Jejak Dibalik Kabut Jilid 26

Ki Waskita masih tertawa. Katanya, “Kau benar, Paksi. Ada sesuatu yang sedang aku pikirkan. Seperti juga yang kau pikirkan. Aku merasa gelisah seperti orang lain, bahwa Harya Wisaka masih juga belum dapat dilacak jejaknya. Jika aku nampak murung, karena aku sedang memikirkan satu cara yang mungkin dapat ditempuh. Tetapi cara itu akan mempunyai akibat yang tidak dapat aku perhitungkan sebelumnya”

“Maksud Guru?”

Ki Waskita termangu-mangu sejenak. Katanya, “Mungkin aku dapat mencari jalan untuk melacak Harya Wisaka. Tetapi tidak langsung. Aku mungkin dapat melacak salah seorang pembantu Harya Wisaka yang terhitung dekat. Dari sana akan kita dapatkan jejak Harya Wisaka itu”

“Jika jalan itu memungkinkan kita sampai kepada Harya Wisaka, bukankah jalan itu dapat dicoba?”

“Tetapi tebusannya akan dapat menjadi mahal sekali, Paksi”

“Maksud, Guru”

Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya wajah Paksi dengan tajamnya. Namun tiba-tiba saja Ki Waskita itu berkata, “Paksi, bukankah kita belum mulai makan? Makanlah sebelum waktu untuk beristirahat usai”

“Aku tidak lapar, Guru”

“Kau tentu lapar. Bukankah kita akan berbicara sambil makan. Sekarang makanlah”

Paksi tidak menjawab. Tetapi ia pun kemudian membuka pula sebungkus nasi dan mulai makan bersama Ki Waskita dan Ki Kriyadama.

Sementara itu, Ki Waskita pun mulai berbicara dengan Ki Kriyadama tentang pembangunan padepokan yang mendekati tahap-tahap akhir itu. Semakin lama semakin asyik sehingga Paksi tidak mendapat waktu untuk berbicara lagi.

Meskipun demikian, bahwa lontaran pertanyaan yang pernah disampaikan kepada Ki Waskita itu dianggapnya cukup untuk mengusik perasaan Ki Waskita. Paksi sudah merasa cukup untuk menyentuh hati orang tua itu, sehingga ia mengerti, bahwa ada yang memperhatikan perubahan sikapnya di saat-saat terakhir.

Sebenarnyalah, sejak Paksi datang menemuinya dan bertanya tentang masalah yang sedang direnunginya, Ki Waskita justru menjadi semakin memikirkannya. Ia masih tetap ragu-ragu untuk mengambil sikap.

Namun sementara itu, usaha untuk menemukan Harya Wisaka seakan-akan telah mengalami jalan buntu. Usaha Raden Sutawijaya, Pangeran Benawa dan Paksi sama sekali belum menunjukkan kemajuan sama sekali.

Sementara itu, usaha untuk menemukan adik Paksi pun masih meragukannya, apakah sudah sepantasnya adiknya menjadi rambatan untuk menemukan ayahnya.

“Adikku tidak bersalah sama sekali” berkata Paksi kepada Raden Sutawijaya dan Pangeran Benawa.

“Adikmu memang tidak bersalah. Bahkan ia pun merasa terpaksa untuk meninggalkan rumahnya mengikut ayahnya. Bukankah kita tidak memburunya dan akan menghukumnya? Kita hanya ingin membuatnya membuka jalan untuk menemukan Ki Tumenggung Sarpa Biwada” jawab Raden Sutawijaya.

“Tetapi, seandainya adikku itu diketemukan, maka ia akan dipaksa untuk menunjukkan, dimana ayah bersembunyi. Bahkan seandainya adikku itu benar-benar tidak mengetahuinya, maka ia akan diperas sampai darahnya kering untuk mengatakan sesuatu yang tidak diketahuinya”

Pangeran Benawa tersenyum sambil menggeleng, “Bukankah kita tidak akan berbuat sejauh itu, Paksi? Seandainya adikmu itu kami ketemukan, bukankah dengan demikian kita telah membebaskan adikmu dari satu keadaan yang tidak disukainya?”

Paksi menggeleng sambil berdesis, “Mungkin, jika anak itu jatuh ke tangan kita. Tetapi jika anak itu jatuh ke tangan orang lain, maka tujuan penangkapan itu tentu untuk memeras keterangan anak itu agar menunjukkan dimana ayah bersembunyi”

Raden Sutawijaya dan Pangeran Benawa tidak membantah. Paksi memang dapat menduga sebagaimana dikatakannya itu. Jika adik Paksi itu jatuh ke tangan prajurit sandi tanpa diketahui oleh Raden Sutawijaya, Pangeran Benawa atau Paksi sendiri, maka akibat yang buruk memang akan dapat terjadi. Prajurit sandi itu memang dapat memaksa anak itu untuk menunjukkan dimana ayahnya bersembunyi. Untuk mendapat keterangan, seseorang kadang-kadang memaksa orang lain untuk menjawab sesuai dengan keinginannya, sehingga kadang-kadang seseorang justru harus berbohong untuk memenuhi keinginan orang-orang yang memaksanya mengatakan sesuai dengan kebenaran.

Sedangkan orang-orang yang menginginkan kebenaran itu justru menjadi puas oleh kebohongan itu. Paksi pun kemudian tidak lagi berbicara tentang adiknya.

Karena setiap kali ia mendengar usaha untuk mencarinya sebagai salah satu pintu untuk sampai kepada ayahnya, terasa jantungnya menjadi berdebar-debar.

Ketika hari pasaran di pasar gedhe itu tiba, maka seperti yang pernah dilakukan, maka Raden Sutawijaya, Pangeran Benawa dan Paksi pun telah berada di pasar. Tetapi hari itu, mereka merencanakan tidak saja membawa gerabah ke pasar, tetapi juga akan membawa gerabah yang diusung di atas punggung kuda beban itu berkeliling.

Pada saat matahari menjadi semakin tinggi, maka Raden Sutawijaya, Pangeran Benawa dan Paksi pun telah memisahkan diri. Mereka menuntun kuda masing-masing dengan muatan gerabah berkeliling dari lorong ke lorong.

Jalan di kotaraja masih nampak ramai. Orang-orang yang pergi dan pulang dari pasar masih berlalu-lalang. Sekali-sekali seorang berkuda melintas. Pada kesempatan lain, tiga orang prajurit yang meronda lewat menyusuri jalan.

Paksi menuntun kudanya memasuki lorong yang lebih sempit. Ia menawarkan gerabahnya dari pintu ke pintu rumah. Namun tiba-tiba Paksi itu terkejut. Ia melihat tiga orang berjalan berlawanan arah. Nampaknya mereka juga baru pulang dari pasar lewat jalan lain. Seorang di antara mereka membawa dua bakul yang dipikulnya. Agaknya isinya berbagai macam kebutuhan sehari-hari. Sedangkan dua orang yang lain membawa bakul di atas kepala mereka. Mungkin berisi beras atau jagung. Yang menarik perhatian Paksi adalah seorang remaja yang berjalan beberapa langkah di belakang mereka. Seorang remaja dengan pakaian yang kumuh seperti pakaian yang dipakai oleh Paksi sendiri. Mengenakan caping bambu yang lebar sambil menjinjing sebuah keba dari pandan yang kasar.

Semakin dekat Paksi menjadi semakin berdebar-debar. Bahkan jantungnya serasa menjadi semakin cepat dan semakin keras berdegup.

Sementara itu, remaja itu masih belum memperhatikannya. Mungkin remaja itu sudah melihatnya. Tetapi ia tentu mengira bahwa Paksi adalah seorang penjual gerabah yang membawa dagangannya di atas punggung seekor kuda beban yang dituntunnya menyusuri lorong-lorong.

Akhirnya Paksi pun yakin, bahwa remaja itu adalah adiknya. Adiknya yang dicarinya dan yang agaknya juga dicari oleh para petugas sandi. Paksi pun kemudian berhenti dan mengikat kudanya pada sebatang pohon di pinggir jalan sambil menunggu remaja itu lewat. Sementara remaja itu sama sekali tidak memperhatikannya dan tidak mengenalnya.

Demikian remaja itu melangkah di sebelah Paksi, maka Paksi pun menangkap tangannya sambil berdesis, “Kau tidak mengenal aku?”

Remaja itu terkejut. Dipandanginya Paksi dengan tajamnya. Remaja itu memang adik Paksi.

“Kakang Paksi” desis remaja itu.

“Ya, aku kakakmu. Paksi”

Remaja itu masih saja menatap Paksi. Namun tiba-tiba ia mendorong Paksi sambil berdesis, “Kau bukan kakakku”

“Aku Paksi, kau kenal aku, kan?”

“Aku tahu, kau Kakang Paksi. Tetapi kau bukan kakakku”

Paksi tidak sempat bertanya lebih jauh. Tiga orang yang berjalan mendahului remaja itu pun berhenti. Mereka meletakkan pikulan serta bakul yang mereka bawa di atas kepala mereka. “Siapakah orang ini?” bertanya seorang di antara mereka.

“Paksi”

“Inikah anak muda yang bernama Paksi itu?”

“Ya”

Orang itu menggeram. Dengan suara yang berat ia pun berkata, “Nasibmu buruk, anak muda. Kau termasuk salah seorang yang harus disingkirkan”

“Maksudmu?”

“Kau harus dibunuh”

Namun adik Paksi itu pun berkata, “Biarkan orang itu pergi”

“Tidak mungkin. Ia sudah melihat dan dapat mengenalimu. Karena itu, maka ia harus dibunuh”

“Biarkan ia pergi”

“Sayang. Ia telah masuk ke dalam lubang kuburnya. Kita tinggal menimbuninya saja”

Paksi bergeser selangkah surut. Sementara laki-laki yang bertubuh pendek tetapi berbadan kekar itu pun menggeram, “Aku akan mencincangmu”

Kawannya yang lain, yang berwajah tampan dan berkumis tipis berkata, “Sebaiknya kau tidak usah membuat ulah. Itu hanya akan memperpendek umurmu dan mempersulit jalan kematianmu”

“Menurutmu, apa yang harus aku lakukan?”

“Kau harus menyerahkan diri. Dengan demikian, maka kau akan mati dengan tanpa mengalami penderitaan”

Paksi memandang ketiga orang itu berganti-ganti. Menurut penglihatannya, ketiganya adalah orang-orang yang memiliki ketrampilan mempermainkan senjatanya. Apalagi ketika ketiganya telah mencabut pedang pendeknya yang mereka sembunyikan di dalam bakul mereka.

“Jangan bunuh orang itu. Biarlah mereka pergi” berkata adik Paksi itu.

Tetapi ketiga orang itu tidak menghiraukannya. Mereka pun telah mulai memutar pedang pendek mereka.

“Kita harus segera menghabisinya sebelum kehadiran kita disini diketahui orang dan dilaporkannya kepada para prajurit”

Paksi tidak dapat mengelak, ia pun segera melangkah surut dan menggapai tongkatnya yang disangkutkannya pada kuda bebannya.

Demikian ia menarik tongkatnya itu, maka seorang di antara ketiga orang yang hendak membunuhnya itu sudah menyerangnya.

Namun Paksi pun sudah siap. Dengan tangkasnya ia pun menangkis serangan itu. Bahkan dengan satu putaran, tongkatnya telah mematuk ke arah perut orang yang menyerangnya itu.

Orang itu terkejut. Ia tidak mengira bahwa Paksi mampu bergerak demikian cepatnya. Dengan serta-merta ia pun segera meloncat ke samping. Namun tongkat Paksi pun telah menggeliat dan terayun mendatar.

Orang itu tidak sempat menangkis ketika tongkat itu menyambar lengannya.

Orang itu terhuyung-huyung ke samping. Namun dengan cepat kawannya datang membantunya. Orang yang berwajah tampan dengan berkumis tipis itu telah meloncat sambil menebas langsung ke arah leher Paksi.


Tetapi Paksi sempat merendah. Tongkatnya justru menyambar kaki orang itu, sehingga orang itu tidak mampu menyelamatkan keseimbangannya.

Dengan kerasnya orang itu terbanting di tanah.

Namun ketika Paksi siap mengayunkan tongkatnya untuk mengakhiri perlawanan orang berwajah tampan itu, yang lain pun telah menyerangnya pula.

Karena itu, maka Paksi pun harus meloncat menghindari serangan itu. Sambil memutar tongkatnya Paksi harus berloncatan mengelak dari serangan kedua orang lawannya bersama-sama.

Dengan demikian maka pertempuran itu pun semakin lama menjadi semakin sengit. Ketiga orang yang tentu para pengikut Harya Wisaka dan Ki Tumenggung Sarpa Biwada itu bertempur dengan keras dan kasar. Mereka langsung meningkatkan ilmu mereka sampai ke puncak. Mereka ingin dengan cepat membunuh Paksi, karena jika kehadiran mereka diketahui orang dan dilaporkan kepada para prajurit, maka mereka akan mendapatkan kesulitan.

Tetapi, ternyata tidak mudah membunuh Paksi. Anak muda itu mampu berloncatan seperti sikatan menyambar bilalang. Tongkatnya berputaran, terayun mendatar dan kemudian mematuk dengan derasnya. Orang yang bertubuh pendek itu terdorong beberapa langkah surut. Perutnya menjadi sakit dan mual karena tongkat Paksi menghentaknya. Bahkan perutnya itu pun telah terluka dan berdarah.

Sementara itu, orang yang berkumis tipis itu jatuh tersungkur ketika ayunan tongkat Paksi berhasil mengenai tengkuknya.


Tetapi ketiga orang itu masih saja bertempur dengan garangnya. Berkali-kali mereka terlempar. Namun setiap kali mereka telah meloncat kembali ke arena. Pedang pendek mereka terayun-ayun mengerikan.

Paksi harus meloncat surut untuk mengambil jarak ketika ujung pedang seorang di antara ketiga lawannya itu mengenai lengannya. Segores luka membuat kulitnya telah menganga.

Ketiga orang lawannya tidak memberinya kesempatan. Ketika mereka melihat darah mengalir dari luka di lengan Paksi, maka mereka pun menjadi semakin bernafsu. Seperti seekor serigala yang mencium bau darah, mereka serentak memburunya.

Paksi menggeletakkan giginya. Berbagai macam ilmu tersimpan di dalam dirinya. Karena itu, ketika ia terdesak, dan bahkan terluka, maka Paksi pun telah menghentakkan ilmunya dengan garangnya.

Darah Paksi yang masih muda itu seakan-akan telah mendidih ketika ia merasa lukanya menjadi nyeri. Sementara serangan-serangan lawannya semakin lama justru menjadi semakin menekannya.

Dengan demikian, pertempuran itu pun semakin lama menjadi semakin sengit. Seorang di antara ketiga orang lawan Paksi melenting ke atas dinding halaman di pinggir jalan. Ketika Paksi sedang menghindari serangan orang berkumis tipis itu, orang yang bertengger di atas dinding halaman itu pun meloncat dengan cepat sambil mengayunkan pedang pendeknya.

Paksi berdesah tertahan. Punggungnya tergores luka melintang. Meskipun tidak begitu dalam, tetapi luka itu terasa pedih.

Dengan cepatnya Paksi itu pun meloncat mengambil jarak. Sekali tubuhnya berputar di udara. Kemudian kedua kakinya dengan lunak menyentuh tanah.

Tetapi Paksi terpaksa meloncat sekali lagi, berputar di udara dan berdiri tegak di tanah, siap untuk melawan ketiga orang lawannya yang memburunya.

Pertempuran pun menyala semakin sengit. Serangan-serangan ketiga orang yang akan membunuh Paksi itu menjadi semakin keras dan kasar.

Namun tiba-tiba saja seorang di antara mereka berteriak nyaring. Orang yang bertubuh pendek itu jatuh tertelungkup di tanah. Kedua tangannya memegangi perutnya yang tertembus ujung tongkat Paksi.

Orang itu masih menggeliat. Tetapi kemudian ia pun terdiam. Namun pada saat tongkat Paksi menikam perut orang itu, ujung pedang pendek orang yang berkumis tipis itu sempat melukai pundak Paksi.

Namun Paksi yang kesakitan itu justru menjadi semakin garang. Seperti seekor banteng yang terluka, Paksi menyerang kedua orang lawannya yang tersisa dengan puncak ilmunya.

Kedua lawannya pun segera terdesak. Seorang yang berkumis tipis itu masih sempat berteriak, “Lari. Larilah. Kau tidak boleh jatuh ke tangan Paksi. Kau akan menjadi tawanan. Tubuhmu akan dicincang untuk mendapatkan pengakuan”

Adik Paksi mendengar teriakan itu. Tetapi rasa-rasanya kakinya menjadi beku. Karena itu, maka anak itu tidak segera meninggalkan tempatnya.

Lawan Paksi yang seorang lagi pun berteriak pula, “Cepat, tinggalkan tempat ini. Jangan bodoh, jika kau tidak mau tersiksa di tangan prajurit Pajang”

Paksi yang muda itu tidak lagi mengekang diri. Tongkatnya berputaran semakin cepat. Seorang lawannya yang meloncat sambil menjulurkan pedangnya, justru mengaduh ketika tongkat Paksi menghantam kepalanya.

Orang itu terhuyung-huyung surut. Paksi yang mencoba memburunya tertahan. Orang yang berkumis tipis itu meloncat sambil mengayunkan pedangnya menebas ke arah leher.

Tetapi Paksi sempat merendahkan dirinya. Demikian pedang itu terayun di atas kepalanya, maka Paksi itu pun mengayunkan tongkatnya menyapu kaki orang berkumis tipis itu. Demikian kerasnya sehingga orang itu berteriak kesakitan. Tulang kakinya serasa telah patah, sehingga orang itu tidak lagi mampu berdiri.

Tubuhnya terpelanting jatuh di atas lorong yang sepi itu. Pada saat itu, kawannya yang seorang lagi mencoba untuk mencegah serangan Paksi yang lebih menentukan. Dengan menjulurkan pedang pendeknya ia berusaha menikam punggung Paksi.

Tetapi Paksi yang mengetahui serangan itu dengan cepat mengelak ke samping. Bahkan kemudian tongkatnya sempat memukul pergelangan tangan orang itu sehingga pedangnya terpelanting dari tangannya.


Orang itu tidak sempat memungut pedangnya. Darah muda Paksi yang menggelegak di jantungnya itu telah memanaskan seluruh tubuhnya, sehingga anak muda itu tidak lagi menahan dirinya.

Dengan garangnya Paksi mengayunkan tongkatnya, menghantam tengkuk orang yang telah kehilangan senjatanya itu, sehingga ia pun jatuh tertelungkup.

Namun pada saat yang bersamaan orang berkumis tipis yang tidak lagi dapat berdiri tegak itu merayap mendekatinya. Pedangnya menebas ke arah mata kaki Paksi.

Tetapi Paksi sempat menghindari. Sambil meloncat ia mengangkat tongkatnya. Namun demikian ia berpijak di tanah, maka ujung tongkatnya itu pun telah menikam dada orang berkumis tipis itu.

Orang itu tidak sempat mengaduh. Tiga orang lawan Paksi telah terkapar di tanah. Mati.

Paksi termangu-mangu sejenak. Beberapa goresan luka mengoyak tubuhnya. Lengannya, punggungnya, pundaknya, pahanya dan beberapa goresan lagi.

Dalam pada itu, ketika Paksi yakin bahwa ketiga orang lawannya tidak lagi mampu memberikan perlawanan, maka ia pun melangkah menjauhinya. Perhatiannya pun kemudian tertuju kepada adiknya yang berdiri ketakutan melekat dinding halaman sebelah.

Namun tiba-tiba anak itu pun berteriak, “Jika kau akan membunuh aku, bunuhlah”

Paksi menarik nafas dalam-dalam. Ia mencoba untuk menenangkan dirinya. Didekatinya adiknya yang berdiri melekat dinding itu.

“Marilah kita pulang. Ibu menunggumu”

“Tidak. Aku tidak mau pulang. Aku tentu akan ditangkap dan disiksa sampai mulutku mengaku, dimana ayah bersembunyi”

“Aku akan melindungimu. Marilah. Ibu sangat rindu kepadamu. Adik kita juga sering bertanya, dimana kau berada”

“Jangan sentuh aku. Kau bukan kakakku”

Wajah Paksi menjadi tegang. Dengan suara bergetar ia pun bertanya, “Bagaimana mungkin aku bukan kakakmu? Kita dilahirkan oleh seorang ibu yang sama. Kita pun mempunyai ayah yang sama”

“Tidak. Ayah kita tidak sama”

Paksi menjadi tegang. Bahkan lebih tegang dari saat ia berhadapan dengan ketiga orang lawannya.

“Siapa yang mengatakan itu kepadamu?”

“Ayah. Ayah mengatakan kepadaku, bahwa ayah kita berbeda. Kau bukan anak ayah. Kau adalah benalu di rumah kami. Karena itu, kau harus disingkirkan”

“Jika aku bukan anak ayah, katakan, menurut ayah, aku anak siapa?”

“Kau anak orang yang tidak dikenal. Itulah kenyataannya. Karena itu, jangan sebut lagi aku adikmu”

“Tetapi ibu kita?”

“Aku mencintai ibu. Tetapi aku tidak dapat menemui ibu sekarang”

Wajah Paksi menjadi merah. Luka di tubuhnya tidak terasa lagi. Luka di hatinya itulah yang terasa pedih dan nyeri, sehingga tubuh Paksi pun bergetar.

“Bawa aku kepada ayah. Aku ingin ayah menjelaskannya”

“Tidak. Aku bukan pengkhianat. Karena itu, jika kau ingin membunuhku, bunuhlah”

Rasa-rasanya seluruh isi dada Paksi berguncang. Ia tidak dapat mendengar keterangan adiknya itu. Dengan wajah yang tegang, Paksi melangkah mendekati adiknya dan berjongkok di hadapannya. “Menurutmu, siapa aku ini, he?”

“Kau orang asing di rumah kami. Setidak-tidaknya ayahmulah yang asing bagi kami”

“Kau telah menghina ibu. Bukankah dengan demikian berarti ibu telah ternoda ketika menikah dengan ayah?”

“Ya”

“Diam. Diam kau kecoak kecil. Ayah itulah yang telah gila. Ia telah memfitnah ibu. Memfitnah aku. Ayah ingin memisahkan kita, karena ayah sekarang menjadi seorang pemberontak, sedangkan aku tidak. Kau pun seharusnya tidak”

“Tidak ada hubungannya dengan gerakan Harya Wisaka” jawab adiknya. “Aku sudah tidak lagi kanak-kanak. Aku sudah dapat memisahkan persoalan demi persoalan. Kau bukan kakakku. Tetapi kau dapat mempergunakan keikutsertaan ayah dalam gerakan Harya Wisaka sebagai alasan untuk membunuhku, agar kau kelak dapat memiliki warisan ayah sepenuhnya meskipun itu bukan hakmu”

“Diam. Diam kau”

“Kau takut melihat wajahmu sendiri”

Tangan Paksi tiba-tiba saja telah terjulur menampar mulut adiknya. Adiknya terkejut. Paksi yang masih terguncang-guncang jantungnya itu, tidak dapat mengendalikan tenaganya dengan baik. Karena itu, maka sentuhan tangannya di mulut adiknya itu terasa sakit sekali. Bahkan ketika tangan adiknya itu meraba mulutnya, maka terasa cairan hangat meleleh dari sela-sela bibirnya. Darah.

Sejenak Paksi tertegun. Ia melihat adiknya menyeringai menahan sakit. Bahkan dari mulut adiknya itu mengalir darah yang merah. Dari matanya yang mengaca terbayang gejolak jantungnya yang berdegup semakin cepat dan semakin keras.

Namun tiba-tiba terdengar suara Paksi merendah, “Maafkan aku. Aku tidak sengaja menyakitimu”

Namun jawab adiknya, “Itu hakmu. Kau bunuh ketiga orang kawanku. Sekarang, bunuh aku sama sekali”

“Aku masih waras. Aku tidak gila. Bagaimana mungkin aku membunuh adikku sendiri”

“Aku bukan adikmu, kau dengar. Ayah mengatakan ini seribu kali kepadaku. Dan aku pun akan mengatakannya seribu kali kepadamu, bahwa kau bukan kakakku”

“Apakah kau juga akan mengatakannya di hadapan ibu?”

Adiknya tertegun. Sejenak ia bagaikan membeku.

“Jika hal ini kau katakan kepada ibu, kau akan tahu akibatnya. Selama ini kita menganggap ibu adalah seorang perempuan yang baik, seorang ibu yang bersih, seperti air yang bening keluar dari mata airnya. Selama ini kita minum air yang bening itu dengan ucapan syukur. Namun tiba-tiba kau telah membantingnya ke dalam tempat sampah yang paling kotor. Kau sebut ibu kita itu sebagai perempuan yang paling hina”

Adik Paksi itu masih tercenung. Bahkan ia pun kemudian menangis terisak.

“Marilah kita pulang”

Namun jawabnya masih tetap meskipun diucapkan dengan nada rendah, “Aku tidak mau pulang. Aku tidak dapat berkhianat kepada ayah”

“Baiklah” berkata Paksi, “aku akan segera menemui ibu. Aku akan bertanya, apakah yang dikatakan ayah itu benar. Jika apa yang dikatakan ayah dan ibu tidak sama, maka aku lebih percaya kepada ibu”

“Sekarang, bunuh aku sebelum aku ditangkap oleh prajurit-prajurit Pajang”

“Jika kau berkeras tidak mau pulang, pergilah. Kembalilah kepada ayah. Sampaikan baktiku kepadanya”

“Ayah tidak akan mau menerimanya”

“Itu persoalan ayah. Bukan persoalanku”

Adik Paksi itu terdiam. Sementara itu Paksi pun berkata, “Pergilah sebelum para prajurit itu datang. Jika ada orang yang melaporkan pertempuran ini, maka para prajurit akan segera datang. Jika mereka menemukan kau masih berada disini, maka kau akan ditangkapnya. Aku tidak tahu, apakah aku akan dapat melindungimu atau tidak. Atau bahkan aku juga dianggap telah berpihak kepadamu”

Adik Paksi itu termangu-mangu.

“Pergilah. Cepat” bentak Paksi.

Adiknya itu masih tetap berdiri di tempatnya, sehingga Paksi pun menggeram, “Jika para prajurit itu datang, aku akan membunuhmu. Aku lebih senang melihat kau mati daripada kau jatuh ke tangan para prajurit itu”

Adik Paksi itu nampak bingung. Namun Paksi pun kemudian menarik tangannya dan mendorongnya. “Pergi, pergi. Katakan kepada ayahmu, bahwa aku mencarinya. Ayahku atau bukan, tetapi ia adalah musuhku, musuh Pajang. Ia harus ditangkap dan terserah kepada Kangjeng Sultan, apakah ia akan diampuni atau akan digantung di alun-alun”

Adik Paksi itu mulai beranjak. Sementara Paksi itu berkata lantang, “Pergilah kepada ayahmu. Katakan, ia harus mempertangung–jawabkan ucapannya. Ia telah menghina ibuku, seorang perempuan yang sangat aku hormati”


Adik Paksi itu memandang Paksi seperti memandang sesosok hantu. Ketakutan yang ditekannya di dalam dadanya ia telah terungkit. Bukan karena ia termasuk buruan sebagaimana ayahnya. Tetapi ia merasa telah membuat Paksi marah karena kebeningan hati ibunya tersentuh. Karena itu, maka adik Paksi itu pun kemudian telah bergeser semakin menjauhi Paksi. Akhirnya anak itu pun berlari menghilang di tikungan.

Paksi berdiri termangu-mangu. Masih ada darah yang meleleh dari lukanya, meskipun tidak lagi terlalu deras. Namun pedihnya tidak sepedih luka di hatinya. Seakan-akan di luar sadarnya, Paksi melangkah meninggalkan tempat itu. Ia tidak lagi menghiraukan kuda bebannya. Dengan bertumpu pada tongkatnya, Paksi melangkah semakin lama semakin jauh. Ia juga berbelok di tikungan. Tetapi ia tidak berjalan searah dengan adiknya.

Tetapi ternyata Paksi tidak langsung menemui Raden Sutawijaya dan Pangeran Benawa seperti yang mereka sepakati. Dengan mengendap-endap agar tidak menarik perhatian orang karena luka-lukanya dan pakaiannya yang berdarah, Paksi justru pulang ke rumahnya. Ia tidak peduli, apakah rumahnya itu diawasi atau tidak, ia tidak lagi dapat berpikir terang. Nalarnya menjadi kabur mendengar pengakuan adiknya, bahwa Paksi bukan kakaknya. Bahwa Ki Tumenggung Sarpa Biwada bukan ayahnya.

Dalam pada itu, sebenarnyalah bahwa beberapa orang mengetahui bahwa telah terjadi pertempuran di sebuah lorong yang sepi. Orang yang tinggal di sebelah-menyebelah lorong itu mendengar pertempuran itu. Mereka mendengar teriakan-teriakan dan bentakan-bentakan. Mereka mendengar desah dan keluh kesakitan. Mereka mendengar senjata beradu dan hentakan-hentakan kaki.

Tetapi justru karena itu, tidak seorang pun yang berani keluar dari regol halaman rumahnya. Dengan demikian, maka mereka tidak tahu siapakah yang telah bertempur itu.

Baru kemudian, ketika seorang yang lewat di lorong itu melihat dari kejauhan apa yang terjadi, maka ia pun segera berlari berbalik menyusuri lorong itu. Orang itu berlari ke jalan yang lebih besar untuk menghadang para prajurit yang meronda Tetapi karena tidak ada prajurit yang segera lewat, maka ia pun telah berlari ke sebuah barak prajurit. Tetapi barak itu cukup jauh.

Ketika dengan nafas yang hampir putus orang itu melaporkan apa yang dilihatnya, maka penjaga yang bertugas di regol tidak segera tanggap. Kata-katanya yang dihembuskan di sela-sela nafasnya yang memburu itu memang tidak begitu jelas. Karena itu, maka oleh penjaga barak, orang itu pun dibawa menghadap seorang lurah prajurit.

Lurah prajurit itu berusaha menenangkannya. Kemudian dengan sabar ia mendengarkan laporan orang itu.

“Jadi telah terjadi perkelahian?”

“Ya, Ki Lurah”

“Perkelahian yang terjadi antara orang-orang di sebelah-menyebelah lorong itu atau perkelahian antara siapa?”

“Nampaknya perkelahian antara orang-orang yang garang. Mereka bersenjata”

Lurah prajurit itu pun mengangguk-angguk. Katanya,

“Tunjukkan. Kami akan pergi kesana”

Bersama lima orang prajurit, lurah itu pun telah pergi ke tempat perkelahian itu terjadi. Orang yang melihat perkelahian itu diminta untuk bersedia menunjukkan tempat kejadiannya Namun ketika mereka sampai disana, yang ditemuinya adalah kerumunan banyak orang. Tiga sosok mayat terbaring. Beberapa bakul dan seekor kuda beban.

Tidak seorang pun dapat memberikan keterangan. Orang-orang yang berkerumun itu tidak melihat apa yang telah terjadi, karena mereka tidak berani keluar dari halaman rumahnya. Baru kemudian, setelah pertempuran itu selesai, seorang demi seorang keluar dari halaman rumahnya mendekati sosok tubuh yang terbaring diam itu

Lurah prajurit itu tidak mendapatkan bahan apa pun untuk mengusut, apakah yang sebenarnya sudah terjadi. Tetapi lurah prajurit itu menduga, bahwa yang terjadi bukanlah perkelahian antara orang-orang kebanyakan yang berselisih tentang persoalan mereka sehari-hari.

Lurah prajurit itu dapat menduga, bahwa bakul, pikulan, kuda beban yang membawa gerabah itu adalah bagian dari penyamaran. Tetapi pihak-pihak yang berkelahi itu tidak segera dapat diketahuinya.

Dengan seksama lurah prajurit dan para prajuritnya memeriksa tempat kejadian serta tiga sosok mayat itu. Mereka tidak menemukan ciri apapun. Pedang pendek itu juga tidak dapat dipergunakan untuk menelusuri, siapakah mereka bertiga itu. Siapa pula lawan mereka.

“Kita akan membuat laporan secepatnya” berkata lurah prajurit itu.

Setelah selesai dengan pemeriksaannya, serta menyimpan ketiga buah pedang pendek serta membawa kuda beban beserta gerabah yang ada di punggungnya, maka lurah prajurit dan para prajuritnya itu pun kembali ke barak mereka.

Dengan cepat mereka telah membuat laporan tentang perkelahian yang mencurigakan itu.

Dalam pada itu, Raden Sutawijaya dan Pangeran Benawa telah berada di tempat mereka bersepakat untuk berkumpul.

Tetapi mereka harus menunggu terlalu lama. Jauh lebih lama dari waktu yang seharusnya

“Apa yang terjadi dengan Paksi?” bertanya Raden Sutawijaya dengan nada kecemasan.

“Kita harus mencarinya. Ia sudah terlalu lama melampaui batas waktu yang sudah ditentukan”

Keduanya ternyata sepakat untuk mencari Paksi. Keduanya pun kemudian berjalan menyusuri lorong yang mereka perhitungkan telah dilalui oleh Paksi, karena mereka telah membagi lingkungan yang menjadi medan pengamatan masing-masing.

Ketika mereka sampai di tempat Paksi bertempur melawan tiga orang pengikut Harya Wisaka, mereka masih melihat beberapa orang yang sedang menimbuni lorong dengan tanah yang diambilnya dari pinggir lorong itu.

Raden Sutawijaya dan Pangeran Benawa semula ragu-ragu untuk menyibak orang-orang yang sedang sibuk itu. Namun orang-orang itu sendiri yang menyibak untuk memberi jalan kepada kedua orang yang akan lewat.

Namun keduanya tertegun. Mereka melihat bahwa orang-orangitu sedang sibuk menimbuni bercak-bercak darah yang menggenang di jalan itu.

“Darah” desis Raden Sutawijaya di luar sadarnya.

“Ya” tiba-tiba saja seorang di antara mereka yang menimbuni darah itu dengan tanah, menyahut.

“Apa yang telah terjadi?” bertanya Raden Sutawijaya.

“Perkelahian. Yang terlibat antara lain adalah seorang penjual gerabah. Kuda bebannya diketemukan terikat disini. Tiga sosok mayat terbaring di sekitar tempat ini”

“Seorang penjual gerabah? Kenapa ia berkelahi?”

“Tidak ada yang tahu”

“Apakah penjual gerabah itu hidup atau mati?”

“Tidak ada yang tahu. Kami tidak tahu, apakah di antara ketiga sosok mayat itu terdapat penjual gerabah itu. Kami hanya menemukan tiga sosok mayat dan seekor kuda beban yang membawa gerabah”

“Dimana kuda beban itu sekarang?”

“Beberapa orang prajurit telah datang. Prajurit itulah yang meneliti apa yang terjadi. Kuda itu pun mereka bawa pula”

Jantung Raden Sutawijaya dan Pangeran Benawa menjadi berdebar-debar. Tetapi mereka berusaha untuk menyembunyikan perasaan mereka. Sejenak kemudian, maka keduanya pun minta diri kepada orang-orang yang berkerumun itu untuk meneruskan perjalanan.

Namun demikian mereka lewat, maka Pangeran Benawa pun berkata, “Paksi benar-benar dalam kesulitan. Mudah-mudahan di antara ketiga sosok mayat itu tidak terdapat Paksi”

“Kita tidak melihat tongkatnya”

“Jika di antara mereka terdapat Paksi, mungkin tongkatnya telah dibawa oleh para prajurit pula”

“Kita tidak tahu, prajurit yang manakah yang membawa Paksi”

“Barak prajurit yang manakah yang terdekat dengan tempat ini?”

Keduanya terdiam untuk beberapa saat. Mereka berjalan sambil mengingat-ingat. Yang datang ke tempat itu tentu prajurit dari barak terdekat. Jika ada prajurit yang meronda, tentu prajurit dari barak itu pula.

Keduanya pun kemudian mempercepat langkah mereka. Namun Raden Sutawijaya dengan ragu-ragu berkata, “Apakah mereka dapat menerima kita?”

Pangeran Benawa termangu-mangu. Namun ia pun kemudian berdesis, “Ya. Kita dapat diusir dari barak itu atau mungkin pula kita akan ditangkap”

Raden Sutawijaya mengangguk-angguk. Sambil menunduk ia pun bergumam, “Kenapa kita tidak bertanya apakah di antara sosok mayat itu terdapat seorang anak muda?”

“Bukankah pertanyaan itu mencurigakan?”

“Ya. Memang mencurigakan”

Keduanya pun terdiam lagi.

Baru beberapa saat kemudian, Raden Sutawijaya pun berkata lagi, “Pulang ke rumah ayah. Kita akan menanyakan melalui jalur keprajuritan, siapakah yang menangani pertempuran itu dan siapa pula yang telah membawa kuda beban Paksi yang ditinggalkan itu”

Pangeran Benawa mengangguk.

Dengan tergesa-gesa keduanya pun kemudian langsung pergi ke rumah Ki Gede Pemanahan. Penjaga yang bertugas di halaman menghentikan mereka. Tetapi ketika mereka melihat kedua orang yang datang itu lebih jelas, maka mereka justru menyembah.

“Silahkan, Raden. Silahkan, Pangeran”

“Ayah ada di rumah?” bertanya Raden Sutawijaya.

“Ada, Raden”

Sejenak kemudian dua orang prajurit berkuda telah meninggalkan regol halaman rumah Ki Gede Pemanahan. Ki Gede telah memerintahkan mereka untuk mendatangi barak prajurit yang terdekat dengan tempat kejadian.

“Ketika kami datang, semuanya sudah lewat, Ayah” berkata Raden Sutawijaya. “Tinggal beberapa orang yang menimbuni darah yang tercecer di lorong itu”

“Nampaknya Paksi bertemu dengan orang-orang penting di lingkungan para pengikut Harya Wisaka. Ia sendiri ketika ia menghadapi beberapa orang bersama-sama”

Pangeran Benawa menundukkan kepalanya dalam-dalam. Katanya, “Jika terjadi sesuatu atas anak itu, kamilah yang bersalah”

“Pangeran tidak dapat menyalahkan diri sendiri” berkata Ki Gede Pemanahan. “Bukankah kalian sepakat untuk memencar? Menempuh jalan masing-masing?”

Pangeran Benawa menarik nafas dalam-dalam.

Sementara itu Raden Sutawijaya pun bertanya, “Bagaimana dengan kuda beban kita, Adimas Pangeran?”

“Biar sajalah. Nanti kita lihat. Jika ada orang yang membawanya, biarlah dibawa”

Raden Sutawijaya tidak bertanya lagi. Nampaknya Pangeran Benawa benar-benar menjadi gelisah. Ia mengenal Paksi lebih dalam dari Raden Sutawijaya. Beberapa lama Pangeran Benawa pernah mengembara bersama-sama.

Setelah beberapa lama mereka menunggu, maka kedua orang prajurit yang menangani perkelahian yang melibatkan seorang penjual gerabah itu pun telah kembali.

Ternyata mereka harus memasuki dua barak. Baru pada barak yang kedua, mereka mendapat keterangan tentang penjual gerabah itu.

“Mereka sedang menyusun laporan” berkata salah seorang prajurit berkuda yang baru kembali itu.

“Tetapi bukankah kau sudah mendapatkan keterangan lesan?” bertanya Pangeran Benawa tidak sabar.

Ternyata dari keterangan prajurit itu, tidak seorang pun dari ketiga sosok mayat itu yang ciri-cirinya sama atau mendekati ciri-ciri tubuh Paksi. Bahkan diyakini bahwa ketiga-tiganya adalah para pengikut Harya Wisaka

“Mereka bukan anak muda lagi” berkata prajurit itu kemudian.

“Darimana mereka dapat mengambil kesimpulan bahwa ketiganya adalah pengikut Harya Wisaka”

“Melihat apa yang mereka bawa. Nampaknya mereka membawa bahan makan dan kebutuhan sehari-hari. Agaknya mereka telah berpapasan dengan petugas sandi yang membawa kuda beban berisi gerabah itu. Tetapi kami tidak menemukan prajurit sandi itu”

“Senjata apa saja yang diketemukan di tempat kejadian itu?”

“Pedang pendek. Sarung pedang pendek itu terdapat di dalam bakul yang berisi bahan pangan dan kebutuhan sendiri-sendiri itu”

Pangeran Benawa menarik nafas dalam-dalam. Jika demikian, maka Paksi agaknya masih hidup.

“Tetapi kemana anak itu? Apakah ia tertangkap dan dibawa menghadap ayahnya? Jika demikian, maka keadaannya akan menjadi parah pula” bertanya Pangeran Benawa di dalam hatinya.

“Semuanya masih belum jelas” desis Raden Sutawijaya.

Namun tiba-tiba saja Pangeran Benawa itu pun berkata, “Apakah mungkin Paksi justru pulang?”

“Pulang kemana?”

“Ke rumahnya. Bukankah ibunya masih tinggal disana?

Dalam kesulitan dapat saja ia bersembunyi di rumahnya. Atau
bahkan apa pun yang terjadi”

“Pangeran” desis Ki Gede Pemanahan yang melihat Pangeran Benawa menjadi bingung, “jika masih ada kesempatan, Paksi tentu akan menemui Pangeran dan Sutawijaya di tempat yang ditentukan”

“Tetapi tidak ada salahnya kita melihat rumahnya” desis Raden Sutawijaya.

“Tetapi jika Paksi tidak ada disana, maka ibunya akan menjadi sangat gelisah”

Raden Sutawijaya mengangguk angguk kecil.

Namun tiba-tiba Pangeran Benawa itu pun berkata, “Kita lihat apakah Paksi ada di rumahnya atau tidak. Jika terjadi sesuatu, maka lambat atau cepat, ibunya justru harus mengetahuinya”

“Tetapi kita akan memastikan, atau setidak-tidaknya mendekati kepastian, apakah yang terjadi dengan Paksi”

“Justru semakin cepat ibunya mengetahuinya akan menjadi semakin baik”

Agaknya niat Pangeran Benawa sudah bulat. Ia ingin melihat ke rumah Paksi. Bahkan Pangeran Benawa membayangkan bahwa Paksi justru telah tertangkap dan disekap di rumahnya sendiri. Orang lain tentu tidak akan menduganya Di tempat lain, akan dapat menjadi berbahaya bagi para pengikut Harya Wisaka.

Kecuali jika Paksi itu langsung dibunuh oleh ayahnya sendiri. “Apakah Pangeran akan membawa beberapa orang prajurit?”

“Tidak” Pangeran Benawa menggeleng, “aku akan pergi berdua saja dengan Kakangmas Sutawijaya”

“Baiklah” sahut Raden Sutawijaya, “kita pergi ke rumah Paksi. Tetapi asal kita ingat saja, bahwa rumah itu masih selalu diawasi oleh para pengikut Harya Wisaka. Tetapi juga oleh para petugas sandi”

“Jika demikian, mereka tidak akan dapat menahan Paksi di rumah itu”

“Mereka tentu mempunyai cara tersendiri untuk masuk dan keluar rumah itu di luar jangkauan pengamatan para petugas sandi. Tetapi mungkin pula para pengikut Harya Wisaka mampu memancing perhatian para petugas sandi itu”

Pangeran Benawa mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Marilah kita pergi sekarang”

Sejenak kemudian, keduanya pun minta diri. Ki Gede hanya dapat berpesan agar mereka berhati-hati. Apa yang terjadi atas Paksi dapat pula terjadi atas mereka berdua.

“Baiklah, Paman” jawab Pangeran Benawa, “kami akan berhati-hati. Apalagi kami berdua, sementara Paksi seorang diri menghadapi kekuatan yang sangat besar”

Pangeran Benawa dan Raden Sutawijaya itu pun kembali turun ke jalan. Dengan tergesa-gesa mereka pergi ke rumah Ki Tumenggung Sarpa Biwada yang telah ditinggalkannya.....

Dalam pada itu, Paksi memang pergi untuk menemui ibunya. Ia tidak ingat apa-apa lagi kecuali kata-kata adiknya, bahwa Paksi bukan kakaknya seayah.

“Apakah ketika ibu menikah dengan ayah, ibu sudah melahirkan aku?” pertanyaan itu telah menggodanya, “Sehingga aku adalah anak tiri ayah Tumenggung Sarpa Biwada?”

Tetapi menurut pendengaran Paksi selama ini, ibunya belum pernah menikah sebelumnya. Ki Tumenggung Sarpa Biwada adalah satu-satunya suami ibunya. Ia sering mendengarkan ceritera ibunya, bahwa ketika ayahnya diangkat menjadi seorang pandega dengan pangkat rangga, ibunya ikut hadir dalam wisuda itu selagi Paksi masih berada di dalam kandungan. Itu berarti bahwa ketika ia lahir, ibunya telah menjadi isteri Ki Rangga Sarpa Biwada.

Ketika Paksi memasuki regol halaman rumahnya, tubuhnya sudah menjadi semakin lemah. Meskipun tidak lagi terlalu deras, tetapi darahnya masih saja mengalir dari luka-lukanya.

Paksi tidak langsung naik ke pendapa. Tetapi lewat pintu seketeng, Paksi langsung masuk ke serambi samping.

Ibunya terkejut melihat keadaan Paksi. Berlari-lari ia mendapatkannya sambil bertanya, “Paksi, kau kenapa, Paksi?”


Paksi masih berdiri bertumpu pada tongkatnya. Ketika ibunya akan memapahnya masuk ke ruang dalam, Paksi menolaknya sambil berdesis, “Tidak, Ibu”

“Paksi”

“Aku datang untuk mendapat pengakuan, Ibu”

“Pengakuan apa, Paksi?” ibunya termangu-mangu. “Apakah kau mengira bahwa ibu tahu dimana ayah bersembunyi?”

“Tidak. Bukan itu”

“Lalu?”

“Ibu, aku ingin tahu, aku ini anak siapa?”

“Paksi” Wajah ibunya menjadi tegang Dengan nada datar ia pun bertanya, “Aku tidak tahu maksudmu”

“Ibu” berkata Paksi yang masih berdiri bertumpu pada tongkatnya, “aku ini anak siapa? Aku mendapat keterangan bahwa aku bukan anak Ki Tumenggung Sarpa Biwada. Lalu aku anak siapa? Apakah aku anak tirinya? Apakah aku sudah ada ketika Ibu menikah dengan Ki Tumenggung Sarpa Biwada? Lalu bagaimanakah dengan ceritera Ibu, bahwa Ibu hadir ketika ayah diwisuda menjadi pandega dengan pangkat rangga pada hampir duapuluh tahun yang lalu itu? Bukankah Ibu menceriterakan bahwa waktu itu aku masih berada di dalam kandungan. Atau barangkali yang Ibu maksud laki-laki yang diwisuda itu bukan Ki Sarpa Biwada?”

“Paksi. Paksi. Siapakah yang mengatakannya? Pertanyaanmu aneh dan tidak aku mengerti”

“Pertanyaanku sederhana, Ibu. Apakah aku anak Sarpa Biwada atau bukan?”

Wajah ibunya menjadi tegang. Dipeganginya kedua lengan Paksi yang kokoh. Didorongnya Paksi perlahan-lahan sambil berkata, “Duduklah, Paksi. Duduklah”

Paksi memang tidak dapat menolak. Paksi pun kemudian duduk di sebuah lincak bambu tutul yang panjang. Sementara ibunya duduk di sampingnya.

“Paksi” suara ibunya pun terasa bergetar, “siapakah yang mengatakan kepadamu?”

Paksi pun kemudian menceriterakan dengan patah-patah apa yang telah terjadi. Ia berusaha mengajak adiknya pulang. Tetapi jawab adiknya itu sangat menyakitkan hatinya.

“Katakan, Ibu, apakah yang dikatakan ayah kepada adikku itu benar? Jika benar, lalu apa yang telah terjadi dengan Ibu pada waktu itu?”

Ibunya termangu-mangu sejenak. Namun kemudian matanya menjadi basah. Ia tidak menahan lagi tangisnya meskipun ia berusaha.

Pada saat itu, adik perempuan Paksi berlari-lari masuk ke serambi. Gadis kecil itu terkejut melihat keadaan Paksi serta ibunya yang menangis.

“Kakang, Kakang Paksi. Kau kenapa?”

Pakaian Paksi masih berlumuran darah. Sementara ibunya berusaha mengusap matanya. Tetapi tangisnya tidak juga mereda.

“Ibu, kenapa?”

“Kakakmu Paksi terluka”

“Siapa yang melukaimu, Kakang? Siapa?”

Paksi mengusap rambut adiknya. Jika benar kata-kata adik laki-lakinya, maka adik perempuannya itu pun bukan adiknya seayah. Itu sangat menyakitkan. Meskipun dengan demikian Paksi dapat memecahkan satu teka-teki yang selama ini membebaninya, kenapa ayahnya ingin membunuhnya.

“Kakang. Marilah, aku cuci luka Kakang. Luka itu harus diobati”

“Nanti. Nanti saja anak manis”

“Jangan ditunda-tunda lagi, Kang. Ibu, luka Kakang sangat berbahaya. Kakang Paksi akan dapat menjadi pingsan”

“Ya, ya, manis” sahut ibunya. “Marilah Paksi, aku obati luka-lukamu”

Paksi tidak menjawab. Ibunya itu pun kemudian beranjak pergi untuk mengambil air hangat.

“Lepaskan bajumu, Paksi” desis ibunya kemudian.

Paksi tidak menolak ketika ibunya kemudian mencuci luka-lukanya dengan air hangat. Namun ibunya itu pun kemudian berkata kepada anak gadis kecilnya, “Tinggalkan kakakmu, Nduk. Tidak baik kau melihat luka-luka yang di tubuh kakakmu”

“Aku akan membantu Ibu membersihkan luka-luka Kakang Paksi, Ibu”

Ibunya memaksa bibirnya untuk tersenyum sambil berkata, “Tidak, Nduk. Tinggalkan kakakmu bersama ibu”

Gadis kecil itu termangu-mangu sejenak. Namun ia pun meninggalkan serambi itu, masuk ke ruang dalam. Setelah menutup pintu, maka ibunya mulai membersihkan lagi luka Paksi. Namun Paksi yang tidak dapat menahan gejolak perasaannya itu pun mendesaknya, “Ibu, aku ingin mendengar jawaban Ibu”

Ibu Paksi menarik nafas dalam-dalam. Sambil membersihkan luka-luka Paksi, ibunya itu pun berkata, “Kau benar-benar ingin mendengarnya, Paksi?”

“Ya, Ibu. Apa pun bunyinya, aku ingin mendengarnya”

Ibu Paksi menarik nafas dalam-dalam. Namun dari pelupuknya mulai menitik air matanya.

“Paksi” berkata ibunya kemudian. Suaranya bergetar di sela-sela isaknya yang mulai menekan dadanya. Bagaimanapun juga ibu Paksi itu berusaha, tetapi perempuan itu pun menangis. “Kau sudah dewasa, Paksi. Umurmu sudah melampaui tujuh belas. Karena itu, biarlah kau mendengar tentang dirimu yang sebenarnya”

Suara ibunya terputus oleh isaknya. Bahkan ibunya itu pun kemudian duduk di sebelah Paksi. Tangannya tidak lagi kuasa bergerak membersihkan luka-luka di tubuh anak laki-lakinya itu.

Paksi tidak mendesaknya. Hatinya mulai luluh mendengar tangis ibunya. Perlahan-lahan di sela-sela isaknya ibunya itu pun berceritera tentang dirinya sendiri di masa gadisnya.

“Laki-laki itu baik sekali, Paksi” berkata ibunya.

“Jika laki-laki itu baik sekali, kenapa ia meninggalkan Ibu yang sudah menjadi hamil?”

Tangis ibunya semakin menekan dadanya. Dengan susah payah ibunya mencoba menahan agar tangisnya itu tidak meledak.

“Ibumu ini hampir saja dibunuh oleh kakekmu pada waktu itu. Aku sudah mencemarkan nama baik keluargaku”

“Kenapa laki-laki itu pergi meninggalkan Ibu?”

“Ia tidak sengaja pergi meninggalkan Ibu, Ngger. Tetapi ia adalah seorang prajurit. Tiba-tiba saja ia mendapat tugas untuk membasmi sekelompok perampok yang sangat ganas. Duapuluh lima orang yang berangkat. Hanya lima belas orang yang kembali. Delapan orang diketemukan mayatnya, tetapi dua orang dinyatakan hilang, karena tubuhnya tidak diketemukan. Di antara kelima belas orang yang kembali itu pun ada yang terluka bahkan parah”

“Laki-laki itu termasuk yang tidak diketemukan?”

“Ya. Aku tidak yakin bahwa ia meninggal. Tetapi laki-laki itu memang tidak kembali”

“Kenapa laki-laki itu tidak kembali, Ibu?”

Ibunya menggelengkan kepalanya.

“Seandainya ia memang tidak mati, ia sengaja menghilang dari pasukannya agar ia tidak harus bertanggung jawab atas perbuatannya” desak Paksi.

“Tidak. Itu tidak benar”

“Jadi?”

“Ia bukan seorang pengecut. Ia seorang laki-laki sejati. Pada suatu saat, iblis memang berhasil mencengkam jiwa kami, sehingga yang terkutuk itu telah terjadi. Tetapi ia tentu tidak lari. Jika ia tidak kembali, tentu ada sebabnya. Dan akhirnya, aku pun tahu apa sebabnya”

“Apa sebabnya, Ibu?”

Tangis ibunya mereda. Ditatapnya mata Paksi sehingga anak muda itu justru memalingkan wajahnya.

“Paksi, laki-laki itu terluka parah. Bersama seorang kawannya ia memang terpisah. Tetapi keduanya justru berhasil memasuki sarang perampok itu. Meskipun lawannya terlalu banyak, namun keduanya berhasil menghancurkan sarang itu. Membunuh beberapa orang di antara mereka, sedangkan yang lain berlari bercerai-berai. Ada di antara para perampok itu yang kemudian ternyata jatuh ke tangan para prajurit. Tetapi kedua orang itu terluka parah. Pada saat terakhir, keduanya terjerumus ke dalam jurang yang dalam. Itulah sebabnya, keduanya tidak dapat diketemukan oleh kawan-kawannya”

“Darimana Ibu tahu?”

“Kedua prajurit yang akhirnya berhasil menyelamatkan dirinya, keduanya dirawat oleh orang padukuhan di bawah jurang yang dalam itu sehingga keduanya sembuh. Tetapi untuk itu, dibutuhkan waktu yang panjang. Sementara itu, aku tidak dapat lagi menyembunyikan keadaanku”

“Laki-laki itu datang menemui Ibu?”

“Ya. Kedua laki-laki itu datang menemui ibu. Tetapi sudah terlambat. Ibu sudah melahirkan seorang anak laki-laki”

“Tanpa ayah?”

“Ayahnya adalah Ki Rangga Sarpa Biwada”

“Bagaimana itu terjadi?”

“Kakekmu juga seorang prajurit. Seorang prajurit muda telah bersedia menikahi aku dengan syarat, bahwa segala warisan kakekmu akan jatuh ke tangannya”

“Prajurit muda itu Ki Rangga Sarpa Biwada?”

“Ya. Tetapi ia belum rangga waktu itu”

“Jadi apa yang dikatakan adikku itu benar?”

Ibu Paksi itu menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Bagaimanapun juga ia bertahan, namun akhirnya tangisannya tidak terbendung lagi.

“Inilah ibumu, Paksi. Selama ini aku berusaha untuk menyembunyikannya. Tetapi aku sadar, bahwa pada suatu saat kau tentu akan mengetahuinya juga. Apalagi saat ini sikapmu terhadap Pajang yang bertentangan dengan sikap Ki Tumenggung Sarpa Biwada, sehingga kau dan Ki Tumenggung tidak akan dapat hidup bersama-sama lagi dalam satu keutuhan keluarga. Ki Tumenggung itu nampaknya benar-benar ingin membunuhmu”

“Ya. Aku merasakannya”

“Bahkan sejak belum pecah persoalan Harya Wisaka”

“Ayah memang telah mengusirku dengan tugas yang tidak masuk akal itu”

“Ayahmu merasa cemas, bahwa pada suatu saat, kau akan menuntut hakmu. Rumah ini dan segala isinya adalah milik kakekmu”

“Aku tidak pernah berpikir tentang warisan”

“Aku percaya. Tetapi Ki Tumenggung tidak mempercayaimu. Bahkan kau menjadi duri di dalam dagingnya. Karena itu, kau harus diungkit dan disingkirkan jauh-jauh”

“Jika saja aku tahu”

“Paksi” suara ibunya meninggi, “aku minta maaf kepadamu. Selama ini aku berusaha mengelabuhimu, seolah-olah aku adalah seorang ibu yang baik. Tetapi sekarang kau melihat kenyataanku. Aku memang bukan seorang bidadari yang hatinya selembut dan seputih kapas”

“Cukup, Ibu” Paksi pun bangkit berdiri. Wajahnya menjadi tegang. Dipandanginya wajah ibunya dengan tajamnya. Dengan suara yang memberat Paksi pun bertanya, “Siapakah laki-laki itu?”

Isak ibunya menjadi semakin menyesakkan dada. Namun ia menggeleng sambil berkata, “Aku tidak dapat mengatakannya, Paksi. Laki-laki itu tidak ada lagi di Pajang”

“Dimana?”

“Aku tidak tahu”

Paksi menggeram. Namun tiba-tiba saja tubuhnya menjadi sangat lemah. Paksi pun kemudian terduduk di amben itu pula. Tubuhnya bagaikan tidak bertulang lagi.

“Paksi” desis ibu Paksi itu sambil mengusap kedua pipi anaknya.

“Aku tidak apa-apa, Ibu. Tetapi kenyataan ini terasa sangat pahit bagiku”

“Aku mengerti, Paksi. Maafkan ibumu ini. Aku telah menyembunyikan dosa ini hampir selama dua puluh tahun”

Paksi tidak menjawab.

“Selama ini aku selalu berpura-pura bersih. Di hadapanmu aku bersikap seakan-akan seorang ibu yang baik, yang lembut dan tidak bersalah. Aku menjadi seolah-olah ibu yang arif yang mencintai dan mengabdikan hidupnya bagi keluarganya. Tetapi kau sekarang mengetahui, Paksi, bahwa semua itu adalah pura-pura belaka. Tidak ada yang bersih. Tidak ada yang tidak bernoda. Tidak ada pula yang arif”

Paksi menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia masih tetap berdiam diri. Namun ketika terdengar giginya gemeretak, maka darahnya mulai mengalir lagi dari luka-lukanya.

“Paksi, usahakan tenangkan hatimu. Gejolak jantungmu dapat menekan darahmu keluar dari luka-lukanya”

Paksi masih tetap berdiam diri. Sementara ibunya mulai lagi mencuci luka-luka di tubuh Paksi.

“Kau membawa obat untuk luka-lukamu?”

Paksi tidak menjawab. Tetapi diambilnya sebuah kantong kecil di kantong ikat pinggangnya yang lebar.

Ibunya tidak bertanya lagi. Ia mengerti bagaimana menggunakan obat yang berupa serbuk yang tidak begitu lembut itu.

Ketika bubuk ramuan obat untuk luka baru itu ditaburkan di luka-luka Paksi, maka Paksi pun harus mengatupkan giginya rapat-rapat. Luka-lukanya terasa sangat pedih.

Tetapi Paksi sudah tahu, bahwa akibat sentuhan obat itu, luka-lukanya tentu akan terasa pedih dan panas, bahkan seperti tersentuh bara. Namun dalam pada itu, selagi luka-luka Paksi sedang diobati, pintu serambi samping yang ditutup itu diketuk perlahan-lahan.

“Ibu, Ibu” suara adik perempuan Paksi.

“Apa, Nduk?”

“Ada dua orang tamu, Ibu. Rasa-rasanya aku mengenal mereka berdua. Kawan Kakang Paksi”

Paksi pun segera bangkit. Dikenakannya baju dan disambarnya tongkatnya.

“Hati-hati, Paksi”

Paksi dan ibunya pun kemudian pergi ke pintu pringgitan yang sedikit terbuka. Ketika adik perempuan Paksi masuk ke dalam, pintu itu tidak ditutupnya dengan rapat.

Jantung Paksi berdesir. Dari celah-celah pintu itu ia melihat Raden Sutawijaya dan Pangeran Benawa berdiri di depan tangga pendapa. Karena itu, maka dengan tergesa-gesa Paksi pun keluar lewat pintu yang sedikit terbuka itu.

“Marilah, Pangeran. Marilah, Raden” Paksi mempersilahkan.

Ibunya, yang matanya masih pengab, telah menyusul Paksi dan mempersilahkan pula Pangeran Benawa dan Raden Sutawijaya untuk naik.

Raden Sutawijaya dan Pangeran Benawa terkejut melihat keadaan Paksi. Baju yang dipakai Paksi dengan tergesa-gesa itu adalah bajunya yang bernoda darah. Karena itu, dengan tergesa-gesa keduanya mendekati Paksi.

Dengan serta-merta Pangeran Benawa pun bertanya, “Kau kenapa, Paksi?”

“Silahkan duduk, Pangeran. Silahkan duduk, Raden”

Keduanya pun kemudian duduk di pringgitan. Sementara ibu Paksi itu pun berkata, “Silahkan, Raden. Aku mohon diri ke belakang. Silahkan, Pangeran”

“Silahkan, Bibi. Tetapi Bibi tidak usah menjadi sibuk karena kedatangan kami”

“Tidak, Pangeran. Tidak”

Demikian ibu Paksi itu hilang di balik pintu pringgitan, maka Pangeran Benawa pun mengulangi pertanyaannya, “Kau kenapa, Paksi?”

Sebelum Paksi menjawab, Raden Sutawijaya pun berkata, “Kami menjadi sangat cemas, bahwa kau tidak datang pada waktunya. Ketika kami menelusuri jalan yang mungkin kau lalui, kami mendapat keterangan bahwa telah terjadi pertempuran antara beberapa orang yang tidak dikenal. Di antara mereka adalah seorang penjual gerabah yang kuda serta dagangannya diketemukan. Tetapi penjual gerabahnya tidak ada di sekitar tempat itu. Yang mereka ketemukan hanyalah tiga sosok mayat”

“Yang Maha Agung masih melindungi hamba” berkata Paksi, “tetapi hamba terluka”

“Kaukah yang membunuh ketiga orang itu?” bertanya Pangeran Benawa.

Paksi menundukkan kepalanya. Katanya, “Hamba tidak mempunyai pilihan lain”

“Kau memang tidak mempunyai pilihan lain, Paksi. Nampaknya kau terluka cukup parah” berkata Raden Sutawijaya.

“Itulah sebabnya aku tidak kembali ke tempat yang kita tentukan. Aku tidak akan dapat menghindari perhatian orang kepadaku. Baju yang berbercak darah, tubuh yang lemah dan seluruh keadaanku yang nampak parah. Tetapi aku dapat menyelinap lewat lorong-lorong sempit mencapai rumah ini. Baru kemudian aku akan pergi menemui Raden dan Pangeran Benawa”

Pangeran Benawa pun kemudian sempat melihat luka-luka Paksi yang sudah diobati oleh ibunya. Namun masih jelas, betapa parahnya luka-luka di tubuh Paksi.

Namun sebenarnyalah bahwa pedih luka di tubuh Paksi itu tidak sepedih luka di hati Paksi. Tetapi Paksi tidak mengatakannya kepada Pangeran Benawa dan Raden Sutawijaya, apa yang sebenarnya terjadi pada dirinya seutuhnya. Paksi pun kemudian hanya menceriterakan, bahwa ia telah bertemu dengan tiga orang pengikut ayahnya yang tentu pengikut Harya Wisaka pula.

“Mereka dapat mengenali aku” berkata Paksi.

“Ternyata kau mampu mengatasinya”

“Yang Maha Agung masih melindungi aku”

Pangeran Benawa dan Raden Sutawijaya itu pun mengangguk-angguk. Namun kemudian Pangeran Benawa itu pun bertanya, “Sekarang, apa yang akan kau lakukan? Apakah kita akan kembali ke barak?”

Paksi tidak segera menjawab. Wajahnya membayangkan keragu-raguan. Tubuhnya masih terasa lemah sekali. Sedangkan jika mereka kembali ke barak, mereka harus berjalan kaki.

Dalam pada itu, Raden Sutawijaya pun berkata, “Menurut pendapatku, kita bermalam saja di rumahku. Biarlah beberapa orang prajurit pergi ke padepokan, memberitahukan bahwa kita bermalam di kotaraja, agar seisi padepokan tidak menjadi gelisah menunggu. Nampaknya kau masih perlu beristirahat”

“Aku dapat bermalam disini” berkata Paksi.

“Kita tidak dapat mengingkari kenyataan, bahwa para pengikut Harya Wisaka masih berkeliaran. Jika kau bermalam disini, kemungkinan buruk itu dapat terjadi. Kecuali jika ayah mengirimkan sekelompok petugas untuk mengawasi langsung rumah ini”

Paksi menarik nafas panjang. Tentu ia tidak ingin menyibukkan beberapa orang prajurit untuk menjaganya. Sementara itu, tubuhnya masih terasa sangat lemah.

Karena itu, maka Paksi pun kemudian berkata, “Baiklah, Raden. Aku akan mengikuti Raden”

Namun Raden Sutawijaya dan Pangeran Benawa tidak tergesa-gesa. Mereka masih berada di rumah Paksi itu untuk beberapa lama. Sementara itu adik perempuan Paksi menghidangkan minuman dan beberapa potong makanan bagi tamu-tamu Paksi itu.

“Biarlah aku berganti pakaian agar tidak menarik perhatian orang di sepanjang jalan” berkata paksi kemudian.

Setelah mempersilahkan tamunya minum dan makan makanan yang dihidangkan maka Paksi pun masuk ke ruang dalam. Kepada ibunya Paksi minta pakaian yang bersih untuk dipakainya.

“Kau akan kemana, Paksi?” bertanya ibunya.

“Aku akan pergi ke rumah Raden Sutawijaya”

“Kau akan bermalam disana?”

“Ya. Besok aku akan kembali ke padepokan”

“Kapan kau datang lagi menemui ibu?”

“Aku tidak dapat mengatakan”

“Masih ada yang ingin aku jelaskan, Paksi”

“Tidak. Semuanya sudah jelas. Tidak ada lagi yang perlu dijelaskan”

“Aku mohon kau bersedia mendengarkannya, Paksi”

“Tidak perlu. Aku sudah mengerti seluruhnya apa yang terjadi. Untuk seterusnya Ibu tidak usah memikirkan aku”

“Paksi. Kau jangan menambah beban di hatiku”

“Tidak. Aku justru ingin mengurangi beban Ibu. Jangan pikirkan aku lagi. Aku orang yang tidak dikehendaki berada di dalam lingkungan keluarga ini”

“Paksi”

Paksi tidak menjawab. Tetapi ia berkata, “Beri aku pakaian yang ada, Ibu”

Ibunya memang masih menyimpan pakaian Paksi. Karena itu, maka ibunya pun telah memberikan sepengadeg pakaian yang terbaik.

Tetapi Paksi menolak. Katanya, “Ibu lihat pakaian Pangeran Benawa dan Raden Sutawijaya? Pantaskah aku, Paksi anak tidak berayah, ini memakai pakaian seperti ini?”

“Paksi. Berhentilah menusuk perasaan ibumu dengan kata-katamu. Aku sudah mengatakan, bahwa aku bersalah. Aku telah hidup dalam kepura-puraan selama hampir duapuluh tahun. Aku sudah mengaku, betapa kotornya hati ibu ini. Aku sudah mengatakan bahwa hampir saja kakekmu membunuhku”

Paksi tidak menjawab, sementara ibunya berkata selanjutnya, “Aku menyesal kenapa kakekmu tidak jadi membunuhku. Aku menyesal bahwa ada juga seorang anak muda seperti Sarpa Biwada yang bersedia menjual dirinya menikahi aku seharga harta warisan kakekmu. Paksi, jika aku mati saat itu, aku tidak akan mengalami perlakuan sekeji ini dari anakku sendiri”

Ibunya menangis lagi. Ditutupnya wajahnya dengan pakaian Paksi yang dikembalikan kepadanya itu. Diusapnya matanya yang basah dan diciumnya pakaian Paksi sambil berkata di sela-sela isaknya, “Paksi, sekarang aku tidak berhak lagi menciummu, Ngger. Tetapi aku akan menerima kenyataan ini betapapun pahitnya. Dosa yang sudah aku jalani memang harus mendapat hukuman”

Jantung Paksi pun bergetar. Tiba-tiba saja ia berjongkok di depan ibunya sambil memeluk kakinya, “Maafkan aku, Ibu”

“Paksi. Paksi”

Didekapnya kepala anaknya. Sementara tangisnya menjadi semakin keras. Adik perempuan Paksi bukan lagi kanak-kanak. Ia sudah menjadi remaja, sehingga anak itu sudah dapat menangkap getar kepahitan hidup ibu dan kakaknya. Meskipun ia tidak tahu sebab yang sebenarnya, namun ia ikut mengusap air matanya ketika ia melihat ibunya memeluk kepala kakaknya.

Beberapa saat kemudian Paksi pun bangkit berdiri sambil berdesis, “Ibu, aku minta pakaian yang sesuai dengan pakaian Raden Sutawijaya dan Pangeran Benawa”

Ibunya mengangguk.

Ketika ibunya masuk ke dalam biliknya, maka adik perempuan Paksi itu pun mendekatinya. Tetapi ia tidak bertanya apa yang sebenarnya terjadi, karena ia tahu, bahwa Paksi tentu tidak akan mengatakannya.

Paksi mengusap rambut adiknya yang lembut hitam lekam. Katanya dengan nada lembut, “Jaga Ibu baik-baik”

Adik perempuannya mengangguk kecil. Namun ia pun bertanya, “Apakah sekarang Kakang akan pergi?”

“Aku akan ikut Raden Sutawijaya dan Pangeran Benawa”

“Bukankah Kakang akan sering pulang?”

“Tentu. Tentu. Kakang akan sering pulang”

Sejenak kemudian, maka Paksi pun telah berganti pakaian. Kepada ibunya, Paksi berpesan, agar pakaiannya yang bernoda darah itu dibuang saja.

“Biarlah Karsa menguburnya di kebun belakang” jawab ibunya.

Sejenak kemudian, maka Paksi pun telah minta diri. Demikian pula Raden Sutawijaya dan Pangeran Benawa.

“Dalam kesempatan pertama, aku akan datang lagi, Ibu” berkata Paksi kepada ibunya. Kemudian kepada adik perempuannya Paksi berpesan, “Jangan nakal. Bantu Ibu, ya”

Adik perempuannya mengangguk.

Ibu dan adik perempuan Paksi itu pun melepas Paksi, Raden Sutawijaya dan Pangeran Benawa di regol halaman rumahnya.

Meskipun luka-lukanya sudah mampat, namun Paksi masih kelihatan letih. Kadang kadang ia masih bertumpu pada tongkatnya.

“Kau masih lemah, Paksi” berkata Pangeran Benawa.

Paksi mengangguk. Namun jawabnya, “Tetapi setelah minum dan makan keadaan hamba sudah menjadi semakin baik”

“Kita tidak tergesa-gesa” sahut Raden Sutawijaya. “Kita akan singgah untuk melihat apakah kuda-kuda beban kita masih ada”

“Tetapi kuda-kuda beban yang bermuatan gerabah akan dapat menarik perhatian, Raden” berkata Paksi. “Mungkin para pengikut Harya Wisaka. Tetapi mungkin para prajurit yang datang ke tempat pertempuran itu”

Raden Sutawijaya mengangguk-angguk. Katanya, “Kau benar, Paksi. Jadi apakah sebaiknya kita tinggalkan saja kuda itu disana?”

“Ya, Raden. Menurut pendapatku, kita tinggalkan saja kuda-kuda beban itu”

“Aku sependapat” sahut Pangeran Benawa. “Tetapi tidak ada salahnya jika kita lewat dan melihat apakah kuda-kuda beban itu masih disana”

Ketiganya pun kemudian berjalan melewati tempat mereka bertiga sepakat untuk bertemu. Di tempat itu Raden Sutawijaya dan Pangeran Benawa menunggu Paksi. Tetapi Paksi tidak kunjung datang, karena Paksi langsung pulang ke rumahnya.

Namun Paksi tidak mengatakan kepada Pangeran Benawa dan Raden Sutawijaya, dorongan apakah yang memaksanya langsung pulang menemui ibunya. Pangeran Benawa dan Raden Sutawijaya menduga, bahwa Paksi pulang untuk segera mengobati luka-lukanya yang parah serta mencari pakaian yang lain yang tidak koyak-koyak dan bernoda darah.

Namun langkah mereka tertahan ketika mereka mendekati tempat Raden Sutawijaya dan Pangeran Benawa meninggalkan kuda-kuda beban mereka.

“Ada sekelompok prajurit” desis Raden Sutawijaya.

Pangeran Benawa pun menyahut, “Kita melihat dari tempat ini. Apa yang dilakukan oleh para prajurit itu”

Ketiga orang itu pun kemudian berhenti. Raden Sutawijaya berdiri di sisi lain, sedangkan Pangeran Benawa dan Paksi berdiri bersandar dinding halaman rumah di pinggir jalan itu.

Ternyata para prajurit itu telah membawa kedua kuda beban yang ditinggalkan oleh Raden Sutawijaya dan Pangeran Benawa.

“Kita tidak akan dapat membawa kuda beban berkeliling lewat lorong-lorong sempit lagi” berkata Pangeran Benawa.

“Ya” Paksi mengangguk-angguk, “ketika para prajurit itu menemukan tiga sosok mayat dan kuda beban yang aku tinggalkan, maka mereka pun mencurigai setiap kuda beban”

Namun beberapa saat kemudian, para prajurit itu pun pergi sambil membawa kuda beban yang membawa gerabah itu. Sedangkan beberapa orang yang mengerumuninya telah pergi pula seorang demi seorang.

Demikian para prajurit itu pergi, maka Raden Sutawijaya telah mengajak Pangeran Benawa dan Paksi melanjutkan perjalanan.

“Kau tidak apa-apa, Paksi?” bertanya Pangeran Benawa.

“Tidak, Pangeran” jawab Paksi.

Bertiga mereka pun melanjutkan perjalanan menuju ke rumah Ki Gede Pemanahan. Ketika mereka sampai di rumah itu, maka mereka pun segera memberikan laporan kepada Ki Gede tentang peristiwa yang dialami oleh Paksi ketika ia menjajakan gerabah dengan kuda bebannya.

“Syukurlah bahwa kau berhasil mengatasi mereka bertiga, Paksi”

“Ya, Ki Gede. Aku mengucap syukur atas perlindungan Yang Maha Agung”

“Apakah mereka bertiga mengenalimu?”

“Ya, Ki Gede. Mereka mengenali aku, anak Tumenggung Sarpa Biwada”

“Apakah mereka akan menangkapmu atau membunuhmu?”

“Agaknya perintah yang mereka terima adalah membunuhku di tempat. Tidak menangkapku”

Ki Gede Pemanahan menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada dalam ia pun berkata, “Bagaimana mungkin Ki Tumenggung itu memerintahkan untuk membunuh anaknya?”

“Tetapi itulah yang terjadi, Ki Gede” sahut Paksi.

“Baiklah. Kau beristirahat disini. Biarlah nanti prajurit penghubung pergi ke padepokan di Hutan Jabung untuk memberitahukan bahwa kalian bertiga tidak pulang malam ini, sehingga Ki Panengah dan Ki Waskita tidak menjadi gelisah”

Demikianlah, maka malam itu Paksi berada di rumah Ki Gede Pemanahan. Di rumah Ki Gede, Paksi mendapat pengobatan yang lebih baik. Bukan sekedar obat yang ditaburkan di atas luka-lukanya saja, tetapi ia pun mendapat minuman yang dapat memacu pulihnya kekuatannya.

“Kau harus makan yang banyak” berkata Raden Sutawijaya ketika mereka makan malam, “dengan demikian kekuatanmu akan segera pulih kembali”

Paksi tersenyum. Sambil menyenduk nasi ke mangkuknya ia berkata, “Aku berani bertaruh, siapkah yang terbanyak makan di antara kita”

Raden Sutawijaya dan Pangeran Benawa tertawa. Tetapi sebenarnyalah mereka bertiga makan dengan lahapnya.

Malam itu mereka bertiga dapat tidur dengan nyenyak. Meskipun Paksi beberapa kali terbangun oleh perasaan pedih yang masih terasa di luka-lukanya, namun kemudian ia pun segera tertidur lagi.

Ketika mereka bangun di pagi-pagi sekali, keadaan Paksi sudah menjadi semakin baik. Tenaganya serasa telah tumbuh kembali, meskipun belum utuh. Namun Paksi tidak lagi merasa dirinya terlalu lemah.

Tetapi ternyata Raden Sutawijaya minta agar mereka tidak segera kembali ke padepokan hari itu juga. Ia masih memikirkan keadaan Paksi yang masih belum pulih sepenuhnya.

“Tetapi Hutan Jabung itu tidak terlalu jauh” berkata Paksi kepada Raden Sutawijaya.

“Bukan jaraknya, tetapi kita bisa bertemu dengan para pengikut Harya Wisaka. Jika mereka tahu kaulah yang membunuh ketiga orang pengikutnya, maka mereka tentu sangat mendendammu”

Paksi menarik nafas dalam-dalam. Namun ia masih sempat berkata, “Jika saja aku dapat menangkap mereka hidup-hidup atau salah seorang dari mereka”

“Jangan kau sesali” berkata Pangeran Benawa. “Sulit bagimu untuk melakukannya. Jika sedikit saja kau salah hitung, maka kaulah yang akan menjadi korban”

Paksi tidak menjawab. Tetapi ia tidak memaksa untuk kembali ke padepokan.

Hari itu, Paksi benar-benar beristirahat bersama Raden Sutawijaya dan Pangeran Benawa. Pangeran Benawa bahkan tidak pergi ke istana. Ia tetap saja berada di rumah Ki Gede Pemanahan.

Selain beristirahat dengan baik, Paksi pun mendapat obat yang ternyata dapat bekerja dengan sangat baik bagi tubuhnya. Kekuatannya tumbuh semakin pesat sehingga rasa-rasanya telah pulih kembali.

Setiap kali Paksi makan bersama Raden Sutawijaya dan Pangeran Benawa, maka mereka selalu mendorong Paksi untuk makan sebanyak-banyaknya. Baru pada hari berikutnya, mereka pun minta diri untuk kembali ke Hutan Jabung.

Ketika mereka minta diri kepada Ki Gede Pemanahan, maka Ki Gede itu pun bertanya, “Kalian tidak membawa kuda?”

“Tidak, Ayah. Kami kemarin lusa membawa kuda beban yang agaknya telah diambil oleh sekelompok prajurit”

Ki Gede tersenyum, ia pun kemudian bertanya kepada Raden Sutawijaya, “Apakah kalian akan membawa kuda?”

“Tidak, Ayah” Raden Sutawijaya menggeleng. “Kami akan berjalan kaki saja. Bukankah Hutan Jabung tidak terlalu jauh. Bahkan mungkin kami dapat melihat sesuatu yang berarti di sepanjang perjalanan kami”

“Berhati-hatilah. Mungkin kalian menjumpai sesuatu yang berarti. Tetapi mungkin pula kalian menjumpai orang-orang yang sedang mendendam itu”

“Baik, Ayah” jawab Raden Sutawijaya.

“Bagaimana keadaanmu, Paksi?” bertanya Ki Gede.

“Keadaanku sudah berangsur baik, Ki Gede” jawab Paksi.

“Apakah tenagamu sudah pulih kembali?”

“Meskipun belum sepenuhnya, tetapi sudah cukup memadai, Ki Gede”

“Baiklah. Jika demikian, pergilah”

Demikianlah beberapa saat kemudian, ketiga orang itu pun telah meninggalkan rumah Ki Gede Pemanahan. Mereka tidak langsung keluar gerbang kota. Tetapi dengan penyamaran mereka, ketiganya berjalan-jalan lebih dahulu di dalam kota.

Tetapi mereka tidak menjumpai sesuatu yang menarik perhatian mereka. Mereka tidak melihat laki-laki yang memikul bahan pangan atau membawa di atas kepalanya bakul berisi beras atau jagung. Nampaknya setelah ketiga orangnya terbunuh, Harya Wisaka menjadi semakin berhati-hati.

Ketika matahari menjadi semakin tinggi, maka ketiga orang itu pun kemudian keluar dari pintu gerbang kota yang mendapat pengawasan yang seksama. Namun tidak seorang pun di antara para prajurit yang bertugas yang dapat mengenali Raden Sutawijaya, Pangeran Benawa dan Paksi meskipun setiap orang yang lewat, keluar atau masuk, diperhatikan oleh para penjaga pintu gerbang dengan saksama. Bahkan orang-orang yang duduk di dalam pedati pun tidak luput dari pengawasan.

Namun yang ditanamkan kepada para prajurit yang bertugas itu adalah ciri-ciri Harya Wisaka dan beberapa orang pengikutnya yang terpenting. Karena itu, mereka yang tidak sesuai dan bahkan tidak mendekati ciri-ciri yang telah mereka ketahui itu, seakan-akan tidak lagi mendapat banyak perhatian.

Di perjalanan kembali ke padepokannya, Raden Sutawijaya, Pangeran Benawa dan Paksi itu tidak mendapat hambatan yang berarti. Sementara itu, keadaan Paksi pun telah menjadi benar-benar hampir pulih. Ia tidak merasa letih dalam perjalanannya kembali ke Hutan Jabung. Luka-lukanya pun sudah tidak terasa nyeri lagi, meskipun masih harus mendapat pengobatan.

Kedatangan mereka disambut oleh Ki Panengah, Ki Waskita dan Ki Kriyadama serta para penghuni padepokan itu. Bahkan dua tiga orang pemimpin prajurit yang ikut bekerja di padepokan itu telah menyambutnya pula.

“Menurut prajurit penghubung yang memberitahukan bahwa kalian tidak dapat pulang. Paksi telah terluka parah” berkata Ki Panengah.

“Ya, Guru” jawab Paksi. “Tetapi luka itu sudah mulai membaik. Aku mendapat obat dari Ki Gede Pemanahan”

“Syukurlah” Ki Kriyadama mengangguk-angguk. “Meskipun demikian, kau harus masih banyak beristirahat”

“Ya, Ki Kriyadama” Paksi mengangguk-angguk.

Sementara itu Ki Waskita telah langsung melihat luka-luka Paksi. Namun katanya kemudian, “Tentu sudah jauh lebih baik dari saat kau terluka”

“Ya, Guru” jawab Paksi.

“Sekarang beristirahatlah. Pengobatan itu harus dilanjutkan. Apakah kau mendapat obatnya dari Ki Gede?”

“Ya, Guru”

“Bagus. Dalam tiga empat hari, maka segala-galanya tentu sudah akan pulih kembali. Luka-luka ini sudah akan sembuh. Mungkin masih tersisa. Tetapi sudah tidak akan berpengaruh apa-apa lagi”

“Ya, Guru”

Paksi pun kemudian telah pergi ke biliknya. Seperti yang dikatakan oleh Ki Waskita, Ki Panengah dan Kriyadama, Paksi pun harus banyak beristirahat.

Raden Sutawijaya dan Pangeran Benawa berada di bilik Paksi itu sejenak, namun mereka pun kemudian telah keluar lagi.

Pangeran Benawa masih juga sempat berpesan, agar Paksi tidak usah memikirkan apa-apa lagi.

“Untuk sementara kita lupakan saja Paman Harya Wisaka”

“Ya, Pangeran”

“Tidur adalah salah satu pengobatan yang baik. Darahmu sudah terlalu banyak keluar. Meskipun kau merasa bahwa tenagamu sudah akan pulih kembali, tetapi karena darahmu terlalu banyak terperas dari luka-lukamu, kau masih memerlukan waktu untuk dapat pulih kembali”

“Ya, Raden”

Ketika Raden Sutawijaya dan Pangeran Benawa keluar dari bilik Paksi, maka Paksi memang membaringkan tubuhnya di amben bambu. Sebenarnya ia memang merasa letih setelah menempuh perjalanan yang tidak begitu jauh. Dalam keadaan yang wajar, ia tidak akan merasa letih meskipun harus menempuh perjalanan sepuluh kali lipat. Tetapi pada saat darahnya telah banyak terperas, maka rasa-rasanya tenaganya pun menyusut.

Karena itu, maka Paksi pun sadar, bahwa ia harus banyak beristirahat untuk dapat menjadi pulih segala-galanya. Namun ketika Paksi itu tinggal berbaring sendiri di dalam biliknya, maka angan-angannya pun mulai merambah keluarganya. Ia mulai mengingat-ingat lagi bagaimana adiknya berkata kepadanya, bahwa Paksi bukanlah kakaknya. Pengakuan ibunya serasa terngiang kembali di telinganya, bahwa Paksi memang bukan anak Ki Tumenggung Sarpa Biwada.

Ingatan itu telah membuat Paksi menjadi gelisah. Dengan susah payah ia berusaha untuk melupakannya. Setidak-tidaknya untuk sementara. Ia ingin tubuhnya menjadi pulih kembali tanpa terhambat oleh kegelisahan yang mencengkam jantungnya.

Tetapi Paksi tidak berhasil. Bahkan ingatannya tentang kata-kata adiknya dan pengakuan ibunya itu terasa semakin dalam tertanam di dalam hatinya.

“Ah” Paksi pun segera bangkit. Udara terasa menjadi semakin panas. Justru karena itu, maka Paksi pun telah bangkit dan melangkah keluar. Bahkan kemudian Paksi pun duduk di serambi belakang.

Paksi masih mendengar kesibukan orang-orang yang sedang bekerja menyelesaikan padepokan di dekat Hutan Jabung itu.

Sebagian besar dari bangunannya sudah berdiri dengan kokohnya. Hari itu Paksi masih dapat menahan diri dan menyimpan persoalannya di dadanya. Ketika kemudian Raden Sutawijaya dan Pangeran Benawa minta Paksi masuk ke dalam biliknya, Paksi pun berkata, “Udara terasa panas sekali di dalam bilik”

Raden Sutawijaya dan Pangeran Benawa tidak memaksanya. Agaknya di luar udara terasa lebih sejuk. Apalagi jika angin bertiup dari arah Hutan Jabung.

Ketika tekanan perasaannya itu memuncak, maka Paksi pun telah menemui Ki Panengah dan Ki Waskita di dalam ruang khusus mereka.

“Aku ingin berbicara dengan guru berdua” berkata Paksi kemudian.

“Apa yang akan kau bicarakan, Paksi?”

“Tentang diriku sendiri, Guru” jawab Paksi.

Ki Panengah dan Ki Waskita mengerutkan dahinya. Sementara Paksi pun berkata, “Tetapi tidak dengan orang lain. Bahkan Raden Sutawijaya dan Pangeran Benawa sekalipun”

“Apakah ada rahasia yang menyelimuti dirimu?” bertanya Ki Waskita.

“Ya. Dan itu terasa sangat menyakitkan, Guru”

Ki Panengah menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Baiklah. Malam nanti, setelah kita keluar dari sanggar”

Paksi mengangguk-angguk.

Demikianlah, ketika matahari menjadi semakin rendah, maka mereka yang mengerjakan padepokan itu pun telah menyelesaikan pekerjaan mereka untuk hari itu. Mereka pun pergi membersihkan tubuh mereka. Kemudian membenahi pakaian.

Para cantrik pun telah beristirahat pula. Nanti, pada saat malam turun, mereka akan berada di dalam sanggar. Mereka berada di Hutan Jabung tidak semata-mata untuk mengerjakan padepokan yang akan mereka pergunakan itu saja. Tetapi mereka pun harus meningkatkan kemampuan dan ilmu mereka.

Ketika malam turun, maka seperti biasanya para cantrik telah bersiap untuk berlatih di dalam sanggar di bawah tuntunan sebagian oleh Ki Panengah dan sebagian oleh Ki Waskita. Sebagian mempergunakan sanggar tertutup dan sebagian mempergunakan sanggar terbuka di halaman padepokan yang lama.

Sutawijaya berada di sanggar bersama Ki Panengah, ada pun Pangeran Benawa berada di dalam sanggar bersama Ki Waskita. Mereka membantu Ki Panengah dan Ki Waskita menuntun para cantrik meningkatkan ilmu mereka......

Sementara itu Paksi masih belum ikut dalam latihan-latihan yang berat karena luka-lukanya serta tubuhnya yang belum pulih sepenuhnya.

Tapi menjelang tengah malam, setelah latihan-latihan itu selesai, serta Ki Panengah dan Ki Waskita telah mandi, maka Paksi pun menghadap keduanya di dalam bilik khususnya.

“Paksi” berkata Ki Panengah, “apa yang akan kau sampaikan kepada kami? Nampaknya kau telah membawa beban perasaan yang sangat berat”

“Ya, Guru” desis Paksi. “Aku merasa tidak kuat untuk memikulnya. Aku ingin menyampaikannya kepada guru berdua, agar beban itu terasa berkurang. Aku mohon petunjuk-petunjuk, apa yang sebaiknya aku lakukan”

“Katakan, Paksi” desis Ki Panengah.

Paksi pun kemudian telah menceriterakan, bahwa ia telah bertemu dengan adiknya. Namun ternyata bahwa dalam pertemuan itu jantungnya telah ditikam oleh satu kenyataan yang sangat pahit.

“Guru, ternyata aku bukan anak Ki Tumenggung Sarpa Biwada”

Ki Panengah dan Ki waskita saling berpandangan. Dahi mereka pun berkerut. Mereka memandang Paksi dengan dada yang berdebaran.

Paksi menundukkan kepala dalam-dalam. Dadanya terasa bergetar semakin cepat.

“Tenangkan hatimu, Paksi” berkata Ki Panengah. “Kenyataan ini memang sangat pahit. Tetapi bukankah lebih baik bagimu untuk mengetahui dengan pasti, siapakah dirimu, daripada selalu berteka-teki tentang sikap Ki Tumenggung Sarpa Biwada yang selalu mengancammu?”

“Aku sama sekali tidak menghiraukan, apakah aku terancam atau tidak, Guru. Tetapi aku harus menerima kenyataan tentang ibuku. Selain itu, jika aku telah memecahkan satu teka-teki yang rumit, namun aku telah menghadapi teka-teki lain yang lebih rumit lagi”

“Teka-teki apa lagi, Paksi?”

“Teka-teki siapakah ayahku itu. Ibu sama sekali tidak mau memberikan petunjuk. Bahkan ibu mengatakan bahwa ayahku itu sudah tidak berada di Pajang lagi”

“Kemana ayahmu itu menurut ibumu, Paksi?” bertanya Ki Panengah.

Paksi menarik nafas dalam sekali. Katanya, “Guru, ibu tidak mau berbicara tentang ayahku”

Paksi pun kemudian mengulangi kata-kata ibunya tentang laki-laki yang sebenarnya adalah ayahnya.

Ki Panengah dan Ki Waskita termangu-mangu sejenak. Namun kemudian Ki Waskita pun berkata, “Sudahlah, Paksi. Betapapun pahitnya, kau tidak dapat merubah kenyataan yang telah terjadi itu. Kau harus menerimanya dengan dada yang lapang”

Paksi mengangguk. Katanya, “Ya, Guru. Aku harus menerima kenyataan tentang diriku sendiri dan terutama tentang ibuku. Tetapi apakah sudah sepantasnya, bahwa aku untuk selanjutnya tidak mengenal siapakah ayahku?”

“Kau mendendamnya?” bertanya Ki Waskita.

“Buat apa aku mendendamnya, Guru. Yang terjadi sudah terjadi, sementara ibu menganggap bahwa laki-laki itu tidak bersalah. Bahkan ibu justru menyalahkan dirinya sendiri”

“Sudahlah, Paksi”

“Menurut ibu, kakek hampir membunuhnya? Kakek tidak dapat menerima dengan ikhlas kenyataan tentang ibuku. Tentu saja bukan hanya kakek. Tetapi semua orang tidak dapat menerima dengan ikhlas kenyataan itu”

“Aku mengerti, Paksi” berkata Ki Panengah. “Namun untuk sementara kau dapat mengesampingkan persoalan itu. Untuk sementara. Yang segera harus kau lakukan, bagaimana kau bersikap terhadap Ki Tumenggung Sarpa Biwada yang sebenarnya bukan ayahmu itu”

“Aku memang tidak mau dibunuhnya, Guru. Tetapi bagaimanapun juga ia sudah mengangkat ibu dari genangan lumpur. Meskipun mungkin Ki Tumenggung Sarpa Biwada mempunyai pamrih, tetapi kehadirannya dalam kehidupan ibuku telah memberikan arti tersendiri. Aku tidak dapat membayangkan apa jadinya seandainya Ki Sarpa Biwada itu tidak mau menikahi ibu pada waktu itu”

“Sudahlah, Paksi. Sudahlah” potong Ki Panengah. “Seperti yang aku katakan, untuk sementara kau dapat mengesampingkan persoalan pribadimu”

“Itukah yang terbaik bagiku saat ini, Guru?”

Ki Panengah termangu-mangu sejenak. Namun Ki Panengah itu pun kemudian menyahut, “Untuk sementara, Paksi. Untuk sementara saja”

“Tetapi, Guru. Bagaimana pendapat Guru, apakah dalam persoalan itu hanya ibu saja yang bersalah sebagaimana dikatakan oleh ibu? Apakah laki-laki yang membuat ibu hamil sebelum menikah itu tidak bersalah?”

“Tentu ia juga bersalah, Paksi” sahut Ki Waskita. “Salahnya sama besarnya dengan kesalahan ibumu. Tidak seharusnya ibumu menyalahkan dirinya sendiri”

Paksi menarik nafas dalam-dalam. Namun sekali lagi Ki Panengah berkata, “Paksi, jangan kau biarkan dirimu tenggelam ke dalam persoalan itu. Sebaiknya kau bangkit untuk menghadapi hari-harimu saat ini. Kau, Raden Sutawijaya dan Pangeran Benawa”

Paksi mengangguk-angguk. Katanya, “Aku mengerti, Guru”

“Bukan berarti bahwa kau harus menghapusnya sama sekali.
Tetapi seperti yang sudah aku katakan beberapa kali, untuk sementara, Paksi”

“Ya, Guru”

“Tetapi untuk selanjutnya aku berjanji, bahwa aku akan membantumu”

“Terima kasih, Guru”

“Kau tidak sendiri, Paksi” berkata Ki Waskita. “Yakinlah itu”

Paksi mengangguk sambil berdesis, “Ya, Guru”

“Nah, apakah masih ada yang ingin kau sampaikan?”

“Tidak, Guru. Aku sudah mengatakannya semuanya. Guru berdua tahu, beban apakah yang sekarang aku pikul. Mudah-mudahan aku tidak tertimbun di dalamnya”

“Sudah aku katakan, kau tidak sendiri, Paksi”

“Terima kasih, Guru”

Demikianlah, sejenak kemudian, Paksi pun telah minta diri. Meskipun beban masih terasa sangat berat, tetapi setelah ia mengatakannya kepada kedua gurunya, maka rasa-rasanya ia mempunyai kekuatan baru untuk memikulnya.

“Aku memang harus melupakan untuk sementara persoalan pribadiku” berkata Paksi di dalam hatinya. Paksi pun menyadari, bahwa masih banyak persoalan yang lebih besar harus dihadapinya bersama-sama dengan Raden Sutawijaya, dengan Pangeran Benawa dan dengan banyak orang lainnya Ketika kemudian Paksi keluar dari ruangan khusus kedua gurunya, malam telah larut. Saudara-saudara seperguruannya telah tertidur. Namun ketika ia melangkah di dekat pembaringan Pangeran Benawa dan Raden Sutawijaya, keduanya ternyata masih belum tidur.

Ketika Paksi melangkah ke pembaringannya, maka Pangeran Benawa itu pun berdesis, “Selamat malam, Paksi”

“Selamat malam, Pangeran”

“Tidurlah” berkata Raden Sutawijaya kemudian, “kau harus banyak beristirahat”

“Ya, Raden”

Paksi pun kemudian membaringkan dirinya. Tetapi ia masih saja gelisah. Berbeda dengan saat-saat ia bermalam di rumah Ki Gede Pemanahan. Justru waktu itu badannya masih terasa sakit dan sangat lemah, serta perhatian Pangeran Benawa dan Raden Sutawijaya atas keadaannya, Paksi justru sempat tidur nyenyak.

Sekali-sekali ia terbangun karena nyeri pada lukanya. Namun kemudian ia tertidur lagi. Selain badannya masih terasa sakit, ia pun merasa sangat letih pada waktu itu.

Tetapi ketika tenaga dan kekuatannya berangsur pulih kembali, maka ia justru menjadi semakin sulit dapat tidur. Tetapi akhirnya Paksi tertidur juga meskipun hanya sebentar.

Dalam pada itu, setelah Paksi meninggalkan kedua gurunya, maka Ki Waskita pun berkata kepada Ki Panengah, “Aku akan mempergunakan jalan yang satu ini untuk menangkap Ki Tumenggung Sarpa Biwada, Ki Panengah”

Ki Panengah menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Kasihan Paksi. Tetapi menurut pendapatku, lebih baik baginya untuk segera mengetahui, bahwa ia bukan anak Ki Tumenggung Sarpa Biwada”

“Tetapi ia terjerat pada teka-teki yang menurut Paksi lebih besar lagi. Paksi tentu ingin tahu, siapakah ayahnya. Siapakah laki-laki yang telah menodai ibunya semasa gadisnya dan kemudian meninggalkannya dalam keadaan hamil”

Ki Panengah termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun berkata, “Ki Waskita memang dapat mempergunakan cara yang satu itu sekarang”

Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. Sementara Ki Panengah pun berkata, “Mudah-mudahan cara ini berhasil memancing Ki Tumenggung Sarpa Biwada keluar dari persembunyiannya”

“Apakah sebaiknya aku berhubungan dengan Ki Gede Pemanahan. Mungkin Ki Gede dapat memberikan beberapa petunjuk yang berarti”

“Baiklah. Besok aku akan menemui Ki Gede Pemanahan”

Sebenarnyalah di keesokan harinya, Ki Waskita pun sudah mempersiapkan diri untuk menemui Ki Gede Pemanahan. Ketika kudanya sudah siap, maka Ki Waskita pun minta diri kepada Raden Sutawijaya, Pangeran Benawa, Paksi dan murid-muridnya yang lain. Ki Waskita pun memberitahukan pula kepergiannya itu kepada Ki Kriyadama.

“Guru akan pergi sendiri?” bertanya Paksi.

“Ya, Paksi. Aku kira tidak akan ada hambatan di perjalanan. Para pengikut Harya Wisaka tidak mengenal aku kecuali Harya Wisaka sendiri dan barangkali beberapa orang yang tentu jarang-jarang keluar dari persembunyiannya”

“Jika Ki Waskita mengijinkan, biarlah aku dan Adimas Pangeran Benawa menyertai Ki Waskita” berkata Raden Sutawijaya.

Tetapi Ki Waskita tersenyum Katanya, “Terima kasih. Biarlah aku pergi sendiri. Mungkin aku tidak pulang hari ini. Mungkin besok atau lusa”

Raden Sutawijaya tidak mendesaknya. Namun Ki Waskita sendiri berkata, “Sudah terlalu lama Harya Wisaka menjadi buruan. Mungkin ia sudah sembuh. Mungkin tenaga dan kemampuannya pun sudah pulih pula. Karena itu, kita harus segera menangkapnya. Raden Sutawijaya, Pangeran Benawa dan Paksi sudah bekerja keras. Tetapi sampai sekarang masih belum berhasil. Biarlah kemudian aku dan Ki Gede Pemanahan langsung mencobanya turun ke arena. Bagaimanapun juga, kami merasa bersalah, bahwa Harya Wisaka itu sempat luput dari tangan kami. Padahal Harya Wisaka sudah masuk ke dalam bilik Kangjeng Sultan Hadiwijaya. Kesempatan yang tidak akan dapat terulang kembali”

Raden Sutawijaya, Pangeran Benawa dan Paksi hanya dapat mengangguk-angguk kecil. Sementara Ki Panengah pun berkata, “Jika perlu, aku mohon Ki Waskita mengirimkan penghubung kemari”

“Baik, Ki Panengah. Mudah-mudahan aku tidak terlalu lama berada di kotaraja”

“Bukankah Ki Waskita setiap kali dapat menengok padepokan ini seandainya Ki Waskita dan Ki Gede tidak segera dapat menemukan Harya Wisaka? Bukankah jarak Hutan Jabung tidak terlalu jauh dari kotaraja?” berkata Ki Kriyadama.

“Tentu” jawab Ki Waskita. “Namun segala sesuatunya juga tergantung kepada Ki Gede Pemanahan”

Demikianlah, maka sejenak kemudian, Ki Waskita sudah berpacu di atas punggung kudanya, meskipun Ki Waskita menurut ujudnya sudah semakin tua, tetapi ia masih saja sigap dan tegar.

Bahkan angin pagi yang menerpa tubuhnya yang meluncur di punggung kudanya dan berlari seperti anak panah yang terlepas dari busurnya itu, nampak seakan-akan menjadi semakin tangkas.

Di padepokan, Paksi pun kemudian menemui Ki Panengah. Dengan nada dalam ia pun berkata, “Kenapa tiba-tiba Ki Waskita pergi ke kotaraja? Apakah ada hubungannya dengan keteranganku semalam, Guru?”

Ki Panengah menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Ki Waskita memang tersinggung atas tingkah laku Harya Wisaka dan para pengikutnya. Ki Waskita merasa ikut disakiti mendengar peristiwa yang menimpa dirimu. Untunglah Yang Maha Agung melindungimu sehingga kau selamat meskipun kau terluka parah. Ki Waskita berpendapat, bahwa gerakan Harya Wisaka itu benar-benar harus dihentikan. Karena itu, maka Ki Waskita akan menghadap Ki Gede Pemanahan. Mungkin keduanya akan dapat mengambil langkah-langkah yang lebih tajam menusuk ke dalam gerakan yang dipimpin oleh Harya Wisaka itu”

Paksi mengangguk-angguk. Sementara Ki Panengah pun berkata, “Di luar sikap kita terhadap Harya Wisaka, mau tidak mau kita harus memujinya. Demikian cerdiknya Harya Wisaka dan para pengikutnya mengatur persembunyiannya, sehingga para petugas sandi yang telah dikerahkan, masih juga belum mampu mencium jejaknya”

“Ya, Guru. Ternyata para pengikut Harya Wisaka benar-benar setia kepadanya, sehingga sulit bagi para petugas sandi dari Pajang untuk menemukannya. Padahal segala cara sudah ditempuh. Bahkan para prajurit sudah memasuki setiap pintu rumah untuk mencarinya. Tetapi semuanya sia-sia”

“Mudah-mudahan Ki Waskita dapat menemukannya”

Paksi tidak bertanya lebih jauh. Tetapi terasa di sudut hatinya, bahwa ada sesuatu yang tidak dikatakan oleh Ki Panengah kepadanya. Namun ia tidak dapat memaksa Ki Panengah untuk mengatakannya.

Dalam pada itu, kuda Ki Waskita pun berlari dengan kencangnya menuju ke pintu gerbang kotaraja. Namun ketika kuda itu turun ke jalan yang lebih ramai, maka Ki Waskita pun telah memperlambat derap kaki kudanya.

Sebenarnyalah Ki Waskita ingin segera bertemu dengan Ki Gede Pemanahan. Ada sesuatu yang ingin disampaikannya. Ia mempunyai satu jalan yang barangkali dapat ditelusuri menuju ke persembunyian Ki Tumenggung Sarpa Biwada. Jika saja Ki Tumenggung itu dapat ditangkap, mungkin mereka dapat merintis jalan menuju ke persembunyian Harya Wisaka itu.

Perjalanan Ki Waskita memang tidak terlalu lama. Jarak yang tidak begitu panjang itu tidak terlalu banyak memerlukan waktu. Karena itu, maka sebelum matahari menjadi terlalu tinggi, Ki Waskita sudah memasuki pintu gerbang kotaraja.

Para petugas di pintu gerbang pun memperhatikannya. Tetapi ciri-ciri orang berewok itu sama sekali tidak bersinggungan dengan ciri-ciri yang mereka kenal sebagai ciri-ciri Harya Wisaka dan beberapa orang pengikutnya yang terpenting.

Ketika Ki Waskita sampai di rumah Ki Gede Pemanahan, ternyata Ki Gede masih berada di rumahnya. Sehingga karena itu, maka Ki Gede pun masih sempat menerimanya sebelum Ki Gede pergi ke istana untuk menghadap Kangjeng Sultan Hadiwijaya.

Kepada Ki Gede Pemanahan, Ki Waskita menyampaikan rencananya untuk memancing Ki Tumenggung sehingga kemudian dapat ditelusuri jalan ke persembunyian Harya Wisaka.

Ki Gede Pemanahan itu pun mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah, Ki Waskita, jika cara itu yang akan Ki Waskita lakukan”

“Kita sudah tidak mempunyai cara lain, Ki Gede. Segala usaha sudah dilakukan. Tetapi kita tidak berhasil menemukan persembunyian Harya Wisaka”

Ki Gede menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Kasihan Paksi. Selama ini ia dibayangi oleh teka-teki, kenapa ayahnya sampaihati untuk benar-benar berniat membunuhnya. Sekarang Paksi dibayangi oleh teka-teki yang baru, siapakah ayahnya yang sebenarnya”

“Mudah-mudahan ikatannya dengan Ki Tumenggung Sarpa Biwada menjadi lebih longgar. Selama ini ia masih merasa terikat oleh hubungan antara anak dan ayah, sehingga langkah Paksi masih serba canggung”

“Baiklah, Ki Waskita” berkata Ki Gede kemudian, “nanti kita akan membicarakan cara-cara terbaik yang dapat kita tempuh. Sekarang aku persilahkan Ki Waskita beristirahat. Aku akan menghadap Kangjeng Sultan. Sekaligus menyampaikan rencanamu untuk memancing Ki Tumenggung Sarpa Biwada”

“Silahkan, Ki Gede. Aku akan menunggu Ki Gede. Sementara sambil menunggu, aku akan melihat-lihat keadaan kotaraja. Aku ingin pergi ke pasar”

“Ke pasar?”

“Aku ingin melihat-lihat. Beberapa kali Raden Sutawijaya dan Pangeran Benawa berada di pasar dalam penyamaran. Namun mereka tidak melihat apa-apa yang mereka inginkan”

“Kau pun tidak akan melihat apa-apa, Ki Waskita. Kecuali berbagai macam makanan yang barangkali menarik bagi Ki Waskita”

Ki Waskita tertawa. Katanya, “Disini aku sudah mendapat suguhan makanan yang jarang aku temui”

Ki Gede pun tertawa pula.

Namun sejenak kemudian, Ki Gede telah meninggalkan rumahnya untuk pergi ke istana menghadap Kangjeng Sultan Hadiwijaya. Sementara itu, sambil menunggu Ki Gede pulang, Ki Waskita telah menyusuri jalan-jalan di kotaraja untuk melihat-lihat suasana.

Ki Waskita itu juga berjalan melalui lorong-lorong sempit. Bahkan lorong yang telah dilalui Paksi pada saat anak muda itu bertemu dengan tiga orang pengikut Harya Wisaka, bahkan bersama dengan adik laki-lakinya yang telah mengatakan rahasia yang disimpan oleh ibunya bertahun-tahun.

Tetapi Ki Waskita tidak bertemu dengan orang-orang yang mencurigakan. Tidak bertemu dengan orang-orang yang membawa bahan pangan atau keperluan sehari-hari lainnya.

Tetapi Ki Waskita mencoba mengamati arah perjalanan adik Paksi bersama ketiga orang yang membawa bahan pangan itu.

Jika mereka berjalan dari pasar, maka mereka tentu telah menempuh jalan yang agak melingkar.

Tetapi mungkin mereka memang tidak dari pasar. Tetapi mereka tinggal mengambil ke tempat yang sudah ditentukan. Orang lain lagi, mungkin perempuan, yang telah pergi berbelanja ke pasar.

Pada saat matahari mulai turun, maka Ki Waskita pun telah kembali ke rumah Ki Gede Pemanahan. Ternyata Ki Gede pun telah kembali pula dari istana.

“Aku sudah mengatakan rencana Ki Waskita kepada Kangjeng Sultan sekaligus” berkata Ki Gede Pemanahan.

“Bagaimana tanggapan Kangjeng Sultan?” bertanya Ki Waskita.

“Kangjeng Sultan menyetujuinya. Kita tinggal membicarakan perincian dari rencana ini termasuk pengamanannya”

Ki Waskita mengangguk-angguk.

Setelah keduanya makan dan beristirahat sejenak, maka Ki Gede pun berkata, “Kita dapat membicarakannya sekarang, Ki Waskita. Mudah-mudahan usaha ini berhasil”

Ki Waskita pun mengangguk hormat sambil berkata, “Mudah-mudahan, Ki Gede. Kita memang harus mencoba beberapa jalan untuk mencapai sasaran”

Demikianlah keduanya pun mulai berbicara tentang rencana mereka untuk menjebak Ki Tumenggung Sarpa Biwada. Namun Ki Gede pun kemudian berkata, “Tetapi Ki Waskita harus sangat berhati-hati. Jika rencana ini meleset sedikit saja, maka Ki Waskita akan benar-benar dapat menjadi korban”

“Aku mengerti, Ki Gede. Tetapi kita tidak mempunyai jalan lain”

“Baiklah. Aku minta Ki Waskita benar-benar bersiap. Aku akan bersiap pula. Tetapi Ki Waskita harus bersiap-siap pula mengambil langkah-langkah yang tepat apabila ada perkembangan baru yang terjadi pada rencana ini yang sebelumnya tidak kita perhitungkan”

“Baik, Ki Gede. Aku sudah siap, bahkan aku pun siap mengalami akibat yang paling buruk dari rencana ini. Jika ternyata Ki Tumenggung Sarpa Biwada lebih cerdik dari kita, maka akulah yang akan menjadi korban”

Ki Gede pun menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Baiklah. Kita akan mencobanya”

“Tetapi kita harus melakukannya dengan sabar. Mungkin kita memerlukan waktu yang agak lama untuk dapat berhasil, atau tidak sama sekali”

Ki Gede mengangguk-angguk. Katanya, “Ki Waskita harus mempunyai tempat tersendiri di dalam kota ini. Ki Waskita tidak dapat hilir-mudik ke rumahku, karena dengan demikian, maka para pengikut Harya Wisaka akan mengetahui, bahwa yang Ki Waskita lakukan adalah satu jebakan”

“Ya, Ki Gede. Selama kita melakukan rencana ini, maka aku akan berada di rumah Ki Panengah yang pernah dijadikannya padepokan. Rumah itu sekarang kosong, hanya ditunggui oleh seorang pembantunya”

“Baiklah, Ki Waskita. Kita akan segera melakukan tugas kita masing-masing”

“Besok kita akan mulai dengan rencana ini, Ki Gede”

“Ya, besok. Lewat tengah hari. Aku harus mempersiapkan segala sesuatunya”

Sejenak kemudian, maka Ki Waskita pun telah minta diri. Ki Waskita itu pun langsung pergi ke rumah Ki Panengah yang pernah dipergunakannya sebagai padepokan sementara sebelum pindah ke Hutan Jabung.

Penunggu rumah itu sudah mengenal Ki Waskita dengan baik. Karena itu, maka Ki Waskita tidak menemui kesulitan untuk berada di rumah itu dalam tiga empat hari. Dari rumah itulah, Ki Waskita akan melakukan usahanya untuk menjebak Ki Tumenggung Sarpa Biwada.

Namun sementara itu, ternyata Ki Waskita pun menjadi berdebar-debar pula atas rencananya. Kemungkinan berhasil atau gagal sama besarnya. Demikian pula kemungkinan yang dapat terjadi atas dirinya. Nasib baik dan nasib buruk menunggu di kedua sisi rencananya itu.

Dalam pada itu, sebelum Ki Waskita memasuki rencananya, di sisa hari itu, ia masih juga berjalan-jalan melihat-lihat suasana. Menjelang senja, Ki Waskita itu duduk di pinggir alun-alun Pajang. Ia masih sempat melihat beberapa orang prajurit berlatih sodoran. Beberapa di antaranya nampak terampil mempermainkan tombaknya sambil menunggang kuda. Namun ada di antara mereka yang nampaknya baru mulai.

Namun begitu senja turun, maka latihan itu pun segera berakhir. Alun-alun itu pun menjadi sepi. Sedangkan Ki Waskita pun kembali pula ke rumah Ki Panengah.

Di malam hari, Ki Waskita tidak segera dapat tidur. Ia pun keluar pula berjalan-jalan. Namun Ki Waskita itu tidak menemukan apa-apa. Yang dijumpainya adalah beberapa orang prajurit yang meronda. Dijumpainya empat orang prajurit berkuda yang mengelilingi kota. Namun ditemuinya pula empat orang prajurit yang meronda dengan berjalan kaki.

Tetapi setiap kali Ki Waskita selalu bersembunyi di balik pepohonan, karena berjalan seorang diri di malam hari akan dapat dicurigai. Setidak-tidaknya ia harus menjawab beberapa pertanyaan. Jika jawabnya tidak memuaskan, maka ia akan dapat dibawa ke barak prajurit itu.

Di hari berikutnya, maka Ki Waskita benar-benar harus mempersiapkan dirinya. Bukan saja mempersiapkan unsur kewadagannya, tetapi juga unsur ketahanan jiwanya.

Sebagai orang yang berilmu sangat tinggi, Ki Waskita mempunyai kepercayaan yang besar terhadap dirinya sendiri. Selain berpihak kepadanya, karena ia menjalankan tugas bagi keselamatan banyak orang.

Meskipun demikian, Ki Waskita masih saja merasa gelisah. Yang dilakukannya kali ini adalah tugas khusus yang sangat rumit. Tetapi ia tidak mempunyai pilihan lain. Cara yang ditempuhnya itu adalah satu-satunya cara yang diketahuinya. Meskipun perbandingan antara berhasil dan gagal, sama besarnya.

Dengan gelisah Ki Waskita menunggu matahari naik sampai ke puncak. Namun rasa-rasanya matahari begitu malasnya merangkak di langit, sehingga waktu terasa berjalan sangat lambat.

Namun akhirnya matahari pun melewati titik puncaknya. Ki Waskita yang sudah mempersiapkan dirinya sebaik-baiknya itu pun meninggalkan rumah Ki Panengah, menuju ke rumah Ki Tumenggung Sarpa Biwada.

Ki Waskita sama sekali tidak berusaha melepaskan diri dari pengawasan para pengikut Harya Wisaka yang dipercayanya masih tetap mengawasi rumah itu. Ki Waskita pun berjalan melalui jalan depan rumah Ki Tumenggung Sarpa Biwada. Masuk lewat regol halaman yang sedikit terbuka. Kemudian menutupnya kembali, tetapi seperti semula, tidak terlalu rapat.

Kedatangan Ki Waskita mengejutkan seisi rumah itu. Adik perempuan Paksi yang melihat kedatangannya, segera memberitahukan kepada ibunya.

“Siapa, Nduk?” bertanya Nyi Tumenggung Sarpa Biwada.

“Entah, Ibu. Tetapi rasa-rasanya ia pernah datang kemari ketika Kakang Paksi pulang dan kemudian ditangkap”

Nyi Tumenggung termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun melangkah keluar pintu pringgitan.

Nyi Tumenggung terkejut melihat Ki Waskita berdiri termangu-mangu di halaman. Sesaat Nyi Tumenggung berdiri membeku di depan pintu pringgitan.

Namun Ki Waskita itu pun kemudian berkata sambil membungkuk hormat, “Aku, Nyi. Orang menyebutku Ki Waskita. Aku adalah salah seorang dari guru Paksi, anak Nyi Tumenggung”

“O” Nyi Tumenggung menjadi gagap. Sementara itu adik perempuan Paksi pun berdesis, “Guru Kakang Paksi, Ibu?”

“Ya, ya, Nduk” jawab ibunya. Kemudian Nyi Tumenggung itu pun mempersilahkan, “Silakan duduk. Ki Waskita”

Ki Waskita pun kemudian naik ke pendapa dan duduk di pringgitan ditemui oleh Nyi Tumenggung. Kepada adik perempuan Paksi, Nyi Tumenggung itu pun berkata, “Pergilah ke dapur, Nduk. Kau dapat menyiapkan minuman, bukan?”

“Sudahlah, Nyi. Tidak usah”

Tetapi Nyi Tumenggung pun berkata, “Tidak apa-apa, Ki Waskita. Hanya air”

Adik perempuan Paksi pun kemudian pergi ke dapur untuk menyiapkan minuman dan makanan. Kepada pembantunya, adik Paksi itu pun berkata, “Aku yang diminta ibu untuk membuat minuman”

Pembantunya hanya tersenyum saja. Gadis kecil itu memang sudah trampil membuat minuman dan kemudian membawanya ke pringgitan.

Dalam pada itu, di pringgitan, Nyi Tumenggung pun bertanya dengan suara yang bergetar, “Apa yang Ki Waskita kehendaki?”

“Nyi” berkata Ki Waskita, “aku ingin mendapat bantuanmu”

“Bantuan apa, Ki Waskita? Apakah masih ada yang dapat aku lakukan?”

“Nyi” berkata Ki Waskita, “maaf jika aku minta bantuanmu untuk menangkap Ki Tumenggung”

Wajah Nyi Tumenggung menjadi merah. Dengan nada tinggi ia pun berkata, “Kau mempergunakan kesempatan ini?”

“Jangan salah paham, Nyi. Kau tahu bahwa Ki Tumenggung telah menjadi pengikut Harya Wisaka. Sementara itu Harya Wisaka telah memberontak. Bukankah itu berarti bahwa Ki Tumenggung telah memberontak pula?”

“Apakah Ki Waskita termasuk salah seorang yang bertugas untuk menangkap para pemberontak atau sekedar memanfaatkan keadaan bagi dendam pribadi?”

“Apakah artinya, bahwa sekarang aku berbicara tentang dendam pribadi?” desis Ki Waskita. “Tetapi jika yang kau maksud dengan dendam pribadi itu adalah dendam karena muridku telah menjadi luka parah karena harus bertempur melawan tiga orang pengikut Harya Wisaka, maka aku tidak mengelak. Bahkan seharusnya Nyi Tumenggung pun mendendam pula, karena Paksi adalah anak Nyi Tumenggung”

Pembicaraan mereka pun terputus karena adik perempuan Paksi menghidangkan minuman dan makanan.

“Terima kasih, anak manis” desis Ki Waskita sambil tersenyum.

Adik perempuan Paksi pun tersenyum pula. Tetapi ia tidak memandang wajah tamu ibunya itu. Bahkan wajahnya pun menunduk dalam-dalam.

Demikian ia meletakkan mangkuk minuman dan makanan, maka adik Paksi pun itu pun segera beringsut meninggalkan pringgitan.

“Nyi Tumenggung” berkata Ki Waskita kemudian, “sekali lagi aku mengulangi permohonanku agar Nyi Tumenggung bersedia membantuku”

“Apa yang dapat aku lakukan?”

“Mengijinkan aku bermalam disini. Biarlah aku tidur di dapur atau di kandang atau dimana saja”

Terasa dada Nyi Tumenggung bergetar. Dengan suara yang patah-patah Nyi Tumenggung itu pun berkata, “Kau minta aku membantumu untuk menangkap suamiku?”

“Nyi, sasaran utamanya sebenarnya bukan Ki Tumenggung. Tetapi Harya Wisaka. Jika Ki Tumenggung bersedia bekerja sama untuk menangkap Harya Wisaka, maka ia tentu akan mendapat banyak keringanan hukuman”

“Kau ingin melihat harga diri suamiku tersuruk semakin dalam di lumpur yang kotor?”

“Kenapa?”

“Jika suamiku memang memberontak, biarlah ia menjadi seorang pemberontak yang baik. Yang menengadahkan dadanya menghadapi akibat dari jalan yang dipilihnya. Aku tidak ingin bahwa suamiku melakukan pengkhianatan ganda. Berkhianat kepada negaranya dan kemudian berkhianat atas keyakinan yang dipilihnya”

“Aku sependapat, Nyi. Tetapi apakah Nyi Tumenggung tidak mempunyai pertimbangan yang lebih jauh? Jika pemberontakan ini berlangsung lebih lama lagi, maka bayangkan, berapa banyaknya korban yang akan jatuh. Kematian demi kematian akan saling susul-menyusul”

“Adalah wajar seorang laki-laki mempertaruhkan nyawanya demi keyakinannya. Mereka yang yakin, bahwa Harya Wisaka bersalah akan berdiri di satu pihak. Sementara mereka yang dengan setia berdiri di belakang Harya Wisaka, akan berada di pihak lain. Jika kedua belah pihak itu berbenturan, bukankah wajar jika jatuh korban?”

“Kau yakin, bahwa yang berdiri di kedua belah pihak itu berlandaskan pada keyakinan? Tidakkah mungkin mereka berdiri di atas janji-janji kosong atau bahkan lebih buruk ancaman-ancaman yang memaksa mereka menjalankan pekerjaan suka atau tidak suka karena tidak mempunyai pilihan. Mungkin anak dan isterinya berada di bawah ancaman. Mungkin ayah atau ibunya atau bahkan dirinya sendiri”

“Alangkah beragamnya kemungkinan-kemungkinan yang dapat Ki Waskita sebutkan. Tetapi jangan memperalat aku untuk menangkap suamiku sendiri, kemudian memaksanya berkhianat”

“Jika demikian, sejalan dengan pendapatmu itu, Nyi, kau akan membiarkan Paksi saling membunuh dengan ayahnya. Atau lebih buruk lagi, Paksi akan berhadapan dengan adik laki-lakinya yang sudah terpengaruh oleh ayahnya. Jika sikapmu teguh, Nyi, aku sanggup untuk membuat Paksi kehilangan nuraninya menghadapi adik laki-lakinya sekaligus ayahnya. Paksi akan dapat memburu adik laki-lakinya itu, karena ia sudah menemukan jejaknya. Paksi akan dapat memburunya dengan sekelompok prajurit sebagaimana dibawanya saat ia berpura-pura memburu Harya Wisaka keluar kota, karena kami tahu, bahwa Harya Wisaka masih berada di dalam kota”

Terasa jantung Nyi Tumenggung itu bagaikan tertusuk sembilu. Terasa dadanya mulai menjadi pepat. Matanya menjadi panas. Namun Nyi Tumenggung bertahan untuk tidak menangis. “Jangan adu domba anak-anakku”

“Jika Harya Wisaka dapat ditangkap, maka permusuhan pun akan dapat diredam. Paksi dan adik laki-lakinya tidak perlu saling mengancam”

“Jangan campuri persoalan anak-anakku dengan licik. Biarlah mereka menentukan langkah mereka sendiri”

“Untuk memecahkan kekalutan yang terjadi di Pajang memang diperlukan pengorbanan. Tetapi kita harus berusaha, agar korban yang jatuh tidak berlebihan. Biarlah mereka yang terlibat dan meyakini perjuangannya mempertaruhkan nyawanya sebagai laki-laki. Tetapi jangan menyurukkan korban di luar bingkai permasalahannya”

“Ki Waskita” berkata Nyi Tumenggung kemudian, “sayang, aku tidak dapat membantumu”

Ki Waskita memandang Nyi Tumenggung dengan tajamnya. Katanya, “Baiklah, Nyi. Jika demikian aku memang harus mencari jalan lain. Aku harus membius Paksi agar ia dapat bersikap tegar menghadapi kenyataan. Paksi yang sudah tahu hubungannya dengan ayahnya dan adiknya, akan menjadi lebih mudah untuk mengarahkan sikapnya”

“Apa yang akan kau lakukan, Ki Waskita?”

“Seperti yang Nyi katakan. Kami akan berpegang atas keyakinan kami dengan teguh. Paksi akan membawa sekelompok prajurit untuk menemukan adik laki-lakinya. Aku pun tidak peduli terhadap anak itu. Tetapi aku tidak ingin Paksi mati di tangan para pengikut ayahnya yang sudah terbius oleh janji-janji Harya Wisaka, karena aku sangsi, bahwa mereka benar-benar berpegang atas satu keyakinan”

“Ki Waskita”

“Dari adik laki-lakinya itu, Paksi akan dapat mengetahui dimana ayahnya bersembunyi. Ayahnya yang telah dengan sungguh-sungguh berniat membunuhnya. Dari mereka akan ditelusuri tempat persembunyian Harya Wisaka”

“Tetapi anakku itu tidak bersalah. Ia tidak bersikap atas dasar keyakinannya”

“Ia bukan kanak-kanak lagi. Ia sudah lewat remaja. Karena itu ayahnya telah menyuapinya dengan satu keyakinan kebenaran perjuangan Harya Wisaka. Kebenaran untuk satu pencapaian atau kebenaran tentang kedudukan yang tinggi, aku tidak tahu. Tetapi itulah yang dilakukannya”

“Ternyata kau manfaatkan peristiwa ini untuk kepentingan pribadimu. Jika Ki Tumenggung bersungguh-sungguh untuk membunuh Paksi, maka kau pun akan bersungguh-sungguh berusaha membunuh adik Paksi. Bahkan kau tidak segan-segan mengadu kedua kakak beradik itu”

“Ya. Aku tidak mau kehilangan muridku tanpa berbuat apa-apa”

“Kau licik sekali, Ki Waskita”

“Mungkin aku adalah orang yang paling licik di seluruh Pajang. Tetapi aku masih berbangga bahwa aku akan ikut berusaha menangkap Harya Wisaka, seorang pemberontak yang sekarang menjadi buruan. Termasuk para pengikutnya”

Nyi Tumenggung itu mengusap matanya. Tetapi ia tidak mau menangis. Ia bukan seorang perempuan yang cengeng.

Sejenak keduanya saling berdiam diri. Gejolak di jantung Nyi Tumenggung Sarpa Biwada rasa-rasanya akan memecahkan dadanya. Nyi Tumenggung itu merasa berdiri di jalan simpang. Jalan yang mana pun yang dipilihnya akan berujung pada kegetiran yang tajam menusuk sampai ke pusat jantung.

“Nyi” berkata Ki Waskita kemudian, “agaknya memang nasib Paksi yang buruk. Dalam ancaman maut dari seorang yang sebelumnya dianggapnya ayahnya sendiri, yang memberikan perintah tidak masuk akal kepadanya untuk mencari sebuah cincin kerajaan yang belum pernah dilihatnya, bahkan dalam mimpi, namun dijalaninya dengan ikhlas, kini sama sekali tidak mendapat perlindungan. Bukan perlindungan kewadagan, tetapi perlindungan atas ketenangan jiwanya” Ki Waskita itu pun berhenti sebentar. Lalu katanya pula, “Baiklah. Agaknya kau juga ingin menyingkirkan Paksi yang kau anggap menjadi penghalang atas hubunganmu dengan suamimu. Baik, Nyi. Jika demikian, memang tidak ada orang lain yang harus berbuat apa pun baginya selain gurunya”

“Ki Waskita”

“Nyi, jika aku atau Ki Panengah menemukan mayat Paksi yang berhasil dibunuh oleh Ki Tumenggung Sarpa Biwada, maka kami akan membawanya kemari. Kau tentu puas melihat anak muda yang dianggap duri di dalam keluarga ini mati dengan luka arang keranjang di tubuhnya”

“Ki Waskita”

“Tetapi Paksi dan kami berdua tentu tidak akan menyerah dan membiarkan hal itu terjadi. Kami akan melindungi Paksi dengan cara apa pun juga. Kasar atau halus. Agar Paksi tidak terbunuh, maka kami akan membunuh”

“Cukup, cukup, Ki Waskita” suara Nyi Tumenggung itu bergetar oleh getar jiwanya. Katanya kemudian, “Sampai hati kau berkata seperti itu kepadaku. Sampai hati kau menuduh aku ingin menyingkirkan Paksi”

“Jadi apa yang harus aku katakan? Kau menolak untuk bekerja sama menangkap Ki Tumenggung Sarpa Biwada yang jelas ingin membunuh Paksi. Bukankah itu berarti bahwa kau lebih senang Paksi terbunuh? Jika Ki Tumenggung itu tertangkap dan bersedia bekerja sama, maka ia tak akan mati. Jika ia masih juga harus dihukum, maka hutangnya kepada Pajang pun akan lunas. Pada suatu saat ia akan menghirup udara bebas dan kembali kepadamu sebagai orang yang merdeka. Tetapi apakah Paksi akan dapat kembali kepadamu jika ia mati?”

Nyi Tumenggung mengatupkan giginya rapat-rapat. Ia masih bertahan untuk tidak menangis. Tetapi ia benar-benar dihadapkan pada satu pilihan yang amat sulit.

Karena Nyi Tumenggung tidak segera menjawab, maka Ki Waskita itu pun berkata selanjutnya, “Jika kau tetap pada pendirianmu, Nyi, aku memang tidak mempunyai pilihan lain”

Namun dengan suara sendat dan patah-patah Nyi Tumenggung itu pun berkata, “Baiklah, Ki Waskita. Aku akan membiarkan diriku kau peralat untuk menangkap Ki Tumenggung Sarpa Biwada. Aku tidak tahu, apakah alasanmu sebenarnya. Bahkan seandainya kau mempunyai dendam pribadi”

“Sudah aku katakan, Nyi. Aku tidak mau Paksi dibunuh. Paksi adalah harapan perguruan kami bagi masa depan. Pada saatnya Raden Sutawijaya dan Pangeran Benawa akan meninggalkan perguruan kami karena kedudukan mereka. Tetapi Paksi tidak. Ia akan berada bersama kami untuk seterusnya”

“Selanjutnya, silahkan apa saja yang ingin kau lakukan Ki Waskita. Jika kau akan bermalam disini, silahkan. Dimana kau akan tidur, terserah saja kepadamu. Aku dan anak perempuanku akan berada di bilik bersama pembantuku di dapur”

“Aku tidak bermaksud seperti itu, Nyi. Aku tidak akan merampas hakmu. Aku hanya ingin memancing agar Ki Tumenggung Sarpa Biwada atau orang-orangnya datang ke rumah ini. Itu saja. Karena itu, yang aku perlukan adalah kesan bahwa aku berada di rumah ini”

Nyi Tumenggung menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Matanya memang menjadi basah. Tetapi Nyi Tumenggung tetap tidak menangis.

Dengan nada rendah, Ki Waskita pun kemudian berkata, “Aku mohon maaf, Nyi. Aku sama sekali tidak ingin menyakiti hatimu. Aku juga tidak ingin membalas dendam pribadi. Aku hanya ingin ikut membantu menenangkan gejolak yang terjadi di Pajang sekarang ini. Tetapi jika hal ini dianggap sebagai satu sikap yang berlebihan, maka biarlah aku mengatakan, bahwa aku hanya ingin menyelamatkan Paksi”

Nyi Tumenggung mengangguk kecil. Sementara itu Ki Waskita pun berkata selanjutnya, “Biarlah aku tidur dimana saja. Aku sudah terbiasa tidur di udara terbuka, di pategalan atau di dalam semak-semak. Bahkan di dahan-dahan pohon di hutan”

Nyi Tumenggung menunduk semakin dalam. Katanya, “Biarlah pembantuku menjadi saksi, bahwa kehadiran Ki Waskita di rumah ini semata-mata untuk kepentingan tugas-tugas yang kau emban. Apakah tugas-tugas bagi Pajang atau beban kewajiban yang harus kau pikul untuk menyelamatkan Paksi”

“Karena itu, kehadiranku jangan mengganggu kegiatanmu sehari-hari, Nyi. Aku tahu, bahwa ada ruang di sebelah lumbung padi. Aku akan berada disana”

“Tidak ada ruang di lumbung padiku, Ki Waskita”

“Bukankah biasanya ada lumpang dan lesung yang ditempatkan di sisi lumbung?”

“Sekedar di serambi yang terbuka”

“Itu sudah cukup, Nyi. Aku akan tidur di sebelah lesung. Tentu akan terasa hangat”

“Tidak, Ki Waskita. Aku tidak dapat membiarkan kau tidur di serambi lumbung yang kotor itu. Kau akan merasa gatal-gatal di seluruh tubuhmu”

“Sudahlah. Jangan menjadi masalah. Jika Nyi Tumenggung mengijinkan, aku akan keluar masuk halaman rumah ini untuk selanjutnya tidur dimana pun tanpa mengganggumu”

Nyi Tumenggung menarik nafas dalam-dalam. Ia memang tidak akan dapat mengelak, ia harus memilih. Namun semua pilihan akan sangat menyakitkan hatinya. Justru karena Nyi Tumenggung itu sadar sepenuhnya, bahwa ia akan menjadi alat untuk menjebak suaminya sendiri, maka hatinya pun menjadi sangat pedih. Tetapi Nyi Tumenggung tidak dapat membiarkan Paksi mati dibunuh oleh suaminya itu, karena Paksi adalah anaknya.

Akhirnya, Nyi Tumenggung harus membiarkan Ki Waskita keluar masuk regol halaman rumahnya. Tetapi Ki Waskita tidak pernah naik pendapa atau masuk lewat pintu butulan yang menghadap ke longkangan. Jika Ki Waskita datang ke rumah itu, maka ia pun langsung pergi ke belakang. Kadang-kadang duduk di bawah sebatang pohon kemiri yang rindang, kadang-kadang di bawah pohon jambu air yang berbuah lebat.

Sekali-sekali adik Paksi pun bertanya kepada ibunya, untuk apa orang tua itu berada di rumahnya.

Nyi Tumenggung memang sulit untuk menjawab. Namun kemudian katanya, “Ia mempunyai tugas untuk mengawasi rumah ini, Nduk”

“Kenapa dengan rumah ini? Apakah orang itu menunggu ayah disini?”

“Sudahlah, jangan pikirkan. Bukankah ia tidak mengganggu kita?”

Adik perempuan Paksi itu mengangguk-angguk. Sementara itu, Ki Waskita masih saja hilir-mudik antara rumah Ki Panengah yang kosong dan rumah Ki Tumenggung Sarpa Biwada. Bahkan jika senja mulai turun, Ki Waskita itu pun memasuki regol halaman rumah Nyi Tumenggung. Tetapi Ki Waskita tidak pernah menemui Nyi Tumenggung lagi. Ia langsung pergi ke halaman belakang. Bahkan jika Ki Waskita berada di rumah itu di siang hari, ia tidak segan-segan membantu membersihkan kandang dan lumbung padi.

Nyi Tumenggung tidak pernah menyapanya pula. Dia biarkan saja Ki Waskita berkeliaran di kebun belakang rumahnya. Nyi Tumenggung pun tidak pernah menyediakan minuman apalagi makan bagi Ki Waskita. Tetapi Ki Waskita memang tidak memerlukannya.....
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar