Pendekar Binal Jilid 15

Pendekar Binal
Gu Long (Khu Lung)
-------------------------------
----------------------------
Terbayang oleh Siau-hi-ji pakaian Thio Cing dengan kudanya yang sama merahnya, nona belia itu telah berkelana di dunia Kangouw dan disegani setiap orang, sungguh luar biasa.... Tanpa terasa Siau-hi-ji terkesima membayangkan wajah Siau-sian-li Thio Cing.

Selang sejenak perlahan Thi Sim-lam berkata, "Kau mampu menyelamatkan diriku dari tangannya, sungguh kejadian yang tidak mudah, tapi dia pasti juga... sangat benci padamu, selanjutnya engkau harus hati-hati."

"Aku tidak takut," jawab Siau-hi-ji tertawa. "Sebab, pada hakikatnya dia tidak melihat diriku, apa lagi... apa lagi seumpama berkelahi sungguhan aku pun belum tentu kalah."

"Kukira engkau bukan tandingannya," ujar Thi Sim-lam. "Entah ajaran siapa, ilmu silatnya sungguh luar biasa lihainya. Baru lebih setahun dia muncul di dunia Kangouw, tapi sedikitnya berpuluh tokoh Bu-lim (dunia persilatan) telah terjungkal di tangannya."

"Ah, tokoh kodian begitu terhitung apa?" kata Siau-hi-ji dengan tertawa.

"Tapi ada juga satu-dua di antaranya benar-benar memiliki kepandaian sejati, misalnya...."

Tiba-tiba Siau-hi-ji memotong, "Sudahlah, peduli urusan itu, sekarang coba perlihatkan barangmu itu kepadaku."

Tergetar tubuh Thi Sim-lam, jawabnya, "Ba... barang apa maksudmu?"

"Yaitu barang yang diperebutkan mereka secara mati-matian itu, begitu pula kau lebih suka terbunuh daripada menyerahkan barang yang diminta, tentunya kau sendiri tahu barang apa itu?"

"Aku... aku tidak tahu," jawab Thi Sim-lam.

Siau-hi-ji tarik baju orang dan berteriak, "Jiwamu telah kuselamatkan, tapi memperlihatkan barangmu padaku saja tidak sudi. Hm, di mana letak hati nuranimu? Apa lagi aku hanya ingin melihat saja, takkan kurampas barangmu."

"Lepas... lepaskan, akan kukatakan padamu," pinta Thi Sim-lam.

"Baik, memangnya kau berani mungkir janji lagi," kata Siau-hi-ji.

"Cuma rahasia ini tidak boleh kau katakan lagi kepada orang lain."

"Katakan kepada siapa?" sahut Siau-hi-ji. "Tolol, kau inilah orang yang paling kusukai. Orang lain mengganggumu, dengan mati-matian kutolong dirimu, masakan akan kukatakan kepada orang lain segala?"

Muka Thi Sim-lam merah lagi, tapi ia lantas angkat kepalanya dan berkata dengan perlahan, "Barang yang dimaksud itu tidak kubawa."

Sampai lama Siau-hi-ji memandang Thi Sim-lam dengan terbelalak, habis itu mendadak ia tertawa.

"Apa yang kau tertawakan?" tanya Sim-lam. "Haha, kau anggap diriku ini anak kecil? Kau ingin membohongi aku?"

"Sumpah, aku tidak bohong padamu."

"Apa bila barang itu tidak ada padamu, untuk apa mereka menguber dirimu dan mengapa kau berusaha kabur ketakutan?"

"Sebab barang itu sudah diambil oleh seorang yang paling akrab denganku, kukhawatir dia dicelakai orang lain, maka aku sengaja berlagak masih menyimpan barang itu agar orang lain menjadikan diriku sebagai sasaran dan dapatlah mengamankan dia."

"O, jadi kau memakai tipu 'Kim-sian-toat-kak' (tonggeret emas ngelungsung kulit) dan 'Tiau-hou-li-san' (memancing harimau meninggalkan gunung)," kata Siau-hi-ji dengan rada melenggong.

"Ya, begitulah," sahut Thi Sim-lam.

"Sungguh tidak nyana engkau adalah orang yang suka berkorban bagi orang lain," ujar Siau-hi-ji dengan gegetun.

"Meski aku bukan orang baik yang suka berkorban bagi orang lain, namun orang itu adalah kakakku sendiri," tutur Sim-lam.

"O, kiranya begitu, sesungguhnya barang apakah itu, tentunya dapat kau beritahukan padaku."

Thi Sim-lam menunduk, katanya kemudian, "Yaitu sebuah peta yang menyangkut suatu partai harta karun."

"Hahaha, kiranya barang begituan," ujar Siau-hi-ji dengan tertawa "Tahu barang begitu, melihat saja aku tidak sudi. Jika aku suka pada benda mestika, pada hakikatnya dapat kuperoleh, buat apa mesti mencarinya dengan susah payah?" Dia berbangkit dan memeriksa keadaan gubuk itu, dilihatnya di belakang rumah ada bekas tungku, ia mengernyitkan dahi dan berkata pula, "Rumah apakah ini, terletak di tempat terpencil begini?"

"Kita sudah lari cukup jauh, mungkin sudah dekat kota, bisa jadi tempat ini dahulu digunakan pos pengintai prajurit," ujar Thi Sim-lam.

Siau-hi-ji melongok ke pintu belakang, katanya kemudian dengan tertawa, "Di sini malah ada sumur."

"Ya, di lemari bobrok ini juga ada beberapa buah mangkuk rusak," kata Thi Sim-lam. "Biar kutimbakan air untuk minum."

Siau-hi-ji berkedip-kedip katanya, "Kau takkan lari ya?"

"Untuk apa aku lari?" jawab Sim-lam.

"Ya, kutahu engkau takkan lari," kata Siau-hi-ji.

Thi Sim-lam memang tidak perlu lari. Sejenak kemudian dia masuk kembali dengan membawa sebuah ember kayu.

Sikapnya yang angkuh kini sudah lenyap, mendadak ia berubah sangat ramah dan serba lembut, ya menimba air, ya cuci mangkuk, pekerjaan yang biasa ditangani anak perempuan itu telah dikerjakannya dengan baik.

Siau-hi-ji terus memandangi tingkah laku orang dan merasa tertarik. Tiba-tiba terdengar suara derapan kuda lari, kedua orang sama terkejut dan pucat. Syukur dengan segera Siau-hi-ji dapat melihat yang datang itu kiranya adalah seekor kuda putih tanpa penunggang. Rupanya kuda putih yang dibeli Siau-hi-ji itu juga mengikuti perjalanan mereka ke sini.

Kejut dan girang Siau-hi-ji, segera ia melompat keluar untuk memapak kuda putih itu, katanya sambil membelai bulu suri kuda itu, "O, kudaku sayang, rupanya kau pun tidak mau ketinggalan, besok akan kuberi makan sawi putih. Eya, kau juga diberi nama, biarlah kunamai kau Sawi Putih.

Ia melirik sekejap ke dalam rumah, di dalam cukup gelap. Selang sejenak tampak Thi Sim-lam keluar dengan membawa dua mangkuk air.

"Sudah kucicipi, air ini terasa manis," kata Sim-lam dengan berseri.

"Kita minum, bagaimana kudanya, dia sudah lelah berlari, biar dia minum semangkuk dulu," kata Siau-hi-ji.

"Jangan, jangan!" kata Sim-lam cepat. "Hanya... hanya dua mangkuk ini kucuci bersih. Biarkan kuda minum dengan ember saja." Ia menaruh sebuah mangkuk di tepi sumur dan mangkuk lain diserahkan pada Siau-hi-ji, lalu ia lari masuk lagi ke rumah.

Sungguh cepat lari Thi Sim-lam, ketika dia keluar lagi Siau-hi-ji masih tetap berdiri di tempatnya tanpa bergeser, Thi Sim-lam berkedip-kedip, katanya dengan tertawa, "Ayolah minum, sungguh air itu manis!"

"Jangan, air sumur ini beracun," kata Siau-hi-ji dengan tertawa.

"Ti... tidak mungkin, kalau beracun tentu aku sudah mati keracunan," kata Thi Sim-lam dengan mengikik. "Tadi aku sudah minum satu mangkuk, sekarang biar kuminum lagi semangkuk." Segera ia angkat mangkuk yang terletak di tepian sumur tadi terus ditenggaknya hingga habis.

"Kau sudah minum lebih dulu, legalah hatiku," kata Siau-hi-ji tertawa. Lalu ia pun minum semangkuk air.

Sementara itu malam sudah tiba, bintang bertebaran di langit. Mendadak air muka Siau-hi-ji berubah hebat, serunya dengan terputus-putus, "Wah, cel... celaka! Mengapa... mengapa kepalaku menjadi pusing."

Thi Sim-lam menatapnya dengan tajam, katanya, "Jangan khawatir, tidak apa-apa, duduklah sebentar tentu baik."

"Ah, tidak benar ini, tidak beres, mengapa badanku terasa lemas," kata Siau-hi-ji pula. Baru habis ucapannya, "bluk", ia benar-benar roboh terguling sambil berteriak, "Racun, di... di dalam air ada racun!"

Mendadak Thi Sim-lam mundur dua tindak, lalu menjengek, "Hm, jangan khawatir, air itu tidak beracun, hanya diberi obat bius saja, silakan tidur semalam di sini, besok pagi kau dapat berjalan lagi."

Siau-hi-ji mengeluh, katanya dengan tak lancar, "Meng... mengapa kau menaruh... menaruh obat bius di dalam air?"

"Soalnya aku harus pergi ke suatu tempat dan tidak boleh terhalang olehmu," jawab Thi Sim-lam.

"Kau... kau...." makin lama makin tak jelas ucapan Siau-hi-ji.

Thi Sim-lam tertawa, katanya, "Kau ini terhitung bocah pintar juga, cuma...." sembari berkata dia terus melangkah pergi, tapi baru saja berucap sampai di sini, tiba-tiba kakinya terasa lemas dan hampir jatuh tersungkur. Seketika air mukanya berubah pucat, ia melangkah lagi sekuatnya, tapi baru dua tindak ia lantas jatuh benar dan menggeletak di samping ember kayu, bahkan tenaga untuk merangkak saja tidak ada, dengan suara gemetar ia bertanya, "Ba... bagaimana bisa terjadi begini?"

"He, jangan jangan kau pun menaruh obat bius pada mangkukmu sendiri," ujar Siau-hi-ji.

"Ti... tidak mungkin, jelas... jelas aku...." Mendadak Siau-hi-ji bergelak tertawa terus melompat bangun.

Keruan Thi Sim-lam terperanjat, serunya, "Kau... kau...."

"Hehe, kamu ini terhitung juga bocah pintar, tapi kalau dibandingkan diriku selisihnya masih terlalu jauh," ucap Siau-hi-ji dengan keplok tertawa.

"Diam-diam kau menaruh obat di dalam mangkuk, kau kira aku tidak tahu. Terus terang, mataku ini sejak kecil dicuci dengan air obat, sekali pun di tengah malam gelap juga sanggup kutemukan jarum yang jatuh di tanah."

"Kiranya kau telah... telah menukar mangkukku," kata Thi Sim-lam dengan muka pucat.

"Betul, mangkukmu telah kutukar dan kau tidak tahu sama sekali," ucap Siau-hi-ji dengan tertawa. "Terus terang kukatakan, permainan begini sudah kupelajari sejak masih bayi. Orang yang membesarkan diriku itu adalah kakek moyangnya para ahli obat bius di dunia ini."

Mata Thi Sim-lam serasa melengket dan sukar terpentang lagi, tapi sebisanya ia berteriak, "Engkau... engkau ingin meng... mengapakan diriku?"

"Aku pun tidak bermaksud apa-apa padamu, cuma ucapanmu tak dapat kupercayai, maka akan kugeledah tubuhmu dari ujung kaki sampai ubun-ubun kepala, ingin kulihat apakah benar kau tidak membawa sesuatu barang."

Belum habis ucapan Siau-hi-ji, muka Thi Sim-lam yang tadinya pucat seketika berubah merah, katanya dengan gemetar, "O, jang... jangan, kumohon dengan... dengan sangat, jangan... jangan...." tidak hanya suaranya yang gemetar, kedua tangannya memegang kencang baju sendiri, tampaknya khawatir kalau dibelejeti. Tapi suara rintihan, "Kumohon... jangan... jangan...." menjadi lemah dan semakin lirih dan akhirnya tak terdengar lagi, tangan pun kendur melepaskan baju yang dipegangnya.

Siau-hi-ji hanya berdiri saja dan memandang orang dengan tertawa. Ia tunggu orang sudah tidak bisa bergerak lagi barulah berjongkok di sampingnya, ia pegang tangan Thi Sim-lam, semakin pemuda itu memohon jangan, Siau-hi-ji semakin berlagak hendak menggeledahnya.

Pada saat itulah tiba-tiba angin meniup santer, sesosok bayangan orang tahu-tahu sudah berdiri di belakang Siau-hi-ji, datangnya bayangan sedikit pun tidak menimbulkan suara seakan-akan datang terbawa oleh desiran angin tadi. Di bawah cahaya bintang yang remang, samar-samar terlihat pakaian orang itu berwarna merah. Tapi Siau-hi-ji seperti tidak tahu sama sekali.

Dalam keadaan remang-remang potongan tubuh bayangan orang itu tampaknya ramping menggiurkan. Perlahan tangan bayangan orang itu terangkat, gerakannya sedemikian lembut dan indah seperti gaya bidadari yang sedang memberkati kegembiraan dan kebahagiaan bagi manusia di dunia ini.

Akan tetapi sesungguhnya tangan itu tidak membawakan kebahagiaan, tapi mendatangkan kematian. Dalam sekejap saja tangan itu akan merenggut nyawa Siau-hi-ji.

Namun anak muda itu masih tetap tidak tahu apa pun, tiba-tiba ia bergumam malah, "Sungguh aneh orang ini, mengapa tertidur di sini, dipanggil juga tidak mau mendusin. He, hei! Toako (kakak) yang tidur di sini, bangunlah, mengapa tidur di sini, kau bisa masuk angin!"

Tangan yang sudah terangkat dan hampir digablokkan tadi mendadak berhenti tanpa bergerak lagi. Dan Siau-hi-ji bergumam pula, "Wah, bagaimana ini...?. Jika sudah kulihat, betapa pun tidak boleh kutinggalkan pergi. Ah, sialan, maksudku ingin mencari air, siapa tahu kepergok orang tidur seperti babi mampus begini."

"Kau tidak kenal orang ini?" tiba-tiba bayangan baju merah tadi bertanya.

Seperti pantat dicocok jarum, serentak Siau-hi-ji berjingkat kaget, cepat ia membalik tubuh dan memandang orang dengan melotot, badan pun menggigil ketakutan seperti melihat setan.

Padahal, di bawah cahaya bintang yang remang itu, sisa air setengah ember itu laksana sebuah cermin sejak tadi sudah memberitahukan kepada Siau-hi-ji bahwa pendatang itu ialah Siau-sian-li. Tapi lagak kaget Siau-hi-ji itu sungguh persis sekali, ia melenggong sekian lama barulah berucap dengan tergagap, "Non... nona cilik dari... dari manakah?"

Belum habis ucapannya, kontan Siau-sian-li menamparnya. Siau-hi-ji berlagak hendak mengelak, tapi kelabakan dan tidak mampu menghindar sehingga terkena pukul dan jatuh terguling.

"Hm, setan cilik macam kau juga berani memanggil aku nona cilik?" damprat Siau-sian-li Thio Cing.

Siau-hi-ji memegang pipinya yang bengap dan merangkak bangun dengan setengah mewek, katanya dengan lagak memelas, "Iya... nona... nona besar, aku...."

Belum habis ucapannya, kembali pipi sebelah lain kena gampar pula, dengan suara bengis Siau-sian-li menghardik, "Nona besar juga bukan panggilanku."

"Ya, ya, bib... bibi... aku kapok," ucap Siau-hi-ji dengan gelagapan.

"Hm, mendingan begini," ujar Siau-sian-li. Walau pun sikapnya tetap kaku, tapi nada bicaranya sudah jauh lebih lunak.

Sungguh ia tidak tahu mengapa dirinya bisa berubah menjadi lunak, entah sebab apa pula hatinya menjadi lemas demi nampak tampang anak muda macam Siau-hi-ji ini.

Sambil berkedip-kedip mendadak Siau-hi-ji berkata pula, "Eh, bibi, engkau jangan marah. Ada seorang pamanku, katanya manusia kalau marah, dagingnya akan berubah kecut, eh keliru, katanya kalau marah, orang akan cepat tua dan buruk rupa. Bibi sedemikian cantik, kalau benar berubah tua dan buruk kan sayang."

Cara bicara Siau-hi-ji yang mengedipkan matanya yang besar itu ternyata menarik perhatian Siau-sian-li, rasanya suka mendengarkan terus. Sambil memandangi wajahnya, ia merasa anak muda ini sungguh aneh. Tanpa terasa tercetus pertanyaannya, "Apakah benar aku sangat cantik?"

Baru berkata demikian, tiba-tiba ia merasa sikapnya itu terlalu lunak, segera ia menggampar pula sambil mendelik dan membentak, "Seumpama aku memang cantik juga tidak perlu pujianmu."

Diam-diam Siau-hi-ji merasa geli, ia merasa tamparan ini sudah jauh lebih enteng daripada tadi, namun ia pura-pura kesakitan dan berkata dengan bersungut, "Ya, ya, walau pun bibi cantik, terpaksa aku tidak omong lagi."

"Kau setan cilik ini mengapa datang ke sini?" tanya Siau-sian-li.

"Kuikut beberapa paman berdagang ke sini, tadi paman membeli seekor kuda dan suruh aku menunggangnya berpesiar, tak terduga kuda itu sangat binal, mendadak ia lari kesetanan dan sukar dikendalikan, di luar kehendakku tahu-tahu aku dibawa ke sini, aku pun tidak tahu tempat apakah ini."

Cara bicara Siau-hi-ji dilontarkan tanpa pikir dan lancar sehingga membuat orang mau tak mau harus percaya pada bualannya itu.

"Ya, betapa pun jinaknya kuda, kalau sudah kesetanan, siapa pun sukar mengendalikannya, apa lagi anak kecil macam kau," kata Siau-sian-li.

Sudah tentu ucapannya itu berdasarkan pengalamannya, makanya dia bersimpatik pada pengalaman si "setan cilik" ini. Ia tidak tahu bahwa yang mengerjai kudanya tadi justru bukan lain daripada "setan cilik" ini.

Keruan Siau-hi-ji geli setengah mati, tapi di mulut ia tetap menjawab, "Betul, aku telah disiksa seharian oleh kuda gila ini, kulihat ada sumur dan baru saja hendak menimba air untuk minum, tiba-tiba kulihat pemalas ini lagi molor di sini."

Siau-sian-li memandang sekejap ke arah Thi Sim-lam, lalu menjengek, "Hm, apakah kau kira dia sedang tidur?"

"Tidak tidur ? Memangnya sudah mati?!" seru Siau-hi-ji.

"Bukan tidur juga tidak mati," ucap Siau-sian-li, "dia cuma terkena obat bius orang. Eh, aneh, mengapa dia sampai kena dikerjai orang? Aha, kebetulan juga dapat kugeledah barangnya itu."

Ia tidak menaruh curiga lagi pada Siau-hi-ji, maka ucapannya itu setengah bergumam sendiri. Diam-diam Siau-hi-ji juga gelisah menyaksikan orang menggerayangi tubuh Thi Sim-lam, tapi tak dapat berbuat apa-apa.

Di luar dugaan, meski Siau-sian-li sudah merabai seluruh badan Thi Sim-lam, ternyata tidak ditemui sesuatu. Siau-hi-ji sangat heran, tak tersangka olehnya bahwa "barang" yang dimaksud itu memang tidak berada pada Thi Sim-lam. Jika begitu, tadi waktu ia mengancam akan menggeledahnya mengapa Thi Sim-lam menjadi khawatir dan kelabakan?

Tiba-tiba terdengar Siau-sian-li berkata, "Wah, celaka, jangan-jangan barang itu telah diambil lebih dahulu oleh orang yang membiusnya itu? Lantas siapakah gerangannya...?. Eh, setan cilik, ambilkan seember air, siram dia supaya mendusin, aku ingin menanyai dia."

"Baik, baik," jawab Siau-hi-ji cepat sambil nyengir. "Jangankan satu ember, sepuluh ember juga kusanggup."

Akan tetapi, ketika menimba air ia berlagak seperti tidak kuat mengangkatnya, akhirnya satu ember penuh dapat ditariknya ke atas dengan napas tersengal. Sambil menjinjing ember air itu dengan langkah terhuyung ia mengomel lagi, "Keparat, mengapa ember ini begini berat, aku...." Mendadak ia keserimpet dan jatuh terjerembab, ember pun mencelat dan airnya muncrat membasahi badan Siau-sian-li.

Keruan Siau-sian-li marah dan mendamprat, "He, kau babi goblok, kau... kau cari mampus?!"

Muka Siau-hi-ji pucat ketakutan, dengan setengah merangkak ia berdiri dan melepaskan baju, dengan gerakan ketolol-tololan ia berusaha mengusap air yang membasahi tubuh Siau-sian-li itu sambil berkata, "O, maaf, bib... bibi, aku tidak... tidak sengaja, sungguh!"

"Huh, tampangmu saja manusia, tapi ulahmu melebihi babi goblok," omel Siau-sian-li. "Jika kau tidak membersihkan air di tubuhku ini, mustahil tidak kusembelih kau."

Sambil mengomel Siau-sian-li terus mengentak kaki dan mengebas baju, sedangkan Siau-hi-ji dengan lagak kelabakan berusaha mengelap air yang membasahi si nona sambil berlutut. Semakin mengomel semakin naik darah Siau-sian-li, sungguh sekali tendang ia ingin enyahkan si "babi goblok" ini.

Tapi belum lagi kakinya terangkat, tiba-tiba "Im-leng-hiat" di bagian dengkulnya terasa kesemutan, seketika setengah badan terasa kaku tak bisa bergerak. Keruan ia terkejut dan membentak, "Setan cilik, kau...."

"O, maaf, aku tidak sengaja, maaf... maaf...." mulut Siau-hi-ji tidak hentinya minta maaf, tapi tangan tidak pernah menganggur, sekaligus ia tutuk Hiat-to di kaki orang, tentu saja Siau-sian-li mati kutu dan jatuh terkulai.

Biar pun masih muda belia, namun pengalaman Siau-sian-li cukup luas, tidak sedikit tokoh lihai yang pernah dihadapinya, di antaranya juga ada telur busuk yang terkenal. Tapi mimpi pun tidak menyangka si "setan cilik" atau "babi goblok" ini ternyata jauh lebih busuk daripada yang pernah dihadapinya, karena itulah dia menjadi lengah dan terjebak. Saking gemasnya sekujur tubuhnya sampai gemetar, tapi apa daya?

Begitulah Siau-hi-ji lantas berbangkit dengan tertawa, malahan ia sengaja melotot dan bertanya, "Ai, apakah kau jatuh sakit, masuk angin? Atau kumat penyakit ayanmu? Mengapa kau jatuh mendadak? Ai, sungguh tidak nyana kau begini lemah, baru keciprat sedikit air saja lantas jatuh sakit."

Saking gemasnya mata Siau-sian-li merah membara, teriaknya dengan tersendat-sendat, "Bagus... bagus, ternyata aku kena dikibuli kau."

"O, maaf," jawab Siau-hi-ji dengan tertawa. "Sungguh aku tidak sengaja, sebenarnya seember air ini hendak kuberikan minum pada kudamu, soalnya aku telah membakar pantatnya, hatiku merasa tidak enak. Cuma sayang mungkin kau telah mengirim kudamu itu untuk berobat, terpaksa kutitipkan air seember ini melalui kau."

"Kurang ajar...! jadi kau... kau setan cilik inilah yang membakar ekor si Delima?!" teriak Siau-sian-li dengan suara serak.

"Hehehe, api membakar Delima, air membenam bidadari, babi goblok seperti aku ini tidak terlalu goblok bukan?" kata Siau-hi-ji dengan tertawa. "Ingin kunasihatimu, janganlah kau selalu memandang orang lain teramat goblok dan juga jangan selalu ingin menarik keuntungan atas kerugian orang lain, misalnya suruh orang memanggil bibi padamu. Anak kecil jika sok berlagak orang tua dan suka menang-menangan akibatnya pasti akan ketiban sial sendiri."

Tanpa peduli Siau-sian-li yang murka itu, dengan tertawa Siau-hi-ji lantas mengangkat tubuh Thi Sim-lam dan ditaruh di atas punggung si kuda putih, agaknya terus hendak berangkat.

Sedapatnya Siau-sian-li menahan perasaannya walau pun dengan geregetan, ia cukup cerdik, ia tahu jika tidak mudah menerima penghinaan sekarang, nasibnya pasti akan lebih runyam lagi.

Tapi sebelum dia mengucap sesuatu, mendadak Siau-hi-ji mendekatinya pula dan berkata dengan tertawa, "Ada lagi tadi kau menampar aku tiga kali, utang harus bayar. Tapi mengingat kau adalah orang perempuan, aku tidak menambahi rentenya."

"Kau... berani?!" teriak Siau-sian-li khawatir.

"O, tidak, tidak berani!" ucap Siau-hi-ji sambil tertawa, berbareng tangannya terus menampar sehingga pipi Siau-sian-li menjadi merah.

Selama hidup Siau-sian-li mana pernah dipukul orang cara demikian, ia berteriak dengan suara parau, "Kau... awas kau, ingat perbuatanmu ini!"

"Jangan khawatir, apa pun selalu kuingat dengan baik," kata Siau-hi-ji dengan tertawa. "Tamparanmu yang pertama tadi cukup keras, maka aku pun tidak boleh bayar kurang, cuma pukulan kedua kalinya akan kuringankan sedikit."

Ketika Siau-hi-ji menampar lagi untuk kedua kalinya, meski Siau-sian-li bertahan sebisanya, tidak urung air matanya lantas menetes. Sejak ia dilahirkan hingga sekarang belum pernah orang mencubitnya, apa lagi memukulnya seperti sekarang.

Sambil mencucurkan air mata, ia melototi Siau-hi-ji, katanya, "Baik, selamanya aku takkan melupakan kau. Selamanya, ya, selamanya!"

"Kutahu kau selamanya takkan melupakan diriku, terhadap lelaki pertama yang memukulnya, perempuan itu memang tidak pernah melupakan. nya. Tapi dapat menjadi orang yang selalu kau pikirkan, betapa pun aku merasa bahagia," lalu Siau-hi-ji menyambung pula dengan tertawa, "Sekarang pukulan ketiga. Tadi tamparanmu yang ketiga kalinya sangat ringan, maka aku pun tidak tega membalas dengan terlalu keras. Bagaimana menurut pendapatmu?"

"Kau... kau mampus saja!" teriak Sian-sian-li dengan murka.

Mata Siau-hi-ji tampak berkedip-kedip, katanya kemudian, "Baiklah, begini saja dan anggap lunas, siapa pun tidak utang siapa-siapa lagi."

Sambil menatap wajah si nona, perlahan ia menundukkan kepalanya.

Jantung Siau-sian-li berdetak keras dan tubuhnya gemetar, serunya dengan terputus-putus, "Kau... kau mau apa?"

"Kau memukul aku dengan tangan, kubalas pukul kau dengan mulut, jadinya kan jauh lebih ringan daripada memukul dengan tangan?" ucap Siau-hi-ji.

"Kau... berani? Kau... bangsat kau...." Siau-sian-li berteriak khawatir.

Akan tetapi muka Siau-hi-ji sudah dekat, malahan anak muda itu terus mengangkat dagu Siau-sian-li hingga mulut berhadapan dengan mulut, lalu dengan perlahan diciumnya mulut yang mungil itu.

Mendadak Siau-sian-li tidak berteriak, tapi terkesima seperti patung.

Sebaliknya Siau-hi-ji lantas berkata dengan gegetun, "Ai, paling usiamu juga cuma 15-16 tahun, mana bisa kau menjadi bibiku, jadi biniku saja kukira mendingan. Mulutmu yang manis ini biar pun kucium 10 kali sehari juga takkan membosankan."

Mata Siau-sian-li mendelik, katanya dengan sekata demi sekata, "Jika kau berani mengusik diriku lagi sekali, kupasti akan membunuhmu, pasti!"

"Jangan khawatir, aku takkan mengusik kau lagi," jawab Siau-hi-ji dengan begelak tertawa. "Perempuan galak macam dirimu ini, diberikan gratis padaku juga aku tidak mau. Kukira lelaki mana kelak yang mengambil macan betina seperti dirimu ini sebagai istri, pasti dia bakal sial dangkalan selama hidup."

Mendadak Siau-sian-li berteriak dengan suara serak, "Kau bunuh saja aku! Paling baik kau bunuh aku sekarang, kalau tidak, kelak kau yang akan mati di tanganku. Aku akan membuat kau mati dengan perlahan, mati dengan sedikit demi sedikit."

Siau-hi-ji tidak menanggapi lagi, ia terbahak-bahak, lalu melangkah ke sana dan menuntun kudanya.

"Mengapa kau tidak membunuh aku? Mengapa?" teriak Siau-sian-li pula. "Sekarang kau tidak membunuh aku, pada suatu hari kelak kau pasti akan menyesal. Aku bersumpah, kau pasti akan menyesal kelak."

Akan tetapi Siau-hi-ji tidak mempedulikannya lagi, ia terus melangkah pergi tanpa memandangnya pula.

Menyaksikan kepergian Siau-hi-ji itu, akhirnya Siau-sian-li tidak dapat menahan perasaannya lagi, ia menangis tergerung.

Dari kejauhan terdengar suara Siau-hi-ji sedang bersenandung, "Siau-sian-li, sedang sedih, air mata menetes, ingus meleleh, melihat itu, Siau-hi-ji berkeplok gembira...."

Begitulah sembari berjalan Siau-hi-ji terus bernyanyi secara bebas. Tiba-tiba ia merasa suara sendiri lumayan juga, sedikitnya jauh lebih merdu daripada suara tangisan Siau-sian-li.

Sampai suara tangisan Siau-sian-li sudah tak terdengar lagi, nyanyian tak bersemangat pula, ia meraba-raba pipi sendiri dan menghela napas, lalu meraba mulut, tak tahan lagi ia tertawa.

Macan betina tadi sungguh galak, tamparannya sungguh tidak ringan, sampai sekarang pipinya masih terasa sakit pedas, Tapi mulutnya juga manis, rasa manis ciumannya itu seakan masih terasa pada bibirnya.

Sekonyong-konyong ia bergelak tertawa terus berlari ke depan, lari punya lari, si kuda putih mulai megap-megap lagi. Mendadak Siau-hi-ji berhenti, lalu menjatuhkan diri di bawah udara terbuka, di tengah padang rumput terbuka, di tengah padang rumput yang luas, ia memang sudah teramat lelah, tanpa terasa akhirnya ia terpulas.

Ia bermimpi Siau-sian-li berbaring dalam pelukannya dan berkata padanya, "Setiap hari kau hanya boleh mencium aku 100 kali, tidak boleh lebih dan tidak boleh kurang."

Selagi ia hendak mulai mencium, mendadak Saiu-sian-li melompat bangun dan menamparnya.... Ah, tidak, memang benar ada orang sedang menampar pipinya. Jangan-jangan Siau-sian-li telah menyusul tiba pula?!

Serentak ia terjaga bangun, tapi yang tertampak adalah Thi Sim-lam, yang memukulnya juga Thi Sim-lam. Rupanya air ember yang tumpah tadi ada sebagian muncrat ke muka si nona sehingga dia dapat siuman lebih dulu.

Di bawah cahaya bintang yang remang wajah Thi Sim-lam kelihatan pucat dan penuh rasa gusar, matanya yang jeli itu sedang melototi Siau-hi-ji.

"Setan cilik, ada kalanya kau tertidur juga dan suatu saat kau pun jatuh dalam cengkeramanku," demikian ucap Thi Sim-lam dengan menggereget.

Siau-hi-ji ingin melompat bangun, tapi celaka, ternyata tak bisa bergerak sama sekali, rupanya Hiat-to penting telah kena ditutuk orang. Tapi ia pun tidak kaget dan tidak gusar, juga tidak cemas, ia malah tertawa dan berkata, "He, aku sedang mimpi, kau telah mengganggu dan membuat kuterjaga bangun, kau harus memberi ganti rugi. Tadi aku diharuskan mencium orang seratus kali, maka kau harus pula kucium seratus kali."

Mendadak tubuh Thi Sim-lam tergetar, jeritnya, "Tadi kau telah berbuat apa atas diriku?"

"Haha, tidak berbuat apa-apa," jawab Siau-hi-ji dengan tertawa. "Aku cuma menggeledahi tubuhmu dari kaki sampai kepala, secara teliti kugeledah dengan merata, satu tempat pun tidak kelewatan."

Tubuh Sim-lam tambah gemetar, mukanya juga merah padam, tapi dia berdiri mematung tanpa bersuara lagi.

Siau-hi-ji mengedip, katanya dengan gegetun, "Ai, mengapa tidak sejak mula kau beritahu padaku bahwa kau ini perempuan? Jika tahu kan tidak sampai kugeledahi tubuhmu. Tapi, ai, kini urusan sudah kadung demikian. Kau harus maklum, biar pun usiaku masih kecil, betapa pun aku ini kan lelaki, mana aku tahan me... melihat...."

"Tutup mulutmu! Segera kubunuh kau jika berani bicara lagi!" teriak Thi Sim-lam.

"Apa pun juga kan sudah kulakukan, bicara dan tidak apa bedanya?" sahut Siau-hi-ji dengan tertawa.

Sampai berkeriut gigi Thi Sim-lam saking geregetan, air mata pun berlinang-linang.

"Hah, tampaknya tiada jalan lain kecuali kau jadi biniku saja," ujar Siau-hi-ji pula dengan muka membadut. "Terpaksa aku, pun mengambil istri yang lebih tua daripadaku. Ai, kalau aku berumur 30-an, rasanya kau pun sudah hampir menjadi nenek-nenek."

Mendadak Thi Sim-lam mencabut belatinya, ancamnya dengan suara terputus-putus, "Kau... kau hendak meninggalkan pesan apa lagi, lekas katakan!"

Mata Siau-hi-ji terbelalak lebar, serunya, "He, kau hendak membunuh aku? Seum... seumpama kau ingin kawin dengan orang lain kan bukan soal bagiku, kujamin pasti kusetujui dan mengapa kau mesti membunuhku?"

"Jika tiada pesan apa-apa lagi, segera kubunuh kau!" ucap Thi Sim-lam dengan menggereget, tiba-tiba ia berpaling ke arah lain dan menambahkan, dengan suara haru, "Tapi kau pun jangan... jangan khawatir, aku pasti tidak akan kawin lagi dengan orang lain."
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar