Pendekar Binal Jilid 18

Pendekar Binal
Gu Long (Khu Lung)
-------------------------------
----------------------------
Entah dari mana datangnya tenaga, tahu-tahu Siau-hi-ji dapat mengangkat tubuh Siau-sian-li yang kecil mungil itu sehingga terpelanting, menyusul kakinya terus menendang dan tepat mengenai mata pinggang si nona.

Sungguh mimpi pun Siau-sian-li tidak pernah membayangkan bahwa orang yang sudah sekarat itu masih mampu melancarkan serangan balasan, seketika ia merasa kaki kesemutan, menyusul tubuhnya terangkat dan roboh, kepala terasa pusing dan pinggang kena tertendang pula, habis itu robohlah dia terbanting.

Bahkan Siau-hi-ji terus menubruk dan menindihi tubuh Siau-sian-li, kedua tangannya bekerja tanpa berhenti, setiap Hiat-to yang dapat dicapainya segera ditutuknya tanpa ambil pusing Hiat-to penting atau tidak.

Kejut dan girang pula Thi Sim-lan, dengan suara gemetar ia bertanya, "Hi.... hi-ji, bagai... bagaimana sampai terjadi begini?"

"Kan sudah kukatakan sejak tadi bahwa dia takkan mampu memukul mati aku," ucap Siau-hi-ji dengan tertawa, napasnya terengah-engah, "Tubuhku ini dibesarkan dalam rendaman air obat, waktu orang lain masih menetek, aku sendiri sudah mulai minum obat, jangankan dia, biar pun sepuluh kali lebih keras daripada dia juga tak dapat membuat aku menggeletak tak bisa bangun lagi."

"Tapi... tapi tadi...."

"Tadi aku sengaja berlagak begitu untuk menipunya," tutur Siau-hi-ji dengan tertawa. "Dengan begitu ia akan lengah, lalu kutambahi caci maki pula supaya dia marah, jika marah kepalanya menjadi pusing dan akulah yang tertawa senang."

Akhirnya Thi Sim-lan mengikik tawa dengan air mata dan ingus masih meleleh di mukanya. Tapi dia masih kurang yakin, ia tanya pula, "Kau benar tidak apa-apa?"

Siau-hi-ji terus berdiri tegak, jawabnya dengan tertawa, "Badanku yang laksana otot kawat tulang besi ini masakan dapat dicelakai oleh dua tangannya yang putih halus itu? Pukulannya tadi pada hakikatnya terasa seperti pijat saja bagiku."

Namun pijat itu sesungguhnya bukan sembarang pijat, walau pun mulutnya berkata demikian, sekujur badannya terasa sakit jarem, ruas tulang pun terasa lemas semua. Dengan gemas ia pandang Siau-sian-li dengan tertawa. "Sudah kukatakan akan kubalas berapa kali pukulanmu, utang harus bayar, satu kali pun tidak boleh kurang...." sembari berkata pukulan pertamanya benar-benar dilontarkan. Berturut-turut ia pukul empat kali, pukulannya sungguh tidak ringan.

Siau-sian-li hanya memejamkan mata, sambil menggereget ia bertahan, menjengek pun tidak.

"Asalkan kau minta ampun, akan kuberi rabat beberapa kali pukulan," kata Siau-hi-ji.

Mendadak Siau-sian-li malah berteriak, "Kau bangsat keparat, kau pukul mati aku saja."

Kontan Siau-hi-ji menggampar mukanya hingga si nona terpaksa tutup mulut.

Thi Sim-lan tidak sampai hati, katanya, "Sudahlah, boleh kau ampuni dia...."

"Ampuni dia?" kata Siau-hi-ji. "Mengapa harus mengampuni dia? Tadi kenapa dia tidak mengampuni aku? Sudah kukatakan akan kubelejeti dia dan kugantung dia di atas pohon...."

"Kau berani!" teriak Siau-sian-li dengan suara parau. "Jika berani kau lakukan begitu, ma... mati pun aku takkan mengampunimu!"

"Hahaha, selagi hidup saja aku tidak takut padamu, apa lagi kalau sudah mati," ujar Siau-hi-ji dengan bergelak-tawa. Segera ia jambak rambut Siau-sian-li dan diangkat berdiri, menyusul ia tampar muka si nona ke kanan dan ke kiri empat kali, katanya pula dengan tertawa, "Nah, kubayar dulu pokoknya, sebentar kutambahi bunga-uangnya."

"Kau... kau kejam benar...." muka Siau-sian-li sudah dipenuhi air mata.

"Aku kejam? Memangnya kau sendiri tidak kejam?" jawab Siau-hi-ji. "Kau hanya tahu orang lain kejam, tapi kau lupa caramu menganiaya orang lain bukankah jauh lebih kejam daripada ini?"

Makin omong makin gusar, mendadak ia terus tarik baju Siau-sian-li sehingga robek, maka tertampaklah bahu si nona yang putih mulus itu.

Keruan Siau-sian-li menjerit dan mencaci maki, "Kau anjing gila, iblis jahat...." begitulah hampir segala kata-kata busuk yang terpikir olehnya terus dikirim ke alamatnya Siau-hi-ji.

Namun anak muda itu mendengarkan dengan tertawa, katanya sambil menggeleng, "Jika caramu memaki ini bernilai seni, menarik bagiku untuk mendengarnya, tapi sesungguhnya kau tidak pandai memaki orang, teknik memaki orang sama sekali kau tidak paham, maka terpaksa silakan kau tutup mulut saja."

Habis berkata, ia terus mencomot segenggam lumpur dan hendak dijejalkan ke mulut si nona.

Kini Siau-sian-li benar-benar ketakutan, cepat ia memohon dan menangis, "Mohon... mohon kebaikanmu, am.... ampunilah aku, ampunilah aku...."

"Hahaaaah!" Siau-hi-ji terbahak-bahak senang. "Akhirnya kau mohon ampun padaku, jangan melupakan hal ini."

Usus Siau-sian-li serasa rantas saking pedihnya, ia menangis terus, betapa pun dia adalah anak perempuan, usianya belia, untuk pertama kali inilah dia mencicipi rasa dianiaya orang. Akhirnya ia menjadi takut.

"Baiklah, kuampuni kau," kata Siau-hi-ji sambil membanting nona itu ke tanah. Ia tidak pandang lagi padanya, ia membalik tubuh dan membangunkan Thi Sim-lan, ia bersuit dan memanggil, "Sawi Putih... Sawi Putih...."

Si kuda putih benar-benar ada jodoh dengan Siau-hi-ji, segera kuda itu berlari mendekatinya.

"He, Sawi Putih, sekali ini mesti bikin susah padamu," kata Siau-hi-ji dengan tertawa. "Ayo bawalah kami, setiba di sana nanti akan kuberi makan enak untukmu."

Dia memondong Thi Sim-lan ke atas kuda, ia sendiri pun mencemplak ke atasnya, meski kuda itu tidak besar, namun tenaganya tidak kecil, sambil meringkik perlahan terus saja membedal ke depan.

Siau-hi-ji bergelak tertawa, serunya, "Sampai bertemu lagi, Siau-sian-li.... Ah, kukira lebih baik jangan bertemu lagi."

Begitulah ia tinggal pergi tanpa menghiraukan Siau-sian-li yang menggeletak tak bisa berkutik itu.

Suara tangisan Siau-sian-li seperti tak didengarnya sama sekali.

Kedua orang berhimpitan di atas kuda. Thi Sim-lan merasa tubuhnya lemas dan enteng laksana bersandar di gumpalan awan, ia tidak bergerak dan juga tidak berusaha.

Suara tangisan Siau-sian-li akhirnya tak terdengar lagi. Thi Sim-lan menghela napas perlahan, katanya, "Kau benar-benar malaikat maut bagi Thio Cing."

"Kebentur aku, anggap dia yang sial," ujar Siau-hi-ji tertawa.

Thi Sim-lan termenung sejenak, katanya kemudian dengan rawan, "Sungguh tak terpikir olehku bahwa waktu berkelahi kau jadi begitu tega, begitu nekat, tidak takut mati...."

"Aku mungkin telur busuk, tapi sekali-kali bukan pengecut!" ujar Siau-hi-ji. "Mungkin tidak sulit menyuruh aku berbuat apa saja, tapi jangan harap suruh aku minta ampun."

Si nona tersenyum manis, katanya dengan suara lembut, "Benar, seumpama busuk, tapi busuknya lelaki sejati."

Cahaya bintang dan bulan cukup terang, sehingga bayangan mereka jelas kelihatan di tanah, bayangan mereka berdua yang berhimpitan itu seakan-akan lengket menjadi satu.

Selang sejenak, tiba-tiba Thi Sim-lan berkata, "Apakah kau tahu sebab apa Siau-sian-li Thio Cing merebut peta pusakaku itu?"

"Apa lagi, dengan sendirinya karena kemaruk pada harta karunnya," ucap Siau-hi-ji.

"Kelirulah dugaanmu," kata Thi Sim-lan "Biar pun tindakannya keji, tapi dia sama sekali bukan orang busuk."

"Memangnya dia orang baik?" ujar Siau-hi-ji tertawa. "Orang baik hendak membunuhmu, orang busuk berbalik menyelamatkan kau. Sungguh kejadian mahaaneh!"

"Kubicara sungguh-sungguh denganmu," kata Sim-lan. "Dia ingin merebut peta harta karunku adalah karena ibunya mempunyai hubungan erat dengan pemilik harta karun itu."

"O...!. Sedemikian galaknya dia, bukankah ibunya terlebih-lebih galak? Kukira ibunya pasti lebih menakutkan seperti hantu."

"Kau salah lagi, ibunya tidak buruk rupa seperti hantu, bahkan di dunia Kangouw dahulu terkenal sebagai wanita mahacantik. Setiap lelaki yang pernah melihatnya pasti akan terpikat olehnya."

"Hah, orang demikian sungguh aku ingin melihatnya," ujar Siau-hi-ji dengan tertawa.

"Tapi sayang engkau terlambat lahir belasan tahun, kini dia sudah tua, namun setiap orang Kangouw dari angkatan tua bila mendengar 'Giok-niocu' (si wanita kemala) Thio Sam-nio, pasti jantungnya akan berdebar-debar."

"Mengapa tidak kau katakan dia yang terlalu dini dilahirkan belasan tahun, dia tak dapat bertemu dengan aku?" ujar Siau-hi-ji dengan mengedipkan mata. "Dan, tokoh macam apa pula ayah Siau-sian-li itu?"

"Tentang ini, aku... aku tidak jelas," kata Sim-lan.

"Hahaha! Memang betul. Putra-putri wanita cantik terkenal memang banyak yang tak dapat menemukan ayahnya, soalnya mungkin ayah mereka sukar dihitung."

Thi Sim-lan ikut tertawa geli, katanya, "Ah, mulutmu memang kotor. Tentang Thio Sam-nio itu walau pun tiada bandingannya, tapi dinginnya juga seperti es, walau pun tidak diketahui betapa banyak lelaki yang menaksir dia, namun yang benar-benar terpandang olehnya cuma ada satu."

"Wah, siapa yang punya rezeki bagus itu?" tanya Siau-hi-ji sambil berkedip.

"Yaitu si pemilik harta karun tersebut, namanya Yan Lam-thian!"

"Yan Lam-thian?!" Siau-hi-ji menegas dengan hati tergetar.

"Kau pun kenal namanya?" tanya Sim-lan.

"Seperti pernah dengar... tapi sudah tidak jelas lagi."

"Jika kau pernah dengar nama ini, tidak seharusnya kau lupa. Dia adalah pendekar pedang yang paling terkenal di dunia Kangouw dahulu, ilmu pedangnya sampai sekarang belum pernah ada yang sanggup menandinginya."

"O!" Siau-hi-ji mendengarkannya dengan terpesona.

"Meski dia tidak cakap, tapi dia adalah lelaki yang paling berjiwa ksatria sejati di dunia Kangouw, sungguh sayang aku pun terlambat lahir belasan tahun dan tidak sempat melihatnya."

"Eh, apakah kau perlu bantuanku untuk mencarinya?" tanya Siau-hi-ji dengan tertawa.

"Kau tak dapat menemukannya lagi, siapa pun tak dapat menemukannya" ujar Thi Sim-lan. "Menurut kabar yang tersiar di dunia Kangouw, konon belasan tahun yang lalu, entah sebab apa dia menerobos ke Ok-jin-kok dan sejak itu tak pernah muncul pula. Walau pun ilmu pedangnya tiada tandingannya, tapi dikerubut oleh kawanan durjana sebanyak itu mungkin... mungkin sukar meloloskan diri baginya."

"Ooo!" Siau-hi-ji jadi termangu-mangu mengenang masa lalu.

"Peta harta karunku ini konon adalah tinggalan Yan-tayhiap sebelum pergi ke Ok-jin-kok," tutur Sim-lan pula. "Agaknya beliau menyadari pasti akan sukar keluar lagi dengan selamat, maka sebelumnya dia telah mengumpulkan segenap benda mestikanya serta kitab ajaran ilmu pedangnya yang tiada tandingannya di seluruh jagat, semuanya itu disembunyikan pada suatu tempat yang dirahasiakan. Untuk bisa menemukannya diperlukan petunjuk menurut peta pusaka ini."

Siau-hi-ji manggut-manggut, katanya, "Ya, benda mestika tidak cukup menarik, tapi kitab wasiatnya itu sungguh membuat orang mengiler. Siapa yang menemukan kitab pusaka itu, siapa akan menjagoi dunia persilatan, pantas jika petamu diperebutkan orang sebanyak ini."

"Tapi Siau-sian-li bukan ingin memiliki kitab pusaka ilmu pedang itu, ia hanya ingin menghibur ibunya...." sampai di sini, sekilas Thi Sim-lan melihat sesuatu di atas tanah, seketika hatinya bergetar dan berseru, "He, li... lihat ini...."

"Sudah sejak tadi kulihat bahwa bayangan di atas tanah sudah bertambah satu," ujar Siau-hi-ji dengan tertawa.

Benar juga, bayangan mereka yang berhimpitan itu kini telah bertambah pula sesosok dan tepat berdiri di bokong si kuda putih. Namun kuda putih itu terus berlari ke depan seperti tidak merasakan apa-apa.

Siau-hi-ji masih dapat menenangkan diri, tapi Thi Sim-lan menjadi gugup, ia pegang tangan Siau-hi-ji dan menarik tali kendali sekuatnya, serentak si kuda putih meringkik keras dan menegak sehingga Thi Sim-lan terperosot jatuh.

"Kau takut apa?" jengek seorang tiba-tiba. "Jika hendak mencabut nyawa kalian, sudah sejak tadi kulakukan!"

"Jika kutakut, sejak tadi aku sudah melompat turun," tukas Siau-hi-ji dengan tertawa.

"Hehe, benar juga," orang itu terkekek-kekek. "Kau ini rada-rada aneh, aku jadi ingin berkawan denganmu, makanya aku terus menguntit kemari."

Suaranya terdengar tajam dan nyaring, tapi seperti kekanak-kanakan.

Dengan kaget Thi Sim-lan merangkak bangun, waktu ia menengadah, terlihat seorang berbaju hitam berperawakan kurus kecil berdiri di atas bokong kuda sehingga mirip orang-orangan atau ondel-ondel yang ditempelkan di situ.

Selain pakaiannya hitam ketat gemerlapan, mukanya ternyata juga memakai topeng hitam, hanya sepasang biji matanya yang jelas kelihatan, matanya tampak berkedip-kedip dalam kegelapan menambah misteriusnya.

Serentak Thi Sim-lan ingat seseorang, serunya, "He, engkau inikah Oh-ti-tu (si labah-labah hitam)?!"

"Hah, benar, kau juga kenal aku?" si baju hitam tertawa aneh.

"Meng... mengapa engkau berada di sini?"

"Sebenarnya kaulah sasaranku," jawab Oh-ti-tu. "Tapi demi nampak anak muda ini, rasanya jadi tertarik, jauh lebih menarik daripada pusaka yang kau bawa itu. Karena ingin mengikat persahabatan dengan dia, terpaksa kukesampingkan urusan peta pusaka."

"Hahaha, sungguh tidak nyana ada orang menganggap diriku lebih berharga daripada peta pusaka harta karun, sahabat demikian aku pun ingin kenal," demikian seru Siau-hi-ji dengan tertawa. "Cuma... Oh-ti-tu nama apaan itu?"

"Nama Oh-ti-tu saja kau tidak kenal, pengetahuanmu sungguh amat dangkal. Di jaman ini, orang yang tidak tahu namaku masakah mampu berkecimpung di dunia Kangouw?" kata Oh-ti-tu.

"Mulai kapan kau menguntit diriku?" tanya Siau-hi-ji.

"Waktu kau melumuri kuda putihmu menjadi kuda belang, perbuatanmu sudah kulihat," tutur Oh-ti-tu atau si labah-labah hitam.

"Aneh, aku sendiri ternyata tidak tahu," ujar Siau-hi-ji.

"Hm, jika aku sudah bertekad akan menguntit seseorang, sekali pun kukuntit selama hidupnya juga orang itu takkan tahu," demikian jengek si labah-labah hitam. "Tapi kalau aku tidak ingin dilihat orang, di dunia ini juga tiada seorang pun yang dapat melihat bayanganku."

"Usiamu meski kecil, tapi nadamu ternyata tidak kecil," ujar Siau-hi-ji sambil melompat turun.

"Siapa bilang usiaku kecil?!" kata Oh-ti-tu dengan gusar.

"Dari suaramu masakah aku tak dapat membedakannya?" jawab Siau-hi-ji.

Oh-ti-tu berkedip-kedip dan menatap anak muda itu sekian lama, lalu berkata pula dengan mengekek tawa, "Hehe, walau pun usiaku kecil, sedikitnya cocok untuk menjadi pamanmu, cuma aku ingin bersahabat dengan kau maka bolehlah kau panggil Toako (kakak) saja padaku."

"Panggil Toako padamu?" Siau-hi-ji menegas. "Perawakanmu lebih kecil daripadaku, kau yang harus panggil Toako padaku."

Oh-ti-tu melotot, katanya dengan gusar, "Tidak sedikit orang Kangouw kepingin memanggil Toako (kakak) padaku, tapi semuanya kutolak. Kini kusuruh kau memanggil demikian padaku, kau malah tidak mau?"

Sementara itu Thi Sim-lan sudah berbangkit dan terus-menerus memberi isyarat kepada Siau-hi-ji.

Namun Siau-hi-ji anggap tidak tahu saja, ia tetap berolok-olok dengan tertawa, "Baiklah. Eh, Oh-laute (adik hitam), boleh juga kepandaianmu ya?"

"Kau panggil apa padaku?" Oh-ti-tu menjadi gusar.

"Oh-laute, marilah kita pergi minum barang dua cawan, mau?" kata Siau-hi-ji pula.

Oh-ti-tu tertawa terkekeh-kekeh, katanya, "Tahukah kau bahwa kau bakal tertimpa bencana maut, selain diriku tiada lagi yang mampu menolong kau. Jika kau mau panggil Toako padaku, entah betapa besar manfaatnya bagimu."

Thi Sim-lan jadi kelabakan, sungguh kalau bisa dia ingin mencekik leher Siau-hi-ji dan memaksa dia memanggil "Toako", tapi anak muda itu masih tetap cengar-cengir saja, katanya pula, "Eh, Oh-laute, ada bencana apa yang akan menimpaku, coba katakan."

Sejenak Oh-ti-tu melototi Siau-hi-ji, mendadak ia menjengek, "Baik, sebenarnya aku ingin membantumu, tapi kau sok berlagak tua di hadapanku, maka aku pun tidak perlu ambil pusing akan urusanmu."

Habis berkata, mendadak tangannya terangkat, di bawah cahaya bulan tampak sejalur benang perak menyelinap keluar dari lengan bajunya terus menyambar lurus ke depan.

Siau-hi-ji mengamatinya lebih teliti benda apakah itu, tak terduga baru saja dia berkedip, tahu-tahu Oh-ti-tu sudah melayang pula ke sana sepesat anak panah. Habis itu orangnya lantas lenyap, benang tadi pun tidak terlihat lagi.

Mau tak mau Siau-hi-ji terkesiap, katanya, "Pantas suaranya besar, Ginkangnya memang lumayan juga."

"Masakah hanya lumayan," ucap Thi Sim-lan dengan gegetun. "Ginkang yang menjadi kepandaiannya yang khas itu disebut 'Sin-tu-leng-khong' (si labah-labah melayang di udara), pada hakikatnya di dunia Kangouw tiada orang kedua yang mampu menandinginya."

"Memangnya di mana letak kehebatan kungfunya?" tanya Siau-hi-ji.

"Yang tersembunyi di lengan bajunya itu konon adalah benang sarang labah-labah berumur ribuan tahun yang ditemukannya di lautan selatan, benang labah-labah itu keras dan ulet, tidak mempan oleh senjata tajam apa pun. Dia mengikal dan menyimpan benang labah-labah itu di dalam bumbung yang berpegas, jika tangannya bergerak, seketika benang labah-labah itu menjulur ke depan, konon panjangnya dapat mencapai puluhan depa, sedangkan jarum perak yang terikat pada ujung benang dapat menancap pada benda apa pun, maka dengan enteng tubuhnya dapat ikut melayang ke mana pun sehingga serupa terbang dan cepat bagai hantu."

"Selain aneh orangnya kepandaian yang dilatihnya juga aneh dan menarik," kata Siau-hi-ji dengan tertawa. "Tapi entah umurnya, sudah tua atau masih muda? Mengapa dia sok berlagak tua?"

"Belum ada seorang pun yang tahu umurnya, hanya diketahui dia paling benci pada orang yang bilang dia kecil, siapa yang melanggar pantangannya ini tentu celaka."

"Mengapa aku tidak celaka?" tanya Siau-hi-ji.

"Ya, sungguh aneh, tampaknya dia memang ada jodoh dengan kau," ujar Thi Sim-lan dengan tertawa. "Janganlah mengolok-olok dia, seperti panggilanmu sebagai adik padanya tadi, biasanya dia pasti sudah marah dan mungkin lidahmu sudah dipotong olehnya."

Setelah tertawa, tiba-tiba nona itu menghela napas panjang dan menambahkan pula, "Namun orang itu pun tidak pernah omong kosong, kalau dia bilang kita bakal tertimpa bencana, mungkin... mungkin ada alasannya."

"Mana ada bencana segala, jangan percaya pada obrolannya," ujar Siau-hi-ji. Tapi suaranya makin lama makin lirih sehingga kata terakhir hampir tak terdengar, sedangkan matanya menatap tajam ke arah bokong kuda, entah apa yang dilihatnya.

Baru saja Thi Sim-lan mengetahui sikap aneh anak muda itu dan bermaksud memandang ke sana, cepat Siau-hi-ji telah menyeretnya ke atas kuda dan berkata, "Ayolah lekas berangkat!"

"Ap... apa yang kau lihat?" tanya Sim-lan.

"Ah, tidak apa-apa.... Haha, memangnya ada apa?" Siau-hi-ji sengaja ngakak.

Sim-lan menunduk, setelah termenung sejenak, kemudian berkata dengan khawatir, "Kutahu bila engkau tertawa ngakak, maka apa yang kau ucapkan pasti tidak benar."

Siau-hi-ji melengak, lalu katanya, "Hah, agaknya penyakitku ini ketularan sejak kecil dari seseorang dan hingga kini sukar diperbaiki."

Sudah tentu Thi Sim-lan tidak tahu orang yang menularkan penyakit ngakak kepada Siau-hi-ji itu adalah si Ha-ha-ji yang selamanya tidak pernah bicara benar. Tapi ia pun tidak ingin tanya, ia berkata pula dengan khawatir, "Jika begitu, sesungguhnya apa yang dilihat olehmu?"

"Ah, toh bukan sesuatu yang luar biasa, kau tidak perlu melihatnya," ucap Siau-hi-ji.

"Kutahu kau khawatir bila diperlihatkan padaku tentu akan membuatku cemas," ujar Thi Sim-lan dengan tertawa.

"Tapi kalau aku tidak melihatnya rasanya akan lebih gelisah...."

"Ai, dasar perempuan.... Baiklah, kau ingin lihat, silakan lihat ini," kata Siau-hi-ji sambil menggeleng kepala.

Waktu Thi Sim-lan memandang ke tempat yang ditunjuk, ternyata di bokong kuda putih itu entah sejak kapan telah bertambah sebuah cap ular kecil berwarna hijau.

Ular itu distempel dengan fosfor hijau sehingga tampak gemerlapan di bawah cahaya rembulan, ular itu pun seakan-akan lagi bergerak, kepalanya yang segitiga juga seolah-olah siap memagut.

Walau pun tahu ular itu hanya cap belaka, tapi entah mengapa, semakin dipandang semakin mual rasa Siau-hi-ji, sekujur badan terasa merinding.

Thi Sim-lan lantas berseru juga dengan muka pucat, "He, ular, Pek-lin-coa (ular fosfor hijau)... si datuk dari Jinghay, Sip-lok-sin-kun!"

"Apa katamu?" tanya Siau-hi-ji sambil berkedip heran.

"Engkau tidak paham... engkau tidak tahu...!." ucap Sim-lan dengan muka pucat.

"He, cuma sebuah cap ular saja, kan bukan ular hidup, kenapa kau ketakutan?"

"Ular hidup tidak menakutkan, yang tiruan inilah yang menakutkan!"

"Aneh, tidak takut pada yang tulen, tapi takut pada yang tiruan, mengapa bisa begitu?!"

Thi Sim-lan menarik napas panjang, lalu bertutur, "Pek-lin-coa ini ialah simbul Si Datuk dari Jinghay, Sip-lok-sin-kun (malaikat pemakan rusa). Di mana simbol muncul, di situlah orangnya berada. Kalau orangnya sudah akan datang, maka bencana segera akan tiba pula."

"Lalu Sip-lok-sin-kun ini permainan apa lagi?" tanya Siau-hi-ji.

"Pernahkah kau dengar nama 'Cap-ji-she-shio'!?" tanya Sim-lan.

"Ehm, seperti pernah tapi juga seperti belum pernah," jawab Siau-hi-ji sambil berkedip.

"Cap-ji-she-shio ini adalah sekawanan bandit yang paling kejam dan jahat selama tiga puluh tahun terakhir ini. Biasanya mereka jarang turun tangan, tapi kalau mereka sudah mengincar sesuatu, maka orang yang menjadi sasaran mereka itu jangan harap akan dapat lolos. Selama 30 tahun ini konon mereka cuma pernah gagal satu kali."

"Dan ular hijau tentunya salah satu dari Cap-ji-she-shio itu?"

"Benar," jawab Sim-lan. "Sip-lok-sin-kun ini adalah salah seorang yang paling culas dan keji di antara Cap-ji-she-shio itu.Sarangnya di Jinghay. Ai, seharusnya sebelumnya sudah kuduga akan dia."

"Kenapa harus kau duga sebelumnya?" tanya Siau-hi-ji.

"Konon gagalnya usaha Cap-ji-she-shio satu kali itu justru terjungkal di tangan Yan Lam-thian, Yan-tayhiap. Kalau mereka mengetahui Yan-tayhiap meninggalkan harta karun dan kitab pusaka, mustahil mereka mau tinggal diam?"

"Sungguh tidak nyana, sekecil ini usiamu, tapi tidaklah sedikit urusan yang kau ketahui," kata Siau-hi-ji dengan tertawa.

"Sejak kecil aku sudah berkecimpung di dunia Kangouw, dengan sendirinya pengetahuanku tentang dunia Kangouw juga lebih banyak dibandingkan orang lain. Kelak engkau akan tahu sendiri jika sudah banyak bergerak di dunia Kangouw."

"Semakin banyak yang kau ketahui, semakin banyak pula yang kau takuti," ujar Siau-hi-ji. "Maka ada lebih baik tidak tahu segalanya, ketemu siapa pun tidak peduli, kalau perlu labrak saja dan urusan belakang."

"Tapi sekarang kita sudah tahu, lalu bagaimana baiknya?" tanya Thi Sim-lan.

"Kalau kita tak dapat melawannya, paling selamat adalah lari?"

"Lari...? Apakah dapat lolos?" gumam si nona.

Begitulah dua orang bersatu kuda segera dilarikan secepatnya hingga mereka menanggalkan kedok yang dipakainya, sedangkan mulut si kuda putih pun sudah berbusa.

Siau-hi-ji mengusap leher kuda itu, katanya perlahan, "Kau tentu lelah, Sawi Putih, sungguh aku menyesal."

Thi Sim-lan memandang anak muda itu dengan tertawa geli, katanya, "Sungguh aneh, mengapa kau lebih baik terhadap kuda daripada manusia?"

"Sebab kuda ini pun lebih baik daripada orang lain terhadapku," jawab Siau-hi-ji.

Sim-lan menghela napas, katanya, "Siapa tidak baik padamu? Aku....."

"Kau baik padaku? Umpamanya waktu aku tak dapat berjalan, dapatkah kau menggendong aku berlari berpuluh li jauhnya? Bila hatiku masygul, dapatkah kau tutup mulut tanpa bicara? Sebab itulah aku pun tidak lebih baik daripada kuda, jika kau baik terhadap kuda ini, maka dia pun takkan meninggalkan dirimu, lebih-lebih takkan mengeluarkan ucapan yang menyakitkan hatimu."

Gemas sekali Thi Sim-lan mendengarkan olok-olok itu, karena geregetannya sungguh kalau bisa ia ingin menggigit anak muda itu sekeras-kerasnya.

Tidak lama kemudian, tertampaklah di depan sana ada sebuah kampung kecil, meski fajar baru mulai menyingsing, namun atap rumah penduduk di kampung itu sudah sama mengepulkan asap dapur. Asap yang hijau kekelabu-kelabuan itu berpencaran di udara yang remang putih laksana sebuah lukisan yang indah.

"Lihatlah betapa permainya...." ujar Sim-lan dengan tertawa.

"Hitam kotor begitu, apanya yang permai?" jawab Siau-hi-ji. "Satu-satunya kebaikan bagiku itu adalah asap yang mengepul itu menandakan kita bakal dapat makan nasi."

Daerah in sudah dekat perbatasan Jinghay dan Sujwan, bangsa Han sudah banyak di wilayah ini. Maka tertampaklah seorang kakek dengan pakaian tebal sedang berdiri di depan rumah sambil mengisap tembakau dari cangklong yang panjang, sembari memandang cuaca kakek itu bergumam, "Tampaknya pagi ini kembali cerah, sebentar aku harus menjemur bantal dan selimut."

Siau-hi-ji melompat turun dari kudanya, ia mendekati si kakek dan memberi hormat, katanya dengan tersenyum, "Apakah Lotiang (bapak) ada tersedia makanan atau minuman, sudilah memberi sedikit kepada kami kakak beradik ini."

Kakek ini memandangnya sejenak, lalu memandang pula Thi Sim-lan yang berada di atas kuda, kemudian ia tertawa dan berkata, "Haha, tamu cilik, jangan sungkan-sungkan, asalkan kalian sudi pada makanan kasar, silakan masuk, lekas!"

Siau-hi-ji mengucapkan terima kasih dan menurunkan Thi Sim-lan, dengan suara tertahan ia membisiki si nona, "Sungguh tidak nyana orang kampung di sini ternyata sangat simpatik."

Thi Sim-lan tersenyum manis, dan berendeng mereka lantas masuk ke rumah, terlihat si kakek sudah membersihkan meja dan menyiapkan mangkuk dan sumpit, katanya beriring tawa, "Silakan duduk, coba kutengok apakah bini tua sudah selesai menanak nasi atau belum."

Sejenak setelah si kakek masuk, lalu terenduslah bau nasi yang baru saja diangkat dari dandang. Perut Siau-hi-ji tambah berkeruyukan, matanya melotot ke arah pintu dapur, terdengar suara klentang-klenting mangkuk bergesek dengan centong.

Akhirnya keluarlah seorang nenek ubanan dengan membawa dua mangkuk nasi yang mengepul, masih hangat-hangat. Malah di atas nasi ada sepotong dendeng dan beberapa iris sayur asin.

Dengan jalan terbungkuk-bungkuk si nenek mengantar nasi itu ke meja, katanya dengan tertawa, "Silakan makan dulu, dua tamu cilik, jangan sungkan, mumpung masih hangat, kalau dingin nasinya tidak enak dimakan."

"Jika demikian, maaf kalau kami tidak sungkan lagi," ucap Siau-hi-ji. Tanpa menunggu komando lagi segera ia angkat mangkuk dan pegang sumpit terus hendak mengorek nasi ke mulut.

Tapi mendadak terdengar "trang" sekali, mangkuk yang baru diangkat Thi Sim-lan mendadak ditaruh kembali ke meja, katanya dengan tertawa, "Wah, panas sekali!"

Sekilas pandang mendadak Siau-hi-ji turun tangan secepat kilat, sumpitnya mengetuk perlahan punggung tangan Thi Sim-lan sehingga sumpit si nona terlepas. Tentu saja Sim-lan melotot kaget, tegurnya, "He, apa-apaan engkau?"

Siau-hi-ji tidak menjawab, ia terus menuang nasi yang akan dimakannya itu ke atas meja, sekejap kemudian dari dalam gumpalan nasi itu berkeloget merayap keluar seekor ular kecil warna hijau.

"He, ular.... Cap-ji-she-shio!" jerit Sim-lan kaget.

Siau-hi-ji terus lari ke dapur. Cepat Thi Sim-lan ikut menerjang ke sana. Tertampaklah si kakek tadi telentang di lantai, mukanya hitam membiru. Ada lagi seorang nenek menggeletak di samping tungku, mukanya juga matang biru, tapi rambutnya hitam, jelas bukan si nenek ubanan yang mengantar nasi tadi. Sedangkan nenek ubanan sendiri tidak nampak bayangannya.

"Keji amat dan sungguh berbahaya!" ucap Sim-lan dengan suara gemetar.

Siau-hi-ji menggereget, katanya dengan gemas, "Tampaknya orang-orang ini berpuluh kali lebih busuk daripadaku, sampai-sampai orang tua begini juga dibunuhnya."

"Memang... memang sudah kuduga kita sukar meloloskan diri," kata Sim-lan pula.

Pada saat itulah tiba-tiba terdengar kuda meringkik di luar, cepat Siau-hi-ji menerobos keluar, dilihatnya seekor ular kecil sedang merambat ke atas melalui kaki kuda. Dengan sobekan kain lengan baju Siau-hi-ji pegang ular itu dan dibanting terus diinjaknya hingga luluh, katanya sambil membelai bulu suri kuda putih, "Jangan takut, Sawi Putih, orang-orang jahat itu takkan mampu mencelakai kita."

Lalu ia menarik Thi Sim-lan ke atas kuda dan berangkatlah mereka dengan cepat. Kuda putih itu pun seperti tahu ada bahaya, larinya terlebih kencang, hanya sekejap saja perkampungan itu sudah dilaluinya.....
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar