Pendekar Binal Jilid 04

Pendekar Binal
Gu Long (Khu Lung)
-------------------------------
----------------------------
Setelah meninggalkan kedai arak tadi dengan diikuti si pemuda muka pucat, lelaki rudin tadi terus menyusuri jalan batu satu-satunya itu. Setiba di ujung jalan sana, si pemuda cepat menyusulnya dan menyapa dengan suara tertahan, “Yan-toaya, bukan?”

Lelaki itu memang betul Yan Lam-thian adanya. Tanpa menoleh ia menjawab, “Apakah kau ini suruhan Kang-jite?”

“Benar,” jawab pemuda pucat itu, “hamba Kang Khim, kacung pribadi Kang-jiya.”

“Mengapa baru sekarang kau tiba di sini?” mendadak Yan Lam-thian menoleh dan menegur dengan bengis. Sorot matanya yang tajam bagai berkelebatnya kilat di malam gelap itu membuat pemuda yang bernama Kang Khim itu bergidik.

“Hamba... hamba khawatir dikuntit musuh, terpaksa... terpaksa menempuh perjalanan waktu malam,” tutur Kang Khim dengan munduk-munduk. “Apa lagi... apa lagi kepandaian hamba teramat rendah sehingga tidak mampu berjalan cepat.”

Sikap Yan Lam-thian berubah rada tenang, sorot matanya berubah guram pula, katanya, “Kongcu kalian mengirim berita padaku dan minta kutunggu dia di sini tanpa menjelaskan sebab musababnya. Tapi kuyakin pasti menyangkut satu urusan mahapenting dan gawat, sebenarnya apa persoalannya?”

“Entah sebab apa mendadak Kongcu memulangkan semua kawan hamba, hanya hamba seorang yang disuruh tinggal, kemudian hamba diperintahkan ke sini menemui Yan-toaya untuk memohon Yan-toaya memapak Kongcu kami di jalan lama itu, konon ada urusan penting akan dibicarakan berhadapan nanti. Melihat gelagatnya, agaknya Kongcu kami ingin... ingin menghindari pencarian musuh dan sebagainya.”

“O, masakah benar begitu?” Yan Lam-thian tampak tergerak perasaannya. “Mengapa tidak dia katakan padaku sebelumnya? Ai, tindak-tanduk Kang-jite selalu ceroboh, padahal biar pun musuh tangguh bagaimana pun juga masakah kami bersaudara perlu takut padanya?!”

“Ucapan Yan-toaya memang tepat,” ujar Kang Khim.

“Sudah berapa lama Kongcu kalian berangkat dari rumah?” tanya Yan Lam-thian.

“Jika tiada halangan apa-apa, saat ini seyogianya sudah berada di tengah perjalanan kemari.”

“Ai, mengapa tidak lebih dini kau datang ke sini” ujar Yan Lam-thian dengan membanting kaki. “Apa bila terjadi....”

Pada saat itulah tiba-tiba ada seorang berseru, “Yan-tayhiap... Yan-tayhiap....” tertampaklah beberapa orang berlari datang, seorang paling depan tampak gesit dan tangkas, itulah dia Sim-congpiauthau yang kecil-kecil cabai rawit itu.

Yan Lam-thian berkerut kening, katanya dengan tak acuh, “Apakah kau ini Sim Gin-hong Congpiauthau (pemimpin umum) dari Wi-wan, Tin-wan dan Leng-wan-piaukiok?”

“Benar, itulah hamba adanya,” jawab Sim Gin-hong sambil memberi hormat. “Maaf, Yan-tayhiap, tadi para kawan kami ternyata buta semua dan tidak mengenali Yan-tayhiap....”

“Hahaha!” Yan Lam-thian tertawa, “Tadi kudengar mereka bicara tentang penyair Li Thay-pek dan ilmu pedang segala, aku menjadi geli dan dongkol pula. Karena itu aku sengaja mengakali beberapa peser duit mereka agar mereka kapok dan kelak tidak sembarangan membual.”

“Ya, ya, mereka itu memang pantas mampus,” berulang-ulang Sim Gin-hong mengiakan.

Mendadak Yan Lam-thian berhenti tertawa dan bertanya dengan sikap kereng, “Apakah kedatanganmu ingin menemui aku?”

“Benar, kedatangan Wanpwe (hamba yang lebih muda) khusus ingin menemui Yan-tayhiap,” jawab Sim Gin-hong.

“Dari mana kau tahu aku berada di sini?” tanya Yan Lam-thian bengis.

“Sebenarnya Wanpwe sedang menghadapi jalan buntu, syukur mendapat petunjuk seorang Locianpwe (tokoh angkatan tua), katanya dalam dua hari ini Yan-tayhiap pasti akan menunggu seseorang di sini, makanya Wanpwe cepat menyusul ke sini.”

“O, rupanya gara-gara si setan pemabukan itu,” ujar Yan Lam-thian dengan tersenyum. Waktu ia berpaling, ia menjadi geli ketika dilihatnya Lui-lotoa berdiri di sana dengan lesu sambil menjinjing sepotong pedang kutung karatan tadi, dengan tertawa ia lantas menegurnya, “Kukira kau pasti penasaran atas kejadian tadi, bukan?”

“Sesungguhnya Wanpwe... pedang itu kubeli....”

Belum habis Lui-lotoa menyatakan rasa penyesalannya, segera Sim Gin-hong membentaknya, “Lebih baik tutup mulutmu dan jangan bikin malu. Masakah kau tidak tahu bahwa tanpa memegang pedang juga Yan-tayhiap lebih lihai daripada menggunakan pedang karatan itu. Biar pun besi tua atau benda apa pun, asalkan dipegang Yan-tayhiap pasti juga berubah menjadi senjata yang ampuh dan mahatajam.”

“Haha, sedemikian tinggi kau mengumpak diriku, tentu kau ingin minta tolong sesuatu padaku,” ucap Yan Lam-thian dengan tertawa.

“Harap Yan-tayhiap maklum,” jawab Sim Gin-hong dengan hormat, “apa pun juga Yan-tayhiap pasti tahu. Soalnya Wanpwe baru menerima tawaran suatu partai barang yang sukar dinilai harganya, sebenarnya transaksi ini sangat dirahasiakan dan akan kami kawal secara diam-diam. Tapi entah mengapa, tahu-tahu berita ini dapat didengar oleh kawanan Cap-ji-she-shio. Secara blak-blakan mereka mengirim kartu nama dan menyatakan akan merampas barang kawalan kami itu. Tentu saja kami menjadi khawatir, sebab kami cukup tahu diri dan merasa bukan tandingan kawanan bandit Cap-ji-she-shio itu dan dengan sendirinya pula kami tidak berani melanjutkan pengawalan tersebut....”

“Jadi maksudmu hendak minta kubantu Piaukiok (perusahaan pengawalan) kalian, begitu?” tanya Yan Lam-thian.

“Ah, mana kuberani,” jawab Sin Gin-hong takut-takut “Hanya saja Wanpwe mendapat tahu bahwa Yan-tayhiap bakal berada di sini, maka sengaja kujanji bertemu dengan kawanan Cap-ji-she-shio di sekitar sini, asalkan Locianpwe sudi tampil sejenak dan memberi pesan beberapa patah kata, maka Wanpwe yakin biar pun Cap-ji-she-shio mempunyai nyali sebesar gajah juga takkan berani mengusik barang kawalan kami itu.”

“Jika kau tidak mampu mengawal barang orang, mengapa kau terima saja tawaran orang?” tanya Yan Lam-thian.

“Ya, Wanpwe memang pantas mampus,” jawab Sim Gin-hong dengan menunduk, “mohon Yan-tayhiap suka....”

“Kawanan Cap-ji-she-shio sudah lama terkenal jahat, jika jejak mereka tidak tersembunyi tentu sudah lama kutumpas mereka, sebenarnya urusan ini aku tidak ingin ikut campur....“

“Terima kasih lebih dulu,” tukas Sim Gin-hong.

“Jangan terburu berterima kasih dulu,” ujar Yan Lam-thian. “walau pun aku ingin membantumu, namun saat ini aku sendiri ada urusan penting yang perlu kuselesaikan dan waktu sudah mendesak.” Habis berkata segera ia hendak melangkah pergi.

“Mohon Yan-tayhiap tunggu sejenak,” cepat Sim Gin-hong berseru sambil memberi tanda, segera Ci-loji mengaturkan sebuah peti, ketika peti itu dibuka, isinya ternyata emas murni yang berkemilauan. Dengan hormat Sim Gin-hong lantas menambahkan pula, “Sudah lama Yan-tayhiap terkenal bertangan terbuka, sebab itu kami mengaturkan....”

“Hahahaha!” Yan Lam-thian terbahak-bahak. Mendadak ia berkata dengan ketus, “Sim Gin-hong, biar pun sekarang kau menumpuk emas murni setinggi gunung di depanku juga takkan menghalangi waktu pertemuanku dengan Kang-jiteku.” Habis ini ia menepuk bahu Kang Khim dan membentak, “Nah, aku berangkat lebih dulu, kau harus segera menyusul ke sana.”

Lenyap suara ucapannya itu, tahu-tahu orangnya juga sudah melayang jauh ke sana. Seketika wajah Sim Gin-hong menjadi pucat karena usahanya gagal.

Ci-loji mengomel sendirian, “Orang ini sungguh aneh, beberapa tahil perak dia sengaja menipu, tapi ketika disodorkan emas murni satu peti penuh dia justru menolak.....

********************

Cuaca remang-remang. Di tengah cuaca senja sunyi itu, berkelebatnya bayangan Yan Lam-thian, hampir sukar diikuti oleh pandangan orang awam.

Di jalanan lama yang penuh semak rumput belaka itu sunyi senyap, bulan sabit sudah menongol di ufuk timur, cahaya remang-remang ini semakin menambah suramnya suasana yang lelap ini.

Bayangan Yan Lam-thian masih terus meluncur ke depan dan tiada sesuatu yang dilihatnya, ia bergumam sendiri, “Aneh, Kang-jite sudah dalam perjalanan, mengapa tak terdengar....”

Pada saat itulah mendadak dua titik hitam berkelebat melayang ke sana, remang-remang kelihatan seekor burung walet sedang dikejar seekor alap-alap. Tampaknya burung walet itu sudah kepayahan, terbangnya rendah dan jelas sukar lolos dari cengkeraman alap-alap itu.

Yan Lam-thian merasa penasaran, bentaknya, “Kurang ajar, kau pun tiada ubahnya seperti manusia jahat yang suka menindas yang kecil....” serentak tubuhnya terus meleset ke depan laksana anak panah cepatnya dan menyampuk alap-alap ganas itu. Tapi sekali berkelebat, tahu-tahu Yan Lam-thian menubruk tempat kosong, sebaliknya lantas terdengar suara mencuit si burung walet, nyata walet itu telah tercengkeram oleh cakar alap-alap.

“Kurang ajar! Masakah kau mampu lolos dari tanganku lagi!” bentak Yan Lam-thian dengan gusar sambil menubruk maju pula, sekali hantam dari jauh, kontan burung alap-alap yang sudah mulai melayang ke udara itu terjungkal ke bawah oleh angin pukulan yang dahsyat.

Sekali meraup Yan Lam-thian tangkap tubuh alap-alap yang terjungkal ke bawah itu, ia berhasil menyelamatkan burung walet yang kecil itu dari cengkeraman elang alap-alap. Namun walet itu kecil lagi lemah dan sudah terluka parah sehingga tidak sanggup terbang lagi.

“Walet sayang, kau takkan mati, jangan khawatir,” gumam Yan Lam-thian sambil duduk di tanah rumput, ia memberi obat luka pada burung walet itu. Obat luka dari pendekar besar itu sudah tentu sangat mujarab. Dengan perlahan Yan Lam-thian mengelus-elus walet itu, sejenak kemudian barulah ia lepaskan burung itu dan terbanglah pergi dengan bebas. Sementara itu burung alap-alap tadi sudah diremas mati oleh Yan Lam-thian.

“Hahaha!” Yan Lam-thian tertawa puas. “Beribu tahil emas murni tak dapat menunda waktuku, tapi untuk menolong jiwa seekor walet kecil ternyata dapat menahan perjalananku.”

Setelah tertawa puas, kembali ia melayang ke depan dengan Ginkangnya yang tinggi.

Tidak lama kemudian, sekonyong-konyong terdengar berkumandangnya suara tangisan bayi dari kejauhan.

“He, jangan-jangan Kang-jite sudah mempunyai anak?” gumam Yan Lam-thian dengan girang. Dia melesat terlebih kencang menuju ke arah suara tangisan bayi itu.

Maka tidak lama kemudian dapatlah dia melihat keadaan yang mengerikan, mayat yang bergelimpangan serta jenazah Kang Hong yang berlumuran darah.

Yan Lam-thian menjerit terus menubruk ke sana, ia mendekap mayat Kang Hong dengan perasaan remuk redam…..

********************

Seperginya Yan Lam-thian tadi disusul oleh berangkatnya Kang Khim, Sim Gin-hong ternyata, masih berdiri mematung di tempatnya.

Dengan rasa khawatir Ci-loji coba bertanya kepada pemimpinnya itu, “Menurut kartu kawanan Cap-ji-she-shio, bilakah mereka akan menemui Congpiauthau?”

“Senja hari ini,” jawab Sim Gin-hong.

“Jadi petang nanti?” Ci-loji menegas dengan gentar. “Di... di mana?”

“Di jalan depan sana!”

“Berapa... berapa orang di antara mereka yang akan datang?”

“Yang menandatangani kartu mereka adalah Hek-bian, Su-sin, Hian-ko dan Ging-khek.”

“Jadi... jadi si ayam, babi, kera dan anjing akan tampil sekaligus?”

“Wah, Congpiauthau, kukira... kukira lebih baik kita pergi saja, kita hanya beberapa orang ini, mungkin... mungkin....”

“Hm, jika perlu kalian boleh saja pergi,” dengus Sim Gin-hong.

“Tapi engkau, Congpiauthau....”

“Pemilik barang telah mempercayakan harta bendanya padaku, mana boleh aku mengelakkan kewajiban, kalian....” Sim Gin-hong tidak melanjutkan, tanpa menoleh ia terus melangkah ke depan sana.

“Congpiauthau....” seru Ci-loji sambil memburu, tapi baru dua tiga langkah sudah lantas berhenti.

“Bagaimana? Kau tidak ikut?” tanya Lui-lotoa.

“Lui-lotoa,” jawab Ci-loji dengan suara tertahan. “Biarkan dia berjuang sendiri sesuai tugasnya, buat apa kita ikut mengantarkan nyawa?”

Lui-lotoa menjadi gusar, dampratnya, “Keparat, binatang kau... dasar pengecut, tidak nanti aku Lui Siau-hou juga penakut seperti dirimu!”

“Baik, baik aku memang pengecut, silakan engkau menjadi pahlawan,” ujar Ci-loji sambil menyeringai.

“Keparat, baru sekarang kukenal benar-benar kalian....” damprat Lui-lotoa atau Lui Siau-hou, sambil memaki ia pun menyusul ke arah sang Congpiauthau, Sim Gin-hong.

Sim Gin-hong sedang melangkah ke depan dengan perlahan, menuju ke ladang belukar yang sunyi di tengah remang maghrib. Langkahnya yang gesit enteng kini berubah menjadi berat seakan-akan kakinya diganduli benda beratus-ratus kati.

Ketika mendengar suara tindakan orang dari belakang, tanpa menoleh ia lantas bertanya, “Apakah ini Lui Siau-hou?”

“Benar, Congpiauthau,” jawab Lui-lotoa.

“Memang sudah kuduga hanya kau seorang saja yang akan menyusul kemari.”

“Dengan ucapan Congpiauthau ini, biar pun mati aku pun rela. Meski Lui-Siau-hou adalah orang bodoh, tapi sekali-kali bukan manusia pengecut dan binatang yang tidak tahu budi. Cuma Congpiauthau engkau... engkau sekali ini....”

“Apakah kau heran karena aku tidak mengajak sahabat-sahabatku yang lain?”

“Ya, begitulah,” jawab Lui-lotoa.

“Kawanan Cap-ji-she-shio itu masing-masing memiliki ilmu saktinya sendiri-sendiri, jarang di antara kawan-kawan Kangouw kita yang mampu mengalahkan mereka. Jika kuajak teman, sudah tentu mereka akan hadir mengingat jiwa setia kawan mereka, tapi apakah aku tega membuat susah kawan sendiri dan mengorbankan jiwa mereka secara sia-sia.”

“Congpiauthau tetap Congpiauthau, jiwamu yang luhur sungguh membuatku tunduk benar-benar,” ujar Lui-lotoa, “Sekali pun aku Lui Siau-hou memiliki kepandaian setinggi Congpiauthau juga tidak mungkin mampu menjabat pemimpin umum dari gabungan tiga buah Piaukiok besar, aku....” belum habis ucapannya, tiba-tiba terdengar suara anjing menggonggong.

Ada anjing menggonggong atau lebih tepat mengaum bulan di waktu malam di tengah ladang belukar sebenarnya bukan sesuatu yang aneh, yang aneh adalah suara auman anjing ini lain daripada yang lain, suara gonggongan anjing ini mengandung rasa yang aneh dan menyeramkan.

Seketika air muka Lui-lotoa berubah, katanya tergegap, “Jangan-jangan... jangan-jangan....”

Belum habis ucapannya, serentak suara anjing menggonggong berjangkit di kota kecil tadi, sahut menyahut akibat auman anjing pertama tadi. Betapa pun besar nyali Lui-lotoa tidak urung juga rada gemetar, tapi ketika dilihatnya sikap sang Congpiauthau tidak gentar sedikit pun, mau tak mau ia pun menjadi tabah, katanya dengan menyeringai, “Tampaknya kawanan Cap-ji-she-shio ini memang rada-rada aneh....”

“Gerombolan Cap-ji-she-shio itu memang suka berbuat aneh-aneh dan menggoda untuk membikin jeri lawannya,” kata Sim Gin-hong. “Kalau kita juga kena digertak berarti kita sudah patah semangat lebih dulu.”

“Tidak, aku tidak takut, Congpiauthau,” seru Lui Siau-hou sambil membusungkan dada. “Pengecutlah orang yang takut, anak kura-kura kalau takut.”

Meski di mulut menyatakan tidak takut, namun sesungguhnya hatinya kebat-kebit, suaranya juga rada keder. Di malam sunyi, di tengah ladang belukar auman anjing yang mirip orang menangis dan seperti serigala menyalak memang menggetar sukma.

Segera Sim Gin-hong mengangkat tangan memberi hormat dan berseru lantang, “Silakan Cap-ji-she-shio perlihatkan diri. Sim Gin-hong sudah datang berkunjung!”

Biar pun tubuhnya kurus kecil, tapi suaranya lantang keras menembus suara gonggongan anjing yang sahut menyahut dengan riuhnya itu.

Di tengah cuaca remang-remang sekonyong-konyong meloncat keluar segulung bayangan hitam yang menyerupai seorang penunggang kuda. Waktu Sim Gin-hong mengamati lebih teliti, kiranya seekor kera besar berbulu kuning menunggang seekor anjing dengan siungnya yang menyeringai seram.

Anjing itu sangat besar, yaitu anjing serigala atau anjing herder (gembala) menurut istilah sekarang. Kera berbulu kuning emas itu pun aneh, matanya merah memancarkan sinar yang menyeramkan. Anjing dan kera itu seakan-akan bukan makhluk di dunia ini, tapi seperti siluman yang datang dari akhirat.

Dengan tegak tak gentar Sim Gin-hong mengikuti datangnya si kera menunggang anjing itu. Sesudah dekat, mendadak kera itu bersuara mencuit sambil menyodorkan sebuah Tho.

Sim Gin-hong menjengek, “Sungguh bagus anjing sakti menyambut tamu dan kera ajaib menyuguh buah. Tapi yang ingin kutemui adalah manusianya dari Cap-ji-she-shio dan bukan kawanan binatang ini.”

Kera bulu emas itu seperti paham ucapan manusia, “ciit”, sambil bersuara mendadak ia berjumpalitan di atas punggung anjing tunggangannya itu, tiba-tiba tangannya sudah membentang sehelai kain putih dengan tulisan, “Jika kau berani makan ini, tentu ada orang yang akan menemuimu”

“Hm, kalau Cap-ji-she-shio hanya kawanan tikus yang cuma pintar menakut-nakuti orang, tentu orang she Sim takkan datang ke sini,” jengek Sim Gin-hong pula, “Apa pun juga Sim Gin-hong percaya penuh pada kalian, biar pun racun juga akan kumakan.”

Baru saja ia hendak menerima buah Tho yang disodorkan si kera tadi, tak terduga mendadak Lui Siau-hou menyerobot maju, buah Tho itu disambernya terus dilalap habis ke dalam perut, katanya, “Makan Tho gratis, kalau tidak mau kan bodoh!”

Serentak terdengarlah seorang tertawa seram dan menanggapi, “Bagus! Pantas Sam-wanpiaukiok dapat berjalan lancar di utara dan selatan Sungai (Yangce), buktinya di dalam perusahaannya memang tidak sedikit laki-laki berani mati....” berbareng beberapa bayangan orang lantas muncul.

Kalau perawakan Sim Gin-hong sudah terhitung kurus kecil, maka kini orang yang muncul paling depan ternyata jauh lebih kurus kecil daripada Congpiauthau gabungan tiga perusahaan pengawalan itu. Jubah yang dipakai orang kerdil ini berwarna emas mengkilat, mukanya tirus, yakni tulang pipi menonjol dan janggutnya runcing, tapi kedua matanya merah membara, mulutnya lebar, waktu tertawa ujung mulutnya hampir melebar sampai di pangkal telinga. Kalau tiga bagian masih mirip manusia, maka orang ini tujuh bagian lebih menyerupai monyet.

Enam-tujuh pengikutnya lagi berseragam hitam pula, hanya kelihatan mata mereka yang berkedip mirip mata setan.

“Yang datang ini apakah....”

Belum sempat Sim Gin-hong menegur, si kerdil berjubah emas itu sudah memotong, “Dari bentuk kami, sekali pandang saja tentu kau tahu melambangkan apa kami ini, jadi tidak perlu kujelaskan lagi bukan?”

“Ya, cuma Cayhe (aku yang rendah) heran mengapa di antara kalian tiada terdapat Hek-bian-kun dan Su-sin-khek?” ujar Sim Gin-hong.

“O, kedua kawan kami itu sedang melakukan jual-beli yang lain, memangnya kau anggap tidak cukup kehadiran kami ini?”

“Soalnya orang she Sim sudah sengaja datang dan tidak berpikir untuk pulang dengan hidup, maka kuharap bisa melihat wajah asli dari keduabelas lambang binatang yang termasyhur ini. Kalau sekarang jumlah yang hadir ternyata kurang lengkap, betapa pun aku rada menyesal.”

“Hehe, kutahu nyalimu tidak kecil, tak tahunya mulutmu juga cukup tajam,” ujar si kera dengan menyeringai. “Yang harus disayangkan adalah kedudukanmu sebagai Congpiauthau yang kau capai dengan susah payah ini, jika kau harus mati begitu saja apakah kau tidak penasaran?”

“Kedatanganku ini bukan untuk mengadu lidah denganmu,” bentak Sim Gin-hong ketus.

“Memangnya kau ingin berkelahi?” tanya Kim-goan-sing, si kera emas.

“Benar,” jawab Sim Gin-hong. “Kalau orang she Sim ini menang, kuharap kalian membatalkan niat mengincar barang kawalanku....”

“Kalau kalah?” sela Kim-goan-sing. “Akan kau serahkan barang kawalanmu?”

“Hahaha!” Sim Gin-hong tertawa.“Partai barang yang kalian incar itu sudah diantar ke tempat tujuan oleh wakilku Song Tek-yang, kedatanganku ini hanya sekadar memenuhi janji saja.”

“O, begitukah?” Kim-goan-sing menegas. Tiba-tiba ia memanggil Hek-kau-sing, si anjing hitam, yang segera menyerahkan sebuah kotak kecil. Waktu kotak itu dibuka, dengan suara dingin Kim-goan-sing berkata, “Silakan Sim-congpiauthau memeriksa apa isi peti ini!”

Waktu Sim Gin-hong melongok sekejap ke dalam peti yang disodorkan itu, seketika ia kaget, mukanya menjadi pucat. Ternyata isi peti itu adalah kepala Song Tek-yang yang disebut sebagai wakilnya tadi.

“Kalian... kalian telah....” Sim Gin-hong tidak sanggup lagi menyambung ucapannya.

“Hehehe!” Kim-goan-sing terkekek-kekek. “Jika Cap-ji-she-shio mudah ditipu orang, tentu orang Kangouw juga takkan kepala pusing bila terbentur kami. Bicara terus terang, harta benda kawalan kalian itu sudah jatuh di tangan kami. Kedatangan kami ini hanya ingin mencabut nyawamu!” Habis ini ia memberi tanda kepada begundalnya dan berseru, “Maju semua!”

Sekali ia bersuit, mendadak kera bulu emas itu melompat ke udara terus menubruk ke arah Sim Gin-hong, jarinya secepat kilat mencolok kedua mata musuh. Sedangkan anjing gembala yang besar tadi terus mengaum dan menubruk Lui Siau-hou.

Tidak kepalang kaget Lui Siau-hou, cepat ia mengelak. Tak terduga gerakan anjing besar itu sangat gesit, sekali tubruk luput, segera memutar balik dan menerjang lagi. Sekali ini Lui Siau-hou tidak mampu menghindar, ia tertubruk jatuh, dilihatnya sebaris gigi putih tajam menerkam ke tenggorokannya.

Dengan mati-matian Lui Siau-hou menahan dagu anjing, terjadilah pergulatan maut antara manusia dan anjing itu, anjingnya mengaum buas, Lui Siau-hou juga mengerang murka seperti binatang.

Di sebelah lain Sim Gin-hong juga sudah balas menyerang beberapa kali, tapi si kera bulu emas ternyata sangat gesit, jarinya senantiasa mengincar kedua biji mata lawannya.

“Hehehe! Tak kusangka para jago kawal Sam wan-piaukiok juga kewalahan menghadapi dua ekor binatang saja,” jengek Kin-goan-sing.

Belum lenyap suaranya, mendadak terlihat Sim Gin-hong meraba pinggangnya, seutas cambuk panjang terbuat dari untiran perak lantas menyabet, kontan kera bulu emas tadi dipaksa melompat mundur.

“Lari ke mana?!” bentak Sim Gin-hong. Berpuluh-puluh bintik perak seketika berhamburan, sebagian menuju kera bulu emas itu, tapi sebagian besar menyerang anjing gembala tadi untuk menolong Lui-lotoa.

Betapa pun cerdik dan gesitnya, kera tetap binatang, mana mampu menghindari sambitan senjata rahasia maut dari pimpinan besar gabungan tiga Piaukiok termasyhur itu. Kontan kera bulu emas itu menguik dan roboh binasa. Tapi pada saat lain Kim-goan-sing dan Hek-kau-sing, si binatang lambang kera dan lambang anjing hitam beserta anak buahnya juga lantas menubruk tiba. Dalam keadaan demikian biar pun Sim Gin-hong memiliki tiga kepala dan enam tangan juga sukar menahan serbuan tujuh-delapan musuh sekaligus.

Cepat Sim Gin-hong menjatuhkan diri sambil menggelinding ke samping, cambuknya berputar untuk membela diri, namun pihak musuh sudah di atas angin, mana dia mampu lolos lagi.

Di sebelah sana anjing raksasa tadi juga berhasil menggigit tenggorokan Lui Siau-hou yang berdekatan dengan pundak, tapi Lui Siau-hou tetap bertahan mati-matian, ia pun balas menggigit tenggorokan anjing herder yang ganas itu, seketika darah berceceran, satu orang dan seekor anjing sama bergelimang dalam genangan darah.

Pada saat yang gawat itulah tiba-tiba terdengar suara bentakan menggelegar seseorang, begitu keras suara itu laksana bunyi geledek di tengah hari cerah, seorang mendadak melayang tiba laksana malaikat yang turun dari langit.

Serasa rontok nyali semua orang oleh suara gertakan keras itu, seketika Kim-goan-sing dan Hek-kau-sing tertegun. Tertampaklah seorang laki-laki tinggi besar dengan rambut semrawut, sorot matanya tajam beringas dengan penuh rasa sedih dan murka cukup membuat orang merasa ngeri, apa lagi sikapnya yang kereng itu. Yang aneh adalah di punggung lelaki kekar itu ternyata menggendong seorang bayi.

Dengan berlumuran darah Sim Gin-hong berteriak kegirangan, “Yan-tayhiap datang!”

“Apakah Yan Lam-thian?!” tanya Kim-goan-sing jeri.

“Cap-ji-she-shio, saat kematian kalian sudah tiba kini!” bentak Yan Lam-thian.

“Selamanya Cap-ji-she-shio tiada permusuhan apa pun denganmu, mengapa engkau....” belum habis Kim-goan-sing bicara serentak Yan Lam-thian sudah menerjang tiba.

Salah seorang kawanan “anjing hitam”, yaitu yang berseragam hitam ketat tadi yang pertama diterjangnya, sebisanya anjing hitam memapak dengan hantaman kedua tangannya. “Blang-blang” dua kali, dengan tepat hantamannya mengenai dada Yan Lam-thian, tapi sedikit pun Yan Lam-thian bergeming, sebaliknya tulang pergelangan tangan orang itu patah mentah- mentah, belum lagi dia sempat menjerit atau dadanya sudah kena dicengkeram Yan Lam-thian.

Dalam keadaan kepepet sebisanya Hek-kau-sing itu berusaha melawan, sebelah kakinya hendak menendang. Tendangan ini sungguh lihai, sasarannya bagian selangkangan. Namun sekali gentak Yan Lam-thian membuat Hek-kau-sing kehilangan imbangan badan, menyusul kakinya yang terangkat itu terpegang pula terus dibetot. Kontan darah berhamburan, tubuh Hek-kau-sing itu terbeset menjadi dua.

Kawanan “anjing hitam” yang lain menjadi murka dan kaget, berbareng mereka menerjang maju dengan meraung kalap.

Sebenarnya ilmu silat beberapa orang itu masing-masing tidak tinggi, tapi enam orang mengerubut sekaligus menjadi repot juga untuk melayaninya. Namun Yan Lam-thian laksana harimau menerjang di tengah gerombolan domba saja, kedua potong mayat yang dibesetnya tadi digunakan sebagai senjata sehingga terjadilah hujan darah. “Krek, bluk”, kembali tiga orang seragam hitam dirobohkan pula.

Seorang lagi menjadi nekat dan menerjang mati-matian. Tapi sekali sabet, kembali Yan Lam-thian membuat lawannya tergeletak dengan tulang iga remuk seluruhnya. Seorang lain lagi menjadi ketakutan dan berusaha kabur. Namun di tengah gelak tertawanya Yan Lam-thian, setengah mayat yang dipegangnya itu terus disambitkan, “bluk”, dengan tepat punggung orang yang sedang kabur itu tertumbuk, orang itu masih sempat lari beberapa langkah lagi ke depan, habis itu setengah badan atas lantas roboh ke belakang dan kakinya masih melangkah ke depan, kiranya tulang punggung orang itu tertumbuk patah, akhirnya roboh binasa.

Sisa lagi seorang terakhir melihat Yan Lam-thian rada meleng, mendadak ia menubruk ke belakangnya, sasarannya adalah bayi yang digendong Yan Lam-thian, kalau bayi dapat direbut tentu dapat pula digunakan sebagai sandera.

Tak tersangka punggung Yan Lam-thian seperti bermata juga, mendadak ia membentak, “Berdiri!”

Seketika orang itu berdiri mematung karena gertakan itu, sedangkan sisa setengah potong mayat yang dipegang Yan Lam-thian lantas mengepruk kepalanya. Di tengah berhamburnya darah dan daging, orang itu sudah telanjur ketakutan sehingga lupa untuk menghindar, ia terpantek mentah-mentah di tempat berdirinya sehingga tubuhnya seakan-akan mengkeret separo.

Sim Gin-hong sampai merinding menyaksikan semua kejadian itu. Kim-goan-sing yang biasanya membunuh orang tak terhitung lagi banyaknya kini juga melenggong oleh kelihaian Yan Lam-thian.

“Apakah masih perlu kuturun tangan padamu?!” bentak Yan Lam-thian.

“Mengapa... mengapa engkau memusuhi ka....” Kim-goan-sing ingin penjelasan.

“Mengapa? Hm, apakah kalian tidak tahu hubungan persaudaraan antara diriku dengan Kang Hong?” bentak Yan Lam-thian dengan murka.

“O, jadi kawanku si babi dan....” Kim-goan-sing tergegap jeri

“Hm, kalau kawan-kawanmu itu sudah mampus, untuk apa kau hidup sendirian? Serahkan nyawamu!” baru habis ucapannya segera pula Yan Lam-thian menubruk maju dan jari tangannya yang keras laksana baja mencengkeram dada lawan.

Kim-goan-sing, si binatang kera emas itu ternyata tidak mengelak dan juga tidak melawan sama sekali. Ketika cengkeraman Yan Lam-thian diperkeras, seketika jari-jarinya menancap ke dalam daging Kim-goan-sing.

Tapi Kim-goan-sing masih tetap berdiri tanpa merintih sedikit pun.

“Hm, tak nyana tubuhmu meski kecil ternyata juga seorang laki-laki,” kata Yan Lam-thian. “Jika dalam keadaan biasa dapatlah kuampuni jiwamu, tapi sekarang... Hm, apa yang akan kau katakan lagi?”

Mendadak Kim-goan-sing menengadah dan tertawa seperti orang gila, lalu berkata, “Walau pun tubuhmu gede, tapi kau pun belum terhitung seorang lelaki sejati.”

Dalam keadaan demikian, andaikan Kim-goan-sing mencaci maki Yan Lam-thian dengan kata-kata kotor dan rendah apa pun juga dapat dimengerti, namun dia justru menista bahwa Yan Lam-thian bukan seorang lelaki sejati, betapa pun makian ini membuat pendekar besar itu melengak.

“Hm, selama hidupku ini, setiap tindakanku rasanya dapat kupertanggung-jawabkan kepada dunia dan akhirat, sudah tentu banyak juga orang yang mencaci maki diriku, tapi antara baik dan jahat memang tidak mungkin berdiri bersama, maka makian apa pun yang kau lontarkan padaku tidak menjadi soal bagiku. Namun apa yang kau katakan sekarang perlu juga diketahui apa dasarnya, coba jelaskan.”

“Kalau tidak dapat membedakan antara benar dan salah, tidak tahu memisahkan antara budi dan benci, apakah orang demikian dapat dianggap sebagai lelaki sejati?”

“Hm, memangnya aku....”

Belum sempat Yan Lam-thian melampiaskan suaranya yang murka itu, dengan suara keras Kim-goan-sing lantas memotongnya, “Jika engkau adalah manusia yang tahu membedakan antara yang benar dan salah, maka engkau tidak layak membunuh diriku?”

“Mengapa tidak layak membunuhmu?” tanya Yan Lam-thian penasaran.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar