Pendekar Binal Jilid 22

Pendekar Binal
Gu Long (Khu Lung)
-------------------------------
----------------------------
Dia mulai menyesal dan memaki dirinya sendiri, tiada hentinya dia bergerundelan dan mengomel. "Ah, tampaknya menjadi orang baik memang sukar, kalau saja kubunuh Siau-sian-li dan Buyung Kiu, tentu takkan terjadi seperti sekarang ini...." Lalu dia menyesali Ban Jun-liu pula. Kalau tiada bimbingan tabib sakti itu, betapa pun dirinya akan tetap menjadi orang jahat, dan biar pun orang jahat selalu dibenci dan dimaki orang, tapi sedikitnya akan lebih panjang umur, akan hidup lebih lama daripada orang baik.

Begitulah sekujur badan mulai menggigil karena kedinginan, lapar membuatnya kepala pusing dan perut nyeri, ia bergumam sendiri, "Ai, mau mati bolehlah mati, setiap manusia akhirnya toh harus mati, sesudah mati sedikitnya juga ada sesuatu kebaikan, yakni takkan mendengar lagi kejudesan perempuan."

Mendadak, ia merasa tidak kedinginan lagi. Bukan saja tidak dingin, sebaliknya malah merasa kegerahan. Ia terkejut dan heran pula, ia coba pentang mata lebar-lebar dan segera dilihatnya sesuatu keanehan, balok es yang besar itu sepotong demi sepotong mulai cair. Ia coba meraba dinding, ternyata dinding juga panas sekali.

"He, apa-apaan ini?" Siau-hi-ji melonjak kaget. "Apakah si budak Buyung Kiu itu belum puas membikin aku mati beku dan sekarang hendak memanggang diriku? Tapi... ah, tidak mungkin, beberapa kamar kakaknya itu dirawatnya sebaik itu, mana bisa dia membakarnya malah?"

Ia coba mengelilingi ruangan itu, dinding sekeliling terasa panas, seperti dibakar, hanya bagian yang membelakangi bukit saja masih hangat-hangat.

Tiba-tiba terpikir olehnya, "Ah, tahulah aku, tentunya keluarga Buyung ini kedatangan musuh, selain membunuh, rumah ini juga dibakarnya. Tetapi... sungguh keparat, orang-orang tolol itu tentunya tidak tahu bahwa kalau rumah keluarga Buyung ini dimusnahkan, maka orang paling pintar di dunia ini juga akan ikut menjadi korban!" Sambil mengomel, segera ia mencak-mencak sendiri dan mencaci maki.

Tidak lama kemudian, balok-balok es itu sudah cair semua, Siau-hi-ji sudah terendam di dalam air, hendak mencak-mencak juga tiada tempat berpijak pula.

Air itu mula-mula belum begitu panas sehingga tidak begitu tersiksa terendam di situ, bahkan karena tidak berdaya, Siau-hi-ji sekalian mandi dan berenang sepuasnya.

Dasar sifatnya binal dan bengal, kalau belum melihat peti mati tidak mungkin mengucurkan air mata, sebelum menghadapi jalan buntu sungguh-sungguh tak nanti dia bergelisah atau takut. Tapi kini dia benar-benar sudah menghadapi jalan buntu.

Air sudah mulai panas dan bukan mustahil sebentar lagi akan mendidih. Siau-hi-ji mulai kelabakan di dalam air, mirip seekor ikan yang dilemparkan ke dalam wajan yang berisi air panas, dia mulai menggelepar dan kebingungan.

Yang dia harap semoga api dapat membakar hancur dinding ruangan itu, tapi dinding keparat itu justru kukuh luar biasa, bukan saja tidak rusak, bahkan retak pun tidak.

Sampai akhirnya ia pun kehabisan tenaga dan mulai tenggelam, hidungnya terasa pepet, "krok-krok", mulutnya tercekok beberapa teguk air.

Siau-hi-ji meringis dan membatin, "Wah, sungguh sayang hanya aku sendiri yang menikmati kuah ikan masak jamur ini...."

Pada saat itulah tiba-tiba ada suara nyaring orang menggedor pintu tembaga. Seketika semangat Siau-hi-ji terbangkit, pikirnya, "Bagus, bakal ada orang yang akan menemani aku minum kuah ikan ini."

Sudah terpikir olehnya meski pintu tembaga tak dapat rusak terbakar, tapi timah yang menyumbat lubang kunci tentu akan cair, per kunci tentu juga akan lunak setelah terbakar, maka cukup orang menyongkelnya dari luar dengan alat sebangsa obeng dan sebagainya tentu pintu akan mudah terbuka.

Belum lagi habis terpikir, benar juga pintu itu mendadak terpentang, air bah terus saja membanjir keluar, Siau-hi-ji juga diam saja membiarkan dirinya terhanyut oleh air bah.

Sudah tentu dua orang yang sedang kutak-kutek di luar itu sama sekali tidak menyangka dari balik pintu akan membanjir air sedahsyat itu. Keruan mereka terkejut dan basah kuyup. Bahkan mimpi pun mereka tidak menduga di tengah air banjir itu terdapat pula satu orang.

Cukup jauh juga Siau-hi-ji terhanyut air bah itu, ia terus rebah tak bisa bergerak di lantai, maklumlah, memangnya dia sudah lapar setengah mati dan juga megap-megap karena sekian lamanya terendam. Dengan setengah memicingkan matanya ia coba mencuri lihat keadaan di situ, terlihat api sudah padam, apa yang tertampak di luar rumah sana hanya puing belaka dan sebagian masih mengepulkan asap.

Waktu ia melirik kedua orang itu, yang di depan bertubuh tinggi besar, daging mukanya benjol-benjol dan berewok kaku, meski basah kuyup oleh air bah tadi, tapi masih tampak gagah perkasa.

Melihat manusia begini, hati Siau-hi-ji menjadi lega. Menurut jalan pikirannya, manusia yang anggota badannya berkembang lebih besar daripada orang kebanyakan, otaknya tentu terhimpit oleh daging lebih hingga mengecil, maka dengan sedikit tipu akal saja ia percaya akan dapat mengerjai serta menundukkan orang demikian.

Tapi seorang lagi baginya terasa rada ngeri. Orang ini berbaju putih, bungkuk, muka lebar bagian atas dan sempit bagian bawah, pada dagunya yang kecil itu berjenggot seperti kambing, seumpama dicampurkan dengan anak kambing mungkin juga sukar diketahui dia ini manusia.

Memangnya tubuhnya kurus kecil, ditambah bungkuk lagi, tingginya tiada sebatas dada kawannya yang kekar itu, tampaknya dia berpuluh kali lebih menakutkan daripada kawannya.

Dari bentuk kedua orang itu, segera Siau-hi-ji tahu mereka ini pasti anggota Cap-ji-she-shio, itu kawanan bandit dengan dua belas lambang kelahiran. Kedua orang ini tentulah si kambing dan si sapi.

Sungguh ia merasa anggota Cap-ji-she-shio itu tidak satu pun memper manusia, tapi lebih mirip binatang yang diwakili mereka. Sukar diketahui dari manakah kedua belas orang itu bisa muncul dan bergabung menjadi satu sehingga terbentuk kedua belas lambang kelahiran, yaitu tikus, sapi, harimau, kelinci, naga, ular, kuda, kambing, kera, ayam jago, anjing dan babi.

Tentu saja kedua orang itu kaget demi kemudian melihat Siau-hi-ji ikut hanyut keluar oleh air bah, mereka sama melenggong kesima.

"Nah, apa kataku tadi? Jika mau menurut kataku, tentu dapat rezeki," demikian terdengar si "kambing" berkata.

"Hah, rezeki apa? Basah kuyup begini kau anggap mendapat rezeki?" jengek si sapi. "Kau bilang di dalam sini pasti banyak harta mestika, sekarang coba lihat, mana harta mestika yang kau maksudkan itu?"

"Bocah inilah mestikanya," kata si kambing sambil memandang Siau-hi-ji.

"Kulit daging bocah ini memang cukup halus, kalau saja Li-toako berada di sini tentu beliau akan membuat Ang-sio-bak dan dahar enak, tapi kau hanya kambing yang suka makan rumput, memangnya akan kau apakan dia?"

Siau-hi-ji sebenarnya lagi sedih melihat kambing putih itu, demi mendengar ucapan si sapi, seketika semangatnya terbangkit dan hilanglah segala rasa khawatirnya. Mendadak ia tertawa dan menyapa, "He, bandot tua dan sapi gede, maukah kalian masuk kemari?"

Tampak si sapi melenggong heran, katanya, "Eh, bocah ini kenal kita."

Dengan tertawa Siau-hi-ji berkata pula, "Di waktu iseng sering kudengar cerita Li-toako, Li Toa-jui, katanya di antara 'Cap-ji-she-shio' hanya si sapi paling perkasa dan si kambing paling cerdik, tak terduga sekarang dapat kujumpai kalian di sini."

"Hahahaha! Terima kasih atas pujianmu...." kata si sapi dengan terbahak-bahak, tapi mendadak ia berhenti tertawa dan menegur dengan mata mendelik, "Dar... dari mana kau kenal... kenal Li Toako kita?"

Biji mata Siau-hi-ji berputar dan seperti berpikir sesuatu, katanya, "Menurut kakak Toa-jui, katanya si sapi dari Cap-ji-she-shio adalah angkatan mudanya jika diurut menurut tingkatan keluarga, kini kau menyebutnya sebagai Toako, apakah mungkin kau ini paman atau mamak si sapi dalam Cap-ji-she-shio?"

Muka si sapi tampak merah, jawabnya, "Aku sendiri inilah si sapi."

"Jika begitu, biar pun di belakang sepantasnya kau menyebut kakak Toa-jui sebagai paman, kau sembarangan memanggilnya, kalau diketahuinya tentu kau akan dimarahi," kata Siau-hi-ji.

"Ya, ya, ya, aku... caihe...." si sapi tergagap.

"Huh, kalau saja kau tidak keluar bersama aku, seumpama kau dijagal orang juga tidak tahu siapa penjagalnya," tiba-tiba si kambing menjengek.

Si sapi mendelik, teriaknya, "Apa artinya ucapanmu?"

"Kau percaya penuh bahwa bocah ini adalah adik cilik Li-locianpwe?" kata si kambing. "Hm, melihat usianya, biar pun dia menjadi putra Li-locianpwe juga masih kurang umur."

Si sapi menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal, katanya, "Tapi... tapi apa yang dikatakannya kan betul juga?"

"Tolol," omel si kambing. "Apa yang diucapkan adalah bersumber pada kata-katamu sendiri. Coba pikir, kalau benar dia saudara Li-locianpwe, mengapa dia berada di Buyung-san-ceng ini?

"Bisa... bisa jadi dia dikurung di sini oleh budak Buyung itu," ujar si sapi.

"Huh," jengek si kambing, "untuk apakah kedua ruangan ini, masakah kau tak dapat membedakannya? Budak Buyung itu juga bukan orang gila, mana mungkin dia mengurung orang di kamar rahasianya tempat meracik obat dan tempat menyimpan pusaka. Kalau bocah ini bisa berada di sini, maka di mana tempat penyimpanan benda mestika keluarga Buyung pasti dia tahu, makanya tadi kubilang mestikanya ialah dia ini."

Kembali si sapi garuk-garuk kepala, katanya sambil memandang Siau-hi-ji, "Buset, tadi aku malah berusaha membela dirimu, tak tahunya kau ini penipu cilik celaka!"

"Hm, goblok!" damprat Siau-hi-ji. "Memangnya tempat ini pasti tempat penyimpan benda mestika? Kalau tidak digunakan sebagai tempat penyimpanan mestika apakah tidak boleh digunakan untuk mengurung orang? Budak Buyung itu kan bukan orang gila, kalau ruangan ini banyak benda mestikanya, kenapa dia rendam dengan air sepenuh ini?"

"Benar, tepat!" seru si sapi sambil berkeplok. "Umpamakan tanganku ini, selain dapat digunakan mencolek pipi si cantik, kan juga dapat digunakan untuk menempeleng orang. Ruangan tempat penyimpan mestika kenapa tidak boleh dipakai untuk mengurung orang?"

"Dan usiamu selisih tak banyak dengan Li Toa-jui, tapi dia adalah angkatan tua kalian, sebaliknya usiaku walau pun selisih rada banyak dengan dia, mengapa aku tidak boleh menjadi saudaranya?" kata Siau-hi-ji pula.

Kembali si sapi menggaruk-garuk kepala, katanya sambil memandang si kambing, "Iya, betul juga ucapannya. Bukankah adik perempuan Liong-toako kita juga baru berumur belasan?!"

"Di dunia ini kalau ada orang tua kena diakali anak kecil, maka orang itu ialah kau ini," jengek si kambing. "Bagiku, hm, kecuali dia...."

"Eh, coba kau kemari, ingin kuperlihatkan sesuatu padamu," tiba-tiba Siau-hi-ji memanggilnya.

Semula si kambing ragu-ragu, tapi akhirya ingin tahu barang apa yang ditawarkan anak muda itu, segera ia melangkah ke sana.

Saat itu Siau-hi-ji masih berbaring di lantai dengan basah kuyup, baru saja si kambing sampai di depannya, mendadak tubuh anak muda itu melejit dan sekaligus melancarkan empat kali pukulan dan tiga kali tendangan.

Empat pukulan dan tiga tendangan itu dilontarkan sekaligus dalam sekejap, di dunia ini hanya Li Toa-jui saja yang mahir gerak serangan aneh itu. Soalnya gerak serangan demikian kedengarannya memang lihai, tapi sebenarnya kurang tepat dan kurang manjur. Bayangkan saja, orang baik-baik mana mungkin berkelahi dengan orang sambil berbaring kecuali dia sengaja pura-pura sakit atau berlagak mati dan harus menyergap lawan secara tiba-tiba.

Tapi di dunia ini selain manusia macam Li Toa-jui yang lahirnya tampak jujur, tapi hatinya jahat dan keji, rasanya orang lain pun tiada yang sudi memeras otak menciptakan jurus serangan yang aneh ini.

Jadi gerak serangan istimewa ini boleh dikatakan ilmu silat khas Li Toa-jui, usaha tunggal, tidak membuka cabang, tulen, tak mungkin ditiru.

Begitulah dalam keadaan terkejut karena diserang secara mendadak, ya pukulan, ya tendangan, seketika si kambing meloncat kaget setengah mati, lebih mirip loncatan kelinci menghindari terkaman anjing liar daripada loncatan kambing takut diterkam harimau. Untung Siau-hi-ji dalam keadaan lemah lunglai, kalau tidak tentu dia sudah menjadi bangkai kambing.

"Nah, sekarang kau percaya tidak?" tanya Siau-hi-ji dengan tertawa sambil bangun duduk.

Si kambing belum sanggup bicara karena napasnya terengah-engah. Tapi si sapi sudah lantas menjura dan berkata, "Ya, ya, paman cilik, betapa pun umurmu, biar pun baru lahir tiga hari, asalkan engkau adalah saudara Li-locianpwe, maka engkau juga paman cilikku."

"Dan kau bagaimana bandot tua?" tanya Siau-hi-ji kepada si kambing.

Sinar mata si kambing tampak gemerdip, dia mendongak, katanya dengan perlahan, "Apakah baik-baik saja hidup Li-locianpwe di lembah sana?"

"Orang baik tidak panjang umur, tapi beliau jelas takkan mati," kata Siau-hi-ji.

"Penghuni lembah sana semuanya panjang umur, dengan sendirinya Li-locianpwe lebih suka menikmati kebahagiaan hidup di sana daripada keluar tersiksa di dunia luar," kata si kambing dengan tersenyum licik.

"Sebenarnya dia memang tidak ingin keluar lagi," kata Siau-hi-ji dengan tertawa.

Si kambing melengak dan menukas, "Dan se... sekarang ?"

"Sekarang, bukan saja Li-toako, bahkan, Toh-toako, Im-toako, To-toasoh dan lain-lain.... Hehe, jika mereka tidak keluar, masakah aku berani keluyuran sendirian."

Seketika air muka kambing berubah, katanya tergagap, "Tapi... tapi mereka...."

"Mereka sudah sebal mendekam sekian tahun di sana, sudah berhasil pula meyakinkan ilmu silat yang jarang terdapat di dunia Kangouw, jika kau menjadi mereka, kau ingin keluar tidak?" tanya Siau-hi-ji.

"Ya, ya, saudara.... O, Cianpwe, apakah tahu kini mereka berada...." Meski si kambing bicara dengan tertunduk, tapi sinar matanya tampak berjelilatan, jelas tidak mengandung pikiran baik.

Sudah tentu Siau-hi-ji dapat meraba jalan pikiran orang, dengan tersenyum ia menjawab, "Tingkah laku mereka itu selamanya sukar diterka dan sulit diduga, aku pun tidak tahu di mana jejak mereka sekarang."

Tampaknya si kambing diam-diam menghela napas lega. Tapi Siau-hi-ji lantas menambahkan, "Akan tetapi, bisa jadi saat ini juga mereka berada di belakangmu di luar tahumu."

Kembali si kambing terkesiap, ingin menoleh untuk melihat belakang, tapi tidak berani.

Dalam pada itu si sapi lantas berseru dengan tertawa gembira, "Ahaa, bila Li-toasiok benar-benar datang, maka beruntunglah kita, beberapa budak keluarga Buyung itu tidak perlu kita takuti lagi betapa pun lihainya mereka."

"Jadi mereka telah lolos?" tanya Siau-hi-ji dengan tak acuh.

Si sapi menghela napas, katanya, "Kedatangan kami ini meski atas ajakan si ular hijau, tapi sesungguhnya kami juga sudah lama mengincar Buyung-san-ceng ini."

"Ya, obat mujarab dan benda mestika keluarga Buyung memang membuat orang mengiler," kata Siau-hi-ji dengan tertawa.

"Cuma sayang budak Buyung itu benar-benar setan cerdik, entah dari mana dia mengetahui akan kedatangan kami secara besar-besaran, sebelum kami tiba dia sudah kabur lebih dulu," ucap si sapi dengan menyengir.

"Kabur?" Siau-hi-ji menegas dengan terkejut.

"Bukan saja orangnya kabur, bahkan segala benda yang bernilai juga dibawa seluruhnya, bahkan pintu juga tidak terkunci, hanya tertinggal secarik kertas yang tertempel di depan pintu, bunyinya, 'Mati bagi yang berani masuk'. Hm, kentut busuk belaka," demikian ucap si sapi dengan gemas.

"Benar, pada hakikatnya lebih busuk daripada kentut," tukas Siau-hi-ji. Kini ia sudah dapat menerka apa sebab kepergian Buyung Kiu-moay.

Bahwa Siau-sian-li dan Thi Sim-lan sama mengira Siau-hi-ji sudah kabur, dengan sendirinya mereka buru-buru ingin pergi mencarinya. Buyung Kiu tahu biar pun di mulut kedua nona itu bicara garang terhadap Siau-hi-ji, tapi di dalam hati sebenarnya lunak, maka dengan sendirinya ia tidak mau memberitahukan tentang terkurungnya Siau-hi-ji, bahkan dia sengaja mengiringi Siau-sian-li dan Thi Sim-lan pergi mencari si anak muda....

Berpikir sampai di sini, dengan mendongkol Siau-hi-ji lantas mencaci maki pula, "Sungguh budak setan lebih busuk daripada kentut, bahkan lebih jahat daripada ular berbisa. Sungguh terpuji kalian telah membakar rumahnya, siapa yang pertama kali membakarnya, aku harus mentraktir dia minum dua cawan besar."

Dengan tertawa si sapi menanggapi, "Meski yang membakar bukan kami, tapi kita juga boleh..."

"Benar, kita boleh minum barang beberapa cawan. Ah, beberapa ratus cawan juga boleh," seru Siau-hi-ji dengan tertawa. "Marilah kita berangkat, sembari berjalan sambil minum, akan kubawa kalian menemui Li Toa-jui, jika terlihat anak dara yang menarik dalam perjalanan, kita dapat pula... hahaha, dapat apa tentunya kau sudah tahu sendiri bukan?"

"Haah, bagus, bagus!" sambut si sapi sambil berkeplok gembira.

"Dan kau bagaimana, bandot tua?" tanya Siau-hi-ji.

"Untuk ini, aku... Cayhe...." si kambing terbata-bata.

"Tidak soal bila kau tidak mau ikut," ujar Siau-hi-ji. "Nanti kalau bertemu dengan kakak Toa-jui akan kukatakan bahwa kau ada urusan lain dan tidak ingin menemuinya."

"Siapa bilang aku tidak mau ikut pergi? Sapi, kaukah yang bilang begitu?" teriak si kambing. Lalu ia dorong si sapi dan menambahkan, "Ayolah berangkat, tunggu apa lagi?"

********************

Begitulah mereka bertiga lantas berangkat bersama, sambil berjalan sembari minum arak. Tiba-tiba Siau-hi-ji menemukan dirinya sendiri dalam hal minum arak ternyata juga berbakat, seakan-akan tak pernah mabuk biar pun minum betapa pun banyak.

Terkadang ia pun heran, ke mana larinya arak yang masuk perutnya itu? Padahal ia sudah teliti perutnya sendiri yang berukuran tidak lebih besar daripada perut orang lain.

Si kambing dan si sapi ternyata tunduk munduk-munduk kepada segala kehendak Siau-hi-ji, makan, minum, tidur, sama sekali anak muda itu tidak perlu pusing kepala, semuanya disediakan dan diatur oleh kedua orang itu dengan baik dan lengkap. Mau berhenti atau mau terus berangkat, si kambing dan si sapi juga menurut saja, bahkan sama sekali tidak pernah tanya ke mana anak muda itu hendak pergi. Bahwa dua gembong dari Cap-ji-she-shio yang terkenal buas itu mau tunduk kepada seorang anak kecil sebagai Siau-hi-ji sungguh sama sekali sukar dibayangkan orang.

Dengan sendirinya sepanjang jalan mereka pun sering bertemu dengan tokoh-tokoh Kangouw, kebanyakan memberi hormat dari kejauhan lalu menyingkir pergi dengan cepat, ada juga yang tidak kenal mereka, tapi demi nampak bentuk si kambing dan si sapi yang aneh itu, lekas saja sama menghindar dan tiada yang berani mencari perkara kepada mereka.

Namun sesudah melintasi Kiam-bun-koan (gerbang tembok besar di ujung barat), tiba-tiba Siau-hi-ji merasakan adanya perubahan, ada sebagian orang cepat menyingkir pergi jika kepergok mereka, tapi ada sebagian pula yang diam-diam mengintil di belakang mereka. Ke mana mereka pergi, ke situ pula orang-orang itu mengikut. Sikap setiap orang sangat menghormat, tidak bicara juga tiada tanda-tanda hendak menyatroni mereka.

Siau-hi-ji coba mengawasi si kambing dan si sapi, air muka mereka juga tenang-tenang saja tanpa berubah, seakan-akan tidak pernah melihat sesuatu yang ganjil, maka Siau-hi-ji juga tidak mau bicara. Petangnya mereka sampai di Kiam-kok, mereka mendapatkan sebuah hotel dan bermalam di situ.

"Arak keras berlauk-pauk ayam cabai, walau pasti mandi keringat, namun makin dimakan makin nafsu," ucap Siau-hi-ji.

"Cocok, arak keras berlauk-pauk ayam cabai, sungguh nikmat," teriak si sapi sambil tertawa.

Sudah biasa, asalkan Siau-hi-ji buka mulut, maka si kambing dan si sapi segera menyiapkan apa yang dikehendaki anak muda itu. Tapi aneh, sekarang meski kedua orang itu sudah bersorak menyatakan setuju, tapi mereka diam saja tanpa bergerak.

Setelah menunggu sejenak, Siau-hi-ji berkata pula, "Kalau cocok, mengapa tidak lekas kalian sediakan."

"Mulai sekarang, kami tidak perlu sediakan apa-apa lagi," ucap si sapi dengan tertawa.

"Tidak kalian sediakan, memangnya aku yang harus menyediakan?" kata Siau-hi-ji.

"Masa kami berani membikin repot engkau," ujar si kambing.

"Habis kalau kita tidak mengambilnya sendiri dan juga tidak pesan pelayan, apakah arak dan ayam goreng itu akan jatuh dari langit atau tumbuh dari bawah bumi?" kata Siau-hi-ji.

"Sabar sebentar, lihat saja nanti," ucap si sapi dengan tertawa.

Siau-hi-ji tidak berkata pula, ia mondar-mandir di dalam ruangan, sejenak kemudian terdengar pintu diketuk, cepat ia membuka pintu, ternyata tiada bayangan seorang pun, tapi di lantai terdapat sebuah baki besar berisi satu porsi kari ayam, satu porsi daging rebus, satu porsi jerohan babi, satu mangkuk besar kuah ayam, ada pula satu poci arak.

Mata Siau-hi-ji berkedip-kedip, katanya kemudian, "He, kiranya kalian ini mahir ilmu gaib menyuruh setan mengantar barang."

"Ini bukan ilmu gaib suruh setan mengantar barang, tapi suruh anak cucu mengantar santapan," ujar si sapi dengan tertawa.

"O," Siau-hi-ji bersuara singkat.

"Apakah engkau sudah melihat orang-orang yang mengintil di belakang kita sepanjang jalan itu?" tanya si kambing.

"Haha, kukira kalian tidak tahu ada pengikut sebanyak itu," jawab Siau-hi-ji dengan tertawa.

"Masakah kami tidak tahu," kata si sapi. "Justru bocah-bocah itulah anak cucu yang taat dan berbakti kepada kami."

"Kiranya mereka itu adalah anak murid kalian," kata Siau-hi-ji.

"Anak murid kentut anjing, bahkan kenal saja tidak," ucap si sapi.

"Aneh, kalau tidak kenal, mengapa mereka mengintil di belakang kalian?" tanya Siau-hi-ji.

Dengan tertawa si sapi menutur, "Setiap orang Kangouw tahu bila Cap-ji-she-shio berada dalam perjalanan, maka di sana pasti ada jual-beli besar, sedangkan kawanan anak cucu itu tidak berani jual-beli sendiri, mereka selalu mengintil saja di belakang kami, soalnya Cap-ji-she-shio biasanya cuma mengambil benda mestika, emas perak tidak disukai, maka anak cucu yang mengintil di belakang itu sedikit banyak akan kebagian rezeki sampingan."

"Ya, makanya ke mana perginya Cap-ji-she-shio kami, ke situ pula kami selalu disambut dengan hormat," sambung si kambing. "Dan kalau ada keperluan apa-apa, segera mereka menyiapkan bagi kami, bila terjadi sesuatu, tanpa kami mencari tahu mereka pun akan memberi laporan."

"Haha, pantas Cap-ji-she-shio jarang bergerak keluar, tapi kalau sudah bergerak sekali tembak tentu kena, rupanya kalian mempunyai pengikut anak cucu sebanyak itu yang sama sekali tidak diketahui orang luar," kata Siau-hi-ji dengan kagum.

"Akan tetapi sekali ini mereka telah tertipu," kata pula si sapi, "Bahkan mereka telah banyak berkorban secara sia-sia, seperti menimpuk anjing dengan daging, umpan hilang hasil nihil, jangankan untung, modal saja takkan kembali."

"Tapi semua itu mereka lakukan secara sukarela, kami pun menikmatinya tanpa sungkan-sungkan, kan bukan salah kita," sambung si kambing dengan bergelak.

Perjalanan mereka selanjutnya sudah tentu terlebih senang, tak peduli apa kehendak mereka, asalkan mereka bicara rada keras, hanya sebentar saja segera diantarkan orang.

Setelah melintasi Kiam-bun-koan, Siau-hi-ji tidak mengarah ke timur lagi, tapi malah berbelok ke barat daya, dengan melalui kota-kota Liongcoan, Baysan, tampaknya seperti hendak menuju ke Gobi yang terletak di wilayah Sujwan.

Pemandangan alam daerah Sujwan memang indah permai dan berbeda jauh dengan suasana di daerah terpencil di luar tembok besar sana. Siau-hi-ji sangat gembira, apa lagi makanan dan minuman Sujwan sangat mencocoki seleranya sehingga membuatnya tidak habis memuji.

Sampai di Gobi, sedikit si sapi dan si kambing lengah, tahu-tahu Siau-hi-ji telah mengeluyur pergi sendirian, sampai tengah malam buta barulah dia pulang ke tempat pondokan.

Si sapi dan si kambing juga tidak menegurnya ke mana perginya anak muda itu, Siau-hi-ji sendiri juga tidak bicara. Esoknya ia pun tidak menyatakan berangkat, tapi petangnya ia mengeluyur pergi pula.

Begitulah berturut-turut tiga hari telah berlalu, Siau-hi-ji tidak bilang mau berangkat, si kambing dan si sapi juga tidak tanya dan tidak tegur, pada hakikatnya lebih menurut daripada anaknya. Tampaknya meski Li Toa-jui sudah lama mengasingkan diri, tapi dalam hati orang-orang itu masih ditakuti.Nama "Cap-toa-ok-jin" atau sepuluh top penjahat ternyata tidak boleh dibuat main-main.

Lewat lohor hari ketiga, seorang diri Siau-hi-ji putar kayun pula di kota, dilihatnya banyak restoran dan warung makan hampir semuanya ada tamu yang diketahui pasti kaum Kangouw.Tapi mereka hanya duduk-duduk dan minum iseng belaka, sama sekali tidak banyak bicara dan bergurau, pada hakikatnya bicara sepatah kata dua saja tidak.

Sudah tentu Siau-hi-ji tidak tahu nama mereka, apakah orang-orang itu dari Hek-to (kalangan hitam) atau Pek-to (kalangan putih), tokoh-tokoh yang sudah ternama atau kaum keroco yang tak terkenal? Siau-hi-ji sama sekali juga tidak ambil pusing.

Di jalan raya terkadang juga berlalu lalang kaum Tojin (penganut agama To) yang berjubah merah dan berpedang dengan sikap yang angkuh luar biasa seakan-akan tidak memandang sebelah mata kepada orang lain. Tapi lebih sering pula kaum tojin itu mengawasi orang lain dengan sorot mata yang tajam. Tojin-tojin itu seperti lagi berjalan-jalan iseng di kota, tapi air muka mereka tampaknya sangat prihatin.

Siau-hi-ji tahu para Tojin itu pasti anak murid Go-bi-pay. Ilmu pedang Go-bi-pay terkenal lihai, pantas kalau anak muridnya juga sok berlagak, apa lagi di sini adalah kaki gunung Go-bi-san, tempat pangkal mereka, dengan sendirinya mereka suka pasang aksi seperti sedang mengawasi gerak-gerik setiap pendatang.

Setelah putar kayun, Siau-hi-ji membeli sebuah "Hiang-tay", yaitu kantongan yang berisi hiosoa (dupa lidi) lilin dan sebagainya untuk sembahyang. Lalu dia membeli pula satu kati Loh-se-bak (daging masak) yang terkenal lezat di kota ini, habis itu barulah dia pulang ke hotel.

Di kamar hotel sudah tersedia satu meja perjamuan, si kambing dan si sapi tampak duduk menunggu, santapan sudah hampir dingin semuanya, tapi kedua orang itu sama sekali tidak berani mengutik-utik santapan itu.

Dengan tertawa Siau-hi-ji berkata kepada mereka, "Selama tiga hari ini kalian ternyata lebih alim daripada gadis pingitan, melangkah keluar kamar saja tidak pernah, padahal di luar sangat ramai, masakah kalian tidak pingin melihatnya?"

"Memangnya siapa yang tidak pingin melihat keramaian?" ujar si sapi dengan menyengir. "Cuma bagi kami berdua rasanya tidak leluasa bergerak di kaki gunung Go-bi ini, maka lebih baik minum arak saja di dalam rumah."

"Hah, masakah kaum Tosu Go-bi-pay itu sedemikian lihai sehingga kalian takut kepada mereka?" ucap Siau-hi-ji.

Si sapi mengangkat cawan arak dan mengajak minum, katanya sambil menghela napas, "Sudahlah, kita tak usah bicara urusan itu, marilah, Siautit (keponakan) menyuguh secawan kepada paman."

Tapi Siau-hi-ji lebih dulu membuka bungkusan Loh-se-bak yang dibelinya tadi, katanya dengan tertawa, "Konon Loh-se-bak ini dibuat dengan kuah simpanan tahunan sehingga rasanya empuk dan lezat, lain daripada yang lain, silakan kalian mencobanya dahulu."

"Sudah banyak cucu yang menyediakan santapan sebaik ini, buat apa engkau orang tua mengeluarkan biaya pula?" ucap si sapi.

"Ah, setiap hari makan enak, bosan rasanya, ganti cita rasa kan juga ada baiknya," ujar Siau-hi-ji.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar