Pendekar Binal Jilid 24

Pendekar Binal
Gu Long (Khu Lung)
-------------------------------
----------------------------
Pek-coa-sin-kun merasa lega, katanya pula, "Kita sudah sampai di belakang gunung Go-bi-san, sekarang boleh kau menunjukkan jalannya."

Segera pandangan Siau-hi-ji terbeliak, kerudung kepalanya telah ditanggalkan, walau pun di tengah malam gelap, tapi rasanya cahaya bintang malam ini jauh lebih terang daripada biasanya dan jauh lebih mempesona bagi anak muda itu.

"Ai, baru sekarang kutahu rasanya jadi orang buta memang tidak enak," ucap Siau-hi-ji dengan menghela napas panjang.

Pegunungan Go-bi yang tinggi dan terjal itu kelihatan sangat mengerikan. Lebih-lebih di bagian belakang gunung, terasa berpuluh puncak yang menjulang tinggi itu seakan-akan roboh menindih ke bawah.

Di mana berada sekarang adalah suatu bagian paling terpencil di atas Go-bi-san, tidak lama mereka mendaki segera kabut tebal timbul dari bawah kaki mereka, setiba di pinggang gunung mereka pun sudah terbenam di tengah lautan awan dan kabut tebal.

Meski Siau-hi-ji berniat menggunakan kegesitan dan kelincahannya untuk melepaskan diri dari cengkeraman Pek-coa-sin-kun, terpaksa ia urungkan niatnya mengingat belasan ular hijau kecil masih membelit di tubuhnya. Satu-dua jam kemudian, napas kedua orang itu pun terengah-engah.

"Sudah sampai belum?" tanya Pek-coa-sin-kun sambil tersengal-sengal.

"Memangnya kau merasa kurang cepat?" jawab Siau-hi-ji. "Tanpa petunjukku, seumpama kau tahu tempatnya, biar pun kau mencarinya tujuh atau sepuluh hari juga belum tentu dapat menemukannya."

Mendadak Pek-coa-sin-kun tertawa dan berkata, "Haha, kau sungguh anak yang pintar dan tangkas, jauh lebih cekatan daripadaku."

"Itu dia, sebelum menemukan harta karun itu memang perlu kau menjilat pantatku," kata Siau-hi-ji, "Nanti kalau harta karun sudah ditemukan bolehlah kau menyembelih dan mencincang diriku."

"Jangan khawatir," kata Pek-coa-sin-kun dengan suara halus. "Setelah menemukan harta karun itu aku malah takkan membunuh kau, bahkan akan kuberikan kebaikan kepadamu, kau...." mendadak ia berteriak gusar, "Setan cilik, ayo keluar, lekas keluar...."

Kiranya selagi dia mencerocos dan lupa daratan, tahu-tahu Siau-hi-ji telah menghilang.

Keruan Pek-coa-sin-kun kelabakan hingga keringat dingin merembes memenuhi dahinya, ia berteriak murka pula, "Setan cilik, jika tidak lekas keluar, sekali aku bersuit segera kau bisa mampus! Tiada gunanya biar pun kau lari ke mana pun."

Tapi di tengah malam kelam berkabut tebal itu bayangan Siau-hi-ji tetap tidak kelihatan.

Pek-coa-sin-kun seperti orang kebakaran jenggot, ia berteriak pula, "Dengarkan setan cilik, ular itu bernama Pek-si-coa (ular benang hijau) dan juga disebut belatung penyusup tulang, tanpa perintahku, selamanya ular-ular itu akan terus menempel di tubuhmu sampai kau menjadi bangkai. Nah, pikirkan sendiri, apakah tindakanmu ini tepat atau tidak?"

Sekonyong-konyong terdengar orang mengikik tawa di sebelahnya, suara Siau-hi-ji lagi berkata, "Hihi, aku berada di sini, apa yang kau ributkan?"

Pek-coa-sin-kun mengamat-amatinya hingga sekian lama, akhirnya baru dilihatnya di sebelah sana ternyata ada sebuah gua, banyak akar-akaran yang bergelantungan hingga menutupi mulut gua. Entah sejak kapan Siau-hi-ji telah menyusup ke gua itu.

"Ayolah kemari, di sinilah jalan masuk ke tempat harta karun itu," seru Siau-hi-ji.

Sebenarnya Pek-coa-sin-kun sangat gemas, tapi mendengar ucapan anak muda itu, seketika sirap api amarahnya, cepat ia menyusup ke sana, segera pula ia merasa hawa dingin menyambar dari depan, tanpa terasa ia menggigil, katanya dengan gegetun, "Sungguh hebat Yan Lam-thian itu dapat menemukan tempat begini...."

Kalau tempat ini sedemikian rahasia dan tersembunyi, maka betapa besar jumlah harta karun yang terpendam di sini dapatlah dibayangkan. Teringat akan rezeki nomplok ini, seketika Pek-coa-sin-kun kegirangan sehingga tidak merasakan dingin lagi.

Gelap gulita di dalam gua itu sehingga jari sendiri saja tidak kelihatan, Pek-coa-sin-kun lantas menyalakan geretan api, tapi mereka lantas menjerit kaget begitu api menyala. Ternyata di dalam gua itu membujur tiga sosok mayat.

Ketiga sosok mayat itu sangat perlente, tangan masing-masing memegang pedang yang kemilau, tampaknya bukan sembarangan pedang. Tapi mayat-mayat itu melingkar dengan mengenaskan.

Waktu diperiksa, meski kaki tangannya sudah dingin, tapi tubuh mayat itu masih lemas, belum kaku, suatu tanda kematian ketiga orang itu belum lama, tidak lebih daripada satu jam.

Pek-coa-sin-kun membalik ketiga sosok mayat itu dan memeriksa mukanya, seketika air mukanya berubah pucat serupa ketiga mayat itu, tangannya yang memegangi obor juga rada gemetar.

"Kau kenal mereka?" tanya Siau-hi-ji.

"Kim... Kim-leng-sam-kiam, tajam pedangnya dapat memotong emas!" ucap Pek-coa-sin-kun dengan tergagap.

"Kiranya mereka juga tokoh ternama," ujar Siau-hi-ji.

"Bukan saja ternama, bahkan terhitung jago kelas satu," kata si ular. "Jika tempat penyimpanan harta karun ini tidak diketahui orang lain, mengapa mereka dapat tiba di sini?"

Siau-hi-ji juga mengernyitkan kening, katanya, "Ya, ini memang rada-rada aneh."

"Kau hanya heran saja?" bentak si ular dengan bengis.

Siau-hi-ji angkat pundak, jawabnya, "Toh ketiga orang ini sudah mati, buat apa kita merecokinya?"

"Meski mereka sudah mati, tapi orang yang membunuh mereka pasti masih berada di dalam gua ini," kata si ular dengan gusar. "Kalau orang ini sekaligus mampu membinasakan Kim-leng-sam-kiam (tiga pendekar pedang dari Kim-leng), bukankah dia terlebih menakutkan pula?"

"Aneh, siapakah gerangannya? Mengapa dia tahu rahasia tempat ini?" kata Siau-hi-ji.

"Memangnya kau tidak tahu? Masakah bukan kau yang memberitahukan mereka? Peta harta karun ini tentunya cuma selembar saja dan berada padamu, kecuali kau...."

Belum habis ucapan si ular, sekonyong-konyong padam obor yang dipegangnya. Tentu saja ia terkejut, tapi ia pun tahu pasti ada orang diam-diam mengerjainya, cepat ia melangkah mundur mepet dinding gua, lalu membentak, "Siapa itu main sembunyi-sembunyi di situ?"

Dalam kegelapan seorang menjawab dengan perlahan, "Dugaanmu memang tidak salah, orang yang membunuh Kim-leng-sam-kiam memang betul masih berada di sini, ialah aku!"

Suara itu tenang dan biasa saja, tiada sesuatu yang menonjol kedengarannya, tapi justru nada yang teramat biasa inilah kedengarannya menjadi rada menakutkan di dalam gua yang seram dan misterius ini, sampai tokoh macam Pek-coa-sin-kun juga bergidik.

"Sia... siapa engkau?" tanya si ular.

"Apakah kau ingin tahu siapakah diriku?" kata suara itu.

Dengan tabahkan diri Pek-coa-sin-kun menyalakan obornya lagi, di tengah berkelebatnya cahaya obor, tertampak seorang berbaju kelabu melangkah keluar dari dalam gua. Wajah orang juga remang-remang kelabu, tidak kelihatan hidung dan matanya, semuanya tidak kelihatan, selembar mukanya sungguh mirip serabi bulukan sehingga jauh lebih seram dan menakutkan daripada muka yang paling jelek di dunia ini.

Walau pun tahu orang ini pasti memakai kedok, namun tidak urung Siau-hi-ji juga merasa ngeri. Kalau kedoknya menutupi mulut dan hidungnya, kenapa matanya juga dikerudungi? Jika mata terkerudung, mengapa dia dapat berjalan dengan bebas? Padahal tidak enak rasanya menjadi orang buta, Siau-hi-ji sendiri sudah merasakannya tadi.

Terlihat dahi Pek-coa-sin-kun berkeringat dingin, katanya pula dengan terputus-putus, "Engkau... engkau ini Hwe-pian-hok (si kalong kelabu)?"

"Hehe, jadi kau sudah melihat jelas?" kata si kelabu dengan tertawa hambar.

"Apakah Niau-thau-eng (burung kepala kucing, burung hantu atau kokokbeluk) juga...." belum habis ucapan Pek-coa-sin-kun, seketika tubuhnya mematung kaku, serupa patung yang memegang obor, hanya keringat dingin masih mengucur dari keningnya.

Kiranya dari belakang Hwe-pian-hok itu tiba-tiba muncul seorang. Tampaknya orang ini juga tiada sesuatu yang istimewa, tapi matanya melotot dan besarnya luar biasa serta bercahaya.

Dengan tertawa si baju kelabu lantas berkata, "Kalau Hwe-pian-hok berada di sini, dengan sendirinya Niau-thau-eng takkan berada jauh. Lain kali kalau kau bicara dengan orang yang berdiri di depan, janganlah lupa memperhatikan belakangnya."

Sepasang mata Niau-thau-eng tampak melotot kepada Siau-hi-ji, katanya dengan terkekeh-kekeh, "Hehehe, sungguh aku ingin tanya kalian, cara bagaimana kalian dapat menemukan tempat ini?"

Kalau dia tidak bicara memang tidak menarik, sekali dia membuka suara, benarlah namanya sesuai dengan julukannya, suaranya memang mirip burung hantu.

Siau-hi-ji berkedip-kedip, jawabnya, "Pakai tanya lagi, bukankah kau yang memberi tahu padaku?"

Niau-thau-eng, si kokokbeluk, melengak, "Aku yang memberitahukan padamu?"

"Memangnya siapa lagi kalau bukan kau?" ucap Siau-hi-ji. "Peta harta karun tinggalan Yan Lam-thian hanya satu helai, kalau bukan kau yang memberitahukan kami, cara bagaimana kami dapat menemukan tempat ini? Malahan kau minta bantuan kami untuk membinasakan Hwe-pian-hok supaya kau dapat mencaplok sendiri harta karun ini, mengapa sekarang kau ingkar janji dan pura-pura tidak tahu? Apa barangkali kau sudah mendapatkan bala bantuan yang lain lagi?"

Anak muda itu bicara dengan mendelik sambil bertolak pinggang, lagaknya seperti bersungguh-sungguh dan tak bisa dibantah.

Keruan tidak kepalang gusar si kokokbeluk, dampratnya, "Kau setan alas, sekecil ini usiamu, tapi sudah pandai memfitnah, kalau sudah besar bukankah akan jauh lebih jahat daripada gurumu?"

"Betul, sebaiknya lekas kau membunuh aku agar tiada saksi dan tiada bukti lagi," ucap Siau-hi-ji.

"Aku justru ingin membinasakan kau keparat jahanam ini!" teriak Niau-thau-eng dengan murka, berbareng kedua tangannya dengan jari-jarinya yang tajam terus mencakar ke dada dan tenggorokan Siau-hi-ji.

Tapi sedikit pun Siau-hi-ji tidak bergerak, maklumlah kalau sembarangan bergerak, ia khawatir kawanan si "cantik" yang merayapi tubuhnya itu akan menggigit dan itu berarti akan tamatlah riwayatnya.

Syukurlah pada detik berbahaya itu, tiba-tiba sesosok bayangan menyelinap maju dan mengadang di depannya, kiranya si kalong yang bertindak membelanya sambil membentak, "Mengapa kau turun tangan sekeji ini kepada seorang anak kecil?"

Terpaksa Niau-thau-eng menarik mentah-mentah serangannya, teriaknya dengan gemas, "Mengapa kau merintangi aku? Jangan-jangan kau percaya pada ocehan setan cilik ini?"

"Aku cuma rada heran, jelas peta wasiat ini hanya ada satu lembar dan cuma kita berdua saja yang tahu, mengapa orang-orang ini dapat datang pula ke sini?" kata Hwe-pian-hok dengan hambar.

"Kita sudah bersahabat karib selama lebih dua puluh tahun, masakah kau tidak percaya padaku?" teriak Niau-thau-eng dengan parau.

"Sudah biasa orang buta diakali orang melek, mau tak mau rasa curiganya juga besar," ucap Hwe-pian-hok.

"Bagus, tampaknya kau sendiri yang ingin mencaplok harta karun ini, makanya mencari alasan untuk menumpas kawan sendiri," kata Niau-thau-eng dengan gemas. "Hm, sebenarnya sudah lama kudengar si kalong buta sukar dipercaya, sayangnya aku tidak percaya kepada nasihat orang, sekarang ternyata...." belum habis ucapannya, mendadak Hwe-pian-hok memukul dari jauh sehingga obor padam seketika.

Agar tidak ketiban pulung, cepat Siau-hi-ji melompat mundur.

Pada saat itulah mendadak terdengar Niau-thau-eng menjerit kaget, "Bagus, bagus, kau benar-benar turun tangan keji!" Menyusul lantas terdengar pula serentetan angin pukulan dahsyat.

Diam-diam Siau-hi-ji menduga si kokokbeluk pasti celaka, ia tahu si kalong itu buta, dalam keadaan gelap tentu mempunyai kepandaian yang istimewa, biar pun si burung hantu juga dapat melihat dalam kegelapan, tapi seketika pasti akan kecundang lebih dulu.

Benar saja, segera terdengar suara "krak-krek" beberapa kali, suara tulang patah. Menyusul lantas terdengar jerit ngeri Niau-thau-eng, "Kejam amat kau... suatu... suatu hari pasti kau akan... akan menyesal." Setelah mengucapkan kata-kata terakhir itu, kembali terdengar keluhan tertahan, lalu tak terdengar sesuatu suara lagi.

Kemudian mulai terdengarlah gema suara Hwe-pian-hok, si kalong kelabu, ucapnya sekata demi sekata, "Di manakah kau anak kecil?"

Siau-hi-ji menahan napas, tapi di dalam gua yang seram ini, saking tegangnya dari tubuhnya keluar hawa panas yang cukup menjadi petunjuk bagi si kalong untuk mendekatinya. Maklumlah pada umumnya orang buta tentu indera pendengarannya dan penciumannya jauh lebih tajam daripada orang biasa.

Terdengar suara langkah si kalong semakin mendekat, dahi Siau-hi-ji sudah penuh keringat, bajunya yang mepet dinding gua juga sudah basah kuyup.

"Kiranya kau berada di sini," kata si kalong dengan suara halus. "Eh, mengapa kau tidak lekas lari?"

Tapi Siau-hi-ji tetap diam saja sambil menggigit bibir, keringat berketes-ketes melalui batang hidungnya ke mulut, ia merasa risi dan gatal, ingin sekali untuk mengusap dan menggaruknya, tapi ia tidak berani bergerak sama sekali, selama hidupnya belum pernah merasa ketakutan seperti sekarang ini.

Terasa tangan si kalong mulai terjulur ke arahnya, sekujur badan Siau-hi-ji serasa menegang, tapi masih tetap tidak bergerak.

Perlahan tangan si kalong meraba ke lehernya, katanya, "Jangan khawatir, takkan kubikin kau menderita, akan kupencet dengan pelahan saja dan kau akan mati dengan enak, jangan kau salahkan aku, rezeki kalau dibagi dua rasanya terlampau sedikit...." Pada saat itulah mendadak ia menjerit kaget dan segera melompat mundur, serunya dengan suara gemetar, "Le... lehermu...."

Kiranya jarinya yang meraba ke leher Siau-hi-ji itu mendadak kena dipagut oleh ular hijau yang ngendon di situ. Seharusnya orang dapat melihat ular kecil yang melilit di leher Siau-hi-ji itu, namun Hwe-pian-hok buta, mana dia menduga akan leher Siau-hi-ji berkalungkan ular berbisa begitu?

"Nah, baru sekarang kau tahu rasanya ular sakti pelindung badanku ya?" ucap Siau-hi-ji dengan bergelak tertawa. "Hahaha! Orang buta macam kau juga ingin membunuhku? Haha, masakah begitu mudah?"

"Ular... ular berbisa...." Hwe-pian-hok berteriak serak. Di tengah teriakan ketakutan itu ia terus menerjang keluar.

Tapi belum seberapa jauhnya dia berlari, terdengar suara gedebukan keras, ia roboh terjungkal.

Kaget dan girang Siau-hi-ji, girangnya karena musuh sudah mati, kagetnya karena ular piaraan Pek-coa-sin-kun itu ternyata lihai benar-benar. Ia menghela napas lega dan bergumam, "Wahai Hwe-pian-hok, apa bila kau tidak begitu keji, tidak menyerang tenggorokanku, tentu jiwaku sudah melayang sejak tadi. Tapi kutahu tempat yang kau serang pasti tempat mematikan, padahal bagian-bagian tubuhku yang penting itu sama dililit oleh ular berbisa. Ai, ular yang dimaksudkan membunuhku kini berbalik telah menyelamatkan jiwaku, setiap kejadian di dunia ini terkadang memang aneh dan sukar dibayangkan."

Lemah lunglai tubuh Siau-hi-ji seperti kehabisan tenaga, maklumlah, tadi jiwanya memang ibarat telur berada di ujung tanduk, sesungguhnya dia telah menggunakan jiwa sendiri untuk bertaruh dengan Hwe-pian-hok. Di dunia ini kecuali Siau-hi-ji siapa pula yang berani bertaruh secara demikian?

Begitulah ia termenung sejenak, ia bermaksud meraba geretan api milik Pek-coa-sin-kun, tapi tak berani pula sembarang bergerak, kelihaian ular-ular kecil itu sudah disaksikannya tadi.

Tanpa terasa ia menghela napas gegetun pula, "Ai, belatung menempel tulang! Benar-benar belatung nempel tulang, kalau tak dapat membersihkan mereka, sungguh lebih baik mati saja."

Pada saat itulah, tiba-tiba ada cahaya api berkelebat di kejauhan, seorang lelaki kekar berewok berjubah sulam dengan membawa obor tampak memasuki gua, meski gua ini lembab dan seram, namun orang itu tampaknya tak gentar apa pun juga.

Sudah tentu Siau-hi-ji terkejut, tapi orang itu pun tidak kurang kagetnya demi nampak Siau-hi-ji serta mayat yang bergelimpangan di situ. Seketika ia menyurut mundur dua-tiga tindak, lalu menegur bengis, "Siapa kau?"

"Kau sendiri siapa?" jawab Siau-hi-ji.

"Aku saja kau tidak kenal, berani kau berkecimpung di dunia Kangouw?" teriak orang itu.

"Wah, tampaknya kau ini rada-rada terkenal ya?" ucap Siau-hi-ji dengan tertawa.

"Aku inilah Congpiauthau dari gabungan tujuh belas Piaukiok di barat-laut, si kepalan baja dan telapak besi menggetar Tiongciu, she Tio bernama Coan-hay, nama ini tentunya pernah kau dengar bukan?"

"Wah, panjang amat namamu, kedengarannya memang mentereng, tapi apakah kau tahu siapa diriku ini?" jawab Siau-hi-ji dengan tersenyum.

Lelaki yang mengaku Tio Coan-hay itu mendengus, katanya, "Hm, kau ini terhitung barang apa?"

"Hm, supaya kau tahu," Siau-hi-ji juga mendengus, "aku inilah si raja diraja, si agung dari semua pendekar pedang, yang dipertuan dari semua ular, menyapu bersih tiga gunung enam bukit tanpa tandingan di dunia ini, penggetar langit dan pengguncang bumi Giok-ong-cu, pernahkah kau dengar namaku ini?"

Sekaligus ia menyebut nama dan julukannya yang dua kali lipat lebih panjang daripada nama dan julukan Tio Coan-hay tadi, keruan orang she Tio itu benar-benar dibuatnya melenggong.

"Ya, belum pernah kudengar tokoh Kangouw demikian ini!" ucap Tio Coan-hay kemudian.

"Meski kau tidak pernah dengar, boleh kau pulang dan tanya pada gurumu, tentu dia tahu," kata Siau-hi-ji. "Tokoh angkatan tua di dunia Kangouw pasti tunduk bila melihat diriku."

"Huh, anak ingusan seperti kau juga berani sembarangan mengoceh?" damprat Tio Coan-hay dengan gusar.

"Hm, kau kira usiaku ini masih kecil, begitu?"

"Memangnya berapa umurmu? Anakku juga lebih tua daripadamu."

"Barangkali kau belum tahu bahwa ilmu silat yang sudah terlatih sempurna dan mencapai puncaknya dapat membikin orang tua kembali muda?"

Kembali Tio Coan-hay melengak, ia menatap Siau-hi-ji dengan terkesima, tampaknya menjadi ragu-ragu, setengah percaya setengah sangsi.

Siau-hi-ji berkata pula, "Orang yang kubunuh hari ini sudah cukup banyak, aku sudah malas turun tangan pula, mengingat kau juga seorang lelaki gagah bolehlah kuampunimu dan lekas kau pergi."

"Hanya kau saja ingin menggertak lari diriku?" bentak Tio Coan-hay dengan gusar.

"Supaya tidak menyesal, coba silakan lihat dulu tokoh-tokoh macam apakah yang mampus ini," kata Siau-hi-ji.

Waktu Tio Coan-hay mengawasi mayat-mayat yang menggeletak itu, air mukanya berubah seketika, ia bergumam, "Kim-leng-sam-kiam... Hwe-pian-hok... Niau-thau-eng dan... dan...."

"Pek-coa-sin-kun dari Cap-ji-she-shio, kau tidak kenal dia?" sambung Siau-hi-ji.

Tio Coan-hay merasa ngeri, katanya, "Masakah betul mereka... mereka mati di tanganmu?"

"Ah, soal kecil bagiku," kata Siau-hi-ji acuh. "Boleh kau tanya kepandaianmu sendiri apakah lebih tinggi daripada orang-orang ini?"

"Tapi... tapi dengan susah payah baru akhirnya Cayhe sampai di sini, kalau... kalau Cianpwe suruh Cayhe pergi begini saja, sungguh terasa penasaran," kata Coan-hay setelah termangu sejenak. Meskipun dia belum mau pergi, namun dalam hal bicara sudah berganti nada dan menyebut Siau-hi-ji sebagai "Cianpwe".

"Habis apa kehendakmu?" tanya Siau-hi-ji dengan tersenyum.

"Asalkan Cianpwe memperlihatkan sejurus dua padaku, habis itu segera Cayhe akan angkat kaki tanpa syarat," kata Tio Coan-hay.

"Kau ingin tahu ilmu silatku? Apa sukarnya? Asalkan kau dapat membinasakan semua ular yang berada dalam tubuhku ini tanpa melukai sedikit pun diriku, dan kalau perlu harta karun ini pun akan kuberikan padamu," ucap Siau-hi-ji dengan tenang.

"Sungguh?" Tio Coan-hay menegas dengan sangsi.

"Kaum Cianpwe masakan omong kosong kepada kaum Wanpwe?" jawab Siau-hi-ji.

Dengan langkah lebar Tio Coan-hay lantas mendekati Siau-hi-ji, dengan melotot ia pandang ular-ular yang merayap di tubuh anak muda itu. Diam-diam Siau-hi-ji bergirang dan berharap semoga orang ini memang punya kemampuan.

Tak terduga pada saat itulah tiba-tiba terdengar suara mendering beradunya senjata. Umumnya kalau pedang atau golok beradu tentu waktunya berselang sejenak, habis itu baru berbunyi. Tapi sekarang beradunya senjata itu sedemikian kerap dan nyaring, seakan-akan suara satu dan lain berbunyi sekaligus.

Dengan kaget Tio Coan-hay berpaling, katanya dengan keder, "Siapa lagi yang datang, cepat amat gerak pedangnya!"

Siau-hi-ji berkedip-kedip, katanya, "Jangan khawatir, asalkan kau berdiri di sampingku, siapa pun takkan berani melukaimu."

Tio Coan-hay memandangnya sekejap, lalu memandang ular-ular yang menghiasi anggota badan anak muda itu, bentuk yang aneh ini membuatnya mau tak mau harus percaya bahwa orang yang dihadapinya ini memang tokoh kosen angkatan tua. Setelah memandang lagi sekejap, akhirnya ia memberi soja (menghormat dengan kedua kepalan di depan dada) dan mengucap terima kasih.

Suara beradunya pedang tadi datangnya benar-benar cepat, tadi kedengaran masih berada di mulut gua, tapi kini sudah mendekat. Terdengar seorang menjengek dengan suara dingin, "Swat-hoa-to (golok bunga salju), kau benar-benar hendak mengadu jiwa dengan aku?"

Seorang lagi menjawab, "Sudah lama kudengar ilmu pedangmu teramat cepat dan tiada tandingan di daerah Kwan-gwa. Kini kau ternyata mengetahui juga tempat harta karun ini, terpaksa harus kutentukan mati hidup denganmu." Suara ini lembut dan tajam, mirip suara perempuan.

"Apakah Swat-hoa-to itu perempuan?" tanya Siau-hi-ji.

Tio Coan-hay menghela napas gegetun, jawabnya, "Ya, dia adalah salah satu dari 'Sam-lo-sat' (tiga setan buas) yang terkenal dan pernah disegani orang Kangouw dahulu. Ilmu goloknya memang sangat lihai."

"Lalu siapa lagi yang seorang?"

"Dari ucapan Swat-hoa-to tadi, mungkin orang ini adalah tokoh terkemuka dari Tiang-pek-pay, si pedang naga sakti Pang Thian-ih. Kecepatan ilmu pedang orang ini memang tiada bandingannya di daerah Kwan-gwa."

"Ai, mungkin usiaku sudah lanjut sehingga berbagai tokoh ternama dari angkatan muda tak kukenal lagi," ucap Siau-hi-ji dengan lagak menyesal.

Alis Tio Coan-hay tampak berkerut, katanya, "Tempat harta karun ini sedemikian rahasia, mengapa sekaligus datang orang sebanyak ini? Sungguh aneh dan mengherankan."

Dalam pada itu kelihatan sinar golok dan cahaya pedang bergulung-gulung menggelinding tiba, di tengah sinar pedang yang kemilau itu ada dua sosok bayangan orang, yang satu kurus tinggi berbaju hitam, yang lain berpakaian putih mulus dan berperawakan ramping. Kedua orang bertempur dengan sengit.

Hati Tio Coan-hay ikut kebat-kebit menyaksikan pertarungan kedua orang itu. Sedangkan Siau-hi-ji acuh-tak-acuh, katanya, "Meski ilmu silat kedua orang ini lumayan juga, tapi banyak juga ciri kelemahannya. Kalau melayani aku, mungkin mereka tidak sanggup bertahan sepuluh jurus."

Mendadak terdengar suara "creng" yang panjang, sinar pedang dan cahaya golok sirna seketika, si baju hitam dan perempuan baju putih sudah berhenti bertempur dan melompat ke depan Siau-hi-ji.

Kini terlihat jelas si perempuan baju putih, yaitu si Swat-hoa-to, berusia setengah baya, tapi masih kelihatan sisa-sisa kecantikannya di masa muda, perawakannya juga masih ramping. Kini ia pun dapat melihat Tio Coan-hay juga berada di situ, tiba-tiba ia berseru, "He, Coan-hay, kau pun datang ke sini."

Tio Coan-hay menyengir, jawabnya, "Sudah lama tak berjumpa, tampaknya engkau masih tetap cantik."

"Terima kasih," kata si Swat-hoa-to dengan tersenyum manis. "Sungguh tak terduga kita akan bertemu di sini. Rasanya sudah sebelas tahun... ah, malah sudah hampir dua belas tahun kau tidak mencari diriku, memangnya kau hanya berpikir tentang nama dan harta saja dan tidak memikirkan urusan lain?"

Tio Coan-hay berdehem-dehem beberapa kali, jawabnya dengan kikuk, "O, aku... aku...."

"Hahaha, bagus, bagus!" si baju hitam alias pedang naga sakti Pang Thian-ih mendadak mengejek, "Kiranya kekasih lama bertemu kembali. Tapi biar pun Liu Giok-ju ditambah lagi seorang Tio Coan-hay juga aku Pang Thian-ih tidak gentar."

Merasa sudah mendapatkan bala bantuan, Swat-hoa-to Liu Giok-ju hanya mendengus saja dan tidak pedulikan olok-olok Pang Thian-ih itu, dia mengerling ke arah Siau-hi-ji yang berdiri di sisi Tio Coan-hay dan berkata, "He, apakah kau membawa muridmu? Mengapa bentuknya seaneh ini?"

"Bu... bukan," jawab Tio Coan-hay dengan tergagap, "Inilah Giok... Giok-locianpwe."

Seketika mata Liu Giok-ju melotot heran. "Giok-locianpwe?" ia menegas.

"Ya," kata Tio Coan-hay. "Kim-leng-sam-kiam, Hwe-pian-hok, Niau-thau-eng dan Pek-coa-sin-kun yang menggeletak di sini semuanya binasa di tangan Giok-locianpwe ini."

Keterangan ini bukan saja membikin Liu Giok-ju terkejut, bahkan Pang Thian-ih juga kaget, serentak mereka menyurut mundur dua-tiga tindak, mereka mengamat-amati Siau-hi-ji dengan ragu-ragu sambil menggenggam erat senjata masing-masing.

Diam-diam perut Siau-hi-ji hampir meledak saking gelinya, tapi lahirnya dia tenang-tenang saja. Bahkan dia sengaja menegur, "Apakah nona Liu juga memiliki peta harta karun?"

"Ehm," Liu Giok-ju mengangguk.

Sorot mata Siau-hi-ji beralih ke arah Pang Thian-ih dan bertanya pula, "Dan kau?"

"Kalau tiada peta wasiat, cara bagaimana dapat kutemukan tempat ini," jawab Pang Thian-ih dengan dingin.

Gemerlap sinar mata Siau-hi-ji, katanya pula, "Sampai saat ini, peta harta karun sudah muncul enam helai. Sungguh lucu, suatu harta karun enam peta, benar-benar aneh."

Mendadak Pang Thian-ih angkat pedangnya dan berteriak, "Tak peduli berapa orang yang datang kemari, kalau sudah mati semua, sisa orang terakhir, dialah majikan harta karun ini."

"Hm, jika kau ingin mampus saat ini juga pasti tiada yang keberatan," kata Siau-hi-ji acuh. "Tapi apakah kau tidak mati penasaran apa bila tempat penyimpanan harta karun itu belum pernah kau lihat barang sekejap saja?"

Pang Thian-ih melengak, tanpa terasa pedangnya diturunkan kembali.

"Ucapan Giok-locianpwe memang benar," kata Tio Coan-hay. "Apa pun juga kita harus melihat buktinya dulu, kalau sudah jelas ditemukan harta karunnya barulah kita saling labrak mati-matian."

"Ehm, mendingan pandangan Congpiauthau kita ini," ucap Siau-hi-ji dengan tertawa. Lalu ia mendahului melangkah ke dalam gua, tapi baru saja beberapa langkah, tiba-tiba ia menoleh dan berkata kepada Tio Coan-hay, "Eh, tolong periksakan apakah di dalam baju Pek-coa-sin-kun itu terdapat barang apa-apa."

Benar juga, dari saku baju Pek-coa-sin-kun ditemukan tiga buah kotak kecil buatan kayu cendana. Bentuk tiga kotak itu serupa, cuma masing-masing ditempeli secarik kertas kecil, yang satu tertulis "Bi-hun" (bius), yang kedua "Kay-tok" (penawar racun) dan yang ketiga jelas tertulis "Coaliang" (makanan ular).

Sungguh girang Siau-hi-ji tak terkatakan setelah menerima kotak-kotak itu, hampir saja ia berjingkrak kegirangan. Ia tahu dengan kotak makanan ular itu pasti dapat memancing pergi semua ular yang bersarang di tubuhnya itu. Tapi setelah ia pikir, ia ambil keputusan untuk sementara takkan mengutik-ngutik kawanan ular itu, maka kotak itu hanya di masukkannya ke dalam baju saja.

Rupanya tiba-tiba ia temukan suatu resep mujarab untuk menggertak orang, yaitu dengan menggunakan ular-ular hijau itu. Pada saat ini, detik ini, dia memang perlu main gertak pada beberapa orang itu…..

********************

Gua itu ternyata amat dalam, bahkan berlekuk-lekuk dengan hawa dingin menyeramkan.

Siau-hi-ji berjalan paling depan diikuti Tio Coan-hay yang mengangkat obor, Liu-Giok-ju sengaja membiarkan Pang Thian-ih berjalan di depan. Tapi orang she Pang itu tak gentar, dengan pedang terhunus ia terus mengintil di belakang Tio Coan-hay.

Tidak lama, tiba-tiba gua itu meluas, suasana menjadi terang dengan cahaya beraneka warna, banyak batu-batu berwarna aneh memenuhi dinding gua. Di situ tertancap dua obor besar dan di bawah cahaya obor terlihat ada lima orang, yang tiga berdiri dan dua lagi duduk bersila berhadapan, empat tangan mereka saling menempel, kiranya sedang mengadu tenaga dalam.

Kedua orang yang bertanding itu seorang adalah Hwesio berjubah dan yang lain seorang tua kurus kering.

Rupanya kedua orang sudah cukup lama mengadu tenaga, biji mata keduanya tampak melotot dan butiran keringat memenuhi dahi masing-masing.

Ketiga orang yang berdiri di samping pun tampak prihatin dan tegang. Meski Siau-hi-ji berempat sudah mendekati mereka, tapi ketiga orang itu seperti tidak ambil pusing.....
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar