Pendekar Binal Jilid 17

Pendekar Binal
Gu Long (Khu Lung)
-------------------------------
----------------------------
Ternyata "Siau-sian-li" Thio Cing sudah berdiri di luar dengan bertolak pinggang, katanya dengan sekata demi sekata, "Kusuruh kalian mencari orang, siapa yang suruh kalian minum arak di sini?"

Jantung Siau-hi-ji serasa mau meloncat keluar dari rongga dadanya, namun sedapatnya ia menenangkan diri sambil mundur selangkah demi selangkah. Sudah tentu ia tahu orang yang hendak dicari Siau-sian-li seperti apa yang dikatakannya itu adalah dia sendiri.

Syukur waktu itu sudah malam, di dalam rumah ada sinar lampu, tapi di luar sangat gelap. Ia terus mundur menyusuri pojok tembok sana sehingga tiba di kandang kuda. Bukan cuma orangnya saja, tidak boleh terlihat oleh Siau-sian-li, bahkan kudanya juga tidak boleh dilihatnya. Celakanya kudanya ini kuda putih, putih mulus mencolok.

Tanah di pinggir kandang itu basah becek, cepat Siau-hi-ji meraup dua genggam lumpur terus dilumurkan pada kuda putih. Kuda itu bermaksud meringkik, cepat ia menjejalkan secomot rumput ke mulutnya sambil menepuk kepalanya dan berkata perlahan, "Sawi Putih, janganlah bersuara. Habis siapakah yang suruh kau dilahirkan seputih ini, hakikatnya jauh lebih putih daripada Thi Sim-lan."

Sembari berucap tangannya terus, bekerja, hanya sekejap saja kuda putih sudah berubah menjadi kuda belang. Siau-hi-ji merasa geli melihat hasil karyanya itu. Sisa lumpur pada tangannya itu segera digosokkan pada ekor kuda, lalu ia menyelinap kembali ke kamarnya.

Kamarnya belum ada penerangan, namun Thi Sim-lan sudah mendusin, kedua biji matanya terbelalak laksana lentera, begitu nampak Siau-hi-ji masuk, mendadak ia cengkeram pundak anak muda itu dan bertanya dengan suara serak, "Mana sepatuku?"

"Sepatu?" Siau-hi-ji menegas. "Maksudmu sepatu kulit itu?"

"Ya," jawab Thi Sim-lan dengan tidak sabar.

"Sepatu itu sudah bolong, sudah kubuang ke selokan," ucap Siau-hi-ji.

Thi Sim-lan tergetar, serunya dengan suara terputus-putus, "Kau... kau membuangnya?"

"Ya, sepatu butut begitu, diberikan kepada pengemis juga belum tentu dia mau, kenapa harus kau sayangi? Jangan khawatir, sudah kubelikan sepasang sepatu baru, sedikitnya sepuluh kali lebih bagus daripada sepatu bututmu itu."

Thi Sim-lan meronta turun dari tempat tidur dan berseru, "Kau buang ke mana? Ayo lekas kita mencarinya kembali!"

"Sudahlah, buat apa dicarinya lagi?" kata Siau-hi-ji sambil menarik tangan si nona.

"Ai, kau ini sungguh pantas mampus!" teriak Sim-lan dengan membanting kaki. "Tahukah kau di dalam sepatuku itu ter... tersimpan...."

"Tersimpan apa?" tanya Siau-hi-ji sambil berkedip-kedip.

"Ialah barang... barang yang diperebutkan itu.... Jiwaku hampir melayang lantaran mempertahankan barang itu, tapi kau malah membuangnya begitu saja, lebih baik.... O, lebih baik aku mati saja."

"Barang itu? Bukankah kau bilang barang itu tidak berada padamu?"

"Aku berdusta padamu," jawab Sim-lan, air matanya tampak berlinang-linang.

"Nah, kenapa kau berdusta? Akibatnya jadi membikin susah dirinya sendiri," ujar Siau-hi-ji sambil menghela napas gegetun. "Kubuang sepatu itu sembarang tempat, aku pun lupa entah di mana tempatnya."

Serentak Thi Sim-lan menjatuhkan diri ke atas tempat tidur dan tak dapat bergerak, hanya mulutnya saja bergumam, "Bagus, bagus sekali... kini segalanya telah tamat!"

"Barang itu kan cuma sehelai kertas bekas saja, juga tiada artinya, kenapa kau mesti kelabakan dan cemas begitu, kalau kau jatuh sakit lagi bisa runyam lagi."

Belum habis ucapannya, mendadak Thi Sim-lan melompat bangun dan menegas dengan melotot, "Dari... dari mana kau tahu barang itu cuma sehelai kertas saja?"

"Jika yang kau maksud adalah kertas itu, maka sudah kukeluarkan dari sepatu itu, kertasnya sudah kurobek, bahkan berbau, bau ikan asin."

Serentak Thi Sim-lan menubruk tubuh Siau-hi-ji dan memukuli dada anak muda itu sembari tertawa dan berteriak, "Kau ini memang brengsek, kau sengaja... sengaja membuat kelabakan diriku."

"Habis kau yang berdusta lebih dulu padaku...." jawab Siau-hi-ji dengan tertawa. "Sebenarnya sudah kuduga barang itu pasti kau simpan di dalam sepatumu. Kau sungguh cerdik."

"Kau lebih cerdik, segala urusan tidak mungkin mengelabuimu," ujar Sim-lan. "Tadi... tadi kau benar-benar membuatku kaget."

"Tapi barang itu akhirnya terjatuh di tanganku, kau tidak khawatir?" tanya Siau-hi-ji.

"Sudah berada di tanganmu, apa yang harus kukhawatirkan?" ucap Thi Sim-lan sambil menunduk.

"Kau percaya padaku, tidak takut kubawa lari?"

"Tidak, tidak takut."

"Baik, aku pun takkan mengembalikannya padamu."

"Ya, biar kuberikan saja padamu," kata Sim-lan dengan suara lembut.

"Tapi... tapi kau pernah bilang mati pun barang itu takkan kau berikan kepada orang lain?" tanya Siau-hi-ji dengan mata terbelalak.

"Kau... kau berbeda dengan orang lain."

Entah mengapa, tiba-tiba Siau-hi-ji merasa bahagia, sekujur badan terasa bagai terbang dan seperti jatuh ke tengah gundukan kampas bergula atau arumanis.

Tapi segera ia memperingatkan dirinya sendiri, "Awas, Kang Hi, arumanis itu berbisa!"

Segera timbul pula keinginannya untuk mengenyahkan Thi Sim-lan, cuma bagaimana caranya belum diketahuinya.

"Tadi kau ke mana?" tanya Thi Sim-lan kemudian dengan halus.

"Ke luar.... Malahan aku memergoki seseorang. "Kaukenal orang ini... celakanya aku pun kenal dia."

"Hah, Siau... Siau-sian-li maksudmu?" Thi Sim- lan berjingkat.

"Ya, memang benar dia."

"Dia berada di mana sekarang?"

"Bila kau membuka jendela, mungkin dapat kau melihatnya."

Kaki dan tangan Thi Sim-lan menjadi dingin semua, katanya, "Jadi... jadi dia berada di luar, tapi engkau malah enak-enakan bersenda gurau dengan aku?"

"Sekali pun dia berada di sini juga aku tetap bersendau gurau."

"Ai, kau ini.... Lalu apa yang harus kita lakukan sekarang?" tanya Sim-lan dengan khawatir.

"Sekarang jalan satu-satunya yang paling selamat ialah angkat kaki, kita...."

Belum habis ucapannya, tiba-tiba terdengar suara orang membentak bengis di bagian depan sana, "Suruh buka pintu harus cepat kau buka, apa yang hendak kulakukan bukanlah urusanmu!"

Menyusul lantas terdengar suara "blang" yang keras, agaknya daun pintu telah didobrak.

"Sialan, hendak kabur pun tidak keburu lagi!" kata Siau-hi-ji dengan gegetun.

Wajah Thi Sim-lan menjadi pucat, katanya dengan suara gemetar, "Tampaknya Siau-sian-li membawa pembantu dan mulai memeriksa setiap kamar. Mungkin dia sudah mendengar bahwa kita berada di sekitar sini. Tapi sebelum jejak kita ditemukan, mungkin masih keburu jika kita lari melalui jendela." Segera ia tarik tangan Siau-hi-ji dan mengajaknya melompat keluar jendela.

Tapi Siau-hi-ji menggeleng, katanya, "Tidak bisa jadi, kalau sekarang kita lari melalui jendela, maka mereka pasti dapat menebak bahwa kita inilah orang yang mereka cari, dan kalau Siau-sian-li mengejar, betapa pun kita tak mampu kabur lagi."

"Habis bagaimana baiknya?" tanya Thi Sim-lan khawatir.

"Jangan takut, aku ada akal," ujar Siau-hi-ji dengan tersenyum.

Dalam pada itu dari jauh berkumandang pula suara jeritan perempuan, "Keluar, lekas keluar... kalian kawanan bangsat, kenapa tanpa ketuk pintu terus menerobos masuk...."

"Haha, mungkin perempuan itu sedang mandi," ucap Siau-hi-ji dengan tertawa, tampaknya sedikit pun dia tidak gelisah, seraya tertawa ia terus mengeluarkan sebuah kantong kain bersulam, warna sulaman itu sudah luntur, suatu tanda kantong itu sudah cukup tua.

"Apa itu?" tanya Sim-lan.

"Ini benda wasiat... kucuri dari seorang she To," tutur Siau-hi-ji.

Sambil bicara ia sudah mengeluarkan isi kantong yang terdiri dari satu tumpuk barang tipis dan lunak, agak likat, mirip kulit lumpia.

Mata Thi Sim-lan terbelalak, tiba-tiba ia tanya, "Apakah ini yang disebut kedok kulit manusia?"

"Haha, tampaknya kau juga ahli barang?" Siau-hi-ji berseloroh. Lalu ia ambil dua helai dari tumpukan barang tipis tadi, katanya pula, "Lekas tanggalkan baju-luarmu, sembunyilah di bawah kolong ranjang, lalu pakailah mantelku ini setelah dibalik.... sekarang julurkan mukamu ke sini."

Ketika Thi Sim-lan merasa mukanya nyes dingin dan merinding, waktu membuka mata, tahu-tahu wajah Siau-hi-ji sudah berubah tua kaceknya cuma tidak berjenggot.

"He, kau telah berubah menjadi kakek-kakek," mau tak mau Thi Sim-lan tertawa geli.

"Dan kau pun berubah menjadi nenek, kakek memang harus berjodohkan nenek," ujar Siau-hi-ji.

Sementara itu suara orang-orang di luar sudah semakin mendekat. Namun Siau-hi-ji tetap tenang-tenang saja. Lebih dulu ia mengeluarkan secomot kumis dan ditempel di atas bibir sendiri, lalu mengeluarkan pula sebotol kecil bubuk perak dan ditaburkan pada rambutnya sendiri dan rambut Thi Sim-lan, segera rambut kedua orang menjadi ubanan tampaknya. Habis itu Siau-hi-ji mengeluarkan pula beberapa pensil yang berukuran tidak sama, entah tinta apa yang dipakai, segera ia menggores-gores wajah si nona.

Dalam pada itu suara orang-orang di luar sudah makin dekat, tampaknya sudah hampir berada di depan pintu kamar mereka.

Kaki dan tangan Thi Sim-lan sudah dingin seperti es, badan juga gemetar. Namun tangan Siau-hi-ji tetap bekerja dengan tenang, bahkan ia sempat mendesis, "Jangan takut, kepandaianku menyamar ini biar pun belum sempurna, tapi untuk mengelabui mereka rasanya jauh daripada cukup."

Kini tindakan orang-orang di luar sudah sampai di depan kamar mereka. Secepat kilat Siau-hi-ji meringkasi barangnya, sambil memayang Thi Sim-lan ia berkata pula dengan suara tertahan, "Mari berangkat, melalui pintu depan."

"Pin... pintu depan?" Sim-lan menegas dengan kaget, saking takutnya suara pun parau.

Namun Siau-hi-ji tetap tenang saja, segera ia membuka pintu. Maka tertampaklah beberapa lelaki yang mukanya bengkak akibat ditempeleng itu tepat sampai di depan kamar, bayangan Siau-sian-li yang berpakaian merah dan berpotongan tubuh ramping tampak ikut di belakang orang-orang itu.

Tanpa mengangkat kepala lagi Siau-hi-ji lantas berteriak, "Wah, celaka! Tanpa sebab kenapa kau kelengar? Hai, tuan-tuan sekalian, tolong memberi jalan, aku harus cepat membawa bini tua ke tabib. Entah salah makan apa, mendadak biniku sakit keras, kalau tidak lekas dibawa ke tabib, mungkin aku harus siap membeli peti mati."

Suara anak muda itu mendadak berubah serak sehingga mirip benar seorang kakek yang kelabakan. Sedangkan tubuh Thi Sim-lan menggigil ketakutan sehingga mirip pula nenek yang sedang sakit keras.

Karena itulah beberapa lelaki kekar itu cepat memberi jalan dan menyingkir ke sana, agaknya khawatir ketularan penyakit menular, si burik terus menutupi hidungnya dan menggerundel, "Sakit mendadak di musim panas begini, besar kemungkinan kena pes, kalau tidak masakah menggigil begitu?"

Sembari berlagak kesal, Siau-hi-ji berjalan lamban menerobos melewati beberapa orang itu. Thi Sim-lan hampir saja pingsan, kalau bisa sungguh ia ingin terbang saja melarikan diri. Ia pun tidak habis mengerti mengapa Siau-hi-ji dapat berbuat setenang itu.

Dengan susah payah akhirnya mereka lewat di samping Siau-sian-li dan menuju ke halaman depan. Siau-sian-li memandang mereka dengan melotot, tampaknya tidak menaruh curiga apa pun.

Di luar dugaan, baru beberapa tindak mereka lewat di sampingnya, "creng", mendadak Siau-sian-li melolos sebatang golok yang tergantung di pinggang salah seorang lelaki itu terus membacok belakang kepala Siau-hi-ji sambil membentak, "Memangnya kau dapat menipu aku?"

Sungguh sukma Thi Sim-lan serasa terbang meninggalkan raganya saking kagetnya. Tapi aneh, Siau-hi-ji seperti tidak merasakan apa pun, bahkan ketika golok itu sudah menyambar tiba dan segera akan membuat kepalanya terbelah menjadi dua, tetap dia tidak memberi reaksi apa-apa dan masih terus melangkah ke depan setindak demi setindak. Dan ternyata golok itu lantas terhenti ketika hampir mengenai sasarannya, kira-kira cuma dua-tiga senti saja di atas kepala Siau-hi-ji.

Diam-diam para lelaki kekar tadi menghela napas lega, mereka sama membatin, "Rasa curiga budak ini sungguh amat besar, sampai kakek reyot begitu juga tak terlepaskan dari curiganya."

Namun Siau-hi-ji tetap berlagak tidak tahu apa-apa, ia langsung menuju ke kandang kuda dan mengeluarkan kudanya yang kini sudah "ganti bulu" itu, gumamnya, "Ai, kudaku sayang, nenekmu sakit, tapi aku pun tidak boleh meninggalkan kau."

Gelisah hati Thi Sim-lan sungguh sukar dilukiskan, keringat pun membasahi bajunya, tapi Siau-hi-ji ternyata masih memikirkan kudanya, saking dongkolnya sungguh ia ingin menjotos beberapa kali anak muda itu.

Kini mereka sudah berada di jalan raya, selama itu Thi Sim-lan tidak tahu cara bagaimana dirinya bisa melangkah ke luar, ia merasa sedang bermimpi, mimpi buruk dan menakutkan.

Dalam keadaan setengah linglung Sim-lan dinaikkan ke atas kuda oleh Siau-hi-ji, anak muda itu menuntun kuda dan berjalan dengan perlahan. Tentu saja isi nona bertambah kelabakan, katanya, "Demi Tuhan maukah berjalan lebih cepat?"

"Tidak boleh cepat," kata Siau-hi-ji. "Bisa jadi mereka sedang mengawasi kita, kalau cepat tentu akan ketahuan.... Lihatlah, malam seindah ini, pesiar kota dengan menunggang kuda, sungguh puitis dan romantis."

Ternyata anak muda itu masih ada pikiran buat menikmati keindahan malam, Thi Sim-lan menghela napas panjang. Sungguh ia bingung apa mesti menangis atau tertawa. Namun akhirnya jalan raya itu pun habis ditelusuri. Kini di hadapan mereka adalah jalan belukar, sinar lampu sudah jauh tertinggal di belakang mereka.

Sekarang Thi Sim-lan baru merasa lega, katanya dengan tersenyum getir, "Ai, kau ini... sungguh aku tidak dapat menebak hatimu terbuat dari apa?"

"Hatiku?" Siau-hi-ji tertawa. "Aku memiliki segalanya, hanya tidak punya hati"

Sim-lan menggigit bibir, katanya dengan tersenyum dan melirik anak muda itu, "Tadi kalau golok itu benar dibacokkan, tentu kepalamu sudah hilang."

"Sejak mula sudah kuduga bacokan itu hanya untuk menguji diriku saja," ujar Siau-hi-ji dengan tertawa. "Kalau benar dia mengenali diriku dan hendak membunuh, tentunya dia tidak perlu menggunakan senjata orang lain."

"Ya, memang betul," Sim-lan gegetun. "Dalam keadaan begitu engkau ternyata masih dapat berpikir sampai hal-hal sekecil itu, sungguh engkau seorang ajaib, apakah selama ini engkau memang tidak kenal apa artinya takut?"

"Hahahaha! Apakah kau kira aku tidak takut?" Siau-hi-ji bergelak tertawa. "Berbicara terus terang, waktu itu aku pun ketakutan setengah mati, di dunia ini hanya sebangsa orang gila yang tidak kenal takut."

"Dan sekarang kita akan ke mana?"

"Ke mana saja boleh, toh tidak bakal dikenali orang lagi... hanya, penyakitmu...."

"Karena dibikin kaget tadi, aku keluar keringat dingin dan sekarang terasa sudah sembuh, kaki dan tanganku juga sudah bertenaga. Sungguh aneh bukan?"

"Kau sudah dapat berjalan?" tanya Siau-hi-ji.

"Dapat, kalau tidak percaya boleh kuturun dari kuda dan berjalan saja."

"Baiklah, coba berjalan... aku... aku pun mau berangkat."

Tergetar tubuh Thi sim-lan, serunya, "Ap... apa katamu?"

"Bukankah kita sudah pernah berpisah? Cuma lantaran kau jatuh sakit, makanya kurawat kau, sekarang kau sudah sehat, dengan sendirinya kita pun berpisah lagi."

Tidak kepalang pedih hati Thi Sim-lan, mukanya tambah pucat, tubuhnya mulai gemetar pula dan air mata pun bercucuran, katanya dengan parau, "Engkau... engkau benar... benar...."

"Sudah tentu benar. Kau telah memberikan barang itu padaku, aku pun telah menolong jiwamu, hitungan kita menjadi lunas, siapa pun tidak utang siapa-siapa."

Air mata Thi Sim-lan bertambah deras, katanya dengan menggereget, "Apakah benar engkau tidak punya hati? Memangnya hati... hatimu telah dimakan anjing?"

"Sekali ini tepat tebakanmu," kata Siau-hi-ji dengan tertawa.

"Kau... engkau...." Sim-lan tak mampu melanjutkan, mendadak tangannya bergerak, dengan geregetan ia tampar anak muda itu.

Sama sekali Siau-hi-ji tidak bergerak, ia pandang nona itu, katanya dengan hambar, "Untung hatiku sudah dimakan anjing, sungguh aku harus berterima kasih pada anjing itu, kalau tidak, bila hati lelaki tergenggam di tangan perempuan, wah, kukira akan lebih baik dimakan anjing saja."

Thi Sim-lan menangis tergerung-gerung sambil mendeprok di tanah, katanya dengan terputus-putus, "Engkau... engkau bukan manusia... pada hakikatnya engkau bukan manusia."

"Sudahlah, sampai berjumpa pula...." kata Siau-hi-ji sambil menarik bangun si nona. "Apakah diriku ini manusia atau bukan, yang penting aku bukanlah si tolol yang dapat dipengaruhi oleh air mata perempuan, aku...."

"Benar, engkau bukan orang tolol, engkau teramat pintar! Cuma sayang, pintarnya agak kelewatan!" demikian tiba-tiba seorang menanggapi dengan ketus.

Dingin nada suara itu, tapi nyaring merdu, jelas sekali itulah suara Siau-sian-li.

Seketika Thi Sim-lan berhenti menangis, tubuh Siau-hi-ji juga tergetar, tapi sama sekali ia tidak berpaling, mulutnya tetap berkata dengan nada menyesal, "Aih, ibunya anak, apa yang kau tangisi, toh takkan mati. Ayolah lekas kita mencari tabib, kalau terlambat mungkin orang sudah tutup pintu dan tidur."

"Sudah habis belum ocehanmu?" demikian terdengar Siau-sian-li menjengek. "Memang, penyamaranmu sungguh pandai. Saat ini kau memang harus mencari tabib, cuma sayang segenap tabib di dunia ini sudah tidak mampu menyelamatkan kau lagi."

Siau-hi-ji berdiri terpaku di tempatnya, Thi Sim-lan juga mendekam di tanah tanpa berani bergerak.

"Apa lagi yang hendak kau katakan?" tanya Siau-sian-li pula.

Sekonyong-konyong Siau-hi-ji berpaling, katanya sambil terbahak-bahak, "Hahaha, bagus, bagus! Akhirnya ketahuan juga. Tapi cara bagaimana kau mengetahui penyamaran kami ini? Bolehkah kau jelaskan?"

"Waktu kubacok dengan golok, begitu keras sehingga samberan anginnya dapat didengar oleh orang tuli sekali pun," tutur Siau-sian-li sambil mengejek. "Jika kau memang kakek sialan, tentu kau akan ketakutan hingga bergulingan di lantai. dan minta ampun, mana sanggup melangkah seperti tidak pernah terjadi sesuatu."

Siau-hi-ji berpikir sejenak, akhirnya ia berkata dengan gegetun, "Ya, benar juga. Kiranya kau pun seorang pintar, jauh di luar dugaanku."

"Baru sekarang kau tahu, apa tidak terlambat?" ujar Siau-sian-li.

"Ah, tidak perlu kau bangga, betapa pun kau juga pernah kutipu, ketika kau menyadari apa yang terjadi kan juga sudah terlambat," kata Siau-hi-ji dengan tertawa. "Coba kalau aku tidak membawa beban seorang, entah sudah sejak tadi menghilang ke mana, masakah akan kutunggu kedatanganmu?"

Siau-sian-li ternyata tidak marah, ia menjengek pula, "Jika betul kau mahapintar, kini seharusnya kau mencari akal lagi untuk kabur... jika kau tidak punya akal, ini menandakan kepalamu memang tidak berguna, lebih baik dipotong saja."

"Untuk apa aku mencari akal?" ujar Siau-hi-ji dengan tertawa. "Apakah kau kira aku benar-benar bukan tandinganmu jika berkelahi sungguhan? Hm, kan cuma sungkan bergebrak dengan kau seperti kata pemeo, 'lelaki sejati tidak berkelahi dengan perempuan', maka aku...."

Belum habis ucapannya, tahu-tahu telapak tangan Siau-sian-li sudah menyambar tiba. Gerak serangan ini biasa-biasa saja, tapi cepat dan aneh, kalau tidak menyaksikan sendiri sungguh sukar untuk dibayangkan bahwa di dunia ini ternyata ada orang menyerang secepat ini.

Padahal waktu bicara, pandangan Siau-hi-ji tidak pernah meninggalkan diri si nona dan selalu waspada kalau mendadak diserang. Namun serangan yang jelas kelihatan ini betapa pun toh sukar dihindarkan, dia hanya sempat mendongak sedikit, tapi tidak urung mukanya terasa panas pedas, pipi tetap terserempet oleh jari si nona sehingga mukanya seketika bertambah tiga jalur merah.

Sementara itu serangan kedua Siau-sian-li sudah menyusul tiba pula, cepat Siau-hi-ji berteriak-teriak, "Berhenti, berhenti dulu! Lelaki tidak berkelahi dengan perempuan, berhenti!"

Siau-hi-ji sudah berusaha mengikuti gaya serangan lawan secara seksama, tapi tidak terlihat sesuatu bagian yang aneh, setiap serangan dengan jelas dapat diikuti dan yakin dapat mematahkannya tapi setiap kali selalu gagal, meski sudah berbagai gerakan ia gunakan untuk mengelak, namun selalu terasa konyol dan tetap tidak mampu balas menyerang satu kali pun. Jadinya dia hanya kebagian ditonjok si nona belaka.

Thi Sim-lan sampai melenggong menyaksikan Siau-hi-ji dihajar Siau-sian-li, pada hakikatnya ia tidak dapat melihat jelas gerakan serangan si nona, yang tertampak hanya bayangan merah beserta kedua tangannya yang putih, benang putih yang menyelinap ke sana-sini itu laksana cambuk, dan Siau-sian-li telah dihajarnya hingga melompat ke sana dan lari ke sini, ke mana pun dia lari selalu diuber oleh cambuk itu.

Thi Sim-lan juga tidak tahu di mana letak kehebatan ilmu pukulan Siau-sian-li itu, cuma cepatnya memang belum pernah dilihatnya. Tangan Siau-sian-li itu seolah-olah tangan siluman, kalau tidak mana bisa secepat itu.

Siau-hi-ji benar-benar kewalahan, ia merasa si nona seperti mempunyai belasan tangan, yang satu terhindar, yang lain tiba pula, sampai bernapas pun tidak sempat. Akhirnya pandangan Siau-hi-ji menjadi kabur, kepala menjadi pusing, mendadak ia berteriak-teriak, "Hei, berhenti, berhenti dulu! Kau sudah terkena racunku, kau...." Dia bermaksud menggunakan akal lama, tapi Siau-sian-li tidak mau terjebak lagi dan masih terus menyerang.

Thi Sim-lan menjadi cemas, namun apa daya, tubuh sendiri terasa lemah lunglai dan tidak sanggup membantu.

Siau-hi-ji sudah mandi berkeringat, kembali ia berteriak, "He, kau tidak percaya akan racunku? Tahukah kau betapa lihainya racunku ini?"

"Hm, di bawah tanganku boleh dikatakan di dunia ini tiada seorang pun yang sempat menggunakan racun pula, apa lagi kau setan cilik ini, memangnya kau ingin menipu aku lagi?! Huh, jangan mimpi!" demikian jengek Siau-sian-li.

"Aku tidak bohong," teriak Siau-hi-ji pula. "Aku...."

"Plok," mendadak ia kena digampar dengan keras sehingga tubuhnya mencelat jatuh ke sana hingga terguling-guling.

"Hi-ji, kau... kau...." seru Sim-lan khawatir.

Tak terduga, cepat sekali Siau-hi-ji sudah melompat bangun pula, setelah mengusap darah yang merembes dari mulut, dengan tertawa ia berkata, "Jangan khawatir, ia takkan memukul mati diriku. Asalkan dia tak dapat memukul mati aku, maka aku pasti dapat merobohkan dia."

"Hm, bagus, aku justru ingin tahu betapa kerasnya tulangmu?!" jengek Siau-sian-li. Sembari bicara ia terus menerjang maju pula dan sekaligus melancarkan beberapa kali pukulan.

Sungguh, gaya pukulan Siau-sian-li itu tiada sesuatu yang istimewa dan juga tidak tergolong keji, soalnya cuma teramat cepat, begitu cepat sehingga lawan tidak diberi kesempatan sama sekali. Dan kalau lawan tidak sempat balas a menyerang, lalu cara bagaimana dapat mengalahkan dia?

Siau-hi-ji menggereget, ia menjadi nekat, ia pikir apa pun juga harus balas menghantam dua-tiga kali. Ia incar suatu kesempatan baik dan segera memukul dengan mati-matian.

Tak tahunya baru saja dia melancarkan pukulan, sementara itu tangan Siau-sian-li sudah menutup peluang yang diincar Siau-hi-ji, jadi anak muda itu baru sempat memukul setengah jalan, tahu-tahu perut sendiri sudah kena digenjot lawan malah.

Tidak ringan pukulan ini sehingga Siau-hi-ji terhuyung-huyung mundur dan akhirnya jatuh terjengkang, dan tampaknya tidak sanggup bangkit lagi.

"Jangan berkelahi lagi, berikan saja barang itu!" seru Thi Sim-lan dengan nada memohon.

Tak terduga, setelah berjumpalitan di tanah mendadak Siau-hi-ji melompat bangun pula.

Mukanya tampak matang biru, tapi dia tetap melakukan perlawanan.

"Kecuali dapat mematikan aku, kalau tidak, tetap kulawan," demikian ucapannya sambil menyeringai.

"Kau kira aku tidak dapat membinasakan kau?!" bentak Siau-sian-li dengan gusar. Habis berkata, kembali beberapa kali pukulan dilontarkan pula.

Sekali ini Siau-hi-ji tidak berpikir lagi akan balas memukul, dia hanya berharap dapat bertahan saja, ia mainkan kedua kepalan dengan cepat sehingga pertahanannya sangat ketat.

Siapa duga, serangan Siau-sian-li justru dapat menembus garis pertahanan Siau-hi-ji itu, pukulan demi pukulan masih terus susul menyusul dan akhirnya pertahanan Siau-hi-ji menjadi bobol.

"Celaka!" jerit Thi Sim-lan khawatir.

Benar saja, di tengah pekik nyaring nona itu, tahu-tahu Siau-hi-ji sudah terpukul mencelat pula dan terguling-guling di sana.

"Sudahlah kumohon, kau... kau bukan tandingannya, dia teramat cepat!" ucap Sim-lan dengan gemetar.

Tapi Siau-hi-ji sudah berdiri kembali, biar pun meringis kesakitan, dia masih siap tempur, katanya, "Justru dia terlalu cepat, makanya tidak mampu memukul mati aku... pukulannya teramat cepat, kekuatannya menjadi tidak keras, masakah kau tidak paham teori ini?!"

Air muka Siau-sian-li berubah juga, sungguh tak terkira olehnya bahwa si setan cilik ini sedemikian bandel dan masih mampu berdiri pula, padahal ia tahu pukulan sendiri sebenarnya cukup keras. Kalau orang lain, setelah mengalami tiga kali pukulan tadi, andaikan tidak mampus sedikitnya juga sekarat, tapi setan cilik ini bukan saja mampu berdiri kembali, bahkan melakukan serangan balasan lebih dulu.

Siau-sian-li menjadi geregetan akhirnya, katanya, "Baik, tulangmu memang keras, aku justru ingin tahu sampai di mana kerasnya!"

Begitulah serangan Siau-sian-li bertambah gencar dan cepat, sebaliknya perlawanan Siau-hi-ji semakin lamban. Berulang-ulang anak muda itu "knock out", tapi begitu roboh segera ia merangkak bangun, begitu menggeletak cepat ia bangkit pula.

Air mata Thi Sim-lan sudah meleleh, dengan suara memelas ia memohon, "Siau-sian-li, lepaskan dia! Dia sudah payah!"

"Kentut, siapa bilang aku payah?" teriak Siau-hi-ji mendadak. "Dia memukul aku tujuh kali, aku pun harus balas menghantam dia tujuh kali."

"Hm, kau mimpi belaka!" jengek Siau-sian-li, dan ketika untuk ketujuh kalinya Siau-hi-ji merangkak bangun, namun robohnya jauh lebih cepat lagi.

Sekuatnya Siau-hi-ji meronta bangun pula, tapi baru bergerak sedikit segera jatuh lagi, namun dia masih terus berusaha untuk bangkit.

Siau-sian-li pandang anak muda itu dengan mimik yang aneh, entah murka, entah benci, atau kasihan, atau tidak tega. Tapi di mulut ia tetap mendengus, "Asalkan kau mengaku kalah, segera kuampuni kau!"

"Kentut! Siapa minta diampuni?" teriak Siau-hi-ji. "Kau yang harus minta ampun padaku.... Pakaianmu akan kubelejeti, akan kugantung kau di atas pohon dan akan kucambukimu...." sambil berkata ia pun sudah berbangkit walau pun dengan sempoyongan.

Tapi segera Siau-sian-li memburu maju, sekali tendang, kontan Siau-hi-ji terguling-guling pula.

Thi Sim-lan memejamkan mata dan tidak tega menyaksikannya, hatinya remuk, ususnya rantas, ia sendiri tidak tahu mengapa dirinya sedemikian memperhatikan si setan cilik yang menggemaskan ini.

Dalam pada itu Siau-sian-li sendiri tampaknya juga rada terengah-engah, ini kelihatan dari dadanya yang jumbul-jumbul, tapi ia memaki pula, "Setan cilik, bangsat cilik, dapatkah kau berdiri pula? Dapatkah kau berhantam pula?"

Sambil mencengkeram rumput di tanah, Siau-hi-ji berusaha merangkak bangun perlahan, "Kau sendiri bangsat, kau... malahan bandit!"

"Kau berani memaki aku?" teriak Siau-sian-li gusar, segera ia memburu maju, sekali depak kembali Siau-hi-ji terguling-guling.

"Kau... kau tega benar," jerit Thi Sim-lan dengan suara parau. "Orang sudah terkapar parah, kau masih tega menyiksanya!"

"Habis dia memaki aku!" kata Siau-sian-li dengan gemas.

"Kumaki dirimu, justru ingin kumaki... kau tamak, kau pembunuh, membunuh manusia seperti membabat rumput, kau... kau setan dan bukan bidadari. Kau gendruwo...." demikian suara Siau-hi-ji semakin lemah, tapi masih terus mengumpat habis-habisan.

Tidak kepalang gusar Siau-sian-li sehingga tubuhnya gemetar, sebelah kakinya menginjak dada Siau-hi-ji, dampratnya, "Baik, makilah, maki lagi.... Akan kubuat kau tak mampu memaki untuk selamanya. Sebenarnya aku tak berniat membunuhmu, tapi kau sendiri memaksa aku bertindak demikian, aku...." dengan menggereget segera sebelah tangannya hendak mengepruk batok kepala anak muda itu.

Thi Sim-lan menjerit khawatir, ia pun berusaha merangkak ke sana untuk mencegahnya. Di luar dugaan, pada saat itulah tiba-tiba Siau-hi-ji memeluk kaki Siau-sian-li yang menginjak di atas dadanya itu.....
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar