Pendekar Binal Jilid 02

Pendekar Binal
Gu Long (Khu Lung)
-------------------------------
----------------------------
Perempuan muda itu menjerit dan merangkak ke arah sini, Kang Hong juga berusaha merangkak ke sana. Tiada sesuatu yang mereka harapkan lagi kecuali mati bersama menjadi satu.

Akhirnya tangan mereka saling bergenggam, keduanya tersenyum bahagia. Akan tetapi mendadak sebelah kaki Hek-bian-kun lantas menginjak dengan kuat sehingga dua buah tangan terinjak hancur.

“Kau... kau keji amat!” teriak perempuan itu dengan histeris.

“Hehehe, baru sekarang kau tahu kekejianku!” Hek-bian-kun menyeringai.

“Akan kuberikan se... segalanya padamu,” ucap Kang Hong dengan kalap, “yang kuharap hanya biarkanlah kami mati menjadi satu.”

“Huh, sudah terlambat baru sekarang kau berkata demikian,” ujar Hek-bian-kun dengan tertawa. “Hehe, kalian tentunya sangat gembira ketika tadi menipu dan menempelengku. Sekarang akan kusaksikan kalian mati dengan perlahan, tidak akan kubiarkan kalian mati menjadi satu.”

“Sebab... sebab apa?” si perempuan bertanya. “Kami tiada... tiada permusuhan apa pun dengan kalian.”

“Baiklah akan kukatakan padamu,” tutur Hek-biankun. “Soalnya aku sudah menyanggupi permintaan seseorang, dia minta aku bertindak jangan sampai membiarkan kalian mati bersama.”

“Siapa... siapakah dia?” tanya Kang Hong.

“Hehehe, boleh kau renungkan sendiri saja,” ujar Hek-bian-kun dengan tertawa.

Pada saat itulah si baju kuning, dan si dada ayam, mendadak melompat maju dengan wajah yang kaku tanpa emosi itu. “Babat rumput harus sampai akar-akarnya, anak haram mereka juga tidak boleh dibiarkan hidup.”

“Ya, benar!” tukas Hek-bian-kun.

Tanpa bicara lagi si baju kuning lantas angkat golok terus membacok jabang bayi yang tertinggal di dalam kereta.

Kang Hong meraung kalap, tapi istrinya hanya melenggong, bersuara pun tidak sanggup. Keduanya sama-sama tak bisa berkutik.

Syukurlah pada detik yang menentukan itu, sewaktu golok itu menyambar ke bawah, tiba-tiba terdengar suara “krek” sekali, tahu-tahu golok itu patah menjadi dua.

Tidak kepalang kaget si baju kuning, cepat ia melompat mundur dan membentak, “Sia... siapa?”

Padahal selain begundalnya serta kedua orang yang sedang sekarat di tanah itu tiada terlihat bayangan seorang pun. Tapi mengapa goloknya yang tergembleng dari baja murni itu bisa patah tanpa sebab?

“Apa-apaan ini?” tanya si jengger dengan penasaran.

“Sialan! Mungkin ada setan!” ujar si baju kuning. Cepat ia melompat maju, golok buntungnya segera membacok si bayi.

Tak terduga kembali terdengar “krek”, golok yang sudah buntung itu patah menjadi dua pula. Padahal disaksikan oleh beberapa pasang mata, namun tiada seorang pun mengetahui cara bagaimana golok itu dipatahkan.

Pucat air muka si baju kuning, katanya dengan suara gemetar, “Setan, benar-benar ada setan!”

Hek-bian-kun berpikir sejenak, tiba-tiba berkata, “Biar kucoba!”

Ia jemput golok yang ditinggalkan Kang Hong tadi kemudian mendekati kereta, dengan menyeringai terus membacok, bacokan yang keras dan lebih cepat.

Tetapi baru saja goloknya bergerak tahu-tahu pergelangan tangannya tergetar, meski pun goloknya tidak patah, tapi tergumpil dan jatuh.

“Memang benar ada serangan gelap orang!” ujar si jengger dengan waswas.

Kini Hek-biang-kun tidak sanggup tertawa lagi, katanya dengan keder, “Kita tidak dapat melihat senjata rahasianya, bentuknya tentu amat lembut, orang ini mampu mematahkan golok dengan sambitan senjata rahasia lembut... wah, betapa hebat gerak tangannya dan betapa lihai Lwekangnya.”

“Di dunia ini mana ada orang yang selihai ini?” ujar si baju kuning “Wah, jangan jangan... jangan-jangan dia....” tanpa terasa ia bergidik dan tidak sanggup melanjutkan.

Kang Hong yang sedang sekarat pun melongo kaget, gumamnya, “Ah, dia (perempuan) sudah datang... pasti dia yang datang....”

“Dia? Dia siapa?” tanya Hek-biang-kun. “Apakah... apakah Yan Lam-thian?”

“Yan Lam-thian?” tiba-tiba tukas suara seorang. “Hm, Yan Lam-thian terhitung kutu busuk macam apa?”

Nada suara itu demikian merdu, lincah dan kekanak-kanakan pula. Sungguh mengejutkan di tempat sunyi dan jauh dari penduduk ini mendadak terdengar suara demikian.

Tanpa menengadah juga Kang Hong dan istrinya tahu siapa yang datang itu. Seketika air muka mereka berubah pucat. Bahkan Hek-bian-kun dan begundalnya juga kaget sehingga mereka cepat menoleh. Ternyata di tengah remang-remang senja sunyi itu entah sejak kapan telah berdiri di situ sesosok bayangan tubuh wanita yang ramping. Padahal mereka tergolong jagoan kelas tinggi, namun sama sekali tidak mengetahui bilakah datangnya wanita itu.

Apa bila didengar dari suaranya, orang tentu menyangka pembicara ini adalah anak dara yang cantik lagi kekanak-kanakan. Namun yang berhadapan sekarang ternyata adalah seorang wanita yang sedikitnya berusia likuran, pakai baju bersulam model putri istana, gaun panjang menyentuh tanah, rambutnya terurai hingga bahu, senyumnya yang manis dengan kerling mata yang hidup itu penuh mengandung kecerdasan yang sukar dilukiskan dan juga sifat kekanak-kanakannya yang sepantasnya tidak dimiliki wanita seusia dia.

Siapa pun juga, asal memandang sekejap saja padanya akan segera memaklumi dia pasti seorang berwatak yang sangat ruwet sehingga jangan harap akan dapat menyelami jalan pikirannya. Tapi barang siapa yang telah memandangnya sekejap, tentu pula akan terpesona pada kecantikannya yang jarang ada bandingannya serta melahirkan rasa kasihan yang mengibakan.

Ternyata wanita yang mahacantik itu justru dilahirkan dalam keadaan cacat badaniah, cacat jasmani, lengan baju dan gaunnya yang panjang itu tidak dapat menyelubungi cacat pada tangan dan kaki kirinya itu.

Setelah tahu jelas siapa wanita ini, meski tetap mengunjuk rasa jeri dan hormat, tapi rasa kaget dan gelisah Hek-bian-kun tadi sudah banyak berkurang, segera ia memberi hormat dan menyapa, “Apakah Ji-kiongcu (putri kedua) dari Ih-hoa-kiong?”

“O, kau kenal aku?” jawab si cantik berpakaian istana itu.

“Siapa di dunia ini yang tidak kenal akan kebesaran nama Lian-sing Kiongcu,” ujar Hek-bian-kun dengan menyengir.

“Manis juga mulutmu, pintar mengumpak,” kata si cantik alias Lian-sing Kiongcu. “Tampaknya kau toh tidak takut padaku.”

Lekas-lekas Hek-bian-kun munduk-munduk dan menjawab, “Ah, hamba... hamba....”

Dengan tertawa Lian-sing-Kiongcu berkata, “Sudah sebanyak ini kau berbuat kejahatan dan ternyata tidak takut padaku, sungguh ini suatu hal aneh. Apakah kau tidak tahu bahwa segera akan kucabut nyawa kalian?”

Air muka Hek-bian-kun berubah pucat, akan tetapi sedapatnya ia bersikap tenang dan menanggapi, “Ah, Kiongcu suka bergurau.”

“Bergurau?” Lian-sing Kiongcu terkikik. “Kau telah menganiaya dayangku, kalau kubiarkan kau mati begitu saja sudah murah bagimu, masak kau sangka aku bergurau denganmu?”

Tanpa berpikir lagi Hek-bian-kun menjawab, “Tapi, tapi ini atas... atas perintah Kiau-goat Kiongcu....”

Belum habis ucapannya, “plak-plok”, berturut-turut ia kena ditempeleng beberapa kali, mirip benar seperti dia menempeleng Kang Hong tadi, tapi tempelengan sekarang jauh lebih keras, kontan mulutnya penuh darah dan gigi pun rontok sebagian.

“Hm, masakah nama Ciciku boleh sembarangan kau sebut?” jengek Lian-sing Kiongcu dengan kereng, dia tetap berdiri di tempatnya tadi seperti tak pernah bergeser sedikit pun.

Si jengger ayam dan kawan-kawannya pucat dan ketakutan setengah mati. Dengan suara gemetar si jengger bermaksud memperkuat keterangan kawannya, ia berkata, “Me... memang betul Kiau....”

Belum lengkap ia menyebut nama Kiau-goat Kiongcu, tahu-tahu ia pun kena ditempeleng belasan kali sehingga tubuhnya yang kecil itu sampai mencelat.

“Aneh,” kata Lian-sing Kiongcu dengan tertawa, “tampaknya kalian tidak percaya jika kuhendak mencabut nyawa kalian...? ah....” Di tengah keluhan menyesal itu sekonyong-konyong ia mengitari si baju kuning yang bertubuh jangkung itu satu kali, orang hanya melihat bayangan berkelebat dan entah cara bagaimana turun tangannya, tahu-tahu si baju kuning sudah roboh terkapar tanpa bersuara.

Salah seorang ekor ayam berbaju warna-warni belorok coba menjenguk kawannya itu, mendadak ia menjerit kaget, “Dia... dia sudah mati!”

“Nah, sekarang kalian mau percaya tidak?” ujar Lian-sing Kiongcu tertawa.

Si belorok tadi menjerit parau, “Engk... engkau kejam benar!”

“Hm, mati seorang saja kenapa mesti kaget dan heran?” ujar Lian-sing Kiongcu tertawa. “Memangnya orang yang pernah kalian bunuh belum cukup banyak? Kalau kalian mati sekarang kukira cukup setimpal!”

Rupanya mereka pikir daripada mati konyol akan lebih baik melawan sebisanya saja. Mendadak sorot mata si jengger ayam menjadi beringas, ia memberi tanda, bersama tiga pasang cakar ayam serentak menerjang ke arah Lian-sing Kiongcu.

Terdengarlah suara “trang-tring” diselingi jerit mengerikan berturut-turut, di tengah-tengah berkelebatnya bayangan sang putri yang lemah gemulai, tiga orang berbaju belorok sudah roboh dua, sisa seorang lagi cepat melompat mundur dan tangannya sudah kosong, ia berdiri melongo mematung. Cara bagaimana lawan membinasakan kawan-kawannya dan cara bagaimana menghindarkan serangan mereka serta cara bagaimana merampas senjata mereka, semuanya tak diketahuinya sama sekali, dalam sekejap tadi ia seperti baru bermimpi buruk saja tanpa menyadari apa yang terjadi.

Ketika Lian-sing Kiongcu mengebaskan lengan bajunya, terdengarlah suara gemerinting, beberapa celurit bentuk taji tajam ayam itu jatuh berserakan di tanah, hanya sebilah celurit masih dipegangnya. Setelah dipandangnya sekejap ia tertawa dan berkata, “Eh, kiranya inilah cakar ayamnya. Entah bagaimana rasanya?”

“Kletak”, mendadak mulutnya yang mungil itu mengertak celurit itu dan senjata buatan dari baja itu seketika tergigit patah mentah-mentah.

Melihat perempuan yang berusia baru likuran ini memiliki kesaktian sedemikian tinggi, bahkan setiap anggota tubuhnya seakan-akan memiliki kungfu yang sukar dibayangkan, keruan Hek-bian-kun dan Su-sin-khek, si babi dan si ayam jantan dari kawanan bandit Cap-ji-she-shio itu tidak berani berkutik lagi.

“Aihh, cakar ayam ini tidak enak!” kata Lian-sing Kiongcu sambil menggeleng, “Brrrrr…!” mendadak ia menyemprot perlahan celurit baja patah yang tergigit oleh mulutnya itu, ke mana sinar perak berkelebat, tahu-tahu si baju belorok yang masih tersisa itu pun menjerit ngeri sambil mendekap mukanya dan terguling-guling di tanah dengan darah merembes keluar dari sela-sela jarinya, sesudah berkelejetan beberapa kali, lalu tidak bergerak lagi. Tangan yang mendekap mukanya juga terbuka, remang-remang kelihatan mukanya yang beringas dan berlumuran darah. Kiranya setengah potong celurit itu telah menghancurkan tulang kepalanya.

Serentak Hek-bian-kun berlutut dan menjura, mohonnya dengan suara gemetar, “Ampun Kiongcu! Ampun....”

Tapi Lian-sing Kiongcu tidak menggubrisnya, sebaliknya ia malah tanya si baju merah alias jengger ayam, “Nah, bagaimana aku punya kungfu?”

“Ter... terlampau hebat, selama... selama hidup hamba belum pernah me... menyaksikan kungfu selihai ini, bahkan... bahkan mimpi pun hamba tak pernah membayangkan kungfu setinggi ini,” demikian jawab si jengger dengan tergegap-gegap.

“Dan kau takut atau tidak?” tanya sang Putri.

Sungguh mati, selama hidup si jengger ini tak pernah ditanyai orang seperti anak kecil ini. Akan tetapi sekarang tiada jalan lain baginya kecuali menjawab dengan munduk-munduk, “Ya, takut... takut, takut sekali.”

“Kalau takut, kenapa tidak minta ampun?”

Tanpa disuruh lagi si jengger cepat-cepat menyembah dan memohon dengan setengah menangis, “Ya, ampun Kiongcu....”

Lian-sing mengerling hina, katanya kemudian dengan tertawa, “Apa bila jiwa kalian ingin kuampuni, sederhana juga caranya, asal saja kalian masing-masing memukul aku satu kali.”

“Mana hamba berani,” cepat si jengger menjawab.

“Ya, betapa pun hamba tidak berani,” Hek-bian-kun menambahkan.

“Jadi kalian tidak ingin hidup?” tanya sang Putri dengan mendelik.

Selama ini pertanyaan semacam itu biasanya diajukan oleh Hek-bian-kun dan Su-sin-khek kepada orang lain, dan bila perlu tanpa mendapat jawaban senjata mereka pun langsung menyambar lantas habis perkara. Tetapi sekarang justru pertanyaan ini diajukan kepada mereka sendiri. Keruan mereka menyengir serba susah.

Tapi apa daya, mau tak mau mereka terpaksa menjawab, “Ya, hamba ingin hidup.”

“Kalau ingin hidup, nah, lekas pukul seperti kataku tadi!”

Hek-bian-kun saling pandang sekejap dengan Su-sin-khek, akhirnya mereka terpaksa melangkah maju.

“Nah, memangnya kenapa mesti takut, pukul saja sesuka kalian, makin keras makin baik dan pasti takkan kubalas,” demikian Lian-sing Kiongcu tertawa. “Tetapi, kalau pukulan kalian terlalu ringan... hm, awas!”

Sungguh aneh bin heran, untuk mengampuni jiwa orang justru orang-orang itu disuruh memukulnya. Walau pun ragu-ragu, diam-diam si jengger membatin apa salahnya jika dia benar-benar menghantam sekuatnya, kalau sekali gitik dengan paruh ayamnya berhasil membinasakan orang, kan untung malah. Andaikan tidak berhasil juga tidak menjadi soal, bukankah sang putri sendiri yang menyuruhnya menyerang?

Sudah tentu Hek-bian-kun juga timbul pikiran yang sama. Ia pikir bagaimana pun tingginya kepandaianmu, asal kau tidak menangkis dan membalas, sekali jotos tubuhmu pasti dapat kubikin peyot.

Begitulah dua orang satu pikiran, serentak mereka mengiakan perintah Lian-sing Kiongcu, akan tetapi lagaknya masih pura-pura sungkan.

“Ayolah, tunggu apa lagi?” omel Lian-sing Kiongcu dengan tertawa.

Mendadak Hek-bian-kun menubruk maju, kedua kepalan menghantam sekaligus dengan keras, ditambah lagi dengan bobot tubuhnya yang beratus-ratus kati itu, tentu saja daya pukulannya bukan alang kepalang dahsyatnya. Akan tetapi di antara pukulan dahsyat itu justru membawa gerakan yang lincah dan gesit serta yang sulit diraba. Pada detik terakhir barulah jelas arah yang menjadi sasarannya, yaitu hulu hati Lian-sing Kiongcu.

Pukulan ini merupakan intisari ilmu silat yang diyakinkan Hek-bian-kun, jurus ini bernama ‘Sin-tu-hoa-jio’ atau si babi sakti sekuat gajah, dengan jurus pukulannya ini entah betapa banyak tokoh kalangan Kangouw telah dirobohkannya.

Dalam pada itu si jengger ayam Su-sin-khek secepat terbang juga sudah melayang maju. Senjata paruh ayamnya gemerlap mencocok berbagai Hiat-to pada bagian dada Lian-sing Kiongcu.

Dengan sendirinya serangan si jengger ini pun merupakan jurus maut yang jarang sekali digunakannya. Jurus ini bernama ‘Sih-keh-thi-sing’ atau ayam berkokok di waktu subuh. Konon hanya dengan jurus ini saja pernah sekaligus dia membinasakan delapan piausu (jago pengawal) dari perusahaan pengawal ‘Wi-bu-piaukiok’.

“Ehh, boleh juga!” Lian-sing Kiongcu berseloroh.

Di tengah suara tertawa yang merdu, sekali telapak tangan kanannya meraih perlahan bagai kupu-kupu menyelinap di antara hujan gerimis, lalu sekali lagi melingkar balik, tahu-tahu si jengger ayam merasa serangannya yang lihai itu telah kehilangan sasaran secara membingungkan, tangan sendiri seperti tidak mau menurut perintahnya. Maksudnya ingin menyerang ke kanan, akan tetapi justru menyambar ke kiri, ingin dihentikan, justru tetap menyelonong ke depan. Tanpa ampun lagi, terdengarlah suara ‘crat-cret’ dua kali disusul pula dengan dua kali jeritan ngeri.

Lian-sing Kiongcu masih tetap berdiri pada tempatnya dengan tertawa tanpa bergerak, sebaliknya Hek-bian-kun sudah terjungkal, sedangkan Su-sin-khek alias si jengger ayam mencelat jauh ke semak-semak rumput sana, merintih sebentar, lalu tak bersuara lagi.

Pada dada Hek-bian-kun tampak menancap paruh baja si jengger ayam. Dengan meringis menahan sakit dicabutnya paruh baja itu. Seketika darah menyembur bagai air mancur, dan dengan suara gemetar ia berkata, “Kau... kau....”

“Aku kan tidak melukai kalian,” ujar Lian-sing Kiongcu sambil tertawa. “Kalian sendiri yang saling hantam. Ai, apa sih gunanya?”

Sepasang mata Hek-bian-kun melotot gusar menatap sang putri, bibirnya bergerak seperti ingin bicara sesuatu, namun sepatah kata pun tidak sempat terucap dan untuk selamanya takkan terucap lagi.

Lian-sing-Kiongcu bergumam sendiri, “Jika kalian tidak berpikir ingin membinasakan aku dan cara menyerang kalian agak ringan, tentu jiwa kalian takkan melayang, betapa pun aku sudah memberi kesempatan hidup kepada kalian bukan? Salah kalian sendiri!”

Di sebelah sana Kang Hong dan istrinya sama sekali tidak menghiraukan apa yang terjadi di sebelah sini. Mereka sedang meronta ingin masuk ke dalam kereta untuk memondong jabang bayi yang sedang menangis itu, tangan mereka baru saja sempat meraba gurita si bayi, pada saat itu juga sebuah tangan mendorong jabang bayi itu menjauhi tangan Kang Hong berdua.

Tangan yang menyingkirkan jabang bayi itu terlihat putih mulus dengan lengan baju sutera putih pula, namun tangan yang mulus itu ternyata lebih halus daripada kain suteranya.

“Berikan... berikan padaku....” pinta Kang Hong dengan suara parau.

“Ji-kiongcu, aku mohon sekali, sudilah... sudilah engkau menyerahkan orok itu kepadaku,” si perempuan yang baru melahirkan itu pun memohon.

“Goat-loh,” Lian-sing Kiongcu menjawab sambil tertawa, “Bagus sekali kau, sungguh tidak nyana kau melahirkan anak bagi Kang Hong.”

Meski bicaranya seraya tertawa, tetapi tertawa yang pedih, hampa, penuh rasa benci dan dendam.

Hoa Goat-loh, perempuan yang baru melahirkan itu aberkata, “Kiongcu, hamba... hamba telah bersalah... bersalah padamu, nam... namun anak ini tidak berdosa, sudilah engkau mengampuni mereka.”

Termangu Lian-sing Kiongcu memandang sepasang anak kembar itu sambil bergumam, “Ehm, anak yang montok, sungguh menyenangkan... alangkah baiknya kalau dia menjadi anakku....” Mendadak matanya menatap Kang Hong, dengan tatapan penuh rasa benci dan dendam, menyesal dan juga kecewa. Sejenak kemudian barulah dia berucap dengan perasaan hampa, “Kang Hong, kenapa kau lakukan hal ini? Kenapa?”

“Tidak kenapa-apa, sebab aku cinta padanya,” jawab Kang Hong tegas.

“Kau mencintai dia?” teriak Lian-sing Kiongcu dengan suara serak. “Kau… kau mencintai seorang babu? Dalam hal apa Ciciku tidak melebihi budak ini? Kau dilukai orang, Ciciku membawamu ke rumah dan merawatmu, selama hidupnya tidak pernah berbuat sebaik itu kepada orang lain, dan... dan dia justru begitu kesengsem padamu. Tetapi sebaliknya... sebaliknya kau malah... malah minggat bersama babunya.”

Dengan ketus Kang Hong menjawab, “Baiklah, karena kau ingin tahu, biarlah kujelaskan. Cicimu pada hakikatnya bukan manusia, dia hanyalah segumpal api, sepotong es, sebilah pedang, bahkan boleh dikatakan setan, malaikat, akan tetapi sama sekali bukan manusia. Sedangkan dia....” sampai di sini ia lalu mengalihkan pandangnya kepada Hoa Goat-loh, istrinya, dengan suara lembut ia menyambung pula, “Dia... dia adalah manusia, manusia sejati, manusia suci bersih. Dia amat baik padaku, dapat memahami isi hatiku, menyelami jiwaku. Di dunia ini hanya dia seorang yang mencintai hatiku, sukmaku, dan bukan cuma kesengsem pada wajah dan ragaku ini.”

“Plak!” mendadak pipi Kang Hong ditampar sekali oleh Lian-sing Kiongcu dan bentaknya, “Ayo katakan... katakan lagi!”

“Inilah isi hatiku yang harus kuucapkan, kenapa tidak boleh kukatakan?” jawab Kang Hong tegas.

“Kau hanya tahu bahwa dia amat baik padamu, akan tetapi apakah kau tahu bagaimana... bagaimana diriku ini padamu?” ucap Lian-sing Kiongcu. “Sekali pun wajahmu buruk, meski pun wajahmu jelek seperti setan juga kutetap... tetap....” sampai di sini suaranya menjadi lemah dan tidak sanggup melanjutkan lagi.

“Jadi... jadi Ji-kiongcu, engkau... engkau juga....” dengan suara terputus-putus Hoa Goat-loh berkata. Baru sekarang ia paham isi hati bekas junjungannya itu.

“Ya, memangnya aku tidak boleh menaruh hati padanya? Apakah aku tak boleh mencintai dia?” seru Lian-sing Kiongcu penasaran. “Apakah lantaran badanku cacat, maka aku… aku tidak berhak mencintai orang yang kucintai? Orang cacat kan manusia, dan aku juga perempuan?!”

Dalam sekejap saja putri yang agung itu mendadak berubah sama sekali. Kalau sejenak sebelumnya dia adalah manusia super yang berkuasa menentukan mati-hidup seseorang secara tak terbantahkan, akan tetapi kini dia tak lebih hanya seorang perempuan belaka, seorang perempuan lemah yang bernasib malang dan harus dikasihani. Air mata tampak meleleh di pipinya.

Sukar dipercaya bahwa tokoh ajaib, manusia super yang hampir menyerupai dongeng di dunia Kangouw ini ternyata dapat juga mengucurkan air mata. Seketika Kang Hong dan Hoa Goat-loh melenggong memandangi putri yang agung tapi cacat badan itu.

Selang agak lama, dengan lesu Hoa Goat-loh berkata, “Ji-kiongcu, tak mungkin aku dapat hidup lagi, selanjutnya... selanjutnya dia (maksudnya Kang Hong) akan menjadi milikmu, maka kumohon sukalah engkau menolongnya, kuyakin hanya engkau saja yang sanggup menyelamatkan dia.”

Tubuh Lian-sing Kiongcu tergetar hebat. “Selanjutnya dia akan menjadi milikmu”, kalimat ini seperti anak panah menancap hulu hatinya.

Tapi mendadak Kang Hong bergelak tertawa, tertawa yang rawan, tertawa yang jauh lebih memilukan daripada tangis siapa pun juga. Sorot matanya yang sayu menatap Hoa Goat-loh, katanya dengan pedih, “Menyelamatkan diriku...?. Di dunia ini siapakah yang mampu menyelamatkan jiwaku? Jika engkau mati, masakah aku dapat hidup sendirian? O, Goat-loh, masakah sampai saat ini engkau masih belum memahami diriku?”

Hoa Goat-loh menahan air matanya yang hampir bercucuran pula, lalu jawabnya dengan suara lembut, “Aku paham, tentu saja kupahami dirimu, tapi kalau engkau mati, siapa lagi yang akan mengurus anak-anak kita?”

Suaranya kemudian berubah menjadi rintihan sedih. Ia genggam tangan sang suami dan berkata pula dengan air mata berlinang. “Inilah dosa perbuatan kita. Kita tidak berhak meninggalkan dosa akibat perbuatan kita kepada keturunan kita, sekali pun kau... kau pun tidak boleh, tidak berhak mengelakkan kewajiban dengan jalan mencari kematian.”

Kang Hong tidak sanggup tertawa pilu pula, giginya yang tergigit sampai gemertukan.

“Kutahu, mati memang jauh lebih mudah dan hidup akan lebih sukar dan banyak duka derita,” kata Hoa Goat-loh pula dengan suara gemetar. “Tapi... tapi kumohon, sudilah... sudilah engkau bertahan hidup demi anak-anak kita.”

Air mata membasahi wajah Kang Hong, seperti orang dungu saja dia bergumam, “Aku harus hidup...? Benarkah aku harus bertahan hidup....”

“Ji-kiongcu,” pinta Hoa Goat-loh kepada sang putri, “bagaimana pun juga engkau harus menyelamatkan dia. Apa bila engkau memang pernah jatuh cinta padanya, maka engkau tidak layak menyaksikan kematiannya di depanmu.”

“Begitukah?” ucap Lian-sing Kiongcu dengan acuh tak acuh.

“Kuyakin engkau pasti dapat menyelamatkan dia... engkau pasti dapat,” seru Hoa Goat-loh dengan suara parau.

Lian-sing Kiongcu menghela napas panjang, kemudian berkata, “Ya, memang aku dapat menyelamatkan jiwanya....”

Belum habis ucapannya, entah dari mana datangnya, tiba-tiba saja berkumandang suara seseorang, “Kau keliru, tidak mungkin kau dapat menghidupkan dia, di dunia ini tidak ada seorang pun yang mampu menyelamatkan dia.”

Suara orang ini demikian ringan mengambang tak menentu, nadanya dingin, tanpa emosi dan mengederkan orang, tetapi juga begitu halus, lembut menggetarkan sukma. Rasanya tiada seorang pun yang sanggup melukiskan nada suara yang menarik dan menyeramkan ini, tiada seorang pun di dunia ini yang dapat melupakan nada suara ini bila mana sudah mendengarnya.

Seketika jagat raya ini serasa membeku karena nada suara tadi yang penuh mengandung hawa nafsu membunuh itu. Senja yang makin remang itu pun seketika bertambah suram.

Tubuh Kang Hong gemetar laksana daun tertiup angin. Wajah Lian-sing Kiongcu seketika pun pucat bagai mayat. Tanpa menoleh pun mereka tahu siapa gerangan yang datang.

Begitulah sesosok bayangan putih tahu-tahu melayang tiba, entah melayang dari mana dan datang sejak kapan, tahu-tahu sudah berdiri di depan mereka.

Baju pendatang itu putih laksana salju, rambut terurai dengan gaya indah seperti bidadari yang baru turun dari kayangan, betapa cantik wajahnya sungguh sukar untuk dilukiskan, sebab tiada seorang pun yang berani menengadah untuk memandangnya. Pada tubuhnya seakan-akan berpembawaan semacam daya pengaruh yang tak dapat dilawan sehingga orang pun takut memandangnya.

Kepala Lian-sing Kiongcu juga tertunduk, sambil menggigit bibir ia menyapa, “Cici, engkau... engkau juga datang.”

“Ya, aku pun datang, kau tidak menyangka bukan?” jawab sang kakak, Kiau-goat Kiongcu, putri agung utama dari Ih-hoa-kiong yang termasyhur dan disegani itu.

“Bilakah Cici datang kemari?” jawab Lian-sing Kiongcu pula, kepalanya semakin menunduk.

“Kedatanganku tidak terlalu dini, hanya, hanya sempat mengikuti percakapan orang banyak yang agaknya tidak suka didengar olehku,” ujar Kiau-goat Kiongcu.

Terkilas pikiran dalam benak Kang Hong, dengan suara gemas ia berteriak, “Jadi... jadi sejak tadi kau sudah datang. Kalau begitu si babi dan si ayam dari Cap-ji-she-shio yang tadi sudah kabur lalu datang kembali lagi itu jangan-jangan adalah perintahmu? Jadi semua rahasia itu telah kau katakan kepada mereka?”

“Baru sekarang hal ini terpikir olehmu, bukankah sudah terlambat?” ujar Kiau-goat Kiongcu.

Mata Kang Hong mendelik, dengan beringas ia berteriak, “Mengapa... mengapa kau berbuat demikian? Bertindak sekeji ini?”

“Terhadap orang yang berhati keji, hatiku pasti sepuluh kali lebih keji daripadanya,” jawab Kiau-goat.

“Toa-kiongcu,” jerit Hoa Goat-loh dengan menahan derita, “semuanya adalah salahku, jangan... jangan kau salahkan dia.”

Mendadak nada ucapan Kiau-goat Kiongcu berubah setajam sembilu, katanya sekata demi sekata, “Kau masih berani bicara demikian padaku?”

Hoa Goat-loh ngesot di tanah, katanya dengan terputus-putus, “Hamb... hamba....”

“Baiklah, kau sudah bertemu denganku, kini... kini bolehlah kau mangkat!” ucap Kiau-goat dengan tenang-tenang. “Mangkat” jelas berarti vonis kematian.

Betapa takutnya Hoa Goat-loh dapat digambarkan bahwa menangis saja dia tidak berani, dia hanya memejamkan mata dan menjawab lemah, “Terima kasih Kiongcu.”

“Dia menghendaki kematianmu, mengapa kau malah berterima kasih padanya?” teriak Kang Hong dengan kalap.

Tersungging senyuman pilu pada ujung mulut Hoa Goat-loh, jawabnya perlahan, “Biarlah kumati lebih dulu sehingga takkan menyaksikan cara bagaimana kematianmu dengan anak-anak kita, dengan demikian dapatlah mengurangi sedikit siksa deritaku. Dan ini adalah... adalah kemurahan hati Kiongcu, kan pantas jika aku berterima kasih kepada beliau.”

Ia membuka matanya, memandang Kang Hong sekejap, lalu memandang pula kedua orok, walau hanya pandangan sekilas saja, namun betapa mendalam kasih sayang seorang ibu kepada anaknya dalam pandangan sekilas itu sungguh tak terlukiskan.

Hati Kang Hong serasa remuk redam, teriaknya, “Goat-loh, kau tidak boleh mati... tidak boleh mati....”

“Kakak Hong, biarlah aku mangkat lebih dulu, akan... akan kutunggu engkau di sana....” lalu terpejamlah matanya dan tidak melek lagi untuk selamanya.

“Tunggu, Goat-loh!” jerit Kang Hong histeris, entah dari mana timbulnya tenaga, mendadak ia menubruk ke atas tubuh sang istri. Tapi baru saja tubuhnya bergerak, kontan ia dihantam roboh lagi oleh angin pukulan yang keras.

“Kukira kau perlu berbaring dengan tenang,” ujar Kiau-goat.

“Selama hidupku tak pernah kumohon sesuatu kepada siapa pun,” kata Kang Hong dengan suara gemetar, “Tapi sekarang... kumohon... kumohon engkau sukalah berbuat bajik. Apa pun tidak kuinginkan, yang kuharap hanya dapat mati bersama dengan Goat-loh.”

“Hm, jangan kau harap dapat menyentuh seujung jarinya lagi,” jawab Kiau-goat ketus.

Kang Hong menatapnya dengan sorot mata membara, kalau saja sinar matanya dapat membunuh orang, sejak tadi tentu orang itu sudah dibunuhnya. Umpama api amarahnya juga dapat berkobar, tentu sejak tadi putri itu pun sudah dibakarnya hidup-hidup.

Akan tetapi Kiau-goat Kiongcu masih tetap berdiri tenang saja di situ dengan senyum mengejek. Mendadak Kang Hong mengakak tawa seperti orang gila, tertawa histeris, tertawanya orang putus asa dan penuh benci, penuh dendam.

“Hm, kau malah tertawa? Apa yang kau tertawakan?” tanya Kiau-goat Kiongcu mendongkol.

“Hahahaha!” Kalian anggap diri kalian manusia super, manusia yang lain daripada yang lain? Kalian mengira dengan segala kemampuan kalian dapat menguasai segala kehendakmu. Akan tetapi, hahaha, akan tetapi, bila aku sudah mati, aku akan berkumpul bersama Goat-loh, untuk ini dapatkah kalian merintangi kami?”

Di tengah gelak tertawa kalap itu, mendadak Kang Hong terkapar, suara tertawanya mulai lemah dan akhirnya berhenti untuk selamanya.

Lian-sing Kiongcu menjerit perlahan dan memburu maju, dilihatnya golok kutung tadi telah menancap ke dalam hulu hatinya, tamatlah riwayat sang lelaki mahacakap itu…..
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

1 komentar

  1. Keren ceritanya