Pendekar Binal Jilid 19

Pendekar Binal
Gu Long (Khu Lung)
-------------------------------
----------------------------
Sim-lan masih bergetar dan bergumam, "Wah, bahaya! Jika kita makan sesuap nasi itu, tentu takkan hidup sampai sekarang."

"Tapi sekarang kita masih segar bugar!" ucap Siau-hi-ji tertawa.

"Ca... cara bagaimana kau bisa mengetahuinya?"

"Waktu kau pegang mangkuk nasi itu, tanganmu kepanasan tak tahan, tapi nenek itu ternyata sanggup membawanya dari dapur tanpa merasakan apa-apa, mustahil kalau nenek itu tidak terlatih sebangsa Tok-soa-cio (tangan pasir beracun) dan sebagainya."

"Ai, urusan apa pun selalu tak dapat mengelabuimu," ucap Sim-lan dengan gegetun.

Sekonyong-konyong di tengah jalan di depan sana ada sebidang tanah rumput menghijau seperti lumut, waktu diamati lebih jelas, rumput hijau itu dapat bergerak-gerak, kiranya beratus-ratus ular kecil warna hijau bergerombol di situ.

Sim-lan menjerit kaget, tapi Siau-hi-ji lantas membelokkan kudanya ke suatu jalan simpang di sebelah sana, meski jalan ini lebih sempit, tapi kedua tepi jalan banyak pepohonan yang rindang.

Sepanjang perjalanan ini belum pernah Siau-hi-ji melihat jalan sebersih dan seindah ini. Selagi dia merasa sangsi dan was-was, mendadak seekor ular menggelantung turun dari atas pohon. Ular itu juga warna hijau, tapi tidak kecil, badan ular yang hijau gilap itu sebesar lengan bayi dan bergelantungan di depan mata Thi Sim-lan.

Keruan si nona menjerit kaget, si kuda putih juga meringkik dan berjingkrak. "Jangan takut, urusan tangkap ular atau pukul anjing adalah keahlianku!" seru Siau-hi-ji. Berbareng itu secepat kilat ia pegang leher ular, terus disabetkan ke batang pohon. Gerakan Siau-hi-ji ini sangat cepat lagi jitu, ular kontan dibanting hingga mati.

Legalah hati si Thi Sim-lan, katanya, "Untung kau bukan perempuan, umumnya perempuan takut pada ular."

Siau-hi-ji tidak menanggapi, katanya, "Mana belatimu?"

Si nona lantas menyodorkan belatinya dan berkata, "Hati-hati, jangan sampai bajumu kena darah ular."

Siau-hi-ji hanya mendengus saja, dengan wajah membesi ia iris tangan sendiri dengan belati.

Keruan Thi sim-lan kaget, jeritnya, "He... kau...." Mendadak ia tak sanggup meneruskan lagi, kerongkongannya seperti tercekik ketika menyaksikan darah yang mengalir dari lengan Siau-hi-ji itu berwarna hitam.

"Akhirnya aku tertipu juga!" ucap Siau-hi-ji dengan suara parau dan muka pucat. Perlahan ia membuka telapak tangannya, ternyata di situ juga membeku dua titik darah, dua titik berwarna hitam.

Waktu Sim-lan memandang ular tadi, tubuh ular itu tampak lurus menegak, bagian lehernya samar-samar bersinar, serunya, "He, kiranya ular sudah mati dan di dalam tubuhnya tersembunyi pedang yang berbisa, karena kau pencet leher ular, maka pedang melukai tanganmu."

"Sungguh pintar kau, sungguh anak jenius," kata Siau-hi-ji.

"Syukur engkau sudah membuang darah yang keracunan, mungkin... mungkin tak beralangan pula."

"Tak beralangan...?. Setengah jam lagi, tamatlah segalanya!"

Tubuh si nona bergetar dan terperosot jatuh ke bawah, serunya dengan gemetar, "Engkau... engkau omong kosong!"

"Racun ini tak tertolong, kalau tidak segera kubuang darah, saat ini mungkin aku sudah menuju ke akhirat, walau pun begitu juga tidak tahan setengah jam lagi."

Sim-lan menubruk ke tubuh Siau-hi-ji, serunya sambil menangis, "Tidak, racun ini pasti dapat ditolong, kau... kau tidak tahu...."

"Sejak kecil aku sudah bergelimang di rumah ahli racun terkenal, kalau aku tidak tahu, siapa lagi yang tahu di dunia ini?" ternyata anak muda itu masih bisa berbangga dan tertawa malah.

"Jika begitu, seharusnya kau dapat meracik obat penawarnya."

"Dengan sendirinya aku dapat."

"Nah, jadi engkau... engkau cuma menakut-nakuti aku saja," seru Sim-lan kegirangan.

"Tapi untuk meracik obat penawarnya diperlukan waktu tiga bulan!" ucap Siau-hi-ji perlahan.

Si nona jatuh lemas pula, katanya dengan air mata meleleh, "Kau... kau masih dapat berkelakar dalam keadaan dem... demikian. Wah... lantas bagaimana baiknya?" Tangisnya yang masih terguguk itu kemudian berubah menjadi tergerung-gerung, lalu jeritnya sambil memukul bumi, "Kau sungguh bukan manusia, terhadap mati-hidup sendiri juga dibuat bersenda-gurau dan sama sekali tidak pedulikan perasaan orang lain... kubenci.... kubenci!"

Siau-hi-ji tidak menggubrisnya, ia mengeluarkan sehelai kertas kulit kambing yang sudah menguning, dikibarkan kertas itu ke udara sambil berseru, "Ini ular busuk, lihatlah! Inilah peta harta karun itu, kau ingin memilikinya tidak?"

Baru saja dia berseru dua kali, benar saja dan pucuk pohon lantas berkumandang suara melengking kecil, basah-basah licin sehingga membuat orang merinding. "Benda itu akhirnya pasti jadi milikku, buat apa terburu-buru," demikian jengek orang itu.

Waktu Thi Sim-lan menengadah, tertampaklah seorang dengan baju hijau ketat bersembunyi di tengah daun pohon yang rimbun itu sehingga sukar ditemukan. Tubuhnya yang kurus panjang itu seakan-akan melilit pada dahan pohon, sepasang matanya yang kecil itu mirip benar dengan seekor ular, ular berbisa tentunya.

"Apa betul akan menjadi milikmu, kau yakin?" Siau-hi-ji malah bergelak tertawa.

"Jika kau serahkan sekarang dengan hormat, boleh jadi jiwamu akan kuampuni," kata Pek-coa-sin-kun, si malaikat ular hijau.

"Ya, berikan saja padanya," ucap Thi Sim-lan dengan takut. "Kita sendiri kan tidak memerlukannya lagi."

"Tampaknya anak perempuan ini lebih cerdik daripadamu," kata Pek-coa-sin-kun.

"Hahaha! Benar juga, dia cerdik dan aku teramat goblok!" Siau-hi-ji terbahak-bahak. Mendadak ia jejalkan kertas tadi ke mulut terus dikunyahnya seperti orang lagi makan pisang goreng.

Sekonyong-konyong Pek-coa-sin-kun memberosot turun, sekaligus dia seret Siau-hi-ji dari atas kudanya serta membentaknya dengan suara bengis, "Tumpahkan!"

Dengan mudah Siau-hi-ji diseret, tidak melawan juga tidak menghindar, tapi kesempatan itu telah digunakan olehnya untuk menelan gumpalan kertas itu ke dalam perut. Lalu ia membuka mulut dan berkata dengan tertawa, "Tak dapat tertumpah lagi."

"Kau cari mampus!" bentak Pek-coa-sin-kun murka.

"Peta ini cuma ada selembar, hanya aku sendiri yang hafal segala isinya, jika kau bunuh aku berarti selama hidupmu takkan menemukan harta karun," kata Siau-hi-ji dengan mengikik.

Melenggong juga Pek-coa-sin-kun, mau tak mau cengkeramannya dikendurkan.

"Nah, jika aku menjadi dirimu saat ini tentu sudah kukeluarkan obat penawarnya," ucap Siau-hi-ji pula dengan sikap adem ayem. "Asalkan aku masih hidup, bisa jadi akan kulukiskan kembali peta pusaka tadi. Tangan orang mati tentunya tak dapat bekerja lagi bukan?"

Dengan gemas Pek-coa-sin-kun melototi Siau-hi-ji, mukanya yang tirus bagai kulit membungkus tulang itu tiba-tiba menyeringai kejam, katanya, "Memangnya kau sangka aku dapat diperas oleh setan cilik macam dirimu?"

"Memangnya tidak?" ucap Siau-hi-ji tetap tertawa.

"Kertas itu tipis lagi ulet, biar pun kau telan juga masih utuh di dalam perutmu, asalkan kubedah perutmu masakan takkan kutemukan kembali?" demikian Pek-coa-sin-kun berkata dengan penuh keyakinan.

Walau pun lahirnya masih tetap tertawa, namun dalam batin Siau-hi-ji merasa ngeri juga.

Dengan suara parau Thi Sim-lan lantas berteriak, "Jangan, tidak boleh bert... bertindak begitu, kau...."

"Siapa bilang tidak boleh, coba kau lihat!" kata Pek-coa-sin-kun. Mendadak ia mengeluarkan sebatang pedang lemas yang tadinya melilit di pinggangnya sebagai sabuk, sekali di sendal, seketika pedang itu mengeras lurus.

Biar pun Siau-hi-ji banyak akalnya, kini ia pun kelabakan dan tak berdaya. Dengan nekat Thi Sim-lan menubruk maju, namun dia habis sakit dan belum sehat benar, hanya sekali tampar saja Pek-coa-sin-kun telah membikin nona itu terguling. Dengan menyeringai ia lantas berkata pula terhadap Siau-hi-ji, "Kau bilang tangkap ular dan gebuk anjing adalah keahlianmu, tapi membedah perut dan membuka dada adalah keahlianku. Namun kau pun jangan khawatir, sekali tikam pedangku takkan mematikan kau."

Siau-hi-ji sudah mandi keringat, tapi dia tetap tertawa saja dan berkata, "Ya, terima kasih, terima kasih.... Cuma kau harus hati-hati cara kerjamu, pagi tadi aku baru makan seekor ular dan pasti belum tercerna, jangan sampai kau melukai moyangmu itu."

"Setan alas, dekat ajalmu masih berani mengoceh!" bentak Pek-coa-sin-kun dengan gusar. Pedangnya terus menusuk, tapi mendadak "trang" sekali, pedangnya tergetar balik.

Kiranya diam-diam Siau-hi-ji telah pegang ular tadi, dengan pedang yang terselubung di bangkai ular itulah ia tangkis serangan orang, bahkan ia susulkan suatu tusukan pula.

Cepat Pek-coa-sin-kun berkelit, katanya dengan menyeringai, "Sebaiknya kau jangan sembarangan bergerak supaya racun di dalam tubuhmu tidak cepat bekerja dan mati lebih cepat pula."

Sembari bicara pedangnya terus menyerang cepat, Siau-hi-ji hanya mampu menangkis empat kali dan sudah terasa lemas, sukar lagi mengangkat bangkai ular berpedang itu. Sementara itu Thi Sim-lan telah jatuh pingsan, hati Siau-hi-ji tambah kacau.

"Nah, setan cilik, kau masih punya permainan apa lagi" tanya Pek-coa-sin-kun dengan menyeringai ejek. Ujung pedangnya terus ditempelkan ke dada Siau-hi-ji dan ditekan sedikit demi sedikit.

Dada Siau-hi-ji sudah berdarah, namun dia masih bergelak tertawa dan berkata, "Hahaha! Bedah perut adalah kesenangan orang hidup, tak tersangka aku Kang Siau-hi tanpa sengaja dapat...."

Belum habis ucapannya, tiba-tiba terdengar "trang-trang-trang" tiga kali, pedang yang dipegang Pek-coa-sin-kun entah mengapa mendadak patah menjadi empat bagian dan jatuh ke tanah.

Serentak Pek-coa-sin-kun melompat mundur mepet pohon, biji matanya yang kecil itu mengerling tajam sekeliling, tegurnya dengan suara serak, "Siapa itu?"

"Siapa aku masakah kau tidak tahu?" demikian suara seorang perempuan menjawab dengan tertawa merdu. Kedengarannya seperti suara Siau-sian-li.

Siau-hi-ji sangat girang karena dapat lolos dari renggutan maut, tapi demi mendengar suara itu, seketika ia seperti diguyur air dingin. Maklumlah, jatuh di tangan Siau-sian-li belum tentu lebih baik nasibnya daripada jatuh dalam cengkeraman Pek-coa-sin-kun.

Muka Pek-coa-sin-kun tampak pucat, katanya, "Engkau... nona...."

"Seumpama kau tidak tahu siapa aku, seharusnya kau tahu jalan ini mengarah ke mana?!" ucap suara perempuan tadi dengan perlahan. "Sungguh besar nyalimu, berani main gila di sini."

Semula Siau-hi-ji menjadi lesu karena mengira Siau-sian-li telah muncul pula. Tapi mendadak ia berkeplok gembira, sebab jelas pendatang ini bukanlah Siau-sian-li Thio Cing. Walau pun suaranya rada-rada mirip, tapi cara bicara Siau-sian-li cepat menerocos, selama ini belum pernah ia dengar cara bicaranya yang perlahan begitu.

Maka tertampaklah seorang gadis baju hijau dengan menenteng keranjang bunga dan memanggul cangkul kecil muncul dari balik pohon sana, potongannya ramping menggiurkan, jalannya enteng semampai seakan-akan tiupan angin pun dapat mengaburkan dia. Alisnya kelihatan lentik menegak, matanya besar sayu, meski wajahnya tidak teramat cantik, tapi sangat menawan hati.

Di belakang nona itu nampak ikut seorang pemuda beralis tebal dan bermata besar, tapi wajahnya masih kekanak-kanakan dan tampak mengintil dengan sangat menghormat di belakang si nona seakan-akan angkat kepala saja tidak berani.

Walau pun kedua muda-mudi ini tampaknya lemah gemulai, tapi demi melihat mereka, seketika kuduk Pek-coa-sin-kun seperti kena dibacok orang, kepalanya terus menunduk dalam-dalam sambil menyapa dengan tertawa yang dibuat-buat, "O, kiranya Kiukohnio (nona kesembilan)!"

"Bagus, kau ternyata belum lupa padaku," jawab si nona baju hijau dengan acuh tak acuh. "Tapi kau jangan lupa akan tempat apakah ini sehingga kau berani main bedah perut apa segala di sini, nyalimu sungguh teramat kelewat besar."

Sikapnya sebenarnya tidak terlalu dingin, hanya acuh tak acuh dan meremehkan seperti tidak menaruh perhatian terhadap orang lain, walau pun sebenarnya tiada bermaksud buruk apa-apa. Tokoh besar atau orang penting di dunia ini pun seperti tidak terpandang sama sekali olehnya.

Siau-hi-ji tidak dapat menerka latar belakang pribadi si nona, tampaknya dia adalah putri bangsawan, tapi nyatanya berada di daerah hutan belukar.

Dilihatnya kepala Pek-coa-sin-kun semakin menunduk dan sedang berkata dengan gemetar, "Hamba mengira tempat ini tidak... tidak termasuk daerah terlarang, maka... maka...."

"Dan sekarang kau sudah tahu bukan?" kata si nona baju hijau.

"Ya, tahu," jawab Pek-coa-sin-kun takut.

"Jika sudah tahu, tentunya kau juga tahu cara penyelesaiannya," kata si nona pula.

"Ya, hamba tahu," ucap Pek-coa-sin-kun dengan tertawa murung, mendadak sinar pedang berkelebat, dia telah menebas tangan kiri sendiri sebatas pergelangan tangan.

Mau tak mau Siau-hi-ji bergetar juga hatinya, tapi si nona baju hijau yang dipanggil "Kiukohnio" itu tetap acuh tak acuh saja, perlahan ia geraki tangan dan berkata, "Baiklah, sekarang kau boleh pergi!"

Belum habis ucapannya, tanpa pamit lagi Pek-coa-sin-kun terus ngacir sipat kuping.

Mendadak Thi Sim-lan berteriak sekuatnya, "Hei, jangan, jangan biarkan dia pergi!" Entah kapan dia telah siuman, kini ia sedang meronta berusaha bangun, tapi terjatuh lagi.

"Sebab apa?" tanya si nona baju hijau sambil melirik Thi Sim-lan sekejap.

"Sebab dia terkena racunnya," seru Sim-lan sambil menuding Siau-hi-ji. "Hanya Pek-coa-sin-kun saja mempunyai obat penawarnya, kalau tidak, se... sebentar lagi tentu jiwanya akan melayang."

"Dia akan mati atau hidup, peduli apa dengan aku?" ucap si nona baju hijau dengan tak acuh.

Tubuh Thi Sim-lan tergetar juga dan kembali jatuh tersungkur.

Tiba-tiba si pemuda tadi berkata dengan tertawa, "Kiuci (kakak sembilan), marilah kita menolong mereka."

"Jika kau ingin menolong mereka, silakan, aku tak urus," sahut si nona baju hijau. Lalu ia membalik tubuh dan melangkah pergi tanpa menoleh.

Sambil memandangi Thi Sim-lan yang menggeletak di tanah itu, si pemuda berkata dengan lesu, "Maaf...." lalu dengan langkah lebar ia menyusul ke sana.

"No... nona, su... sudilah engkau...." demikian Thi Sim-lan berseru memohon pertolongan dengan suara terputus-putus.

Mendadak Siau-hi-ji bergelak tertawa, katanya "Haha, marilah kita pun pergi saja, buat apa mohon belas kasihan padanya."

"Tapi engkau... engkau...." Sim-lan tak sanggup melanjutkan pula.

"Apakah aku akan mati atau tetap hidup, bukan soal bagiku?" seru Siau-hi-ji tegas. "Dia muda belia, memangnya dia mampu menyelamatkan kita, kalau dia menolong diriku, kan membikin dia serba susah?!"

Segera ia memayang bangun Thi Sim-lan, baru saja melangkah dua-tiga tindak, tiba-tiba terdengar si nona baju hijau tadi berteriak dengan nada ketus, "Berhenti!"

Tersembul senyuman penuh arti pada ujung mulut Siau-hi-ji, tapi mulutnya sengaja berucap dengan keras, "Untuk apa berhenti? Kalau kumati di sini, bukankah akan bikin kotor jalan yang bersih ini." Dan tanpa menoleh ia masih terus melangkah ke depan.

Sekonyong-konyong sesosok bayangan berkelebat, tahu-tahu si nona baju hijau mengadang di depannya dan mengejek, "Hm, tak mungkin lagi kau mati.... Tapi jangan kau kira aku tidak tahu bahwa kau sengaja memancing diriku, bahwa kujadi menolong kau, soalnya agar supaya kau tahu bahwa di dunia ini tiada sesuatu persoalan yang tak dapat dikerjakan oleh kakak beradik Buyung."

"Hm, siapa yang memancingmu? Aku pun tidak memohon pertolonganmu," jengek Siau-hi-ji. "Akan mati atau tetap hidup adalah urusanku, orang lain tidak boleh ikut campur."

"Tapi aku sudah mau menolongmu, sekarang biar kau ingin mati juga tak dapat lagi," kata si nona baju hijau dengan hambar.

Siau-hi-ji berkedip, katanya, "Nah, ingat, kau sendiri sukarela ingin menolong diriku, aku tak pernah memohon padamu, seumpama kau dapat menyelamatkan aku juga takkan berterima kasih padamu."

Si nona baju hijau tidak menjawab, ia terus melangkah ke arah tadi dan berkata, "Ikutlah padaku!"

Pada ujung jalan sana ternyata adalah sebuah gedung yang dibangun membelakangi bukit, tidak begitu luas pekarangannya, juga tidak begitu megah, tapi setiap sudut, setiap kamar dibangun dengan indah, dirancang dengan sempurna.

Bagian depan rumah itu adalah sebuah ruangan duduk dengan halaman kecil, walau pun tidak nampak seorang pelayan, tapi setiap jengkal tampak tersapu dengan bersih, resik tanpa debu sedikit pun.

Sampai di sini napas Siau-hi-ji sudah terengah-engah seakan-akan jatuh, diam-diam si pemuda memayangnya dari belakang.

Siau-hi-ji tersenyum terima kasih, katanya, "Terima kasih, siapa namamu?"

"Koh Jin-giok," sahut pernuda itu dengan muka merah.

"Engkau tidak she Buyung?" tanya Siau-hi-ji.

"Tidak, aku piaute (adik misan) mereka," jawab pemuda itu dengan muka jengah.

"Boleh juga kau, cuma agak terlalu tulus sehingga lebih mirip anak perempuan, dikit-dikit muka merah," ujar Siau-hi-ji dengan tertawa.

"Aku... aku...." Koh Jin-giok tergagap.

Kalau saja tubuhnya tidak tinggi besar, alis tebal dan mata besar, rasanya orang sukar percaya bahwa dia ini anak lelaki, Siau-hi-ji pasti juga akan menyangka dia perempuan menyamar lelaki.

Si nona baju hijau yang dipanggil "Kiukohnio" tadi terus bertindak ke depan, menyusuri ruangan dan serambi. Rumah sebesar itu ternyata tiada terdengar suara manusia, apa lagi bayangan.

Akhirnya nona itu sampai di depan sebuah paviliun yang terdiri dari dua-tiga kamar indah di tengah sebuah taman kecil, di sinilah dia berhenti, lalu berkata, "Masuk sana!" Habis berkata ia lantas membalik tubuh dan tinggal pergi.

"Si... silakan masuk, inilah tempat tinggalku," kata Koh Jin-giok.

Tertawa juga Thi Sim-lan, katanya, "Mungkin di sini hanya rumah ini yang ditinggali lelaki."

"O, apakah kecuali kau, penghuni di sini semuanya perempuan!" dengan tertawa Siau-hi-ji bertanya.

Koh Jin-giok terbelalak, jawabnya, "Memangnya belum kau dengar nama kesembilan kakak beradik (perempuan) dari keluarga Buyung?"

"He, apakah yang terkenal sebagai 'sembilan si cantik' di dunia Kangouw itu?" seru Sim-lan tiba-tiba.

"Be... benar," sahut Koh Jin-giok dengan muka merah pula.

"Kau juga tahu diri mereka," kata Siau-hi-ji. "Coba ceritakan apa kelihaian kesembilan kakak beradik?"

Sim-lan menghela napas perlahan, tuturnya kemudian, "Kesembilan kakak beradik ini boleh dikatakan serba pandai, baik Ginkang (ilmu entengkan tubuh) maupun Amgi (senjata rahasia) hampir sukar ditandingi, apa lagi mereka rata-rata juga mahir segala macam kepandaian putri, orang lain bisa mereka pun bisa, sebab itulah hampir setiap keluarga bangsawan dan orang ternama di dunia ini sama ingin memungut putri keluarga Buyung sebagai menantu."

Siau-hi-ji berkedip-kedip, katanya dengan tertawa, "Apakah mereka sudah menikah?"

"Konon kecuali adik kesembilan yang terkecil itu, delapan kakak beradik selebihnya menikah dengan keluarga persilatan terkenal atau ksatria muda yang disegani...."

"Haha, pantas mereka ditakuti orang Kangouw, soalnya mereka mempunyai deking suami yang serba lihai," kata Siau-hi-ji pula dengan tertawa. Kini air mukanya sudah bersemu biru, kata-katanya juga mulai kurang lancar, tapi dia masih tenang-tenang saja dan berkelakar malah. Malahan dia menepuk pundak Koh Jin-giok dan berseru pula, "Hahaha, kata orang, dekat sungai mudah mengail, asalkan kau mengintil kencang-kencang di belakangnya, mustahil kau takkan berhasil. Caramu ini memang baik dan tepat, hahaha, sungguh cara yang tepat."

Muka Koh Jin-giok semakin merah, ia menunduk, sekilas ia melirik sekejap ke arah Thi Sim-lan, lalu berkata, "Ini adalah... adalah kehendak ibuku, aku... aku cuma...."

Di luar dugaan, mendadak Buyung Kiukohnio (nona Buyung kesembilan) melangkah masuk dan menjengeknya, "Hm, bibi katamu, jadi sebenarnya kau tidak sudi ke sini, begitu bukan?"

"Bu... bukan begitu maksudku," sahut Koh Jingiok tergagap, ia menjadi malu dan ingin menyusup ke dalam bumi andaikan ada lubang.

"Hm, Koh-siauya (tuan muda Koh)," jengek Buyung Kiu pula, "Di sini tidak pernah mengundang dirimu, juga tidak pernah ada orang menahanmu di sini, sekali pun bibi memandangmu sebagai putra mestika, tapi orang lain tiada yang mengistimewakanmu." Dia tidak pandang Koh Jin-giok lagi, "treng", ia lemparkan sebuah botol porselen kecil warna hitam ke atas meja di depan Siau-hi-ji sambil berkata dengan nada dingin, "Separo diminum dan separo dibubuhkan bagian luar. Dalam tiga jam jiwamu akan direnggut balik dan boleh pergilah kau." Habis berkata ia terus tinggal pergi.

Siau-hi-ji mengikik tawa, serunya, "Ingat, aku tidak pernah mohon pertolongan dan juga tidak minta kau menjadi biniku, kau tidak perlu bersikap segarang ini padaku, meski orang lain memandangmu sebagai mestika, tapi aku tidak merasakan sesuatu keistimewaan dirimu."

Mendadak Buyung Kiu membalik tubuh dan melototi anak muda itu. Namun Siau-hi-ji tidak mengacuhkannya, dia membuka sumbat botol, setengah isi botol itu terus dituang ke dalam mulutnya. Habis itu ia menjilat jilat bibir sambil berkecek-kecek, lalu berkata, "Mengapa obat ini berbau kecut seperti cuka?" Cepat pula obat itu dibubuhkan pada lukanya.

Betapa pun Siau-hi-ji memang cerdik, biar pun di mulut ia berolok-olok, tapi obat itu dimanfaatkan dengan segera.

Buyung Kiu melotot gemas kepada anak muda itu, sorot matanya seakan-akan berapi, setelah mendelik sejenak, lalu berucap dengan sekata demi sekata, "Dengarkan, meski kau sudah kutolong, tapi dapat kubunuh kau sewaktu-waktu."

"Ah, kuyakin takkan terjadi, tampaknya kau galak, tapi hatimu cukup baik," ujar Siau-hi-ji dengan tertawa sambil melelet lidah.

Entah mengapa, mendadak wajah Buyung Kiu yang pucat itu lantas bersemu merah, segera ia membentak dengan bengis, "Pergi kau sekarang, pergi, jangan kupergoki lagi untuk selanjutnya, kalau sampai kulihat kau lagi mungkin... mungkin akan kupotong lidahmu dan kucukil matamu, habis itu baru kubunuh dirimu."

Koh Jin-giok tampak melenggong khawatir, selamanya belum pernah dilihatnya Kiukohnio (nona kesemhilan) yang senantiasa bersikap dingin itu marah-marah begini, lebih-lebih tak pernah terdengar ucapannya segalak itu.

Namun Siau-hi-ji masih tetap tertawa-tawa saja, katanya, "Sudah tentu aku akan pergi, tapi setelah kupergi jangan kau minta aku kembali lagi."

Sampai gemetar tubuh Buyung Kiu-moay saking gusarnya. Pada saat itulah tiba-tiba terdengar suara seorang dari kejauhan, "Buyung Kiu-moay, di manakah dikau? Ini Taci cilik datang menyambangimu!"

Datangnya suara sedemikian cepat, baru habis ucapannya, suara permulaan yang kedengarannya berada di luar rumah sana tahu-tahu suara terakhir sudah sampai di taman belakang rumah.

Sambil menggigit bibir, Buyung Kiu-moay terus melangkah keluar dengan cepat. Siau-hi-ji juga melenggong dan tak dapat tertawa lagi.

Begitu pula air muka Thi Sim-lan juga berubah pucat, katanya, "Apakah... apakah Siau-sian-li Thio Cing!?"

"Be... betul," jawab Koh Jin-giok."Dia dan kakak Kiu adalah sahabat baik."

Mendadak Siau-hi-ji menjatuhkan diri ke atas kursi, gumamnya sambil tersenyum getir, "Ai, mengapa dunia sesempit ini...."

Dalam pada itu terdengar suara Siau-sian-li sedang tertawa dan berkata di taman, "He, mengapa lagak Kiukohnio kita menjadi melebihi tuan besar, sudah tahu kedatanganku, mengapa tidak melakukan penyambutan?"

"Memangnya siapa tahu setan gentayangan macam dirimu ini akan gentayangan ke mana?!" Demikian terdengar Buyung Kiu menjawab. "Aku tidak mengomel karena sudah sekian lama kau tidak menjenguk diriku, tapi kau malah berani memaki aku."

"Wah, wah! Kiukohnio kita ini sudah semakin mahir bicara," ujar Siau-sian-li dengan tertawa. "Melihat mukau yang kemerah-merahan ini sungguh kau menjadi tambah cantik. Eh, coba beritahukan padaku, selama beberapa bulan ini sudah berapa orang lagi yang datang melamarmu?"

"Huh, menjemukan!" omel Buyung Kiu-moay.

"Ah, di mulut kau bilang jemu, tapi dalam hati sebenarnya ingin...." goda Siau-sian-li.

"Tidak, selama hidupku ini takkan menikah," jawab Buyung Kiu-moay dengan hambar.

"Benar juga," kata Siau-sian-li. "Semua lelaki bukan manusia baik-baik, semuanya pantas mampus. Lelaki yang punya tampang bagus dan pandai bicara, lebih-lebih pantas mampus."

Waktu bicara begitu seakan-akan yang dimaksud adalah Siau-hi-ji, nadanya penuh rasa dendam dan benci.

Tangan Thi Sim-lan menjadi dingin, bisiknya kepada Siau-hi-ji, "Ba... bagaimana kita?"

Siau-hi-ji tetap duduk tenang di kursinya, katanya sambil menghela napas, "Bagaimana lagi? Berkelahi kalah, lari tak dapat, aku pun kehabisan akal."

Belum habis ucapannya, tiba-tiba Siau-sian-li menerobos masuk dan berseru terkejut, "Kiranya kau setan cilik ini berada di sini!"

"He, sudah lama tak berjumpa, baik-baikkah engkau?" sapa Siau-hi-ji dengan tertawa.

"Kau kenal dia, kakak Cing?" tanya Buyung Kiu-moay.

"Kenal, tentu saja kukenal dia," jawab Siau-sian-li Thio Cing dengan gemas. "Tapi... tapi mengapa dia berada di sini?"

Dengan tak acuh Buyung Kiu-moay menjawab, "Dia terluka di sana dan aku telah...."

Mendadak Siau-hi-ji berseru, "Tidak perlu kau tanya lagi, aku tiada sesuatu hubungan apa pun dengan keluarga Buyung, kini aku dalam keadaan terluka, jika kau hendak membunuhku boleh silakan, tidak perlu kau khawatir membikin malu orang lain dan juga tidak perlu khawatir kulawan."

"Memangnya bagaimana jika kau bisa melawan?" jengek Siau-sian-li.

"Kalau dapat kulawan, tentu kau akan menggeletak tak bisa berkutik lagi!" jawab Siau-hi-ji sambil bergelak tertawa.

Kontan Siau-sian-li memberi suatu tamparan keras sambil berteriak gusar, "Coba katakan lagi?"

Siau-hi-ji terima tamparan itu tanpa mengelak, ia malah tertawa lebih keras, dan berkata, "Baiklah, takkan kukatakan lagi, untuk apa kukatakan pula? Sudah dua kali kau jatuh di tanganku, salahku sendiri, karena merasa kasihan, maka dua kali kuampunimu. Seumpama sekarang kumati di tanganmu juga salahku sendiri."

Dia bicara dengan tegas, gagah perwira sebagai seorang ksatria sehingga sangat mengharukan orang, sudah tentu sama sekali dia tidak menyinggung cara bagaimana sampai Siau-sian-li dapat dirobohkan olehnya.

Karena itu Buyung Kiu-moay jadi tertarik, segera ia tanya, "Kakak Cing, apa betul dua kali engkau...."

Sampai gemetar Siau-sian-li saking marahnya, tapi apa yang dikatakan Siau-hi-ji itu memang betul sehingga dia tidak mampu menyangkalnya.

Melihat sikap Siau-sian-li Thio Cing yang serba susah untuk bicara itu, air muka Buyung Kiu-moay mendadak berubah aneh, seperti keheranan dan seperti tidak percaya.

Sudah tentu sikap kedua nona ini dapat dilihat jelas oleh Siau-hi-ji, ia sengaja berkata, "Nona Buyung, biarkan dia membunuh saja diriku, meski aku terbunuh di rumahmu, tapi aku pun tahu engkau memandang hina padaku, maka takkan kusalahkanmu bila aku dibunuhnya."

Gusar Siau-sian-li tak tertahan lagi. Saking gemasnya dia jadi tertawa, katanya, "Haha, memangnya kau kira aku tidak berani membunuhmu?!"

"Tentu saja kau berani," jawab Siau-hi-ji. "Siau-sian-li Thio Cing yang maha termasyhur memangnya pernah takut kepada siapa? Apa lagi orang yang sama sekali tidak sanggup melawan ini."

Dengan murka Siau-sian-li menggertak satu kali, jarinya setajam pedang terus menutuk ke Thay-yang-hiat di pelipis Siau-hi-ji. Pada hakikatnya anak muda itu tidak dapat menghindar, keruan remuk-redam perasaan Thi Sim-lan menyaksikan malapetaka yang akan menimpa Siau-hi-ji itu.

Di luar dugaan, pada detik itu juga berkelebatlah sesosok bayangan, tahu-tahu Buyung Kiu-moay sudah mengadang di depan Siau-hi-ji sehingga jari Siau-sian-li menyentuh tubuh si nona yang putih halus, terpaksa dia tarik kembali mentah-mentah serangannya itu.

"Apakah kau hendak membela orang luar, Kiu-moay?" tanya Siau-sian-li dengan gusar.

"Jika di tempat lain tentu aku takkan ikut campur biar pun engkau membinasakan dia," demikian ucap Buyung Kiu-moay dengan acuh. "Tapi di sini, betapa pun kakak Cing harus memberi muka kepadaku."

"Setelah kubunuh dia barulah kuminta maaf padamu," kata Siau-sian-li.

"Sejak gedung ini dibangun hingga sekarang belum pernah terjadi membunuh orang dan mengalirkan darah di sini. Maka kuharap kakak Cing jangan melanggar kebiasaan ini dan sukalah menunggu sampai dia keluar dari tempat ini barulah engkau...."
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar