Jejak Dibalik Kabut Jilid 29

Dengan nada berat pemimpin sekelompok prajurit itu pun kemudian memberikan perintah kepada para prajurit, “Siapa pun mereka, bawa mereka ke barak. Kita akan memeriksa mereka di barak nanti”

Tetapi sebelum para prajurit itu bergerak, Pangeran Benawa telah maju beberapa langkah sambil berkata lantang, “Tangkap anak-anak muda itu”

Para prajurit itu terkejut. Pemimpin sekelompok prajurit itu justru tercenung sejenak. Sementara Pangeran Benawa berkata lantang, “Tangkap mereka. Kalian dengar perintahku”

Pemimpin prajurit itu mengerutkan dahinya. Diamatinya Pangeran Benawa dengan seksama. Ia pernah melihat dan mengenal orang itu.

Ketika Pangeran Benawa menunjuk kepada anak-anak muda yang kebingungan itu, perwira itu pun tiba-tiba menyadari bahwa yang berdiri di hadapannya itu adalah Pangeran Benawa.

Namun sebelum ia mengucapkan sesuatu, Pangeran Benawa yang mengerti bahwa perwira itu dapat mengenalinya segera berkata, “Siapa pun aku, tetapi dengar perintahku”

Perwira itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun berpaling kepada prajurit-prajuritnya sambil meneriakkan perintah, “Tangkap anak-anak muda itu”

Ki Demang, Ki Jagabaya dan Ki Kamituwa menjadi bingung. Dengan gagap Ki Kamituwa itu pun berkata, “Bukan mereka yang menjadi pengikut Harya Wisaka. Tetapi ketiga orang serta gadis itu”

“Aku tidak peduli apakah mereka pengikut Harya Wisaka atau bukan. Seandainya mereka bukan pengikut Harya Wisaka, mereka sama jahatnya dengan para pengikut Harya Wisaka itu. Mereka telah berniat untuk membawa gadis itu. Bukan untuk mendapat pertolongan, tetapi justru karena kebuasan mereka”

Tidak seorang pun sempat melarikan diri. Para prajurit itu bergerak dengan cepat sambil mengacukan senjata mereka.

“Tangkap pula Kamituwa itu”

“Kenapa? Kenapa aku harus ditangkap?” bertanya Kamituwa itu dengan gagap.

“Kau telah memfitnah. Kau sebut kami pengikut Harya Wisaka bukan karena kau curiga terhadap kami. Tetapi karena kau sudah terlanjur membela anakmu yang mabuk itu”

Ki Demang yang kebingungan itu tiba-tiba bertanya, “Siapakah kau sebenarnya sehingga perintahmu dipatuhi oleh para prajurit”

“Kau tidak perlu tahu” jawab Pangeran Benawa, “yang penting, awasi lingkunganmu. Kau lihat bahwa anak-anak muda itu adalah anak-anakmu”

“Aku demang yang memimpin daerah ini. Aku harus tahu pasti apa yang terjadi disini”

“Kau percaya bahwa yang datang ini sekelompok prajurit?”

Ki Demang termangu-mangu.

“Biarlah mereka melaksanakan tugas mereka dengan baik”

Ki Demang dan Ki Jagabaya tidak dapat mendesak. Mereka hanya berdiri termangu-mangu ketika para prajurit menangkap anak-anak muda itu serta sekaligus Ki Kamituwa.

Sementara itu beberapa orang prajurit memang bertanya-tanya di dalam hati. Namun sebagai prajurit mereka mematuhi perintah perwira yang memimpin mereka.

Ketika para prajurit itu sudah siap untuk membawa anak-anak muda dan Ki Kamituwa bersama mereka ke barak, perwira yang memimpin sekelompok prajurit itu telah menghadap Pangeran Benawa sambil berdesis perlahan, “Kami menunggu perintah”

“Bawa mereka ke barak. Nanti aku akan menemui mereka”


“Hamba, Pangeran”

“Jangan sebut di hadapan mereka”

“Hamba, Pangeran”

“Pergilah”

Perwira itu pun segera memberikan perintah kepada para prajuritnya untuk segera bergerak.

Namun beberapa orang anak muda mulai merengek. Seorang di antara mereka menangis, “Tolong aku, Ki Demang. Ibuku akan mencari aku”

Tetapi Pangeran Benawa lah yang menyahut, “Beritahu ibunya, bahwa anaknya telah mabuk dan hampir saja terjerumus ke dalam tindak nista yang akan membuat namanya cacat seumur hidup. Beritahu bahwa anak itu sekarang berada di barak prajurit di ujung jalan yang menuju ke pintu gerbang samping”

Ki Demang berdiri termangu-mangu. Sementara anak itu masih saja menangis, “Ki Jagabaya, tolong aku. Aku tidak ikut-ikutan mereka untuk membawa gadis itu”

“Mulutmu masih berbau tuak” sahut Pangeran Benawa.

Para prajurit tidak menghiraukan tangisnya. Ki Demang dan Ki Jagabaya tidak dapat berbuat apa-apa. Sementara Ki Kamituwa pun telah ikut bersama para prajurit itu pula.

Demikian mereka menghilang di tikungan, maka Pangeran Benawa itu pun kemudian berkata kepada Paksi, “Bawa adikmu pulang”

Paksi tidak menyahut. Nampaknya Pangeran Benawa tidak ingin dirinya dikenali oleh Ki Demang, Ki Jagabaya dan orang-orang yang berada di tempat itu.

Ketika Paksi akan mendukung adiknya, maka adik perempuannya itu pun berkata, “Aku dapat berjalan sendiri, Kakang”

“Kau masih sangat lemah”

“Tidak. Aku sudah baik sekarang”

“Kau tadi pingsan”

“Aku hanya ketakutan”

Pangeran Benawa pun kemudian berkata kepada Ki Demang, “Kami minta diri. Lain kali hati-hati dengan anak-anak mudamu itu, Ki Demang. Hampir saja gadis ini menjadi korban mereka seandainya kami terlambat datang”

Ki Demang tidak menjawab. Dipandanginya Pangeran Benawa, Raden Sutawijaya dan Paksi berganti-ganti. Sementara itu Raden Sutawijaya itu pun mendekatinya sambil berdesis, “Jangan bingung, Ki Demang. Urusi saja anak-anakmu yang nakal itu. Jika Ki Kamituwa pulang, beritahu bahwa sebaiknya ia tidak perlu membuat kesaksian palsu seperti itu”

Ki Demang masih saja kebingungan. Namun Raden Sutawijaya, Pangeran Benawa dan Paksi tidak menghiraukannya lagi. Mereka pun segera meninggalkan tempat itu. Paksi melangkah perlahan-lahan sambil membimbing adik perempuannya.

Demikian mereka memasuki halaman rumahnya, maka ibunya yang masih duduk menunggu di Pringgitan segera menghambur turun ke halaman.

Dipeluknya anak gadisnya sambil menangis. Demikian pula adik perempuan Paksi itu pun menangis pula.

“Sudahlah” berkata Paksi, “marilah, kita duduk pula di pringgitan”

Sejenak kemudian, mereka telah duduk bersama-sama di pringgitan. Seorang pembantu Nyi Tumenggung menghidangkan minuman hangat bagi mereka yang nampak letih lahir dan batinnya.

“Apa yang dilakukan kakakmu atasmu, Ngger?” bertanya Nyi Tumenggung dengan suara bergetar.

“Aku diseret, Ibu. Aku sangat ketakutan. Setiap kali Kakang mengancam akan membunuh jika aku berteriak. Sehingga akhirnya aku pingsan. Aku tidak tahu apa yang terjadi kemudian. Ketika aku sadar, aku melihat Kakang Paksi di sebelahku”

Nyi Tumenggung memandang Paksi sejenak. Namun Paksi pun berkata kepada adiknya, “Sekarang pergilah ke pakiwan. Mandi dan berganti pakaian agar kulitmu tidak menjadi gatal”

Gadis yang tumbuh remaja itu mengangguk kecil. Katanya, “Aku mandi dahulu, Ibu”

Ibunya mengangguk. Katanya, “Mandilah, biar tubuhmu menjadi segar”

Adik perempuan Paksi itu memang ragu-ragu ketika ia masuk ke pakiwan. Rasa-rasanya kakaknya yang telah menyeretnya itu masih saja berada di sekitarnya. Namun ketika ia melihat seorang pembantunya laki-laki sedang membelah kayu tidak jauh dari pakiwan, maka gadis itu pun menjadi lebih berani.

Baru ketika adik perempuannya meninggalkan pringgitan, Paksi menceriterakan apa yang hampir saja terjadi atas adik perempuannya itu.

“Yang Maha Agung masih melindunginya” terdengar suara Nyi Tumenggung itu sendat. Lalu katanya, “Terima kasih, Pangeran, terima kasih Raden, bahwa Pangeran dan Raden telah membantu Paksi menyelamatkan adik perempuannya”

“Paksi lah yang telah melakukannya, Bibi” desis Pangeran Benawa.

“Tentu bukan hanya Paksi” suaranya merendah. “Tetapi kenapa kakaknya tiba-tiba menjadi liar seperti itu?”

“Ciri para pengikut Harya Wisaka, Bibi. Menurut mereka, apa pun dapat mereka korbanku bagi perjuangan mereka. Mereka dibenarkan untuk melakukan segala macam cara untuk memenangkan perjuangan, meskipun cara itu bertentangan dengan nilai-nilai serta tatanan kehidupan” desis Raden Sutawijaya.

“Mereka adalah orang-orang yang tersesat. Seperti Ki Tumenggung Sarpa Biwada yang tidak lagi menghargai hidupnya sendiri. Kakang Tumenggung telah meletakkan harga perjuangannya di atas segala-galanya”

“Mereka memang orang-orang yang pantas dikasihani, Bibi. Tetapi mereka sendiri menyatakan dirinya dengan bangga atas perjuangannya yang tidak lagi menghiraukan tatanilai dan tatanan kehidupan. Mereka menganggap telah berjuang tanpa pamrih bagi tujuan yang agung”

“O” Nyi Tumenggung itu menarik nafas dalam-dalam. Dirinya sendiri telah terperangkap di dalam lingkungan perjuangan yang agung itu. Suaminya dan seorang anaknya adalah pengikut dari Harya Wisaka yang telah menebarkan racun yang ganas itu. Sekilas Nyi Tumenggung itu teringat kepada suaminya yang berada di dalam bilik tahanan. Nampaknya sulit bagi Ki Tumenggung untuk dapat berpikir dengan bening. Apalagi Ki Tumenggung termasuk salah seorang pemimpin di lingkungan para pengikut Harya Wisaka.

Dalam pada itu, setelah selesai mandi dan berbenah diri, maka adik perempuan Paksi itu pun telah berada di pringgitan kembali. Sementara itu ibunya pun dengan cemas bertanya kepada Paksi, “Apakah adikmu laki-laki itu akan kembali, Paksi?”

“Maksud Ibu, kembali pulang?”

“Tidak. Kembali untuk mengambil adik perempuanmu ini?”

“Tidak, Ibu. Aku yakin tidak. Jika ia membawanya, itu karena ia sekedar ingin menyelamatkan diri. Ia tidak akan mencelakakan adiknya. Jika saja ia melihat apa yang hampir saja terjadi, ia tentu juga akan menolongnya”

Ibunya mengangguk-angguk. Desisnya, “Semoga dugaanmu itu benar, Paksi”

“Nampaknya dugaan Paksi itu benar, Bibi” berkata Raden Sutawijaya kemudian.

Ibu Paksi itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian, “Sekarang, aku minta kau tinggal bersamaku, Paksi”

“Ya, Ibu. Aku tidak berkeberatan. Tetapi aku mohon waktu. Aku, Pangeran Benawa dan Raden Sutawijaya masih mempunyai kewajiban yang tidak dapat kami tinggalkan”

“Memburu adikmu?”

Paksi menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Mudah-mudahan aku dapat menemukannya, Ibu. Tetapi jika anak itu sempat menyusup ke luar kota, maka kemungkinan itu akan menjadi kecil sekali”

Ibunya termangu-mangu sejenak. Matanya yang berkaca-kaca itu memandang ke kejauhan. “Lakukan, apa yang baik menurut pendapatmu, Paksi. Mudah-mudahan kau berhasil”

“Aku mohon doa restu Ibu. Jika tugas-tugasku selesai, aku akan memenuhi keinginan Ibu. Aku akan tinggal bersama Ibu. Setidak-tidaknya untuk sementara”

“Aku mengerti, Paksi. Kau memang tidak dapat tinggal di rumah saja berpangku tangan, sementara gejolak di Pajang masih juga belum selesai”

Beberapa saat lamanya Paksi berada di rumah ibunya. Namun kemudian mereka pun segera minta diri.

“Kakang mau kemana?” bertanya adik perempuannya.

“Aku akan menyelesaikan tugas-tugasku. Hati-hati kau di rumah”

“Aku takut, Kakang”

“Jangan takut. Tidak akan terjadi apa-apa. Kakakmu tidak akan datang mengganggumu lagi, karena yang dilakukannya adalah sekedar untuk melepaskan diri. Ia sama sekali tidak ingin menyakitimu”

Gadis itu mengangguk kecil.

Pangeran Benawa dan Raden Sutawijaya pun minta diri pula untuk meninggalkan rumah itu.

Ketika mereka sudah berada di jalan, maka mereka pun mulai membicarakan kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi dengan adik laki-laki Paksi itu.

“Kemana anak itu pergi” desis Raden Sutawijaya.

“Apakah kita akan mengamati lingkungan di sekitar tempat adikku itu kita ketemukan?” sahut Paksi.

“Ada baiknya, Paksi” berkata Pangeran Benawa. “Kita lihat keadaan di sekitar tempat itu”

“Tetapi orang-orang yang tinggal di tempat itu akan dapat mencurigai kita. Apalagi sebelumnya Ki Kamituwa sudah pernah melontarkan tuduhan, bahwa kita adalah para pengikut Harya Wisaka”

“Malam nanti?” gumam Paksi.

Pangeran Benawa pun menyahut, “Baik. Malam nanti kita lihat keadaan di sekitar kita ketemukan adik perempuanmu itu Paksi”

Sebenarnyalah, ketika malam turun, maka mereka bertiga pun telah pergi ke tempat adik perempuan Paksi itu diketemukan.

Meskipun tempat itu gelap, tetapi ketajaman penglihatan ketiga orang itu dapat diandalkan. Dengan Aji Sapta Pandulu mereka dapat melihat cukup jelas, meskipun tidak sejelas siang hari. Dengan hati-hati mereka pun telah menyibak gerumbul-gerumbul belukar. Tempat-tempat yang agak menarik perhatian di sekitar tempat diketemukannya adik perempuan Paksi.

Ternyata usaha mereka tidak sia-sia. Mereka menemukan sebuah lubang yang cukup besar untuk menyusup ke dalamnya.

“Aku akan melihat, apakah lubang itu menembus keluar dinding kotaraja” berkata Paksi.

“Kau akan masuk ke dalamnya?”

“Lubang itu cukup besar untuk merangkak”

Pangeran Benawa dan Raden Sutawijaya menjadi ragu-ragu.

Namun Paksi lah yang memastikan diri untuk menelusuri lubang yang gelap pekat itu.

“Jika lubang itu bermuara di sarang ular, mungkin kekebalan tubuh dapat menangkal gigitan seekor ular. Tetapi jika sepuluh atau lebih?”

“Aku akan berhati-hati. Aku akan menyalakan oncor jarak dan membawanya masuk ke dalam”

Paksi memang membawa biji jarak kering yang dirangkai dengan lidi sepanjang jengkal tangan.

“Aku akan menyalakannya di dalam terowongan, agar sinarnya tidak terlalu memencar”

Pangeran Benawa dan Raden Sutawijaya berusaha meyakinkan, bahwa tidak ada orang sama sekali di sekitar tempat itu.

Sebenarnyalah Paksi pun kemudian masuk ke dalam lubang yang tidak begitu besar, menyalakan oncor biji jarak dan merangkak masuk ke dalamnya.

Ternyata lubang itu menukik agak dalam, kemudian menjelujur di bawah dinding kota, memanjang menembus keluar. Nafas Paksi pun kemudian terasa menjadi pengap. Tetapi karena oncor jarak itu masih tetap menyala, maka Paksi pun yakin, bahwa masih cukup udara di dalam lubang yang panjang itu.

Meskipun demikian, nafas Paksi pun menjadi tersengal-sengal juga. Tetapi akhirnya terasa udara menjadi semakin segar. Paksi pun yakin, bahwa ia hampir sampai di ujung lubang terowongan itu. Sehingga karena itu, maka ia pun telah mematikan oncor jaraknya.

Sebenarnyalah, sejenak kemudian Paksi pun telah sampai di mulut lubang itu. Demikian ia keluar dari lubang terasa hidungnya menghirup udara yang segar sehingga dadanya yang bagaikan terhimpit batu itu pun menjadi lapang.

Ternyata dugaan Paksi benar. Ia telah berada di luar dinding kotaraja.

“Mereka telah membuat terowongan ini” desis Paksi. “Berapa lama mereka membutuhkan waktu untuk membuatnya?”

Setelah beristirahat beberapa saat lamanya, seakan-akan memenuhi dadanya dengan udara segar, maka Paksi pun kembali masuk ke dalam lubang itu. Karena ia yakin bahwa lubang itu akan tembus sampai ke tempatnya semula, maka Paksi tidak merasa perlu untuk menyalakan kembali oncor biji jaraknya.

Pangeran Benawa dan Raden Sutawijaya menunggu dengan jantung yang berdebar-debar. Pada saat mereka menjadi sangat gelisah, maka Paksi pun muncul dari dalam lubang itu.

“Paksi” desis Pangeran Benawa dan Raden Sutawijaya hampir berbareng.

Paksi pun kemudian bangkit berdiri sambil mengibaskan pakaiannya yang menjadi kotor.

“Kau temukan sesuatu?”

“Hamba, Pangeran” jawab Paksi. “Lubang ini memang menembus sampai ke luar dinding kota”

“Agaknya lewat jalan inilah adikmu itu keluar kota, Paksi”

Paksi menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada berat ia pun berdesis, “Aku telah benar-benar kehilangan anak itu. Sulit bagiku untuk menemukannya. Sementara itu, setiap hari ia disuapi dengan racun yang benar-benar akan merubahnya menjadi orang lain”

“Ya. Sulit bagimu untuk menemukannya”

“Soalnya kemudian, apakah Harya Wisaka juga sudah keluar lewat lubang ini”

“Mungkin belum, Paksi” desis Raden Sutawijaya. “Mungkin lukanya memang sudah membaik. Tetapi adikmu tentu merupakan taruhan. Jika ia berhasil, maka jalan itu pula yang akan ditempuh oleh Harya Wisaka”

“Jika tidak?”

“Adikmu akan tertangkap. Bahkan mungkin jika terjadi pertempuran, adikmu akan mati. Tetapi kematian para pengikut Harya Wisaka tidak merasa perlu ada yang menangisi. Mereka merasa kematian mereka adalah satu pengorbanan bagi satu perjuangan yang luhur. Kematian dalam apa yang mereka namakan perjuangan adalah satu kebanggaan. Sementara itu Harya Wisaka sama sekali tidak merasa kehilangan. Yang mati biarlah mati”

Paksi menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian ia pun berkata, “Adikku baru hari ini melewati lubang itu”

“Aku sependapat” sahut Pangeran Benawa yang tanggap.

Sedangkan Raden Sutawijaya pun berkata, “Aku setuju pula. Bukankah kau bermaksud bahwa Harya Wisaka masih belum keluar lewat lubang ini?”

Paksi mengangguk. Katanya, “Hari ini Harya Wisaka tentu sedang menunggu laporan, apakah adikku berhasil atau tidak. Jika adikku berhasil, mungkin esok atau lusa Harya Wisaka akan keluar pula lewat lubang itu”

“Jika demikian, kita jangan terlalu lama. Setiap kali lubang ini tentu diamati oleh para pengikut Harya Wisaka itu”

“Marilah kita menyingkir”

Ketiga orang itu pun kemudian menjauhi lubang yang menerobos menyusup di bawah dinding kota. Mereka tentu memerlukan waktu yang cukup lama untuk menggalinya.

“Kenapa mereka tidak mengawasi tempat itu terus-menerus?” desis Paksi. “Kenapa mereka tidak mengawasinya sebagaimana mereka mengawasi rumahku, sehingga para pengikut Harya Wisaka itu mengetahui bahwa Ki Waskita datang ke rumah itu di malam hari dan bahkan di siang hari?”

“Kita tidak tahu, apakah tempat ini diawasi siang dan malam atau tidak. Tetapi agaknya mereka tidak merasa perlu mengawasinya karena tempat ini tersembunyi. Selain itu, jika mereka mengawasi tempat ini, mungkin akan dapat terlihat oleh para prajurit peronda yang setiap kali melewati lorong ini”

“Bukankah kita juga ingin mengawasi lubang di bawah dinding itu?”

“Ya”

“Dimana kita akan mengawasinya?”

“Sebaiknya dari luar dinding. Kita akan mendapat banyak tempat untuk bersembunyi”

Ketiga orang itu pun sepakat untuk mengamati lubang itu dari luar dinding kota. Jika Harya Wisaka juga akan mempergunakan itu untuk keluar dari lingkungan dinding kota, maka Harya Wisaka tentu akan melakukannya dalam waktu yang dekat.

Setelah ia menerima laporan bahwa adik laki-laki Paksi itu selamat sampai di luar dinding, maka mereka akan melakukannya juga.

“Aku yakin, bahwa mereka akan keluar dari dalam lingkungan dinding kota di dalam hari” berkata Raden Sutawijaya.

“Ya. Malam hari adalah pilihan waktu terbaik”

“Tetapi apakah mungkin malam ini? Malam ini adalah waktu yang paling baik bagi mereka. Lubang itu mereka anggap belum diketahui oleh para prajurit. Mereka tentu tidak ingin membiarkan lubang itu terlalu lama menganga sebelum dipergunakan oleh Harya Wisaka, karena dengan demikian ada kemungkinan lubang itu sudah diketemukan oleh para prajurit sebelum Harya Wisaka keluar, sehingga lubang itu akan dijaga atau ditimbun”

“Jadi?”

“Kita akan mengawasi lubang itu sejak malam ini”

“Jika demikian maka kita akan keluar dari kota”

“Ya”

“Semua pintu gerbang dijaga. Kita akan dapat dicurigai”

“Kita akan mencari alasan. Ciri-ciri kita berbeda dengan orang-orang yang mereka cari. Kita katakan kepada para penjaga, bahwa kita harus segera pulang karena kakek sakit keras”

“Baik” Pangeran Benawa mengangguk-angguk, “kaulah yang menjemput kami, Paksi”

Sebenarnyalah bahwa mereka telah dihentikan di pintu gerbang kota oleh para prajurit. Berbagai macam pertanyaan harus mereka jawab. Tetapi ketiganya telah mempersiapkan diri untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. Apalagi ciri-ciri mereka sama sekali tidak mirip dengan ciri-ciri Harya Wisaka atau orang-orang terpenting di dalam lingkungannya.

Demikian ketiganya berada di luar dinding kota, serta sesudah mereka terlepas dari pengawasan para prajurit yang bertugas, maka mereka pun segera meloncati tanggul parit, turun ke sawah menyusuri pematang menuju ke mulut lubang yang dibuat oleh para pengikut Harya Wisaka itu.

Tetapi ketiganya cukup berhati-hati. Mungkin ada pengikut Harya Wisaka yang mendapat tugas untuk mengawasi lubang di bawah dinding itu.

“Dimana mulut lubang itu, Paksi?” bertanya Pangeran Benawa.

Paksi yang telah menyusup ke dalam terowongan itu sampai di mulutnya, dapat mengenali tempat itu dengan baik. Karena itu, maka Paksi pun membawa Pangeran Benawa dan Raden Sutawijaya langsung mendekat.

“Ketika aku keluar dari terowongan di bawah tanah itu, aku melihat pohon nyamplung yang besar itu. Kemudian bongkah-bongkah batu padas di sebelah sebuah parit yang melingkar lewat di bawah pohon nyamplung itu”

“Jika demikian, kita sudah dekat”

“Ya. Kita sudah dekat”

“Kita harus berhati-hati. Mungkin ada satu dua orang pengikut Harya Wisaka di sekitar tempat ini”

Ketiganya pun berhenti di dekat sebuah batu yang besar, yang terletak di persilangan pematang yang membujur ke arah barat dan ke arah utara.


“Mulut terowongan itu berada di antara batu-batu padas itu, Raden” desis Paksi.

“Jika demikian, kita akan berada di sekitar tempat ini. Jika Harya Wisaka malam ini keluar lewat lubang di bawah dinding kota itu, maka ia tentu tidak akan membawa pengawal terlalu banyak, agar perjalanannya tidak mudah dilihat orang. Mungkin para peronda di padukuhan-padukuhan, bahkan mungkin para prajurit yang bertugas nganglang di malam hari”

“Kita akan menunggu sampai fajar”

“Ya. Adik Paksi itu juga meninggalkan kota di dini hari. Tetapi karena ia terhambat, maka agaknya baru sedikit menjelang ajar ia dapat meninggalkan kota lewat lubang itu”

“Mungkin dini hari menurut perhitungan Harya Wisaka dan para pengikutnya merupakan saat yang paling menguntungkan. Para petugas di malam hari akan berada dalam keadaan yang paling lemah. Mungkin letih, mengantuk atau dingin yang menggigit”

Ketiganya pun kemudian telah memencar meskipun mereka berada di jarak yang tidak begitu jauh. Malampun semakin lama menjadi semakin dalam. Bintang-bintang sudah bergeser dari tempatnya semula. Seleret kecil bulan mulai nampak merayapi langit yang biru kehitam-hitaman, di sela-sela keredipan bintang yang bertabur.

Lewat tengah malam, dinginnya terasa semakin menggigit. Namun mereka berpengharapan, jika malam sebelumnya adik Paksi dapat keluar dengan selamat, maka malam itu mereka berharap bahwa Harya Wisaka sendiri yang sudah menjadi semakin baik, akan keluar lewat lubang yang digali di bawah dinding kota.

Ketiga orang yang mengawasi mulut terowongan yang berada di luar dinding kota itu harus menahan diri mengatasi bukan saja dinginnya malam, gatalnya gigitan nyamuk yang mengerumuni mereka, tetapi mereka harus berusaha mengatasi kejemuan mereka.

Titik-titik embun malam yang bergayut di dedaunan pun mulai berjatuhan. Batu-batu besar yang berserakan di antara tanaman yang hijau di sawah yang terbentang itu, sudah menjadi basah.

Mata Paksi memang menjadi semakin berat. Tetapi sentuhan embun yang dingin kadang-kadang justru mengejutkannya, sehingga matanya pun kembali terbuka lebar.

Pada saat dingin malam semakin menggigit, jantung Paksi berdebar semakin cepat. Ia melihat beberapa orang yang berjalan dalam kegelapan menuju ke mulut terowongan.

Paksi pun kemudian memungut sebuah kerikil kecil dan dilemparkannya ke arah Pangeran Benawa. Ternyata Pangeran Benawa pun tanggap. Ia pun telah melempar kerikil kecil pula ke arah Paksi dan ke arah Raden Sutawijaya.

Dengan demikian ketiga orang itu pun telah mempersiapkan diri menghadapi segala kemungkinan yang dapat terjadi.

“Mudah-mudahan Harya Wisaka akan keluar lewat lubang di bawah dinding kota itu sekarang” berkata Paksi di dalam hatinya. Menurut perhitungan Paksi, Harya Wisaka tidak mempunyai pilihan yang lebih baik dari saat itu. Jika ia menunggu lebih lama lagi, maka kemungkinan terowongan itu sudah diketahui. Sementara ia telah meluncurkan percobaan untuk keluar lewat terowongan itu. Dan orang yang dipergunakan untuk menguji keamanan terowongan itu adalah adik laki-lakinya.

“Jika sesuatu terjadi, tentu telah terjadi atas adikku itu. Seandainya ia terjebak di dalam terowongan itu karena tanahnya runtuh atau seandainya para prajurit Pajang sudah mengetahui dan mengawasi mulut terowongan itu, maka ia akan tertangkap dan bahkan mungkin sekali ia sudah terbunuh, karena menurut pendapatku, ia tidak akan mau menyerah”

Jantung Paksi pun menjadi berdebaran. Semua tanggung-jawab atas semua kejadian, perubahan dan kemungkinan-kemungkinan buruk atas adiknya itu, ditimpakannya kepada Harya Wisaka.

Beberapa orang yang dilihatnya itu pun kemudian berhenti beberapa langkah dari mulut lubang di bawah dinding kota itu.

Mereka agaknya bertugas untuk mengamankan lingkungan di sekitar mulut terowongan itu. Beberapa orang itu pun telah berpencar untuk meyakinkan bahwa tidak ada orang di sekitar tempat itu.

Sementara itu, Paksi, Pangeran Benawa dan Raden Sutawijaya telah membenamkan diri di antara semak-semak di belakang batu-batu besar yang berserakan di tempat itu. Batu-batu besar yang teronggok bertimbun dengan batu-batu padas di antara kotak-kotak sawah.

Beberapa orang yang berjalan hilir mudik menyusuri pematang itu ternyata tidak melihat mereka. Apalagi orang-orang itu sama sekali tidak menaruh curiga, bahwa terowongan itu sudah dilihat oleh orang lain. Seandainya terowongan itu sudah dilihat oleh prajurit Pajang atau petugas sandinya, maka terowongan itu tentu sudah dijaga.

Sementara itu, di bagian dalam dinding kota pun beberapa orang telah mengamati keadaan. Mereka juga berusaha untuk meyakinkan, bahwa tidak ada orang di sekitar mulut lubang di bawah dinding kota itu. Karena itu, maka mereka menganggap bahwa kedua sisi terowongan itu, di dalam dan di luar dinding kota, cukup aman.

Meskipun demikian seorang di antara mereka yang berada di luar kota harus meyakinkan, bahwa di dalam lubang itu pun tidak akan terdapat hambatan apa pun juga, sehingga karena itu, maka seorang yang berada di luar dinding kota itu pun telah memasuki dan menelusuri terowongan itu hingga muncul di mulut terowongan di bagian dalam dinding kota.

Demikian orang itu muncul, maka beberapa orang telah siap menyambutnya.

“Semuanya berjalan dengan lancar” berkata orang yang keluar dari lubang di bawah dinding itu.

“Bagus. Aku sudah cemas, bahwa kalian tidak menepati waktu sehingga kami harus menunggu terlalu lama”

“Bukankah kita berpegang pada kedudukan bintang waluku itu sehingga kita tidak perlu saling menunggu?”

“Ya”

“Nah, sekarang bagaimana dengan rencana Eyang Kakung itu”

“Jika segalanya aman, kita akan melaksanakan semua rencana. Eyang Kakung sudah siap untuk berangkat”

“Sekarang adalah waktu yang terbaik. Jika esok prajurit atau petugas sandi yang meronda melihat pintu ini, mereka akan mengamankannya”

“Baik. Aku akan memberikan laporan kepada Eyang Kakung”

“Cepat sedikit. Aku menunggu disini. Jika Eyang Kakung itu sudah siap, aku akan mendahului di depannya”

“Baik. Tunggulah sebentar. Beberapa orang kawan kita mengamati lingkungan ini agar tidak ada orang yang mengganggunya”

Dua orang di antara mereka pun segera meninggalkan tempat itu untuk menjemput orang yang disebutnya Eyang Kakung itu.

Dalam pada itu, orang-orang yang berada di luar dinding kota menunggu dengan jantung yang berdebaran. Mereka duduk di atas bongkah-bongkah batu padas yang melindungi mulut terowongan itu. Para petani yang pergi ke sawah, tidak akan pernah menyempatkan diri melihat semak-semak di belakang bongkah-bongkah batu padas itu, karena menurut pendapat mereka, tidak ada apa pun di belakang batu padas yang berbongkah-bongkah itu kecuali gerumbul-gerumbul perdu liar serta sarang ular.

Dalam pada itu, Paksi, Pangeran Benawa dan Raden Sutawijaya menunggu dengan tegang. Mereka sudah menduga bahwa akan ada seseorang yang keluar dari dalam kota. Namun yang menjadi pertanyaan, siapakah orang itu.

Ketiga orang yang menunggu di luar itu sudah sepakat, bahwa jika yang keluar bukan Harya Wisaka, mereka tidak akan mengganggu, karena mereka yakin, bahwa Harya Wisaka juga akan mempergunakan terowongan itu untuk keluar. Sementara itu, mereka pun berpendapat bahwa Harya Wisaka masih berada di dalam dinding kota.

Beberapa saat lamanya Paksi, Pangeran Benawa dan Raden Sutawijaya harus menunggu. Dalam kegelisahan mereka melihat orang-orang yang duduk di atas batu-batu padas itu pun menjadi gelisah. Setiap kali satu atau dua orang bangkit berdiri.

Melangkah di atas batu-batu padas itu hilir-mudik, bahkan berloncatan dari bongkah yang satu ke bongkah yang lain.

“Sejak kapan terowongan itu dibuat?” pertanyaan itu telah menggelitik jantung Paksi. “Demikian hati-hatinya, sehingga selama terowongan itu dibuat, para prajurit dan petugas sandi tidak sempat melihatnya”

Namun menurut pendapat Paksi, gagasan untuk membuat terowongan itu tentu datangnya belum terlalu lama. Setelah dipertimbangkan masak-masak, maka mereka benar-benar melaksanakannya.

“Agaknya terowongan itu pun baru saja siap. Kemudian adikkulah yang pertama-tama disurukkan ke dalamnya untuk menguji ketahanannya serta manfaat dari terowongan itu”

Paksi menggeram. Harya Wisaka sama sekali tidak menghargai keselamatan dan nyawa orang lain bagi kepentingannya. Namun di sisi lain, ia mampu menempa para pengikutnya untuk menjadi orang-orang yang kehilangan pribadinya.

“Aku akan menunggunya. Jika malam ini ia tidak keluar dari dalam kota, maka aku akan menunggu di malam-malam berikutnya” berkata Paksi kepada diri sendiri.

Sejenak kemudian, Paksi, Pangeran Benawa dan Raden Sutawijaya melihat orang-orang yang duduk di bongkah-bongkah batu padas itu bangkit berdiri, kemudian mereka pun melihat seleret cahaya yang memancar dari balik batu-batu padas itu, namun kemudian segera padam.

“Tentu ada yang keluar” berkata Paksi di dalam hatinya.

Dengan tegang, Paksi, Pangeran Benawa dan Raden Sutawijaya menunggu siapa yang akan muncul dari balik gumpalan batu-batu padas itu.

Tanpa berjanji, untuk mempertajam penglihatan mereka, mereka pun telah mengetrapkan ilmu mereka, Sapta Pandulu. Dalam keremangan malam ketiga orang yang bersembunyi di balik batu dan menyusup di antara semak-semak itu melihat seseorang naik ke atas batu padas diiringi oleh dua orang lainnya. Sementara itu, orang-orang yang sudah lebih dahulu berada di atas bongkah-bongkah batu padas itu bergeser sedikit menjauh. Bahkan mereka pun kemudian berloncatan mendahului turun.

Dengan demikian maka orang yang baru muncul dari balik batu padas itu menjadi semakin jelas. Dengan berlandaskan ilmu Sapta Pandulu, Paksi, Pangeran Benawa dan Raden Sutawijaya pun melihat bahwa orang itu adalah Harya Wisaka.

Ketiga orang yang berada di balik batu itu pun menjadi berdebar-debar. Yang mereka cari selama ini ternyata telah berdiri di hadapan mereka. Orang yang bukan saja mereka cari, tetapi orang yang dicari oleh para pemimpin dan bahkan seluruh prajurit Pajang.

Paksi, Pangeran Benawa dan Raden Sutawijaya tidak sempat membicarakan langkah-langkah yang harus mereka ambil. Namun ternyata bahwa mereka bertiga telah membulatkan hati mereka untuk menangkap orang yang menjadi buruan itu.

Sebelum mereka bertindak, mereka sempat menghitung orang yang akan mereka hadapi. Lima orang telah berada di tempat itu lebih dahulu sebelum Harya Wisaka muncul. Kemudian Harya Wisaka dan dua orang pengawalnya yang tentu orang-orang pilihan.

Ketiga orang itu memang harus memperhitungkan langkah mereka sebaik-baiknya. Namun jika mereka tidak bertindak saat itu, maka mereka akan dapat kehilangan Harya Wisaka. Jika Harya Wisaka itu terlepas dan sempat melarikan diri keluar kotaraja, maka untuk menangkapnya akan menjadi semakin sulit.

Ternyata Pangeran Benawa lah yang mengambil keputusan lebih dahulu. Tiba-tiba saja ia pun bangkit berdiri dan melambaikan tangannya ke arah Paksi dan Raden Sutawijaya.

Raden Sutawijaya dan Paksi tidak mempunyai pilihan lain. Mereka pun segera bangkit berdiri pula.

Demikian Pangeran Benawa melangkah ke arah Harya Wisaka yang masih berdiri di atas batu-batu padas, maka Raden Sutawijaya dan Paksi pun telah menyusul pula.

Malam itu Paksi tidak membawa tongkatnya. Paksi menganggap tongkatnya akan dapat mempersulitnya jika ia bertemu dengan para prajurit atau pada saat ia melewati pintu gerbang kotaraja. Bahkan Pangeran Benawa dan Raden Sutawijaya pun tidak membawa senjata panjang yang segera dapat dilihat. Mereka hanya membawa pisau-pisau belati panjang di bawah kain panjang mereka. Sementara itu, Pangeran Benawa telah mengenakan penutup pergelangan tangannya yang juga merupakan perisai baginya, sebagaimana dipergunakannya pada saat ia mengembara bersama Paksi.

Kehadiran mereka bertiga benar-benar telah mengejutkan Harya Wisaka dan para pengikutnya. Mereka tidak mengira, bahwa ternyata ada juga orang yang telah melihat mereka.

Kelima orang yang lebih dahulu datang dan mengamati keadaan sebelum Harya Wisaka keluar dari terowongan itu segera memencar. Dengan serta-merta mereka mencabut senjata-senjata mereka.

Harya Wisaka yang berdiri di atas batu padas itu pun menggeram, “Orang-orang dungu. Kenapa hal seperti ini dapat terjadi? Buat apa aku mengirim kalian mengamankan daerah ini sebelum aku keluar?”

Kelima orang itu memang merasa sangat bersalah. Karena itu, maka pemimpin mereka pun berdesis, “Hanya tiga orang. Kami akan segera melumatkan mereka”

Harya Wisaka tidak menjawab. Yang dilihatnya memang hanya tiga orang. Jika yang datang lebih dari tiga orang, maka yang lain tentu sudah akan menampakkan dirinya pula.

Namun debar di jantung Harya Wisaka menjadi semakin cepat ketika ia mulai mengenali ketiga orang itu. Yang seorang adalah Pangeran Benawa. Seorang yang lain adalah Raden Sutawijaya dan seorang yang lain lagi adalah Paksi Pamekas.

Tiba-tiba saja timbul niatnya untuk masuk kembali ke dalam mulut terowongan, namun demikian tangkasnya Raden Sutawijaya berlari dan berloncatan di atas batu-batu padas sehingga tiba-tiba saja ia sudah berada tidak terlalu jauh dari mulut terowongan itu, sementara Paksi dan Pangeran Benawa pun telah semakin mendekati pula.

“Selamat malam, Paman” berkata Pangeran Benawa.

“Kau berhasil menemukan aku disini, Pangeran” desis Harya Wisaka.

“Aku sudah terlanjur menitikkan airmata ketika aku melihat gundukan tanah di kuburan yang disebut sebagai makam Paman Harya Wisaka”

“Permainan yang mengasyikkan. Tetapi kau kira aku percaya, bahwa kalian mempercayai bahwa aku sudah mati?”

“Permainan itu akan berakhir disini”

“Ya, bagi kalian bertiga. Kami akan membunuh kalian bertiga jika kalian tidak mau menyingkir dari lingkungan ini”

“Sudah sekian lama kami menunggu kesempatan seperti ini, Paman. Apakah kami harus menyingkir?”

Wajah Harya Wisaka menjadi tegang. Ia menjadi sangat kecewa kepada orang-orang yang ditugaskannya mengamati lingkungan itu. Mereka sudah menyatakan bahwa tidak akan ada gangguan apa-apa. Tetapi ternyata bahwa masih juga ada yang melihat mereka. Meskipun hanya tiga orang, tetapi ketiga orang itu adalah orang-orang yang berilmu tinggi.

Namun Harya Wisaka itu pun berpaling kepada kedua orang pengawalnya. Keduanya adalah orang-orang pilihan. Mereka adalah orang-orang yang juga berilmu tinggi. Sementara itu, masih ada lima orang lainnya yang bukan orang kebanyakan, selain Harya Wisaka sendiri.

Harya Wisaka menarik nafas dalam-dalam. Luka-lukanya memang sudah sembuh. Tetapi tenaganya masih belum pulih seutuhnya. Meskipun demikian, ia adalah orang yang memiliki bekal yang memadai.

Ketika ia berpaling ke arah mulut terowongan, maka tidak jauh dari mulut terowongan itu, Raden Sutawijaya berdiri tegak dengan kaki renggang.

Bahkan Harya Wisaka pun menjadi ragu-ragu. Jangan-jangan di depan mulut terowongan di dalam dinding kotaraja tempat ia masuk tadi sudah ditunggui justru oleh Ki Gede Pemanahan sendiri beserta Ki Waskita dan orang-orang pilihan lainnya. Bahkan sekelompok prajurit pilihan.

“Jika aku berusaha untuk masuk kembali dan merayap masuk ke dalam kota, jangan-jangan aku justru telah ditunggui oleh para pemimpin Pajang” berkata Harya Wisaka di dalam hatinya.

Karena itu, Harya Wisaka telah bertekad untuk menghadapi ketiga orang yang berusaha untuk menangkapnya itu.

“Mudah-mudahan mereka tidak sempat memberi isyarat kepada para prajurit” berkata Harya Wisaka di dalam hatinya.

Sementara itu, Pangeran Benawa pun berkata, “Paman, sebaiknya Paman kami antar langsung menghadap Ayahanda di istana. Beberapa saat lagi fajar akan menyingsing. Ayahanda tentu akan segera bangun. Dengan demikian maka Paman tidak perlu terlalu lama menunggu”

“Anak tidak tahu diri. Karebet itulah yang harus datang menghadap aku. Anak pidak pedarakan itu tidak pantas duduk di atas tahta Pajang”


Pangeran Benawa tertawa. Katanya, “Pantas atau tidak pantas, tetapi Ayahanda sekarang adalah raja di Pajang. Paman Harya Wisaka adalah seorang pemberontak yang harus ditangkap dan kemudian diadili. Mungkin Paman akan dihukum untuk waktu yang lama. Tetapi mungkin Paman akan dibebaskan”

Harya Wisaka itu menggeram. Katanya, “Kau bujuk aku seperti membujuk anak-anak yang menangis karena kehilangan mainannya”

“Tidak, Paman” jawab Pangeran Benawa. “Kami tidak membujuk Paman, karena Paman tidak mempunyai pilihan. Kami akan menangkap Paman, mau atau tidak mau. Tetapi kami memang membujuk agar Paman tidak usah melawan, karena perlawanan yang akan Paman berikan itu akan sia-sia”

“Cukup” bentak Harya Wisaka, “kau memang pandai membual, Benawa. Bersiaplah untuk mati. Kau, Sutawijaya dan Paksi tidak mempunyai kesempatan untuk hidup. Kalian hanya akan mengotori bumi Pajang saja”

“Sudahlah. Sudah waktunya untuk bangun. Sementara Paman masih saja bermimpi berkepanjangan”

Harya Wisaka menggeram. Tiba-tiba saja jatuh perintahnya, “Bunuh mereka bertiga. Jangan ragu-ragu. Tidak ada pilihan lain bagi kita”

Kelima orang itu pun segera bersiap. Demikian pula kedua orang yang datang bersama Harya Wisaka itu. Mereka segera berloncatan mendekati lawan pilihan mereka masing-masing.

Yang ternyata harus berhadapan dengan tiga orang adalah Raden Sutawijaya. Agaknya orang-orang itu memikirkan kemungkinan untuk memberikan kesempatan kepada Harya Wisaka untuk menyusup kembali ke dalam mulut terowongan itu, namun Harya Wisaka sendiri agaknya tidak lagi berminat, karena Harya Wisaka memikirkan kemungkinan, bahwa mulut terowongan yang berada di dalam kotaraja pun telah diketahui oleh Ki Gede Pemanahan, ayah Raden Sutawijaya itu.

Sejenak kemudian, pertempuran pun berlangsung dengan sengitnya. Pangeran Benawa dan Paksi, masing-masing harus menghadapi dua orang.

Namun demikian, baik Raden Sutawijaya maupun Pangeran Benawa dan Paksi, tidak mau melepaskan perhatian mereka dari Harya Wisaka. Mungkin saja Harya Wisaka berusaha menggunakan kesempatan terbaik untuk melarikan diri, atau menyusup kembali ke dalam mulut terowongan.....

Demikianlah, maka pertempuran itu pun berlangsung dengan sengitnya. Ketiga orang yang bertempur melawan Raden Sutawijaya segera mengerahkan kemampuan mereka. Senjata mereka pun berputaran dengan garangnya, menyambar-nyambar.

Sementara itu, Raden Sutawijaya hanya bersenjatakan sepasang pisau belati panjang seperti juga Pangeran Benawa. Namun ternyata bahwa sepasang pisau belati itu telah mampu membuat ketiga orang lawannya terdesak.

Di lingkaran pertempuran yang lain, Pangeran Benawa bertempur melawan dua orang lawan sebagaimana Paksi. Paksi yang tidak membawa tongkatnya itu, telah mencabut sebatang patok bambu lanjaran untuk rambatan batang kacang pajang di pematang. Dengan patok bambu yang panjangnya hampir sepanjang tongkatnya itu, Paksi melawan kedua orang pengikut Harya Wisaka.

Meskipun tongkat bambu itu tidak memiliki kekuatan dan ketahanan sebagaimana tongkatnya, namun sebatang tongkat bambu itu di tangan Paksi cukup memadai untuk melawan senjata-senjata lawannya.

Dengan demikian, maka pertempuran pun menjadi semakin sengit. Ternyata para pengikut Harya Wisaka yang mendapat kepercayaan untuk melindunginya itu adalah orang-orang pilihan. Mereka dengan tangkasnya berloncatan di atas batu-batu padas serta gerumbul-gerumbul perdu.

Harya Wisaka sendiri masih berdiri saja di atas sebongkah batu padas. Diamatinya orang-orang yang sedang bertempur melawan hanya tiga orang itu. Namun ketiga orang itu adalah orang-orang yang berilmu tinggi.

Dengan cemas Harya Wisaka mengamati ketiga orang pengikutnya yang bertempur melawan Raden Sutawijaya. Meskipun mereka bertiga, namun nampaknya sulit bagi mereka untuk mengimbangi kemampuan Raden Sutawijaya. Karena itu, maka Harya Wisaka sendiri berniat untuk terjun ke dalam pertempuran itu.

“Dengan membunuh Sutawijaya, maka kedua orang yang lain akan dapat segera dikuasai pula” berkata Harya Wisaka di dalam hatinya. Apalagi orang-orang yang bertempur melawan Pangeran Benawa dan Paksi adalah justru orang-orang terbaiknya, sehingga mereka akan dapat bertahan menghadapi lawan mereka.

Namun sebenarnyalah bahwa kekuatan dan kemampuan Harya Wisaka belum sepenuhnya pulih kembali. Meskipun demikian, sebagai seorang yang berilmu tinggi, maka ia adalah tetap orang yang sangat berbahaya.

Karena itu, demikian Harya Wisaka mencabut pedangnya dan melibatkan diri dalam pertempuran melawan Raden Sutawijaya, maka Raden Sutawijaya harus menjadi semakin berhati-hati.


“Silahkan, Paman” berkata Raden Sutawijaya. “Agaknya Paman tidak sabar menunggu, sehingga kita akan dapat bermain dengan baik. Aku dan Paman tanpa diganggu orang lain”

Harya Wisaka menggeram. Katanya, “Satu usaha yang baik untuk menyelamatkan diri. Tetapi usahamu akan sia-sia, Sutawijaya. Kau akan mati malam ini di sini. Jangan sesali kesombonganmu, bahwa kau telah mencoba menghentikan aku. Kenapa bukan ayahmu atau ayah angkatmu yang sekarang tanpa mempunyai hak dan wewenang duduk di atas tahta Pajang? Kenapa bukan guru yang mana pun juga, atau orang-orang yang sekarang mendapat kesempatan memimpin padepokan di Hutan Jabung itu?”

“Tidak usah, Paman. Tidak usah menunggu Ayah, atau Ayahanda Sultan Pajang atau Ki Waskita atau Ki Panengah. Paman masih belum sembuh benar. Karena itu, maka tugas kami tidak akan terlalu sulit”

Harya Wisaka tertawa. Katanya, “Kesombonganmu melampaui kesombongan ayahmu. Tetapi kau pantas menjadi anak Karebet yang tidak tahu diri itu. He, apakah kau memang anak orang yang mengaku dirinya raja Pajang itu”

“Ah, jangan mencoba untuk menyerangku dari sisi yang lain, Paman. Marilah kita membuat perbandingan ilmu kanuragan”

Harya Wisaka tertawa semakin keras. Katanya, “Kau takut melihat kenyataan itu. He, Benawa. Dengarlah, kakakmu Sutawijaya menjadi sangat gelisah mendengar bahwa ia bukan saudara angkatmu, tetapi ia benar-benar saudaramu. Setidak-tidaknya saudara seayah”

Tetapi jawaban Pangeran Benawa yang sedang bertempur melawan dua orang kepercayaan Harya Wisaka yang berilmu tinggi itu justru telah membuatnya semakin marah, “Siapa pun Kakangmas Sutawijaya, ia telah membuat Paman menjadi ketakutan”

“Setan kau, keturunan orang Tingkir. Perasaanmu agaknya telah membeku, sehingga jantungmu agaknya tidak tersentuh sama sekali mendengar bahwa Sutawijaya itu juga anak Hadiwijaya”

“Orang yang sedang terdesak dapat saja mengigau untuk melepaskan diri dari himpitan perasaan”

Harya Wisaka menggeram. Namun pedangnyalah yang kemudian mulai berputar. Harya Wisaka yang menempatkan diri di antara ketiga orang pengikutnya itu ternyata harus mendapat perhatian khusus dari Raden Sutawijaya.

Namun untunglah bahwa Harya Wisaka itu masih belum pulih kembali. Meskipun ayunan pedangnya masih sangat berbahaya, namun kakinya masih belum dapat bergerak secepat sebelum ia terluka. Tenaga dalamnya pun belum mampu dikembangkannya lagi sementara itu pancaran ilmunya masih lemah.

Namun bersama dengan tiga orang pengawalnya, mereka adalah lawan yang sangat berat bagi Raden Sutawijaya.

Sementara itu, seorang dari lawan Pangeran Benawa adalah pengawal terpercaya Harya Wisaka. Ia adalah orang yang memiliki ilmu yang tinggi. Meskipun nampaknya umurnya sudah mendekati setengah abad, namun justru ilmunya nampak semakin masak.

Meskipun ilmu kawannya tidak setinggi orang yang sudah setengah abad itu, namun ia mampu melengkapi ilmu kawannya, sehingga dengan demikian Pangeran Benawa harus berhati-hati menghadapi keduanya.

Lawan Paksi pun orang-orang berilmu tinggi pula. Apalagi Paksi tidak membawa senjata andalannya, sehingga Paksi pun harus sangat berhati-hati. Ia tidak dapat membenturkan tongkat bambunya langsung melawan senjata lawan-lawannya. Tetapi ia harus berusaha untuk sekedar menepis dengan tongkatnya atau menghindarinya.

Meskipun demikian, bukan berarti bahwa Paksi dengan mudah dapat didesak oleh kedua lawannya. Meskipun lawannya sadar sepenuhnya, bahwa senjata Paksi bukan senjata yang baik, namun mereka tidak dapat dengan serta-merta menyerang dengan mengayunkan senjata-senjata mereka.

Ketika seorang di antara mereka meloncat sambil menebas mendatar ke arah dada, Paksi sempat bergeser surut. Sehingga ujung senjata lawannya tidak menggores dadanya. Pada saat yang bersamaan, lawannya yang lain menyerang dengan menjulurkan senjatanya pula. Namun dengan cepat Paksi merendahkan dirinya. Dengan cepat tongkatnya berputar, menyapu dengan derasnya, menghantam kaki lawannya yang sedang menjulurkan senjatanya itu.

Orang itu masih sempat meloncat menghindar. Namun tiba-tiba saja senjata Paksi menggeliat. Sepotong bambu itu dijulurkannya mematuk ke arah perut. Orang itu sempat melihat serangan Paksi. Karena itu, maka ia pun meloncat surut.

Tetapi sepotong bambu di tangan Paksi itu bergerak lebih cepat. Ujungnya sempat menyentuh perut orang yang sedang meloncat surut itu.

Untunglah bahwa ujung bambu patok lanjaran kacang panjang itu tidak runcing, sehingga tidak melukai perut lawannya. Namun dorongan kekuatan Paksi telah mendorong orang yang memang sedang meloncat surut itu.

Karena itu, maka orang itu justru telah terdorong dengan kerasnya. Dengan demikian, maka kakinya tidak dapat hinggap di atas sebongkah batu padas di belakangnya, karena sebongkah batu padas itu telah terlampaui.

Dengan kerasnya orang itu telah terjatuh di sela-sela bongkah-bongkah batu padas itu. Punggungnya yang terbentur dengan kerasnya, terasa tulangnya bagaikan berpatahan.

Namun dengan susah payah orang itu bangkit. Sambil menyeringai orang itu meloncat kembali dan berdiri di atas batu-batu padas yang keras itu.

Darah orang itu bagaikan mendidih. Lawannya hanya mempergunakan tongkat bambu yang dicabutnya dari pematang. Sementara itu, berdua ia melawannya dengan senjata andalan di tangannya.

“Iblis manakah yang telah merasuk ke dalam orang ini” geram orang itu.

Dengan gigi yang gemeretak orang itu pun bergeser mendekati Paksi yang masih bertempur dengan seorang lawannya. Orang yang bertubuh tinggi agak kekurus-kurusan. Tetapi orang itu mempunyai kelebihan yang kadang-kadang menyulitkan Paksi. Orang itu mampu bergerak dengan kecepatan yang tinggi.

Untunglah bahwa Paksi telah menempa dirinya sejak ia berada di dalam pengembaraan. Orang yang ternyata adalah ayahnya dan gurunya itu selalu membayanginya. Menuntun dan menempanya dengan cara yang asing, namun yang berhasil membentuknya menjadi orang yang berilmu tinggi. Kemudian, Paksi pun mendapat kesempatan untuk berlatih dengan lebih teratur dan terencana di bawah bimbingan dua orang gurunya itu.

Karena itu, maka ketika ia harus menghadapi dua orang yang berilmu tinggi hanya dengan sepotong bambu di tangannya, Paksi masih mampu mengimbangi kemampuan mereka berdua.

Pertempuran pun semakin lama menjadi semakin sengit. Kedua orang lawannya berusaha memancing Paksi bertempur semakin jauh dari mulut terowongan itu. Namun Paksi tidak menanggapinya. Jika keduanya berloncatan menjauh, maka Paksi pun tetap berdiri di tempatnya.

Raden Sutawijaya lah yang bertempur terdekat dengan mulut terowongan itu. Melawan empat orang lawannya, Raden Sutawijaya harus mengerahkan kemampuannya. Jika saja Harya Wisaka telah pulih kembali, maka Raden Sutawijaya harus membuat pertimbangan ulang untuk menghadapi mereka. Tetapi ternyata keadaan Harya Wisaka masih belum pulih kembali. Ia masih belum mampu bergerak dengan kecepatan yang tinggi.

Tenaganya pun belum sekuat tenaganya yang utuh. Bahkan tenaga dalamnya pun masih terasa lemah. Demikian pula ilmunya masih belum mendapat dukungan penuh dan unsur kewadagannya.

Karena itu, maka kehadiran Harya Wisaka tidak sangat mencemaskan bagi Sutawijaya. Meskipun demikian, keberadaan Harya Wisaka di antara ketiga orang lawan Raden Sutawijaya itu telah memaksa Raden Sutawijaya untuk mengerahkan kemampuannya.

Dengan sepasang pisau belati panjangnya, Raden Sutawijaya berloncatan di antara keempat lawannya. Untuk menghindari serangan-serangan dari arah belakang, Raden Sutawijaya bertempur dengan langkah-langkah panjang. Kecepatannya bergerak banyak membuat lawan-lawannya kadang-kadang kebingungan. Bahkan Harya Wisaka sendiri sering merasa kehilangan lawannya itu.

Mau tidak mau Harya Wisaka harus mengakui kenyataan tentang dirinya, bahwa kekuatan dan kemampuannya masih belum pulih kembali.

Di sisi lain, Pangeran Benawa yang bertempur melawan dua orang lawan sempat bergeser ke tanah persawahan. Kaki mereka yang sedang bertempur itu berloncatan menginjak-injak batang padi muda yang sedang tumbuh.

Namun Pangeran Benawa tidak dapat menghindarkan kakinya dari tanah yang basah itu. Ia tidak dapat bertempur dalam arena yang sama dengan arena yang dipergunakan oleh Paksi melawan kedua orang lawannya.

Namun dengan demikian, rasa-rasanya Pangeran Benawa dapat bertempur dengan leluasa. Ia tidak perlu menjaga keseimbangan karena berdiri di atas batu-batu padas yang tidak rata. Bahkan terdapat beberapa gundukan-gundukan batu padas, namun di sana-sini terdapat lekuk-lekuk yang bahkan agak dalam.

Dengan bertempur di tempat yang datar, maka Pangeran Benawa rasa-rasanya menjadi semakin garang. Meskipun seorang lawannya adalah orang yang sudah masak dalam olah kanuragan, tetapi Pangeran Benawa tidak mengalami kesulitan.


Bahkan sekali-sekali ia sempat mendesak lawannya, meskipun kemudian Pangeran Benawa lah yang harus berloncatan mundur. Seperti Raden Sutawijaya, Pangeran Benawa pun menggenggam sepasang belati. Sementara itu penutup pergelangan tangannya sekaligus dapat dipergunakannya sebagai perisai.

Semula lawannya tidak mengetahui bahwa Pangeran Benawa mengenakan sebuah perisai yang khusus di pergelangan tangannya. Karena itu, lawan-lawannya itu merasa heran jika sabetan pedang mereka seakan-akan terpental jika mengenai pergelangan tangan Pangeran Benawa.

Sementara itu lawannya yang lain lebih banyak menyesuaikan diri dengan tatanan gerak Pangeran Benawa. Dalam keadaan yang memungkinkan orang itu tiba-tiba saja menyerang dengan cepat serta dengan kekuatan yang sangat besar. Pada saat-saat Pangeran Benawa sibuk dengan lawannya yang lain, maka orang itu selalu memanfaatkan keadaan.

Tetapi Pangeran Benawa, meskipun masih terhitung muda, namun ilmunya seakan-akan sudah sulit dijajagi. Karena itu, maka Pangeran Benawa selalu dapat keluar dari kesulitan-kesulitan yang ditimbulkan oleh kedua orang lawannya itu.

Bahkan semakin lama justru kedua orang lawannya itulah yang mengalami kesulitan. Seorang di antara mereka berteriak nyaring ketika pisau belati panjang Pangeran Benawa menggores bahunya.

Belum lagi gema suaranya hilang, seorang lawan Paksi mengumpat dengan kasar. Tongkat bambu Paksi yang terayun mendatar telah menghantam punggungnya, sehingga orang itu jatuh terjerembab di atas tanah keras berbatu padas yang tidak rata.

Dengan tangkasnya orang itu meloncat bangkit. Namun ketika tangannya mengusap wajahnya yang terasa pedih, telapak tangannya terasa menyentuh cairan yang hangat. Ternyata hidungnya yang membentur batu padas telah berdarah. Dahinya dan dagunya juga terluka.

Sementara itu, Raden Sutawijaya yang bertempur melawan empat orang, termasuk Harya Wisaka sendiri, telah meningkatkan ilmunya. Ia sudah mulai jemu melayani keempat orang lawannya. Karena itu, maka Raden Sutawijaya pun telah menghentakkan ilmunya. Ketika seorang lawannya meloncat menyerangnya, Raden Sutawijaya bergeser mengelak. Tetapi seorang lawannya yang lain telah mengayunkan senjatanya pula mengarah ke lambung.

Dengan tangkasnya Raden Sutawijaya menangkisnya. Kedua pisau belati panjangnya memukul senjata lawannya itu dengan kerasnya. Tetapi pada saat yang hampir bersamaan, lawannya yang seorang lagi menjulurkan senjatanya mengarah ke dada. Raden Sutawijaya tidak sempat menangkisnya. Tetapi ia pun meloncat tinggi-tinggi. Berputar di udara dan kemudian hinggap di atas sebongkah batu padas. Namun demikian kakinya menyentuh batu padas itu, ia pun telah melenting kembali. Kakinya terjulur lurus menyamping.

Terdengar seorang di antara lawannya mengaduh tertahan. Kaki Raden Sutawijaya itu telah mendorongnya sehingga orang itu kehilangan keseimbangan. Dengan kerasnya ia terjatuh dan justru tersuruk ke dalam mulut terowongan.

Tubuhnya yang tidak mapan itu rasa-rasanya akan patah di tengah. Dengan susah payah ia berusaha untuk bangkit. Tetapi tubuhnya yang bagaikan patah itu terasa sakit sekali.

Seorang kawannya dengan tergesa-gesa mendekatinya. Dengan serta-merta kawannya itu telah menarik tangannya. Namun dengan demikian orang itu justru berteriak kesakitan.

Punggungnya tergores batu-batu padas yang keras, sehingga bukan saja bajunya terkoyak, tetapi juga kulitnya bagaikan terkelupas.

Kawannya yang menarik tangannya tidak menghiraukannya. Ia justru meloncat kembali ke arena, karena Raden Sutawijaya telah menyerang dan mendesak Harya Wisaka yang belum pulih kembali kemampuannya itu.

Dua orang dengan cepat berusaha menahan Raden Sutawijaya sehingga Harya Wisaka sempat meloncat mengambil jarak. Namun pada saat Harya Wisaka terlepas dari serangan Raden Sutawijaya, maka pisau belati Raden Sutawijaya itu terayun dengan derasnya. Seorang dari pengikut Harya Wisaka itu berteriak kesakitan. Ujung pisau belati Raden Sutawijaya itu ternyata telah menggores dadanya menyilang.

Harya Wisaka sendiri tertegun mendengar teriakan itu. Darah pun kemudian mengalir membasahi bajunya yang menganga pula.

Dalam pada itu, orang yang kulit punggungnya bagaikan terkelupas dan menahan pedih itu telah meloncat masuk kembali ke dalam arena. Namun ada sesuatu yang terasa menghambat gerak tangannya yang agak terkilir waktu ia terjatuh.

Pertempuran pun menjadi semakin sengit. Orang-orang yang terlibat sudah mengerahkan tenaga dan kemampuan mereka. Masing-masing telah sampai ke puncak ilmunya.

Namun Harya Wisaka dan para pengikutnya akhirnya tidak mampu mengatasi kemampuan ketiga orang lawannya. Seorang lawan Pangeran Benawa berdesah tertahan. Suaranya terputus di kerongkongan ketika pisau belati Pangeran Benawa itu menghunjam menyentuh jantung.

Namun Pangeran Benawa memang menjadi heran. Para pengikut Harya Wisaka itu bagaikan kerasukan iblis. Mereka sama sekali tidak dapat melihat kenyataan. Seharusnya mereka dapat menilai kemampuan diri. Tetapi dalam keadaan yang semakin sulit, mereka bagaikan harimau yang terluka. Mengamuk sejadi-jadinya.

Para pengikut Harya Wisaka yang lain pun telah terpengaruh pula. Ketika mereka menyadari bahwa seorang di antara mereka terbunuh, maka mereka pun bertempur semakin garang dan bahkan kasar. Harya Wisaka sendiri kemudian telah mengerahkan sisa-sisa kemampuannya. Ia bermaksud mengakhiri perlawanan Raden Sutawijaya lebih cepat, agar ia segera dapat ikut menghentikan perlawanan Pangeran Benawa.

Tetapi ternyata justru mereka berempatlah yang menjadi semakin terdesak.

Karena itu, maka lawan Pangeran Benawa itu tidak dapat mengharapkan bantuan dari kawan-kawannya. Dalam keadaan yang tidak berpengharapan orang itu bertempur membabi buta.

“Menyerahlah” berkata Pangeran Benawa, “kau tidak akan mempunyai kesempatan lagi”

Tetapi lawannya sama sekali tidak menghiraukannya. Ia bahkan berteriak nyaring meloncat sambil menebas dengan senjatanya mengarah ke leher Pangeran Benawa.

“Orang ini sedang membunuh diri” berkata Pangeran Benawa di dalam hatinya.

Ketika Pangeran Benawa mengelak dengan merendahkan diri, maka terdengar seseorang mengumpat kasar. Ternyata seorang lawan Raden Sutawijaya jatuh terguling dari atas gundukan batu padas. Orang itu masih berusaha untuk bangkit. Tetapi ternyata bahwa ia sudah tidak mampu lagi. Dengan susah payah tangannya menggapai-gapai batu-batu padas di sebelahnya. Namun ketika pegangan tangannya terlepas, orang itu terpelanting jatuh.

Yang terdengar kemudian adalah erang kesakitan. Dalam pada itu, Paksi pun telah menguasai kedua orang lawannya pula. Tongkat bambunya terayun-ayun mengerikan.

Ketika tongkat yang terjulur itu mematuk dada, maka lawannya itu pun telah terguling pula. Demikian ia berusaha bangkit, maka tongkat bambu Paksi itu pun telah memukul tengkuknya. Orang itu mengaduh tertahan. Suaranya bagaikan terpotong di kerongkongannya.

Yang tersisa sama sekali tidak mengendorkan perlawanan meskipun mereka tahu, bahwa mereka tidak akan dapat bertahan lebih lama lagi.

Harya Wisaka yang melihat keadaan para pengawalnya menjadi semakin cemas. Ia pun kemudian telah bersuit nyaring, memberikan aba-aba kepada para pengikutnya yang tersisa.

Beberapa orang itu pun tiba-tiba saja berloncatan turun dari gundukan batu-batu padas yang menyekat lubang terowongan sehingga lubang itu menjadi tersembunyi.

Raden Sutawijaya, Pangeran Benawa dan Paksi memang terkejut mendengar isyarat itu. Mereka tidak tahu, apa yang akan dilakukan oleh lawan-lawan mereka itu. Bahkan mereka semula menyangka bahwa isyarat itu adalah isyarat untuk melarikan diri. Setidak-tidaknya memberi kesempatan kepada Harya Wisaka untuk melepaskan diri dari tangan Raden Sutawijaya dan Paksi.

Namun ternyata tidak. Mereka yang tinggal enam orang itu telah berkumpul dan bersiap memberikan perlawanan di dalam satu kelompok yang lebih besar.

Raden Sutawijaya, Pangeran Benawa dan Paksi termangu-mangu sejenak. Mereka sadar, bahwa Harya Wisaka dan kelima orang pengikutnya akan merubah tatanan perlawanan mereka.

Dalam pada itu, maka Raden Sutawijaya, Pangeran Benawa dan Paksi pun telah berdiri di luar sekelompok kecil orang itu di arah yang berbeda. Meskipun hanya bertiga, tetapi mereka seakan-akan telah mengepung enam orang yang siap menghadapi mereka. Di antara mereka adalah Harya Wisaka sendiri.

Beberapa saat kemudian, Pangeran Benawa, Raden Sutawijaya dan Paksi itu pun mulai bergeser. Tanpa berjanji sebelumnya, mereka saling menyesuaikan diri.

Sejenak kemudian, maka pertempuran pun telah berkobar lagi. Berenam dalam satu kelompok mereka masih mampu saling melindungi. Terutama melindungi Harya Wisaka sendiri. Tanpa menghiraukan keselamatan diri sendiri, kelima orang pengikutnya itu bertempur dengan garang, keras dan bahkan kasar.

Harya Wisaka sendiri terlibat pula dalam pertempuran itu. Tetapi ia lebih banyak berada di bawah perlindungan para pengikutnya.

“Paman” berkata Pangeran Benawa kemudian, “mumpung masih ada kesempatan, perintahkan para pengikut Paman itu menghentikan perlawanan mereka. Dengan demikian maka pertempuran ini pun akan segera selesai. Peristiwa yang terjadi disini tidak akan memberatkan hukuman Paman. Kami tidak akan mengatakan bahwa Paman telah mengeraskan hati untuk melakukan perlawanan pada waktu kami berusaha menangkap Paman”

“Diam kau, anak Karebet. Jika kau takut menghadapi kami, pergilah. Kami tidak akan menyakitimu. Kalian bertiga akan kami ampuni dan kami beri kesempatan untuk tetap hidup dan pulang kepada ibu kalian masing-masing”

Raden Sutawijaya tertawa. Katanya, “Seharusnya Paman tidak mengingkari kenyataan ini”

“Persetan dengan igauanmu”

“Paman” berkata Pangeran Benawa selanjutnya, “jika kesempatan terakhir ini tidak Paman pergunakan dengan baik, maka kami tidak akan memberikan kesempatan berikutnya kepada Paman”

“Diam. Sebentar lagi kau memang akan diam untuk selamanya”

Pangeran Benawa menarik nafas dalam-dalam. Kemudian dengan nada tinggi ia pun berkata lantang, “Ternyata segala niat baik kita tidak ditanggapi oleh Paman Harya Wisaka. Karena itu, maka kita tidak mempunyai pilihan lain. Kita akan menghancurkan mereka sampai orang yang terakhir”

Suara Pangeran Benawa yang mengumandang itu memang menggetarkan jantung Harya Wisaka dan para pengikutnya.

Namun segera diimbangi oleh Harya Wisaka yang berteriak nyaring, “Kita selesaikan ketiga orang yang menghalangi perjalanan kita. Bunuh mereka. Jangan ragu-ragu”

Tetapi Pangeran Benawa masih menjawab, “Dua orang kawan kalian sudah tidak mampu bangkit. Meskipun kami tidak datang untuk membunuh, tetapi dalam pertempuran yang terjadi, kematian dapat saja menerkam semua orang yang terlibat.

Karena itu, siapakah di antara kalian yang masih ingin melihat matahari terbit esok pagi, menyerahlah”

“Cukup” teriak Harya Wisaka. Lalu perintahnya pun menggelegar lagi, “Bunuh mereka bertiga”

Para pengikut Harya Wisaka pun mengerahkan kemampuan mereka. Bersama Harya Wisaka, maka mereka mulai bergerak berputar perlahan-lahan sambil mengacukan senjata-senjata mereka. Sekali-sekali mereka berloncatan menyerang, namun mereka pun kemudian kembali ke dalam lingkaran yang berputar.

Pangeran Benawa, Raden Sutawijaya dan Paksi mengamati Harya Wisaka dan para pengikutnya itu dengan seksama. Sekali-sekali terjadi benturan senjata di antara mereka. Namun jika Pangeran Benawa, Raden Sutawijaya dan Paksi mengambil jarak, maka para pengikut Harya Wisaka itu tidak menyerang mereka.

Seakan-akan mereka dengan sengaja membatasi ruang gerak mereka, sehingga tidak keluar dari lingkaran. Pangeran Benawa, Raden Sutawijaya dan Paksi pun kemudian menyadari, bahwa Harya Wisaka dan para pengikutnya yang merasa sulit untuk mengimbangi kemampuan ketiga orang lawannya itu lebih banyak bertahan daripada menyerang. Mereka menyusun satu lingkaran yang selalu bergerak, yang sulit untuk ditembus.

Menghadapi tatanan gerak lawannya, maka Pangeran Benawa, Raden Sutawijaya dan Paksi berusaha untuk menemukan kelemahan pertahanan lawan mereka itu.

Raden Sutawijaya lah yang kemudian tiba-tiba saja bergerak mendekati Pangeran Benawa sambil berdesis, “Kita padukan kekuatan kita untuk menembus dinding pertahanan mereka”

Pangeran Benawa pun segera tanggap. Karena itu, maka berdua mereka segera mendekati Paksi. Raden Sutawijaya pun telah mengulangi lagi pernyataannya, “Kita padukan kekuatan kita untuk menembus dinding pertahanan mereka”

Sebagaimana Pangeran Benawa, Paksi pun tanggap pula. Bertiga mereka pun segera mempersiapkan diri untuk menembus putaran lingkaran pertahanan Harya Wisaka dan para pengikutnya.

Namun, demikian mereka melihat sikap ketiga orang lawan mereka, maka Harya Wisaka pun segera memberikan perintah kepada para pengikutnya untuk merubah gelarnya pula. Mereka tidak lagi berputar melingkar. Namun tiba-tiba saja lingkarannya itu telah bergerak dengan cepat. Keenam orang itu pun telah menebar lengkung hampir setengah lingkaran.

Raden Sutawijaya, Pangeran Benawa dan Paksi pun tertegun melihat tatanan gerak lawannya yang cepat dan tersusun. Agaknya mereka pun telah terlatih menghadapi keadaan yang gawat sebagaimana mereka hadapi saat itu.

Namun Raden Sutawijaya itu pun berkata, “Kita harus segera menyelesaikan mereka sebelum terjadi perubahan keadaan. Mungkin sekali kawan-kawan mereka akan berdatangan atau kemungkinan-kemungkinan lain yang tidak kita ketahui lebih dahulu”

Pangeran Benawa dan Paksi pun mengangguk. Apa pun yang akan terjadi, maka mereka bertiga harus menghentakkan kemampuan mereka memecahkan pertahanan lawan mereka.

Dalam pada itu, dengan isyarat yang diberikan oleh Harya Wisaka, maka para pengikutnya itu pun telah berderap bergeser mendekati ketiga orang lawan mereka dengan senjata teracu.

“Bagus” desis Raden Sutawijaya, “kita jangan menyerang mereka pada pusat setengah lingkaran itu. Dengan cepat Adimas Pangeran dan Paksi harus menjauhi aku. Aku akan berada di pusat setengah lingkaran itu, sedangkan kalian berdua akan menyerang dari luar. Jangan beri kesempatan mereka dapat menebak gerakan kita agar mereka tidak menyusun bentuk pertahanan baru”

“Beri perintah” desis Pangeran Benawa.

Raden Sutawijaya mengangguk.

Dalam pada itu, lawan-lawan mereka pun bergerak semakin dekat. Senjata mereka tidak saja teracu, tetapi ujungnya mulai bergetar.

“Mereka tidak sekokoh yang kita lihat. Ada di antara mereka yang telah terluka. Bahkan kesakitan di punggung dan lambung”

Paksi mengangguk. Orang yang sudah dipukulnya di tengkuknya, tidak lagi mampu memberikan perlawanan sepenuhnya. Demikian pula orang yang telah terperosok ke dalam lubang terowongan, orang yang telah terlempar dari bongkah-bongkah batu padas. Sementara Harya Wisaka sendiri masih sangat lemah.

Sejenak kemudian, ketika Harya Wisaka dan para pengikutnya menjadi semakin dekat, maka Raden Sutawijaya pun telah memberikan isyarat.

Dengan cepat sekali Pangeran Benawa dan Paksi berloncatan keluar dari arah mulut setengah lingkaran yang seakan-akan hendak menerkam dan menelannya itu. Sementara itu, dengan cepat pula Raden Sutawijaya justru menyuruk ke dalamnya.

Tatanan gerak itu mengejutkan Harya Wisaka. Namun ia tidak sempat merubah pertahanannya. Sementara Harya Wisaka dan orang yang berada di sebelah-menyebelah bertahan terhadap sergapan Raden Sutawijaya, Pangeran Benawa dan Paksi telah menyerang dari kedua sisinya.

Harya Wisaka dan orang-orangnya pun segera berada dalam kesulitan yang gawat. Raden Sutawijaya, Pangeran Benawa dan Paksi agaknya sudah merasa terlalu lama bertempur, sehingga tubuh mereka telah basah oleh keringat.

Karena itu, maka mereka pun telah meningkatkan kemampuan mereka untuk segera mengakhiri perlawanan Harya Wisaka dan para pengikutnya.

Dalam keadaan yang paling sulit itu, maka Harya Wisaka tidak mempunyai pilihan lain. Selagi pertempuran meningkat menjadi semakin sengit, maka terdengar isyarat dari mulut Harya Wisaka.

Raden Sutawijaya, Pangeran Benawa dan Paksi yang mendengar pula isyarat itu bertanya-tanya di dalam hati, apa pula yang akan dilakukan oleh Harya Wisaka dan para pengikutnya.

Namun tiba-tiba saja para pengikut Harya Wisaka itu menghentakkan kemampuan mereka. Dengan sisa-sisa tenaga serta dengan mengerahkan ilmu mereka, para pengikut Harya Wisaka itu menyerang sejadi-jadinya. Seperti prahara mereka melibat ketiga orang lawan mereka.

Dalam keadaan yang demikian Harya Wisaka telah mempergunakan kesempatan untuk menghindar dari arena. Tetapi Pangeran Benawa tidak membiarkannya melarikan diri. Ia pun segera meloncat meninggalkan lawan-lawannya menyusul Harya Wisaka yang melarikan diri. Sementara itu, Raden Sutawijaya dan Paksi membiarkan Pangeran Benawa memburu Harya Wisaka, sementara mereka menghadapi para pengikut Harya Wisaka yang melibat mereka seperti angin pusaran.

Seorang di antara mereka yang mencoba menghalangi Pangeran Benawa tiba-tiba saja telah terlempar jatuh. Pangeran Benawa tidak mau lagi dihambat. Pisau belatinya telah menyambar dada orang itu.

Sementara itu, ketika yang lain pun berusaha menghambat, maka Raden Sutawijaya dan Paksi pun telah menyerang mereka dengan garangnya.

Ternyata bahwa Pangeran Benawa berhasil melepaskan diri dan mengejar Harya Wisaka yang belum terlalu jauh. Tenaga dan kemampuan Harya Wisaka memang belum pulih kembali. Dalam waktu yang pendek, Pangeran Benawa telah berhasil menyusulnya.

Dengan tenaga dan kemampuan yang ada, Harya Wisaka mencoba untuk melawan. Sebagai seorang yang berilmu tinggi dan pengalaman yang luas, ia masih mampu bertahan beberapa lama. Sementara itu, Raden Sutawijaya dan Paksi harus mengatasi para pengikut Harya Wisaka yang menjadi seperti gila.

Para pengikut Harya Wisaka itu tidak lagi menghiraukan keselamatan dirinya. Bahkan yang punggungnya telah terkelupas, yang tengkuknya bagaikan patah, yang tangannya terkilir serta yang telah menitikkan darah, tidak lagi menghiraukan sakit dan pedih yang menggigit.

Raden Sutawijaya dan Paksi memang sedikit mengalami kesulitan menghadapi orang-orang yang seakan-akan sengaja membunuh diri itu. Meskipun Raden Sutawijaya telah mencoba memperingatkan mereka, namun mereka tidak menghiraukannya. Apalagi orang-orang yang memang merasa bersalah, mereka yang tidak mampu mengamankan lingkungan di sekitar mulut terowongan itu. Seandainya mereka lolos dari tangan Raden Sutawijaya dan Paksi, mereka tentu akan dituntut untuk mempertanggung-jawabkan kelalaian mereka. Mereka pun menyadari, hukuman apa yang akan mereka terima karena kelalaian mereka itu.

Karena itu, maka para pengikut Harya Wisaka itu tidak lagi mempunyai pilihan. Dengan mengerahkan segenap tenaga dan kemampuan mereka yang terakhir, mereka melawan Raden Sutawijaya dan Paksi.

Seorang demi seorang mereka pun terlempar dari arena. Tongkat bambu Paksi berputar menyambar-nyambar. Sekali-sekali terjulur menembus pertahanan lawan mematuk dada.

Sementara itu pisau belati Raden Sutawijaya pun menebas menyilang menggores dada dan bahkan menghunjam menembus jantung.

Namun para pengikut Harya Wisaka itu benar-benar seperti orang-orang yang kerasukan. Bahkan ketika tinggal seorang yang masih mampu memberikan perlawanan, orang itu tidak bersedia menyerah. Dilawannya Raden Sutawijaya dan Paksi. Seakan-akan ia mempunyai kemampuan melampaui kedua orang itu.

“Hentikan orang itu, Paksi” berkata Raden Sutawijaya. “Aku akan membantu Dimas Pangeran Benawa. Dimas sendiri tentu dapat mengakhiri perlawanan Paman Harya Wisaka. Tetapi Dimas tentu ingin menangkap Paman itu hidup-hidup, sementara Paman Harya Wisaka tentu tidak akan bersedia menyerah, bahkan sampai mati sekalipun”

“Baik, Raden” jawab Paksi sambil bertempur.

“Jangan lari” teriak orang itu ketika ia melihat Raden Sutawijaya meninggalkannya.

Dengan sisa tenaganya yang terakhir orang itu justru berlari mengejar Raden Sutawijaya. Namun Paksi tidak membiarkannya. Diayunkannya tongkatnya dengan derasnya menghantam punggung orang itu.

Orang itu pun jatuh terjerembab. Wajahnya menghantam batu-batu padas. Senjatanya terlepas dari tangannya, sementara tulang punggungnya bagaikan patah, sehingga orang itu tidak lagi mampu bangkit.

Habislah perlawanan para pengikut Harya Wisaka sampai orang terakhir. Sementara itu Raden Sutawijaya telah melibatkan diri di arena pertempuran antara Pangeran Benawa dan Harya Wisaka.

Sebenarnyalah, bahwa perlawanan Harya Wisaka tidak terasa terlampau berat bagi Pangeran Benawa. Tetapi seperti yang diperhitungkan oleh Raden Sutawijaya, Pangeran Benawa ingin menangkap Harya Wisaka hidup-hidup, sehingga karena itu Pangeran Benawa agak mengalami kesulitan.

Bersama Raden Sutawijaya, maka Pangeran Benawa itu masih juga bertempur dengan hati-hati. Ia tidak ingin melukai, apalagi membunuh Harya Wisaka. Namun Harya Wisaka sama sekali tidak berniat untuk menyerah. Harya Wisaka telah memutuskan untuk bertempur sampai akhir.

Ketika kemudian Paksi pun mendekat pula, maka Harya Wisaka sadar, bahwa ia harus melawan ketiga orang itu.

Pertempuran masih berlangsung terus. Pangeran Benawa, Raden Sutawijaya dan Paksi berloncatan berganti-ganti menyerang. Semakin lama semakin sering, meskipun senjata-senjata mereka sama sekali tidak melukai kulit Harya Wisaka.

Namun ujung tongkat Paksi lah yang beberapa kali telah menyentuh tubuh Harya Wisaka. Ketika tongkat bambu itu mengenai pundaknya, maka Harya Wisaka terdorong beberapa langkah surut. Jika saja Raden Sutawijaya dan Pangeran Benawa ingin menghabisinya, maka kesempatan pun telah terbuka. Tetapi keduanya tidak melakukannya. Keduanya justru menyerang dengan garangnya, namun tanpa menyentuh kulit tubuh Harya Wisaka dengan ujung-ujung senjata. Kaki Pangeran Benawa lah yang terjulur mengenai lambung. Namun hampir saja kaki Pangeran Benawa itu tertebas oleh pedang Harya Wisaka.

Melawan tiga orang, Harya Wisaka harus mengerahkan segenap sisa tenaga dan kemampuannya yang memang belum pulih kembali. Semakin lama, tenaganya pun menjadi semakin menyusut. Nafasnya tersengal-sengal dan bahkan seakan-akan hampir terputus di kerongkongan.

Pangeran Benawa, Raden Sutawijaya dan Paksi justru meningkatkan serangan-serangan mereka. Tongkat Paksi, tangan dan kaki Pangeran Benawa dan Raden Sutawijayalah yang sekali-sekali mengenai tubuh Harya Wisaka itu.

Semakin lama Harya Wisaka pun seakan-akan telah kehabisan tenaganya. Ketika ia menjulurkan pedangnya menggapai tubuh Pangeran Benawa, maka dengan sekuat tenaganya Paksi memukul punggung pedang itu dengan tongkat bambunya.

Ternyata Harya Wisaka yang telah menjadi sangat letih itu tidak lagi mampu mempertahankan pedangnya. Tangannya menjadi sangat pedih, bagaikan terkelupas.

Demikian pedangnya terjatuh, maka Pangeran Benawa pun dengan serta-merta menerkamnya, sehingga keduanya jatuh berguling.

Harya Wisaka tidak dapat berbuat banyak. Pangeran Benawa, Raden Sutawijaya dan Paksi pun kemudian berusaha menangkapnya dan meringkusnya.

Harya Wisaka memang menghentakkan kekuatannya. Tetapi tenaganya yang memang belum pulih kembali serta kelelahan yang mencengkam, membuatnya tidak berdaya.

“Bunuh aku” geram Harya Wisaka

“Kami bukan pembunuh, Paman” jawab Pangeran Benawa.

“Kalian telah membunuh orang-orangku”

“Bukan maksud kami. Tetapi itu terjadi dalam pertempuran”

“Kau bunuh aku juga dalam pertempuran”

“Kami menangkap Paman sekarang. Apakah kami harus membunuh orang yang sudah tidak berdaya?”

Harya Wisaka mengumpat. Ia berhasil meloloskan diri dari tangan Ki Gede Pemanahan, Kangjeng Sultan Hadiwijaya dan Ki Waskita. Namun kemudian ia justru jatuh ke tangan anak-anak yang masih ingusan itu.

Tetapi Harya Wisaka tidak dapat ingkar dari kenyataan itu. Paksi telah mengikat tangan Harya Wisaka itu dengan ikat kepalanya di belakang tubuhnya.

“Kau tidak berhak mengikat tanganku dengan ikat kepalamu itu. Aku tidak harus diikat. Aku hanya boleh disangkuti cinde karena kedudukanku”

“Siapakah Paman itu sehingga hanya dapat disangkuti cinde di leher atau lambung?”

“Gila kau, Benawa. Aku adalah Harya Wisaka yang justru lebih berhak dari ayahmu atas tahta Pajang”

“Mungkin Paman benar. Tetapi disini tidak ada cinde yang diperlukan itu”

“Persetan. Tetapi aku tidak mau diikat dengan ikat kepalanya ini”

“Maaf, Paman. Yang ada hanyalah ikat kepala itu. Itu pun Paksi harus mengorbankannya, sehingga ia tidak mengenakan ikat kepala”

Harya Wisaka memang tidak dapat menolak perlakukan ketiga orang yang menangkapnya itu. Apalagi setelah tangannya diikat. Dalam pada itu, Pangeran Benawa, Raden Sutawijaya dan Paksi masih harus membicarakan, apa yang akan mereka lakukan.

“Kita bawa saja Harya Wisaka langsung ke istana” berkata Paksi.

“Apakah kita tidak akan mengalami hambatan di perjalanan?

Bagaimana jika para prajurit yang bertugas di pintu gerbang tidak mempercayai kita?” desis Pangeran Benawa.

“Jika terpaksa kita dapat memperkenalkan kenyataan tentang diri kita masing-masing” sahut Raden Sutawijaya.

Pangeran Benawa mengangguk-angguk. Katanya, “Ya. Kita dapat menyatakan diri dari kita masing-masing. Mudah-mudahan para prajurit itu mempercayainya”

Ketiganya memang tidak menemukan jalan terbaik selain membawa Harya Wisaka itu ke pintu gerbang. Mereka terpaksa meninggalkan orang-orang yang terbunuh dan bahkan yang terluka. Mereka tidak sempat menolong mereka karena mereka sedang membawa seorang yang sangat penting bagi Pajang.

Dengan demikian, maka mereka bertiga pun segera membawa Harya Wisaka ke pintu gerbang kota dengan tangan terikat.

Meskipun Harya Wisaka tetap berkeberatan, namun ketiga orang yang menangkapnya itu tidak menghiraukannya.

Ketika mereka mendekati pintu gerbang, maka ketiga orang yang menangkap Harya Wisaka itu memang menjadi berdebar-debar. Jika saja para prajurit di pintu gerbang itu tidak mengenali mereka, maka persoalannya akan menjadi berkepanjangan.

Sebenarnyalah para prajurit di pintu gerbang itu dengan serta-merta menghentikan mereka. Seorang lurah prajurit yang memimpin para prajurit yang bertugas di pintu gerbang itu dengan wajah tegang bertanya, “Bukankah kalian orang-orang yang tadi keluar lewat pintu gerbang ini dengan alasan salah seorang keluarga kalian sakit keras?”

“Ya” jawab Pangeran Benawa, “sekarang aku akan masuk kembali. Aku membawa seorang tawanan yang sangat penting bagi Pajang”

“Tawanan apa? Perampok? Pengikut Harya Wisaka?”

“Lihat, siapakah orang yang berhasil kami tangkap ini. Kau tentu dapat mengenalinya karena ciri-cirinya sudah diberitahukan kepada semua prajurit, bahkan semua orang di Pajang”

Lurah prajurit itu mengamat-amati Harya Wisaka yang nampak sangat letih itu. Dengan ragu-ragu ia pun berkata, “Orang inikah yang bernama Harya Wisaka?”

“Ya” jawab Pangeran Benawa.

Lurah prajurit itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun berkata, “Nah, serahkan orang ini kepada kami, prajurit Pajang yang bertugas di pintu gerbang kota”

“Kami akan membawanya langsung ke istana”

Lurah prajurit itu menggelengkan kepalanya. Katanya, “Itu tidak mungkin. Kamilah yang bertugas malam ini di sini. Kami bertanggung jawab terhadap semua peristiwa yang terjadi malam ini di sini. Juga peristiwa tertangkapnya Harya Wisaka. Karena masalah ini adalah masalah yang besar bagi Pajang, maka segala persoalannya harus kami ambil alih”

“Tetapi kamilah yang telah menangkap Harya Wisaka. Kamilah yang harus membawanya menghadap langsung Kangjeng Sultan”

“Kau kira setiap orang boleh menghadap Kangjeng Sultan?”

“Aku akan diperkenankan menghadap kapan saja”

Lurah prajurit itu tertawa. Katanya, “Kau kira, siapakah kau ini, he? Gelandangan seperti kau akan diusir seperti anjing kurapan jika kau berani mendekati pintu gerbang istana”

“Cukup. Jangan membual lagi. Biarlah kami lewat”

Namun tiba-tiba saja Harya Wisaka itu pun berkata, “Apakah kalian percaya bahwa aku seorang buruan? Aku baru pulang dari rumah seorang saudaraku yang melahirkan anaknya. Tiba-tiba saja aku disergap oleh ketiga orang itu. Nampaknya ketiga orang itu adalah pemburu hadiah jika ia berhasil menangkap orang-orang yang dicari oleh para pemimpin di Pajang”

Lurah prajurit itu termangu-mangu sejenak. Namun katanya, “Aku memang yakin bahwa ketiga orang ini adalah orang-orang yang memburu hadiah jika ia berhasil menangkap orang-orang yang dicari oleh para pemimpin di Pajang. Tetapi aku pun yakin bahwa kau adalah Harya Wisaka. Karena itu, maka kau harus diserahkan kepada kami, prajurit yang bertugas di malam ini”

“Kau keliru, Ki Sanak. Aku mohon kau memandang wajahku dengan seksama. Apakah aku orang yang kalian cari? Namaku sama sekali bukan Harya Wisaka. Bahkan aku belum pernah mendengar nama itu. Namaku adalah Kriyatama, seorang pedagang ternak dari Pandean. Jika Ki Sanak tidak percaya, marilah, bawa aku ke Pandean. Setidak-tidaknya Ki Sanak akan mendapatkan seekor kambing yang dapat disembelih untuk makan siang esok bersama para prajurit yang bertugas malam ini”

Lurah prajurit itu mengerutkan dahinya. Dipandanginya Harya Wisaka dengan seksama. Menurut ciri-ciri yang mereka ketahui, orang itu memang Harya Wisaka adanya. Namun keterangannya membuat lurah prajurit itu ragu-ragu......

Pangeran Benawa, Raden Sutawijaya dan Paksi tiba-tiba saja justru berdiam diri. Mereka ingin mendengar pembicaraan lurah prajurit dan Harya Wisaka itu selanjutnya.

“Kau dapat membawaku ke Pandean” berkata Harya Wisaka. “Kau akan bertemu dengan para saksi, bahwa aku adalah Kriyatama, orang Pandean. Jika aku berbohong, Ki Sanak dapat membunuhku di tempat. Tetapi jika aku adalah Kriyatama, maka kalian akan dapat menikmati makan siang yang barangkali akan selalu kalian kenang”

Lurah prajurit itu ternyata merenungi kata-kata Harya Wisaka. Rasa-rasanya mereka ingin pergi ke Pandean. Jaraknya tidak terlalu jauh. Tetapi prajurit itu ragu-ragu. Jika mereka pergi, siapakah yang akan menjaga pintu gerbang itu?

Akhirnya lurah prajurit itu berkata, “Tunggu sampai pengganti kami datang. Kami akan membawa kau ke Pandean untuk membuktikan apakah benar kau orang Pandean”

“Terserah saja kepada Ki Sanak. Tetapi mohon ketiga orang ini jangan mengganggu aku lagi”

Lurah prajurit itu pun kemudian berpaling kepada Raden Sutawijaya, Pangeran Benawa dan Paksi. Dengan garang lurah prajurit itu berkata, “Pergilah. Jika kalian tidak mau pergi, maka kalian akan kami tangkap”

“Kenapa kami harus ditangkap?”

“Kau tidak menghargai kehadiran kami di sini”

“Aku hargai kehadiran para prajurit. Karena itu kami melapor bahwa kami telah menangkap Harya Wisaka”

“Sekali lagi aku peringatkan agar kalian meninggalkan tempat ini atau kami tangkap”

Pangeran Benawa, Raden Sutawijaya dan Paksi termangu-mangu sejenak. Sementara itu, beberapa orang prajurit yang bertugas di pintu gerbang itu pun telah mengerumuninya.

Jumlah prajurit yang bertugas itu lebih dari sepuluh orang. Pangeran Benawa, Raden Sutawijaya dan Paksi memperhitungkan bahwa mereka akan dapat mengalahkan para prajurit itu. Namun jika kemudian mereka membunyikan isyarat dan kelompok-kelompok prajurit yang lain berdatangan, maka persoalannya akan menjadi bertambah gawat. Meskipun di antara mereka tentu ada yang dapat mengenali Raden Sutawijaya atau Pangeran Benawa, namun kemungkinan lain dapat saja terjadi.

Tiba-tiba saja Pangeran Benawa itu pun berkata, “Baiklah. Marilah kita pergi. Kita serahkan saja Harya Wisaka itu kepada para prajurit yang bertugas. Jika Harya Wisaka itu terlepas dari tangan mereka, maka itu adalah tanggung jawab mereka”

Raden Sutawijaya dan Paksi tidak dapat berbuat lain. Bertiga mereka meninggalkan pintu gerbang itu.

Namun sebelum mereka menjadi semakin jauh, Harya Wisaka itu pun berkata, “Mereka adalah orang-orang yang berbahaya. Kenapa mereka tidak ditangkap saja?”

“Mereka tidak mempunyai kesalahan apa-apa. Setiap orang dapat saja memburu hadiah dengan menangkap orang-orang yang dikejar-kejar oleh pemerintah Pajang”

“Tetapi mereka berbuat sewenang-wenang. Mereka menangkap orang-orang yang tidak seharusnya ditangkap”

“Jika orang-orang tangkapan itu diserahkan kepada prajurit Pajang, maka akan ternyata bahwa orang itu salah tangkap”

“Tetapi kadang-kadang para prajurit pun kurang teliti mengamati orang-orang yang ditangkap itu. Untunglah bahwa Ki Sanak sangat bijaksana, sehingga tidak begitu saja mempercayainya. Coba, apakah masuk akal jika mereka ingin membawa aku langsung ke istana? Bukankah itu satu bualan yang bodoh, apalagi di hadapan para prajurit Pajang”

“Kami tidak perlu menangkapnya. Yang penting, aku telah menerima penyerahan Ki Sanak. Besok kami akan membawamu ke Pandean. Jika kau berbohong, berarti kamilah yang dapat menangkap Harya Wisaka. Tetapi jika kau tidak berbohong, maka kami akan mendapatkan suguhan makan siang yang nikmat. Seekor kambing akan disembelih”

“Jika aku bukan Kriyatama dari Pandean, aku tidak akan berani mengaku-aku. Tetapi kenapa kita harus menunggu sampai esok. Ketiga orang itu adalah orang-orang yang licik. Mereka akan dapat melapor bahwa aku adalah orang yang disangkanya Harya Wisaka. Beberapa prajurit yang tidak sedang bertugas disini akan dapat dikelabuhinya dengan ceritera-ceritera bohongnya”

“Maksudmu?”

“Kau dapat menugaskan dua atau tiga orang prajurit untuk bersaksi ke Pandean malam ini. Baru besok kalian semuanya pergi ke Pandean untuk makan siang setelah para prajurit pengganti itu datang, nanti, seandainya benar ketiga orang itu datang bersama beberapa prajurit yang lain, biarlah mereka membuktikan, bahwa aku adalah Kriyatama, orang Pandean.

Jika mereka menemukan aku di Pandean, maka mereka akan yakin, bahwa ketiga orang pemburu hadiah itu telah berbuat semena-mena”

“Jangan tergesa-gesa, Ki Sanak. Jika ketiga orang itu memanggil prajurit yang lain, maka kamilah yang akan menyelesaikannya. Mereka tidak dapat mengambilmu dari tangan kami”

“Jika jumlah mereka terlalu banyak, sementara mereka semuanya belum pernah bertemu dan mengenali orang yang bernama Harya Wisaka itu?”

“Jangan takut. Para prajurit Pajang sudah dibatasi dengan garis-garis tugas mereka masing-masing, sehingga tidak akan terjadi benturan di antara kami”

Namun Harya Wisaka itu pun berkata, “Bagaimanapun juga, persoalannya bukan sekedar paugeran dan garis-garis tugas yang sudah ditentukan. Persoalannya menyangkut kepentingan yang lebih jauh lagi, karena agaknya siapakah yang dapat menangkap orang yang bernama Harya Wisaka itu akan mendapat hadiah apa pun ujudnya. Pamrih itulah agaknya yang harus dipertimbangkan. Pamrih itu biasanya dapat melupakan apa pun juga, termasuk batasan-batasan, paugeran dan tatanan-tatanan. Bahkan kesetiaan”

“Tetapi jika kau bukan Harya Wisaka, siapakah yang akan memperebutkan?”

“Jika karena tidak mengenal Harya Wisaka? Apakah aku juga harus mengajak mereka pergi ke Pandean? Berapa ekor kambing aku harus menyembelih siang besok?”

Lurah prajurit itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun berkata, “Baiklah. Tiga orang prajuritku akan membawamu ke Pandean”

“Terima kasih. Aku sudah membayangkan isteri dan anak-anakku di rumah menjadi sangat gelisah jika aku tidak pulang”

Lurah prajurit itu pun kemudian telah memerintahkan tiga orang prajurit yang bersenjata tombak untuk membawa orang yang mengaku bernama Kriyatama itu.

“Bawa orang ini ke Pandean. Kalian harus langsung menemui Ki Bekel di Pandean. Kalian harus bertanya, siapakah orang yang kau bawa itu. Apakah orang itu orang Pandean atau bukan. Jika orang itu orang Pandean, serahkan ia kepada Ki Bekel. Tetapi kalian harus tahu di mana rumahnya. Apakah ia mempunyai kambing seperti dikatakannya atau tidak. Jika tidak, ia telah menipu sekelompok prajurit Pajang yang telah bertugas. Tetapi jika orang itu bukan orang Pandean, maka ia harus dibawa kembali kemari. Orang itu adalah Harya Wisaka”

“Baik, Ki Lurah”

“Hati-hatilah. Tugas kalian adalah tugas yang berat. Apalagi jika orang itu benar-benar Harya Wisaka”

“Baik, Ki Lurah”

“Kalian tidak boleh menyimpang dari perintahku. Jangan pergi ke mana pun juga selain ke Pandean. Kalian dengar?”

“Ya, Ki Lurah”

“Jangan hiraukan jika orang itu membujuk kalian”

“Ya, Ki Lurah”

Demikianlah maka ketiga orang itu pun segera membawa orang yang menyebut Kriyatama itu meninggalkan pintu gerbang.

“Bagaimana dengan ikatan tanganku ini?” bertanya orang itu ketika mereka berangkat.

Namun Ki Lurah itu pun menjawab, “Ikatan itu tidak akan dilepas sampai kau bertemu dengan Ki Bekel Pandean”

Orang yang mengaku bernama Kriyatama itu mengangguk. Katanya, “Baiklah. Nampaknya Ki Lurah belum yakin, bahwa aku adalah orang Pandean. Tetapi baiklah, aku tidak berkeberatan dibawa dengan tangan terikat sampai bertemu dengan Ki Bekel Pandean”

Sejenak kemudian, maka orang yang menyebut dirinya Kriyatama itu diawasi oleh tiga orang prajurit telah menembus kegelapan menuju ke Pandean, sebuah padukuhan yang tidak terlalu jauh dari pintu gerbang kota.

Dalam pada itu, di dalam kota, tidak jauh dari pintu gerbang kota. Raden Sutawijaya dan Paksi mengawasi apa yang telah terjadi di pintu gerbang. Dengan mengetrapkan ilmu Sapta Pandulu dan Sapta Pangrungu mereka dapat melihat dan mendengar apa yang telah terjadi di pintu gerbang kota itu.

Ketika mereka melihat Harya Wisaka itu dibawa oleh tiga orang prajurit menuju ke Pandean, maka Raden Sutawijaya itu pun berkata, “Kau tunggu Dimas Pangeran Benawa disini. Aku akan mengikuti mereka”

“Bagaimana Raden akan keluar?”

“Perhatian mereka sepenuhnya tertuju kepada Harya Wisaka. Aku akan meloncati dinding. Demikian Dimas Pangeran datang, kalian harus segera menyusul aku. Aku percaya bahwa mereka pergi ke Pandean. Namun ketiga orang prajurit itu tentu akan terjebak ke dalam sarang serigala itu. Aku menduga, bahwa Pandean yang memang agak tersembunyi di balik gumuk kecil itu merupakan sarang para pengikut Harya Wisaka di luar kotaraja. Mungkin di Pandean terdapat beberapa orang terpenting dari para pengikut Harya Wisaka”

“Tetapi kenapa Harya Wisaka dengan ringan menyebut padukuhan itu selagi kita masih ada di penjagaan itu”

“Mungkin Harya Wisaka tidak segera dapat menyebut nama padukuhan yang lain. Namun mungkin juga ia menyebutnya di luar sadarnya”

“Baik, Raden. Aku akan menunggu Pangeran Benawa disini”

“Hati-hatilah. Kita harus mengepung Padukuhan Pandean rapat-rapat. Jangan sampai ada yang lolos. Sementara itu, biarlah aku mengawasi Paman Harya Wisaka. Jika ia tidak pergi ke Pandean, maka aku akan menghentikannya dan menunggu kedatangan kalian”

“Baik, Raden” jawab Paksi.

Demikianlah, maka Raden Sutawijaya itu pun telah meninggalkan Paksi yang harus menunggu Pangeran Benawa yang telah menghubungi langsung Ki Tumenggung Yudatama di baraknya. Ki Tumenggung Yudatama adalah salah seorang di antara para pemimpin Pajang yang mendapat tugas untuk menangkap Harya Wisaka yang tempat tinggalnya terdekat dengan pintu gerbang kotaraja.

Kedatangan Pangeran Benawa dengan pakaiannya yang kusut di lewat tengah malam, bahkan menjelang dini memang mengejutkan. Hampir saja Pangeran Benawa tidak dapat dikenali. Namun pemimpin kelompok prajurit yang bertugas untuk berjaga-jaga malam itu meskipun semula agak ragu, namun akhirnya ia langsung meyakininya, bahwa ia memang sedang berbicara dengan Pangeran Benawa yang telah menyatakan dirinya.

Karena itu, maka Pangeran Benawa itu pun segera dihadapkan kepada Ki Tumenggung Yudatama yang segera dibangunkan. Ternyata kesiagaan Ki Tumenggung Yudatama cukup tinggi. Dalam waktu yang pendek, sekelompok prajurit dari pasukan berkuda yang berada di bawah perintah Ki Tumenggung telah bersiap.

Sejenak kemudian, maka pasukan berkuda itu pun telah berderap menggetarkan jalan-jalan kota menuju ke pintu gerbang.

Pangeran Benawa menghentikan sekelompok prajurit dari pasukan berkuda itu di tempat Paksi menunggu. Dengan cepat Paksi pun memberitahukan, bahwa Raden Sutawijaya berhasil meloncati dinding kota tanpa diketahui oleh para prajurit yang bertugas di pintu gerbang, karena perhatian mereka justru tertuju kepada Harya Wisaka. Sementara itu, prajurit peronda yang setiap saat mengelilingi jalan di sepanjang dinding kota pun tidak sedang lewat.

Paksi pun segera meloncat ke punggung kuda yang telah disediakan baginya, yang dibawa dari barak para prajurit. Dengan cepat pasukan itu pun berderap menuju ke pintu gerbang.

Para petugas di pintu gerbang pun mendengar derap kaki kuda dari sekelompok pasukan berkuda. Namun mereka tidak dapat menghentikannya. Kuda itu berlari kencang menerobos para prajurit yang bertugas, yang harus berloncatan menepi.

“Gila pasukan berkuda itu” geram Ki Lurah.

“Dua orang di antara mereka adalah dua orang yang membawa tawanan yang disebutnya Harya Wisaka itu” teriak seorang prajurit yang bertugas di pintu gerbang.

“Setan alas” geram Ki Lurah.

“Aku melihat Ki Tumenggung Yudatama sendiri memimpin pasukan itu”

“Ya” geram Ki Lurah, “Ki Tumenggung sudah diperalat orang-orang
gila itu”

“Ia akan menyesali ketergesa-gesaannya. Jika ia nanti membawa orang Pandean itu, maka besok ia akan menyesal”

“Tetapi Ki Tumenggung Yudatama tentu dapat mengenali Harya Wisaka. Jika orang itu bukan Harya Wisaka, ia tentu tidak akan membawanya. Bahkan ia tentu akan menjadi sangat marah kepada orang-orang yang telah membawanya ke Pandean itu”

“Tetapi jika orang itu benar-benar Harya Wisaka?” bertanya seorang prajurit.

“He?” Ki Lurah tercenung sejenak. Namun kemudian ia pun berkata, “Jika orang itu Harya Wisaka, ia tidak akan dapat berkata dengan meyakinkan, bahwa ia orang Pandean. Ia tentu menjadi gelisah ketika aku memerintahkan kawan-kawanmu itu membawanya langsung kepada Ki Bekel. Tetapi nampaknya ia sama sekali tidak tersentuh”

Para prajurit itu mengangguk-angguk.

Namun Ki Lurah itu memang menjadi gelisah. Dengan ragu ia pun berkata, “Tetapi orang itu dibawa dengan tangan terikat. Jika ia benar Harya Wisaka, maka kawan-kawanmu akan segera dapat mengatasinya”

Dalam pada itu, Ki Tumenggung Yudatama dan pasukan berkudanya melarikan kuda mereka seperti sedang berpacu. Meskipun dini hari masih gelap dan udara terasa dingin menusuk tulang, namun para prajurit itu tidak mengurangi kecepatannya.

Setelah agak jauh dari pintu gerbang, Raden Sutawijaya berhasil menyusul ketiga orang prajurit yang mengiring Harya Wisaka yang tangannya masih terikat. Menurut pengamatan Raden Sutawijaya, mereka memang pergi ke arah Pandean.

“Jika mereka benar-benar pergi ke Pandean, maka Pandean itu tentu merupakan sarang bagi para pengikut Paman Harya Wisaka” berkata Raden Sutawijaya di dalam hatinya.

Namun Raden Sutawijaya pun segera berhenti dan menyusup di balik semak-semak di pinggir jalan ketika Harya Wisaka itu berhenti.

“Kenapa berhenti?” bertanya prajurit yang menggiringnya sambil mengacukan tombaknya, sementara kedua kawannya berdiri di sisi lain sambil merundukkan tombak pendeknya pula.

“Ki Sanak” berkata Harya Wisaka, “aku tidak berkeberatan untuk diikat tanganku. Tetapi aku ingin mengalihkan tanganku ke depan tubuhku”

“Kenapa?”

“Jika tanganku di belakang, aku tidak dapat berbuat apa-apa sama sekali dengan tanganku. Bahkan aku tidak dapat menggaruk leherku yang terasa gatal sekali”

“Kami tidak akan melepas pengikat tanganmu itu”

“Aku tidak minta melepas ikatan tanganku. Aku hanya minta, tanganku terikat di depan, agar aku dapat berbuat serba sedikit dengan tanganku. Tetapi tanganku akan tetap terikat sebagaimana perintah Ki Lurah”

Ketiga orang prajurit itu saling berpandangan. Sementara Harya Wisaka itu berkata, “Aku hanya minta sekedar belas kasihan Ki Sanak bertiga. Barangkali ada hubungannya dengan peri-kemanusiaan”

Yang tertua di antara ketiga orang prajurit itu pun kemudian berkata, “Menelungkuplah”

“Untuk apa?”

“Kami akan melepas ikatan tanganmu dan akan memindahkan tanganmu terikat di depan”

“Terima kasih” berkata Harya Wisaka.

Harya Wisaka itu pun kemudian berbaring menelungkup. Dua ujung tombak melekat di lambung kiri dan kanan, sementara seorang di antara para prajurit itu melepaskan ikatannya.

“Sekarang berputar menengadah. Perlahan-lahan. Jika kau berbuat macam-macam, maka ujung-ujung tombak ini akan menembus dadamu”

Harya Wisaka pun kemudian menelentangkan tubuhnya, sementara dua ujung tombak masih saja siap menghunjam ke tubuhnya jika ia berbuat sesuatu yang mencurigakan.

Seorang di antara para prajurit itu pun kemudian telah mengikat tangan Harya Wisaka dengan ikat kepala itu di depan tubuhnya. Ikatan itu demikian kuatnya, sehingga Harya Wisaka itu berdesis, “Kau sakiti tanganku”

Tetapi prajurit itu tidak menghiraukannya. “Bangkit. Kita berjalan lagi”

“Jangan perlakukan aku seperti seorang penjahat” berkata Harya Wisaka. “Yang terjadi hanyalah salah paham. Kalian akan segera yakin setelah kalian sampai di Pandean”

Prajurit itu tidak menghiraukan kata-katanya. Dengan tegas ia berkata, “Bangkit, cepat. Kita akan meneruskan perjalanan”

Harya Wisaka tidak menjawab. Ia pun kemudian bangkit berdiri dan melangkah tertatih-tatih dengan tangan terikat, tetapi di depan. Sejenak kemudian maka mereka melanjutkan perjalanan menuju ke Pandean.

Raden Sutawijaya yang mengikuti mereka pun kemudian yakin, bahwa mereka memang pergi ke Pandean. Jantung Raden Sutawijaya menjadi berdebar-debar. Apakah ia akan membiarkan Harya Wisaka masuk ke padukuhan, atau ia harus menangkapnya sebelum ia masuk ke dalamnya.

Jika Raden Sutawijaya membiarkan mereka masuk ke padukuhan, maka para prajurit yang malang itu tentu akan dibantai oleh para pengikut Harya Wisaka. Tetapi jika ia menghentikannya maka Raden Sutawijaya itu justru akan bertengkar dengan ketiga orang prajurit itu. Ketiga orang prajurit itu tentu tidak akan mempercayai segala keterangannya.

Sementara Harya Wisaka tentu akan memanfaatkan keadaan. Selagi Raden Sutawijaya ragu-ragu, maka Harya Wisaka dan ketiga orang prajurit itu sudah menjadi semakin dekat dengan pintu gerbang Padukuhan Pandean. Padukuhan yang tidak begitu besar, dan yang seakan-akan tersembunyi di balik sebuah gumuk kecil yang ditumbuhi berbagai macam pepohonan dan gerumbul-gerumbul perdu liar.

“Terlambat” desis Raden Sutawijaya. “Jika aku langsung melibatkan diri, mungkin aku harus berhadapan dengan beberapa pengikut Harya Wisaka, sementara ketiga orang prajurit itu masih belum menyadari, apa yang sebenarnya terjadi”

Sebenarnyalah, pada saat mereka hampir sampai di regol padukuhan, terdengar suitan nyaring. Harya Wisaka telah menaruh jari-jari tangannya yang sudah tidak terikat lagi di mulutnya.

Para prajurit yang menggiringnya terkejut. Mereka tidak melihat Harya Wisaka itu menggosok-gosokkan ikat kepala yang mengikat tangannya itu pada timang ikat pinggangnya yang bergerigi sehingga rantas.

Ketiga orang prajurit yang melihat Harya Wisaka terlepas serta isyarat yang dilontarkan, dengan sigap menyerangnya. Tetapi Harya Wisaka yang meskipun tenaganya masih belum pulih kembali itu dapat mengelak. Bahkan dengan cepat Harya Wisaka meloncat semakin mendekati pintu gerbang padukuhan. Sekali lagi terdengar suitan nyaring dari sela-sela bibir Harya Wisaka itu.

Tiba-tiba saja beberapa orang muncul dari balik pintu gerbang. Dengan serta-merta mereka menyerang ketiga orang prajurit yang mengantar Harya Wisaka ke Pandean.

Raden Sutawijaya hanya dapat memalingkan wajahnya sejenak. Para pengikut Harya Wisaka tidak memerlukan waktu yang panjang untuk melumpuhkan ketiga orang prajurit itu.

“Kangmas Harya Wisaka” terdengar seseorang bertanya, “apa yang telah terjadi?”

“Orang-orang dungu itu tidak dapat mengamankan jalan keluar dari dalam kota, sehingga aku tertangkap. Tetapi aku dapat mengelabuhi para prajurit yang bodoh itu”

“Bukankah segala sesuatunya sudah aman”

“Tidak. Perintahkan semua orang yang berada di Pandean untuk meninggalkan tempat ini sekarang juga”

“Sekarang?”

“Ya. Para prajurit Pajang tentu akan segera memburu aku kemari”

“Tetapi apakah yang sebenarnya telah terjadi?”

“Tidak ada waktu untuk berbicara sekarang. Siapkan semua orang. Kita akan pergi”

“Apakah Kakangmas akan singgah barang sebentar untuk minum atau makan?”

“Tidak ada waktu, kau dengar”

“Baik, baik, Kangmas. Aku akan memerintahkan mereka untuk meninggalkan tempat ini”

“Katakan kepada Kiai Gadungbawuk. Aku tidak singgah”

“Aku disini” berkata orang yang disebut Kiai Gadungbawuk.

“O, kebetulan Kiai. Pasukan Pajang segera datang. Hindari mereka”

Orang yang disebut Kiai Gadungbawuk itu tertawa. Katanya, “Seberapa banyak orang Pajang yang akan datang kemari? Siapa pula yang akan memimpinnya? Aku justru menunggu mereka”

“Jangan begitu, Kiai. Aku sendiri belum mampu untuk bertempur karena keadaanku yang parah beberapa waktu yang lalu”

“Barangkali Angger belum tahu kalau Ki Santen Ireng ada disini juga. Termasuk Kiai Madujae”

“Kapan mereka datang?”

“Kami tahu Harya Wisaka akan datang malam ini. Tetapi tentu saja tidak dalam keadaan seperti ini”

“Ya. Sekarang aku minta semuanya menyingkir”

“Kenapa Angger Harya Wisaka seakan-akan menjadi ketakutan?”

“Bukan ketakutan. Tetapi kita harus mempunyai perhitungan yang mapan serta melihat kenyataan yang terjadi”

“Baik. Baik. Kami akan pergi meskipun menurut pendapatku tidak perlu. Aku justru ingin menghancurkan pasukan Pajang yang tentu datang dengan tergesa-gesa karena mereka memburu Harya Wisaka yang berhasil mengelabuhi para prajurit dungu itu”

“Ya. Aku pun dungu, karena aku telah menyebut nama padukuhan ini. Tetapi waktu itu aku tidak mempunyai pilihan”

“Baik, baik. Kita akan pergi”

“Aku akan meninggalkan padukuhan ini lebih dahulu”

“Kangmas, aku akan menyiapkan beberapa orang pengawal pilihan untuk melindungi Kangmas di perjalanan. Yang lain akan segera menyusul. Tetapi kita akan pergi ke mana, Kangmas? Garis pertama atau ke cakrawala putih?”

“Kita akan pergi ke tepian angin”

Raden Sutawijaya yang mengetrapkan Aji Sapta Pandulu dan Aji Sapta Pangrungu menjadi gelisah. Ia tidak mengerti dan tidak segera dapat memecahkan kata-kata sandi yang mereka ucapkan. “Jika para prajurit itu terlambat datang, maka Harya Wisaka akan terlepas lagi dari tangan para prajurit Pajang” berkata Raden Sutawijaya di dalam hatinya.

Sementara itu, beberapa orang sudah siap mengawal Harya Wisaka. Bahkan seorang yang nampaknya sangat meyakinkan berkata, “Aku akan pergi bersama Angger Harya Wisaka”

“Jaga Angger Harya Wisaka yang masih lemah itu baik-baik, Kiai Madujae”

“Namaku bukan Madujae”

“Sebutan itu pantas untukmu”

Raden Sutawijaya tidak mempunyai pilihan lain. Ia harus mengikuti Harya Wisaka kemana pun ia pergi dan mencari kesempatan untuk dapat menangkapnya.

Namun dalam pada itu, Raden Sutawijaya yang masih mengetrapkan Aji Sapta Pandulu dan Sapta Pangrungu itu mendengar lamat-lamat suara burung kedasih dengan cirinya yang khusus.

“Adimas Pangeran Benawa” desis Raden Sutawijaya.

Raden Sutawijaya pun kemudian menyahut isyarat itu. Tetapi tidak dengan suara burung kedasih. Yang terdengar kemudian bagaikan suara katak yang ditangkap seekor ular.

Dengan demikian, maka Raden Sutawijaya pun menjadi sedikit tenang, meskipun ia tidak tahu apakah Pangeran Benawa membawa prajurit atau tidak.

Pangeran Benawa yang mendengar suara seekor katak yang ditangkap oleh seekor ular itu pun mengerti, bahwa Raden Sutawijaya mendengar isyaratnya. Bahkan Pangeran Benawa itu pun segera merayap mendekatinya.

Dengan isyarat akhirnya Pangeran Benawa menemukan tempat persembunyian Raden Sutawijaya.

“Kau datang seorang diri atau dengan sepasukan prajurit?” bisik Raden Sutawijaya.

“Aku datang dengan sekelompok prajurit berkuda yang langsung dipimpin oleh Ki Tumenggung Yudatama sendiri”

“Apakah Paksi bersamamu?”

“Ya”

“Dimana ia sekarang?”

“Bersama Ki Tumenggung”

Raden Sutawijaya mengangguk-angguk. Namun ia pun bertanya pula, “Aku tidak mendengar derap kaki kuda. Di mana pasukan itu sekarang?”

“Kami tinggalkan kuda-kuda kami di belakang gumuk kecil itu. Kami pun segera merayap kemari”

“Di mana para prajurit itu sekarang?”

“Mereka terpencar mengawasi padukuhan ini dari beberapa arah”

“Ada beberapa orang berilmu tinggi di padukuhan ini”

Pangeran Benawa menarik nafas dalam-dalam. Sementara Raden Sutawijaya berkata selanjutnya, “Selain itu tentu ada pula para pemimpin dari lingkungan keprajuritan”

“Kita sudah mengepung padukuhan ini”

“Ternyata masih ada sedikitnya tiga tempat persembunyian mereka”

“Di mana?”

“Mereka menyebutnya dengan kata-kata sandi”

Pangeran Benawa tidak bertanya lagi. Mereka melihat orang-orang yang sudah siap untuk pergi bersama Harya Wisaka.

“Siapa yang akan memberikan perintah?”

“Ki Tumenggung”

“Tetapi Ki Tumenggung tidak melihat apa yang terjadi disini”

“Aku akan memberikan isyarat. Semua orang sudah diperintah untuk memberikan isyarat jika perlu”

Raden Sutawijaya menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Harya Wisaka itu tidak boleh terlepas lagi. Demikian pula beberapa orang pemimpin dari para pengikutnya yang ada disini. Jika kita berhasil, maka sebagian besar dari kekuatan Harya Wisaka sudah dapat dikuasai”

Pangeran Benawa mengangguk-angguk. Ketika ia melihat Harya Wisaka mulai bergerak, maka Pangeran Benawa itu pun telah memberikan isyarat kepada Ki Tumenggung Yudatama dengan suara burung kedasih yang mempunyai ciri tersendiri pula.

Ki Tumenggung yang mendengar isyarat itu pun segera mempersiapkan beberapa orang yang terdekat. Kemudian ia pun telah memerintahkan seorang penghubung untuk melontarkan panah sendaren ke udara.

Isyarat itu memang sangat mengejutkan. Harya Wisaka tersentak sehingga jantungnya berguncang. Ia tidak pernah mengalami keadaan seperti saat itu. Kecuali ia merasa tubuhnya masih lemah, Harya Wisaka itu pun menyadari, bahwa di dalam pasukan yang menyusulnya itu tentu terdapat Pangeran Benawa, Raden Sutawijaya dan Paksi yang memiliki ilmu yang tinggi. Tetapi hatinya menjadi sedikit tenang ketika ia mengingat bahwa di tempat itu terdapat pula Kiai Gadungbawuk, Ki Santen Ireng dan orang yang lebih sering disebut Kiai Madujae meskipun orang itu sendiri tidak begitu senang disebut dengan nama itu.

Kiai Gadungbawuk nampaknya melihat kegelisahan itu di wajah Harya Wisaka. Karena itu, maka katanya, “Jangan cemas, Ngger, meskipun Pemanahan dan Hadiwijaya sendiri datang ke tempat ini”

“Aku merasa bahwa aku sendiri tidak dapat berbuat apa-apa, Kiai”

“Kami ada disini, Ngger” berkata Ki Santen Ireng yang juga telah berada di tempat itu.

Sebenarnyalah bahwa isyarat panah sendaren itu merupakan perintah bahwa para prajurit untuk mempersiapkan diri. Mereka harus memperketat pengawasan terhadap padukuhan itu. Tidak boleh ada seorang pun yang keluar dari padukuhan.

Sementara itu langit sudah menjadi semakin terang. Cahaya fajar sudah memancar. Mega-mega yang mengalir perlahan menjadi merah kekuning-kuningan.

“Jika sudah demikian, Kiai, kita harus cepat menyelesaikan mereka. Kita tidak boleh terjebak oleh pasukan Pajang yang akan datang menyusul”

“Jangan cemas, Ngger. Aku tidak pernah melihat Angger Harya Wisaka menjadi sangat cemas seperti sekarang ini”

Harya Wisaka menarik nafas dalam-dalam. Sambil mengangguk-angguk ia pun berkata, “Baik, Kiai. Aku akan mencoba tetap tenang menghadapi keadaan ini”

Sementara itu, para pengikut Harya Wisaka pun telah mempersiapkan diri mereka sebaik-baiknya. Mereka yang masih berada di dalam padukuhan telah menempatkan diri menghadap ke semua pintu regol padukuhan. Sedangkan di pintu gerbang induk, Harya Wisaka dan para pemimpinnya telah bersiap menghadapi segala kemungkinan yang bakal terjadi.

Dalam pada itu, Ki Tumenggung Yudatama pun telah menggerakkan para prajurit yang berada di sekitarnya untuk mendekat.

“Kita akan mendekati pintu gerbang utama”

“Raden Sutawijaya dan Pangeran Benawa ada disana”

“Ya. Kita mendekati mereka”

Demikianlah, maka Ki Yudatama dan Paksi pun telah bergerak mendekati pintu gerbang utama Padukuhan Pandean diikuti oleh para prajurit yang berada bersama mereka. Sementara itu, para prajurit yang berada di sekitar padukuhan itu pun telah bergerak pula semakin dekat. Mereka menunggu isyarat kedua untuk bersiap-siap menyerang. Jika terdengar isyarat ketiga, maka para prajurit itu akan menempuh memasuki padukuhan.

Tetapi Ki Tumenggung Yudatama nampaknya dengan sengaja mengulur waktu. Ketika mereka sudah berada di dekat Raden Sutawijaya, maka Raden Sutawijaya pun berkata, “Marilah, kita sergap mereka, Ki Tumenggung”

Tetapi Ki Tumenggung itu pun berkata, “Kita mengulur waktu”

“Apakah masih ada yang diharapkan?”

“Ketika kami berangkat dari barak, kami mengirimkan penghubung untuk menghadap Ki Gede Pemanahan”

Raden Sutawijaya termangu-mangu sejenak. Namun ia pun kemudian berkata, “Apakah Ki Tumenggung yakin, bahwa Ayah akan datang?”

“Mungkin sekali, Raden, jika yang kita buru sekarang adalah Harya Wisaka sendiri”

“Bukankah yang berada di pintu gerbang di antara para pengikutnya itu Harya Wisaka?”

“Ya. Karena itu, aku masih berharap bahwa Ki Gede Pemanahan akan datang ke tempat ini”

“Tetapi Harya Wisaka dan para pengikutnya itu akan datang menembus kepungan ini di sisi lain, Ki Tumenggung”

“Aku sudah menebarkan kelompok-kelompok di sekitar padukuhan ini”

Namun Pangeran Benawa pun menyahut, “Jika mereka menembus kepungan di sisi lain dari padukuhan ini, dengan mengerahkan orang-orang yang berilmu tinggi, para prajurit tidak akan dapat bertahan”

Ki Tumenggung itu mengerutkan dahinya. Namun ia pun kemudian mengangguk-angguk kecil. Katanya, “Pangeran benar”

“Jadi?”

Paksi pun kemudian menyela, “Kita mempunyai waktu sepanjang Harya Wisaka masih berada di pintu gerbang. Sepanjang kita masih dapat melihatnya”

Raden Sutawijaya tersenyum. Katanya, “Kau pintar, Paksi. Kita akan mengulur waktu sepanjang kita masih melihat Harya Wisaka di sana”

Namun pada saat yang sama, Harya Wisaka itu pun berkata, “Jangan menunggu lebih lama lagi. Orang-orang Pajang nampaknya sengaja mengulur waktu. Mungkin mereka masih menunggu kedatangan kawan-kawan mereka”

Kiai Gadungbawuk mengangguk-angguk. Katanya, “Kau benar, Ngger. Agaknya mereka sengaja memperpanjang waktu”

“Lalu, apa yang sebaiknya kita lakukan, Kiai Gadungbawuk?”

“Kita menembus kepungan. Kita lihat, apakah kepungan ini rata. Jika tidak, kita akan mencari sisi yang paling lemah”

“Kita akan kehilangan waktu” sahut Kiai Madujae. “Menurut pendapatku, kepungan yang paling lemah adalah kepungan di arah yang berlawanan dengan gerbang utama ini”

“Aku sependapat” berkata Harya Wisaka. “Kita akan menembus kepungan di arah selatan”

Mereka tidak menunggu lebih lama lagi. Bersama orang-orang berilmu tinggi di antara mereka, maka Harya Wisaka pun telah masuk ke dalam padukuhan.

Raden Suminar yang memimpin empat orang terbaik berjalan di paling depan. Kemudian Harya Wisaka berjalan di sebelah Kiai Madujae.

Kiai Gadungbawuk pun kemudian berkata, “Jika demikian, biarlah aku juga pergi bersama Angger Harya Wisaka”

“Aku?” bertanya Santen Ireng.

“Kita semuanya akan pergi sekarang” jawab Harya Wisaka. “Jangan menunggu kita berada di dalam jebakan dan tidak akan dapat keluar lagi”

“Tetapi bukankah kita tidak membiarkan para prajurit dari arah yang lain menerkam kita dari belakang?” berkata Ki Santen Ireng.

“Ya” Harya Wisaka mengangguk-angguk.

“Biarlah aku mengamankan perjalanan kalian dengan beberapa orang pengawal” berkata Ki Santen Ireng.

“Silahkan” berkata Harya Wisaka, “tetapi Ki Santen Ireng pun harus segera meninggalkan tempat ini sebelum terlambat”

“Baik. Aku akan segera menyusul mereka. Aku juga akan pergi ke arah selatan”

Demikianlah, maka sejenak kemudian Harya Wisaka itu pun telah hilang dari mulut pintu gerbang.

“Nah” berkata Paksi, “agaknya sudah sampai pada waktunya”

“Kita peringatkan para prajurit agar bersiaga untuk menyerang” desis Ki Tumenggung yang segera memerintahkan seorang penghubungnya untuk melepaskan panah sendaren kedua.

Panah sendaren itu benar-benar telah menyentuh hati setiap prajurit. Mereka sadar, bahwa mereka harus segera bersiap untuk menyerang. Dengan demikian, maka semua senjata pun telah menjadi telanjang di tangan yang bergetar. Darah di dalam tubuh para prajurit itu mulai memanas. Mereka telah siap untuk meloncat menerkam lawan-lawan mereka yang tentu sudah siap pula menunggu kehadiran mereka.

Ki Tumenggung memang tidak akan menunggu orang-orang berilmu tinggi itu keluar dari padukuhan dan menyerang kepungan pada sisi yang lemah. Tetapi mereka harus tertahan di dalam padukuhan dan bertempur dalam perang brubuh yang mengandalkan kemampuan setiap pribadi yang terlibat. Namun Ki Tumenggung juga sudah memerintahkan kepada setiap prajurit untuk bertempur di dalam kelompok-kelompok kecil jika mereka bertemu dengan orang yang berilmu tinggi.

Tetapi Ki Tumenggung pun sudah memerintahkan kepada mereka, bahwa tidak semua orang harus melibatkan diri dalam pertempuran di dalam padukuhan. Harus ada yang tetap berada di luar padukuhan untuk mengawasi jika ada orang yang berusaha melarikan diri dan terlempar dari jangkauan mereka yang bertempur di dalam dinding padukuhan.

“Marilah, Raden” berkata Ki Tumenggung kemudian sambil menarik pedangnya, “kita akan menyergap memasuki pintu gerbang utama ini”

“Marilah, Ki Tumenggung” desis Raden Sutawijaya.

Namun Ki Tumenggung itu pun berkata, “Aku mohon Pangeran memasuki padukuhan itu lewat regol di sisi yang lain. Jika kami tertahan di pintu gerbang, maka Pangeran dapat berusaha menemukan Harya Wisaka di dalam padukuhan”

“Baik, Ki Tumenggung” jawab Pangeran Benawa. Lalu katanya, “Mari, Paksi, kita memasuki padukuhan itu dari regol di sisi barat”

“Nampaknya Harya Wisaka akan keluar dari regol di sisi selatan, Pangeran”

“Siapa yang berada di sisi selatan?”

“Ki Lurah Pringgayuda dan Ki Lurah Suwena”

“Apakah mereka cukup kuat?”

“Jika Harya Wisaka dan orang-orang berilmu tinggi akan keluar dari arah selatan, mereka agaknya memerlukan bantuan”

“Baik. Aku dan Paksi akan sampai kesana”

Demikianlah, maka Ki Tumenggung Yudatama pun segera memerintahkan para prajurit itu bergerak. Sementara itu, seorang penghubung telah melontarkan panah sendaren yang ketiga ke udara, meluncur di atas padukuhan Pandean dan jatuh hampir di halaman banjar.

Panah sendaren yang bergaung di udara itu telah didengar oleh para pemimpin kelompok prajurit Pajang yang mengepung Padukuhan Pandean. Gaung panah sendaren itu merupakan perintah kepada para prajurit untuk bergerak menyerang padukuhan itu dari segala arah.

Ketika para pemimpin kelompok meneriakkan aba-aba, maka para prajurit pun telah berteriak nyaring. Mereka berlari-larian sambil bersorak-sorak. Senjata mereka teracu-acu sehingga nampak berkilat-kilat memantulkan cahaya matahari pagi yang baru saja terbit.

Dalam pada itu, Pangeran Benawa dan Paksi telah berlari ke arah pintu gerbang yang lain dari Padukuhan Pandean. Di tangan Pangeran Benawa dan Paksi telah tergenggam sebatang tombak pendek yang mereka dapat dari para prajurit.

Dalam pada itu, Raden Suminar yang berjalan di paling depan, melangkah lebih cepat lagi. Tetapi sebelum mereka keluar dari pintu gerbang di sisi selatan, maka para prajurit Pajang telah menyumbat pintu gerbang itu dengan ujung-ujung senjata.

Pertempuran pun segera berkobar. Para prajurit Pajang adalah prajurit yang terlatih, sehingga mereka dengan trampil memutar senjata mereka. Tetapi para pengikut Harya Wisaka adalah orang-orang yang seakan-akan telah kehilangan diri mereka sendiri.

Apa pun yang bakal terjadi pada diri mereka, sama sekali tidak mereka hiraukan. Bahkan mati tidak lagi menjadi persoalan yang penting.

Pertempuran pun segera berlangsung dengan sengitnya. Di pintu gerbang utama, para prajurit telah bertempur menghadapi sekelompok pengikut Harya Wisaka yang kuat dipimpin oleh Ki Santen Ireng. Seorang yang meskipun janggut dan kumisnya sudah memutih, tetapi tandangnya masih menggetarkan jantung.

Raden Sutawijaya yang melihat orang itu bertempur dengan garangnya, telah mendekatinya. Ia sadar, bahwa orang yang bernama Ki Santen Ireng itu adalah orang yang berilmu tinggi. Karena itu, maka ia pun harus berhati-hati.

Ki Santen Ireng yang melihat seseorang menyibak beberapa orang prajurit yang bertempur melawannya, mengerutkan dahinya. Dengan nada tinggi ia pun berkata, “He, siapakah kau Ki Sanak yang nampaknya dengan sengaja datang menemui aku?”

“Siapa pun yang bertemu di pertempuran” jawab Raden Sutawijaya.

“Tetapi kau nampaknya telah memilih lawan. Agaknya kau melihat bahwa tidak seorang prajurit pun yang akan dapat mengalahkan aku. Bahkan prajurit dalam kelompok-kelompok”

“Ya”

“Betapa sombongnya kau”

“Apakah menghadapi lawan di pertempuran dapat disebut kesombongan?”

“Tidak. Tetapi memilih lawan seorang yang berilmu tinggi seperti yang kau lakukan, adalah satu kesombongan. Kau merasa dirimu dapat mengimbangi kemampuanku”

“Aku tidak peduli apakah aku sombong atau tidak sombong. Tetapi kita akan bertempur”

“Jangan menyesal jika di pertempuran ini kau bertemu dengan Ki Santen Ireng”

“He?” Raden Sutawijaya mengerutkan dahinya.

“Kau menyesal?”

Raden Sutawijaya termangu-mangu sejenak. Sementara itu Ki Santen Ireng pun berkata, “Akulah Ki Santen Ireng. Nampaknya kau sudah menjadi gemetar baru mendengar nama itu disebut”

“Tidak. Aku tidak menyesal telah bertemu dengan orang yang bernama Santen Ireng, apalagi menjadi gemetar”

“Jadi kau kenapa? Demikian kau mendengar nama itu, wajahmu nampak menjadi tegang”

“Nama itu aneh bagiku. Santen itu biasanya putih. Seperti susu. Jika yang diambil santannya kelapa ijo, maka santannya menjadi agak kebiru-biruan. Tetapi tidak menjadi hitam”

“Persetan” geram Ki Santen Ireng.

“Tetapi orang yang tidak yakin akan kemampuannya sendiri, kadang-kadang memang dengan sengaja membuat nama yang aneh-aneh. Agaknya mereka berharap bahwa nama yang aneh-aneh itu akan membuatnya disegani atau bahkan ditakuti”

“Anak iblis. Siapa kau yang telah berani merendahkan namaku, he? Kau harus menyadari sikapmu itu yang harus kau tebus dengan harga yang sangat mahal”

Ternyata Raden Sutawijaya tidak menyembunyikan kenyataan tentang dirinya. Dengan lantang ia pun berkata, “Namaku adalah Sutawijaya”

Ki Santen Irenglah yang terkejut. Di luar sadarnya ia pun mengulanginya, “Maksudmu Raden Sutawijaya anak Ki Gede Pemanahan yang telah membunuh Harya Penangsang dari Jipang?”

“Ya. Aku adalah Sutawijaya, anak Ki Gede Pemanahan yang telah membunuh Paman Harya Penangsang”

Sejenak Ki Santen Ireng itu memperhatikannya. Namun kemudian ia pun tertawa sambil berkata, “Jadi inilah anak muda yang mana telah mengumandang di langit Demak, Pajang dan Jipang”

“Apakah kau meragukannya?”

“Tidak. Justru aku meyakini bahwa kau memang Raden Sutawijaya. Dengan demikian, maka aku akan mendapat kesempatan untuk membalas dendam atas kematian Harya Penangsang. Tumpuan harapan rakyat Demak sepeninggal Kangjeng Sultan Trenggana”

“Membalas dendam? Kenapa kau akan membalas dendam atas kematian Paman Harya Penang sang?”

“Sudah aku katakan bahwa Harya Penangsang adalah seorang yang akan dapat membuat masa depan Demak menjadi lebih cerah. Tetapi kau telah membunuh harapan rakyat Demak. Karena itu, maka kau pun harus disingkirkan dari bumi Demak. Pemanahan dan Hadiwijaya pun harus disingkirkan. Harya Wisaka adalah satu-satunya orang yang pantas menggantikan Harya Penangsang untuk menjadi pengayoman rakyat Demak dan Pajang”
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar