makmu, apakah sekarang kau sudah lupa?"

"Memangnya caramu ini juga... juga termasuk upaya menolong kami? Huh, lebih tepat dikatakan kau sengaja membikin bangkrut diriku."

"Ya, sudahlah, jika kau lebih suka harta daripada nyawa," ucap Siau-hi-ji gegetun.

"Tapi... tapi caramu membuang-buang benda mestika begitu apa pula artinya?"

"Artinya? Ya, kutahu kau pasti tidak paham.... Tapi apakah kau pun tidak paham?" ucapan Siau-hi-ji yang terakhir ini ditujukan kepada Sim Gin-hong.

Air muka Sim Gin-hong mengunjuk rasa girang, jawabnya, "Walau pun Cayhe rada paham, tapi belum jelas seluruhnya."

"Begini," tutur Siau-hi-ji, "Setelah kulemparkan benda mestika ini tentu kawanan kera itu akan saling berebut, mereka pasti sama dengan saudara kera kita ini, betapa pun ingin memilikinya."

"Ehm, betul," ucap Sim Gin-hong.

"Nah, bila ada seratus potong benda mestika yang kulemparkan, sedikitnya ada lima puluh potong terjatuh di tangan kawanan kera itu. Setelah memegang benda mestika, tentu mereka akan membawanya dan dipamerkan ke mana-mana."

"Hehe, memang sifat sok pamer kawanan kera tidak kalah daripada manusia," ujar Sim Gin-hong dengan tertawa.

"Dan di antara lima puluh potong batu mestika itu, asalkan satu potong saja dilihat orang, tentu orang itu akan menyelidiki dan mencari tahu dari mana datangnya benda mestika itu."

"Betul, umpama diriku juga pasti akan bertindak begitu," kata Sim Gin-hong.

"Agar usaha pencariannya lebih berhasil, orang itu tentu akan mengajak kawan. Sedangkan urusan rezeki, sekali orang kedua sudah diberitahu, dengan cepat tentu akan diketahui pula oleh orang ketiga, kalau sudah orang ketiga, akhirnya pasti akan diketahui orang ketigaratus."

"Ya, tepat," Sim Gin-hong tertawa.

"Dan bila berita ini sudah tersiar, tidak perlu khawatir lagi orang-orang takkan mencari ke sini," kata Siau-hi-ji.

"Betul," seru Sim Gin-hong pula sambil keplok, "Seumpama orang yang paling tidak becus, jika persoalannya mengenai cari harta karun, tidak becus pun berubah jadi becus. Apa lagi bila berita ini sudah tersiar, seketika berbagai tokoh terkemuka juga pasti akan memburu ke sini."

"Nah, sekarang kau sudah paham bukan?" kata Siau-hi-ji. "Bila ada orang datang ke sini, maka kita pun pasti dapat keluar dari sini. Akal sederhana begini ternyata tidak kalian ketemukan selama belasan tahun, sungguh aku sangat heran."

Sikap gusar Hian-ko-sin-kun tadi kini sudah buyar, ia malah terus merangkul Siau-hi-ji dan diangkat tinggi-tinggi sambil bergelak tertawa dan berteriak seperti orang gila, "Aha, kau benar-benar manusia paling pintar di dunia ini!"

Tapi Siau-hi-ji lantas menarik muka, katanya, "Memangnya sebelum ini ada orang yang lebih pintar daripadaku?"

Begitulah, maka harta benda mestika yang tak ternilai, bahkan ada manusia yang selama hidupnya tak pernah melihat barang sepotong pun benda mestika itu, kini satu per satu dibuang begitu saja oleh Siau-hi-ji seperti orang melempar tomat busuk atau kulit pisang. Setiap kali dia melemparkan sepotong, setiap kali pula wajah Hian-ko-sin-kun tampak meringis laksana kena dibacok orang satu kali, entah lagi tertawa senang atau menangis sedih.

Hari pertama saja Siau-hi-ji sudah melemparkan sepotong jamrud besar, satu kalung bertatahkan intan, satu biji batu mata kucing, sepasang gelang kemala putih. Besoknya yang dibuang Siau-hi-ji naik satu kali lipat.

Selanjutnya benda-benda mestika yang dibuangnya itu setiap hari bertambah banyak, yang paling kesal adalah Hian-ko-sin-kun alias si kera, air mukanya gelap, matanya merah, mulutnya tiada hentinya mengomel, "O, orang pintar, tahukah kau bahwa benda yang telah kau lempar itu berapa nilainya? Jika benda-benda itu dijadikan uang, mungkin cukup untuk membiayai menguruk rata jurang neraka ini."

Namun Siau-hi-ji tidak pedulikan dia, sampai hari ketujuh, Hian-ko-sin-kun merasa seperti disayat-sayat menyaksikan caranya Siau-hi-ji membuang-buang harta benda, butiran keringat memenuhi dahinya. Dengan menggereget ia mengomel dan berkata dengan geram, "O, orang pintar, apa bila akal bagus yang kau laksanakan ini tidak berhasil, maka tahulah cara bagaimana kau akan kubunuh?"

Dengan tak acuh Siau-hi-ji menjawab, "Setelah harta benda ini kulempar habis dan masih tiada orang datang, maka boleh terserah cara bagaimana kau akan membunuh aku." Padahal ia sendiri pun sudah mulai lemas, benda mestika itu sudah amblas separo, tapi bayangan setan belum nampak satu pun.

Akhirnya Hian-ko-sin-kun merampas kembali peti besi itu, ia duduk di atas peti dan berteriak, "Sudah cukup, jangan menjamahnya lagi, siapa pun tidak boleh menyentuhnya!"

"Apa kau betul-betul ingin harta dan tidak ingin nyawa lagi?" tanya Siau-hi-ji.

Dengan menggereget Hian-ko-sin-kun menjawab, "Demi harta benda ini aku telah menderita selama lima belas tahun, kalau sekarang dibikin ludes oleh kau setan cilik ini, andaikan nanti aku dapat keluar dengan hidup, lalu apa artinya bagiku?"

Mata Siau-hi-ji berkedip, katanya, "Betul juga ucapanmu. Tapi harus kau pertimbangkan, bukan mustahil kalau kulemparkan lagi satu biji mutiara dan mendadak ada orang datang, usaha terakhir ini kalau tidak dilaksanakan, bukankah sia-sia dan sayang?"

Si kera garuk-garuk kepala, katanya ragu-ragu, "Ini... ini...."

"Bisa jadi hanya perlu satu biji mutiara lagi, satu biji saja...." demikian Siau-hi-ji berkata sambil memandang si kera.

Akhirnya Hian-ko-sin-kun menggerung keras sambil melonjak bangun, katanya, "Baiklah, anggap mulut si setan cilik ini lihai, hatiku jadi tergerak oleh ocehanmu."

"Supaya kau tahu, dengan mulutku ini orang hidup dapat kukatakan mati dan orang mati dapat kuhidupkan," ucap Siau-hi-ji dengan tertawa, segera ia mencomot satu biji mutiara sebesar anggur terus diselentik keluar gua dengan perlahan.

Ada satu dengan sendirinya ada dua, ada dua tentu ada tiga dan... beberapa hari telah lalu pula, dan bayangan setan sekali pun tetap tak tertampak.

"Apa lagi yang dapat kau katakan, setan cilik?" teriak Hian-ko-sin-kun dengan geregetan sambil mencengkeram dada baju Siau-hi-ji.

"Bisa jadi dengan...."

"Bisa jadi dengan satu biji mutiara lagi, begitu bukan?" potong si kera sebelum lanjut ucapan Siau-hi-ji.

"Hehe, betul," jawab anak muda itu dengan menyeringai.

"Kentut makmu busuk!" damprat si kera. "Sudah cukup kau bikin susah diriku dan masih... masih...." kedua cakar kera segera hendak mencekik Siau-hi-ji.

Syukur pada saat itu juga tiba-tiba terdengar Sim Gin-hong mendesis dan berseru tertahan, "Sssst! Itu dia datang!"

Waktu mereka berpaling, di tepi gua sana tampak menongol setengah buah kepala. Benar-benar kepala, kepala manusia.

Rambut orang itu terikal di atas kepala, topinya sudah hilang, mungkin jatuh tertiup angin. Alisnya hitam panjang, ekor alis rada melengkung ke atas, tampaknya bengis. Tapi pangkal alis berkerut, agaknya banyak menanggung pikiran.

Seumpama orang itu memang banyak menanggung pikiran, jelas sukar diketahui dari matanya, sebab matanya melotot besar seperti mata ikan emas, biji matanya kaku tak bergerak, bagian putih matanya penuh urat merah.

Jelas itulah mata manusia, tapi tampaknya seperti juga bukan mata manusia, mata sebesar itu ternyata tiada nampak gaya hidup sedikit pun.

Sudah tentu Siau-hi-ji, Sim Gin-hong dan Hian-ko-sin-kun juga sedang melototi mata kepala itu, jadinya saling melotot, entah mengapa timbul juga rasa ngeri dalam hati mereka. Biji mata yang kaku itu seakan-akan membawa semacam hawa yang menyeramkan.

"Kau ini...." belum lanjut Hian-ko-sin-kun, mendadak kepala itu mengapung ke atas dan melayang masuk gua.

Kepala itu tidak bertangan, tidak berkaki, tidak bertubuh, tidak ada apa pun, hanya kepala belaka, kepala melulu.

Kepala itu menumbuk dinding gua, darah berbau amis lantas muncrat.

Kerongkongan Hian-ko-sin-kun seakan-akan tersumbat, ia urung membentak lebih lanjut dan hanya berdiri melenggong. Sebaliknya di luar gua terdengar suara tertawa aneh kaum kera, tampak menongol pula beberapa wajah kera yang menyeringai lucu.

Baru sekarang. Siau-hi-ji menghela napas lega, omelnya dengan tertawa, "Kurang ajar, kiranya kawanan kera brengsek itu yang main gila!"

Tapi kepala manusia itu sekali-kali pasti bukan dipenggal oleh kawanan kera. Sim Gin-hong angkat kepala itu dan diteliti, katanya kemudian, "Mungkin inilah orang pertama yang ingin mencari harta karun."

"Ya, tapi kepalanya telah dipenggal orang," sambung Hian-ko-sin-kun.

"Entah siapa yang memenggalnya," kata Sim Gin-hong.

Sambil memandangi matahari yang sudah hampir terbenam di luar gua sana Siau-hi-ji berkata dengan perlahan, "Orang yang memenggal kepala itu mungkin segera akan datang?"

Akan tetapi tunggu punya tunggu, "Orang yang memenggal kepala itu" belum lagi datang. Malam sudah larut, subuh sudah hampir tiba, Hian-ko-sin-kun menjadi tidak tenteram lagi.

Cahaya fajar yang remang-remang mulai menembus ke dalam gua yang gelap itu, mendadak di mulut gua menjulur masuk sebuah tangan.

Kelima jari tangan itu mencengkeram kaku, di tengah remang-remang fajar tangan ini kelihatan menjadi rada misterius.

Tanpa bicara Hian-ko-sin-kun terus melompat maju dan menarik tangan itu, tidak banyak tenaga yang digunakannya dan tangan itu kena dibetotnya. Ternyata tangan itu pun sebuah tangan melulu, tertabas sebatas sikut, bagian yang putus itu masih ada darah beku yang sudah menghitam. Di bagian punggung tangan ada bekas luka panjang, agaknya di waktu yang lalu tangan ini pun hampir putus dibacok orang.

"Kepala sudah datang, tangan pun menyusul, selanjutnya mungkin adalah sebuah kaki busuk," kata Hian-ko-sin-kun dengan suara serak.

"Tapi kepala dan tangan ini bukan berasal dari satu orang yang sama," ujar Siau-hi-ji .

"Memangnya kau tahu dari mana? Kau tanya dia?" jengek si kera.

"Kulit kepala itu halus, sedang kulit tangan ini kasap seperti amplas, masakah kau tak dapat melihatnya atau merabanya?"

Si kera mendengus dan terdiam sejenak, lalu berkata pula, "Jadi tangan ini adalah orang kedua...."

"Betul, tangan inilah yang memenggal kepala itu," kata Siau-hi-ji.

"Sok tahu, memangnya kau menyaksikannya?" jengek Hian-ko-sin-kun.

"Lihat saja tangan ini, kalau bukan tangan yang kuat ini, mana bisa sekali tebas memenggal kepala orang?"

"Hmk!" kembali si kera menjengek.

"Dari bentuk telapak tangan ini seharusnya kau tahu pada detik sebelum tangan ini ditabas kutung tentunya sedang memegang erat sebatang golok," tutur Siau-hi-ji pula. "Bukan saja golok, bahkan golok pusaka. Makanya begitu tangan terbatas putus segera pula goloknya direbut orang. Sebuah tangan yang kuat memegang sebatang golok pusaka, dengan sendirinya mudah sekali digunakan memenggal kepala orang. Yang sukar dimengerti adalah entah mengapa tangan ini bisa juga dibuntungi orang."

Tiba-tiba terdengar Sim Gin-hong menghela napas dan menukas, "Betul, tangan ini memang sebuah tangan yang kuat, golok yang dipegangnya juga sebatang golok pusaka."

Sinar mata Hian-ko-sin-kun tampak gemerdep, jengeknya, "Hm, kau tahu juga?!"

"Sudah tentu tahu," jawab Sim Gong-hong, ia menghela napas pula, lalu menyambung, "Meski kepala itu tak kukenal, tapi tangan ini cukup kukenal."

Alis Siau-hi-ji tampak berjengkit, katanya, "Jangan-jangan dari bekas luka ini?"

"Betul, bekas luka di tangan itu adalah hasil karyaku," tutur Sim Gin-hong, tapi aku pun membubuhkan obat pada lukanya hingga merapat, semua itu tidak... tidak dapat kulupakan." Dari nadanya terasa peristiwa itu banyak mengandung kisah sedih yang mengharukan.

Namun Hian-ko-sin-kun lantas menjengek, "Hm, kau melukai dia dan memberi obat pula, barangkali otakmu rada miring."

"Kukira bacokan itu tentunya salah paham, kau menyesal setelah melukai dia, makanya kau memberi obat padanya, begitu bukan?" ujar Siau hi-ji.

"Ya, memang begitulah," kata Sim Gin-hong.

"Jika begitu, tentunya orang itu adalah kawanmu sendiri?" tanya Siau-hi-ji.

"Ya, orang ini adalah Kim-to (si golok emas) Thi Ju-liong," jawab Sim Gin-hong. "Sebenarnya dia adalah sahabat karibku, cuma lantaran berebut kedudukan Congpiauthau, aku... aku telah membacoknya satu kali, sesudah kejadian itu aku menjadi sangat menyesal, tapi dia lantas pergi tanpa pamit. Peristiwa itu sudah 20 tahun yang lalu, tak tersangka dia... dia...." sampai di sini, ia berpaling ke sana dan terbatuk-batuk.

"Kim-to Thi Ju-liong, nama ini pernah kudengar juga, konon ilmu silatnya cukup tangguh," kata Hian-ko-sin-kun. "Tapi meski ilmu silatnya lebih tinggi daripadamu, namun otaknya tidak lebih tajam, makanya dia kena kau bacok. Tapi selama 20 tahun ini kuyakin dia tekun berlatih dengan tujuan membalas dendam, maka ilmu silatnya pasti sudah jauh lebih maju, akan tetapi tangannya toh kena dikutungi orang, maka dapat dibayangkan orang yang memotong tangannya itu pasti tokoh yang lihai dan kita harus waspada."
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar