Jejak Dibalik Kabut Jilid 28

Nyi Tumenggung menarik nafas dalam-dalam. Suaranya menjadi bergetar, “Apakah aku akan sanggup melakukannya, Kakang?”

“Tentu. Kau tentu dapat melakukannya. Kau pun harus yakin, bahwa yang kau lakukan itu bukan ketidak-setiaan. Justru karena kau setia kepada suamimu, maka kau telah memilih jalan terbaik”

“Apakah benar itu jalan terbaik yang dapat aku tempuh?”

“Ya. Bukan saja kau kembalikan suamimu ke jalan yang benar bagi seorang tumenggung Pajang, tetapi akibatnya pun akan menjadi lebih baik baginya. Ia tentu akan mendapat pengampunan meskipun bukan berarti bahwa seluruh hukumannya akan dihapuskan”

Nyi Tumenggung termangu-mangu sejenak. Wajahnya nampak semakin muram. Sekali-sekali diusapnya matanya yang basah dengan lengan bajunya. Namun akhirnya Nyi Tumenggung itu pun berkata, “Baiklah, Kakang. Aku akan mencobanya”

“Terima kasih, Nyi. Jika kau lakukan itu, maka kau sudah ikut membantu meredakan gejolak yang terjadi di Pajang. Jika kau berhasil, dan Harya Wisaka dapat diketahui persembunyiannya, maka kau sudah ikut meredakan pertumpahan darah yang telah terjadi selama ini”

“Tetapi apakah Harya Wisaka tidak akan bergerak dari persembunyiannya setelah ia mendengar Kakang Tumenggung tertangkap hidup-hidup dan kemudian menjadi seorang tawanan?”

“Tentu, Nyi. Tetapi keterangan Ki Tumenggung itu sangat perlu untuk menelusurinya. Ki Tumenggung, jika ia mau, tentu akan dapat menunjukkan beberapa kemungkinan yang dapat membawa pasukan Pajang kepada Harya Wisaka”

Nyi Tumenggung menarik nafas dalam-dalam.

“Nyi” berkata Ki Waskita, “jangan cemas. Aku tetap menghormati kedudukanmu sebagai seorang isteri. Jika aku datang kepadamu kapan-kapan, jangan salah mengerti. Semuanya itu tentu dalam hubungannya mencari penyelesaian terbaik dari gejolak yang terjadi di Pajang”

Nyi Tumenggung mengangguk.

“Aku tidak ingin membuat hatimu kecil, Nyi. Tetapi jika kau berhasil mendorong agar Ki Tumenggung bersedia bekerja sama dengan Ki Gede Pemanahan, itu juga berarti menyelamatkan Ki Tumenggung dari perlakuan yang akan dapat menyulitkannya”

“Aku mengerti, Kakang. Aku tahu penderitaan yang akan dialami Ki Tumenggung jika ia tidak mau berbicara. Tetapi semula aku menganggap bahwa itu adalah tanggung jawab seorang laki-laki yang menggenggam keyakinan. Tetapi kau selalu dapat meyakinkan aku, sehingga aku telah berubah sikap. Kali ini aku akan berusaha melakukannya, Kakang. Aku akan mencobanya dengan satu harapan bagi kehidupan baru mendatang. Aku juga berharap bahwa jalan yang akan aku tempuh itu benar adanya”

“Yakinlah, Nyi. Jalan yang kau tempuh adalah jalan terbaik bagimu dan bagi Ki Tumenggung. Kau boleh benar-benar berharap bagi satu kehidupan yang terang di hari-hari mendatang”

Nyi Tumenggung menundukkan kepalanya. Matanya masih basah, sehingga sekali-sekali Nyi Tumenggung masih harus mengusap dengan lengan bajunya.

“Terima kasih, Kakang. Sejak Kakang Tumenggung pergi, aku tidak mempunyai kawan berbincang. Tidak ada yang memberi aku petunjuk-petunjuk, bahkan pertimbangan pertimbangan menghadapi kehidupan yang terasa semakin sulit”

“Jika kau tidak berkeberatan, aku akan bersedia membantumu tanpa mengusik harga dirimu sebagai seorang isteri”

“Terima kasih, Kakang”

“Sekarang, aku minta diri, Nyi. Mudah-mudahan kau mendapatkan kesempatan itu”

“Kesempatan apa, Kakang?”

“Kesempatan bertemu dengan suamimu”

“Ya, Kakang”

“Hati-hatilah menjaga anak perempuanmu itu. Ia anak yang manis. Nampaknya ia sudah mengerti, bahwa ia harus ikut menanggung beban perasaanmu, meskipun barangkali ia tidak tahu kenapa hal itu harus terjadi atas dirimu”

“Tetapi, masih ada yang ingin aku tanyakan, Kakang”

“Apa?”

“Bagaimana dengan Paksi?”

“Ia sudah cukup dewasa. Sudah waktunya ia mengerti siapa dirinya. Mungkin ia akan marah kepadaku, tetapi ia harus menghadapi kenyataan tentang dirinya. Suka atau tidak suka”


“Terserah kepadamu, Kakang. Aku titipkan Paksi kepadamu”

“Aku akan menjaganya”

Ki Waskita pun kemudian meninggalkan rumah Ki Tumenggung Sarpa Biwada yang harus menjalani masa pahitnya sebagai seorang tawanan. Ketika Ki Waskita kembali ke rumah Ki Panengah yang pernah menjadi padepokan untuk sementara sebelum membangun padepokan di pinggir Hutan Jabung, maka angan-angannya pun mulai melingkar-lingkar ke masa lampau. Sekali-sekali mendahului waktu, menuju ke masa mendatang.

Sebuah kenangan yang manis melintas di kepalanya. Pada masa mudanya, selaku seorang prajurit, ia berkenalan dengan seorang gadis yang cantik. Menurut penglihatan matanya, tidak ada gadis yang lebih cantik dari gadis itu. Tetapi malapetaka itu datang. Hati Ki Waskita muda itu telah disusupi iblis, sehingga ia telah berbuat laknat. Hatinya terguncang ketika gadis itu mengaku bahwa ia sudah mulai hamil.

Namun sama sekali tidak terlintas di kepalanya, bahwa ia akan ingkar, apalagi berkhianat. Ia sudah siap menghadapi tanggung jawab. Bahkan mungkin ia akan dapat dipecat dari tugas keprajuritannya. Tetapi perintah itu datang begitu cepat. Ia harus pergi menjalankan tugas. Ki Waskita muda itu bersama dengan sekelompok prajurit harus membasmi sekelompok penjahat yang sangat ditakuti karena kebengisannya.

Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. Terbayang kembali, bagaimana ia berdua dengan seorang prajurit yang lain, terkapar di dalam jurang. Seorang petani yang baik hati telah menolong mereka berdua. Bahkan merawatnya sampai sembuh.

Tetapi di samping petani itu telah hadir pula seorang yang lain. Seorang yang berilmu sangat tinggi. Seorang yang menguasai bukan saja ilmu pengobatan, tetapi juga ilmu kanuragan.

Ketika Ki Waskita muda dan kawannya itu kembali ke kesatuannya, mereka justru dianggap telah melarikan diri dari tugas, sehingga keduanya telah dihukum dan tersingkir dari kedudukannya.

Sementara itu, gadis cantik yang ditinggalkannya dalam keadaan hamil itu telah menjadi isteri seorang prajurit muda yang lain. Anak di dalam kandungan gadis itu telah lahir pula, laki-laki, dan dinamai Paksi Pamekas.

Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. Hidupnya pun kemudian terombang-ambing seperti sabut yang dipermainkan gelombang. Dalam kegetiran yang menyayat, bersama kawannya yang tersingkir itu, Ki Waskita sempat memperdalam ilmunya, sehingga mencapai tataran yang sangat tinggi. Justru setelah ia tersisih dari lingkungan keprajuritan, Ki Waskita dan kawannya, yang kemudian menyebut dirinya Ki Panengah, sempat berhubungan lebih akrab dengan Ki Gede Pemanahan. Mereka sempat setiap kali membuat perbandingan ilmu mereka dengan Ki Gede Pemanahan itu.

Namun Ki Waskita dan Ki Panengah tidak menyembunyikan kenyataan tentang diri mereka. Mereka berterus terang, bahwa mereka tidak lebih dari seorang prajurit yang terusir.

Kejujuran merekalah yang semakin mendekatkan mereka dengan Ki Gede Pemanahan.

Namun pada saat-saat terakhir, keduanya telah membebani diri dengan sebuah tugas yang khusus. Membayangi dan sekaligus menempa Paksi Pamekas, agar menjadi seorang anak muda yang berilmu tinggi. Justru pada saat Paksi harus melaksanakan tugas yang tidak masuk akal, yang dibebankan oleh ayah tirinya kepadanya, mencari cincin kerajaan yang hilang.

Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. Kini Ki Waskita dihadapkan pada satu keadaan yang rumit. Berterus terang kepada Paksi, siapakah Paksi itu sebenarnya.

Dalam pada itu, Paksi yang berada di padepokan, telah mendengar, bahwa ayahnya, Ki Tumenggung Sarpa Biwada telah tertangkap. Ia pun mendengar, bagaimana Ki Waskita memancing Ki Tumenggung Sarpa Biwada untuk pulang.

Cara yang ditempuh oleh Ki Waskita, ternyata telah menggetarkan jantung Paksi. Sebagai seorang anak muda yang sudah dewasa penuh, maka Paksi dapat menangkap arti dari peristiwa yang telah terjadi itu.

“Tentu bukan dengan serta-merta ayah terpancing oleh kehadiran Ki Waskita” berkata Paksi di dalam hatinya.

Pangeran Benawa dan Raden Sutawijaya dapat membaca gejolak di dalam hati Paksi. Bahkan Paksi pun sempat menduga-duga, bahwa ibunya telah terlibat jauh di dalam usaha memancing ayahnya pulang.

Paksi yang menyadari, bahwa dirinya bukan anak Ki Tumenggung Sarpa Biwada, telah berusaha menghubungkan satu peristiwa dengan peristiwa lainnya. Mempertautkan satu langkah dengan langkah yang lain.

Pangeran Benawa dan Raden Sutawijaya tidak dapat membiarkan Paksi didera oleh perasaannya sendiri. Pangeran Benawa dan Raden Sutawijaya tidak dapat berdiam diri melihat Paksi semakin menjadi murung.

Karena itu, maka keduanya pun telah menyampaikannya kepada Ki Panengah, bahwa Paksi nampaknya telah dikungkung oleh gejolak perasaannya.

Ki Panengah menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu, Ki Waskita masih berada di kotaraja. Untuk mencegah agar tekanan jiwani yang disandang Paksi itu tidak menjadi semakin terasa menghimpit, maka Ki Panengah telah pergi ke kotaraja untuk menemui Ki Waskita.

“Memang sudah waktunya untuk berterus-terang” berkata Ki Waskita.

“Apakah Ki Waskita akan menyampaikannya sendiri kepada Paksi?”

Ki Waskita ternyata merasa ragu. Apakah ia akan dapat berbicara langsung kepada Paksi tentang hubungannya dengan ibu Paksi itu semasa gadisnya.

“Aku takut, Ki Panengah” berkata Ki Waskita. “Bukan aku akan mengingkari kesalahan yang telah aku lakukan, tetapi Paksi tentu juga mempertimbangkan apa yang aku lakukan untuk memancing Ki Tumenggung Sarpa Biwada. Mungkin ia membayangkan terlalu jauh apa yang sudah aku lakukan. Mungkin Paksi juga kecewa terhadap ibunya yang sengaja memancing perasaan cemburu Ki Tumenggung Sarpa Biwada dengan cara yang rendah”

Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam.

“Di sepanjang hidupku aku tidak pernah merasa ketakutan seperti sekarang ini. Justru terhadap anakku sendiri”

“Baiklah, Ki Waskita. Jika Ki Waskita tidak berkeberatan, biarlah aku saja yang menyampaikannya kepada Paksi. Ia memang sudah waktunya untuk mengetahuinya. Barangkali lebih baik Paksi mendengar dari Ki Waskita sendiri atau aku, orang yang terdekat, daripada mendengar dari orang lain yang sudah dibumbui dengan kepentingan orang-orang itu sendiri”

Ki Waskita mengangguk angguk. Katanya, “Baiklah, Ki Panengah. Aku minta pertolonganmu. Ki Panengah pulalah yang telah bersama-sama dengan aku membayangi pengembaraan anak itu”

Ki Panengah mengangguk-angguk. Katanya, “Terima kasih atas kepercayaan itu. Nanti malam aku akan berbicara dengan anak itu”

Ki Panengah pun kemudian telah minta diri kembali ke barak, sementara Ki Waskita masih tetap berada di kotaraja untuk mengikuti perkembangan perburuan Harya Wisaka selanjutnya.

Seperti yang telah disepakati oleh Ki Waskita, maka ketika malam turun, Ki Panengah di padepokannya telah memanggil Paksi. Menurut pendapat Ki Panengah, anak itu harus segera mendengar langsung dari sumber yang boleh dipercaya daripada mendengar dari orang lain, yang mungkin akan dapat menyesatkannya.

“Paksi” berkata Ki Panengah, “ada sesuatu yang ingin aku bicarakan. Tetapi pembicaraan kita adalah pembicaraan antara laki-laki dewasa yang dapat menilai, betapa kita harus menerima kenyataan yang sudah terjadi. Mungkin menurut penilaian kita kenyataan itu baik, tetapi sebaliknya, dapat terjadi kenyataan itu buruk. Tetapi baik atau buruk, kita harus menerima kenyataan itu”


Paksi menundukkan kepalanya. Ia tahu, bahwa ada yang penting yang akan dikatakan oleh Ki Panengah. Tetapi ia pun tahu bahwa ada yang pahit yang harus didengarnya.

Dengan hati-hati Ki Panengah mulai berceritera tentang Paksi.

Tetapi bahwa Paksi telah mengetahui bahwa dirinya bukan anak Ki Tumenggung Sarpa Biwada, telah mempermudah Ki Panengah darimana ia harus mulai berbicara.

“Paksi” berkata Ki Panengah dengan nada berat, “Ki Waskita tidak dapat mengatakannya langsung kepadamu. Bukan apa-apa. Tetapi ia sekarang masih berada di dalam tugas yang bersama-sama dilakukan dengan Ki Gede Pemanahan. Sementara itu, menurut pendapatku dan ketika hal ini aku sampaikan kepada Ki Waskita, telah disepakatinya, bahwa kau harus segera mendengarnya. Kau harus mendengar dari sumber yang langsung dan dapat dipercaya. Jika terlambat, mungkin kau akan mendengar dari sumber lain yang justru akan dapat menyesatkan”

Paksi menarik nafas dalam-dalam. Tetapi kepalanya justru tertunduk.

Ketika dengan terbuka dan berterus terang Ki Panengah menceriterakan tentang dirinya, Paksi sudah tidak terkejut lagi. Sebagian dari ceritera itu sudah didengarnya langsung dari ibunya. Sementara ketajaman penalarannya, telah membimbingnya untuk mengetahui ceritera tentang dirinya yang tersisa. Meskipun demikian masih terasa betapa pahitnya menghadapi kenyataan itu. Kepalanya yang tertunduk menjadi semakin tunduk.

“Paksi” berkata Ki Panengah kemudian, “aku yakin, bahwa kau mempunyai ketahanan jiwani yang cukup untuk menghadapi kenyataan itu”

Paksi sama sekali tidak menjawab. Ia hanya mengangguk kecil. Namun debar jantungnya serasa menjadi semakin cepat.

“Guru” desis Paksi kemudian, “apakah yang sudah dilakukan Ki Waskita untuk memancing kehadiran Ki Tumenggung Sarpa Biwada di rumahnya?”

Ki Panengah menarik nafas dalam-dalam. Ia sudah menduga, bahwa Paksi akan mengajukan pertanyaan itu.

“Paksi, bagaimanapun juga Ki Waskita tetap menghormati kedudukan ibumu sebagai seorang isteri. Ibumu pun tetap bersikap sebagai seorang isteri yang setia kepada suaminya, apa pun yang terjadi dengan suaminya itu”

Paksi menarik nafas dalam-dalam.

Untuk meyakinkan Paksi, maka ki Panengah pun telah berceritera, bagaimana Ki Waskita setiap malam tidur di kandang atau di serambi lumbung padi, di dekat lesung dan lumpang batu.

“Yang diperlukan oleh Ki Waskita, hanyalah kesan bahwa Ki Waskita ada di rumah itu”

Paksi menarik nafas dalam-dalam. Sementara Ki Panengah pun berkata, “Jangan hubungkan kehadiran Ki Waskita di rumah Ki Tumenggung itu dengan peristiwa hampir duapuluh tahun yang lalu, Paksi. Mereka adalah orang-orang yang mempunyai harga diri yang tinggi. Yakinlah, bahwa ibumu dan ayahmu yang sebenarnya masih berhak untuk kau hormati meskipun mereka sudah cacat. Sebenarnya kau pun pantas menghormati Ki Tumenggung Sarpa Biwada sebagaimana pernah kau lakukan kepadanya. Bagaimanapun juga kesediaannya menerima ibumu apa adanya, adalah satu pengorbanan tersendiri lepas dari pamrih pribadinya. Tetapi sayang, bahwa Ki Tumenggung Sarpa Biwada itu sudah mengambil langkah yang salah. Baik sebagai seorang ayah di lingkungan keluarganya, maupun sebagai seorang tumenggung yang mengabdikan dirinya kepada Pajang”

Paksi mengangguk-angguk kecil. Tetapi wajahnya masih saja tertunduk.

Dengan nada berat menekan Ki Panengah pun bertanya, “Kau dapat mengerti, Paksi?”

“Ya, Guru” suara Paksi rendah dan datar.

“Mudah-mudahan setelah kau mengetahui dengan jelas segala-galanya, kau tidak perlu lagi merenungi dirimu sendiri. Semuanya sudah jelas, pasti dan tidak dapat berubah lagi, karena sudah terjadi”

“Ya, Guru”

“Nah, supaya beban perasaanmu berkurang, tidak ada keberatannya jika kau berbagi rasa dengan orang-orang yang paling kau percaya. Misalnya Pangeran Benawa dan Raden Sutawijaya. Kau tidak usah malu kepada mereka. Mereka bukan kanak-kanak lagi. Pangeran Benawa justru lebih banyak mengalami tekanan perasaan karena sifat-sifat ayahandanya. Terakhir, Harya Wisaka dapat terlepas dari bilik tahanannya, justru karena kelengahan Kangjeng Sultan Hadiwijaya sendiri”

Paksi mengangguk-angguk. Katanya, “Ya, Guru”

“Mereka akan mengerti”

Paksi menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu Ki Panengah pun berkata, “Paksi, mumpung kita sedang berbicara tentang dirimu, mungkin kau mempunyai pertanyaan?”

“Tentang diriku sendiri tidak, Guru. Mungkin pada kesempatan lain”

“Baiklah. Kita dapat mengakhiri pembicaraan kita sekarang. Mungkin dalam waktu dua tiga hari Ki Waskita masih berada di dalam kota”

“Aku justru ingin bertanya tentang adik laki-lakiku yang oleh Ki Tumenggung diberitahu bahwa aku bukan kakaknya”

“Setidak-tidaknya kalian saudara seibu”

“Ya, Guru”

“Adikmu itu luput dari tangan prajurit Pajang. Ia dapat lolos dengan seorang pengawalnya yang bernama Ki Lulud”

“Ki Lulud” Paksi mengulang. Kemudian Katanya, “Aku justru menjadi sangat cemas karena anak itu lolos dari tangan prajurit Pajang”

“Kenapa?” bertanya Ki Panengah.

“Anak itu tentu sudah dibekali perasaan dendam di dalam hatinya. Ayah yang membenciku, bahkan akan membunuhku itu tentu sudah menaburkan bibit permusuhan di hati anak itu. Bahkan mungkin anak itu akan dibentuk secara khusus untuk melaksanakan keinginan ayah yang masih belum berhasil dilakukan. Membunuh aku”

“Dalam usaha untuk dapat menangkap Harya Wisaka, mudah-mudahan anak itu dapat tertangkap”

“Jika anak itu tertangkap, mungkin aku masih akan dapat melunakkan hatinya. Mungkin ibu, mungkin adikku perempuan”

“Mudah-mudahan, Paksi”

“Namun jika anak itu sudah keluar dari pintu gerbang kotaraja, maka akan sangat sulit untuk mencarinya di seluas bumi Pajang dan lingkungannya”

Ki Panengah mengangguk-angguk.

“Selebihnya, mungkin anak itu justru berada di tangan orang yang mengajarinya berjalan di atas jalan yang sesat. Kegagalan Harya Wisaka akan membuat para pengikutnya menjadi orang-orang yang tidak lagi mempunyai pegangan dan tujuan hidup. Mereka akan dapat menjadi orang-orang yang kehilangan landasan, sehingga apa yang dilakukannya adalah semata-mata untuk menentang kemapanan kehidupan orang banyak”

“Anak itu memang harus dicari”

“Mungkin Ki Waskita tidak memperhitungkannya sampai sedemikian jauh, karena Ki Waskita tidak banyak berkepentingan dengan anak itu”

“Tetapi bukan berarti bahwa sikap Ki Waskita kepada anak itu seperti sikap Ki Tumenggung Sarpa Biwada kepadamu, Paksi”

Paksi menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku percaya, Guru. Sikap Ki Waskita memang berbeda dengan sikap Ki Tumenggung Sarpa Biwada. Tetapi justru karena itu, maka anak itu mungkin sekali akan luput dari perhatian Ki Waskita”

Ki Panengah mengangguk-angguk.

Sementara itu, Paksi pun berkata, “Guru, jika guru mengijinkan, apakah aku diperkenankan mencari anak itu”

“Nanti dulu, Paksi” jawab Ki Panengah. “Aku dapat memberimu ijin meninggalkan padepokan. Tetapi jika kau akan melibatkan diri dalam tugas perburuan itu, maka kau harus mendapat ijin dari Ki Tumenggung Yudatama yang kini sedang mendapat beban tanggung jawab untuk memburu Harya Wisaka langsung dari Ki Gede Pemanahan”

Paksi mengangguk kecil. Katanya, “Aku akan menghadap Ki Gede Pemanahan untuk mendapatkan ijin itu”

“Paksi” suara Ki Panengah merendah, “jika kau memang akan pergi ke Pajang, pergilah. Kau dapat berbicara dengan Pangeran Benawa dan Raden Sutawijaya. Tetapi aku berpesan kepadamu, sebelum kau menghadap Ki Gede Pemanahan, temuilah dahulu gurumu, Ki Waskita. Katakan, bahwa kau sudah berbicara dengan aku tentang dirimu”

Paksi mengangguk. Katanya, “Baiklah, Guru. Aku akan berbicara dengan Pangeran Benawa dan Raden Sutawijaya. Kemudian aku akan menemui Ki Waskita sebelum aku menghadap Ki Gede Pemanahan”

“Jika demikian, kapan kau akan pergi ke Pajang?”

“Jika Guru mengijinkan, aku akan pergi besok pagi”

“Sebaiknya kau tunda sehari, Paksi. Kau perlu mengendapkan perasaanmu. Besok kau tetap berada di padepokan bersama para cantrik yang lain”

Paksi tidak membantah. Sebagai seorang murid, ia harus tunduk kepada perintah gurunya.

Sejenak kemudian, maka Paksi pun meninggalkan gurunya yang masih duduk seorang diri di dalam biliknya. Ketika ia pergi ke barak, yang ditemuinya hanyalah Pangeran Benawa dan Raden Sutawijaya, yang nampaknya memang menunggunya.


Sementara para cantrik yang lain berada di dalam sanggar. Ada yang di sanggar terbuka ada yang di sanggar tertutup.

“Marilah, Paksi” Pangeran Benawa mempersilahkan. Seperti juga Raden Sutawijaya, ia pun dapat membaca wajah Paksi yang muram.

Paksi pun kemudian duduk bersama Pangeran Benawa dan Raden Sutawijaya.

“Dimana saudara-saudara kita yang lain?”

“Mereka berada di dalam sanggar”

“Mereka berlatih sendiri?”

“Ya. Mereka harus mempelajari dan mendalami unsur-unsur gerak yang baru saja diberikan oleh guru langsung”

Paksi mengangguk-angguk.

“Apakah kita tidak pergi ke sanggar?”

“Nanti sajalah” berkata Raden Sutawijaya.

Paksi menarik nafas dalam-dalam. Namun seperti yang dikatakan oleh gurunya, Paksi memang memerlukan orang-orang yang dapat dipercayainya untuk ikut mengurangi beban yang memberati perasaannya. Karena itu, maka dengan suara yang bergetar ia pun berkata, “Guru sudah berterus-terang kepadaku tentang diriku sendiri. Tentang ayahku dan tentang usaha Ki Waskita memancing Ki Tumenggung Sarpa Biwada”

Pangeran Benawa dan Raden Sutawijaya tidak menyahut. Mereka hanya mengangguk-angguk kecil. Namun mereka pun kemudian mendengarkan dengan sungguh-sungguh ketika kemudian Paksi pun menceriterakan kembali apa yang sudah diceriterakan oleh Ki Panengah kepadanya dengan suara yang bergetar.

Baru setelah Paksi selesai berceritera, Pangeran Benawa pun berkata, “Dengan demikian kau tidak perlu menduga-duga lagi, Paksi. Semuanya sudah jelas bagimu. Mungkin ada yang tidak sesuai dengan keinginanmu. Tetapi kehidupan ini kadang-kadang tidak menghiraukan keinginan seseorang. Yang terjadi kadang-kadang justru yang tidak diinginkannya. Tetapi jika hal itu harus terjadi, maka terjadilah”

Paksi mengangguk kecil. Katanya, “Ya, Pangeran”,

“Terimalah dengan jiwa yang besar” berkata Raden Sutawijaya, “di tempatmu berpijak sekarang kau renungkan apa yang berada di hadapanmu”

“Aku sudah mengatakan kepada guru, bahwa aku ingin mencari adikku. Tetapi karena di Pajang sedang diadakan perburuan untuk menangkap Harya Wisaka, maka aku harus mendapat ijin dari Ki Gede Pemanahan agar tidak terjadi salah paham dengan Ki Tumenggung Yudatama, senapati yang memimpin pencaharian Harya Wisaka sekarang, langsung di bawah perintah Ki Gede Pemanahan”

“Aku akan membantumu, Paksi. Jika kau berniat pergi ke Pajang, maka aku akan pergi bersamamu jika guru mengijinkan”

“Aku juga akan pergi bersamamu, Paksi” berkata Pangeran Benawa pula.

“Terima kasih” sahut paksi, “tetapi guru baru mengijinkan aku pergi besok lusa. Besok aku masih harus berada di padepokan. Agaknya guru ingin aku sempat mengendapkan perasaanku”

“Baiklah” berkata Pangeran Benawa, “besok lusa kita pergi ke Pajang”

“Tetapi sebelum aku menghadap Ki Gede, aku harus menemui Ki Waskita lebih dahulu. Ki Waskita berada di rumah Ki Panengah yang pernah kita jadikan padepokan sebelum kita membuka padepokan di pinggir Hutan Jabung ini”

“Aku mengerti” desis Pangeran Benawa.

Ketiganya masih berbincang beberapa saat lagi. Namun kemudian mereka pun berkemas untuk pergi ke sanggar.

Di hari berikutnya, ketiganya masih tetap berada di padepokan. Dari sanggar mereka masih ikut membantu penyelesaian pembangunan padepokan di pinggir Hutan Jabung itu sebelum masuk kembali ke dalam sanggar. Demikian pula para cantrik yang lain. Mereka menempa diri sambil membangun padepokan mereka bersama para prajurit yang masih ditugaskan di padepokan itu. Dengan demikian, maka para cantrik itu justru memiliki juga ketrampilan mengerjakan pekerjaan kayu, bambu dan pekerjaan-pekerjaan lainnya.

Tetapi bukan berarti bahwa peningkatan kemampuan para cantrik itu di berbagai macam ilmu terhambat. Juga dalam ilmu kanuragan.

Baru di hari berikutnya, Paksi bersama Pangeran Benawa dan Raden Sutawijaya pergi ke Pajang untuk menemui Ki Waskita.

Dalam pada itu, di Pajang, atas pembicaraan antara Ki Waskita, Ki Tumenggung Yudatama serta Ki Gede Pemanahan, maka Nyi Tumenggung Sarpa Biwada diperkenankan untuk menemui Ki Tumenggung di bilik tahanannya, dibiarkan prajurit yang dipimpin oleh Ki Tumenggung Yudatama itu.

Ternyata kedatangan Nyi Tumenggung tidak menyejukkan hati Ki Tumenggung. Demikian Nyi Tumenggung duduk bersama Ki Tumenggung, Ki Tumenggung itu sudah berkata dengan kata-kata tajam, “Kau masih akan menjadi alat untuk menjebakku”

Nyi Tumenggung menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada rendah ia pun berkata, “Sudah terlalu lama kita tidak bertemu, Kakang”

“Untuk apa? Apakah kau datang sengaja untuk menyakiti hatiku yang sudah parah ini?”

“Kakang, kau salah paham”

“Apa yang salah? Kau dan laki-laki jahanam itu bersepakat untuk menjebakku. Kalian telah berhasil. Apa lagi? Bukankah cara itu adalah cara yang terbaik untuk menyingkirkan aku dari keluargaku yang telah aku bangun selama hampir duapuluh tahun? Sejak aku mengorbankan diriku untuk melindungi kehormatanmu?”

“Kakang, aku tidak akan pernah melupakannya”

“Omong kosong. Ketika laki-laki itu datang kepadamu, kau terima ia dengan senang hati. Setiap hari, siang atau malam atau kapan saja ia datang, kau terima laki-laki itu dengan tangan terbuka”

“Sudah aku katakan kepadamu, bahwa aku tidak kuasa untuk menolak agar ia tidak datang ke rumah. Ia datang dengan mengatas-namakan dirinya petugas dari Pajang”

Ki Tumenggung Sarpa Biwada tertawa. Tetapi betapa pahitnya. Katanya, “Kalian telah memanfaatkan kesempatan ini sebaik-baiknya”

“Kakang, aku bukan perempuan seperti yang kau bayangkan. Aku masih mempunyai harga diri sebagai seorang isteri. Apa pun yang terjadi, aku tidak mengkhianati suamiku. Laki-laki itu memang datang setiap hari. Kadang-kadang siang dan kadang-kadang malam. Tetapi ia tidak menyentuh pintu rumah kita. Laki-laki itu selalu berada di serambi kandang atau di serambi lumbung”

Ki Tumenggung memandang mata isterinya yang basah. Ia melihat kesungguhan di mata isterinya yang redup itu. Tetapi perasaannya masih saja selalu digoyahkan oleh peristiwa yang terjadi sebelum ia menikah dengan isterinya yang pada waktu itu sudah mengandung.

“Kakang, betapapun rendahnya nilai kelakuanku, tetapi aku masih tetap menjunjung tinggi ikatan pernikahan kita”

Ki Tumenggung termangu-mangu sejenak. Selama perempuan itu menjadi isterinya, ia memang belum pernah menyimpang dari sikap seorang isteri yang setia. Persoalan yang sering timbul di dalam keluarganya, hanyalah persoalan Paksi. Apalagi sejak ia memerintahkan Paksi mencari cincin kerajaan yang hilang, maka isterinya kadang-kadang memang menentang sikapnya. Tetapi tidak pernah terjadi pengkhianatan atas hubungannya sebagai suami isteri.

“Tetapi laki-laki jahanam itu mempunyai hubungan khusus dengan isteriku” berkata Ki Tumenggung Sarpa Biwada di dalam hatinya.

Dalam kebimbangan itu, Ki Tumenggung pun kemudian bertanya, “Kau datang kemari atas kehendakmu sendiri atau ada orang lain yang mendorongmu datang kemari dengan maksud tertentu?”

Nyi Tumenggung justru termangu-mangu sejenak. Ia memang datang memenuhi petunjuk yang diberikan oleh Ki Waskita, agar ia membujuk suaminya untuk bersedia bekerja sama dengan Ki Gede Pemanahan memburu Harya Wisaka. Namun rasa-rasanya sulit sekali untuk mengatakannya.

“Kau datang karena laki-laki jahanam itu?” desak Ki Tumenggung.

“Tidak, Kakang” jawab Nyi Tumenggung kemudian. “Aku datang atas kehendakku sendiri. Sudah aku katakan, kita sudah terlalu lama berpisah. Kita hanya bertemu pada saat-saat yang tidak menguntungkan. Saat kau mengambil anak kita dan saat kau dijebak oleh laki-laki yang mengaku petugas dari Pajang itu”

Ki Tumenggung menarik nafas dalam-dalam.

“Kakang. Aku ingin kau segera terlepas dari kungkungan bilik tahanan itu”

“Itu tidak mungkin, Nyi. Besok atau lusa aku akan segera digantung”

“Apakah tidak ada jalan lain, Kakang. Apakah tidak ada cara untuk mengurangi hukumanmu. Setidak-tidaknya bukan hukuman mati, apalagi digantung”

“Buat apa aku mencari kemungkinan lain? Bukankah sudah sepantasnya, jika seorang yang dianggap berkhianat itu digantung di alun-alun”

“Kakang” suara Nyi Tumenggung melemah, “aku ingin pada suatu saat Kakang pulang”

Dahi Ki Tumenggung berkerut. Ternyata jantungnya tersentuh juga. Apalagi ketika ia melihat mata Nyi Tumenggung menjadi basah.

“Nyi” berkata Ki Tumenggung, “kau adalah isteri seorang prajurit. Kau harus tabah menghadapi apa pun yang terjadi atas diri suamimu. Kau harus tegar meskipun kau harus melihat suamimu digantung di alun-alun”

“Tetapi bukankah kita wajib berusaha? Seandainya ada jalan yang dapat menyelamatkanmu, bukankah jalan itu dapat ditempuh?”

“Tentu, Nyi. Jika aku dapat melarikan diri, aku akan melarikan diri agar aku tidak digantung di alun-alun”

“Bukan itu maksudku, Kakang. Aku masih bermimpi untuk dapat hidup tenang dalam satu lingkaran keluarga yang tenang dan tidak diburu oleh siapa pun juga”

“Tidak dapat, Nyi. Tidak ada jalan kembali dalam perjalanan waktu. Aku sudah sampai pada suatu keadaan seperti sekarang ini. Karena itu, maka langkah-langkah selanjutnya adalah kelanjutan dari perjalananku yang sudah aku tempuh sampai sekarang. Sampai saat aku ditahan karena aku memberontak terhadap kekuasaan yang gila dari anak Tingkir itu”

“Kakang”

“Sudahlah. Biarlah aku pergi dengan tenang. Biarlah aku menghadapi maut dengan wajah tengadah. Jika kau hambat perjalananku menjelang maut, maka aku akan dapat menjadi seorang pengecut. Nah, kau tidak boleh mempunyai seorang suami pengecut. Kau tidak boleh menjadi sasaran sindiran dan hinaan banyak orang karena mempunyai suami seorang pengecut yang merengek minta ampun di bawah tiang gantungan. Sementara itu, akhirnya tali gantung itu menjerat lehernya juga”

“Kakang” Nyi Tumenggung hanya dapat menangis. Mulutnya tidak dapat terbuka ketika ia berniat untuk mengatakan sebagai dipesankan oleh Ki Waskita, agar suaminya bersedia bekerja bersama dengan Ki Gede Pemanahan.

“Jika aku mengatakannya juga” berkata Nyi Tumenggung di dalam hatinya, “Kakang Tumenggung tentu akan dapat menangkapnya, bahwa aku datang untuk membujuknya. Jika demikian, maka hubungan untuk seterusnya tentu akan terputus”

Karena itu, maka Nyi Tumenggung memilih untuk tidak mengatakannya. Ia masih berpengharapan, bahwa ia masih akan mempunyai kesempatan lagi.

Beberapa saat Nyi Tumenggung terisak. Seorang prajurit kemudian datang kepadanya sambil berkata, “Maaf, Nyi. Sudah waktunya Nyi Tumenggung meninggalkan tempat ini”

Nyi Tumenggung mengusap matanya. Katanya, “Aku akan datang lagi, Kakang. Aku harap Kakang menemukan jalan terbaik untuk menghindarkan diri dari tiang gantungan”

“Tiang gantungan tidak menakutkan bagiku, Nyi. Justru di sanalah aku akan mendapat tempat terhormat. Mungkin pada waktu dekat, namaku akan direndahkan. Mungkin disurukkan ke dalam lumpur oleh Ki Gede Pemanahan. Tetapi tunggu sampai saatnya Pajang runtuh. Setiap orang akan menyebut namaku. Jika Harya Wisaka pada suatu ketika berkuasa, maka namaku akan dicantumkan dalam jajaran nama-nama pahlawan yang menjadi salah satu pilar penyangga kejayaannya”

Ketika Nyi Tumenggung memandang wajah suaminya, dilihatnya senyum yang menghiasi bibirnya. Karena itu, maka Nyi Tumenggung pun mencoba untuk tersenyum pula, “Aku minta diri, Kakang”

“Hati-hatilah dengan anak perempuanmu itu, Nyi”

“Ya, Kakang”

Sejenak kemudian, maka Nyi Tumenggung pun telah meninggalkan Ki Tumenggung di dalam bilik tahanannya. Ia tidak sampai hati untuk mengusik mimpi suaminya bahwa ia akan menjadi seorang pahlawan.

Demikian Nyi Tumenggung itu sampai di rumah, maka ia tidak dapat lagi menahan tangisnya. Anak perempuannya pun mendekatinya sambil berdesis, “Ibu”

Nyi Tumenggung menjatuhkan dirinya duduk di ruang dalam. Dipeluknya anak perempuannya erat-erat.

“Ayah kenapa, Ibu?” bertanya anak itu, karena itu tahu bahwa ibunya pergi mengunjungi ayahnya.

“Ayahmu tidak apa-apa, Ngger”

“Kenapa Ibu menangis?”

“Ayah belum boleh pulang”

“Kenapa para prajurit Pajang itu tidak membiarkan ayah pulang?”

“Pada saatnya ayahmu akan pulang”

Anak perempuan itu tidak bertanya lagi. Tetapi matanya pun ikut menjadi basah karenanya.

Sementara itu, Paksi, Pangeran Benawa dan Raden Sutawijaya tengah menemui Ki Waskita di rumah Ki Panengah.

Di hadapan Pangeran Benawa dan Raden Sutawijaya, Paksi ternyata bersikap terbuka kepada Ki Waskita. Sebaliknya Ki Waskita pun bersikap terbuka pula. Ki Waskita tahu, bahwa keduanya, terutama Pangeran Benawa, mempunyai ikatan yang lebih dalam dari sekedar hubungan persahabatan. Keduanya pernah melakukan pengembaraan bersama. Mengalami kegembiraan dan kegetiran di perantauan. Menempa diri bersama serta menempuh bahaya bersama-sama pula. Sedangkan Raden Sutawijaya telah menyatukan diri pula bersama mereka berdua dalam pengalaman yang berat pada saat-saat terakhir.

Karena itu, di antara Paksi, Pangeran Benawa dan Raden Sutawijaya, seakan-akan sudah tidak ada lagi dinding pembatas. Bukan saja dalam hubungan mereka dengan Pajang, tetapi juga masalah-masalah pribadi mereka.

“Waktu seperti inilah yang sangat aku takutkan. Tetapi aku yakin bahwa pada suatu saat, saat-saat seperti ini pasti akan datang” berkata Ki Waskita.

Paksi menundukkan kepalanya. Dengan nada berat ia pun berdesis, “Aku menyesalinya, bahwa kehadiranku di bumi ini terjadi semata-mata karena malapetaka. Tetapi aku tidak akan menyalahkan siapa-siapa. Pada tingkat kepasrahan tertinggi, aku mempunyai keyakinan bahwa aku memang harus hadir di dunia ini sebagai mahluk ciptaan dari Yang Maha Agung”

“Aku mengerti perasaanmu, Paksi” berkata Ki Waskita. “Jika kau masih dapat menghargai keberadaanku pada perjalanan hidupmu, aku ingin menasehatkan kepadamu, agar kau menempatkan diri pada peredaran waktu menyongsong masa depanmu. Bukan berarti bahwa kau tidak boleh berpaling untuk melihat masa lampau atau bercermin di wajah air bening untuk melihat kekinian, tetapi mau tidak mau kau akan berkisar bersama waktu ke masa depanmu”

Paksi masih menundukkan kepalanya. Sedangkan Ki Waskita berkata selanjutnya, “Aku tahu, bahwa sejak masa kanak-kanakmu kau harus mengalami perlakuan yang tidak sewajarnya dari seorang yang kau kenal sebagai ayahmu. Bahkan puncak dari perlakuan yang tidak wajar itu adalah perintahnya kepadamu untuk mencari cincin kerajaan yang hilang pada saat kau berumur tujuh belas tahun. Tetapi kau sekarang tidak lagi berada pada masa seperti berumur tujuh belas tahun lagi”

Paksi menarik nafas dalam-dalam.

“Namun satu hal yang sejak lebih dari tujuh belas tahun tersimpan di dalam hatiku adalah keinginanku untuk minta maaf kepadamu” berkata Ki Waskita dengan nada berat dan dalam.

Paksi mengangkat wajahnya sejenak. Dipandanginya wajah Ki Waskita sekilas. Ia sempat melihat wajah yang sayu itu seakan-akan menjadi jauh lebih tua dari kemarin saat terakhir ia melihatnya.

Mulut Paksi bergerak-gerak. Tetapi tidak sepatah kata pun yang keluar dari mulutnya.


Ki Waskita lah yang kemudian berkata, “Sudahlah. Marilah kita jalani kehidupan kita selanjutnya sebagaimana adanya. Bukankah kau akan menghadap Ki Gede Pemanahan, Paksi?”

“Ya, Guru” suara Paksi merendah. Bahkan ia pun bertanya, “Apakah aku masih diperkenankan memanggil guru?”

“Aku tidak akan berkeberatan, Paksi. Aku tahu, bahwa hubungan di antara kita tidak akan dapat berubah dengan serta-merta”

Paksi terdiam. Sementara Pangeran Benawa yang sama sekali tidak mencampuri pembicaraan antara Paksi dengan Ki Waskita sebagaimana Raden Sutawijaya itu pun berkata, “Kami ingin minta ijin kepada Paman Pemanahan, apakah kami dapat mencari adik laki-laki Paksi menurut cara kami sendiri”

Ki Waskita mengangguk-angguk. Dengan nada berat Paksi pun bertanya kepada Ki Waskita, “Bukankah Guru tidak berkeberatan?”

“Tidak, sama sekali tidak, Paksi. Aku tahu, bahwa kau tidak mau menghadapi persoalan yang rumit kelak dengan adikmu. Bagiku, anak itu adalah tetap adikmu”

Paksi mengangguk kecil. Sementara itu Raden Sutawijaya pun berkata, “Mudah-mudahan ayah tidak berkeberatan asal kami tidak mengacaukan rancangan yang sudah disusun oleh ayah”

“Aku kira Ki Gede tidak akan berkeberatan, Raden”

Ketiganya pun kemudian minta diri. Sebelum mereka meninggalkan Ki Waskita, Pangeran Benawa pun berpesan, “Kami akan selalu menghubungi Ki Waskita di tempat ini. Jika Ki Waskita mendapat keterangan tentang anak itu, kami minta Ki Waskita memberitahukan kepada kami”

“Baik, Pangeran. Hampir setiap malam aku ada disini. Kecuali jika Ki Gede Pemanahan memanggil karena ada petunjuk-petunjuk penting”

Demikianlah, mereka bertiga pun segera pergi ke rumah Ki Gede Pemanahan untuk menghadap. Baru kemudian mereka akan bertemu dan berbicara dengan Ki Tumenggung Yudatama sebagai senapati yang memimpin perburuan untuk menangkap Harya Wisaka.

Meskipun Harya Wisaka sendiri belum tertangkap, tetapi bahwa salah seorang kepercayaannya, Ki Tumenggung Sarpa Biwada dapat tertangkap, sudah merupakan hasil yang selalu dibicarakan oleh rakyat Pajang. Mereka menganggap bahwa Ki Tumenggung Yudatama memiliki kelebihan dari para pemimpin dari pasukan yang memburu Harya Wisaka, karena tidak seorang pun di antara para pemimpin pengikut Harya Wisaka yang tertangkap.

Ketika Paksi mengajukan permohonan kepada Ki Gede Pemanahan untuk mencari adiknya di sela-sela usaha Ki Tumenggung Yudatama memburu Harya Wisaka, Ki Gede sama sekali tidak berkeberatan. Apalagi kedatangan Paksi disertai oleh anak Ki Gede itu sendiri, Raden Sutawijaya serta Pangeran Benawa. Namun Ki Gede juga memerintahkan kepada mereka untuk menghadap Ki Tumenggung Yudatama.

Ketika mereka menemui Ki Tumenggung Yudatama di baraknya, Ki Tumenggung sedang berbincang dengan beberapa orang perwira di dalam pasukannya. Mereka masih selalu berusaha menemukan cara untuk dapat menangkap Harya Wisaka, sehingga Paksi harus menunggu.

“Para pengikutnya yang dapat kita tangkap bersama-sama dengan Ki Tumenggung Sarpa Biwada tidak dapat memberikan petunjuk, Ki Tumenggung” berkata seorang lurah prajurit.

“Kenapa kita tidak memeras keterangan dari Ki Tumenggung Sarpa Biwada itu sendiri?” bertanya seorang rangga.

Ki Tumenggung Yudatama menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Ki Gede tidak memperkenankan kita memaksa Ki Tumenggung Sarpa Biwada untuk berbicara dengan cara yang tidak sepantasnya itu”

“Manakah cara yang pantas untuk mencari keterangan dari seorang pemberontak?” bertanya seorang lurah yang lain.

“Kita harus mengikuti perintah Ki Gede”

Para perwira itu pun terdiam. Akan tetapi mereka cenderung untuk memaksa supaya Ki Tumenggung Sarpa Biwada itu berbicara.....

Dalam pada itu, Ki Tumenggung Yudatama pun berkata, “Kita telah minta tolong Nyi Tumenggung untuk membujuk agar Ki Tumenggung Sarpa Biwada itu bersedia berbicara”

“Tetapi bukankah Nyi Tumenggung itu tidak berhasil?” sahut seorang lurah prajurit. “Ternyata Ki Tumenggung itu juga belum berbicara”

“Kita tidak dapat tergesa-gesa. Diperlukan waktu untuk melunakkan hati Ki Tumenggung Sarpa Biwada yang keras itu” jawab Ki Tumenggung Yudatama

“Sementara itu, Harya Wisaka telah sampai di tlatah Jipang atau Demak” desis seorang rangga seolah-olah ditujukan kepada diri sendiri.

Namun Ki Tumenggung Yudatama menjawab, “Aku yakin bahwa Harya Wisaka masih berada di dalam kota. Penjagaan di perbatasan kota cukup ketat. Bukan hanya di pintu-pintu gerbang. Tetapi kota ini seakan-akan telah dilingkari prajurit hingga temu gelang”

Para perwira itu memang merasa kecewa, bahwa mereka masih sangat dibatasi untuk menyadap keterangan dari Ki Tumenggung Sarpa Biwada. Tetapi mereka tidak dapat memaksa.

Mereka tahu, bahwa Ki Tumenggung Yudatama pun dibatasi pula oleh perintah Ki Gede Pemanahan.

Dengan demikian, maka mereka memusatkan usaha pencaharian mereka dengan mengurai keterangan para pengikut Harya Wisaka yang lain. Tetapi keterangan mereka masih saja simpang siur. Ada di antara mereka yang memang tidak tahu sama sekali. Ada yang karena terpaksa mengaku mengetahui tempat persembunyian Harya Wisaka, namun tidak pernah dapat dibuktikan. Sedangkan yang lain sengaja berusaha menyesatkan pencaharian yang sulit itu.

Namun akhirnya pertemuan itu pun berakhir dengan kesimpulan yang masih tetap mengambang. Namun Ki Yudatama memberitahukan, bahwa waktu yang akan diberikan kepada Nyi Tumenggung pun akan dibatasi.

“Aku akan berbicara dengan Ki Gede Pemanahan”

Demikian pertemuan itu selesai, maka seorang prajurit telah menghadap Ki Tumenggung untuk memberitahukan bahwa Pangeran Benawa, Raden Sutawijaya dan Paksi akan menghadap.

“Pangeran Benawa, Raden Sutawijaya dan Paksi, anak Ki Tumenggung Sarpa Biwada?”

“Ya, Ki Tumenggung”

“Persilahkan mereka masuk”

Prajurit itu pun kemudian mempersilahkan Pangeran Benawa, Raden Sutawijaya dan Paksi masuk ke dalam bilik khusus Ki Tumenggung Yudatama.

“Silahkan Pangeran. Marilah Raden. Duduklah Paksi”

“Terima kasih, Ki Tumenggung” Pangeran Benawa lah yang menjawab.

Ketiganya pun kemudian duduk ditemui Ki Tumenggung Yudatama dengan seorang rangga kepercayaan Ki Tumenggung.

“Barangkali Pangeran, Raden Sutawijaya dan Paksi mempunyai keperluan khusus sehingga bertiga telah datang ke barak kami ini?” bertanya Ki Tumenggung Yudatama.

“Ya, Ki Tumenggung” Pangeran Benawa lah yang menjawab, “kami bertiga datang untuk minta ijin kepada Ki Tumenggung”

“Minta ijin?” Ki Tumenggung justru mengerutkan dahinya. “Atau barangkali Pangeran menyampaikan perintah kepada kami dari Ki Gede atau bahkan Kangjeng Sultan sendiri?”

“Tidak, Ki Tumenggung. Kami benar benar ingin minta ijin”

“Ijin untuk apa, Pangeran?”

“Kami bertiga ingin mencari adik Paksi. Anak Ki Tumenggung Sarpa Biwada. Kami tahu bahwa Ki Tumenggung masih dibebani tugas untuk menemukan Harya Wisaka. Kami tidak ingin terjadi salah paham dengan usaha kami mencari adik Paksi. Namun bukan berarti bahwa kami akan mencuci tangan dalam usaha pencaharian Paman Harya Wisaka”

Ki Tumenggung Yudatama itu menarik nafas dalam-dalam. Dengan dahi yang berkerut ia pun bertanya, “Kenapa Pangeran, Raden Sutawijaya dan Paksi harus turun sendiri? Bukankah para prajurit tentu juga akan menangkapnya jika mereka bertemu atau melihat Paksi itu”

“Kami mengerti, Ki Tumenggung. Tetapi apa salahnya kami ikut mencarinya? Kami berjanji tidak akan mengganggu tugas para prajurit. Bahkan seperti yang aku katakan tadi, kami akan membantu mencari tempat persembunyian Harya Wisaka pula”

“Apakah Pangeran sudah membicarakannya dengan Ki Gede Pemanahan?”

“Sudah, Ki Tumenggung. Paman Pemanahan tidak berkeberatan. Tetapi aku harus mendapat ijin dari Ki Tumenggung Yudatama”

“Baiklah, Pangeran. Tetapi aku mohon, agar usaha Pangeran tidak justru menghalau Harya Wisaka dari satu persembunyian ke persembunyian lainnya, sehingga semakin menyulitkan pencaharian kami”

“Kami berjanji, Ki Tumenggung”

“Baiklah, Jika Ki Gede sudah mengijinkan dan jika Pangeran, Raden Sutawijaya dan Paksi berjanji untuk tidak mengganggu tugas-tugas kami tetapi justru akan membantu, aku tidak berkeberatan”

“Terima kasih, Ki Tumenggung. Besok kami akan mulai dengan usaha kami”

“Tetapi, jika Paksi tidak berkeberatan, aku ingin bertanya, jika adik Paksi itu dapat tertangkap, apa yang akan kau lakukan selanjutnya?”

“Aku ingin menyelamatkannya, Ki Tumenggung” jawab Paksi.

Ki Tumenggung mengangguk-angguk. Katanya, “Aku dukung niatmu, tetapi pekerjaan itu bukan pekerjaan yang ringan”

“Aku sadar itu, Ki Tumenggung. Terus-terang, kami ingin menemukan adikku itu lebih dahulu dari para prajurit. Aku tidak yakin bahwa para prajurit itu akan memperlakukan adikku sebagaimana akan kami lakukan. Jika anak itu disurukkan ke dalam bilik tahanan bersama-sama para pemberontak itu, maka jiwanya seakan-akan justru ditempa oleh lingkungannya untuk menjadi seorang pemberontak yang gigih. Tetapi di tangan kami, kami masih berharap, bahwa adikku akan berpaling dari pemberontakan itu dan dapat hidup wajar sebagai kawula Pajang yang baik”

Ki Tumenggung Yudatama mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Aku ijinkan kau membawa adikmu itu. Tetapi orang lain yang dapat kau tangkap bersamanya, harus kau serahkan kepadaku”

“Baik, Ki Tumenggung”

“Jika dalam usahamu menemukan adikmu kau bertemu dengan pasukan yang kuat, sebagaimana pada saat kami menangkap Ki Tumenggung Sarpa Biwada, jangan segan-segan menghubungi kami. Kami akan segera datang membantu”

“Ya, Ki Tumenggung. Kami akan mengingatnya”

“Mudah-mudahan kau berhasil, Paksi” berkata Ki Tumenggung kemudian. Lalu katanya kepada Pangeran Benawa dan Raden Sutawijaya, “Aku mohon Pangeran dan Raden Sutawijaya tidak terlalu dalam memasuki lingkungan yang berbahaya”

“Baik, Ki Tumenggung” jawab Raden Sutawijaya.

Namun kemudian Ki Tumenggung Yudatama itu pun berkata, “Sebelum Paksi mulai bersama-sama dengan Pangeran Benawa dan Raden Sutawijaya, adalah kebetulan sekali Paksi telah datang kemari. Seandainya kau tidak datang kemari, Paksi, aku mungkin yang akan mencarimu”

“Ada apa, Ki Tumenggung?” bertanya Paksi.

“Sudah sejak kemarin Ki Tumenggung Sarpa Biwada mengatakan ingin bertemu dengan kau”

“Ingin bertemu dengan aku?” bertanya Paksi.

“Ya. Keinginannya itu dikatakannya kepada para prajurit yang bertugas menjaganya”

“Jika diperkenankan, aku ingin menemuinya” berkata Paksi kemudian.

“Aku tidak berkeberatan, Paksi. Marilah, aku antar kau menemui ayahmu itu”

“Terima kasih, Ki Tumenggung”

“Terserah kepada Pangeran Benawa dan Raden Sutawijaya, apakah Pangeran dan Raden Sutawijaya akan pergi bersama Paksi menemui Ki Tumenggung atau tidak?”

“Aku akan pergi bersamanya” berkata Pangeran Benawa.

“Aku juga” sahut Raden Sutawijaya.

“Baiklah. Marilah, kita temui Ki Tumenggung Sarpa Biwada di dalam bilik tahanannya”

Berempat Paksi pergi ke sebuah bangunan khusus di dalam lingkungan barak pasukannya. Di dalam bangunan itulah Ki Tumenggung Sarpa Biwada ditahan, dijaga kuat oleh beberapa orang prajurit pilihan.

Ketika para prajurit yang bertugas itu melihat Ki Tumenggung Yudatama diikuti oleh Paksi, Pangeran Benawa dan Raden Sutawijaya, mereka pun mengangguk hormat.

“Aku akan menemui Ki Tumenggung Sarpa Biwada” berkata Ki Tumenggung Yudatama.

Pemimpin prajurit yang bertugas itu pun menyahut, “Silahkan, Ki Tumenggung”

Pemimpin prajurit itu pun membuka pintu pertama bilik tahanan Ki Tumenggung Sarpa Biwada. Bersama-sama dengan Paksi, Pangeran Benawa dan Raden Sutawijaya, Ki Tumenggung Yudatama pun memasuki pintu yang kedua. Dibukanya selarak pintu itu. Demikian pintu itu terbuka maka mereka melihat Ki Tumenggung Sarpa Biwada duduk di sebuah amben panjang di sudut bilik yang terhitung cukup luas bagi seorang tawanan.

Ki Tumenggung Sarpa Biwada berpaling. Namun ia pun kemudian tidak menghiraukan keempat orang yang memasuki biliknya itu.

“Ki Tumenggung Sarpa Biwada” berkata Ki Tumenggung Yudatama, “bukankah kau ingin bertemu dan berbicara dengan Paksi. Sekarang, aku mengajak Paksi menemuimu. Mungkin kau mempunyai pesan baginya”

“Aku ingin berbicara dengan anak itu sendiri”

Ki Tumenggung Yudatama menggeleng. Katanya, “Aku tidak mengijinkan kalian berbicara berdua di luar pengawasan. Aku bertanggung jawab akan keberadaan Ki Tumenggung Sarpa Biwada disini”

“Kau kira aku akan melarikan diri?”

“Bukan hanya soal melarikan diri. Tetapi seorang tawanan penting sebagaimana Ki Tumenggung Sarpa Biwada, harus selalu di bawah pengawasan. Banyak sekali dapat terjadi pada pertemuan seorang tawanan dengan seseorang di luar bilik tahanan”

“Jika demikian, ajak anak itu pergi. Kehadirannya hanya membuat mataku sakit”

“Kau sendiri yang minta agar anak ini datang menemuimu”

“Aku tidak memerlukannya lagi”

“Baik” berkata Ki Tumenggung Yudatama, “aku akan membawa Paksi pergi. Bukan salahku. Permintaanmu sudah aku penuhi”

“Kenapa isteriku diijinkan menemui aku sendiri tanpa pengawasan? Jika memang ada paugeran bahwa seorang tawanan tidak boleh bertemu dan berbicara tanpa pengawasan dengan orang luar dinding tahanan ini?”

“Nyi Tumenggung mendapat ijin khusus dari Ki Gede Pemanahan yang menaruh iba kepadanya”

“Aku tidak perlu dikasihani”

“Bukan kau. Tetapi istrimu. Ia seorang istri yang setia dan baik. Karena itu, maka diijinkannya secara khusus untuk menemuimu tanpa pengawasan”

“Cukup. Bawa anak itu pergi. Aku tidak ingin melihat wajahnya yang licik itu”

“Kau sendirilah yang memintanya untuk membawanya kemari”

“Baik. Baik. Biarlah anak itu mendengarnya, bahwa anakku laki-laki pada suatu saat akan mencarinya. Jika aku gagal membunuhnya, maka anakku itulah yang akan melakukannya. Karena itu, aku tidak akan merengek minta ampun. Aku akan menghadapi tiang gantung dengan wajah tengadah”

“Apakah kau sedang mengigau, Ki Tumenggung Sarpa Biwada? Siapakah yang kau maksud dengan anak laki-lakimu itu? Bukankah Paksi ini juga anak laki-lakimu?”

“Lihat wajahnya, Ki Tumenggung Yudatama. Jika kau mempunyai sedikit pengetahuan tentang ujud dan sifat manusia, kau akan segera mengetahui, bahwa anak itu bukan anakku. Lihat wajahnya, apakah mempunyai kemiripan sedikit saja dengan wajahku?”

“Ki Tumenggung, apa yang kau katakan itu?”

“Dengarlah jika kau mau mendengar. Anak itu bukan anakku”

“Biarlah ia mengatakan apa yang ingin dikatakannya, Ki Tumenggung Yudatama. Biarlah ia menumpahkan segala kebenciannya kepadaku. Biarlah ia mencerca, menghina dan bahkan merendahkan namaku. Aku tidak akan menjadi sakit hati” sahut Paksi.

“Pergi. Pergi kau anak jahanam. Pergi sebelum aku mengambil keputusan untuk membunuhmu sekarang”

Paksi berdiri termangu-mangu. Ki Tumenggung Sarpa Biwada itu pun telah bangkit berdiri pula sambil berteriak, “Pergi. Pergi. Aku tidak akan membunuhmu sekarang. Anakkulah yang akan membunuhmu. Ia akan menuntut balas pengkhianatanmu. Kau yang tidak mengenal kebaikan budi seseorang kepadamu”


Paksi termangu-mangu sejenak. Namun Ki Tumenggung Yudatama lah yang kemudian mengajaknya meninggalkan bilik itu.

“Marilah. Tidak ada pembicaraan apa pun dalam suasana seperti ini”

Demikianlah, mereka berempat pun segera meninggalkan bilik itu. Ki Tumenggung pun telah menutup pintu dan menyilangkan selaraknya. Kemudian pada pintu yang kedua, pemimpin prajurit yang bertugaslah yang menutup dan menyelarak pintu itu.

“Jaga Ki Tumenggung itu baik-baik” pesan Ki Tumenggung Yudatama.

“Ya, Ki Tumenggung” jawab pemimpin prajurit itu.

Sejenak kemudian, Ki Tumenggung itu pun telah mempersilahkan Paksi, Pangeran Benawa dan Raden Sutawijaya duduk kembali di bilik khususnya. Sambil mengangguk-angguk kecil, Ki Tumenggung itu pun berkata, “Aku mengerti, kenapa kau berkeras untuk mencari adikmu, Paksi”

“Ya, Ki Tumenggung”

“Nampaknya jarak yang menganga di antara kau dan ayahmu sulit untuk diloncati”

“Ya, Ki Tumenggung. Aku tidak ingin terjadi benturan antara aku dan adikku itu. Nampaknya ayah ingin menyalurkan kemarahan dan dendamnya lewat adikku yang sebenarnya dapat disisihkan dari persoalan yang kami hadapi. Tetapi ayah menjadi kehilangan akal, sehingga telah mengadu anak-anaknya untuk bertarung antara hidup dan mati”

“Baik. Baik, Paksi. Aku akan memerintahkan para prajurit yang dapat menangkap adikmu untuk menyerahkannya langsung kepadaku. Kemudian aku akan memberitahukan hal itu kepadamu. Syukurlah jika kau sendiri dapat menemukan adikmu itu, sehingga kelak tidak akan terjadi benturan di antara saudara sendiri”

“Terima kasih, Ki Tumenggung”

“Nah, baiklah. Kami akan membantumu sebagaimana Pangeran Benawa dan Raden Sutawijaya. Sudah tentu dengan cara yang dapat aku tempuh”

Demikianlah, Paksi, Pangeran Benawa dan Raden Sutawijaya pun minta diri. Ki Tumenggung pun mengantar mereka sampai ke pintu gerbang baraknya. Di pintu gerbang Ki Tumenggung masih berkata, “Aku akan memerintahkan para perwira prajurit di pasukanku untuk siap membantumu jika kau perlukan, Paksi”

“Terima kasih, Ki Tumenggung Mudah-mudahan anak itu dapat diketemukan sehingga tidak akan terjadi bencana kelak. Bencana itu dapat terjadi atas diriku atau atas adikku itu”

Ki Tumenggung menepuk bahu Paksi. Tetapi ia tidak berkata apa-apa lagi.

Demikianlah, mereka bertiga pun kemudian meninggalkan barak Ki Tumenggung Yudatama. Tetapi mereka bertiga tidak pergi ke rumah Ki Gede Pemanahan dan apabila ke istana. Mereka akan tinggal di mana saja menurut kebutuhan. Raden Sutawijaya dan Pangeran Benawa mempunyai beberapa orang kepercayaan yang akan dapat mencari adik laki-laki Paksi yang terselip di antara para pengikut Harya Wisaka. Bahkan mungkin mereka pun akan berpindah-pindah tempat dan bahkan mereka pun dapat berada di bekas padepokan mereka bersama Ki Waskita.

Dalam pada itu, Ki Waskita sendiri sedang berada di rumah Nyi Tumenggung Sarpa Biwada. Ki Waskita yang mengetahui bahwa Nyi Tumenggung sudah sempat bertemu Ki Tumenggung Sarpa Biwada ingin mengetahui hasil pembicaraan mereka.

Namun Nyi Tumenggung itu pun menggeleng. Katanya, “Aku tidak berhasil, Kakang. Mulutku tidak dapat mengucapkannya”

“Kenapa, Nyi. Bukankah satu-satunya harapan bagi Ki Tumenggung adalah kesediaannya bekerja sama dengan Ki Gede Pemanahan untuk menemukan Harya Wisaka?”

“Aku mengerti, Kakang. Tetapi Ki Tumenggung masih saja bermimpi untuk menjadi pahlawan. Jika Harya Wisaka berhasil, maka namanya akan berada pada deretan nama-nama pahlawan yang menjadi pilar penyangga kejayaan Harya Wisaka”

Ki Waskita mengangguk-angguk kecil.

“Tetapi aku belum berputus-asa, Kakang. Jika diijinkan aku masih akan menemuinya dan berbicara tentang satu-satunya harapan itu, meskipun Ki Tumenggung sendiri nampaknya tidak lagi mempunyai gairah untuk hidup. Nampaknya satu-satunya keinginannya adalah justru mati sebagai pahlawan”

“Kau harus meyakinkan, Nyi. Harya Wisaka tidak akan berhasil. Ki Tumenggung Sarpa Biwada tidak akan pernah menjadi pahlawan sebagaimana yang diimpikannya itu”

“Tetapi aku belum berani membangunkannya sekarang, Kakang. Ia akan menjadi sangat kecewa”

Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian, “Aku mengerti, Nyi. Memang mungkin diperlukan waktu untuk mengatakannya. Biarlah aku berbicara dengan Ki Gede Pemanahan dan Ki Tumenggung Yudatama, agar Ki Tumenggung Sarpa Biwada masih diberi waktu. Jika mereka menjadi tidak sabar lagi, maka mereka akan mencoba memaksa Ki Tumenggung Sarpa Biwada untuk berbicara. Mungkin Ki Gede Pemanahan dan Ki Tumenggung Yudatama sendiri dapat menahan diri. Tetapi beberapa orang perwira di dalam barak itu akan dapat bersikap lain”

Nyi Tumenggung memandang Ki Waskita dengan tajamnya. Dengan suara yang hampir tidak terdengar Nyi Tumenggung itu berkata, “Tolong, Kakang. Jangan perlakukan Ki Tumenggung dengan kasar”

“Aku akan berusaha, Nyi. Setidak-tidaknya mengulur waktu. Tetapi Nyi Tumenggung juga harus membantu”

“Aku juga akan berusaha, Kakang. Aku akan mengunjunginya lagi. Aku akan menghadap Ki Tumenggung Yudatama untuk minta waktu”

“Besok pergilah menemui Ki Tumenggung. Hari ini aku akan berbicara dengan Ki Tumenggung itu lebih dahulu”

“Terima kasih, Kakang. Mudah-mudahan Kakang berhasil dan
aku pun dapat berhasil pula”

“Ya, Nyi. Kita akan berusaha”

Ki Waskita pun kemudian minta diri. Sekali lagi ia berpesan, agar besok Nyi Tumenggung benar-benar menemui Ki Tumenggung Yudatama untuk minta ijin bertemu lagi dengan Ki Tumenggung Sarpa Biwada.

Nyi Tumenggung mengangguk sambil berdesis, “Ya, Kakang”

Sepeninggal Ki Waskita, Nyi Tumenggung masih duduk beberapa saat di pendapa. Dipandanginya pintu regol yang masih terbuka. Angan-angannya pun menerawang menembus batasan waktu dan ruang.

“Mudah-mudahan Ki Waskita bersikap jujur” berkata Nyi Tumenggung itu di dalam hatinya.

Sebenarnyalah Nyi Tumenggung Sarpa Biwada itu masih saja ragu. Apakah Ki Waskita itu benar-benar ingin melihat masa depannya yang utuh kembali atau bagi Ki Waskita yang terpenting, Ki Tumenggung Sarpa Biwada dapat segera tertangkap.

“Apa pun yang terjadi dengan Ki Tumenggung, keluarga ini tidak akan pernah utuh kembali. Paksi dan Ki Tumenggung akan sulit sekali dapat bertaut kembali. Mereka telah dipisahkan oleh berbagai macam kepentingan dan bahkan dendam dan kebencian. Kalau saja Ki Waskita masih seperti dahulu” berkata Nyi Tumenggung di dalam hatinya.

Dalam pada itu, Ki Waskita pun langsung pergi menemui Ki Tumenggung Yudatama di dalam baraknya.

“Baiklah” Ki Tumenggung Yudatama mengangguk-angguk setelah ia mendengar penjelasan Ki Waskita.

“Nyi Tumenggung memerlukan waktu untuk melunakkan hati Ki Tumenggung Sarpa Biwada”

“Aku sendiri tidak berkeberatan, Ki Waskita. Tetapi aku tidak dapat menunggu berlama-lama. Para perwira di barak ini memperhitungkan, jika kita harus menunggu terlalu lama, maka kemungkinan Harya Wisaka lepas dari kota semakin besar”

“Aku mengerti, Ki Tumenggung”

“Aku harus menyabarkan para perwira yang dadanya bergejolak itu. Mereka merasa dipermainkan oleh Harya Wisaka. Beratus-ratus prajurit sudah digelar di kotaraja, tetapi mereka tidak dapat menemukannya. Bukankah para prajurit itu merasa ditertawakan oleh Harya Wisaka?”

“Menurut perhitunganku, Harya Wisaka tidak akan segera pergi. Aku kira luka-lukanya masih akan menghambatnya. Mungkin luka-luka di kulitnya sudah kering, tetapi luka di bagian dalam tubuhnya memerlukan waktu yang lama untuk menyembuhkannya”

“Tetapi jika Harya Wisaka mendapatkan seorang tabib yang sangat baik, keadaannya akan berbeda. Tetapi mudah-mudahan Harya Wisaka memang masih belum pergi keluar. Namun demikian, jika para prajurit kehilangan orang itu, mereka akan dapat menjadi sangat marah dan mencari sasaran untuk melepaskan kemarahannya”

“Aku mengerti, Ki Tumenggung. Mudah-mudahan hal seperti itu tidak terjadi”

“Kapan Nyi Tumenggung akan bertemu dengan suaminya?”

“Nyi Tumenggung Sarpa Biwada akan menghadap Ki Tumenggung Yudatama esok pagi. Kemudian terserah kepada Ki Tumenggung, kapan Ki Tumenggung Yudatama akan memberi waktu”

“Baiklah. Besok aku akan berbicara dengan Nyi Tumenggung. Jika ia sudah siap, biarlah besok ia bertemu dan berbicara dengan suaminya”

Ki Waskita mengangguk sambil berkata, “Terima kasih. Mudah-mudahan hati Ki Tumenggung Sarpa Biwada dapat dilunakkan, sehingga tidak perlu memaksanya untuk berbicara”

Ki Waskita pun kemudian minta diri. Tetapi hari itu ia masih memerlukan menemui Nyi Tumenggung Sarpa Biwada untuk memberikan beberapa pesan jika besok ia benar-benar mendapat kesempatan untuk bertemu dengan suaminya.

“Kau memang tidak usah mengatakan, apa yang harus dilakukan oleh Ki Tumenggung. Tetapi Nyi Tumenggung harus meyakinkannya, bahwa Nyi Tumenggung sangat mengharapkannya pulang pada satu saat. Pulang dengan tenang dan bukan lagi menjadi buruan”

Nyi Tumenggung menundukkan wajahnya. Katanya hampir tidak terdengar, “Apakah Kakang benar-benar menginginkan Ki Tumenggung pulang?”

“Tentu, Nyi. Bukankah aku mencoba untuk memberikan jalan kepada Ki Tumenggung agar ia dapat pengampunan?”

“Manakah yang lebih penting bagi Kakang? Suamiku pulang dan tidak lagi menjadi buruan, atau pengakuan Ki Tumenggung agar Kakang dan Ki Gede Pemanahan segera dapat menangkap Harya Wisaka?”

Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian Katanya, “Kedua-duanya, Nyi”

“Apakah Kakang tidak mencemaskan nasib Paksi jika Ki Tumenggung pulang?”

“Kenapa dengan Paksi?”

“Kau kira Ki Tumenggung dapat melupakan niatnya untuk membunuh Paksi?”

Ki Waskita mengerutkan dahinya. Dengan ragu ia pun menjawab, “Paksi akan dapat melindungi dirinya sendiri”

“Kau yakin, Kakang?”

“Aku yakin”

“Tetapi Kakang rasa-rasanya sangat mencemaskan nasib Paksi pada saat Kakang berusaha menjebak Ki Tumenggung Sarpa Biwada”

“Sebenarnya aku tidak mencemaskan Paksi, Nyi. Aku yakin bahwa Paksi mempunyai ilmu yang lebih tinggi dari Ki Tumenggung Sarpa Biwada. Yang aku cemaskan adalah, bahwa Paksi dan Ki Tumenggung itu harus berhadapan dalam pertempuran yang menentukan hidup dan mati”

Nyi Tumenggung semakin menunduk. Dengan suara yang parau Nyi Tumenggung itu pun berkata, “Apakah hal seperti itu tidak akan dapat terjadi kelak, jika Ki Tumenggung mendapat pengampunan?”

“Ada jarak waktu, Nyi. Mudah-mudahan jarak waktu itu dapat mengendapkan perasaan masing-masing. Kami berharap ada perubahan yang terjadi pada diri Ki Tumenggung setelah ia menjalani hukumannya yang tidak akan dapat dihindarinya sepenuhnya. Mungkin ia memang mendapat pengampunan. Tetapi tentu tidak seluruhnya”

Nyi Tumenggung menarik nafas dalam-dalam. Sementara Ki Waskita pun berkata, “Pergilah besok menemui Ki Tumenggung Yudatama. Mungkin kau akan mendapat kesempatan langsung bertemu dengan Ki Tumenggung Sarpa Biwada. Ki Tumenggung merasa sudah sangat terdesak oleh waktu. Jika mereka bergerak dengan lambat, mungkin Harya Wisaka sudah meninggalkan kotaraja”

Nyi Tumenggung itu pun mengangguk. Katanya, “Baiklah, Kakang”

“Nyi. Bersiaplah menghadapi beberapa kemungkinan. Kadang-kadang yang terjadi tidak sebagaimana kita kehendaki. Tetapi berdoalah. Jika kau berdoa dengan bersungguh-sungguh, mudah-mudahan doamu akan didengar oleh Yang Maha Agung”

Nyi Tumenggung itu pun mengangguk.

Sepeninggal Ki Waskita, Nyi Tumenggung nampak gelisah. Anak perempuannya yang menjadi remaja itu sempat memperhatikannya. Tetapi ia pun tahu, bahwa ibunya menjadi gelisah karena ayahnya yang tertangkap oleh prajurit Pajang.

Seperti yang direncanakan, di hari berikutnya Nyi Tumenggung telah pergi menemui Ki Tumenggung Yudatama.

“Nyi Tumenggung akan bertemu lagi dengan Ki Tumenggung?” bertanya Ki Tumenggung Yudatama.

“Jika Ki Tumenggung mengijinkan”

“Kapan Nyi Tumenggung akan menemui Ki Tumenggung”

“Terserah kepada Ki Tumenggung Yudatama, kapan saja aku bersedia datang”

“Bagaimana jika sekarang saja? Apakah Nyi Tumenggung sudah siap?”

“Aku siap, Ki Tumenggung”

“Baiklah. Nyi Tumenggung akan diantar oleh seorang perwira menemui suami Nyi Tumenggung”

Ki Tumenggung Yudatama pun kemudian telah memerintahkan seorang rangga untuk mengantarkan Nyi Tumenggung.

“Biarlah Nyi Tumenggung menemui suaminya tanpa pengawasan”

“Baik, Ki Tumenggung” sahut Ki Rangga.

Dengan diantar oleh Ki Rangga, maka Nyi Tumenggung pun kemudian telah menemui suaminya lagi tanpa pengawasan sebagaimana diperintahkan oleh Ki Tumenggung Yudatama.

Ki Tumenggung Sarpa Biwada terkejut, bahwa dalam waktu yang terhitung dekat isterinya telah mengunjunginya dua kali.

Demikian Nyi Tumenggung duduk di dalam bilik tahanan Ki Tumenggung, maka Ki Tumenggung Sarpa Biwada itu pun segera bertanya, “Nyi, apakah kau sudah mendapat kabar, bahwa besok aku akan dipancung di alun-alun?”

“Kakang”

“Hukuman mati itu tentu sudah dekat”

“Kenapa Kakang berkata begitu?”

“Jika tidak, kau tidak akan diijinkan untuk menjengukku dalam waktu yang terhitung dekat itu, Nyi”

“Tidak, Kakang. Akulah yang datang menemui Ki Tumenggung Yudatama untuk minta ijin menemuimu. Memang tidak begitu mudah. Tetapi akhirnya aku diijinkannya juga”

“Apakah kau mempunyai keperluan yang mendesak?”

“Tidak, Kakang. Aku hanya ingin mengunjungi Kakang. Bahkan aku ingin Kakang segera pulang”

“Bagaimana aku dapat pulang, Nyi? Aku adalah seorang pemberontak di mata orang-orang Pajang. Aku tentu akan digantung. Tetapi itu tidak apa-apa, Nyi. Pada saatnya orang akan menyebut namaku bukan sebagai pengkhianat. Tetapi sebagai pahlawan”

“Bagaimana jika Harya Wisaka tidak berhasil, Kakang. Bukankah dengan demikian nama Kakang akan tetap dikenang sebagai seorang pengkhianat?”

“Harya Wisaka tentu akan berhasil. Pasukannya di sebelah Gunung Kendeng terlalu kuat bagi prajurit Pajang yang ada di kotaraja”

“Kakang” berkata Nyi Tumenggung, “apakah kau yakin bahwa para pengikut Harya Wisaka itu masih tetap setia kepadanya?”

“Tentu. Mereka tinggal menunggu, kapan Harya Wisaka dapat meloloskan diri dari kota yang pengap ini. Demikian ia berada di antara para pengikutnya, maka Pajang akan segera dihancurkannya”

“Kakang. Kakang jangan terlalu mengharap. Kakang harus dapat melihat beberapa kemungkinan. Mungkin Harya Wisaka besok atau lusa sudah dapat ditangkap. Maka harapan Kakang untuk dapat menjadi pahlawan itu akan sia-sia”

“Tidak. Orang-orang Pajang tidak akan berhasil menangkap Harya Wisaka. Ia mempunyai tempat persembunyian yang sangat terlindung dan berpindah-pindah”

“Kakang” berkata Nyi Tumenggung, “kenapa Kakang sangat berharap bahwa Harya Wisaka akan berhasil, sementara itu kedudukannya sudah menjadi semakin terjepit? Harya Wisaka tidak akan dapat banyak berharap dengan pasukannya di sebelah Gunung Kendeng. Sebagaimana Kakang ketahui, bahwa Harya Penangsang dengan kekuatan Jipang yang besar pun tidak dapat mengalahkan Pajang”

“Tetapi Pajang waktu itu mempergunakan cara yang licik sekali. Mereka memanfaatkan sifat dan watak Harya Penangsang yang pemarah dengan memancingnya mendahului prajurit-prajuritnya dan menyeberangi Bengawan Solo”

“Apakah Kakang kira, Pajang sekarang sudah tidak licik lagi?”

Ki Tumenggung Sarpa Biwada termangu-mangu sejenak.

Sementara itu Nyi Tumenggung pun berkata selanjutnya, “Kakang, seandainya Harya Wisaka dapat menang, apakah Kakang yakin bahwa Harya Wisaka tidak akan melupakan Kakang?”

“Melupakan?”

“Jika seandainya Harya Wisaka dapat menghancurkan pasukan Sultan Hadiwijaya dan kemudian merebut tahta Pajang, apakah Harya Wisaka masih ingat kepada Kakang Tumenggung Sarpa Biwada? Padahal Kakang Tumenggung telah menyediakan diri untuk digantung di alun-alun”

“Kenapa tidak?”

“Kakang, bukankah Kakang kenal Harya Wisaka dengan baik? Seorang yang sangat mementingkan diri sendiri. Dikorbankannya pengikut-pengikutnya untuk melindungi dirinya sendiri”

“Nyi, kau jangan menilai orang yang tidak kau kenal dengan baik. Kau tidak mengenal Harya Wisaka dengan akrab. Karena itu, kau tidak akan dapat menilai sifat dan wataknya”

“Kakang benar. Tetapi marilah kita lihat sifat seseorang secara umum. Jika Harya Wisaka berhasil, yang akan dianggapnya sebagai pahlawan adalah justru orang-orang yang masih hidup. Yang dapat melindunginya atau diperalatnya. Tetapi jika Kakang sudah dihukum mati, maka Harya Wisaka sudah tidak akan dapat melihat Kakang lagi. Tidak ada yang dapat diharapkan dari Kakang, karena Kakang sudah tidak ada. Karena itu, maka Kakang akan dilupakannya”

“Nyi, jangan mengendorkan kesetiaanku”

“Ki Tumenggung Sarpa Biwada” berkata Nyi Tumenggung, “Kakang akan dapat meragukan kesetiaan Harya Wisaka terhadap para pengikutnya. Bahkan yang kelak dianggap mengganggu, apa pun yang pernah dilakukannya dalam perjuangannya, tentu akan disingkirkannya. Tetapi Kakang tidak dapat meragukan kesetiaanku. Aku benar-benar mengharap Kakang dapat kembali pulang tidak lagi sebagai buruan. Hidup tenang dalam suasana yang tenang pula”

Ki Tumenggung termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun berdesis, “Nyi. Aku sudah berada disini. Tidak akan ada jalan yang dapat aku tempuh untuk mendapatkan pengampunan”

Nyi Tumenggung menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Tentu ada jalan, Kakang”

“Apakah kau dapat menyebutkan?”

Nyi Tumenggung menggeleng sambil berdesis, “Tidak, Kakang. Aku tidak tahu. Tetapi Kakang sendiri tentu tahu, apa yang sebaiknya Kakang lakukan untuk mendapatkan keringanan hukuman. Kakang akan menjalani hukuman itu dengan tabah sebagai seorang laki-laki yang bertanggung jawab. Namun kemudian, Kakang akan sampai pada satu batas, dimana Ki Tumenggung Sarpa Biwada akan dibebaskan setelah semua hukuman Kakang jalani. Kakang akan dapat pulang dengan tenang dan tidak lagi dibebani oleh perasaan bersalah”

Ki Tumenggung menarik nafas panjang. Dipandanginya pintu biliknya yang tertutup sambil menggeram, “Bilik keparat”

“Aku mohon Kakang mempertimbangkannya” berkata Nyi Tumenggung.

“Aku tidak tahu lagi apa yang harus aku perbuat. Tetapi aku yakin kalau Kakang justru tahu, apa yang sebaiknya Kakang lakukan untuk mengurangi hukuman Kakang”

Ki Tumenggung tertunduk lesu. Tetapi ia tidak segera menjawab.

Sementara itu, pintu pun telah terbuka. Ki Rangga telah muncul ke dalam bilik tahanan Ki Tumenggung Sarpa Biwada.

“Maaf, Nyi. Waktunya sudah habis”

Nyi Tumenggung memandang Ki Rangga sejenak. Namun kemudian ia pun bangkit berdiri sambil berkata kepada Ki Tumenggung, “Aku menunggumu Kakang. Kau tidak boleh membiarkan dirimu dibunuh”

Ki Tumenggung tidak menjawab. Sementara itu Nyi Tumenggung pun minta diri, “Sudahlah, Kakang. Aku tidak tahu apakah aku masih akan mendapat ijin lagi menemui Kakang Tumenggung. Tetapi aku masih akan datang minta ijin kepada Ki Tumenggung Yudatama. Mudah-mudahan Ki Tumenggung Yudatama tidak berubah”

Nyi Tumenggung pun kemudian telah meninggalkan bilik tahanan itu. Sejenak kemudian maka pintu pun telah tertutup dan diselarak dari luar. Ki Tumenggung pun tahu, bahwa bilik tahanannya itu mempunyai pintu rangkap.

Sepeninggal Nyi Tumenggung, Ki Tumenggung Sarpa Biwada itu sempat merenung. Ia mulai memikirkan, apakah ia benar-benar akan menjadi seorang pahlawan jika Harya Wisaka kelak berhasil menguasai Pajang. Atau sebaliknya pengorbanannya akan dilupakan? Hanya orang-orang yang masih berarti bagi Harya Wisaka sajalah yang akan disebut-sebut kelak sebagai pilar-pilar penyangga kekuasaannya?

Ternyata hari itu Ki Tumenggung Sarpa Biwada merenungi kata-kata isterinya. Semakin dalam ia memikirkannya, maka Ki Tumenggung menjadi semakin ragu terhadap kesetiaan Harya Wisaka terhadap orang-orang yang telah membantunya.

Dalam pada itu, Ki Tumenggung Yudatama yang telah menyusun rencananya bersama Ki Waskita, tidak bertindak tergesa-gesa. Dibiarkannya Ki Tumenggung sempat merenungi pertemuannya dengan Nyi Tumenggung.

Namun yang ternyata tidak sabar adalah para pembantunya. Bahkan seorang rangga telah datang menghadap dan bertanya tentang kehadiran Nyi Tumenggung.

“Seakan-akan Ki Tumenggung Sarpa Biwada mendapat perlakuan yang khusus, Ki Tumenggung Yudatama”

“Kenapa?” bertanya Ki Tumenggung Yudatama.

“Dalam waktu dekat, isterinya sudah diijinkan dua kali menemuinya. Sementara itu, para tawanan yang lain, sama sekali tidak boleh dijenguk oleh keluarganya”

“Kami mempunyai perhitungan tersendiri tentang Ki Tumenggung Sarpa Biwada”

“Perhitungan yang mana, Ki Tumenggung?”

“Aku belum dapat mengatakannya”

“Dalam hubungannya agar Ki Tumenggung bersedia menjawab pertanyaan-pertanyaan kita dengan jujur?”

“Antara lain”

“Serahkan saja kepadaku, Ki Tumenggung Yudatama” berkata Ki Rangga dengan geram. “Aku sanggup memaksa Ki Tumenggung Sarpa Biwada itu berbicara”

“Apakah kau dapat memaksa tawanan-tawanan yang lain berbicara?”

“Sebagian besar dari mereka berbicara”

“Dengan jujur, sehingga memberi jalan kepada kita untuk sampai kepada Harya Wisaka?”

“Mereka memang tidak mengetahuinya. Jika saja ada di antara mereka yang tahu”

“Kau tidak akan dapat memaksa Ki Tumenggung Sarpa Biwada untuk berbicara jika kalian memaksanya dengan kekerasan”

“Perintahkan aku untuk mencobanya”

“Jika kita memaksanya untuk berbicara dengan kekerasan, maka kita akan dapat kehilangan orang itu. Dalam keadaan yang tidak terkendali, kita akan dapat membunuhnya, meskipun kita tidak berniat melakukannya”

“Tetapi apakah dengan cara memanjakannya ia akan mau berbicara?”

“Kita tidak memanjakannya, Ki Rangga. Tetapi kita berusaha untuk mendapatkan apa yang kita inginkan dengan cara yang lebih baik”

“Tetapi sampai kapan kita harus menunggu, Ki Tumenggung?”

“Tentu saja ada batasnya. Aku akan selalu berhubungan, dengan Ki Gede Pemanahan”

“Semakin lama kita menunggu, maka para prajurit yang bertugas mencegah agar Harya Wisaka tidak berhasil keluar dari kota menjadi semakin gelisah”

“Aku mengerti, Ki Rangga. Aku akan memperhitungkan waktu”

“Terima Kasih, Ki Tumenggung. Sebaiknya kita tidak menunggu para prajurit kehilangan kesabaran dan bertindak sendiri-sendiri. Mungkin rakyat Pajang akan menjadi semakin resah”

“Baik. Aku perhatikan pendapatmu. Aku mengerti sepenuhnya”

Sepeninggal Ki Rangga, Ki Tumenggung pun menjadi gelisah. Ia memang tidak boleh berlama-lama. Jika waktu sudah terbuang dan akhirnya Ki Tumenggung tetap berkeras kepala, maka dendam para prajuritnya akan menjadi semakin memuncak.

Hari itu, Ki Tumenggung tidak mengambil tindakan apa-apa terhadap Ki Tumenggung Sarpa Biwada. Tetapi Ki Tumenggung telah pergi menemui Ki Gede Pemanahan.

“Baiklah” berkata Ki Gede, “kita memang tidak boleh berlama-lama. Tetapi aku pun sependapat dengan Ki Waskita. Besok kita akan mencobanya, Ki Tumenggung Yudatama”

“Apakah Ki Gede sendiri akan datang ke barak atau Ki Gede memerintahkan aku melakukannya?”

“Aku akan datang sendiri ke barak. Kita lakukan bersama-sama”

“Bagaimana dengan Ki Waskita?”

“Tidak, Ki Tumenggung. Kita tidak dapat melibatkan Ki Waskita langsung untuk menemui Ki Tumenggung Sarpa Biwada. Jika ia melihat Ki Waskita, maka gejolak jantungnya tidak akan terkendali lagi”

“Baiklah. Besok aku menunggu Ki Gede”

Ketika malam turun, Ki Tumenggung Yudatama tetap berada di baraknya. Ki Tumenggung sendiri mengawasi bilik tahanan Ki Tumenggung Sarpa Biwada. Bukan karena Ki Tumenggung cemas bahwa tawanannya akan melarikan diri. Tetapi Ki Tumenggung Yudatama justru mengawasi agar Ki Tumenggung Sarpa Biwada itu tidak menjadi korban ketidak-sabaran para prajuritnya.

Dalam pada itu, Paksi, Pangeran Benawa dan Raden Sutawijaya sudah mulai menjelajahi jalan-jalan sempit. Setiap saat mereka menjelajahi jalan-jalan sempit dengan harapan dapat bertemu dengan adik laki-laki Paksi seperti yang pernah terjadi.

Tetapi ternyata mereka tidak menemukannya.

“Apakah adikmu tidak pernah pulang, Paksi?” tiba-tiba saja Pangeran Benawa bertanya. Paksi menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Hamba tidak tahu Pangeran. Mungkin adikku telah diperingatkan oleh ayah, bahwa sebaiknya ia tidak usah pulang”

“Tetapi apakah tidak sebaiknya kau sekali-sekali datang kepada ibumu untuk menanyakannya?” bertanya Raden Sutawijaya.

“Baiklah, Pangeran. Besok aku akan pulang”

“Kita akan pergi bersama-sama”

Paksi tidak dapat menolak. Bahkan ia pun berkata, “Sebelumnya hamba mengucapkan terima kasih”

Dalam pada itu, di hari berikutnya, di dini hari, jauh sebelum fajar, Paksi sudah bersiap-siap. Demikian pula dengan Pangeran Benawa dan Raden Sutawijaya. Bertiga mereka menyusuri jalan kota menuju ke rumah Ki Tumenggung Sarpa Biwada.

Ketika mereka bertiga sampai di regol, langit masih nampak gelap. Dengan hati-hati Paksi menguakkan pintu regol halaman. Sepi. Halaman rumahnya itu masih sepi. “Kita menunggu sampai ada orang yang terbangun, Paksi” berkata Pangeran Benawa. “Jika kita mengetuk pintu di saat seperti ini, ibumu akan sangat terkejut”

Paksi mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah, Pangeran. Marilah kita menunggu fajar di pringgitan”

Bertiga mereka pun perlahan-lahan melintasi pendapa dan duduk di pringgitan. Namun demikian mereka duduk, mereka terkejut. Mereka mendengar orang berbicara di ruang dalam.

Ketiganya kemudian bangkit berdiri dan melangkah mendekati pintu. Pembicaraan di ruang dalam itu semakin lama menjadi semakin jelas. Suara itu adalah suara ibunya, adik laki-laki Paksi dan adik perempuannya.

Jantung Paksi bergetar. Ternyata dugaan Pangeran Benawa itu tepat. Adik laki-lakinya agaknya pernah juga datang mengunjungi ibunya.

“Aku harus segera meninggalkan kota ini, Ibu”

“Ngger, kenapa kau tidak menyerah saja. Kau masih terlalu muda untuk mengerti, apakah sebenarnya yang dicari oleh Harya Wisaka. Bahkan ayahmu yang berada di dalam bilik tahanannya mulai berpikir, apakah yang akan terjadi kelak”

“Ayah tidak akan bergeser dari sikap yang diyakininya, Ibu. Ayah pun telah mengatakan kepadaku, bahwa aku adalah penerus dari perjuangannya”

“Tetapi aku baru saja mengunjungi ayahmu. Ayahmu mulai menjadi ragu. Apakah Harya Wisaka akan berhasil”

“Berhasil atau tidak berhasil bukan menjadi soal, Ibu. Tetapi perjuangan harus berlangsung terus. Jika perjuangan ayah terputus, maka aku adalah penerusnya. Jika ayah harus menjalani hukuman mati, biarlah ayah menjalaninya sebagai seorang laki laki. Kelak, namanya akan dicantumkan dalam deretan nama para pahlawan. Sedangkan akulah yang akan meneruskan perjuangannya bersama Harya Wisaka menghancurkan Pajang. Menghancurkan kekuatan Sultan Hadiwijaya yang sombong dan sewenang-wenang itu”

“Ngger, jangan bermimpi untuk dapat berdampingan dengan Harya Wisaka. Kau adalah pengikutnya. Kau hanya dapat mematuhi perintahnya seperti pengikut-pengikutnya yang lain. Kau adalah alas yang jika perlu justru diinjak di bawah kakinya”

“Ibu” potong adik laki-laki Paksi, “Ibu telah merendahkan perjuangan Harya Wisaka. Harya Wisaka bukan seperti orang yang Ibu katakan itu”

“Ngger, apakah kau pernah bertemu dan berbicara langsung dengan Harya Wisaka?”

“Sudah, Ibu. Aku sudah bertemu dengan Harya Wisaka. Aku pun pernah berbicara langsung dengan orang besar yang akan menggenggam masa depan itu”

“Kenapa kau dapat berkata demikian? Apa yang dikatakan oleh Harya Wisaka itu kepadamu? Apa pula yang dijanjikannya kepadamu sehingga kau yakin akan kebenaran perjuangannya”

“Ibu, Harya Wisaka tidak menjanjikan apa-apa selain masa depan yang lebih baik bagi Pajang. Mungkin selama perjuangan masih berlangsung, kami akan menderita. Tetapi penderitaan itu akan menghasilkan buah yang sangat manis bagi masa depan”

“Tetapi kau harus menyadari, bahwa Harya Wisaka tidak akan mempunyai harapan lagi bagi perjuangannya”

“Tidak apa-apa, Ibu. Seandainya kami harus hancur, biarlah kami hancur menjadi debu bersama cita-cita perjuangan kami”

“Siapa yang mengajarimu itu, Ngger?”

“Tidak ada yang mengajariku, Ibu. Ayah memang mengatakannya. Tetapi apa yang dikatakan ayah itu sesuai dengan nuraniku”

“Tetapi kau tidak melihat apa yang sebenarnya terjadi”

“Sudahlah, Ibu. Aku datang hanya untuk mohon diri. Aku mendapat perintah dari Harya Wisaka untuk meninggalkan kota dengan cara apa pun juga. Kami berlima, anak-anak muda seumurku, akan mempersiapkan sebuah perjuangan jangka panjang di luar kota”

“Ngger, dengarlah kata-kata ibumu”

“Maaf, Ibu. Aku harus pergi”

“Kakang?” terdengar suara adik perempuan Paksi. “Apakah kau tidak ingin tinggal bersama kami?”

“Aku sudah bukan kanak-kanak lagi”

“Apakah hanya kanak-kanak saja yang boleh tinggal bersama ibunya?”

“Aku bukan orang yang cengeng”

“Tinggal sajalah bersama kami sambil menunggu ayah pulang”

Adik laki-laki Paksi itu tertawa. Katanya, “Kau adalah anak yang sangat manja yang tidak dapat mengerti, bahwa seseorang harus memperjuangkan cita-citanya, karena cita-cita itu tidak akan datang dengan sendirinya”

“Kasihan ibu yang kesepian”

“Ibu harus tahu diri. Sejak semula Ibu adalah isteri seorang prajurit. Ia harus tahu, bahwa pada suatu saat, ia akan sendiri. Mungkin suaminya mati di peperangan. Mungkin tertangkap dan dihukum mati karena menggenggam keyakinan”

“Mungkin ayah memang harus menjalankannya akibat kedudukannya. Tetapi bukankah kau tidak? kau masih mempunyai pilihan”

“Jadi kau ingin aku mengkhianati ayah seperti Paksi? Aku memang lain dari Paksi. Paksi bukan anak ayah. Tetapi aku adalah anak ayah. Penerus dari cita-citanya”

“Kakang”

“Sudahlah. Jangan merajuk. Jika kau bertemu Paksi, suruhlah Paksi menemani Ibu disini. Ia memang bukan seorang pejuang. Sepantasnya ia berada di rumah, membantu kerja di dapur atau membelah kayu bakar”

“Kakang”

“Kau tidak usah membelanya. Ia bukan saudaramu. Ia juga bukan saudaraku”

“Cukup” tiba-tiba saja ibu Paksi itu membentak. Namun adik laki-laki Paksi itu justru tertawa. Katanya, “Sudahlah, Ibu. Aku minta diri. Mungkin kita akan lama tidak bertemu. Mudah-mudahan Ibu baik-baik saja”

“Kakang”

“Kau tunggu saja Paksi. Ajak ia menanak nasi di dapur”

Adik perempuannya tidak menjawab.

Paksi, Pangeran Benawa dan Raden Sutawijaya itu pun menepi ketika mereka mendengar langkah kaki menuju ke pintu pringgitan. Tidak hanya seorang. Sementara adik laki-laki Paksi itu berkata, “Marilah kita berangkat. Kita harus meninggalkan kota sebelum fajar. Kita harus menempuh jalan sebagaimana diberitahukan kepada kita”

Beberapa orang melangkah menuju ke pintu. Demikian pintu itu terbuka, maka beberapa orang pun telah melangkah keluar.....

Namun demikian mereka sampai di pendapa mereka terkejut. Dengan serta-merta mereka pun berhenti dan berpaling ketika mereka mendengar suara orang terbatuk-batuk kecil.

Orang-orang yang keluar dari dalam rumah itu pun semakin terkejut ketika yang mereka lihat adalah Paksi, Pangeran Benawa dan Raden Sutawijaya.

Adik laki-laki Paksi itu tiba-tiba berteriak, “Jadi Ibu juga menjebak aku seperti saat Ibu menjebak ayah?”

“Tidak. Tidak, Ngger. Bukankah Ibu tidak tahu bahwa kau akan datang kemari. Aku pun tidak tahu bahwa Paksi ada disini”

“Jadi benar kata ayah, bahwa Paksi ingin membunuhku. Ia merunduk kemana pun aku pergi. Tetapi jangan bermimpi bahwa kau akan dapat membunuhku”

“Siapa yang mengatakan bahwa aku akan membunuhmu?” bertanya Paksi.

“Ayah. Kau pun berusaha untuk membunuh ayah”

“Tidak. Dengarlah. Aku memang mencarimu. Tetapi aku sama sekali tidak ingin membunuhmu. Aku ingin menolongmu keluar dari sarang serigala itu”

“Apa yang kau maksud dengan sarang serigala?”

“Lingkungan para pengikut Harya Wisaka”

“Kau telah menghina Harya Wisaka dan para pengikutnya. Kau memang pantas dihukum mati seperti kata ayah”

“Aku sama sekali tidak akan membunuhmu. Tetapi aku ingin kita dapat hidup bersama lagi seperti dahulu”

“Buat apa aku hidup bersamamu. Kau adalah seorang pengkhianat yang sama sekali tidak tahu membalas budi. Kau tentu telah sepakat dengan laki-laki jahanam itu untuk menjebakku dan membunuhku”

“Percayalah kepadaku, aku tidak ingin membunuhmu”

“Aku yang akan membunuhmu, Paksi. Ayah telah memerintahkan kepadaku untuk membunuhmu, kapan saja”

“Apakah kita harus saling membunuh?”

“Ya”

“Kakang” suara adik perempuan Paksi yang berdiri di pintu itu tertahan.

“Jangan kau tangisi kematiannya. Ayah menghendaki anak ini mati”

“Apakah benar bahwa kita bukan dua orang bersaudara?” bertanya Paksi.

“Ya. Kau bukan saudaraku”

“Katakan bahwa aku bukan anak ayah Tumenggung Sarpa Biwada, namun bukankah kita sedikitnya saudara seibu?”

“Aku tidak mempunyai saudara laki-laki cengeng seperti kau. Selagi seluruh Pajang berjuang untuk menumbangkan kekuasaan anak Tingkir itu, maka kau justru menjilat kaki anaknya”

“Jangan menyinggung namanya. Aku adalah saudaramu. Aku tidak akan menjadi sakit hati meskipun kau menyinggung perasaanku. Tetapi Pangeran Benawa lain”

“Aku juga tidak tersinggung, Paksi”

Paksi mengangguk hormat sambil berdesis, “Terima kasih, Pangeran”

“Biarlah ia mengatakan segalanya yang menyumbat dadanya. Jika dadanya sudah menjadi lapang, mungkin sikapnya akan berbeda”

“Persetan. Kalian akan menyesal telah berusaha menjebak aku”

“Marilah kita duduk dan berbicara dengan baik”

“Tidak. Aku sudah tahu betapa liciknya kau. Kau sengaja berkata dengan kata-kata manis. Namun kemudian tiba-tiba saja kau menikam jantung”

“Sudah aku katakan. Aku tidak akan membunuhmu. Jika kau mendapat perintah untuk membunuhku, itu terserah saja kepada orang yang telah memberikan perintah itu. Tetapi jika kita menghindari permusuhan ini, maka kita memang tidak perlu saling mengancam”

“Cukup. Jangan banyak berbicara. Hari-hari yang paling buruk telah terjadi atas dirimu”

“Tunggu. Ada sesuatu yang ingin aku bicarakan”

Tetapi adik laki-laki Paksi itu tidak menghiraukannya. Tiba-tiba saja ia berteriak, “Bunuh mereka bertiga”

“Kakang” teriak adik perempuan Paksi.

Sementara itu, ibunya pun berlari mendekati adik Paksi itu. Dipeluknya anak itu sambil menangis, “Ngger. Jangan. Jangan kau bunuh kakakmu”

Tetapi ibunya itu pun dikibaskannya dengan kasar. Katanya, “Ia bukan saudaraku. Ibu tahu itu. Ayahnya adalah seorang jahanam yang kelak akan aku bunuh pula”

“Siapa pun anak muda itu, tetapi jangan bunuh dia”

Adik laki-laki Paksi itu tidak menghiraukannya. Sekali lagi ia berteriak kepada beberapa orang pengikutnya, “Bunuh mereka bertiga”

Beberapa orang pengikut Harya Wisaka yang ditugaskan mengawal anak Ki Tumenggung Sarpa Biwada dengan keras, telah menarik senjata mereka.

“Paksi. Sekarang jangan mencoba untuk melarikan diri dengan cara apa pun juga. Itu akan merupakan kerja sia-sia”

“Aku tidak akan lari. Tetapi kenapa kita harus berkelahi?”

Adik laki-laki Paksi itu tidak menghiraukannya lagi. Sekali lagi ia berteriak lebih keras, “Bunuh mereka bertiga. Lemparkan mayatnya di jalan di depan rumah ini, agar besok, orang-orang yang lewat dan menemukannya tahu, bahwa mereka tidak dapat meremehkan keluarga Tumenggung Sarpa Biwada”

Raden Sutawijaya yang berdiri termangu-mangu itu pun berkata, “Pikirkanlah masak-masak, apakah yang kau lakukan itu sudah benar. Paksi adalah saudaramu seibu. Kalian dilahirkan dari kandungan perempuan yang sama, meskipun seandainya benar kalian berbeda ayah”

“Kau tidak usah mengurusi keluargaku. Sekarang kau pun telah terjebak ke dalam sarang serigala itu, menurut anggapan Paksi. Tetapi kau tidak akan menjadi bagian dari serigala-serigala itu, karena kau adalah makanan yang dilemparkan ke dalamnya”

“Jangan terlalu garang begitu” berkata Pangeran Benawa. “Sebelum kau berada di sarang serigala, kau adalah anak yang manis. Kau kasihi kakakmu, ibumu dan adikmu. Aku tahu itu. Tetapi serigala-serigala yang garang itu telah berhasil merubah sifatmu. Kau telah kehilangan kasih sayang dan pengharapan bagi masa depanmu”

“Diam kau, Benawa. Besok anak Tingkir yang sekarang berkuasa itu akan menangisi mayatmu yang terkapar di depan regol rumah ini”

Pangeran Benawa menarik nafas dalam-dalam. Nampaknya adik laki-laki Paksi itu sudah tidak dapat diajak berbicara lagi.

Sebenarnyalah adik laki-laki Paksi itu pun berteriak, “Bunuh mereka bertiga”

Para pengawal anak Ki Tumenggung Sarpa Biwada itu pun tidak menunggu. Mereka pun dengan serta-merta telah menyerang Paksi, Pangeran Benawa dan Raden Sutawijaya.

Malam itu Paksi tidak membawa tongkatnya. Karena itu, maka Paksi itu pun melawan orang-orang yang menyerangnya dengan tangannya. Ia masih belum menarik keris yang terselip di punggung.

Sejenak kemudian, maka telah terjadi pertempuran yang sengit. Beberapa orang pengawal adik laki-laki Paksi itu bertempur melawan tiga orang yang kemudian bergeser turun dari pendapa.

“Jangan lari” teriak adik laki-laki Paksi. “Kalian tidak akan pernah dapat melepaskan diri dari tanganku. Malam ini adalah malam terakhir kalian. Kalian tidak akan sempat melihat fajar menyingsing sebentar nanti”

Paksi lah yang menjawab, “Kami tidak akan lari. Kami sengaja mencarimu. Sekarang kami sudah menemukanmu”

“Kalian memang telah menemukan aku. Tetapi jangan bermimpi bahwa kalian akan dapat membunuhku”

“Sudah aku katakan, bahwa kami tidak akan membunuhmu. Kami akan memungutmu dari sarang serigala dan mengembalikanmu kepada sifat-sifatmu yang sebenarnya”

“Omong kosong” geram adik Paksi. “Sesali nasibmu. Kalian akan mati”

Paksi tidak berbicara lagi. Dua orang telah menyerangnya dengan garangnya. Sementara itu. Raden Sutawijaya dan Pangeran Benawa pun harus bertempur masing-masing melawan dua orang.

Dalam pada itu, Paksi dan bahkan Pangeran Benawa dan Raden Sutawijaya sempat bertanya di dalam hati, apakah anak Tumenggung Sarpa Biwada itu termasuk orang penting di dalam lingkungan para pengikut Harya Wisaka sehingga ia harus mendapat pengawalan kuat seperti itu.

Namun nampaknya Harya Wisaka memang memperhatikan para pengikutnya yang masih muda-muda. Nampaknya Harya Wisaka memperhitungkan bahwa perjuangannya masih sangat panjang, sehingga diperlukan kekuatan bagi masa depan.

Sejenak kemudian, maka pertempuran pun telah meningkat menjadi semakin seru. Ternyata bahwa pengawal-pengawal anak Ki Tumenggung Sarpa Biwada itu bukan orang-orang kebanyakan. Mereka adalah orang-orang yang berilmu tinggi.

Namun Paksi, apalagi Pangeran Benawa dan Raden Sutawijaya adalah orang-orang yang telah ditempa dengan berbagai macam ilmu. Karena itu, maka para pengawal adik Paksi itu tidak segera dapat menguasai ketiga orang yang ingin dibunuhnya itu.

Bahkan semakin lama semakin nampak betapa para pengawal adik Paksi itu mengalami kesulitan. Perlahan-lahan mereka mulai terdesak, meskipun mereka sudah menggenggam senjata di tangan.

Adik Paksi yang melihat bahwa Paksi berhasil mendesak kedua orang lawannya itu, mulai menjadi gelisah. Ia tahu bahwa Paksi memiliki ilmu yang sangat tinggi.

Karena itu, maka adik Paksi yang sudah mulai berlatih olah kanuragan itu, merasa perlu untuk melibatkan diri, ikut bertempur melawan Paksi. Ia berharap bahwa dengan demikian Paksi akan mengalami kesulitan dan apabila mungkin ia sendirilah yang akan membunuh Paksi dengan tangannya.

“Jika aku dapat membunuhnya, maka apabila pada suatu saat aku dapat bertemu dengan ayah, maka dengan bangga aku dapat mengatakannya. Bahkan mungkin lewat mulut ibu yang ingin mengadu kepada ayah, bahwa aku telah membunuh Paksi. Ayah akan tersenyum di saat-saat terakhirnya”

Karena itulah, maka adik Paksi itu pun segera mengerahkan kemampuannya bersama-sama dengan dua orang pengawalnya untuk menghabisi Paksi tanpa ampun.

Kehadiran adiknya di medan, telah membuatnya semakin berharap, bahwa ia akan dapat menangkapnya. Karena itu, maka Paksi pun justru telah meningkatkan ilmunya untuk melumpuhkan kedua orang pengawal adik laki-lakinya itu.

Sementara itu, para pengawal yang melawan Pangeran Benawa dan Raden Sutawijaya pun menjadi semakin terdesak pula. Mereka sama sekali tidak mampu mengatasi kemampuan ilmu Pangeran Benawa dan Raden Sutawijaya.

Setiap kali para pengawal itu terpelanting jatuh. Jika mereka segera bangkit kembali, maka kawannyalah yang terlempar dari arena.

Dalam pada itu, kedua pengawal adik Paksi yang bertempur melawan Paksi pun seakan-akan sudah tidak berdaya lagi. Pada saat-saat terakhir, Paksi pun sudah bersiap-siap menangkap adiknya. Namun ia harus berhati-hati. Anak itu dapat saja melakukan sesuatu yang tidak diduga-duga.

Namun Paksi itu terkejut bukan kepalang. Ketika adik Paksi itu menjadi berputus-asa karena merasa tidak mungkin lagi dapat melawan kemampuan ilmu Paksi serta Pangeran Benawa dan Raden Sutawijaya, maka adik Paksi pun tiba-tiba telah meloncat menerkam adik perempuannya. Dengan pisau belati adik Paksi itu mengancam leher adik perempuannya sambil berteriak, “Jika kalian tidak menghentikan pertempuran, gadis kecil ini akan mati”

“Ngger” teriak ibu Paksi.

Tetapi adik laki-laki Paksi itu tidak mau melepaskannya. Bahkan sambil menyeret gadis kecil itu beberapa langkah surut ia berteriak, “Semuanya berdiri di tangga pendapa. Cepat”

Gadis kecil itu mencoba untuk meronta dan berteriak. Suaranya tersendat di lehernya yang tertekan oleh tangan kakaknya.

“Ibu. Kakang Paksi” suaranya patah-patah

“Diam kau. Pisau ini dapat memutuskan tenggorokanmu”

Gadis kecil itu menjadi sangat ketakutan. Apalagi ketika ia diseret beberapa langkah surut.

“Lepaskan adikmu” berkata Paksi. “Jika kau ingin menukar dengan aku, lakukanlah. Aku tidak akan melawan”

“Kau tentu akan berbuat licik” teriak adik laki-lakinya.

“Tidak. Aku benar-benar akan menyerah. Tetapi lepaskan adikmu. Bukankah gadis kecil itu adikmu? Jika kau tidak mengakui aku sebagai saudaramu, maka kau tidak dapat ingkar bahwa anak itu adalah adikmu”

“Persetan dengan hubungan keluarga. Siapapun, tetapi yang tidak berarti bagi perjuanganku, akan dapat aku singkirkan”

“Sekarang kau berbuat demikian terhadap adikmu sendiri. Kau pikir Harya Wisaka tidak dapat berbuat seperti itu terhadapmu yang justru orang lain. Jika kelak Harya Wisaka berhasil mendapat kekuasaan, maka orang-orang yang dianggapnya tidak berarti tentu akan disingkirkan dengan sikap seperti yang kau katakan itu. Siapa pun yang tidak berguna lagi baginya, akan disingkirkannya”

“Bohong”

“Renungkan”

“Diam. Tidak seorang pun di antara kalian yang dapat mencoba melawan. Naiklah ke tangga pendapa. Cepat”

Paksi tidak mempunyai pilihan lain. Demikian pula Pangeran Benawa dan Raden Sutawijaya. Mereka bertiga telah naik ke tangga pendapa. Mereka pun kemudian berdiri termangu-mangu.

Bahkan ketika ibunya melangkah mendekati, adik laki-laki Paksi itu pun berteriak, “Ibu juga harus naik ke tangga pendapa. Cepat”

Sementara itu, adik perempuannya itu pun masih saja memanggil-manggil, “Ibu, Ibu. Kakang Paksi, tolong aku”

Paksi menggeretakkan giginya. Ia tidak mengira sama sekali kalau racun yang ditaburkan oleh ayahnya itu sudah merasuk demikian dalamnya sampai ke tulang.

“Lepaskan anak itu. Kau dapat membawa aku dan jika kau akan membunuhku, lakukanlah. Tetapi jangan kau sakiti anak itu” geram Paksi.

Adik laki-laki Paksi itu nampak ragu-ragu. Tetapi ketika ia melihat Pangeran Benawa dan Raden Sutawijaya, maka ia pun berkata di dalam hatinya, “Mungkin aku dapat membunuh Paksi. Tetapi kedua orang itu tentu tidak mau mengorbankan dirinya. Mereka tentu tidak akan peduli lagi, apakah aku akan membunuh gadis kecil ini atau tidak, sementara itu, kami tidak akan dapat melawan meskipun mereka tinggal berdua”

“Lepaskan anak itu” teriak Paksi.

Tetapi adik laki-lakinya itu berkata, “Aku akan membawa anak ini. Dua orang pengawalku akan mengawasi kalian. Jika kalian mencoba mengejar kami, maka anak ini akan mati. Sementara itu, jika fajar menyingsing sedangkan kedua orangku yang mengawasi kalian belum juga menyusul kami, maka anak ini juga akan mati”

“Tetapi anak itu adikmu. Adikmu sendiri” tangis ibunya.

“Aku tidak peduli. Sudah aku katakan, untuk kepentingan perjuanganku, siapa pun dapat dikorbankan”

“Tetapi jangan adikmu”

“Jangankan adikku, ibuku dan siapa pun dapat saja dikorbankan jika itu menguntungkan perjuanganku. Perjuangan Harya Wisaka untuk menciptakan masa depan yang baik bagi Pajang”

Tangis ibunya mengeras. Sementara itu, adik laki-laki Paksi itu pun berkata lantang kepada para pengawalnya yang semula sudah tidak berpengharapan, “Marilah. Kita pergi. Dua orang di antara kalian tinggal disini untuk mengawasi agar orang-orang itu tidak memburu kami. Jangan takut. Jika fajar menyingsing dan kalian belum menyusul kami karena orang-orang di rumah ini berbuat curang terhadapmu, maka anak ini akan mati”

Hampir bersamaan para pengawal itu mengangkat wajahnya. Sebenarnyalah cahaya merah sudah mulai membayang di langit. Sebentar lagi, fajar akan menyingsing. Matahari pun akan terbit. Tidak seorang pun dapat menahan ketika adik laki-laki Paksi itu meninggalkan halaman sambil mengancam gadis kecil itu dengan pisau belati di lehernya.

Dua orang pengawal masih berada di halaman itu. Paksi, Pangeran Benawa dan Raden Sutawijaya pun tidak dapat bertindak terhadap mereka. Mereka tidak dapat memperhitungkan, apakah jika keduanya tidak menyusul adik laki-laki Paksi itu pada saat fajar menyingsing, gadis kecil itu benar-benar dibunuh atau hanya sekedar untuk menakut-nakuti.

Apalagi ketika ibu Paksi yang menangis itu berkata, “Jangan berbuat sesuatu yang dapat membahayakan nyawa adikmu, Paksi”

Paksi pun patuh terhadap ibunya Demikian pula Pangeran Benawa dan Raden Sutawijaya. Mereka tidak berbuat sesuatu terhadap kedua orang pengawal itu.

Beberapa saat menjelang fajar, maka kedua orang itu pun mulai bergeser mendekati regol halaman. Seorang di antara mereka berkata, “Jangan berbuat macam-macam jika kalian tidak ingin kepala gadis kecil itu terpisah dari tubuhnya. Kami tidak main-main. Bagi kami, tidak ada yang lebih berharga dari perjuangan kami”

Tidak ada yang beranjak dari tempatnya. Mereka tidak mau gadis kecil itu menjadi korban kegilaan para pengikut Harya Wisaka.

Ketika kedua orang itu hilang di balik pintu regol, maka Paksi pun segera meloncat turun sambil berkata, “Kita ikuti orang-orang itu”

Namun ibunya pun segera berteriak, “Jangan berbuat sesuatu yang dapat membahayakan nyawa anak itu”

Paksi tertegun. Ia melihat air mata masih mengalir membasahi pipi perempuan itu.

Pangeran Benawa dan Raden Sutawijaya pun tertegun pula. Namun ketiganya akhirnya tidak dapat meninggalkan Nyi Tumenggung.

“Sudahlah, Ibu” berkata Paksi kemudian.

Nyi Tumenggung itu pun kemudian memeluk Paksi dengan eratnya, seakan-akan tidak akan dilepaskannya lagi.

“Tinggal kau yang sekarang ada padaku, Paksi. Jangan pergi”

“Aku tidak akan pergi, Ibu. Aku akan tetap berada bersama Ibu. Tetapi aku minta waktu untuk mencari anak itu”

“Siapa yang kau maksud?”

“Adik-adikku”

“Berbahaya sekali, Paksi”

“Setidak-tidaknya aku harus menemukan gadis kecil yang ketakutan itu. Ia tidak akan dibawa sampai jauh. Anak itu akan menghambat perjalanan. Anak itu tentu segera dilepaskan”

“Apakah kakaknya tidak akan menyakitinya?”

“Tidak. Aku kira tidak, Ibu. Ia tidak bersungguh-sungguh. Ia hanya ingin menyelamatkan diri”

Ibunya termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun berdesis, “Hati-hatilah, Paksi. Cari adik perempuanmu itu. Bawa ia kepadaku”

“Baik, Ibu”

Paksi pun kemudian minta diri kepada ibunya. Demikian pula Pangeran Benawa dan Raden Sutawijaya.

Demikian mereka turun ke jalan, maka Raden Sutawijaya pun berkata, “Pada satu sisi, Harya Wisaka benar-benar berhasil”

“Apa yang berhasil, Raden?” bertanya Paksi.

“Ia berhasil membentuk watak orang-orangnya menjadi seakan-akan tidak berpribadi lagi. Mereka menjadi semacam alat yang tidak lagi sempat mempergunakan nalarnya”

Sementara itu langit pun menjadi terang oleh warna merah kekuning-kuningan. Jalan pun mulai hidup. Satu dua orang melintas ke arah yang berbeda-beda dan keperluan yang berbeda-beda pula. Ada yang akan pergi ke pasar untuk berbelanja, tetapi ada yang ke pasar untuk menjual hasil kebunnya. Ada yang akan bepergian mumpung masih pagi, tetapi ada juga yang melintas dengan tergesa-gesa karena keperluannya yang mendesak.

Paksi merenungi kata-kata Raden Sutawijaya. Ia memang menjadi heran. Dalam waktu yang singkat, adiknya benar-benar telah berubah. Tetapi menurut Paksi, itu bukan saja karena keberhasilan Harya Wisaka dan pendukung-pendukungnya, tetapi Ki Tumenggung Sarpa Biwada sendiri telah menanamkan kebencian di hati anak laki-lakinya itu, terhadap keluarganya sendiri.

Demikianlah, maka ketiga orang itu pun berjalan dengan tergesa-gesa. Mereka memang tidak tahu pasti, kemana mereka harus pergi. Tetapi menilik apa yang dikatakan oleh adik laki-lakinya, Paksi dapat menduga, bahwa mereka pergi ke luar kota, sedangkan jalan yang akan mereka tempuh, nampaknya sudah dipersiapkan lebih dahulu. Namun mereka tidak tahu, jalan yang manakah yang akan dilalui oleh adik laki-laki Paksi itu.

“Kita harus mengelilingi dinding kota. Pintu-pintu gerbang di beberapa penjuru, serta gerbang butulan di beberapa tempat” berkata Paksi.

“Ya” sahut Pangeran Benawa. Namun katanya kemudian, “Tetapi mungkin mereka tidak melewati gerbang yang manapun. Mungkin mereka meloncati dinding atau menerobos terowongan-terowongan sungai di hilir dan di udik”

“Terowongan-terowongan air itu semuanya diawasi” berkata Raden Sutawijaya. “Sulit bagi mereka untuk keluar lewat terowongan di hilir maupun di udik”

“Mungkin mereka masih tetap berada di dalam kota” desis Pangeran Benawa.

Paksi mengangguk-angguk. Ia sadar, bahwa banyak kemungkinan dapat terjadi. Mungkin adik laki-lakinya itu memang tidak benar-benar pergi keluar kota. Seperti Harya Wisaka, ia hanya ingin menyesatkan orang-orang yang mencarinya. Bahkan mungkin orang-orangnya dalam tugas sandi mengetahui bahwa ia sedang dicari oleh Paksi, Pangeran Benawa dan Raden Sutawijaya.

Paksi, Pangeran Benawa dan Raden Sutawijaya itu menempuh arah menurut perhitungan mereka. Tempat-tempat yang paling mungkin dilewati. Adik perempuan Paksi itu tentu akan ditinggalkan begitu saja, karena untuk membawanya lebih jauh, justru akan merepotkannya.

Ketiganya memang menjadi gelisah, ketika panas matahari mulai terasa menggatalkan kulit, mereka berjalan semakin cepat menelusuri lorong-lorong, bahkan semak-semak.

Ketiga orang itu tertegun ketika melihat beberapa orang anak muda berdiri mengerumuni sesuatu. Karena itu dengan tergesa-gesa mereka mendekati mereka.

Ketiganya terkejut ketika mereka melihat seorang gadis yang terbaring diam di atas rerumputan kering. Matanya terpejam. Pakaiannya tampak kusut. Ternyata gadis kecil menginjak usia remaja itu adalah adik Paksi.

Tetapi ketika ia menyibak beberapa orang anak muda yang mengerumuninya, maka mereka pun telah mendorong Paksi.

Seorang di antara mereka berkata, “Mau apa kau, he?”

Paksi memandang anak muda itu dengan tajamnya. Sementara anak muda itu berkata, “Kami yang menemukan gadis cantik itu. Kamilah yang berhak membawanya”

“Kau akan membawanya kemana?”

“Terserah kepada kami” jawab anak muda itu.

Paksi memandang beberapa orang anak muda yang mengerumuni adik perempuannya itu. Wajah-wajah mereka nampak garang. Pakaian mereka pun tidak menentu. Ada di antara mereka yang nampaknya masih terpengaruh oleh tuak yang baunya tercium dari mulut mereka.

“Itu adikku” berkata Paksi.

“Omong kosong” geram anak muda yang masih sedikit mabuk. “Kau tentu juga tertarik pada parasnya yang cantik. Kulitnya yang kuning dan bibirnya yang mungil itu. Pergi. Kami akan membawanya kemana kami inginkan”

“Itu adikku, kau dengar. Ia diculik orang semalam”

“Aku tidak menculik gadis ini. Ketika kami lewat jalan kecil ini, kami menemukannya dalam keadaan seperti ini”

“Jika demikian, kenapa kalian tidak menolongnya”

“Kami akan menolongnya. Kami akan membawanya pulang”

“Apa yang akan kalian lakukan terhadap gadis kecil ini?” bertanya Paksi.

Anak muda itu memandang Paksi dengan tegang. Namun ia pun kemudian tertawa. Demikian pula kawan-kawannya tertawa pula. Seorang yang bertubuh tinggi kekar maju selangkah sambil menjawab, “Kami akan memperlakukannya sebagaimana akan kau lakukan atas gadis cantik ini”

“Aku akan membawanya pulang. Gadis kecil itu adalah adikku. Apakah kalian tidak mendengar?” suara Paksi mulai meninggi.

“Pergilah” berkata orang bertubuh tinggi kekar itu, “jangan ganggu kami. Jika kami menemukan gadis cantik ini, itu adalah rejeki kami. Kalian tidak usah menjadi iri”

“Aku peringatkan sekali lagi. Anak itu adalah adikku”

“Ia sudah bukan anak-anak lagi. Ia sudah pantas bersuami”

“Cukup” Paksi telah kehilangan kesabarannya. “Minggir. Aku akan membawa adikku pulang”

“Apa?” bertanya orang yang bertubuh tinggi kekar itu. “Kau berani membentak aku? Nampaknya kau belum mengenal siapa kami”

“Kalian siapa?”

“Kami yang berkuasa di lingkungan ini. Semua orang harus tunduk kepada kami”

“Aku tidak peduli” jawab Paksi. “Tetapi itu adalah adikku. Aku harus menyelamatkannya. Juga menyelamatkan dari tangan kalian, anak-anak muda edan yang tidak tahu diri. Dalam suasana seperti ini, masih ada saja anak-anak muda yang tidak mempunyai tempat berpijak”

Wajah anak muda yang bertubuh tinggi kekar dan yang masih terpengaruh oleh tuak itu memandang Paksi dengan heran. Katanya, “Kau ingin mulutmu aku sumbat”

“Kalian sama gilanya dengan para pengikut Harya Wisaka. Atau kalian memang pengikut Harya Wisaka?”

Anak-anak muda itu terkejut mendengar nama Harya Wisaka. Dengan serta-merta seorang di antara mereka berkata, “Kami tidak mempunyai sangkut-paut dengan Harya Wisaka”

“Jika demikian, minggir” bentak Paksi.

Tetapi anak muda itu tertawa. Kawan-kawannya pun tertawa pula. Seorang di antara mereka berkata, “Kau ingin menakut-nakuti kami dengan menyebut kami pengikut Harya Wisaka? Kau salah, Ki Sanak. Kami pun dapat menuduh kalian pengikut Harya Wisaka”

Paksi tidak sabar lagi. Didorongnya anak muda yang bertubuh tinggi kekar yang berdiri di hadapannya.

Ternyata tenaga Paksi tidak dapat dilawannya. Anak muda itu terdorong beberapa langkah surut dan jatuh terbanting di tanah.

Kawan-kawannya pun terkejut. Dengan serta-merta ia pun bangkit berdiri sambil berkata, “Orang yang tidak tahu diri. Kami akan mencincangmu sampai lumat disini. Tidak ada orang yang melihatnya. Perempuan ini akan kami bawa pulang dan akan menjadi klangenan kami sampai kami menjadi jemu dan menemukan gadis lain yang masih segar”

Paksi tidak menjawab. Tiba-tiba saja tangannya terayun menghantam bibir orang itu. Anak muda yang bertubuh tinggi kekar dan yang kepalanya masih dipengaruhi oleh tuak itu pun berteriak kesakitan. Sekali lagi tubuhnya terlempar. Justru lebih keras, sehingga membentur sebatang pohon besar yang tumbuh di pinggir lorong itu.

Sekali lagi kawan-kawannya terkejut. Namun mereka pun menjadi marah pula. Seorang di antara mereka berkata lantang, “Hancurkan anak itu, biar ia tahu, siapa kita”

Sekelompok anak-anak yang marah itu tidak menunggu lagi. Serentak mereka menyerang Paksi.

Tetapi Pangeran Benawa dan Raden Sutawijaya tidak membiarkan Paksi berkelahi sendiri melawan sekelompok anak-anak muda yang sebagian masih mabuk itu. Bertiga mereka bergerak serentak menghadapi anak-anak muda yang nampak garang itu.

Paksi, Pangeran Benawa dan Raden Sutawijaya tidak memerlukan waktu yang lama. Demikian anak-anak muda itu menyerang, maka satu demi satu mereka terpelanting jatuh.

Beberapa orang masih berusaha bangkit. Tetapi yang lain hanya dapat menggeliat dan mengerang kesakitan. Punggung mereka rasa-rasanya menjadi patah.

Tetapi agaknya anak-anak muda itu tidak mau menerima kenyataan itu begitu saja. Seorang di antara mereka masih sempat melarikan diri. Dengan tergesa-gesa ia pergi ke rumah yang tidak terlalu jauh dari arena perkelahian itu. Ke rumah seorang bebahu, ayah dari salah seorang anak yang terlibat dalam perkelahian itu.

“Ada apa?”

“Mukim, Paman”

“Kenapa Mukim?”

“Mukim dipukuli orang”

“He, siapa yang berani memukuli Mukim?”

“Tidak tahu, Paman”

“Apakah Mukim sendiri?”

“Tidak, Paman. Kami beberapa orang di lorong itu”

“Yang memukuli Mukim berapa orang?”

“Entahlah, Paman. Tetapi Mukim itu dipukuli”

Bebahu itu tidak berpikir panjang. Diambilnya parangnya yang terselip di dinding. Dengan geram ia pun berkata, “Siapa orang gila yang berani memukuli Mukim. Nampaknya ia belum mengenal aku”

Dengan tergesa-gesa bebahu itu pun pergi ke arena perkelahian. Namun ketika ia sampai di arena itu, perkelahian sudah selesai. Beberapa orang anak muda terbaring berserakkan sambil mengerang kesakitan. Di antara mereka terdapat Mukim.

Bebahu yang datang dengan tergesa-gesa itu tertegun. Ia melihat tiga orang sedang mengerumuni seorang gadis yang terbaring diam.

“Mereka itu yang memukuli Mukim”

“Kenapa mereka memukuli Mukim?”

“Mereka menculik gadis itu. Kami mencoba mencegahnya. Tetapi mereka melawan”

“Kenapa tidak kalian pukuli saja mereka sampai pingsan?”

“Ternyata mereka tidak dapat kami kalahkan”

“He? Kalian sebanyak itu tidak dapat mengalahkan tiga orang tikus kecil itu”

“Ternyata mereka terbiasa berkelahi”

Bebahu itu pun kemudian melangkah mendekati Paksi, Pangeran Benawa dan Raden Sutawijaya, justru pada saat Paksi mengangkat adik perempuannya.

“He, akan kau bawa kemana gadis itu?” bertanya bebahu yang melangkah semakin dekat itu.

“Ini adikku”

“Omong kosong” sahut anak muda yang memanggil bebahu itu.

Sementara itu, Mukim dengan susah payah bangkit berdiri. Ia adalah anak muda yang tubuhnya tinggi kekar itu. Dengan lengan bajunya ia mengusap mulut dan hidungnya yang berdarah.

“Mereka adalah orang-orang gila, Ayah” berkata Mukim. “Mereka menculik anak perempuan itu”

Bebahu itu mengerutkan keningnya. Meskipun tidak saling menyepakati, namun yang dikatakan itu sesuai dengan yang dikatakan oleh anak muda yang memanggil ayah Mukim itu.

Bebahu itu pun kemudian berdiri sambil bertolak pinggang. Dengan lantang ia pun berkata, “Tinggalkan gadis itu”

“Siapakah kau?” bertanya Raden Sutawijaya.

“Aku kamituwa padukuhan ini”

“Gadis ini adalah adik kawanku. Semalam suntuk kami mencarinya. Ternyata kami menemukannya disini”

“Orang itu bohong, Paman” berkata anak muda yang memanggil bebahu itu, sementara Mukim pun yang kesakitan itu berkata, “Kami berpapasan dengan mereka, Ayah. Seorang di antara mereka mendukung gadis yang pingsan itu”

“Tinggalkan gadis itu” bentak bebahu itu.

“Kami akan membawanya” jawab Raden Sutawijaya.

“Tinggalkan gadis itu, kau dengar” bebahu itu berteriak.

Tetapi Raden Sutawijaya menjawab dengan tegas, “Tidak”

“Bocah edan, apakah aku harus memaksamu?”

“Dipaksa atau tidak, kami akan pergi sambil membawa gadis kecil itu. Kawanku akan membawanya pulang dan menyerahkannya kepada ibunya”

“Anak demit. Kau memang harus dibuat jera”

Mukim yang masih saja berdesah menahan sakit berkata, “Ayah harus tegas menghadapi anak-anak gila seperti itu”

Bebahu itu pun kemudian melangkah maju sambil berkata, “Aku masih memberimu kesempatan”

“Kami akan pergi sambil membawa gadis itu, kau dengar Ki Kamituwa”

Bebahu itu tidak dapat menyabarkan diri lagi. Tangannya pun segera terayun menyambar ke arah wajah Raden Sutawijaya.

Namun dengan cepat Raden Sutawijaya menghindar sehingga tangan itu tidak menyentuhnya.

“Akulah yang memberimu kesempatan, Ki Kamituwa. Pergi, atau kau akan mengalami nasib seperti anak-anak yang sedang mabuk itu. Cium bau mulut anakmu. Tentu kau mengenal bau apakah itu. Atau kau justru berbangga bahwa anakmu mabuk?”

Ki Kamituwa menjadi marah sekali. Orang yang menantangnya ini masih jauh lebih muda daripadanya. Karena itu, maka tanpa menjawab, bebahu itu segera meloncat menyerang Raden Sutawijaya.

Tetapi Raden Sutawijaya tidak memberinya kesempatan. Justru pada saat ia meloncat menyerang, kaki Raden Sutawijaya yang terjulur menyamping tepat mengenai perutnya.

Bebahu itu terdorong beberapa langkah surut. Perutnya terasa menjadi mual. Nafasnya terasa menyesakkan dadanya. Tetapi Ki Kamituwa yang menjadi sangat marah itu justru sekali lagi meloncat menyerangnya. Dengan memutar tubuhnya, kakinya terayun mendatar mengarah ke kening Raden Sutawijaya.

Namun Raden Sutawijaya melihat kaki lawannya yang terayun itu. Justru karena itu, maka Raden Sutawijaya itu pun merendahkan diri dan menyapu kaki bebahu itu yang lain.

Bebahu itu pun terbanting jatuh seperti sebatang pohon yang rebah. Ayunan kakinya, justru membuatnya semakin terpelanting terbanting di tanah. Ketika ia mencoba dengan cepat bangkit, ternyata Raden Sutawijaya telah menunggunya. Demikian bebahu itu tegak berdiri, maka tangan Raden Sutawijaya telah menghantam perutnya.

Raden Sutawijaya tidak mengerahkan kekuatannya sepenuhnya. Namun bebahu itu sudah terbungkuk-bungkuk kesakitan.

Ketika tangan Raden Sutawijaya menekan kepala bebahu itu, maka bebahu itu pun jatuh tertelungkup. Wajahnya tersuruk ke dalam tanah yang berdebu, sehingga segumpal tanah telah masuk ke dalam mulutnya.

Ketika bebahu itu bangkit, maka kemarahannya menyala sampai ke ubun-ubun. Matanya yang terasa pedas menjadi merah. Mulutnya yang kotor dan hidungnya yang kulitnya terkelupas, membuat bebahu itu kehilangan pertimbangannya.

Dengan lantang ia pun berteriak, “Pukul kentongan dengan irama titir”

“Gila” Raden Sutawijaya mencoba mencegahnya. “Dalam masa kalut ini, kentongan dengan irama titir akan dapat mengundang keresahan banyak orang”

“Persetan. Kau memang harus ditangkap”

Anak muda yang memanggil bebahu itu tidak menunggu lagi. Ia pun segera berlari ke rumah terdekat. Sejenak kemudian, terdengar suara kentongan dengan irama titir.

Raden Sutawijaya, Pangeran Benawa dan Paksi memang menjadi berdebar-debar. Sementara itu, adik perempuan Paksi itu pun mulai menggeliat.

Sementara itu, bebahu yang wajahnya menjadi sangat kotor itu pun menggeram, “Sebentar lagi, kalian akan mati dicincang orang-orang padukuhan ini. Jangan menyesal”

“Ki Kamituwa” geram Raden Sutawijaya, “aku peringatkan, jangan melibatkan orang-orang padukuhan. Mungkin kalian berhasil membunuh kami. Tetapi lebih dari separo penghuni padukuhanmu juga akan mati. Seorang di antara kami, nilainya lebih dari duapuluh lima orang padukuhanmu”

Wajah Ki Kamituwa menjadi tegang.

“Tujuh puluh lima orang lebih dari penghuni padukuhanmu akan mati. Itu pun belum tentu kalian berhasil menangkap kami”

“Kau kira kalian itu siapa? Iblis, jin, genderuwo yang dapat menghilang?”

“Coba saja, Ki Kamituwa. Tetapi jika benar-benar terjadi, maka kematian orang sebanyak itu adalah tanggung jawabmu. Kami bertiga akan mempertahankan hidup kami berapa pun banyaknya kami harus membunuh”

Wajah Ki Kamituwa memang menjadi tegang. Sementara itu, suara kentongan dengan irama titir itu telah disambut oleh kentongan yang lain sambung-bersambung.

Dalam pada itu, orang-orang yang mendengar suara kentongan dengan irama titir itu pun segera keluar dari rumah mereka. Bahkan yang berada di sawah atau di pategalan pun telah berlari-lari pulang. Suasana yang sedang dipanasi oleh kegiatan Harya Wisaka itu membuat banyak orang cepat menjadi cemas oleh isyarat-isyarat yang mendebarkan.

Beberapa saat kemudian, beberapa orang pun telah berdatangan. Bahkan ada di antara mereka yang membawa senjata. Seorang yang berkumis lebat, berjalan dengan tergesa-gesa diiringi oleh orang-orang padukuhan.

“Ada apa Ki Kamituwa?” bertanya orang yang berkumis lebat itu.

“Mereka akan menculik gadis itu”

Dalam pada itu, adik perempuan Paksi itu pun telah menjadi sadar. Ketika ia membuka matanya, pandangannya yang kabur melihat seseorang yang sangat dikenalnya, berjongkok di sisinya.

Ketika penglihatannya menjadi semakin jelas, maka gadis itu mulai menangis.

“Jangan menangis. Aku ada disini” desis Paksi.

Gadis itu tiba-tiba saja memeluk Paksi. Tangisnya menjadi semakin keras.

“Kakang, Kakang. Jangan tinggalkan aku”

Kamituwa itu termangu-mangu sejenak. Ternyata gadis itu memang adik dari anak muda yang dikatakan akan menculiknya itu.

“Apa yang sebenarnya terjadi?” bertanya orang berkumis itu.

“Anak itu, Ki Demang” jawab Ki Kamituwa.

“Kenapa dengan anak itu?” orang yang bertubuh tinggi, besar dan berkumis lebih lebat lagi dari kumis Ki Demang itu pun bertanya pula.

“Anak itu akan menculik gadis itu, Ki Jagabaya” jawab Ki Kamituwa mulai gagap.

“Tetapi gadis itu adiknya”

“Ia hanya mengaku-aku, Ki Jagabaya”

“Yang mengaku-aku siapa?”

“Anak muda itu”

“Tetapi gadis itu menyebutnya kakang. Kau dengar bahwa gadis itu minta perlindungannya?”

Ki Kamituwa memang menjadi bingung. Namun dalam pada itu, terdengar derap kaki beberapa ekor kuda yang mendatangi.

Dalam suasana yang panas itu, maka suara kentongan dalam irama titir itu telah mengundang sekelompok prajurit. Mungkin saja telah terjadi benturan antara orang-orang padukuhan dengan para pengikut Harya Wisaka.

Demikian beberapa orang prajurit itu mendekat, tiba-tiba saja Ki Kamituwa itu pun berteriak, “Mereka adalah pengikut Harya Wisaka”

Yang mendengar teriakan Ki Kamituwa itu terkejut. Bahkan Ki Demang dan Ki Jagabaya pun terkejut pula.

“Apa katamu?” bertanya Ki Demang.

“Mereka adalah pengikut Harya Wisaka”

“Tetapi kau tadi tidak mengatakan seperti itu. Tadi kau sebut anak-anak itu hendak menculik gadis. Padahal gadis itu adalah adiknya”

“Aku sebenarnya masih ingin mengambil cara yang lebih lunak, Ki Demang. Tetapi setelah para prajurit datang, aku tidak dapat mengatakan lain, kecuali bahwa mereka adalah para pengikut Harya Wisaka, termasuk gadis itu”

“Darimana kau tahu?” bertanya perwira prajurit yang memimpin sekelompok prajurit berkuda itu.

Ki Kamituwa memang agak menjadi gagap. Namun ia pun menjawab, “Kami disini semuanya tidak mengenal mereka. Mereka berjalan mengendap-endap. Nampaknya mereka akan pergi ke terowongan air di sebelah. Mereka sedang berusaha menyusup keluar”

Untuk sejenak Perwira itu memandang Paksi, Pangeran Benawa dan Raden Sutawijaya. Ketiganya memang mengenakan pakaian orang kebanyakan sehingga mereka menjadi tak mudah dikenalinya......
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar