Nurseta Satria Karang Tirta Jilid 37

Kho Ping Hoo
-------------------------------
----------------------------
Ki Nagakumala diikuti belasan orang prajurit memasuki rumah. Melihat Kartowi, dia memandang tajam dengan sinar mata penuh selidik dan bertanya kepada Juhari dengan suara keren.

"Juhari, siapakah orang ini?"

Ki Juhari menyembah dengan sikap hormat!

"Gusti, ini adalah Kartowi, seorang pedagang sayur yang menjadi langganan hamba."

Mendengar Juhari menyebut Gusti kepada pendatang yang gagah dan berpakaian mewah itu, Kartowi menjadi takut dan dia pun membungkuk-bungkuk.

"Hamba... hamba... pedagang sayur Gusti..." katanya dengar suara gemetaran.

"Mana dia, Juhari?"

"Di kamar belakang, Gusti."

Ki Nagakumala segera masuk ke bagian belakang diikuti belasan orang prajurit pengawalnya, disertai Juhari dan dua orang keponakan yang sesungguhnya adalah rekan-rekan atau anak buahnya. Daun pintu kamar yang semalam ditempati Nurseta didorong terbuka, akan tetapi tentu saja mereka hanya menemukan sebuah kamar kosong! Ki Juhari berseru kaget, lari memasuki kamar dan membuka daun jendela.

"Ah, keparat...! Dia telah melarikan diri!"

"Bodoh kamu! Bagaimana dapat melarikan diri? Mengapa tidak kau jaga semalam?" Ki Nagakumala membentak.

"Tapi... tapi... dia sama sekali tidak tampak curiga dan sudah masuk kamar ini untuk tidur, Gusti..." kata Juhari bingung dan takut.

"Hayo kita cari!" Dengan marah Ki Nagakumala keluar dari kamar. Setibanya di ruangan depan, dia berseru, "He, di mana pedagang sayur tadi?"

Ki Juhari cepat mejawab. "Dia tentu sudah pergi untuk menjual sayurnya ke kota, Gusti."

"Tolol kau...! Orang itu harus diperiksa. Mungkin dia mempunyai hubungan dengan Nurseta!"

"Hamba kira tidak, Gusti. Ki Kartowi itu langganan hamba, dia benar-benar pedagang sayur..."

"Diam kau, bodoh...! Cari dia dan tangkap!"

Mereka semua lalu keluar dari rumah untuk mencari dua orang itu. Pemuda yang mengaku bernama Baroto. Akan tetapi yang diduga adalah Nurseta orangnya, dan Ki Kartowi pedagang sayur yang dicurigai Ki Nagakumala sebagai orang yang ada hubungan dengan Nurseta. Akan tetapi mereka tidak mencari ke arah barat karena siapa yang mengira orang-orang yang dicari itu akan memasuki hutan yang sunyi itu? Mereka menduga bahwa tentu dua orang yang dicurigai itu akan menuju ke Kota Raja Parang Siluman. Karena itu Ki Nagakumala kembali ke kota raja untuk memperketat penjagaan di sana agar tidak memungkinkan orang yang bernama Baroto dan diduga Nurseta adanya itu dapat menyelundup ke kota raja.

Sementara itu, Nurseta duduk di tepi anak sungai sampai datang fajar. Tiba-tiba dia melihat seorang laki-laki memikul dua buah keranjang berisi sayur-sayuran. Setelah orang itu tiba dekat, dia melihat bahwa orang itu seorang laki-laki bertubuh sedang, berusia sekitar empat puluh tahun dan begitu tiba di depannya, langsung menurunkan pikulannya dan menyeka keringat.

Nurseta terkejut. "Andika mengenal saya, Paman?"

"He-he-he, jangan sebut saya Paman, Denmas!" Orang itu tertawa lalu menggosok-gosok muka dan rambutnya dengan sehelai kain. Nurseta terbelalak ketika melihat betapa orang yang tadinya tampak setengah tua, berusia sekitar empat puluh tahun itu kini berubah menjadi seorang pemuda yang sebaya dengan dia!

"Hemm, siapakah Andika, Kisanak?"

"Saya bernama Witarto, Denmas..."

"Jangan sebut aku Denmas!"

"Ah, tentu saja Andika harus disebut Denmas karena Andika adalah cucu mendiang Gusti Senopati Sindukerta, Denmas Nurseta. Juga saya tahu bahwa Andika telah membuat banyak jasa terhadap Kerajaan Kahuripan, kepercayaan Gusti Sinuwun dan Gusti Patih!"

"Hemm, agaknya Andika mengenal betul keadaanku, Witarto. Sebenarnya siapakah Andika dan tentu Andika yang semalam mengirim surat peringatan kepadaku itu, bukan?"

"Benar, Denmas. Dahulu saya menjadi perwira muda membantu mendiang Gusti Senopati Sindukerta dan tugas saya adalah menjadi telik sandi (mata-mata). Sekarang saya ditugaskan oleh Gusti Patih Narotama untuk memata-matai Parang Siluman. Saya sudah menduga bahwa Gusti Patih Narotama pasti tidak mendiamkan saja puteranya dijadikan sandera di sini. Ternyata sekarang Andika yang agaknya diutus untuk berusaha merampas Denmas Joko Pekik, bukan?"

"Benar sekali dugaanmu. Witarto. Tahukah Andika di mana anak itu disimpan?"

"Saya bersama sebelas orang rekan saya sudah beberapa bulan bertugas di kota raja dan kami telah mengetahui bahwa Denmas Joko Pekik disembunyikan dalam sebuah gua yang dijaga ketat sekali. Bahkan kami tidak tahu dengan pasti apakah benar anak itu dikeram di situ, atau itu hanya palsu dan pancingan belaka. Mungkin saja putera Gusti Patih itu masih berada di istana. Kami dua belas orang tidak ada yang memiliki kemampuan untuk melakukan penyelidikan di istana, Denmas. Kebetulan Andika datang dan kiranya hanya Andika yang akan mampu menyusup ke dalam istana."

"Aku akan masuk kota raja, akan tetapi nanti malam karena rasanya tidak mungkin memasuki kota raja pada siang hari. Semua orang akan mengenalku."

"Jangan memasuki kota raja dalam keadaan biasa begitu, Denmas. Hal itu berbahaya sekali dan akan menggagalkan usaha Andika. Tadi pun, biar Andika sudah berganti nama, tetap saja Juhari mengenal Andika. Hampir saja kita celaka karena baru saja Andika pergi, pasukan Parang Siluman muncul dipimpin sendiri oleh Ki Nagakumala yang sakti dan cerdik. Kalau saya tidak cepat-cepat pergi, tentu saya akan ditangkap karena dicurigai. Denmas harus menyamar, dan untuk itu, sayalah ahlinya, Denmas. Saya biasa menyamar sebagai Kartowi yang setengah tua, dan rekan-rekan saya semua menyamar, sehingga kami tidak dikenal. Mari, saya akan mendandani Andika dan percayalah, tak seorang pun akan mengenal Andika sebagai Denmas Nurseta kalau sudah saya dandani."

Nurseta setuju dan di tepi anak sungai itu, Witarto yang ahli menyamar itu lalu mengeluarkan sekantung alat-alatnya mendandani Nurseta. Tak lama kemudian Nurseta sudah berubah menjadi seorang laki-laki berusia kurang lebih lima puluh tahun dengan rambut berwarna dua dan mukanya dihias keriput! Setelah selesai dan dia melihat bayangannya sendiri di air, Nurseta merasa kagum bukan main. Dia sendiri pun tidak mengenal wajah tua itu!

Witarto menerangkan banyak hal kepadanya. Keadaan di kota raja dan terutama di istana. Juga bagaimana dapat menghubungi dia dan rekan-rekannya. Nurseta dianjurkan menggunakan nama Ki Kambana, sebuah nama yang umum dan tidak mencolok, berasal dari sebuah dusun kecil di pesisir Kidul. Setelah itu, Witarto membagi sayur-sayuran menjadi dua pikul dan dia sudah menyiapkan pikulan dan keranjang sayuran di tepi anak sungai.

"Nah, sekarang Andika dan saya menjadi dua orang pedagang sayuran, berjualan ke kota raja. Takkan ada orang yang mencurigai kita."

"Akan tetapi engkau sendiri? Mengapa engkau tidak menyamar lagi?"

"Wah, penyamaran saya sebagai Ki Kartowi sudah dikenal orang, bahkan sudah dicurigai oleh para telik sandi Parang Siluman, Denmas. Malah dengan keadaanku yang asli seperti ini, tidak akan ada yang mengenalku. Kalau nanti ada orang bertemu dengan kita selagi berdua, saya akan mengaku sebagai keponakan Denmas dan mulai sekarang agar terbiasa, saya akan menyebutmu Pakde, dan Andika menyebut saya Tarto."

"Baiklah, Tarto." kata Nurseta dan orang lain tidak akan mengenal suaranya itu karena dia sudah dilatih oleh Witarto untuk bicara seperti seorang tua, agak serak, agak gemetar, dan tenang perlahan. Keduanya lalu memikul pikulan keranjang sayur mereka dan berangkat menuju Kota Raja Parang Siluman.

Tepat seperti yang telah diperhitungkan Witarto, telik sandi Kahuripan yang biarpun masih muda namun amat cerdik itu, mereka berdua dapat lolos melewati gapura Parang Siluman yang terjaga ketat. Para prajurit penjaga memang memeriksa semua orang yang lewat melalui pintu gapura. Akan tetapi yang mereka cari adalah Nurseta, seorang pemuda berusia sekitar dua puluh tiga tahun yang berwajah tampan dan Ki Kartowi, seorang laki-laki setengah tua berusia sekitar empat puluh tahun. Akan tetapi Witarto pada saat lewat di situ merupakan pemuda berusia sekitar dua puluh dua tahun yang matanya juling mulutnya agak perot dan pundaknya tinggi sebelah! Sedangkan Ki Kambana adalah seorang kakek berusia sekitar lima puluh tahun yang rambutnya penuh uban dan kakinya timpang (pincang)! Tentu saja keduanya jauh berbeda dari gambaran dua orang yang mereka cari dan dengan mudah mereka berdua lolos masuk ke dalam Kota Raja Parang Siluman. Jangankan para petugas jaga, para prajurit yang tidak mengenal wajah aseli Nurseta. Bahkan para tokohnya yang sudah mengenal betul wajah itu pun tidak akan menduga bahwa kakek berambut ubanan dan kakinya pincang itu adalah Nurseta!

Setelah memasuki kota raja, sesuai dengan rencana yang sudah diatur sebelumnya, Nurseta berpisah dari Witarto. Dia hendak menyelidiki ke dalam istana untuk memastikan apakah Joko Pekik Satyabudhi dikeram dalam istana ataukah tidak. Adapun Witarto bersama sebelas orang rekannya akan melakukan penyelidikan ke guna yang mereka duga menjadi tempat untuk menyembunyikan putera Ki Patih Narotama itu.

Biarpun dia sudah menyamar menjadi Ki Kambana dan tidak akan ada yang dapat menduganya bahwa dia sebetulnya Nurseta, namun Nurseta tentu saja tidak mau bersikap sembrono. Dia tahu bahwa tidaklah mudah untuk dapat menyusup ke dalam istana yang selain terjaga ketat oleh banyak prajurit pengawal, juga di dalamnya terdapat orang-orang sakti mandraguna. Di antara mereka yang sungguh merupakan lawan-lawan yang berat dan berbahaya adalah Durgamala sendiri yang kini menjadi Ratu Parang Siluman menggantikan mendiang ayahnya Raja Dirgabaskara. Lalu kakak kandung Ratu Durgamala yang bernama Ki Nagakumala dengan tingkat kepandaian yang bahkan lebih tinggi daripada tingkat Ratu Durgamala. Kemudian ada dua orang puteri Sang Ratu. atau yang menjadi murid Ki Nagakumala, yaitu Lasmini dan Mandari, dua orang puteri yang cantik jelita masih muda karena usia Lasmini baru dua puluh empat tahun dan Mandari dua puluh dua tahun. Selain memiliki wajah yang luar biasa cantik jelita, kedua orang puteri ini juga memiliki bentuk tubuh yang indah menggairahkan.

Selain cantik jelita dan menggairahkan, mereka berdua memiliki kesaktian yang bahkan melampaui kesaktian ibu mereka dan sudah hampir menandingi kesaktian guru mereka karena keduanya pernah mendapat bimbingan Sang Prabu Erlangga yang mengambil Mandari sebagai selir, dan Ki Patih Narotama yang menjadikan Lasmini sebagai selir terkasihnya. Empat orang sakti mandraguna tinggal di istana itu dan mereka sama sekali tidak boleh dipandang ringan, baik oleh Nurseta sekalipun! Di samping mereka berempat, dalam istana itu terdapat pasukan pengawal istimewa, terdiri dari lima losin prajurit pilihan!

Akan tetapi Nurseta harus mengambil keputusan untuk nekat menyusup ke dalam istana yang megah dan penuh bahaya itu karena kalau dia tidak berani nekat, bagaimana dia dapat memastikan apakah putera Ki Patih Narotama berada di istana ataukah tidak? Dia menunggu sampai datangnya malam gelap tanpa bulan.

Setelah malam gelap tiba, Nurseta mempergunakan kesaktiannya untuk menyelinap ke dalam istana Parang Siluman. Dengan Aji Sirna Sarira dan menggunakan kecepatan Aji Bayu Sakti, dia berhasil melewati para penjaga di luar istana. Tubuhnya berkelebat seperti bayangan sehingga dia dapat masuk tanpa terlihat oleh para penjaga yang banyak dan yang melakukan penjagaan ketat.

Malam itu gelap sekali. Dengan gerakan yang amat ringan dan gesit, seperti seekor monyet, Nurseta berlompatan ke atas wuwungan bangunan istana, mengintai dari atas dan memeriksa keadaan. Malam itu istana sudah sepi. Agaknya para penghuninya sudah tertidur karena waktu sudah tengah malam. Yang tampak hanya para prajurit pengawal yang mengadakan perondaan.

Nurseta tidak mau menangkap prajurit pengawal, untuk memaksanya mengaku di mana adanya Joko Pekik Satyabudhi. Dia maklum bahwa mereka yang diangkat menjadi prajurit pengawal istana pastilah orang yang memiliki kesetiaan tebal dan menaati atasannya sampai mati. Orang-orang seperti para prajurit pengawal istana itu tidak mungkin dapat dibujuk atau diancam. Dan kalau dia sudah menangkap seorang lalu gagal mengancamnya, hal itu bahkan merugikannya, dan mungkin akan menggagalkan penyelidikannya. Maka dia menanti dengan sabar, mencari kesempatan untuk turun ke bawah tanpa diketahui dan melanjutkan penyelidikannya di bawah, yaitu di sebelah dalam istana. Memang berbahaya baginya, akan tetapi kiranya tidak ada jalan lain.

Tiba-tiba mata Nurseta bersinar. Dia melihat seorang wanita setengah tua, dari pakaiannya dapat diduga bahwa wanita itu tentu seorang pelayan istana. Wanita ini lewat dengan perlahan, membawa sebuah baki berisi sebuah poci minuman dan cangkir. Nah, inilah kesempatan terbaik, piker Nurseta. Lebih mudah memaksa wanita pelayan Ini membuka mulut dan memberitahu kepadanya di mana adanya anak yang diculik itu daripada memaksa seorang prajurit pengawal.

Ketika wanita itu melewati sebuah lorong di mana tidak ada prajurit pengawal yang menjaga, tiba-tiba ia disergap oleh kedua tangan Nurseta yang kuat. Sekali tekan pada tengkuknya, wanita pelayan itu terkulai lemas, tidak mampu bersuara mau pun meronta lagi. Nurseta cepat mengambil baki agar jangan jatuh menimbulkan suara. Dia memanggul tubuh wanita itu dan membawanya melompat lagi ke atas wuwungan yang gelap. Setelah, menaruh baki dengan poci dan cangkir ke sudut wuwungan, dia menurunkan tubuh pelayan wanita itu, mendudukkan di atas wuwungan dan berkata lirih dekat telinganya.

"Jangan berteriak dan aku tidak akan mengganggumu. Kalau engkau berteriak, akan kulemparkan ke bawah sana!"

Wanita itu menggigil kengerian dan tidak berani menjerit ketika Nurseta mengurut tengkuknya sehingga ia mampu besuara dan bergerak lagi.

"Ampunkan hamba..." rintihnya lirih ketakutan.

"Katakan terus terang, di mana adanya putera Ki Patih Narotama yang diculik? Di mana dia dikeram? Hayo jawab sejujurnya kalau engkau ingin seIamat" hardik Nurseta sambil memegang kedua lengan wanita itu seolah-olah siap hendak melemparkan ke bawah!

"Ampun... anak itu... anak itu berada di sana..." Wanita itu menudingkan telunjuknya yang menggigil ke bawah.

"Di mana? Yang jelas!"

"Melalui lorong itu ke depan, lalu ada tikungan ke kanan dan dia berada di dalam sebuah kamar yang pintunya bercat hijau terbuat dari besi dan berterali. Anak itu tampak dari luar, akan tetapi dijaga ketat..."

"Engkau tidak bohong? Awas, kalau engkau bohong, aku akan kembali ke sini dan melemparmu ke bawah!"

"Hamba tidak berani berbohong..." Wanita itu meratap.!

Nurseta percaya bahwa wanita itu pasti tidak akan berani membohonginya, maka dia lalu menepuk lagi tengkuknya sehingga wanita itu terkulai, tidak dapat mengeluarkan suara dan tidak dapat bergerak lagi. Nurseta meninggalkannya di atas wuwungan, lalu dia melayang turun di bagian yang gelap. Kemudian dengan kecepatan Aji Bayu Sakti, Nurseta berkelebat mengikuti lorong seperti yang dikatakan pelayan tadi. Dia tiba di lorong yang berbelok. Dia menuju ke kanan dan benar saja, dari jauh dia melihat lima orang prajurit pengawal duduk di atas bangku panjang di depan sebuah kamar yang pintunya terbuat dari besi bercat hijau dan di bagian atasnya ada teralinya! Dengan jalan memutar dia dapat melihat kamar itu dari depan, agak jauh.

Dalam kamar yang tampak dari terali daun pintu tampak remang-remang karena hanya ada sebuah lampu kecil dalam kamar itu. Akan tetapi dia dapat melihat dengan jelas sebuah pembaringan kecil dan seorang anak kecil tidur di atas pembaringan itu, berselimut merah. Hatinya lega melihat ini. Joko Pekik Satyabudhi, putera Ki Patih Narotama, ternyata masih hidup dan dalam keadaan selamat dan melihat dia tertidur, tentu dia sehat-sehat saja.

Nurseta lalu membuat perhitungan masak sebelum bertindak lebih lanjut. Dia harus melumpuhkan lima orang prajurit yang berjaga di depan kamar tahanan itu. Dan hal ini harus dia lakukan dengan cepat dan tidak menimbulkan suara gaduh, karena kalau sampai terdengar oleh para tokoh sakti di istana dan mereka keburu datang, usahanya tentu akan gagal. Dia harus sudah dapat membawa anak itu sebelum para lawan tangguh muncul!

Nurseta lalu mengerahkan Aji Sirna Sarira sekuatnya dan tubuhnya lalu berkelebat ke depan kamar tahanan. Lima orang prajurit itu hanya melihat bayangan berkelabat. Mereka terkejut dan bangkit berdiri, akan tetapi tiba-tiba mereka roboh satu demi satu daiam keadaan pingsan tanpa sempat berteriak! Nurseta cepat mencari dan mengambil kunci dari saku baju seorang dari mereka, dan membuka gembok besar pada pintu besi itu. Dengan mudah dibukanya gembok itu, dibukanya pintu besi dan dia cepat masuk ke dalam kamar tahanan itu. Dia menghampiri pembaringan dan matanya terbelalak kaget ketika dia melihat bahwa yang tidur di atas pembaringan tertutup selimut merah itu hanya sebuah boneka!


"Ha-ha-ha-ha...!"

"He-he-heh...!"

"Hi-hi-hi-hik...!"

Nurseta menoleh dan membalikkan tubuhnya ke pintu mendengar suara tawa beberapa orang itu. Dia melihat betapa daun pintu besi itu ditutup dari luar dan digembok kembali. Dari terali pintu besi dia melihat mereka berempat berdiri di luar pintu sambil tertawa-tawa. Ratu Durgamala, Ki Nagakumala, Lasmini dan Mandari! Seketika mengertilah dia kini. Semua itu ternyata merupakan pancingan dan jebakan saja! Wanita pelayan tadi pun tentu dipergunakan sebagai pancingan dan mereka berhasil memancing dan menjebaknya! Di belakang empat orang tokoh Parang Siluman yang tertawa-tawa itu berdiri seregu pasukan pengawal, lengkap dengan senjata tombak, pedang, dan busur!

"He-he-he-heh! Nurseta, sejak engkau melewati gapura istana, kami sudah mengamati dan mengikuti semua gerak-gerikmu! He-he-heh!" Ratu Durgamala berkata sambil tersenyum mengejek. Ratu wanita yang sudah janda dan berusia empat puluh tahun lebih itu. masih tampak cantik jelita, berdiri di samping kedua puterinya itu ia tampak seperti kakak mereka saja.

Nurseta menjadi lemas! Kiranya mereka bukan saja berhasil menjebaknya, bahkan penyamarannya pun tidak dapat mengelabuhi mereka. Mereka sudah mengenalnya! Dia merasa penasaran sekali, namun dapat bersikap tenang ketika dia bertanya, "Hemm... harus ku akui bahwa Andika sekalian memang cerdik sekali. Akan tetapi bagaimana Andika dapat mengetahui siapa diriku?"

Ki Nagakumala yang menjawab. "Hmmm, apa sukarnya? Permainan anak kecil...! Biarpun penyamaranmu memang bagus sekali dan mula-mula kami tidak mengenalmu, akan tetapi ketika engkau bergerak, kami mengenal Aji Bayu Sakti dan Aji Sirna Sarira, bahkan kami dapat mengetahui bahwa engkau adalah utusan Ki Patih Narotama karena kami melihat Tongkat Pusaka Kyai Tunggul Manik yang berada di pinggangmu itu, Nurseta!"

Nurseta merasa kagum. Mereka itu cerdik dan licik, juga sakti mandraguna. Dia merasa seperti harimau dalam kurungan dan dapat menduga bahwa ruangan tahanan itu pasti kokoh kuat sekali. Pintu besi itu tampak kokoh dan dia menduga bahwa dinding tembok itu pun tentu dilapis besi. Kiranya tidak mungkin menjebol kamar tahanan itu. Mereka memang sudah mempersiapkan segalanya!

"Sudahlah, Kakang Nagakumala, untuk apa berpanjang cerita dengan orang ini? Dia terlalu berbahaya, sebaiknya dibinasakan sekarang juga!" kata Ratu Durgamala tak sabar karena ratu ini sudah maklum akan kesaktian Nurseta yang akan membahayakan kerajaannya.

"Engkau benar, Yayi Ratu." kata Ki Nagakumala lalu dia memberi perintah kepada dua lusin prajurit pengawalnya.

"Kalian kepung tempat ini dan pasang anak panah beracun. Hujani dia dengan anak panah beracun!"

Dua lusin prajurit itu maju dan bersiap di depan pintu besi yang lebar itu. Mereka mengambil posisi, ada yang berjongkok, ada yang berlutut dan ada yang berdiri menodongkan anak panah, merupakan tiga lapis, bawah, tengah, dan atas. Mereka sudah memasang anak panah yang ujungnya berwarna hijau kehitaman tanda racun yang amat kuat, pada busur mereka, siap untuk menarik tali busur dan melepas anak panah.

"Tahan...!" Tiba-tiba Lasmini berseru.

"Jangan bunuh dia sekarang!"

"Lasmini...! Mengapa engkau melarang?" tanya Ratu Durgamala heran. Juga Ki Nagakumala memandang Lasmini dengan alis berkerut. Seperti juga adiknya, dia berpendapat bahwa Nurseta merupakan ancaman bahaya besar bagi Parang Siluman, maka lebih cepat dibunuh lebih baik.

"Kanjeng Ibu, Mbakayu Lasmini benar...! Orang ini jangan dibunuh begitu saja. Terlalu enak dia kalau dibunuh begitu saja!"

"Hemm..., Lalu seharusnya bagaimana?" tanya Ratu Durgamala.

"Begini, Kanjeng Ibu." kata Lasmini sambil tersenyum simpul, "Lumpuhkan dia dengan asap pembius. Nanti aku dan Mandari yang akan menangani dan membereskan dia!"

Ratu Durgamala tentu saja maklum dan dapat membaca senyum simpul yang berkembang di bibir manis Lasmini dan Mandari. Kedua orang puterinya itu bukan hanya mewarisi kecantikannya, akan tetapi juga kelemahannya terhadap gairah nafsunya sendiri yang membuat wataknya menjadi mata keranjang. Ia pun tersenyum maklum dan segera memerintahkan kepada para prajurit.

"Lumpuhkan dia dengan asap pembius!"

Dua lusin prajurit itu mengganti busur anak panah mereka dengan alat penyemprot dari bumbung bambu. Nurseta tak dapat menemukan jalan untuk menghindar dari serangan. Dia tidak berdaya dan maklum bahwa menggunakan kekerasan takkan menolongnya. Dia tidak takut mati, bahkan dia lalu menghapus penyamarannya karena kalau dia sampai mati, dia ingin mati sebagai Nurseta, sebagai dirinya yang asli, bukan dalam penyamaran. Menyamar pun sekarang tidak ada gunanya lagi karena rahasianya sudah ketahuan. Segera setelah dua lusin prajurit itu menyemprotkan asap pembius yang berbau harum menyengat, dia melompat ke atas pembaringan kecil, duduk bersila dan memejamkan kedua matanya. Dia menahan panas agar tidak keracunan pembius.

Namun, segera kamar itu penuh asap dan kurang lebih satu jam kemudian, dia tidak dapat lagi menahan pernapasannya. Dia bernapas dan asap pembius memasuki rongga dadanya. Kepalanya terasa pening, semua gelap dan dia pun tidak ingat apa-apa lagi. Namun, badannya yang terlatih itu tetap duduk bersila walau pun dia pingsan!

Ketika siuman dari pingsannya, dan membuka matanya, Nurseta mendapatkan dirinya rebah telentang di atas sebuah pembaringan yang besar, lunak dan indah, dalam sebuah kamar yang mewah dan berbau harum. Dia memandang ke sekeliling. Di sebelah kiri terdapat sebuah jendela yang terbuka dan menembus ke sebuah taman yang penuh tanaman bunga. Ketika dia meraba dengan tangannya, dia mendapatkan badannya memakai pakaian baru yang indah. Mukanya dan rambutnya bersih bekas dicuci dan penyamarannya sudah hilang sama sekali. Dia teringat. Dia telah terjebak dalam kamar dan diserang asap pembius! Diraba pinggangnya. Tongkat Pusaka Tunggul Manik juga telah hilang! Tiba-tiba terdengar suara tawa di belakangnya.

"Hi-hi-hi-hik...!"

Nurseta cepat memutar tubuh dan dia melihat Lasmini dan Mandari muncul di pintu sambil memandang kepadanya dan terkekeh-kekeh. Dia marah sekali lalu melompat turun dengan niat menyerang dua orang wanita itu. Akan tetapi dia mengeluh dan tubuhnya terpelanting, terhuyung dan dia cepat menjatuhkan diri di atas pembaringan karena kalau tidak, dia tentu akan terbanting roboh di atas lantai. Seluruh tubuhnya terasa nyeri, tulang-tulangnya mengeluarkan bunyi ketika dia tadi mengerahkan tenaga sakti untuk menyerang dua orang wanita itu!

"He-he-he-heh! Bocah bagus (anak tampan), engkau akan mati kalau mencoba untuk mengerahkan tenaga dan melawan kami!" kata Mandari sambil tersenyum manis.

Sekali lagi Nutseta mencoba untuk mengerahkan tenaganya, namun rasa nyeri yang luar biasa membuat dia terpaksa duduk bersila di atas pembaringan dan menarik napas panjang.

"Apa yang telah kalian lakukan terhadap diriku?" tanyanya, tetap tenang walau pun dia tahu bahwa dia telah keracunan secara hebat sekali.

"Engkau ingin mengetahui, Nurseta? Tubuhmu telah kemasukan racun Perusak Tulang. Kalau engkau mau menaati kami, engkau akan kami beri obat penawar. Akan tetapi kalau engkau tidak mau menurut, dalam waktu satu bulan, tulang-tulangmu akan hancur dan tidak ada obat apa pun di dunia ini yang akan dapat menyelamatkanmu!" kata Lasmini sambil tersenyum dan mengerling penuh daya pikat.

Nurseta kini maklum mengapa Tongkat Pusaka Tunggul Manik mereka ambil darinya. Kalau tongkat itu masih tergantung di pinggangnya, tentu racun itu akan kehilangan dayanya.

"Menaati dan menurut bagaimana maksud kalian?" tanyanya, sikapnya tetap tenang.

Kakak beradik yang sama-sama cantik jelita itu saling padang dengan tersenyum. Mereka berdua sama-sama cantik walau pun kecantikan mereka berbeda, Lasmini berwajah bulat berkulit putih mulus, mata dan mulutnya penuh gairah, rambutnya panjang hitam dan lekuk-lengkung tubuhnya nyaris sempurna. Mandari berwajah agak lain, dengan dagu meruncing wajahnya menjadi bulat telur, anak rambut melingkar-lingkar di dahi dan pelipis, mulutnya kecil matanya lebar, hidungnya mancung indah. Biarpun kulitnya tidak seputih kulit Lasmini, namun halus dan jernih. Bentuk tubuhnya juga amat ramping dan padat. Sukar mengatakan siapa lebih menarik di antara kedua kakak beradik ini. Daya tarik kecantikan mereka sama-sama kuat dan menggairahkan karena sikap mereka yang menantang dan genit.

"Pertama, engkau harus membantu kami, memperkuat Kerajaan Parang Siluman." Kata Mandari sambil tersenyum lebar sehingga tampak deretan giginya yang putih seperti mutiara tersusun rapi.

"Hemm, kalau untuk melakukan kebaikan, mendatangkan kesejahteraan dan ketenteraman kehidupan rakyat, aku siap membantu kerajaan mana pun juga. Akan tetapi kalau untuk mengumbar angkara murka, apa lagi untuk memusuhi Kahuripan, tak mungkin aku dapat membantui kalian." jawab Nurseta tegas.

"Urusan pertama itu boleh ditunda dulu, akan tetapi sekarang engkau harus menuruti keinginan kami yang kedua, yaitu kita berpesta dan bersenang-senang dalam kamar kami ini. Engkau tentu akan suka menemani kami bersenang-senang, bukan?"

Nurseta sudah mengenal dua orang wanita itu, maklum bahwa kedua orang wanita bekas selir Sang Prabu Erlangga dan Ki Patih Narotama ini adalah hamba-hamba nafsu berahi. Dia maklum bahwa mereka mengajak dia berzinah.....!
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar