-------------------------------
----------------------------
"Paman, bagaimana Paman kini dapat tinggal di sini? Apa saja yang telah terjadi di Karang Tirta ini?" tanya Nurseta.
"Wah, banyak sekali yang telah terjadi, Anakmasl Sejak engkau datang ke sini dan menghajar Ki Lurah Suramenggala Itu, telah terjadi banyak hal yang mendatangkan perubahan besar di Karang Tirta."
"Ceritakanlah, Paman. Aku ingin sekali mendengarnya."
"Engkau tentu telah mengetahui bahwa Nyi Lasmi, ibu Puspa Dewi, telah menjadi selir Ki Suramenggala. Puspa Dewi telah pulang ke sini dan dia telah menjadi seorang gadis yang digdaya. Juga putera Ki Suramenggala yang bernama Linggajaya itu telah pulang dan dia pun menjadi seorang pemuda yang sakti. Akan tetapi dua orang muda yang sakti itu tidak lama berada di sini. Mereka pergi lagi dan sampai lama sekali tidak terdengar beritanya tentang mereka. Kemudian, semenjak puteranya pulang dan menjadi seorang pemuda digdaya, Ki Lurah Suramenggala menjadi semakin galak, kejam dan merajalela di dusun ini. Lalu pada suatu hari datang Gusti Patih Narotama."
"Gusti Patih Narotama? Datang ke Karang Tirta?"
"Benar, Anakmas. Dan terjadilah perubahan hebat yang membuat semua penghuni Karang Tirta bergembira. Karena sikap dan ulahnya yang jahat, Gusti Patih Narotama marah dan mencopot Ki Suramenggala dari kedudukannya sebagai lurah. Bahkan Ki Suramenggala yang sudah mati kutu dan takut kepada Gusti Patih Narotama, diusir keluar dari Karang Tirta oleh penduduk. Dia pergi meninggalkan dusun ini bersama keluarganya. Hanya Nyi Lasmi yang tidak mau ikut dan tetap tinggal di sini. Sebagai penggantinya, oleh Gusti Patih Narotama diangkat lurah baru, yaitu Ki Lurah Pujosaputro yang kemudian bersama keluarganya tinggal di rumah kelurahan, menggantikan Ki Suramenggala. Keluarga ini juga menampung Nyi Lasmi yang tinggal mondok di sana."
"Wah, perubahan yang baik sekali itu, Paman! Gusti Patih Narotama telah melakukan kebijaksanaan yang menggembirakan sekali!"
"Memang sebenarnya begitu, Nurseta. Kami semua hidup tenteram. Semua kekayaan Ki Suramenggala disita dan tanah-tanah yang dulu dirampasnya dari penduduk dikembalikan kepada pemiliknya dahulu. Rumah orang tuamu ini juga disita dan aku ditugaskan untuk menjaganya sampai engkau datang untuk diserahkan kembali kepadamu."
"Hemm, terima kasih, Paman. Untuk sementara biarlah Paman yang menempati rumah ini. Sekarang aku hendak menghadap Ki Lurah Pujosaputro yang kukenal dengan baik."
"Ah, Anakmas. Telah terjadi mala petaka besar menimpa keluarga Ki Lurah Pujosaputro"
"Eh, apa yang terjadi?"
"Sebaiknya kulanjutkan ceritaku tadi. Setelah Ki Lurah Pujosaputro memimpin dusun ini, kehidupan rakyatnya menjadi tenteram dan sejahtera. Akan tetapi pada suatu hari muncul Linggawijaya Dia mengamuk dan hendak membunuh Ki Lurah Pujosaputro sekeluarga, akan tetapi muncul Puspa Dewi yang menandinginya. Penduduk juga menyerbu hendak mengeroyok Linggajaya sehingga dia melarikan diri."
"Baik sekali kalau begltul" kata Nurseta, ikut merasa lega.
"Akan tetapi lalu terjadilah mala petaka itu. Puspa Dewi pergi ke kota raja, untuk mencari Ayah kandungnya dan muncullah orang-orang jahat suruhan Ki Suramenggala. Mereka itu ganas dan jahat sekali. Ki Lurah Pujosaputro sekeluarganya berikut para pelayan di rumah kelurahan itu mereka bunuh, hanya seorang pelayan saja yang lolos dari maut, sedangkan Nyi Lasmi dilarikan!"
"Ahh...! Gerombolan itu suruhan Ki Suramenggala?"
"Benar, Anakmas. Agaknya Ki Suramenggala membalas dendam, menyuruh bunuh lurah baru sekeluarganya dan menculik Nyi Lasmi. Kebetulan pada waktu Itu, Puspa Dewi bersama rombongan Ayah kandungnya beserta Ibu tirinya sekeluarga datang ke Karang Tirta."
"Ayah kandung Puspa Dewi?"
"Benar. Ayahnya adalah Senopati Yudajaya yang datang bersama istrinya yang ke dua dan puterinya, juga Ayah dan Ibu mertuanya. Ayah mertua Senopati Yudajaya itu adalah Tumenggung Jayatanu. Mendengar mala petaka yang menimpa keluarga Lurah Pujosaputro dan tercullknya Nyi Lasmi, Puspa Dewi melakukan pengejaran. Kemudian Adik tiri Puspa Dewi yang bernama Niken Harni juga melakukan pengejaran, disusul pula oleh Senopati Yudajaya yang membawa selosin perajurlt pengawal."
"Bagaimana hasilnya? Apakah mereka dapat menyelamatkan Nyi Lasmi?"
"Nyi Lasmi berhasil ditemukan dan diselamatkan. Ia pulang kesini bersama suaminya, yaitu Senopati Yudajaya dan menurut berita yang aku dengar, ternyata Nyi Lasmi diselamatkan oleh Gusti Patih Narotama sendiri. Kemudian, rombongan keluarga Senopati Yudajaya itu, termasuk pula Nyi Lasmi, meninggalkan Karang Tirta dan kembali ke Kahuripan."
"Sukurlah kalau begitu, keluarga Puspa Dewi dapat bersatu kembali dalam keadaan selamat."
"Tapi masih ada sebuah hal yang membuat keluarga itu khawatir, Anak mas Nurseta, yaitu Puteri Senopati Yudajaya yang merupakan Adik tiri Puspa Dewi itu."
"Yang bernama Niken Harni?"
"Ya, mendengar Adik tirinya mengejar gerombolan yang menculik Nyi Lasmi dan belum tampak kembali, Puspa Dewi lalu pergi mencarinya sedangkan semua keluarga bangsawan itu kembali ke Kahuripan."
"Hemm, dan sekarang, siapa pengganti lurah yang tewas itu?"
"Urusan ini akan dilaporkan Tumenggung Jayatanu ke Kahuripan, dan untuk sementara beliau menyarankan agar penduduk mengadakan pilihan sendiri dan mengangkat seorang lurah baru. Kami telah memilih Anakmas Prawiro, keponakan mendiang Ki Pujosaputro yang tadinya membantu pamannya sebagal carik, untuk menjadi lurah sementara sebelum ada keputusan dari Kahuripan."
"Terima kasih atas semua keterangan-mu itu, Paman. Sekarang, aku hendak menyampaikan keperluanku sendiri. Aku datang berkunjung kepadamu untuk minta tolong, Paman. Dulu Paman pernah menceritakan kepadaku tentang orang tuaku dan dari keterangan Paman itu aku sudah berhasil bertemu dengan Kakekku, yaitu Ayah dari Ibuku. Beliau adalah Eyang Senopati Sidukerta di Kahuripan. Akan tetapi Eyang juga sedang mencari-cari Ayah Ibuku itu dan sampai sekarang aku belum berhasil menemukan mereka..."
"Wah. sejak tadi aku sudah ingin menyampaikan hal ini. akan tetapi didahului bicara tentang mala petaka yang terjadi di Karang Tirta sehingga aku hampir lupa menceritakan padamu. Anakmas Nurseta. Kurang lebih sebulan yang lalu sebelum terjadi mala petaka itu, pada suatu senja aku kedatangan seorang laki-laki berusia sekitar tiga puluh tahun. Dia mengaku bernama Pakem dan datang dari Dusun Singojajar yang berada di kaki Gunung Semeru. Dusun ini termasuk daerah Kadipaten Wura-wuri. Si Pakem ini dating untuk bertanya tentang dirimu, Anakmas Nurseta. Dan dia ternyata diutus oleh Dharmaguna, Ayahmu..."
"Wah, Paman Tejomoyo! Mengapa tidak Andika ceritakan dari tadi?" Nurseta berseru sambil memegang pergelangan tangan Ki Tejomoyo sehingga orang tua itu mengaduh.
"Aduh, sakit...!"
"Ah, maafkan aku, Paman!" kata Nurseta sambil melepaskan pegangannya. "Saking kaget mendengar kejutan ini aku terlalu kuat memegang lenganmu. Lanjutkan ceritamu, Paman!"
"Tentu saja aku juga girang mendengar bahwa Si Pakem itu utusan Dharmaguna. Aku lalu menceritakan tentang dirimu, semua yang sudah kuketahui dan kudengar tentang dirimu. Aku juga mendengar dari Pakem itu, yang ternyata adalah seorang pembantu setia Ki Dharmaguna yang hidup sebagal petani, bahwa orang tuamu berada dalam keadaan sehat dan selamat."
"Aduh... terima kasih kepada Sang Hyang Widhi..., ah Paman Tejomoyo, Andika tidak tahu betapa membahagiakan hati mendengar ceritamu ini!"
"Aku tahu, Anakmas! Aku sendiri pun gembira sekali mendengar pengakuan Pakem itu. Akan tetapi agaknya orang tuamu itu masih merasa khawatir dan Pakem itu tidak berani bercerita banyak. Ketika aku bertanya tentang Ki Dharmaguna dan Nyi Endang Sawitri, dia mengatakan tidak tahu banyak tentang mereka, hanya mengatakan bahwa Ki Dharmaguna adalah seorang petani yang tinggal di dusun Singojajar di kaki Gunung Semeru. Bahkan dia lalu tergesa-gesa pergi setelah mendengar keterangan tentang dirimu, tidak mau menginap di sini walau pun kubujuk-bujuk."
"Wah, keterangan itu sudah lebih dari, cukup, Paman! Sekarang aku pamit, Paman!"
"Eh? Mengapa tergesa-gesa, Anakmas? Tinggalkan di sini, setidaknya menginaplah di sini. Ini sekarang telah dikembalikan kepadamu. Rumah ini milikmu."
"Lain kali saja, Paman. Terima kasih, aku harus pergi mencari orang tuaku di Singojajar sekarang juga!"
"Akan tetapi, tempat itu termasuk daerah Wura-wuri, Anakmas! Berbahaya sekali!"
Nurseta tersenyum dan bangkit dari tempat duduknya.
"Ayah Ibuku berada di sana juga tidak apa-apa, Paman Tejomoyo. Sekali lagi, aku sungguh merasa amat berterima kasih kepadamu. Paman telah memberi kabar yang teramat penting bagiku dan amat membahagiakan hatiku. Nah, aku pergi, Paman!"
Setelah berkata demikian, sekali berkelebat Nurseta sudah lenyap dari depan Ki Tejomoyo sehingga orang tua itu mengejar ke depan, akan tetapi sudah tidak melihat lagi bayangan Nurseta. Dia hanya berdiri terlongong dan kagum.
Nurseta memasuki wilayah Kerajaan Wura-wuri setelah melakukan perjalanan cepat dari Karang Tirta. Dia ingin sekali segera tiba di kaki Gunung Semeru, mencari ayah ibunya yang kabarnya tinggal di dusun Singojajar. Dia sudah membayangkan betapa akan bahagianya bertemu dengan ayah dan ibunya. Dia masih dapat membayangkan wajah ayah dan ibunya. Walau pun dua belas tahun lebih telah lewat sejak mereka meninggalkan dia, dia pasti akan mengenal mereka. Mungkin mereka akan tampak lebih tua, akan tetapi dia masih Ingat benar. Ayahnya, Dharmaguna, adalah seorang laki-laki yang berwajah tampan, berkulit bersih walau agak hitam, dan gerak-gerik serta tutur sapanya lembut halus.
Ibunya, Endang Sawitri, adalah seorang wanita cantik berkulit putih, seingatnya bertubuh ramping padat dan ibunya dahulu pandai menunggang kuda dan pandai pula menggunakan anak panah dan memiliki kegagahan. Ibunya pernah menceritakan betapa di waktu muda ibunya juga pernah mempelajari aji kanuragan. Tentu saja kini dia mengerti. Sebagai puteri seorang senopati, tentu saja ibunya juga sedikit banyak memiliki kegagahan.
Nurseta juga maklum akan bahayanya memasuki wilayah Wura-wuri. Wura-wuri adalah musuh bebuyutan Kahuripan dan beberapa tahun yang lalu pernah mencoba menyerang Kahuripan bersama para sekutunya. Namun penyerangan itu gagal: Karena dia sendiri terlibat dalam pertempuran itu, maka dia tentu dikenal oleh para tokoh Kerajaan atau Kadipaten Wurawuri. Kalau hal lni terjadi, tentu dia akan mengalami kesulitan untuk dapat bertemu dengan ayah ibunya, bahkan bukan itu saja bahayanya, melainkan lebih buruk lagi orang tuanya dapat terseret dan diganggu orang-orang Wura-wuri.
Dengan hati-hati Nurseta melakukan perjalanan menuju Gunung Semeru yang merupakan perbatasan antara Kadipaten Wurawuri dan Kerajaan Kahuripan. Dia memasuki daerah Wurawuri dari selatan maka perjalanan menuju Gunung Semeru masih cukup jauh. Dia selalu waspada. Kalau hanya bertemu penduduk biasa, dia tidak khawatir dikenal orang. Akan tetapi kalau bertemu dengan pasukan atau orang-orang berpakaian bangsawan atau perwira, dia selalu menyelinap agar tidak terlihat.
Pada suatu hari Nurseta keluar dari sebuah dusun dan berjalan di atas jalan umum di samping hutan. Dia merasa kagum juga melihat keadaan Kadipaten Wura-wuri. Keadaan rakyatnya tidaklah sengsara benar, dan orang-orang Wurawuri tampak tampan dan cantik. Dia memang pernah mendengar bahwa penduduk Wura-wuri memiliki wajah yang elok, sebaliknya orang-orang Wengker sebagian besar buruk rupa.
Selagi dia berjalan dengan santai dan waspada, tiba-tiba dia mendengar langkah kaki banyak kuda dari arah belakangnya. Cepat Nurseta menyelinap di balik pohon-pohon besar di tepi jalan dan mengintai untuk melihat siapa mereka yang berkuda itu. Tak iama kemudian dia melihat banyak orang berkuda menjalankan kuda mereka dengan santai. Agaknya mereka sengaja menjalankan kuda mereka perlahan-lahan karena kuda-kuda itu telah mandi keringat, agaknya telah melakukan perjalanan jauh yang melelahkan dan sekarang dijalankan perlahan untuk memberi kesempatan istirahat kepada kuda-kuda itu.
Ketika rombongan tiba dekat, Nurseta terkejut. Yang menunggang kuda di depan adalah seorang wanita dan seorang pria. Wanitanya berpakaian gemerlapan mewah sekali, usianya sekitar dua puluh delapan tahun, tubuhnya ramping padat, wajahnya cantik jelita akan tetapi mata dan mulutnya membayangkan kegenitan, kulitnya agak hitam manis. Dia tidak mengenal wanita itu. Akan tetapi tentu saja dia mengenal laki-laki yang menunggang kuda di dekat wanita itu.
Resi Bajrasakti, dia tak salah lagi. Biarpun sudah sekitar enam tahun dia tidak melihat kakek tinggi besar dan mukanya penuh brewok, kulitnya hitam dan wajahnya kasar dan bengis itu, dia tidak dapat melupakannya. Resi Bajrasakti ini yang dulu bersama Nyi Dewi Durgakumala hendak merampas keris pusaka Megatantra dan mereka berdua dikalahkan gurunya, mendiang Empu Dewamurti.
Begitu mengenal Resi Bajrasakti, Nurseta teringat akan pesan Sang Bhagawan Ekadenta, agar dia berhati-hati terhadap Wengker karena permaisuri Wengker yang bernama Dewi Mayangsari diambil murid Nini Bumigarbo. Resi Bajrasakti adalah tokoh Wengker, maka wanita cantik yang pakaiannya amat mewah ini mungkin sekali Dewi Mayangsari permaisuri Wengker yang diambil murid Nini Bumigarbo itu!
Di belakang kedua orang ini terdapat pasukan yang rata-rata bertubuh tinggi besar dan kokoh kuat, sebanyak dua losin orang prajurit. Tidak salah lagi, mereka itu tentu para prajurit Wengker yang mengawal permaisuri Wengker dan Resi Bajrasaktl itu. Akan tetapi mengapa orang-orang penting Kadipaten Wengker memasuki daerah Wura-wuri? Tidak aneh, pikirnya.
Memang dua kadipaten besar itu bersama kadipaten-kadipaten kecil seperti Kerajaan Parang Siluman dan Kerajaan Siluman Laut Kidul mempunyai hubungan dan mereka pernah bekerja sama untuk memusuhi Kerajaan Kahuripan.
Dia tetap bersembunyi sampai rombongan itu lewat. Dia dapat menduga bahwa mereka itu pasti hendak berkunjung kepada Raja Wura-wuri, entah dengan maksud apa. Diam-diam dia memikirkan apa yang terjadi dengan adik perempuan tiri Puspa Dewi yang bernama Niken Harni yang melakukan pengejaran terhadap mereka yang menculik Nyi Lasmi.
Mungkin sekali Niken Harni mengejar ke daerah Wengker karena bukankah para penculik itu orang-orang dari Wengker? Dan tentu saja Puspa Dewi yang mencari adiknya itu pun besar kemungkinan pergi ke Wengker. Apakah kepergian para tokoh Wengker ke Wura-wuri ini ada hubungannya dengan Puspa Dewi dan Niken Harni?
Nurseta melanjutkan perjalanan menuju Gunung. Semeru. Karena yang dia datangi merupakan daerah yang asing baginya, maka perjalanannya tidak dapat cepat. Dia harus bertanya-tanya dalam perjalanan dan untuk bertanya pun dia harus memandang orangnya, karena kalau bertanya kepada orang yang keliru, dapat menimbulkan kecurigaan yang hanya akan mengganggu pencariannya…..
********************
Kita tinggalkan dulu Nurseta yang sedang melakukan perjalanan mencari orang tuanya dan kita tengok keadaan di dusun Singojajar yang berada di kaki Pegunungan Semeru. Singojajar merupakan sebuah dusun yang tanahnya subur sekali sehingga kehidupan penduduk dusun sebagai petani cukup sejahtera, walau pun sederhana namun bagi mereka cukup adil dan makmur. Adil karena di antara mereka tidak ada yang kekurangan dan setiap kali ada yang didesak kebutuhan mendadak, mereka yang kelebihan selalu siap mengulurkan tangan membantu. Dan makmur bagi orang-orang bersahaja itu karena mereka telah dicukupi tiga kebutuhan pokok mereka, yaitu sandang, pangan dan papan.
Di ujung dusun itu terdapat sebuah rumah yang sedang namun terawat baik dan tampak mungil dan kokoh, mempunyai halaman depan yang ditanami bunga-bunga dan pohon-pohon buah. Di belakang rumah terdapat kebun sayur yang cukupi luas. Ini adalah rumah tempat tinggal Ki Dharmaguna bersama isterinya, Endang Sawitri. Ki Dharmaguna adalah seorang pria tampan yang lemah lembut, sikapnya sederhana, ramah dan sabar.
Usianya sekitar empat puluh lima tahun, namun rambutnya sudah bercampur uban karena selama setengah dari usianya dia mengalami banyak penderitaan batin. Isterinya Nyi Endang Sawitri, adalah seorang wanita cantik dan lembut pula, anggun dan gerak-geriknya gesit. Wanita ini berusia sekitar empat puluh tahun. Ia pun mengalami banyak penderitaan batin seperti suaminya sehingga walau pun ia tergolong cantik, namun sinar matanya sayu.
Riwayat suami isteri ini memang menyedihkan. Endang Sawitri adalah puteri tunggal dari Senopati Sindukerta, seorang di antara senopati terkenal dari Kahuripan, dan ia amat disayang orang tuanya. Ketika ia berusia tujuh belas tahun, gadis bangsawan ini saling jatuh cinta dengan Dharmaguna, seorang pemuda putera mendiang Ki Jatimurti, seorang pendeta yang miskin.
Senopati Sindukerta dan isterinya tidak setuju mempunyai mantu seorang pemuda putera pendeta miskin. Mereka mendambakan mantu seorang priyagung (bangsawan tinggi) yang akan membuat puteri mereka hidup terhormat. Akan tetapi, hubungan cinta antara Endang Sawitri dan Dharmaguna sudah sedemikian kuatnya sehingga mereka berdua nekat minggat meninggalkan Kahuripan.
Senopati Sindukerta marah sekali kepada Dharmaguna yang dianggap menculik dan melarikan anak tunggalnya. Dia mengerahkan pasukan melakukan pengejaran dan pencarian, namun semua usahanya itu sia-sia belaka. Endang Sawitri dan Dharmaguna yang sudah menjadi suami isteri itu melarikan diri dan bersembunyi dengan cara berpindah-pindah tempat.
Setahun kemudian, Endang Sawitri melahirkan seorang anak yang mereka beri nama Nurseta. Bahkan setelah mempunyai seorang anak, mereka tetap berpindah-pindah untuk menghilangkan jejak. Ketika Nurseta berusia tiga tahun, suami isteri ini tinggal di dusun Karang Tirta. Selama tiga tahun, sampai Nurseta berusia enam tahun, mereka hidup tenteram di Karang Tirta, tidak pindah-pindah lagi karena tidak terdapat tanda-tanda bahwa para utusan Senopati Sindukerta mencari mereka sampai ke dusun itu.
Akan tetapi pada suatu hari, mereka mendengar bahwa Ki Lurah Suramenggala, lurah dusun Karang Tirta mengirim utusan ke Kahuripan untuk melaporkan kehadiran mereka kepada Senopati Sindukerta. Tentu saja suami isteri ini terkejut dan ketakutan. Mereka takut akan hukuman, dibunuh pun mereka tidak takut. Yang mereka takuti hanya kalau mereka sampai dipaksa untuk saling berpisah!
Maka, mendengar akan laporan Ki Lurah Suramenggala kepada Senopati Sindukerta, Ki Dharmaguna dan Nyi Endang Sawitri menjadi ketakutan dan mereka berdua segera melarikan diri dari Karang Tirta. Setelah suami isteri ini merundingkan masak-masak, mereka sengaja meninggalkan anak mereka Nurseta yang telah berusia sepuluh tahun karena mereka tidak ingin anak mereka yang tercinta itu ikut menjadi buronan yang dikejar-kejar.
Mereka meninggalkan Nurseta di Karang Tirta, lalu lari pindah ke lain dusun yang jauh. Karena ketakutan, mereka kembali berpindah-pindah dari dusun ke dusun, dari gunung ke gunung. Akhirnya, lima tahun yang lalu mereka sengaja melarikan diri ke kaki Gunung Semeru yang termasuk tapal batas antara Kahuripan dan Wura-wuri, bahkan masih termasuk wilayah Wura-wuri.
Mereka yakin bahwa para utusan Senopati Sindukerta pasti tidak akan mencari mereka ke dalam wilayah Wura-wuri! Mereka berdua merasa tenteram hidup di dusun Singojajar di kaki Pegunungan Semeru yang menjulang tinggi menembus awan itu. Hanya satu hal yang membuat mereka merasa berduka dan mereka berdua kerap kali menangis kalau teringat akan hal itu. Mereka dapat saling menghibur dan dalam kedukaan yang dipikul bersama itu, cinta kasih antara
suami isteri ini menjadi semakin kokoh. Yang membuat mereka berduka adalah kalau mereka teringat akan Nurseta, putera mereka.
Setelah merasa keadaan mereka kini aman, pada suatu hari, kurang lebih dua bulan yang lalu, Ki Dharmaguna mengutus pembantunya, Pakem, yang biasa membantunya bertani, untuk pergi melakukan perjalanan ke Karang Tirta. Suami Isteri itu menyuruh Pakem untuk menemui Ki Tejomoyo di Karang Tirta dan minta keterangan kepada Ki Tejomoyo tentang anak mereka Nurseta.
Pada sore hari itu, Ki Dharmaguna dan Nyi Endang Sawitri duduk santai di pendopo rumah mereka, berhadapan terhalang meja di mana terdapat minuman air teh dan nyamikan (makanan kecil) keripik pisang yang tadi dihidangkan Nyi Endang Sawitri. Sambil makan nyamikan dan minum air teh, mereka bercakap-cakap. Memang sudah menjadi kebiasaan suami isteri ini, setiap sore setelah berhenti bekerja di sawah ladang, mereka minum teh dengan makanan kecil sambil bercakap-cakap. Akan tetapi sekali ini, wajah mereka tidak tampak tenang seperti biasanya kalau mereka duduk berdua seperti itu. Wajah mereka bahkan tampak tegang dan alis mereka berkerut.
"Kakangmas, mengapa Pakem belum juga pulang?"
"Itulah Diajeng, yang membuat aku tidak bisa tidur nyenyak selama beberapa hari ini. Aku sungguh merasa heran mengapa sampai dua bulan Pakem belum juga pulang. Padahal menurut perhitunganku, jarak antara Singojajar ini dan Karang Tirta dapat ditempuh dengan berkuda selama setengah bulan, jadi pulang pergi hanya membutuhkan waktu satu bulan saja. Akan tetapi sampai hari ini, sudah hampir dua bulan dan dia belum juga datang. Aku khawatir terjadi sesuatu yang buruk..."
"Kakangmas, bersabarlah jangan membayangkan yang buruk-buruk. Siapa tahu, Pakem mendengar bahwa anak kita itu telah pindah ke tempat lain sehingga pakem pergi mencarinya. Alangkah akan gembira dan bahagianya hati kita kalau Pakem pulang bersama anak kita!"
"Wah, kalau begitu memang bagus sekali, Diajeng. Mudah-mudahan saja perkiraanmu itu benar."
"Wah, kalau aku membayangkan pertemuan kita dengan Nurseta, Kakangmas! Apakah kita akan dapat mengenalnya? Seperti apa dia sekarang? Jantungku berdebar penuh ketegangan kalau aku ingat dan membayangkan pertemuan itu!"
"Dia tentu sudah dewasa sekarang, Diajeng. Ketika kita meninggalkannya, dia berusia sepuluh tahun, dan kurang lebih dua belas tahun telah lewat sejak kita lari dari Karang Tirta."
"Ah, dia sekarang tentu telah menjadi seorang pemuda berusia dua puluh dua tahun! Telah dewasa. Siapa tahu dia telah mempunyai isteri dan anak, Kakangmas!" Suara wanita itu mengandung getaran keharuan.
"Hemm, kalau begitu engkau akan menjadi Eyang puteri (Nenek) dan aku menjadi Eyang kakung (Kakek)!" kata Ki Dharmaguna, sengaja berkelakar untuk menghibur hati isterinya.
Agak terhibur hati suami isteri itu membayangkan bahwa mereka akan bertemu dengan putera mereka tercinta. Kalau dahulu mereka meninggalkan Nurseta yang berusia enam tahun di Karang Tirta, hal itu mereka lakukan justru karena mereka mencinta putera mereka. Biarpun hati mereka hancur harus meninggalkan anak mereka, namun mereka terpaksa melakukannya karena mereka tidak ingin melihat anak mereka ikut menjadi buronan. Kalau mereka tertangkap, biarlah mereka berdua saja yang menerima hukuman dari Senopati Sindukerta. Anak mereka jangan sampai ikut tertangkap dan dihukum.
Selagi mereka termenung membayangkan peristiwa membahagiakan itu, tiba-tiba terdengar keluhan di halaman rumah. Mereka memandang dan suami isteri itu cepat bangkit berdiri dan memandang dengan mata terbelalak. Orang yang ditunggu-tunggu itu datang.
"Pakem...!" Nyi Endang Sawltri berseru. Mereka lalu menuruni pendopo untuk menyambut pembantu mereka itu.
Pakem melangkah menghampiri mereka. Mukanya bengkak-bengkak dan matang biru, langkahnya terhuyung setengah merangkak dengan menyeret kakinya, kedua lengannya tergantung mati.
"Pakem! Engkau mengapa...?" Ki Dharmaguna bertanya, terkejut bukan main.
Setelah tiba di depan suami isteri itu, Pakem berkata dengan napas terengah-engah dan suara terputus-putus.
"...Nurseta... hidup... saya... saya ditangkap... disiksa... aduhhh...!" Pakem terguling roboh dan ketika suami isteri itu memeriksanya, ternyata pembantu mereka itu tewas.
"Pakem..." Ki Dharmaguna berjongkok memeriksa keadaan tubuh pembantunya dan mendapatkan kenyataan bahwa tubuh itu penuh dengan luka bekas siksaan. Bahkan kedua lengannya agaknya tidak dapat digerakkan karena patah-patah tulangnya! Sementara itu, Nyi Endang Sawitri yang mencium adanya ancaman bahaya, sudah lari memasuki rumah lalu keluar lagi sambil membawa sebatang tombak. Dahulu ia menerima latihan bersilat dengan tombak dari ayahnya yang senopati dan ahli bermain tombak.
Suami isteri ini cepat bangkit berdiri dan memandang ketika terdengar suara tawa menyeramkan dan dua orang memasuki halaman rumah mereka. Suami isteri itu memandang penuh perhatian. Tadinya mereka mengira bahwa tentu para pesuruh Senopati Sindukerta yang datang untuk menangkap mereka.
Akan tetapi Nyi Endang Sawitri tidak mengenal mereka, Yang seorang bertubuh tinggi besar, mukanya penuh brewok, rambutnya gimbal, wajahnya bengis dan kulitnya hitam. Akan tetapi pakaiannya mewah sekali seperti seorang bangsawan. Usianya sekitar lima puluh lima tahun dan tangannya memegang sebatang cambuk bergagang gading.
Orang kedua seorang laki-laki tampan gagah berusia sekitar dua puluh delapan tahun. Tubuhnya tinggi tegap dan pakaiannya juga mewah sekali. Di pinggangnya tergantung sebatang pedang. Orang ini tersenyum menyeringai dan matanya liar memandang wajah Nyi Endang Sawitri yang masih cantik menarik dengan bentuk tubuh yang ramping padat.
"He-he-he! Apakah Andika yang bernama Dharmaguna dan Endang Sawitri,, Ayah dan Ibu dari Nurseta?" tanya kakek itu dengan suaranya yang besar.
Mendengar kakek itu mengenal mereka dan putera mereka, Ki Dharmaguna menjawab. "Benar sekali. Andika berdua siapakah, Kisanak dan ada keperluan apakah Andika dating berkunjung?"
"Hemm, Dharmaguna! Kalau engkau ingin bertemu dengan Nurseta, ikutlah dengan kami!" kata Kakek itu.
"Dan engkau, Endang Sawitri, juga harus ikut!" kata pula kawannya yang muda, tampan, dan tinggi tegap, sambil tersenyum dan matanya mengamati Endang Sawitri dari kepala sampai ke kaki.
"Katakan dulu siapa kalian dan di mana anak kami Nurseta!" kata Endang Sawitri dengan sikap gagah sambil melintangkan tombaknya.
"Heh-heh-heh, kalian ikut sajalah kalau kalian tidak ingin anak kalian itu kami bunuh seperti pembantumu itu!" Kakek itu menuding ke arah jenazah Pakem yang masih menggeletak diatas tanah.
Wajah Dharmaguna menjadi gelisah mendengar ancaman kepada puteranya itu.
"Diajeng... mari kita ikut mereka..!"
"Tidak!" Endang Sawitri berkata tegas "Aku tidak percaya kepada kalian berdua! Katakan dulu siapa kalian dan dimana adanya Anak kami!"
"Ha-ha, mau atau tidak mau kalian harus ikut dengan kamil" kata laki-laki yang muda dan dia sudah melangkah maju menghampiri Endang Sawitri sambil berkata kepada temannya yang tinggi besar brewok. "Paman, biarkan aku menangkap wanita Ini dan Andika menangkap yang pria!"
Setelah berkata demikian, laki-laki itu bergerak cepat hendak menubruk dan menelikung Nyi Endang Sawitri. Wanita itu menggerakkan tombaknya, menyambut lawan dengan tusukan tombaknya. Endang Sawitri pernah mempelajari ilmu tombak dari ayahnya, akan tetapi karena selama belasan tahun ia tidak pernah berlatih, maka gerakannya kurang kuat dan kurang cepat.
Padahal, lawannya adalah seorang yang memiliki tingkat kepandaian tinggi. Maka, sambil terkekeh dia miringkan tubuh mengelak. Ketika tombak lewat, dia menangkap tombak itu, menarik dengan sentakan sehingga tubuh Nyi Endang Sawitri terhuyung ke depan. Tombak terampas dan lawan itu sudah merangkul dan memeluk tubuh Nyi Endang Sawitri sehingga wanita itu tidak mampu melepaskan dirinya lagi. la meronta-ronta.
"Keparat Lepaskan aku..., lepaskan...!" Ia mencoba untuk melepaskan kedua lengannya yang ditelikung dan menyepak-nyepak dengan kakinya. Namun lawan terlampau kuat sehingga ia tidak berdaya sama sekali.
"Lepaskan isteriku!" Ki Dharmaguna membentak dan maju.
Akan tetapi sebuah tendangan kaki laki-laki yang lebih tua membuat tubuhnya terpental jauh. Sebelum dia bangkit lagi, dia pun sudah ditelikung oleh kakek tinggi besar brewok itu. Suami isteri ini ditangkap dan ditarik keluar dari halaman rumah. Sebuah kereta yang ditarik dua ekor kuda dating diiringkan dua losin prajurit Wura-wuri. Melihat banyaknya orang yang menangkap mereka, Ki Dharmaguna dan Nyi Endang Sawitri maklum bahwa akan percuma saja melakukan perlawanan.
Mereka hendak melihat apa yang selanjutnya yang akan terjadi. Orang-orang itu tadi mengatakan bahwa kalau mereka ikut dengan orang-orang itu, mereka akan dapat bertemu dengan Nurseta. Benarkah itu? Ada rahasia apa di balik paksaan untuk ikut itu? Dan Ikut ke mana? Mereka tidak membantah ketika disuruh memasuki kereta. Kereta lalu bergerak meninggalkan dusun Singojajar. Para penduduk yang keluar menonton berdiri dengan hormat ketika mengenal bahwa pasukan Itu adalah pasukan Wura-wuri.....