Jejak Dibalik Kabut Jilid 24

Orang yang disebut Ki Bekel itu dengan darah yang mendidih telah mengerahkan kemampuannya. Tetapi di hadapannya berdiri seorang anak muda dengan tongkat kayu di tangannya.

“He, apa yang kau lakukan disini?”

“Pertanyaan yang aneh” desis Paksi.

“Kau bawa tongkat yang nampaknya baru saja kau potong dari turus pagar halaman rumah sebelah. Apakah kau kehilangan senjatamu? Bukankah di medan pertempuran ini banyak tergolek senjata yang terlepas dari tangan mereka yang terbunuh atau terluka berat?”

“Aku sudah terbiasa dengan tongkatku ini”

“Nampaknya kau memang sedang membunuh diri”

Tiba-tiba Paksi itu pun menggeram, “Menyerahlah. Kau masih mempunyai kesempatan. Bukankah kau pemimpin dari pasukanmu yang sedang mengalami kesulitan ini?”

“Persetan dengan kelicikanmu. Di Jurangjero kalian merunduk dari persembunyian seperti seekor ular. Kenapa prajurit Pajang tidak berani menyerang beradu dada?”

“Kenapa kau berusaha menjebak kami? Apakah itu bukan satu perbuatan yang licik?”

“Persetan. Tataplah langit untuk yang terakhir kalinya. Sebentar lagi fajar akan merekah. Tetapi kau tidak akan sempat melihatnya”

Paksi tidak menjawab. Tetapi tongkatnya mulai berputar.

Demikianlah mereka pun segera bertempur. Orang yang disebut Ki Bekel itu telah mengerahkan kemampuannya.


Kemarahannya terasa telah membakar seluruh isi dadanya. Namun ternyata bahwa ilmu orang yang disebut Ki Bekel itu tidak mampu mengimbangi ilmu Paksi. Dengan segera orang itu pun telah terdesak.

Tetapi kelebihan jumlah orangnya memungkinkannya untuk bertempur berpasangan. Orang kepercayaan Ki Bekel itu pun segera datang membantu. Melawan kedua orang lawannya, Paksi harus meningkatkan kemampuannya. Namun ternyata bahwa ilmunya masih mampu menguasai kedua orang lawannya, sehingga keduanya telah terdesak pula.

Tetapi Paksi terkejut ketika tiba-tiba saja sebuah tombak pendek meluncur ke arahnya. Dengan cepat Paksi berusaha untuk mengelak. Tetapi tombak yang meluncur dari kegelapan dan begitu tiba-tiba itu sempat menggores lengannya.

Dengan cepat Paksi meloncat surut. Ketika ia meraba lengannya terasa cairan yang hangat membasahi jari-jarinya. Kemarahan Paksi lah yang kemudian naik ke kepala.

Sementara itu, orang yang disebut Ki Bekel dan kepercayaannya itu pun telah menyerang bersama-sama.

Paksi yang terluka di lengannya itu terdesak sesaat. Namun dengan menghentakkan kemampuannya, maka dengan cepat Paksi berhasil memperbaiki keadaannya. Ketika Ki Bekel meloncat menyerang langsung kepadanya, maka Paksi pun bergeser ke samping.

Tetapi kepercayaan Ki Bekel itu tidak memberinya kesempatan. Senjata telah terayun menebas ke arah leher.

Paksi sempat merendahkan diri, mengelak dari serangan orang itu. Tetapi pada saat yang bersamaan, senjata Ki Bekel itulah yang terjulur lurus ke arah dada.

Paksi tidak sempat mengelak. Tetapi dengan cepat ia memukul senjata Ki Bekel itu demikian kerasnya, sehingga senjata itu terangkat. Hampir saja senjata Ki Bekel itu terlepas dari tangannya. Dengan susah payah ia mempertahankan senjatanya itu, sementara tangannya terasa sangat pedih.

Paksi tidak melepaskan kesempatan itu. Tongkatnya pun terayun dengan derasnya. Bahkan oleh kemarahan yang membakar jantungnya, maka Paksi telah menghentakkan seluruh tenaganya.

Tongkat Paksi itu telah menghantam lambung orang yang disebut Ki Bekel itu.

Terdengar Ki Bekel itu mengaduh kesakitan. Namun ketika Ki Bekel itu sedang membungkuk sambil menekan lambungnya yang terasa sakit, maka tongkat Paksi telah memukul tengkuk Ki Bekel itu.

Ki Bekel itu pun jatuh tersungkur. Tanpa sempat menggeliat, Ki Bekel itu pun telah menghembuskan nafasnya yang terakhir. Agaknya tulang tengkuknya telah dipatahkan oleh tongkat Paksi.

Kepercayaan Ki Bekel yang melihat keadaan pemimpinnya, tiba-tiba saja seperti orang yang kehilangan pegangan. Hampir di luar sadarnya, bahwa dari mulutnya telah terlontar isyarat untuk mengundurkan diri dari pertempuran. Isyarat itu pun segera disahut oleh para pemimpin kelompok yang masih tersisa.

Demikianlah, ketika cahaya matahari mulai membayang di langit, maka para pengikut Harya Wisaka itu pun telah larut dari medan pertempuran. Mereka meninggalkan korban yang cukup banyak. Antara lain mereka yang terbunuh sebelum sempat memasuki padukuhan dengan anak panah menembus dada mereka.

Demikian matahari terbit, maka para prajurit Pajang itu sempat berkumpul di luar regol padukuhan untuk mengetahui, berapakah korban yang harus mereka berikan.

Tiga orang telah gugur. Lebih dari lima belas orang terluka termasuk Paksi. Tiga orang di antara mereka terluka agak parah, “Jumlah kita semakin menyusut” berkata Raden Sutawijaya.

“Sementara itu, kita belum menemukan Harya Wisaka”

“Yang memimpin pasukan ini bukan Harya Wisaka” berkata Paksi yang telah mengakhiri perlawanan orang yang disebut Ki Bekel itu.

Sementara para prajurit Pajang itu bertempur, seorang petugas sandi telah melacak ke padukuhan tempat para pengikut Harya Wisaka itu menjebak para prajurit Pajang. Tetapi sejak semula Harya Wisaka tidak ada di padukuhan itu.

Tetapi menurut keterangan seorang prajurit yang terluka yang dapat tertangkap, Harya Wisaka memang ada di padukuhan itu. Namun pada saat terakhir, Harya Wisaka dikawal oleh sepuluh orang pengawal khususnya telah meninggalkan padukuhan itu.

Seperti di Jurangjero, maka prajurit Pajang itu telah menghubungi penghuni padukuhan itu. Mereka menitipkan para pengikut Harya Wisaka yang terluka dan tidak dapat melarikan diri dari pertempuran.

Dibantu oleh para penghuni padukuhan, maka para prajurit Pajang itu telah memakamkan kawan-kawan mereka yang gugur serta para pengikut Harya Wisaka yang terbunuh.

“Apakah kita akan menyusul para pengikut Harya Wisaka di padukuhan tempat mereka berusaha menjebak kita?” bertanya Pangeran Benawa kepada Raden Sutawijaya.

“Tidak. Kita tidak akan menyusul mereka. Kita akan menunggu disini. Kita percayakan arah perjalanan kita selanjutnya kepada para petugas sandi”

“Lalu, kita akan pergi ke mana?”

“Kita akan tinggal disini semalam, sementara para petugas sandi akan mencari arah, kemana kita akan pergi”

Ki Gede Pemanahan pun kemudian telah memerintahkan seluruh pasukan itu untuk beristirahat di padukuhan itu.

Sebenarnyalah para penghuni padukuhan itu, termasuk Ki Bekel, menjadi cemas atas peristiwa yang terjadi di padukuhannya. Tetapi seperti kepada orang-orang di Jurangjero, Ki Gede Pemanahan minta agar orang-orang padukuhan itu bersikap baik terhadap para pengikut Harya Wisaka.

“Mereka memang pemberontak. Tetapi kami tidak dapat membantai mereka yang terluka itu. Biarlah mereka kalian rawat dengan baik, agar kawan-kawan mereka tidak mendendam.

Sedangkan kawan-kawan kami yang terluka akan tetap bersama kami. Kami tidak dapat meninggalkan mereka disini”

“Tetapi ada di antara mereka yang terluka parah”

“Apaboleh buat”

Hari itu. Ki Gede Pemanahan dan pasukannya tetap berada di padukuhan itu. Ki Bekel di padukuhan itu pun telah menyediakan makan dan minum bagi para prajurit Pajang itu serta bagi orang-orang yang terluka. Dua orang tabib berusaha merawat orang-orang yang terluka itu.

Seperti pesan Ki Gede Pemanahan kepada Ki Bekel, maka orang-orang padukuhan itu bersikap baik terhadap para pengikut Harya Wisaka yang terluka, agar mereka tidak mendendam kepada para penghuni padukuhan itu.

Lewat tengah hari, barulah para prajurit dapat beristirahat.

Tetapi Raden Sutawijaya tidak ingin pasukannya yang dirunduk oleh para pengikut Harya Wisaka. Karena itu, maka beberapa orang prajurit bergantian mengawasi setiap penjuru di luar padukuhan. Bahkan di malam hari para pengawas itu selalu berada di tempat mereka bergantian.

Tetapi para pengikut Harya Wisaka yang parah itu tidak datang untuk menyerang kembali para prajurit Pajang yang ada di padukuhan itu.

Dalam pada itu, di tengah malam, seorang petugas sandi telah datang memberikan laporan, bahwa pasukan Harya Wisaka itu telah meninggalkan padukuhan yang direncanakan untuk menjebak para prajurit Pajang. Mereka bergabung dengan kelompok kecil pasukan Harya Wisaka yang lain. Tetapi agaknya mereka tidak berniat untuk mengadakan serangan balasan.

“Tetapi kami mohon pasukan ini jangan bergerak dahulu esok pagi”

“Kenapa?” bertanya Raden Sutawijaya.

“Ada gerakan pasukan lain, Raden”

“Pasukan lain? Maksudmu? Pasukan baru dari para pengikut Harya Wisaka yang dipimpin langsung oleh Harya Wisaka?”

“Tidak, Raden. Kami belum tahu pasti. Tetapi bukan pasukan Harya Wisaka. Mungkin mereka orang-orang dari perguruan yang tentu saja masih belum dapat melupakan cincin kerajaan yang mereka cari itu”

“Berapa kekuatan mereka?”

“Kami belum tahu. Kawanku itu sedang mencari keterangan lebih jauh. Tetapi sebaiknya pasukan ini tetap berada disini”

Raden Sutawijaya mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Besok kita masih akan berada disini. Kami menunggu perkembangan keadaan”

Tetapi petugas sandi itu pun kemudian telah minta diri lagi untuk meninggalkan padukuhan itu untuk mencari keterangan.

“Kau dan kawan-kawanmu juga perlu beristirahat. Jangan terlalu letih. Jaga ketahanan wadagmu”

“Tidak apa-apa, Raden. Kami sudah terbiasa”

“Dalam keadaan yang lain, kau tentu tidak sesibuk sekarang. Padahal kesibukanmu bukan sekedar mengerahkan tenaga wadagmu, tetapi juga penalaranmu. Sedangkan taruhannya adalah nyawamu. Ketegangan-ketegangan yang mencengkammu akan dapat mengganggumu”

“Jika keadaan memungkinkan, kami akan beristirahat dimana pun kami sedang berada”

Raden Sutawijaya tidak dapat menahan prajurit sandi itu. Sejenak kemudian prajurit sandi itu sudah pergi lagi meninggalkan padukuhan.

Malam itu, Raden Sutawijaya dan Pangeran Benawa telah menemui Ki Bekel dan memberitahukan bahwa pasukannya akan menunda keberangkatannya.

“Silahkan, Raden. Silahkan. Kami sama sekali tidak merasa berkeberatan”

“Tetapi selama kami disini, kami menjadi beban Ki Bekel”

“Tidak apa-apa, Raden. Kami masih mempunyai persediaan cukup di lumbung-lumbung kami”

“Terima kasih atas kebaikan hati Ki Bekel”

Dalam pada itu, para petugas sandi pun telah menjalankan tugas mereka dengan baik. Mereka berusaha untuk mengetahui gerakan pasukan yang semula tidak mereka kenal itu. Pasukan itu tentu bukan pasukan para pengikut Harya Wisaka.

Sementara itu, para petugas sandi itu pun telah berhasil melacak pasukan Harya Wisaka itu pula. Namun agaknya pasukan Harya Wisaka itu pun sudah mengetahui, bahwa ada gerakan lain yang berkeliaran di daerah itu.

Pasukan Harya Wisaka yang telah bergabung itu menempati sebuah padukuhan yang cukup besar. Para petugas sandi mendapat keterangan bahwa pasukan itu dipimpin langsung oleh Harya Wisaka.

Dua orang prajurit sandi yang datang menghadap Raden Sutawijaya di hari berikutnya menjelang senja, telah melaporkan keberadaan pasukan itu.

“Tetapi kami mohon Raden tidak membawa pasukan ini mendekati pasukan Harya Wisaka”

“Kenapa?”

“Nampaknya pasukan yang masih belum kita kenal itu sedang berusaha mengenali pasukan Harya Wisaka. Jika kedua pasukan itu bergabung, maka sebaiknya kita urungkan niat kita untuk menangkap Harya Wisaka”

“Kenapa?”

“Pasukan itu akan menjadi pasukan yang besar dan kuat”

“Apakah kita perlu melarikan diri?”

“Bukan melarikan diri, Raden. Tetapi kita tidak seperti serangga yang menyurukkan kepala kita ke dalam api. Jika kita mengambil sikap itu, sama sekali bukan karena ketakutan. Tetapi atas dasar perhitungan nalar yang wajar”

Raden Sutawijaya menarik nafas dalam-dalam. Para petugas sandi itulah yang langsung menyaksikan pasukan yang dikatakannya itu. Merekalah yang sepantasnya memberikan penimbangan apakah pasukan kecil itu berani mengambil langkah atau tidak.

Karena itu, Raden Sutawijaya tidak membantah. Ia harus mempercayai petugas sandi yang sudah berpengalaman itu.

Ketika hal itu kemudian dibicarakan oleh Raden Sutawijaya dengan Pangeran Benawa dan Paksi, maka mereka pun telah mengambil keputusan untuk tidak bergerak lebih dahulu. Dan ketika keputusan itu disampaikan kepada Ki Gede Pemanahan, maka Ki Gede pun menyetujuinya.

Sambil memberi kesempatan kepada prajurit-prajurit Pajang itu beristirahat, maka pasukan Pajang menunggu perkembangan keadaan. Sementara itu yang terluka mendapat perawatan yang sebaik-baiknya.

Ki Bekel dan orang-orang padukuhan itu pun berusaha untuk melayani para prajurit dengan sebaik-baiknya. Mereka mencukupi segala kebutuhannya, terutama makan dan minum mereka. Sementara itu, beberapa orang pengikut Harya Wisaka yang terluka pun mendapat perawatan yang baik pula.

Raden Sutawijaya, Pangeran Benawa dan Paksi yang harus menunda gerakan mereka, mendapat kesempatan untuk berbicara dengan para pengikut Harya Wisaka yang terluka.

Seorang yang berwajah jernih, berkulit kuning dan sikapnya merendah, telah dipanggil oleh Raden Sutawijaya untuk melakukan pembicaraan khusus ditunggui oleh Pangeran Benawa dan Paksi.

“Jadi kau sendiri belum pernah bertemu dengan Harya Wisaka?”

“Sudah, Raden”

“Maksudku setelah Harya Wisaka lari dari tahanan”

“Belum, Raden”

“Jadi siapakah yang selama ini memimpin pasukanmu?”

“Ki Manon. Tetapi menurut Ki Manon, Harya Wisaka ada di pasukan yang lain. Juga pasukan yang kecil saja, yang bergerak dengan cepat. Hari ini Harya Wisaka berada disini. Besok Harya Wisaka sudah berada di tempat yang jauh. Bahkan kadang-kadang Harya Wisaka dalam saat yang bersamaan berada di dua tempat yang terpisah”

“Kau mulai mendongeng. Aku bukan anak-anak yang berangkat tidur. Katakan yang sebenarnya, dimana Harya Wisaka bersembunyi”

“Aku tidak tahu, Raden. Sungguh, aku tidak tahu. Hanya orang-orang penting sajalah yang mengetahuinya. Bahkan aku tidak tahu ketika Harya Wisaka dan pasukan kecilnya bermalam di padukuhan yang sama dengan padukuhan tempat kami tinggal untuk beberapa hari. Baru kemudian aku mendengar, bahwa yang lewat bersama pasukan kecil itu adalah Harya Wisaka”

Raden Sutawijaya, menarik nafas dalam-dalam. Ia mempercayai orang itu. Nampaknya orang itu jujur dan tidak mengada-ada.

Dalam pada itu, Paksi pun telah bertanya pula, “Kau pernah bertemu, berbicara atau sekedar mengetahui seorang tumenggung yang bernama Tumenggung Sarpa Biwada?”

“Aku pernah mendengar namanya. Tetapi aku belum pernah mengenalnya. Ia berada di dalam pasukan kecil itu pula”

Paksi menarik nafas dalam-dalam. Namun ia tidak bertanya lebih jauh.

Pangeran Benawa lah yang kemudian bertanya, “Kenapa kau berada di dalam pasukan yang berada di bawah perintah Harya Wisaka? Apakah kau tidak tahu bahwa Harya Wisaka telah memberontak terhadap kekuasaan Pajang?”

“Harya Wisaka hanya ingin mengambil haknya dari Mas Karebet yang menyebut dirinya Sultan Hadiwijaya”

“Siapa pun Mas Karebet, tetapi Mas Karebet adalah menantu Kangjeng Sultan Demak. Ia berhak untuk mewarisi kedudukan mertuanya”

“Ada orang lain yang lebih berhak”

“Tetapi, bukankah kedudukan Kangjeng Sultan Pajang itu sah dan pantas untuk ditegakkan?”

Orang itu terdiam. Ia tahu, bahwa ia berbicara dengan putera Kangjeng Sultan Pajang itu. Tetapi Pangeran Benawa itu pun mendesak, “Bagaimana menurut pendengaranmu, apakah Harya Wisaka lebih berhak dari Kangjeng Sultan Pajang yang sekarang duduk di atas tahta?”

Orang itu masih tetap berdiam diri.

“Baiklah. Kau tentu tidak berani mengatakannya, karena kau tahu aku adalah Pangeran Benawa. Tetapi bahwa kau dengan sadar mengikuti gerakan Harya Wisaka itu, sudah merupakan wajah dari sikapmu terhadap Kangjeng Sultan Pajang”

“Ampun, Pangeran”

“Aku tidak akan mengadili sikapmu itu”

Orang itu terdiam. Ditundukkannya kepalanya dalam-dalam. Namun kemudian ia pun berkata, “Pangeran, aku berasal dari Jipang. Apa yang aku dengar tentang Pajang memang berbeda dari apa yang aku saksikan. Prajurit dan kekuasaan Pajang tidak sebengis yang aku dengar”

“Apa yang kau dengar?”

“Yang jelek-jelek”

Pangeran Benawa menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Itu tidak mengherankan. Jika kepadamu tidak diceriterakan yang jelek-jelek, maka kau tidak akan ikut memberontak”

“Ya. Tetapi khususnya disini aku tidak melihat kebengisan prajurit Pajang. Mungkin karena pasukan ini dipimpin langsung oleh Ki Gede Pemanahan, sehingga sikap dan tingkah laku para prajuritnya terkendali”

“Mungkin. Tetapi sebaiknya jika kau sudah sembuh, perlukan datang ke kotaraja. Kau akan melihat kehidupan yang mapan” berkata Pangeran Benawa. Namun Pangeran itu pun berkata pula, “Tetapi aku tidak akan ingkar, bahwa masih ada para pejabat yang melaksanakan tugasnya lepas dari kendali. Terutama di daerah-daerah yang agak terpencil. Tetapi itu bukan kebijaksanaan pemerintahan di Pajang. Hal itu terjadi karena ada orang-orang yang menyalah-gunakan kekuasaannya. Mungkin untuk mendapat keuntungan pribadi”

Pengikut Harya Wisaka itu tidak menjawab. Tetapi kepalanya masih menunduk.

“Nah, jika kau sembuh nanti, apa yang akan kau lakukan? Mencari hubungan dengan Harya Wisaka atau ingin melihat Pajang yang sesungguhnya? Khususnya di kotaraja?”

Orang itu menggeleng. Katanya, “Aku belum tahu”

“Baiklah. Itu terserah kepadamu. Seharusnya kau ditahan. Tetapi pelaksanaannya sulit sekali karena kami berada disini. Kalau kau kami serahkan kepada Ki Bekel, maka akibat buruk dapat terjadi bagi padukuhan ini. Jika kami pergi, maka kawan-kawanmu akan datang untuk membebaskanmu sekaligus membalas dendam kepada Ki Bekel dan penghuni padukuhan ini, meskipun mereka sebenarnya tidak bersalah. Karena itu, kami tidak dapat menahanmu dan kawan-kawanmu yang terluka”

“Kenapa para prajurit Pajang tidak membunuh kami?”

“Kau tadi sudah mengatakan, bahwa mungkin karena pasukan ini dipimpin langsung oleh Ki Gede, maka tindakan para prajuritnya terkendali”

Orang itu menunduk lagi.

“Tetapi perlu kau ketahui, bahwa para prajurit Pajang ditempa dalam latihan-latihan yang berat, tidak untuk menjadi pembunuh. Para prajurit Pajang di bawah pimpinan siapa pun diajari untuk berpegang pada paugeran perang”

Orang itu mengangguk-angguk.

“Baiklah” berkata Raden Sutawijaya, “biarlah orang ini dibawa kembali kepada teman-temannya yang terluka”

Dengan pembicaraan itu, maka seakan-akan bayangan wajah Harya Wisaka menjadi semakin kabur. Raden Sutawijaya, Pangeran Benawa dan Paksi harus mengakui, bahwa jalan yang mereka tempuh bukanlah satu kepastian untuk sampai kepada Harya Wisaka itu, betapapun para petugas sandi bekerja keras.

Tetapi ketika para petugas sandi kemudian menemui Raden Sutawijaya, maka para petugas sandi itu pun melaporkan, bahwa jejak Harya Wisaka menjadi sulit untuk dilacak. Tetapi setiap kali mereka mendapat keterangan bahwa pasukan yang mereka bayangi itu dipimpin langsung oleh Harya Wisaka.

Dalam pada itu, para petugas sandi juga masih belum mendapatkan keterangan yang meyakinkan tentang pasukan yang tidak dikenal itu. Agaknya pasukan Harya Wisaka juga masih belum menentukan sikap, apakah mereka akan membuat benturan dengan pasukan itu.

“Paman Harya Wisaka akan menghitung berulang kali untuk membenturkan kekuatannya dengan pasukan itu. Paman Harya Wisaka sendiri memerlukan kekuatan yang sebesar-besarnya untuk dapat mengganggu ketertiban di Pajang dan mengacaukan pemerintahan sebelum sampai pada saatnya menghancurkannya” berkata Raden Sutawijaya.

Namun Raden Sutawijaya masih belum mulai bergerak lagi sesuai dengan permintaan para petugas sandi.

Kekuatan pasukan Pajang itu ternyata tidak cukup kuat untuk menghadapi pasukan-pasukan yang ada. Pasukan Harya Wisaka pun menjadi semakin kuat ketika dua pasukan bergabung menjadi satu. Meskipun yang satu merupakan pasukan kecil, tetapi bersama-sama dua pasukan itu menjadi besar.

Pasukan yang belum dikenal itu pun nampaknya juga sebuah pasukan yang besar. Mungkin gabungan dari beberapa perguruan. Tetapi mungkin juga hanya sebuah perguruan yang memang besar. Atau gerombolan penjahat yang ingin memanfaatkan keadaan.

Sementara itu pasukan yang dipimpin langsung oleh Ki Gede Pemanahan itu menjadi semakin kecil. Ada yang gugur, dan ada yang terluka, bahkan parah. Karena itu, maka pasukan kecil itu harus menjadi lebih berhati-hati menghadapi kemungkinan-kemungkinan di medan.

Dalam pada itu, di Pajang, para prajurit pun selalu bersiaga. Mereka menyadari, bahwa udara Pajang terasa menjadi semakin panas sejak hilangnya Harya Wisaka. Ada beberapa orang tumenggung yang hilang selain Ki Tumenggung Sarpa Biwada. Mereka adalah orang-orang yang bergabung dengan Harya Wisaka.

Dalam pada itu, di sebuah rumah kecil dan sederhana di sudut kota Pajang, tiga orang sedang duduk di amben bambu di ruang dalam rumah itu. Wajah mereka nampak bersungguh-sungguh. Agaknya mereka memang sedang membicarakan masalah yang sangat penting.

“Orang-orang Pajang yang dungu itu percaya, bahwa Harya Wisaka sendirilah yang memimpin pasukan yang bergerak di luar kota. Ki Gede Pemanahan sendiri telah turun tangan memimpin pasukan khusus untuk memburu Harya Wisaka itu”

Ketiga orang itu mengangguk-angguk. Namun seorang di antara mereka tersenyum sambil berkata, “Bagaimana mungkin Pajang dapat menjadi besar di bawah pimpinan orang-orang dungu seperti itu?”

“Kapan kita akan bertindak? Mumpung Ki Gede Pemanahan belum pulang”

“Ya. Kita harus segera bertindak. Jika Ki Gede Pemanahan menyadari bahwa dirinya telah dikelabuhi, maka ia akan segera pulang”

“Bukankah kita ingin memasuki istana?”

“Ya. Aku akan membunuh Sultan Hadiwijaya dengan tanganku. Jika dua orang utusan Kakangmas Harya Penangsang pernah gagal, maka aku tidak akan gagal”

“Apakah Angger Harya Wisaka yakin bahwa kita akan dapat memasuki istana?”

“Kalau dua orang utusan Kakangmas Harya Penangsang dapat memasuki bilik tidur Sultan Hadiwijaya, kenapa aku tidak?”

Kedua orang yang lain termangu-mangu sejenak. Sementara itu, Harya Wisaka yang sebenarnya tidak pernah keluar dari kota itu berkata selanjutnya, “Aku akan membunuhnya dengan keris pusakaku sendiri”

“Kapan kita akan melakukannya?”

“Jangan tergesa-gesa” jawab Harya Wisaka. “Tentu saja dalam waktu yang tidak terlalu lama agar Pemanahan yang dungu itu masih belum sempat pulang”

“Apakah Ki Gede sekarang belum pulang?”

“Tentu belum. Pasukan kecil itu juga belum pulang. Bahkan mungkin Ki Gede Pemanahan tidak akan pernah pulang, karena Pemanahan akan dapat terjebak oleh kesombongannya sendiri”

“Maksud Angger?”

“Para pengikutku bukan orang-orang yang bodoh seperti orang-orang Pajang. Mereka mempergunakan otak mereka dengan baik. Pasukan Ki Gede Pemanahan yang kecil itu tentu akan dapat dijebak oleh orang-orangku sehingga pasukan itu dapat dilumatkan menjadi debu”

Kedua orang yang lain pun mengangguk-angguk. Sementara itu Harya Wisaka pun berkata selanjutnya, “Sebenarnyalah aku masih menunggu Paman Jalamanik”

“Apakah Resi Jalamanik akan datang?”

“Ya. Paman Resi Jalamanik akan datang dalam satu dua hari ini. Kemudian kita dan beberapa orang pilihan akan memasuki istana”

“Apakah kita akan dapat menembus para prajurit yang bertugas?”

“Kita bukan orang-orang bodoh yang hanya mengandalkan tenaga dan kemampuan kewadagan. Karena itu aku menunggu Paman Resi Jalamanik yang telah putus saliring ilmu. Paman menguasai ilmu sirep dengan baik, sehingga dengan ilmu sirep, maka penjagaan di istana akan menjadi sangat lemah”

Kedua orang yang lain mengangguk-angguk. Namun seorang di antara mereka pun bertanya, “Bagaimana dengan Kangjeng Sultan sendiri? Apakah sirep itu akan berarti?”

“Kita tidak melontarkan sirep di siang hari. Pada waktu Kangjeng Sultan sedang tidur, maka sirep akan membuatnya menjadi semakin nyenyak. Kangjeng Sultan tidak akan sempat membuat perlawanan atas sirep yang menyentuhnya, sehingga sirep itu pun akan mencengkamnya seperti pada orang lain”

“Itu yang kita harapkan. Tetapi jika yang terjadi lain?”

“Apakah di antara kita tidak ada yang dapat menghadapinya? Kangjeng Sultan memang seorang yang memiliki ilmu yang sangat tinggi. Tetapi Resi Jalamanik juga orang yang memiliki ilmu tidak terbatas di samping ilmu sirepnya. Seandainya kemampuan Resi Jalamanik tidak ada seorang pun di antara kita yang dapat membantunya? Setidak-tidaknya aku sendiri akan dapat mengisi kekurangan Paman Resi Jalamanik”

Kedua orang itu mengangguk-angguk pula. Namun seorang di antara mereka bertanya, “Bagaimana kita tahu tentang Ki Gede Pemanahan?”

“Jangan bodoh. Jika pasukan kecil itu belum kembali, Ki Gede pun tentu belum kembali”

“Jadi kerja kita sekarang menunggu Resi Jalamanik?”

“Ya”

“Kita sudah kehilangan banyak waktu”

“Apakah kau dapat menggantikan peran Paman Resi Jalamanik? Jika kau mempunyai ilmu sirep yang kuat serta tingkat ilmumu sama dengan Paman Resi Jalamanik, aku bersedia untuk melakukannya malam nanti”

Orang itu tidak menjawab. Meskipun demikian, di hatinya ia tidak segera mengakui bahwa ilmunya tidak dapat menandingi ilmu Resi Jalamanik, kecuali ilmu sirep. Orang itu memang harus mengakui, bahwa ia tidak mempunyai kemampuan melontarkan ilmu sirep.

Namun mereka harus tunduk kepada keputusan Harya Wisaka. Mereka harus menunggu Resi Jalamanik.

Hari itu memang merupakan hari yang sangat tegang. Di rumah kecil dan sederhana itu Harya Wisaka mengatur kekuatannya. Bahkan ia mampu mengendalikan pasukannya yang berkeliaran di luar kotaraja. Setiap hari para penghubung datang menemuinya dengan seribu macam cara. Sebagian dari mereka menyamar menjadi penjual hasil bumi di pasar. Yang lain membawa gerabah dengan kuda beban berkeliling dari padukuhan ke padukuhan. Bahkan Harya Wisaka mempunyai penghubung perempuan yang berpura-pura berjualan nasi tumpang berkeliling dari rumah ke rumah.

Ternyata ketajaman penglihatan para petugas sandi Pajang masih belum mampu melihat kenyataan dari orang-orang yang menyamar itu. Mereka masih mempunyai peluang untuk keluar masuk pintu gerbang kota.

Dalam pada itu, sebenarnyalah bahwa Harya Wisaka masih berada di dalam kota. Pasukannya sengaja melontarkan kesan, seolah-olah Harya Wisaka telah berhasil melarikan diri keluar kota dan memimpin langsung pasukannya yang membuat berbagai macam kerusuhan untuk menimbulkan keresahan di wilayah Pajang. Terutama daerah yang tidak terlalu jauh dari kotaraja.

Ternyata yang diharapkan datang oleh Harya Wisaka itu datang lebih cepat. Malam itu, ketika pintu rumah kecil itu sudah tertutup rapat, maka terdengar seseorang mengetuk perlahan-lahan. Harya Wisaka dan penghuni rumah itu yang lain masih belum tidur. Mereka pun segera bersiap menghadapi segala kemungkinan.

Namun tiba-tiba saja terdengar suara di luar, “Kali bening iline ngidul”

Harya Wisaka menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada berat ia pun bertanya, “Iwake?”

“Bader bang”

Harya Wisaka pun kemudian berdesis kepada pemilik rumah itu, yang berbaring di amben bambu di ruang dalam untuk membukanya. “Bukalah. Tentu kawan sendiri”

Pemilik rumah itu, seorang pengikut Harya Wisaka yang yakin akan kebenaran perjuangannya, melangkah ke pintu.

Diangkatnya selarak pintu itu dan kemudian dibukanya. Dua orang berdiri di depan pintu. Seorang di antaranya adalah seorang yang umurnya sudah lebih dari setengah abad.

Janggutnya yang tidak terlalu panjang, kumis serta jambangnya yang terjulur di bawah ikat kepalanya sudah nampak memutih.

Sementara itu, yang seorang lagi adalah seorang yang bertubuh tinggi agak kekurus-kurusan. Tetapi pandangan matanya tajam setajam mata burung hantu.

“Marilah Paman berdua” Harya Wisaka mempersilahkan.

Kedua orang itu pun kemudian melangkah masuk. Sejenak kemudian keduanya telah duduk di ruang dalam ditemui Harya Wisaka dan dua orang kawannya yang tinggi di rumah kecil itu, sementara pemilik rumah itu pun telah pergi ke dapur untuk merebus air.

“Selamat datang, Paman berdua”

Orang yang janggut dan kumisnya sudah putih tersenyum sambil menjawab, “Terima kasih, Harya Wisaka. Bagaimana dengan keadaanmu?”

“Baik, Paman Resi. Kami memang menunggu-nunggu kedatangan Paman Resi Jalamanik dan Paman Wimba Atmaka”

Resi Jalamanik tertawa. Katanya, “Kau menunggu-nunggu kedatanganku jika kau sangat memerlukannya. Jika tidak, kau melupakan aku”

“Tidak. Bukan begitu, Paman. Aku tidak melupakan Paman. Tetapi karena kesibukan yang mengurungku, sehingga aku tidak dapat pergi kemana-mana. Apalagi sekarang. Bukan saja kesibukanku yang mengikat aku di kotaraja, tetapi Pemanahan telah menebarkan orang-orangnya untuk mencariku”

“Kau takut menghadapi Pemanahan?”

“Bukan takut, Paman. Tetapi aku tidak dapat ingkar dari kenyataan, bahwa ia mempunyai prajurit yang terlalu banyak untuk dilawan”

“Jadi apa menurut rencanamu?”

“Pemanahan telah aku pancing keluar”

“Maksudmu?”

“Orang-orangku menebarkan dongeng bahwa aku telah menyusup keluar kotaraja dan memimpin pasukan untuk membuat resah”

Resi Jalamanik mengangguk-angguk, sementara Ki Wimba Atmaka bertanya, “Ki Gede Pemanahan mencarimu?”

“Ya. Ia membawa pasukan kecil yang sangat tangguh untuk memburuku. Pasukanku yang berada di luar masih terus menyebarkan ceritera itu. Dimana pun mereka berhenti, mereka selalu menyebut-nyebut namaku yang memimpin langsung pasukan yang selalu menimbulkan keresahan itu”

Ki Wimba Atmaka tertawa. Katanya, “Kau memang cerdik, Harya Wisaka. Sekarang, tanpa Ki Gede Pemanahan, maka Kangjeng Sultan Hadiwijaya yang perkasa itu tidak akan mampu menyelamatkan dirinya”

“Apa yang akan kita lakukan?” bertanya Resi Jalamanik.

“Masuk ke dalam istana dan menikam jantung Hadiwijaya dengan kerisku ini”

“O” Resi Jalamanik mengangguk-angguk, “kenapa tidak segera kau lakukan?”

“Aku menunggu Paman Resi Jalamanik”

“Menunggu aku?”

“Paman tahu itu. Paman berdua adalah orang yang berilmu tinggi. Paman Resi Jalamanik memiliki kemampuan ilmu sirep”

Resi Jalamanik tersenyum. Katanya, “Jadi, kita akan memasuki istana dengan menebarkan sirep lebih dahulu?”

“Ya”

“Sultan Hadiwijaya tidak akan termakan oleh sirep betapapun tajamnya”

“Yang penting semua pengawalnya tertidur. Kita akan dapat memasuki istana dengan leluasa dan langsung menuju ke bilik tidur Sultan Hadiwijaya. Jika ia sudah tertidur sebelum sirep ditebarkan, maka ia tidak mempunyai kesempatan untuk melawan, tetapi seandainya ia masih tetap terbangun, kita akan menyelesaikannya. Kita akan membunuhnya dalam satu pertempuran”

“Perang tanding?”

“Jika Paman menghendaki”

“Kau yang kau maksudkan”

“Paman masih saja mempermainkan aku”

Resi Jalamanik tertawa. Demikian pula Ki Wimba Atmaka yang tertawa berkepanjangan. Katanya, “Kau masih pandai merajuk”

“Paman, aku sudah merasa sangat letih menghadapi permainan Ki Gede Pemanahan. Aku ingin segera berakhir. Aku ingin Sultan Hadiwijaya mati dan terjadi kekosongan pemerintah di Pajang. Sepeninggal Hadiwijaya, pengaruh Pajang akan segera menyusut. Aku tidak yakin bahwa Benawa mempunyai wibawa seperti ayahnya”

“Sekarang, kau berharap aku mengakhiri permainan ini”

“Ya”

“Setelah Hadiwijaya terbunuh, bagaimana dengan Pemanahan?”

“Pemanahan tidak akan mendapat banyak pengikut. Pajang akan terpecah. Mungkin Pemanahan dan Sutawijaya akan berdiri di satu pihak dan Pangeran Benawa di pihak lain. Sementara itu, gerakan untuk menguasai cincin yang dibawa oleh Pangeran Benawa itu masih saja terjadi. Keinginanku untuk memiliki cincin kerajaan itu pun belum padam juga”


Resi Jalamanik mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Aku akan membantumu membunuh Hadiwijaya. Tetapi biarlah aku beristirahat sehari besok. Baru besok malam kita akan memasuki istana”

“Tentu, Paman. Tentu tidak malam ini. Besok aku akan bersiap-siap. Aku masih akan memanggil Tumenggung Sarpa Biwada untuk bersiap menghadapi segala kemungkinan di luar istana”

“Jangan bodoh” berkata Resi Jalamanik. “Jika kau mempersiapkan pasukan, maka rencanamu tentu akan tercium. Menurut pendapatku, lebih baik kita empat atau lima orang saja memasuki istana yang tidak dijaga, karena para penjaganya tertidur. Mungkin Sultan Hadiwijaya sendiri tidak tertidur. Tetapi ia tidak akan dapat berbuat banyak menghadapi kita”

Harya Wisaka mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah, Paman. Mana yang baik menurut Paman, akan kami lakukan”

“Nah, sekarang beri aku minum dan makan apa saja yang ada. Aku haus dan lapar”

“Baik, baik, Paman”

Seorang dari kawan-kawan Harya Wisaka itu pun pergi ke dapur. Air yang dijerang oleh pemilik rumah itu pun sudah mendidih.

Sejenak kemudian, maka dihidangkan wedang jahe yang bukan saja masih mengepul, tetapi wedang jahe itu akan dapat menghangatkan tubuh mereka di malam yang dingin.

Dalam pada itu, di dalam pasukannya yang sudah menyusut, Raden Sutawijaya, Pangeran Benawa dan Paksi masih belum dapat menentukan, kapan mereka akan bergerak. Para petugas sandi masih memberikan pertimbangan agar mereka tetap berada di tempat. Bahkan mereka harus memperkuat pertahanan mereka, karena kemungkinan buruk dapat saja terjadi setiap saat.

Busur dan anak panah pun selalu dipersiapkan. Di sudut-sudut padukuhan telah ditempatkan gardu-gardu perondan. Bahkan tangga bambu untuk para peronda yang bertugas mengawasi keadaan di luar padukuhan itu. Sementara itu, kelompok-kelompok kecil pun selalu meronda di seputar padukuhan itu di malam hari.

Di tengah malam, dua orang petugas sandi telah menemui Raden Sutawijaya, Pangeran Benawa dan Paksi. Mereka memberitahukan, bahwa beberapa orang berkuda telah mendatangi dan kemudian bergabung dengan pasukan Harya Wisaka itu.

“Siapakah mereka?”

“Mungkin seorang di antara mereka adalah Harya Wisaka itu sendiri”

Raden Sutawijaya termangu-mangu sejenak. Dengan nada datar ia pun berkata, “Apakah kita akan menyergap mereka?”

“Sulit dilakukan, Raden. Kekuatan mereka terlalu besar bagi pasukan kecil ini. Pengalaman mereka terjebak sampai dua kali membuat mereka menjadi sangat berhati-hati”

Raden Sutawijaya termangu-mangu sejenak. Sementara itu Pangeran Benawa pun bertanya, “Bagaimana dengan para prajurit yang berada di Prambanan? Bukankah mereka telah dibersihkan dari pengaruh beberapa orang pengikut Harya Wisaka?”

“Ya” petugas sandi itu mengangguk-angguk. “Tetapi Prambanan masih jauh”

“Berkuda?”

“Kami akan mencoba. Seorang kawan kami akan pergi ke Prambanan. Jika keadaan memungkinkan, kita akan dapat bergerak bersama-sama dengan para prajurit yang berada di Prambanan”

Dalam pada itu, Ki Gede Pemanahan pun telah menyetujui rencana untuk menghubungi para prajurit di Prambanan.

Demikianlah, maka salah seorang penghubung telah pergi ke Prambanan berkuda. Ia telah diijinkan mempergunakan kuda Ki Bekel yang tegar dan besar.

“Kami menunggu beritamu” berkata Raden Sutawijaya.

“Baik, Raden”

Di tengah malam penghubung itu memacu kudanya. Ia harus memilih jalan yang aman, agar ia tidak terperosok ke dalam jebakan pasukan Harya Wisaka.

Ketika petugas sandi itu sampai di Prambanan, maka mereka melihat satu kenyataan yang mendebarkan. Prambanan memang sudah diyakini bersih dari pengikut Harya Wisaka. Tetapi pasukan yang ada di Prambanan kemudian adalah pasukan yang baru tersusun. Sebagian besar dari mereka adalah prajurit-prajurit yang masih muda dan belum berpengalaman.

Senapati Pajang yang ditugaskan di Prambanan adalah seorang lurah yang juga terhitung masih muda.

“Kami akan melaksanakan perintah Raden Sutawijaya” berkata Ki Lurah Sanggabaya.

Petugas sandi itu mengangguk-angguk. Katanya, “Siapkan prajurit, Ki Lurah. Apa adanya. Biarlah aku memberikan laporan kepada Ki Gede Pemanahan”

“Baik” berkata Ki Lurah. Namun katanya kemudian,

“Kedatanganmu memberikan kemungkinan-kemungkinan baru bagi kami. Petugas sandi kami yang berpengalaman, memperhitungkan bahwa pasukan yang semula kurang jelas bagi kami, yang agaknya adalah pasukan Harya Wisaka sebagaimana kau katakan, memang bergerak ke selatan”

“Ya. Mereka memang bergerak ke selatan. Tetapi apakah Ki Lurah juga menangkap isyarat kehadiran pasukan yang lain?”

“Ya. Tetapi nampaknya pasukan itu tidak cukup kuat untuk menghadapi pasukan Harya Wisaka itu. Pasukan itu adalah pasukan liar yang masih belum dapat kami ketahui dengan jelas”

“Apa yang sudah Ki Lurah persiapkan disini?” bertanya petugas sandi itu.

“Kami mempunyai orang yang cukup. Tetapi sebagian besar belum berpengalaman. Ketika aku membawa sepuluh orang di antara mereka untuk memburu sekelompok perampok, maka ketika terjadi pertempuran, ada di antara prajuritku justru terkencing-kencing. Dalam ketakutan itu, hampir saja ia harus menyerahkan nyawanya. Untunglah seorang prajurit yang berpengalaman sempat menyelamatkannya”

Petugas sandi itu menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada dalam ia pun berkata, “Aku akan segera kembali untuk memberikan laporan. Mungkin ada perintah dari Ki Gede Pemanahan bagi Ki Lurah”

“Apa pun yang diperintahkan, akan kami lakukan dengan kekuatan yang ada pada kami”

“Aku mohon diri, Ki Lurah. Aku mohon Ki Lurah mempersiapkan pasukan Ki Lurah. Jika Ki Gede Pemanahan memerintahkan pasukan ini membentur pasukan Harya Wisaka, maka tugas itu memang sangat berat. Tetapi pasukan Raden Sutawijaya tentu akan bersama-sama dengan Ki Lurah”

Petugas sandi itu pun kemudian telah dipertemukan dengan prajurit sandi yang bertugas di Prambanan. Mereka dapat bertukar keterangan sehingga gambaran mereka tentang pasukan Harya Wisaka itu menjadi semakin jelas.

Ketika prajurit sandi dari pasukan Raden Sutawijaya itu kembali ke pasukannya, maka seorang petugas sandi dan seorang penghubung dari pasukan Pajang yang berada di Prambanan itu menyertainya.

Kedua orang itu pun kemudian langsung menghadap Raden Sutawijaya, Pangeran Benawa dan Paksi untuk memberikan beberapa keterangan tentang keadaan mereka di Prambanan serta gerakan-gerakan pasukan di sekitarnya.

“Nampaknya pasukan yang ternyata adalah pasukan Harya Wisaka itu memang akan menuju ke Prambanan” berkata petugas sandi dari Prambanan itu.

“Kita akan bergerak bersama-sama” berkata Raden Sutawijaya.

Petugas sandi dari Prambanan itu ternyata mengenal lingkungan itu dengan baik. Karena itu, maka bersama-sama dengan petugas sandi dan penghubung dari Prambanan itu, Raden Sutawijaya telah membuat rencana penyergapan atas pasukan Harya Wisaka itu.

“Mudah-mudahan Harya Wisaka ada di antara mereka” desis Pangeran Benawa.

Tetapi mereka tidak mempunyai waktu lagi untuk menyergap pagi itu. Sementara itu langit sudah menjadi terang. Karena itu, maka mereka merencanakan untuk menyergap pasukan Harya Wisaka itu di hari berikutnya.

Raden Sutawijaya pun telah mengatur padukuhan-padukuhan yang akan menjadi landasan serangan mereka. Mereka telah bersepakat, dimana pasukan dari Prambanan itu akan menempatkan diri. Kemudian di padukuhan manakah pasukan Ki Gede Pemanahan itu akan berhenti.

“Kita akan menyergap pasukan itu sebelum fajar esok pagi” berkata Raden Sutawijaya.

“Baik, Raden. Ki Lurah Sanggabaya akan menyiapkan pasukannya di tengah malam”

“Kita harus membuat hubungan dahulu sebelum penyergapan itu dilakukan”

“Ki Lurah akan menghadap Raden nanti malam”

Demikianlah, setelah mereka mendapat kesepakatan, maka kedua orang prajurit dari Prambanan itu pun mohon diri.....

“Jika ada masalah, beritahukan kepada kami” pesan Pangeran Benawa.

“Ya, Pangeran. Tetapi Pangeran jangan kecewa terhadap prajurit-prajurit dari Prambanan yang sebagian besar masih belum berpengalaman itu”

“Tetapi bukankah mereka telah mendapat latihan-latihan yang cukup?”

“Mereka sampai sekarang masih tetap ditempa dalam latihan-latihan. Tetapi memang agak tergesa-gesa. Ketika pasukan Prambanan dibersihkan dari pengaruh Harya Wisaka, maka Prambanan seakan-akan menjadi kosong, sehingga disusun pasukan itu dengan pertimbangan yang kurang masak”

“Tetapi Ki Lurah telah menjalankan tugasnya dengan baik. Latihan-latihan itu memang tidak boleh berhenti”

“Ya. Dibimbing oleh beberapa orang prajurit yang sudah berpengalaman. Tetapi kemajuannya terasa lamban sekali”

“Pada suatu saat mereka akan disebut berpengalaman. Pada mulanya, semuanya memang belum berpengalaman”

Petugas sandi dan penghubung dari Prambanan itu mengangguk-angguk.

Ketika matahari naik, maka petugas sandi dan penghubung dari Prambanan itu pun minta diri. Mereka harus segera menghubungi Ki Lurah Sanggabaya agar Ki Lurah segera mempersiapkan pasukannya.

Sejenak kemudian, keduanya telah berpacu di jalan bulak.

Mereka harus memperhitungkan sebaik-baiknya, jalan manakah yang dapat mereka lewati, agar mereka tidak tersesat memasuki lingkaran pengamatan pasukan Harya Wisaka.

Ketika hasil kesepakatan kedua orang prajurit dari Prambanan itu dengan Raden Sutawijaya dilaporkan kepada Ki Lurah, maka Ki Lurah pun berdesis, “Kita kumpulkan semua pemimpin kelompok. Setelah kita berbicara tentang rencana gerak pasukan kita, kalian berdua dapat beristirahat. Agaknya kalian telah menempuh perjalanan jauh dan tidak tidur semalam suntuk”

Kepada para pemimpin kelompok, Ki Lurah Sanggabaya telah menguraikan rencana gerakan mereka malam nanti. Para pemimpin kelompok harus mempersiapkan para prajurit mereka sebaik-baiknya.

“Kita tahu, bahwa pasukan Harya Wisaka itu adalah pasukan yang kuat dan berpengalaman. Apalagi jika dipimpin langsung oleh Harya Wisaka sendiri. Namun kita adalah prajurit-prajurit yang terikat pada tatanan keprajuritan. Kita harus menjalankan perintah yang diberikan oleh Ki Gede Pemanahan”

Para pemimpin kelompok itu mengangguk-angguk.

“Berikan petunjuk-petunjuk untuk bekal bagi para prajurit itu. Besarkan hati mereka agar mereka yakin, bahwa mereka adalah prajurit Pajang yang besar”

Para pemimpin kelompok itu masih mengangguk-angguk. Tetapi para pemimpin kelompok itu tidak dapat mengingkari kenyataan bahwa prajurit-prajurit mereka adalah prajurit-prajurit muda yang benar-benar belum berpengalaman sedangkan pasukan Harya Wisaka adalah prajurit-prajurit yang sudah ditempa oleh panasnya medan pertempuran dimana-mana untuk waktu yang lama. Sedangkan mereka yang tidak berasal dari keprajuritan, juga terdiri dari orang-orang yang hidupnya diselimuti oleh percikan bunga api yang memancar dari dentang senjata yang beradu.

Tetapi para pemimpin kelompok itu tidak akan dapat mengingkari tugas yang dibebankan di pundak mereka.

Yang kemudian dapat mereka lakukan adalah mempersiapkan pasukan mereka. Memberikan petunjuk-petunjuk serta kesadaran bahwa mereka memang prajurit-prajurit Pajang.

“Kalian telah memilih dunia pengabdian kalian. Tunjukkan kepada Pajang, bahwa kalian benar-benar ingin mengabdi”

Para prajurit yang sebagian besar masih muda dan belum berpengalaman itu menjadi berdebar-debar. Mereka sadar bahwa lawan yang akan mereka hadapi adalah lawan yang keras dan kasar. Sementara itu, mereka sendiri masih merasa belum memiliki bekal yang cukup.

Tetapi seperti yang dikatakan oleh pemimpin kelompok mereka, bahwa mereka telah memilih. Mereka memasuki dunia keprajuritan dengan tekad untuk mengabdi kepada Pajang yang besar. Apa pun yang akan terjadi, itu adalah akibat dari pilihan mereka sendiri.

Para pemimpin kelompok itu pun kemudian telah memerintahkan para prajurit mereka untuk memeriksa senjata-senjata mereka serta perlengkapan-perlengkapan yang lain yang akan mereka bawa ke medan perang.

“Kita akan membawa tanda-tanda kebesaran kesatuan kita. Kita bangga akan tanda-tanda kebesaran itu, sehingga tanda-tanda kebesaran kita itu akan memanaskan darah kita menghadapi lawan. Kita bukan tikus-tikus kecil di selokan-selokan di sepanjang dinding kotaraja. Kita adalah prajurit yang mengawal kebesaran nama Pajang”

Dada para prajurit itu rasa-rasanya memang mengembang. Mereka bangga terhadap pilihan mereka. Namun ketika kemudian mereka mulai mempersiapkan senjata-senjata mereka, maka jantung mereka mulai berdebaran kembali.

Yang mereka hadapi bukan sekelompok pencuri ayam atau pencuri jemuran. Tetapi yang mereka hadapi adalah orang-orang yang sudah berada di peperangan bertahun-tahun.

Hari itu setelah memeriksa senjata-senjata serta perlengkapan mereka, maka para prajurit itu mendapat kesempatan untuk beristirahat sebaik-baiknya. Mereka akan berangkat dari barak mereka di Prambanan setelah gelap. Mereka harus menempuh jalan yang sudah disebut oleh petugas sandi dan penghubung yang telah bertemu dan berbicara dengan Raden Sutawijaya.

Dalam pada itu, pada hari itu, di kotaraja, Resi Jalamanik serta Ki Wimba Atmaka sedang memberikan beberapa petunjuk kepada beberapa orang yang akan menyertainya memasuki istana malam nanti.

Atas keterangan Harya Wisaka yang sudah mengenal sudut-sudut istana Pajang dengan baik seperti mengenali rumahnya sendiri, Resi Jalamanik menentukan rencana, apa yang akan mereka lakukan.

“Kita berharap bahwa para prajurit yang bertugas tertidur nyenyak, sehingga kita akan berhadapan langsung dengan Sultan Hadiwijaya. Seorang yang memiliki ilmu yang sangat tinggi. Tetapi bukan berarti bahwa Kangjeng Sultan Hadiwijaya tidak dapat dikalahkan. Setidak-tidaknya oleh kita bertiga”

“Ya, Paman” sahut Harya Wisaka.

“Nah, malam nanti kita masuki istana Pajang. Kita tidak akan mengulangi kegagalan Angger Harya Penangsang”

“Hari ini kita akan meyakinkan, bahwa pasukan kecil yang dipimpin langsung oleh Ki Gede Pemanahan itu belum kembali” berkata Harya Wisaka.

“Ya. Bukankah orang-orangmu dapat kau percaya?”

“Ya”

“Bukankah mereka akan melaporkan dengan jujur apa yang mereka ketahui?”

“Ya”

“Jika demikian, tidak akan ada masalah lagi. Malam nanti kita membunuh Sultan Hadiwijaya”

“Aku pun ingin membunuh Pemanahan. Aku mendendamnya. Mendendam kepada kesombongannya, seakan-akan ia lebih berkuasa dari Kangjeng Sultan Hadiwijaya sendiri”

Resi Jalamanik tertawa. Katanya, “Kau tidak usah menjadi sakit hati. Pemanahan adalah seorang petani kecil. Karena itu, ketika ia mendapat sedikit kekuasaan, maka ia merasa bahwa dirinya adalah orang yang paling kuasa di dunia ini. Ia tentu berusaha untuk menunjukkan kekuasaannya kepada siapa pun juga”

“Mungkin, Paman. Tetapi hatiku menjadi sakit atas sikapnya itu. Karena itu, maka pada suatu saat, aku akan datang kepadanya untuk membunuhnya”

“Jangan kacaukan rencana yang akan kita lakukan sekarang dengan niatmu itu. Sekarang kita siap untuk membunuh Sultan Hadiwijaya. Itulah yang akan kita lakukan lebih dahulu” berkata Ki Wimba Atmaka.

Harya Wisaka mengangguk-angguk. Katanya, “Ya, Paman. Kita akan membunuh Sultan Hadiwijaya”

Demikianlah, maka Harya Wisaka itu telah bersiap bersama tiga orang lainnya, Resi Jalamanik, Ki Wimba Atmaka dan seorang pertapa yang dianggapnya memiliki bekal ilmu yang tinggi, Wasi Lengkara. Seorang yang sudah lebih dahulu berada di rumah kecil itu bersama Harya Wisaka.

“Empat orang sudah cukup banyak” berkata Resi Jalamanik.

“Harya Penangsang hanya mengirimkan dua orang. Itu pun bukan orang yang ilmunya memadai”

Harya Wisaka mengangguk-angguk. Namun Ki Wimba Atmaka sempat melihat keragu-raguan di wajahnya. Karena itu, maka Ki Wimba Atmaka itu pun bertanya, “Apakah kau menganggap bahwa kemampuan kita berempat belum cukup?”

Harya Wisaka menarik nafas dalam-dalam, sementara Resi Jalamanik pun bertanya pula, “Apakah kau masih berniat untuk memerintahkan kepada Ki Tumenggung untuk menyiapkan pasukan di luar istana?”

Harya Wisaka menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Baiklah. Kita berempat akan memasuki istana dan membunuh Kangjeng Sultan Hadiwijaya”

Hari pun kemudian terasa menjadi lamban. Matahari seakan-akan tidak bergerak di tempatnya. Bahkan untuk mengisi waktu, sudah dilakukan kerja apa saja, namun hari masih terasa terlalu lambat bergerak.

Namun akhirnya, matahari pun merendah. Kemudian hilang di balik bukit.

Demikian malam turun, maka Resi Jalamanik. Ki Wimba Atmaka dan Wasi Lengkara telah siap untuk berangkat ke istana.

Dalam pada itu, pada saat yang sama, pasukan Pajang yang berada di Prambanan pun telah bergerak pula. Demikian juga pasukan yang dipimpin oleh Ki Gede Pemanahan itu. Kedua pasukan itu telah sepakat untuk bertemu dan bergabung menghadapi pasukan yang diduga telah dipimpin langsung oleh Harya Wisaka.

Kedua pasukan dari arah yang berbeda itu telah menempuh perjalanan panjang. Mereka berusaha untuk menghindari padukuhan-padukuhan agar mereka tidak mengalami hambatan di perjalanan.

Menjelang wayah sepi uwong, di kotaraja, Harya Wisaka pun telah mulai bergerak pula. Mereka meninggalkan rumah kecil itu dengan sangat berhati-hati. Tidak seorang pun boleh melihat mereka. Apalagi prajurit yang sedang meronda.

Namun mereka berempat adalah orang-orang berilmu tinggi, sehingga mereka pun mampu menyusuri jalan betapapun rumitnya.

Demikian mereka berempat sampai ke dekat istana, maka mereka pun berhenti. Resi Jalamanik telah memberikan petunjuk-petunjuk kepada ketiga orang kawannya untuk membantu Resi Jalamanik memasang sirep.

“Aku minta terutama kepada Wasi Lengkara. Aku yakin bahwa Wasi Lengkara mampu juga melakukannya. Jika Wasi Lengkara tidak bersedia melakukannya tanpa kehadiranku, maka itu hanya satu sikap merendah”

“Aku memang tidak menekuni ilmu itu, Resi”


“Baiklah. Tetapi bantu aku. Aku akan mulai melemparkan sirep itu. Nanti tengah malam, sirep itu akan mencengkam semua orang yang berada di dalam lingkungan istana itu”

“Juga yang bertugas di pintu gerbang induk dan pintu gerbang samping, bahkan pintu gerbang butulan?”

“Ya. Mereka justru akan menjadi sasaran utama dari sirep ini. Jika mereka tidak terkena pengaruh sirep itu, berarti kita akan gagal”

Harya Wisaka mengangguk-angguk, sementara Resi Jalamanik pun berkata selanjutnya, “Bersiaplah. Aku akan mulai”

Keempat orang itu pun kemudian duduk di belakang gerumbul perdu yang rimbun tidak jauh dari istana Pajang. Resi Jalamanik pun kemudian telah memusatkan nalar budinya, sementara yang lain pun ikut pula mendukungnya dengan memasuki suasana hening.

Dalam pada itu, malampun bertambah malam. Langit bersih. Bintang nampak berhamburan.

Resi Jalamanik duduk bersila. Kedua telapak tangannya menakup di depan dadanya. Sementara yang lain pun duduk sambil menundukkan kepalanya dan menyilangkan tangannya di dada.

Sebenarnya bahwa Wasi Lengkara memang tidak mendalami ilmu sirep sebagaimana Resi Lengkara. Tetapi ia pun berusaha untuk membantunya dengan sikapnya yang khusus.

Dalam pada itu, dari celah-celah kedua telapak tangan Resi Jalamanik itu nampak mengepung asap yang tipis. Hanya beberapa saat saja. Asap itu pun segera lenyap dihanyutkan angin malam yang lembut.

Namun asap yang tipis itu menandai bahwa ilmu sirep Resi Jalamanik telah terlepas dan menghambur meliputi istana Pajang.

Beberapa saat kemudian, maka Resi Jalamanik pun telah mengangkat wajahnya dan mengurai tangannya serta menarik nafas dalam-dalam.

“Terima kasih” desis Resi Jalamanik.

Yang lain pun telah mengangkat wajah mereka pula. Sementara Resi Jalamanik pun berkata, “Kita akan menunggu beberapa saat. Mudah-mudahan sirepku dapat memaksa seisi istana itu tertidur”

Sebenarnyalah, beberapa saat kemudian, orang-orang yang berada di dalam istana Pajang itu telah dicengkam oleh perasaan kantuk yang sangat. Bahkan para prajurit yang sedang bertugas pun kehilangan kemampuan mereka untuk bertahan. Dua orang prajurit yang berdiri di sebelah-menyebelah gerbang utama pun tidak berdaya menghadapi tusukan ilmu sirep yang sangat tajam. Keduanya terduduk bersandar pintu gerbang dan tertidur dengan nyenyak. Demikian pula yang sedang berada di gardu yang terletak beberapa langkah dari pintu gerbang. Tujuh orang prajurit telah terbaring pula di luar kehendak mereka.

Bukan hanya para prajurit yang berada di gerbang utama. Dua orang prajurit yang sedang meronda berkeliling halaman pun telah tertidur pula di bawah pohon sawo kecik.

Demikianlah, maka istana Pajang itu pun benar-benar telah tertidur. Para prajurit yang bertugas di luar dan di dalam istana pun telah tertidur pula. Dua orang pelayan dalam yang berada di longkangan istana, terbaring depan pintu serambi. Sedangkan dua orang yang bertugas di regol dalampun telah tertidur pulas.

Prajurit-prajurit yang bertugas di pintu-pintu gerbang samping dan dimana pun mereka berada di istana itu telah tertidur dengan nyenyaknya.

Pada saat yang demikian itulah, menjelang tengah malam, maka Resi Jalamanik pun telah melangkah memasuki pintu gerbang utama istana Pajang.

Harya Wisaka, Ki Wimba Atmaka dan Wasi Lengkara merasa kagum melihat betapa kekuatan sirep Resi Jalamanik benar-benar telah mencengkam seluruh istana Pajang. Mereka menyaksikan para prajurit yang tertidur nyenyak. Bahkan seakan-akan mereka telah menjadi pingsan.

Sebenarnyalah tidak seorang pun yang masih terbangun. Keempat orang itu dapat memasuki segala sudut istana jika mereka kehendaki.

Ketika mereka lewat di depan bangsal pusaka, mereka melihat dua orang prajurit yang sedang tertidur.

“Disitu disimpan beberapa pusaka terbaik Mataram, kecuali pusaka-pusaka terdekat dengan Kangjeng Sultan” berkata Harya Wisaka.

“Apakah cincin kerajaan itu tidak berada di bangsal ini?”

“Cincin itu berada di jari-jari Pangeran Benawa”

Resi Jalamanik mengangguk-angguk. Namun ia pun kemudian berkata, “Tetapi bukankah ada beberapa pusaka penting di bangsal pusaka ini?”

“Ya. Apakah kita akan membuka?”

Tetapi Resi Jalamanik menggeleng sambil menjawab, “Kita harus langsung ke tujuan. Kita tidak boleh berpaling sebelum kita berhasil”

Harya Wisaka mengangguk-angguk. Tiba-tiba ia merasa malu. Pertanyaannya yang bodoh itu tentu mengesankan ketamakannya. Tetapi ia tidak akan dapat menelan kembali kata-katanya itu.

Beberapa saat kemudian, maka mereka telah memasuki bagian dalam istana Pajang. Mereka langsung menuju ke bilik tidur Sultan Hadiwijaya.

Harya Wisaka mengenal setiap ruang istana itu dengan baik. Isterinya yang telah menolongnya, membebaskannya dari tahanan, dapat menceriterakan lebih rinci lagi tentang ruang-ruang di dalam istana. Terutama bilik tidur Sultan Hadiwijaya.

Karena itu, maka keempat orang itu pun dapat langsung mengetahui pintu yang manakah pintu bilik utama Kangjeng Sultan Hadiwijaya itu. Tetapi ketika mereka mencoba membuka pintu bilik utama Kangjeng Sultan, ternyata pintu itu diselarak dari dalam.

“Pintu itu diselarak” desis Harya Wisaka.

“Kita harus membukanya dengan paksa” sahut Resi Jalamanik.

“Apakah Kangjeng Sultan tidak akan terbangun?”

“Bukankah kita tidak berkeberatan jika Kangjeng Sultan itu terbangun?”

Harya Wisaka menarik nafas dalam-dalam. Di luar ruang dalam istana itu, dua orang pelayan dalam sedang tertidur nyenyak.

“Apakah mereka akan terbangun juga?”

Resi Jalamanik itu menggeleng. Bahkan ia pun telah melangkah mendekati kedua pelayan dalam yang tertidur itu. Ditendangnya seorang di antara mereka sehingga terguling. Tetapi orang itu tidak terbangun dari tidurnya yang nyenyak.

“Memang berbeda dengan Kangjeng Sultan” berkata Resi Jalamanik. “Bahkan mungkin Kangjeng Sultan sekarang masih belum tertidur karena kemampuannya melawan sirep. Tetapi kita sudah memutuskan untuk menghadapinya meskipun ilmunya seakan-akan tidak terbatas”

Harya Wisaka mengangguk.

“Nah, jika demikian, kita akan membuka pintu bilik itu dengan paksa” berkata Resi Jalamanik.

Wasi Lengkaralah yang kemudian bergeser maju sambil berdesis, “Biarlah aku yang membukanya”

Tetapi Harya Wisaka pun menyahut, “Bukannya aku tidak dapat membukanya dengan paksa. Tetapi aku hanya sekedar ragu-ragu”

“Aku tahu. Meskipun demikian, aku minta agar kalian membiarkan aku membukanya”

“Biarlah Wasi Lengkara membukanya” desis Resi Jalamanik.

Harya Wisaka mengangguk kecil.

Sejenak kemudian, Wasi Lengkara pun telah bersiap. Dihimpunnya kekuatannya pada sebelah kakinya. Dengan kakinya ia ingin memecahkan pintu bilik Kangjeng Sultan Hadiwijaya yang kokoh itu.

“Seandainya permaisuri ada di dalam, ia tidak akan terkejut. Bahkan ia tidak akan terbangun” berkata Resi Jalamanik.

Wasi Lengkara mengangguk kecil. Ia pun mengambil ancang-ancang beberapa langkah surut sambil meningkatkan tenaga dalamnya.

Tetapi sebelum Wasi Lengkara meloncat untuk memecahkan pintu itu dengan kakinya, tiba-tiba saja terdengar suara dari dalam, “Jangan pecahkan pintu itu. Pintu itu mahal sekali harganya. Ukirannya yang rumit serta sunggingannya yang dilapisi prada, sulit untuk dibuat tiruannya. Jika pintu itu rusak, maka aku akan menyesalinya untuk waktu yang lama sekali”

Keempat orang yang berada di luar pintu itu terkejut. Namun Harya Wisaka pun kemudian berdesis, “Itu suara Kangjeng Sultan Hadiwijaya”

“Jika demikian, kita tidak mempunyai pilihan lain” sahut Ki Wimba Atmaka. “Justru kesempatan inilah yang aku tunggu”

Harya Wisaka itulah kemudian yang menyahut, “Jika tidak ingin pintu itu rusak, bukalah. Ada sesuatu yang ingin aku bicarakan dengan Kangjeng Sultan”

“Ternyata kau datang sendiri untuk menyerahkan diri, Harya Wisaka?” sahut suara di dalam bilik itu.

“Bukalah atau aku akan memecahkannya”

“Sudah aku katakan, jangan dirusakkan”

Keempat orang yang berdiri di luar bilik itu pun kemudian mendengar langkah yang menuju ke pintu. Sejenak kemudian terdengar selarak pintu itu diangkat, tetapi pintu itu tidak langsung dibuka.

“Buka pintunya” Harya Wisaka itu membentak.

Namun yang terdengar adalah justru langkah menjauhi pintu. Tetapi kemudian terdengar suara Kangjeng Sultan, “Bukalah. Pintu itu sudah tidak diselarak”

Harya Wisaka termangu-mangu sejenak. Suara itu terdengar begitu tenang. Tidak tersirat kegelisahan dan ketegangan sama sekali.

“Begitu yakinkah Kangjeng Sultan akan ilmunya. Sehingga ia sama sekali tidak tergetar mendengar suara beberapa orang di luar pintu biliknya?”

Agaknya Wasi Lengkara lah yang tidak sabar. Ia pun segera mendekati pintu itu dan mendorongnya sehingga pintu itu terbuka lebar.

Namun, demikian pintu itu terbuka, jantung Harya Wisaka bagaikan berhenti berdetak. Ternyata yang berdiri di dalam bilik itu bukan saja Kangjeng Sultan Hadiwijaya. Tetapi di dalam bilik itu juga terdapat Ki Gede Pemanahan dan Ki Waskita, yang biasanya berada di padepokan di Alas Jabung.

“Ki Gede” geram Harya Wisaka.

Ki Gede Pemanahan tersenyum. Katanya, “Selamat malam, Harya Wisaka. Aku memang menunggumu disini”

“Tetapi kau pimpin pasukan kecil itu untuk memburuku”

“Aku tidak sebodoh yang kau duga. Bukankah lebih mudah menunggumu disini daripada memburumu di sepanjang tlatah Pajang bagian selatan? Apakah kau kira aku percaya dengan dongeng para pengikutmu bahwa kau berhasil menyusup keluar dinding kotaraja yang tidak terlalu luas ini?”

“Iblis kau, Pemanahan”

“Bukankah kau juga selalu mencari aku? Kau telah mencoba membunuh Ki Tumenggung Reksapati karena kau tidak berhasil mencegat aku di perjalanan pulang dari istana. Nah, sekarang kita ketemu disini”

“Darimana kau tahu bahwa kami akan datang kemari?”

“Kami berdua memang bersembunyi di istana ini untuk beberapa lama. Ketika sejak wayah sepi uwong kami rasakan sentuhan ilmu sirep yang tajam, maka kami sudah menduga, bahwa kau dan beberapa orang kawanmu akan datang. Karena itu, maka kami pun telah berkumpul dan menunggumu disini”

“Jadi siapakah yang memimpin pasukan kecil yang disebut-sebut sebagai Ki Gede Pemanahan?” bertanya Harya Wisaka.

“Jadi siapa pula yang dikatakan sebagai Harya Wisaka yang memimpin sendiri pasukannya untuk menimbulkan keresahan di luar kotaraja?”

“Persetan kau, Pemanahan. Sekarang waktunya untuk membunuhmu dan membunuh Sultan Hadiwijaya”

“Bagaimana dengan aku?” tiba-tiba saja Ki Waskita itu bertanya. “Apakah kau juga akan membunuhku?”

Wajah Harya Wisaka menjadi merah. Dengan geram ia pun berkata, “Aku akan mengoyak mulutmu”

“Kenapa kau akan membunuhku?” bertanya Sultan Hadiwijaya.

“Ada beberapa persoalan yang harus aku perhitungkan dengan Kangjeng Sultan. Selain bahwa kau tidak berhak mewarisi tahta Demak, kau juga mempunyai persoalan yang lain yang harus kau pertanggung-jawabkan”

“Aku adalah menantu Kangjeng Sultan Trenggana” jawab Sultan Hadiwijaya.

“Trenggana juga tidak berhak. Selain itu, kau telah mencuri isteriku. Alasan yang sebenarnya kenapa aku harus ditahan di Pajang ini adalah karena kau inginkan isteriku itu”

Kangjeng Sultan Hadiwijaya tersenyum. Katanya, “Kau tidak usah mengigau seperti itu. Kita sama-sama sudah mengetahui apa yang terjadi sebenarnya dengan kau, dengan istrimu dan ceritera tentang lurah pelayan dalam itu”

“Persetan dengan semuanya itu. Sekarang waktumu untuk mati”

“Kau benar-benar akan membunuh kami?” bertanya Ki Gede Pemanahan.

“Jangan menyesali nasibmu”

“Aku tidak menyesali nasibku. Tetapi aku harus menyesal bahwa malam ini aku harus membunuh”

“Cukup” bentak Ki Wimba Atmaka. “Sudah lama aku menunggu kesempatan seperti malam ini. Aku ingin menakar, seberapa tinggi ilmu Kangjeng Sultan Hadiwijaya dan Ki Gede Pemanahan”

“Bagus. Bersiaplah” desis Ki Gede.

Ketika Ki Gede Pemanahan, Kangjeng Sultan Hadiwijaya dan Ki Waskita melangkah keluar dari biliknya, maka keempat orang yang berdiri di luar pintu itu telah menyibak. Namun mereka langsung berpencar dan bersiap untuk menghadapi ketiga orang itu.

Ki Waskitalah yang kemudian berkata sambil tertawa pendek, “Sayang, bahwa Ki Tumenggung Sarpa Biwada tidak bersama kalian”

“Kenapa?” bertanya Harya Wisaka.

“Tidak apa-apa” jawab Ki Waskita.

“Apakah kau mempunyai persoalan khusus dengan Tumenggung Sarpa Biwada?”

“Tidak”

“Kenapa kau sebut namanya?”

“Hanya nama itulah yang aku ketahui di samping Harya Wisaka sendiri”

Harya Wisaka menggeram. Orang dari padepokan di dekat Hutan Jabung itu pun berbahaya pula. Tetapi Harya Wisaka datang berempat. Tiga orang yang bersamanya itu adalah orang-orang yang berilmu sangat tinggi. Sedangkan Harya Wisaka sendiri bukannya orang yang tidak berilmu. Harya Wisaka sendiri adalah orang yang berilmu tinggi pula.

Dalam pada itu, maka Ki Wimba Atmaka yang tidak sabar itu pun telah bergerak mendekati Kangjeng Sultan Hadiwijaya.

Tetapi Resi Jalamanik pun berkata, “Mas Karebet, aku benci mendengar namamu. Aku benci karena kau kelabuhi orang-orang Demak dengan Kebo Danumu di Banyu Biru, sehingga kau mendapat pengampunan dan diperkenankan kembali mengabdi di istana Demak. Kemudian kau berhasil meningkatkan derajatmu sehingga kau menjadi menantu Kangjeng Sultan Trenggana”

“Apa hubungannya dengan kau, Ki Sanak?”

“Namaku Resi Jalamanik. Ternyata kebencianku kepadamu pun bertambah-tambah ketika aku mendengar ceritera Harya Wisaka, bahwa Harya Wisaka telah kau tangkap dan kau tahan karena kau inginkan isterinya” Resi Jalamanik berhenti sebentar. Lalu katanya pula, “Sebenarnya kau sudah terlalu tua untuk menyeret seorang perempuan ke dalam bilikmu. Tetapi itu masih kau lakukan juga. Kau pergunakan kekuasaanmu untuk kepuasan duniawi semata-mata tanpa menghiraukan korban yang kau timbulkan karenanya”

“Jadi menurut Harya Wisaka, aku menahannya karena aku inginkan isterinya?”

“Kau akan ingkar?”

Kangjeng Sultan itu tertawa. Katanya, “Bagus, Harya Wisaka. Kau ternyata memang licik. Tetapi tidak apa-apa. Aku tahu, kau anggap sah semua cara untuk mencapai tujuan”

“Kau tidak usah membela dirimu, Karebet. Jika saja aku tidak mengalaminya, aku tidak akan mempercayainya”

“Apa yang kau alami?”

“Kau ingat seorang perempuan yang bernama Telasih. Perempuan yang kau pungut dari pinggir jalan ketika perempuan itu pulang dari pasar. Yang terjadi pada waktu itu membuatku hampir gila”

“Dongeng apa pula yang kau katakan itu, Resi Jalamanik?”

“Peristiwa itu terjadi lebih dari sepuluh tahun yang lalu”

“Banyak dongeng yang telah aku dengar. Tetapi dongeng ini agaknya memang sangat menarik”

“Aku sudah mencoba untuk melupakannya. Tetapi ketika hal yang sama terjadi lagi atas Harya Wisaka, salah seorang yang di dalam tubuhnya mengalir darah seketurunan dengan darahku, maka aku tidak dapat memaafkanmu lagi”

“Apa hubunganmu dengan Harya Wisaka?”

“Jika ia mempunyai hubungan garis keluarga dengan Harya Penangsang dari ayahnya, aku mempunyai hubungan darah seketurunan dengan ibunya”

“Bagus, Resi Jalamanik. Sekarang tumpahkan dendammu kepadaku. Aku tidak akan menolak dongeng-dongengmu. Tetapi jika kau sempat hidup nanti, aku jelaskan apa yang sebenarnya telah terjadi dengan Telasih itu dan apa pula yang telah terjadi dengan isteri Harya Wisaka”

“Kau tidak perlu berusaha menyelamatkan dirimu”

“Karena itu aku tidak mengatakannya sekarang”

Dalam pada itu, Ki Wimba Atmaka lah yang memotong, “Apakah kita memang menunggu pagi? Menunggu orang-orang yang tertidur itu bangun?”

“Mereka tidak akan bangun sampai esok siang” desis Resi Jalamanik.

“Tetapi kita jangan membuang-buang waktu”

Resi Jalamanik pun kemudian telah bersiap. Sementara Kangjeng Sultan Hadiwijaya pun telah mempersiapkan dirinya pula. Ia sadar, bahwa orang yang bernama Resi Jalamanik itu datang dengan dendam di hatinya. Apalagi Harya Wisaka telah berhasil membakar jantungnya dengan dongengnya yang beracun itu.

Dalam pada itu, Ki Gede Pemanahan mendengarkan pembicaraan antara Kangjeng Sultan Hadiwijaya dengan Resi Jalamanik itu sambil tersenyum. Ia mengenal Sultan Hadiwijaya dengan baik. Ia tahu benar, bahwa Sultan Hadiwijaya memang tidak tahan melihat senyum di bibir atau kerling di mata seorang perempuan. Tetapi agaknya yang dikatakan oleh Resi Jalamanik itu adalah dongeng yang memang sudah dipersiapkan lebih dahulu.

Namun ketika Resi Jalamanik pun telah bersiap, maka tiba-tiba saja Ki Gede Pemanahan pun berkata, “Kalau tajam ilmu sirepmu tidak berhasil menusuk sampai ke jantung Kangjeng Sultan, maka kau berusaha menidurkannya dengan dongeng-dongengmu yang menarik itu, Resi”

Wajah Resi Jalamanik menjadi merah. Tetapi ia tidak mau melepaskan Kangjeng Sultan Hadiwijaya. Karena itu, ia pun berkata, “Kenapa tidak kau bungkam anak petani dari Sela itu, Ki Wimba Atmaka?”

Ki Wimba Atmaka pun telah melangkah mendekati Ki Gede Pemanahan. Tanpa berkata apa pun juga, maka ia pun segera menyerang dengan garangnya.

Ki Gede memang agak terkejut. Tetapi ia masih sempat meloncat menjauh.

Demikianlah, keduanya pun segera terlibat dalam pertempuran di ruang yang cukup luas, di istana Pajang, di depan bilik utama Kangjeng Sultan Hadiwijaya.

“Tinggal kita berdua, Ki Sanak” berkata Wasi Lengkara.

Ki Waskita sempat memandang Harya Wisaka sejenak. Namun Wasi Lengkara itu pun berkata, “Jangan takut bahwa kami akan berkelahi berpasangan. Aku akan menghadapimu seorang lawan seorang”

Sikap Ki Waskita yang tenang itu menunjukkan keyakinannya atas dirinya. Karena itu, maka Wasi Lengkara itu pun harus berhati-hati menghadapinya.

Dalam pada itu, Resi Jalamanik pun telah bergeser pula. Dengan sorot mata yang membara, memancarkan dendam yang mendalam, Resi Jalamanik itu pun kemudian telah menyerang Kangjeng Sultan Hadiwijaya pula.


Yang masih berdiri bebas adalah justru Harya Wisaka. Ketika ia mendekati Ki Wimba Atmaka, maka Ki Wimba itu pun berkata, “Jangan ganggu kami. Aku akan membunuh seorang Senapati Agung Pajang, yang namanya kawentar sampai ke daerah timur. Ki Gede Pemanahan. Dengan demikian aku akan mendapat gelar Pembunuh Senapati Agung”

Harya Wisaka tidak menjawab. Tetapi ia justru berkata di dalam hatinya, “Biarlah mereka mencari kepuasan dari masing-masing. Aku akan menunggu. Jika terpaksa aku melepaskan keinginanku untuk membunuh Pemanahan dan Hadiwijaya dengan tanganku sendiri, apaboleh buat. Yang penting keduanya lenyap dari Pajang. Kemudian Benawa dan Sutawijaya. Selanjutnya, tidak ada lagi yang dapat menghalangi aku”

Karena itu, maka Harya Wisaka itu pun justru menepi, ia berdiri dengan tegang menyaksikan orang-orang berilmu tinggi itu berkelahi.

Para prajurit dan pelayan dalam Pajang yang tertidur nyenyak sama sekali tidak terbangun, bahkan seandainya mereka terinjak sekalipun.

Demikianlah, maka pertempuran di ruang dalam istana Pajang itu semakin lama menjadi semakin sengit. Orang-orang berilmu tinggi itu telah meningkatkan kemampuan dan ilmu mereka.

Dalam pada itu, Raden Sutawijaya, Pangeran Benawa dan Paksi, telah berada di padukuhan yang akan menjadi landasan serangannya atas pasukan yang mereka sangka dipimpin langsung oleh Harya Wisaka. Sementara itu, orang yang disebutnya Ki Gede Pemanahan itu pun masih memegang pimpinan atas pasukan kecilnya, meskipun setiap keputusan yang diambilnya adalah hasil pembicaraan antara Raden Sutawijaya, Pangeran Benawa dan Paksi. Dalam kesempatan yang sangat terbatas sajalah Ki Gede Pemanahan itu berhubungan dengan para petugas sandi yang sudah mengetahui, siapakah sebenarnya orang yang disebutnya Ki Gede Pemanahan sebagaimana para prajurit yang berada di dalam pasukan itu. Namun mereka justru mendapat tugas untuk menyebarkan kesan, bahwa pemimpin pasukan kecil itu memang Ki Gede Pemanahan.

Sementara itu, para prajurit yang berada di Prambanan pun telah sampai ke tempat yang ditentukan bagi mereka. Ki Lurah Sanggabaya telah memerintahkan para prajuritnya untuk beristirahat, sementara mereka yang bertugas menyiapkan makan dan minuman pun segera melakukan tugas mereka.

Prajurit dari Prambanan itu menempatkan diri di banjar sebuah padukuhan yang diyakini oleh para petugas sandinya, tidak akan berkhianat.

Sebenarnyalah, bahwa Ki Bekel dan para bebahu padukuhan itu berusaha untuk dapat membantu sejauh dapat mereka lakukan.

Namun dalam pada itu, prajurit-prajurit muda yang belum berpengalaman itu menjadi gelisah. Mereka tidak setenang kawan-kawannya yang sudah lebih dahulu berada di dalam lingkungan keprajuritan. Mereka langsung dapat tertidur nyenyak demikian mereka menjatuhkan diri mereka di atas tikar pandan yang digelar di pendapa dan ruang dalam banjar padukuhan.

Sementara itu, Ki Lurah Sanggabaya sendiri telah mencari hubungan dan menghadap Raden Sutawijaya dan pangeran Benawa.

Mereka pun kemudian telah menyusun rencana sergapan atas pasukan yang mereka duga dipimpin oleh Harya Wisaka itu sendiri.

“Aku mohon Raden Sutawijaya dan Pangeran Benawa mengetahui, bahwa prajurit-prajuritku masih belum berpengalaman”

“Bersama-sama dengan prajurit-prajurit dari pasukan ini, serta prajurit-prajuritmu yang sudah berpengalaman, mereka akan menjadi berani dan yakin akan kemampuan diri”

“Mudah-mudahan, Raden” jawab Ki Lurah Sanggabaya.

“Besarkan hati mereka. Katakan, bahwa mereka akan bertempur bersama-sama pasukan khusus yang dipimpin oleh Ki Gede Pemanahan sendiri”


“Ya, Raden. Kami akan mencobanya”

Ketika Ki Lurah Sanggabaya sampai di padukuhan tempat pasukannya singgah, maka ia masih melihat beberapa orang prajurit muda yang sama sekali tidak dapat tidur. Mereka berbaring dengan gelisah. Sekali-sekali miring ke kanan, namun kemudian berguling ke kiri.

Ki Lurah Sanggabaya menarik nafas panjang. Namun ia berniat membesarkan hati para prajuritnya sebelum mereka berangkat ke medan.

Ki Lurah sendiri masih mempunyai waktu sedikit untuk berbaring. Tetapi begitu matanya terpejam, maka ia pun segera terbangun. Beberapa orang prajurit telah terbangun pula serta mempersiapkan diri mereka. Ada yang memerlukan mandi di pakiwan, tetapi ada yang berdesis, “Buat apa mandi. Tubuh kita akan menjadi kotor oleh keringat dan debu. Bahkan mungkin oleh darah yang mengalir dari luka-luka di tubuh kita”

Tetapi kawannya yang baru saja mandi dan membenahi pakaiannya dengan rapi berkata, “Aku tidak mau mati dengan tubuh yang kotor”

Tetapi kawannya yang lain berdesis, “Jangan berkata begitu”

Namun prajurit yang baru saja mandi itu tertawa.

Prajurit-prajurit yang berpengalaman itu ternyata masih sempat berkelakar. Mereka masih dapat tertawa. Ketika nasi masak, mereka pun dapat makan dengan lahapnya.

Tetapi prajurit-prajurit muda yang baru itu nampak gelisah.

Dalam pada itu, di istana Pajang, pertempuran masih berlangsung. Namun Harya Wisaka tidak lagi sekedar menonton. Ki Wimba Atmaka yang berkeras ingin bertempur seorang lawan seorang dengan Kangjeng Sultan Hadiwijaya atau dengan Ki Gede Pemanahan, ternyata telah terdesak. Keadaannya semakin lama menjadi semakin sulit. Ki Gede Pemanahan yang berilmu sangat tinggi itu dengan pasti, telah mendesak Ki Wimba Atmaka ke dalam kesulitan.

Ki Wimba Atmaka yang semakin mengalami kesulitan itu pun telah mempergunakan senjata. Sebuah luwuk yang berwarna kehitam-hitaman.

Namun Ki Gede Pemanahan tidak menjadi silau. Ia pun segera menarik pedang pendeknya. Dengan pedang di tangan, Ki Gede menjadi semakin berbahaya, sehingga Ki Wimba Atmaka semakin terdesak karenanya.

Namun agaknya luwuk di tangan Ki Wimba Atmaka itu mempunyai arti tersendiri bagi pemiliknya. Nampaknya luwuk itu dapat memperbesar kepercayaan dirinya, sehingga dengan luwuk di tangan, Ki Wimba Atmaka menjadi sangat berbahaya.

Putaran luwuk Ki Wimba Atmaka itu bagaikan taburan kabut tipis yang mengelilingi tubuhnya. Gulungan asap yang kehitam-hitaman itu bergerak perlahan-lahan mendekati Ki Gede Pemanahan yang berdiri termangu-mangu.

Namun Ki Gede sama sekali tidak menjadi bingung menghadapi gulungan asap yang kehitam-hitaman itu.

Pedang pendeknya pun segera menyambutnya, sehingga terjadi benturan yang keras sekali.

Ki Gede Pemanahan memang sempat terkejut. Ternyata ada semacam arus panas yang mengalir, bersumber dari benturan senjata yang terjadi itu lewat pedangnya, menyengat telapak tangannya.

Ki Gede meloncat surut. Dipandanginya Ki Wimba Atmaka yang sengaja tidak memburunya. Namun tiba-tiba saja terdengar ia tertawa sambil berkata, “Jangan heran, bocah dari Sela. Kau harus meyakini, betapa luasnya langit dan bumi. Mungkin selama ini kau mengira bahwa ilmumu adalah ilmu yang tertinggi di dunia di samping ilmu Kangjeng Sultan Hadiwijaya. Namun sekarang kau menghadapi satu kenyataan, yang mungkin membuatmu kebingungan”

“Apa yang membuat aku bingung, Ki Sanak?” Ki Pemanahan justru bertanya.

“Jangan ingkar, Ki Gede Pemanahan. Kau akan segera kehilangan kesempatan”

Ki Gede tidak menjawab. Namun ia pun bersiap menghadapi segala kemungkinan.

Sejenak kemudian, gulungan asap yang kehitam-hitaman itu telah melingkari tubuh Ki Wimba Atmaka lagi. Perlahan-lahan gulungan asap itu telah mendekati Ki Gede Pemanahan yang berdiri tidak terlalu jauh dari sudut ruangan.

“Kau akan lari kemana, Pemanahan” terdengar suara Ki Wimba Atmaka. “Terimalah nasibmu yang buruk itu”

Ki Gede Pemanahan tidak menjawab. Namun ketika gulungan asap itu seakan-akan menerjangnya, maka sekali lagi Ki Gede Pemanahan telah membenturkan senjatanya.

Namun benturan yang terjadi bukan benturan yang keras. Tetapi benturan itu seakan-akan telah meredam tenaga yang dilontarkan oleh putaran luwuk Ki Wimba Atmaka.

Luwuk itu justru telah melekat bagaikan jari-jari seekor burung elang yang menyentuh getah yang mencengkeram dengan kuatnya.

Ki Wimba Atmaka lah yang terkejut. Hampir saja ia kehilangan luwuknya. Namun kemudian dihentakkannya tenaga dalamnya, sehingga luwuknya itu pun telah terlepas dari cengkaman kekuatan yang tidak dikenalnya itu.

Ki Wimba Atmaka lah yang meloncat surut. Namun Ki Gede Pemanahan pun tidak memburunya. Sambil tersenyum ia pun berdesis, “Apa ada yang mengejutkanmu, Ki Sanak?”

“Persetan kau, Pemanahan”

Ki Gede tidak bertanya lagi. Tetapi Ki Gede Pemanahan lah yang kemudian menyerang Ki Wimba Atmaka.

Pertempuran pun menjadi semakin sengit. Tetapi putaran kabut yang kehitam-hitaman itu tidak lagi dapat dibanggakan oleh Ki Wimba Atmaka, karena benturan-benturan yang terjadi tidak lagi banyak berarti baginya.

Ki Wimba Atmaka lah yang justru telah terdesak. Bahkan pedang Ki Gede Pemanahan pun mulai dapat menyeruak putaran kabut tipis yang melingkari tubuh Ki Wimba Atmaka. Ki Wimba Atmaka yang terdesak itu pun semakin meningkatkan ilmunya. Bukan hanya dalam benturan yang keras saja, getar panas seakan-akan menjalar dari benturan yang terjadi lewat pedangnya menyentuh telapak tangan Ki Gede Pemanahan, namun asap yang tipis itu pun seakan-akan telah menjadi panas pula.

Tetapi panas yang seakan-akan memancar dari putaran luwuk Ki Wimba Atmaka itu tidak banyak mempengaruhi perlawanan Ki Gede Pemanahan. Meskipun keringat bagaikan terperas dari tubuhnya, tetapi Ki Gede mampu mengatasi pengaruh panas itu.

Bahkan ujung pedang pendek Ki Gede telah sempat menembus perisai putaran luwuk lawannya dan bahkan menyentuh kulitnya.

Ki Wimba Atmaka berteriak nyaring. Kemarahannya menyala ketika ujung pedang Ki Gede sempat menggapai kulitnya.

Ki Wimba Atmaka terkejut. Ternyata Ki Gede memang seorang yang berilmu sangat tinggi, sehingga mampu mengatasi ilmunya. Bahkan sempat melukainya.

Serangan Ki Wimba Atmaka pun menjadi semakin menghentak-hentak. Ujung luwuknya menyambar-nyambar dengan garangnya.

Namun ternyata luwuknya itu tidak pernah menyentuh tubuh Ki Gede. Bahkan ujung senjata Ki Gede lagilah yang telah mengoyak kulit Ki Wimba Atmaka.

Dalam pada itu, Harya Wisaka yang berdiri dengan tegang, tidak dapat tinggal diam. Ia melihat beberapa gores luka di tubuh Ki Wimba Atmaka.

Sementara itu, Wasi Lengkara masih bertempur dengan sengitnya melawan Ki Waskita. Tetapi juga Wasi Lengkara menjadi heran, bahwa lawannya itu masih mampu bertahan. Bahkan nampaknya Ki Waskita masih saja tersenyum-senyum. Agaknya Ki Waskita masih belum sampai ke puncak ilmunya.

Harya Wisaka yang menjadi gelisah itu, tiba-tiba telah berdiri di sisi Ki Wimba Atmaka. Katanya, “Aku tidak berniat mengganggu Paman. Aku hanya ingin tugas kita segera selesai sebelum orang-orang yang tertidur itu terbangun”

Ki Wimba Atmaka tidak dapat mengingkari kenyataan bahwa dirinya memang sudah terluka. Darah mengalir dari lukanya semakin lama semakin banyak.

Karena itu, maka Ki Wimba Atmaka tidak menolak. Ia tidak dapat bertahan pada sikap sombongnya untuk bertempur seorang melawan seorang. Ia harus melepaskan keinginannya untuk mendapat sebutan pembunuh Senapati Agung Pajang.

Demikianlah, maka Ki Wimba Atmaka dan Harya Wisaka telah bertempur berpasangan melawan Ki Gede Pemanahan.

Namun Ki Wimba Atmaka telah terluka. Darahnya yang mengalir dari luka-lukanya, telah membuat tenaga dan kemampuan Ki Wimba Atmaka itu menyusut.....

Tetapi ketika kemudian Harya Wisaka melibatkan dirinya, maka Ki Wimba Atmaka itu sempat bernafas panjang.

“Jangan menyesali nasibmu yang buruk, Pemanahan” geram Harya Wisaka. “Kelicikanmu bersama Panjawi yang didasari gagasan Juru Mertani, harus kau tanggung sekarang. Dengan licik dan curang anakmu membunuh Harya Penangsang”

“Kau tidak dapat membedakan antara kelicikan dan siasat di dalam peperangan. Sementara Harya Penangsang tidak mampu mengendalikan diri dan kehilangan penalaran yang bening. Itu bukan sifat seorang senapati yang membiarkan perasaannya berbicara tanpa pertimbangan nalar”

“Persetan dengan igauanmu” geram Harya Wisaka. “Apa pun yang telah terjadi dengan Harya Penangsang, maka kau akan mati sekarang”

Ki Gede Pemanahan tidak menjawab lagi. Ia sadar, bahwa kedua orang yang dihadapinya adalah orang-orang yang berilmu tinggi. Namun seorang di antara mereka telah terluka, sehingga ia tidak lagi mampu bertempur pada puncak ilmunya.

Dalam pada itu, Resi Jalamanik pun bertempur semakin sengit melawan Kangjeng Sultan Hadiwijaya. Dendam yang menyala di hatinya telah mendorong Resi Jalamanik untuk dengan segera mengakhiri perlawanan Kangjeng Sultan. Namun Resi Jalamanik tidak dapat ingkar dari satu kenyataan, bahwa Kangjeng Sultan Hadiwijaya yang di masa mudanya pernah disebut Mas Karebet itu memiliki ilmu yang sangat tinggi.

Dengan demikian, maka Resi Jalamanik tidak akan dapat memaksakan kemenangan dengan segera. Ia harus mengerahkan segenap kemampuannya untuk dapat mengatasi tataran ilmu Kangjeng Sultan. Namun meskipun Kangjeng Sultan itu selalu meningkatkan ilmunya, namun ilmu Kangjeng Sultan itu tidak pernah sampai ke puncak, sehingga masih saja mampu ditingkatkannya.

Sedangkan Wasi Lengkara yang semula tidak begitu memperhitungkan kehadiran Ki Waskita, telah dipaksa untuk menjadi sangat gelisah. Orang yang disebut Ki Waskita itu ternyata mampu mengembangkan ilmunya sampai ke tataran yang sangat tinggi.

Dalam pada itu, pertempuran itu pun berlangsung semakin sengit. Resi Jalamanik, Ki Wimba Atmaka, Wasi Lengkara dan Harya Wisaka ternyata menghadapi kekuatan yang jauh lebih tinggi dari yang mereka duga. Menurut perhitungan mereka, di dalam bilik utama itu hanya terdapat Kangjeng Sultan Hadiwijaya. Jika ada orang lain, maka orang itu adalah tentu seorang perempuan.

Namun yang ternyata ada di dalam bilik itu adalah Ki Gede Pemanahan, yang dikira sedang berada di luar kota memburu Harya Wisaka.

Ternyata bukan Ki Gede Pemanahan lah yang telah terkelabuhi. Tetapi justru Harya Wisaka sendiri.

Dalam pada itu, maka malam pun menjadi semakin menyusut menjelang pagi. Cahaya fajar telah membayang di langit. Sementara itu, orang-orang yang tertidur masih saja tertidur nyenyak.

Meskipun demikian, Resi Jalamanik yang yakin bahwa kekuatan sirepnya akan dapat mengikat orang-orang yang tertidur itu sampai tengah hari, namun jika matahari terbit, maka akan berdatangan para abdi yang bertugas untuk membersihkan lingkungan keraton. Ada di antara mereka yang tinggal di dalam lingkungan keraton itu, sehingga mereka pun tidak akan terbangun dari tidur mereka. Tetapi para abdi yang tinggal di luar keraton tentu akan keheranan melihat keadaan keraton.

Jika keadaan itu didengar oleh para pemimpin Pajang yang berilmu tinggi, maka keadaan akan menjadi rumit bagi mereka.

Karena itu, maka Resi Jalamanik pun tidak ingin memperpanjang pertempuran itu. Ia harus segera mengakhirinya.

Demikian pula kawan-kawannya. Ki Gede Pemanahan dan Ki Waskita itu harus segera dihabisi.

“Akulah yang harus membunuh Sultan ini lebih dahulu. Jika Karebet ini sudah mati, maka membunuh yang lain tidak ubahnya dengan memijit buah ranti”

Dengan demikian, maka Resi Jalamanik itu pun segera merambah pada tataran ilmu puncaknya.

Dalam pada itu, Raden Sutawijaya, Pangeran Benawa dan Paksi telah mulai bergerak pula. Mereka sudah bersepakat dengan Ki Lurah Sanggabaya, bahwa sebelum fajar mereka sudah harus bergerak. Sesaat menjelang matahari terbit, mereka akan mulai menyerang pasukan yang berada di padukuhan di hadapan mereka yang dipergunakan sebagai pesanggrahan oleh Harya Wisaka dengan pasukannya yang kuat.

Tidak ada masalah di dalam pasukan yang dipimpin oleh Ki Gede Pemanahan.

Tetapi agak berbeda dengan pasukan yang dipimpin oleh Ki Lurah Sanggabaya. Ki Lurah harus membesarkan hati para prajuritnya yang nampak cemas karena sebagian besar dari mereka belum berpengalaman.

“Kalian akan bertempur bersama-sama dengan kawan-kawan kalian yang telah berpengalaman. Di samping itu kalian akan berada di medan bersama-sama dengan pasukan yang dipimpin oleh Ki Gede Pemanahan sendiri”

Sebagian dari para prajurit yang belum berpengalaman itu memang menjadi berbesar hati. Tetapi masih ada di antara mereka yang cemas, bahwa mereka akan memasuki neraka yang bengis.

Demikianlah, kedua pasukan itu merayap mendekati padukuhan yang akan menjadi sasaran serangan mereka. Mereka akan menyerang dari arah yang berbeda. Pasukan Ki Sanggabaya akan menyerang dari sisi selatan dengan pasukannya yang besar. Tetapi yang sebagian besar dari mereka belum berpengalaman.

Jika benturan telah terjadi, maka pasukan yang dipimpin oleh Ki Gede akan memasuki medan dari sisi utara dan menutup semua jalan agar Harya Wisaka tidak sempat melarikan diri.

Pada saat langit mulai menjadi merah, maka kedua pasukan itu sudah bersiap di tempat mereka masing-masing sebagaimana ditentukan menurut kesepakatan. Mereka tidak akan saling memberikan isyarat pada saat pasukan-pasukan itu menyerang. Ki Lurah Sanggabaya harus berpegangan pada waktu yang disepakati. Saat matahari terbit, pasukannya akan menyerang padukuhan itu dari arah selatan. Sementara pasukan Ki Gede Pemanahan merayap mendekati padukuhan. Demikian pertempuran menjadi riuh, maka pasukan kecil itu harus segera memasuki padukuhan.

Pada saat yang demikian, di istana Pajang, pertempuran antara orang-orang berilmu tinggi itu pun telah mencapai puncaknya.

Resi Jalamanik yang ingin segera mengakhiri pertempuran, telah mengetrapkan ilmunya Gelap Ngampar. Ketika Resi Jalamanik itu berteriak nyaring, maka istana itu pun telah berguncang. Benda-benda pun telah bergeser dari tempatnya. Bahkan ada guci tua yang terguling, mangkuk yang jatuh di lantai dan pecah berserakkan.

Tetapi ilmu itu tidak dapat menahan ilmu Kangjeng Sultan. Bahkan Kangjeng Sultan masih juga sempat berdesis, “Ilmumu luar biasa, Ki Sanak. Bukan saja mengguncang jantung lawan, tetapi mampu menyentuh ujud kewadagan”

Resi Jalamanik tidak menjawab. Ia sadar, bahwa ilmu Gelap Ngampar itu tidak berarti banyak. Bahkan Ki Gede Pemanahan dan Resi Waskita itu pun tidak tergoyahkan.

Karena itu, maka Resi Jalamanik itu pun telah meniupkan Aji Alas Kobar.

Kangjeng Sultan Hadiwijaya terkejut. Jika Aji Alas Kobar itu mempunyai sentuhan wadag, maka ruangan itu akan dapat terbakar. Bahkan istana itu seluruhnya akan dapat terbakar.

Karena itu, ketika Kangjeng Sultan melihat tanda-tanda ilmu Alas Kobar akan ditrapkan, maka Kangjeng Sultan pun segera memusatkan nalar budinya. Disiapkannya Aji Ricih.

Demikian Rasi Jalamanik menyemburkan api dari telapak tangannya, maka ruangan itu tiba-tiba terasa menjadi basah dan dingin. Tidak ada air setetes pun di ruangan itu. Namun semburan api itu seakan-akan telah disiram oleh guyuran air dari seribu air terjun di tebing gunung yang basah.

Sesaat kemudian, api pun menjadi padam.

Resi Jalamanik pun menggeram. Kemarahannya tidak tertahankan lagi. Karena itu, dengan serta-merta Resi Jalamanik telah menyerang Kangjeng Sultan dengan lambaran Aji Rog-rog Asem.

Tetapi Kangjeng Sultan pun tidak tergetar karenanya. Bahkan ia masih sempat berdesis, “Rog-rog Asemmu masih belum masak benar, Ki Sanak”

“Kau mengenal ilmu ini?”

Kangjeng Sultan tidak menjawab. Namun tiba-tiba saja Kangjeng Sultan itu menghadapi Resi Jalamanik yang mengetrapkan Aji Rog-rog Asem itu dengan kekuatan aji yang sama.

Resi Jalamanik terkejut. Hentakan-hentakan ilmu Kangjeng Sultan itu ternyata telah menggetarkan pertahanannya. Aji Rogrog Asem Kangjeng Sultan Hadiwijaya itu ternyata lebih matang dari aji yang sama yang dikuasai Resi Jalamanik.

Resi Jalamanik memang menjadi gelisah. Tetapi ia tidak dapat berbuat lain kecuali menyelesaikan pertempuran itu, apa pun akibatnya bagi dirinya.

Dalam pada itu, langit pun menjadi semakin merah. Bahkan cahaya yang kekuning-kuningan telah naik pula. Sebentar lagi, matahari akan segera terbit.

Pada saat yang demikian itulah, Ki Lurah Sanggabaya dengan tegang, berdiri tegak memandang ke arah timur. Para prajuritnya telah bersiap untuk menerima perintahnya. Mereka tahu, sasaran yang akan mereka datangi, padukuhan yang ada di hadapan mereka. Pintu gerbang yang harus dipecahkan. Sebagian dari mereka akan meloncati dinding padukuhan dan langsung terjun ke peperangan.

Tetapi Ki Lurah Sanggabaya telah memilih. Prajurit-prajuritnya yang sudah berpengalaman dan mempunyai keberanian yang cukup sajalah yang akan meloncati dinding.

Yang lain akan mencoba memecahkan pintu gerbang. Namun jika mereka yang meloncat dinding itu berhasil, maka mereka akan membuka pintu itu dari dalam.

Dalam pada itu, Ki Lurah Sanggabaya pun melihat warna semburat di atas punggung bukit. Kemudian lingkaran merah yang besar mulai terangkat perlahan-lahan naik ke langit. Pada saat yang demikian itulah, Ki Lurah Sanggabaya mengangkat tangannya.

Seorang penghubung segera meneriakkan aba-aba, agar pasukan itu dengan cepat berlari menuju ke sasaran.

Tetapi kedatangan mereka telah diketahui oleh pasukan Harya Wisaka. Karena itu, maka kedatangan mereka pun telah disambut dengan kesiagaan penuh. Beberapa orang telah memanjat dinding dengan busur di tangan.

Tetapi itu pun telah diperhitungkan oleh Ki Lurah Sanggabaya. Karena itu, yang kemudian berlari-lari di paling depan adalah para prajurit yang membawa perisai di tangan kirinya.

Di belakang mereka adalah para prajurit yang juga bersenjata busur dan anak panah. Dengan busur dan anak panah, maka mereka akan melindungi para prajurit yang berusaha memecahkan pintu gerbang.

Namun dalam pada itu, para prajurit yang sudah memiliki pengalaman yang luas, berusaha untuk menjauhi pintu gerbang.

Mereka memperhitungkan bahwa para pemanah itu sebagian akan berkumpul di pintu gerbang. Sementara itu semakin jauh dari pintu gerbang, maka pertahanan akan menjadi semakin tipis.

Beberapa orang prajurit yang berpengalaman, mampu menepis anak panah dengan senjata mereka. Dengan pedang mereka atau tombak pendek di tangan mereka. Sementara itu, ada juga di antara mereka yang telah mempersiapkan busur dan anak panah untuk membalas serangan-serangan yang dilontarkan dari atas dinding.

Demikian para prajurit itu sampai ke dinding padukuhan, maka mereka segera berloncatan. Yang seorang memanjat pundak yang lain. Demikian tangan mereka menggapai bibir dinding padukuhan, maka mereka pun segera meloncat naik.

Sementara itu beberapa orang pemanah yang berpengalaman melindungi usaha mereka meloncati dinding. Jika mereka melihat kepala lawan yang tersembul di atas dinding, maka ujung anak panah pun akan segera menyambar dahi.

Dengan demikian, maka para prajurit itu berurutan berloncatan naik ke atas dinding dan langsung terjun ke dalam. Meskipun jumlah mereka yang berhasil masuk tidak berlalu banyak, tetapi mereka sudah berhasil mengacaukan pertahanan para pengikut Harya Wisaka.

Apalagi ketika para prajurit berusaha memecahkan pintu gerbang dengan hentakan-hentakan bersama-sama. Bahkan kemudian beberapa orang telah mengusung balok kayu yang cukup besar, kemudian mereka mengambil ancang-ancang untuk membenturkan balok kayu itu ke pintu gerbang padukuhan, sementara yang lain melindungi dengan lontaran-lontaran anak panah yang mengarah.

Dengan demikian, maka pertempuran pun segera menjadi seru. Para prajurit yang belum berpengalaman telah dibawa oleh kawan-kawan mereka yang telah beberapa kali turun ke medan perang yang besar, bersiap memasuki padukuhan demikian pintu terbuka.

“Jika pintu itu tidak segera terbuka, nasib kawan-kawan kita yang sudah ada di dalam akan menjadi sangat buruk” berkata salah seorang di antara para prajurit yang berpengalaman.

Demikianlah, maka hentakan balok kayu yang diusung oleh beberapa orang itu diulang sekali, dua kali dan kemudian tiga kali. Selarak pintu gerbang padukuhan itu pun patah, sehingga pintu telah terbuka.

Para prajurit yang dipimpin oleh Ki Lurah Sanggabaya itu pun segera menerobos masuk. Para prajurit yang berpengalamanlah yang lebih dahulu berlari memasuki padukuhan. Mereka berusaha untuk dapat menerobos langsung dan masuk ke dalam padukuhan itu sedalam-dalamnya.

Pertempuran pun telah terjadi di belakang pintu gerbang. Beberapa orang prajurit terhadang oleh para pengikut Harya Wisaka. Namun yang lain sempat menyusup menembus pertahanan itu.

Para prajurit Pajang itu pun dengan cepat menebar. Pertempuran segera meluas di jalan-jalan padukuhan. Sebagian dari para prajurit yang belum berpengalaman telah mengikuti saja kawan-kawan mereka. Sementara yang lain bertempur dengan sengitnya di sekitar pintu gerbang.

Dalam pada itu, matahari pun telah terbit.

Di istana pajang, Ki Gede Pemanahan mendesak kedua lawannya. Harya Wisaka pun telah terluka parah. Bahkan lebih parah dari Ki Wimba Atmaka. Dalam keadaan yang hampir tidak berdaya, maka Resi Jalamanik yang juga sudah mengalami kesulitan sempat berteriak, “Harya Wisaka. Tinggalkan tempat ini”

Kata-kata itu diulang oleh Ki Wimba Atmaka, “Cepat, pergilah. Selagi kami masih dapat bertahan”

Harya Wisaka memang menjadi ragu-ragu. Tetapi sekali lagi terdengar suara Resi Jalamanik dan Ki Wimba Atmaka hampir bersamaan, “Pergilah”

Harya Wisaka memang tidak mempunyai pilihan lain. Tubuhnya penuh dengan darah. Sebenarnya Harya Wisaka merasa berat meninggalkan ketiga orang yang sedang bertempur itu. Ia yakin, bahwa ketiganya tidak akan memenangkan pertempuran. Namun Harya Wisaka juga tidak ingin tertangkap lagi.

Demikianlah, maka Harya Wisaka itu pun segera menyelinap. Keluar dari ruangan itu.

Ki Gede Pemanahan memang berusaha mencegahnya. Tetapi Ki Wimba Atmaka tiba-tiba seperti menjadi gila. Dihentakkannya segenap ilmunya, ditumpahkannya dalam serangan yang membadai.

Ki Gede Pemanahan memang tertahan. Ia harus melayani Ki Wimba Atmaka yang seakan-akan sudah kehilangan akal itu.

Sementara itu, Sultan Hadiwijaya yang melihat Harya Wisaka berusaha melarikan diri, telah menyerang Resi Jalamanik dengan puncak ilmunya. Bukan hanya Aji Rog-rog Asem, tetapi Kangjeng Sultan Hadiwijaya telah melepaskan Aji Bajra Geni.

Resi Jalamanik ternyata tidak mampu melawan ilmu yang dahsyat itu. Meskipun Resi Jalamanik sempat bertahan beberapa lama dengan Aji Rog-rog Asem yang didukung oleh beberapa jenis ilmu yang lain, namun akhirnya Aji Bajra Geni itu telah menghanguskan isi dadanya.

Kemarahan Kangjeng Sultan tidak tertahankan lagi ketika ia tidak melihat Harya Wisaka berada di ruang itu lagi. Karena itulah, maka Aji Bajra Geni yang jarang sekali dipergunakan, telah dipergunakannya untuk mengakhiri perlawanan Jalamanik.

Hampir bersamaan saatnya, ketika Ki Gede Pemanahan menghentikan perlawanan Wimba Atmaka dan Ki Waskita menyelesaikan orang yang nampaknya memiliki Aji Welut Putih itu. Namun akhirnya Wasi Lengkara itu pun kehilangan kesempatannya untuk mempertahankan hidupnya. Ki Waskita pun berusaha mengakhiri perlawanannya dengan cepat agar ia dapat segera memburu Harya Wisaka.

Ketiga orang itu pun kemudian berpencar. Kangjeng Sultan Hadiwijaya, Ki Gede Pemanahan dan Ki Waskita.

Mula-mula mereka masih dapat melacak titik-titik darah Harya Wisaka yang keluar dari bilik itu langsung pergi ke longkangan. Tetapi demikian Harya Wisaka itu keluar lewat pintu seketeng, jejak titik-titik darah itu pun telah hilang.

Ketiga orang yang memburunya itu pun kemudian mencarinya di arah yang berbeda-beda.

Namun akhirnya Ki Gede Pemanahan sampai ke gardu para penghubung yang bertugas. Beberapa orang prajurit masih tertidur dengan nyenyak. Seekor kuda terikat di tiang. Tetapi kuda itu tidak tidur.

Jejak kaki kuda yang baru telah mengisyaratkan, bahwa Harya Wisaka telah berhasil mencapai tempat itu dan kemudian melarikan diri dengan seekor kuda.

Ketika hal itu dilaporkannya kepada Kangjeng Sultan, maka Kangjeng Sultan pun menghentakkan tangannya. Katanya, “Kita kehilangan lagi”

“Aku akan memerintahkan para prajurit untuk mencarinya di seluruh kota. Mereka akan mendatangi semua pintu rumah untuk menemukan Harya Wisaka”

“Kita terburu nafsu. Jika saja kita dapat menangkap ketiga orang itu atau salah satu saja di antara mereka hidup-hidup” berkata Ki Waskita.

“Ya. Kita tidak dapat mengendalikan gejolak perasaan kita. Nah, Apa bedanya kita dengan kakang Harya Penangsang?”

Ki Gede Pemanahan tidak menanggapinya. Tetapi ia pun berkata, “Hamba akan menemui Ki Tumenggung Reksapati”

Kangjeng Sultan itu pun mengangguk sambil berdesis, “Pergilah, Kakang”

Ki Gede pun kemudian telah mempergunakan kuda penghubung yang selalu siap untuk dipergunakan setiap saat itu. Sejenak kemudian terdengar derap kaki kuda melintasi pintu gerbang istana, turun ke jalan yang masih agak sepi, meskipun beberapa orang sudah nampak berjalan sambil menggendong bakul pergi ke pasar. Ada di antara mereka yang membawa hasil kebun mereka untuk dijual. Tetapi ada juga yang membawa hasil kerajinan tangan mereka berupa barang-barang dari anyaman bambu untuk keperluan dapur. Irig, tampah, tambir, kalo dan sebagainya.

Orang-orang itu terkejut ketika mereka melihat seorang penunggang kuda melarikan kudanya kencang sekali.

Meskipun demikian, Ki Gede Pemanahan masih juga berusaha mengamati jalan yang dilewatinya, jika saja ia berhasil menemukan titik-titik darah. Tetapi sia-sia.

Kedatangan Ki Gede Pemanahan memang mengejutkan Ki Tumenggung Reksapati. Namun kemudian perintah Ki Gede itu jelas, hari itu juga para prajurit Pajang harus mendatangi setiap rumah, dari pintu ke pintu, untuk menemukan Harya Wisaka.

“Baik, Ki Gede. Aku akan segera memberikan perintah itu”

Sebenarnyalah, pagi itu, kotaraja menjadi gempar. Dalam waktu singkat, para prajurit telah memenuhi jalan-jalan. Bukan hanya jalan-jalan besar, tetapi juga lorong-lorong di padukuhan-padukuhan.

Para prajurit itu mendatangi setiap rumah, masuk ke dalamnya mencari seseorang yang bernama Harya Wisaka yang terluka.

Tetapi usaha untuk menemukan Harya Wisaka itu tidak mudah. Ki Tumenggung Reksapati hanya dapat menemukan seekor kuda. Di punggung kuda itu memang nampak tetesan darah yang sudah mengering. Kuda itu adalah kuda yang selalu siap dipergunakan oleh para penghubung di istana jika ada persoalan-persoalan yang penting dan mendadak.

Dalam pada itu, di istana, Ki Waskita dan Kangjeng Sultan sendiri telah membangunkan dua orang pelayan dalam yang masih tidur di ruang dalam, tempat Kangjeng Sultan, Ki Gede Pemanahan dan Ki Waskita bertempur.

Nampaknya pengaruh sirep yang tajam itu masih terasa, sehingga kedua orang itu memang agak sulit dibangunkan. Meskipun keduanya diguncang-guncang, namun keduanya hanya membuka mata mereka saja untuk sesaat. Mata itu pun kemudian telah mengatup kembali.

Kangjeng Sultan itu menarik nafas panjang. Tetapi Kangjeng Sultan tidak marah. Ia sadar, bahwa hal itu terjadi bukan karena kesalahan para pelayan dalam. Mereka memang tidak mampu melawan pengaruh sirep yang demikian tajamnya tanpa mendapat bantuan.

“Aku akan membantu anak ini” desis Kangjeng Sultan yang kemudian berjongkok di sebelah salah seorang pelayan dalam itu.

Dipeganginya pergelangan tangannya sejenak dan dibangunkannya pelayan dalam itu lewat getar darahnya.

Pelayan dalam itu pun kemudian menggeliat. Tetapi ketika ia melihat Kangjeng Sultan berjongkok di sampingnya, dengan serta-merta ia pun meloncat bangkit. Pelayan dalam itu duduk bersila sambil menundukkan kepalanya dalam-dalam.

Kangjeng Sultan tidak segera bertanya. Ia memberi kesempatan kepada pelayan dalam itu untuk mengingat-ingat, apakah yang telah terjadi atas dirinya.

“Ampun, Kangjeng Sultan. Hamba tertidur. Hamba bersalah. Hamba siap untuk menerima hukuman karena kesalahan hamba itu”

“Baik” berkata Kangjeng Sultan yang bangkit berdiri. “Kau aku hukum untuk membangunkan kawan-kawanmu yang tertidur. Semua petugas di istana ini tertidur”

Pelayan dalam itu mengangkat wajahnya. Namun ia pun kemudian menunduk lagi. Dengan ragu ia pun berdesis, “Apa yang terjadi?”

“Seharusnya akulah yang bertanya kepadamu, karena kau yang bertugas disini”

“Hamba, Tuanku. Hamba bersalah”

“Nah, sekarang lakukan, bangunkan mereka. Aku akan memberimu seorang kawan”

Dengan cara yang sama Kangjeng Sultan pun telah membangunkan pelayan dalam yang seorang lagi. Seperti kawannya ia pun menjadi kebingungan. Namun kemudian mereka menyadari, apakah yang telah terjadi.

“Bawalah air. Kawan-kawanmu tentu sulit kau bangunkan. Celupkan tanganmu di dalam air dan tempelkan tanganmu yang basah itu di leher mereka. Mudah-mudahan mereka terbangun”

“Hamba, Tuanku” sahut pelayan dalam itu berbareng.

Demikianlah, kedua orang pelayanan dalam itu pun berusaha untuk membangunkan kawan-kawan mereka yang tertidur nyenyak. Mereka membawa air sebagaimana dipesankan oleh Kangjeng Sultan di dalam sebuah kelenting kecil.

Dengan membasahi tangan dan menempelkan tangan yang basah di leher orang-orang yang tertidur nyenyak, maka sebagian dari mereka memang segera terbangun. Namun ada juga yang nampaknya masih tetap bermalas-malas, sehingga yang dibasahi bukan hanya tangan orang yang membangunkannya, tetapi air itu pun telah diteteskan di dahi mereka.

Seorang yang kepalanya menjadi basah, terbangun sambil marah. Namun kawannya pun berkata, “Kau akan dihukum karena kau tertidur pada saat kau bertugas”

“He, dimana aku sekarang? Apakah aku sedang bertugas?”

“Ya. Kau sedang bertugas”

Prajurit itu mulai mengingat-ingat. Namun akhirnya ia pun menyadari kesalahannya, bahwa ia memang telah tertidur selagi bertugas.

“Apakah aku akan dihukum?”

“Tentu” jawab kawannya yang membangunkannya.

“Kenapa hal ini dapat terjadi? Sepanjang ingatanku, aku belum pernah tertidur selagi aku bertugas”

Kawannya yang mengetahui bahwa istana itu semalam telah dicengkam oleh sirep yang tajam, tidak memberitahukannya. Ia sengaja mengganggu kawannya, agar dicengkam oleh kegelisahan.

Ketika matahari menjadi semakin terang, maka abdi yang tinggal di luar istana telah berdatangan. Tetapi mereka menemukan para petugas telah berada di tempat tugas mereka masing-masing. Yang berjaga-jaga di pintu gerbang telah berada di pintu gerbang itu pula sambil membawa tombak. Meskipun mata mereka masih terasa berat, namun mereka telah memaksa diri untuk menjalankan tugas mereka dengan baik. Yang berjaga-jaga di pintu gerbang, justru berjalan hilir mudik di depan gerbang untuk melawan perasaan kantuk.

Para abdi yang memasuki keraton itu memang sempat menjadi heran menyaksikan para prajurit dan pelayan dalam yang tidak begitu bergairah pada tugas mereka. Tetapi para abdi itu pun tidak bertanya.

Ketika para prajurit yang baru menggantikan prajurit yang bertugas malam, maka sisa-sisa sirep itu pun hampir tidak nampak lagi.

Dalam pada itu, Ki Gede Pemanahan telah berada di istana. Bersama-sama dengan Kangjeng Sultan dan Ki Waskita mereka menunggu laporan dari Ki Tumenggung Reksapati atas hasil kerja para prajuritnya.

Sementara itu, jauh dari kotaraja, pasukan yang dipimpin oleh Ki Lurah Sanggabaya telah terlibat dalam pertempuran yang sengit. Para Prajurit yang belum berpengalaman itu harus menghadapi lawan mereka yang tidak mengenali mereka, apakah mereka berpengalaman atau tidak.

Dalam keadaan yang demikian, maka para prajurit itu telah dipaksa untuk bertempur, setidak-tidaknya untuk melindungi diri sendiri.

Namun dengan demikian, maka mereka benar-benar merasa bahwa mereka adalah prajurit.

Beberapa orang masih merasa takut melihat senjata yang terayun-ayun mengerikan. Hati mereka menjadi semakin kecut jika mereka mendengar seseorang berteriak kesakitan atau merintih menahan nyeri yang menyengat. Dalam keadaan yang demikian, mereka mulai bertanya kepada diri sendiri, kenapa mereka memasuki dunia yang keras itu?

Tetapi selain mereka yang hatinya menyusut sampai sebesar biji sawi, ada juga prajurit yang belum berpengalaman itu hatinya justru mengembang. Mereka merasa mendapat kepercayaan untuk menegakkan kewibawaan Pajang. Mereka merasa mendapat beban tugas yang berat untuk menghancurkan sekelompok pemberontak.

Dalam pada itu, sebagaimana sudah disepakati, setelah pasukan Ki Lurah Sanggabaya itu bertempur, maka Raden Sutawijaya, Pangeran Benawa dan Paksi pun mulai menggerakkan kelompok-kelompok mereka masing-masing. Mereka memasuki padukuhan itu dari arah yang lain. Dari arah yang tidak mendapat pengawasan yang ketat.

Pertempuran singkat memang terjadi dengan para pengikut Harya Wisaka. Tetapi pasukan Raden Sutawijaya, Pangeran Benawa dan Paksi yang datang meskipun jumlahnya kecil itu, segera menguasai keadaan. Mereka pun segera menerobos masuk ke dalam padukuhan dan langsung melibatkan diri dalam pertempuran.

Kedatangan pasukan kecil itu memang mengejutkan. Ketiga kelompok yang masing-masing dipimpin oleh Raden Sutawijaya,

Pangeran Benawa dan Paksi itu pun telah memisahkan diri. Mereka memasuki arena di sudut padukuhan yang berbeda.

Getar kedatangan pasukan kecil itu segera terasa oleh pasukan yang dipimpin Ki Lurah Sanggabaya. Sambil tersenyum

Ki Lurah itu pun berkata, “Mereka telah datang”

“Ya” sahut seorang prajurit pengawal Ki Lurah.

“Kita tingkatkan kekuatan kita agar pertempuran ini segera berakhir”

Pengawal Ki Lurah itu pun segera memerintahkan kepada para penghubung untuk menyampaikan perintah Ki Lurah itu kepada setiap pemimpin kelompok.

Sebenarnyalah bahwa pertempuran itu pun menjadi semakin seru. Tetapi dengan kehadiran pasukan yang dipimpin oleh Raden Sutawijaya, Pangeran Benawa dan Paksi itu, maka pertahanan para pengikut Harya Wisaka itu pun terasa mulai mengendor. Sebagian dari mereka harus segera ditarik untuk menghadapi pasukan kecil yang terbelah menjadi tiga itu. Namun mereka itu terdiri dari prajurit-prajurit yang tangguh. Sehingga meskipun jumlah mereka sedikit, tetapi pengaruhnya ternyata cukup besar bagi para pengikut Harya Wisaka.

Dalam pada itu, Ki Gede Pemanahan atas persetujuan Kangjeng Sultan telah mengirimkan tiga orang petugas sandi untuk mencari hubungan dengan Raden Sutawijaya, Pangeran Benawa dan Paksi. Ki Gede memerintahkan agar pasukan itu ditarik kembali. Mereka tidak perlu memburu Harya Wisaka, karena seperti yang diduga oleh Ki Gede Pemanahan, Harya Wisaka masih berada di dalam kota.

Namun pada saat itu, pertempuran yang sengit telah terjadi. Pertempuran yang melibatkan pasukan Ki Lurah Sanggabaya dari Prambanan.

Para pengikut Harya Wisaka yang semula berpengharapan untuk menghancurkan prajurit yang datang dari Prambanan itu telah mulai menjadi cemas. Kedatangan pasukan kecil itu benar-benar telah menggetarkan jantung mereka.

Ketika matahari menjadi semakin tinggi, maka pertempuran itu pun menjadi semakin sengit. Keringat dan darah telah menitik jatuh di atas bumi yang kering.

Beberapa orang dari kedua belah pihak, setiap kali meneriakkan kemenangan-kemenangan kecil yang terjadi. Namun teriakan-teriakan itu kemudian telah tenggelam di sela-sela dentang senjata beradu.

Pertempuran itu pun kemudian telah menjalar hampir ke seluruh padukuhan. Rumah-rumah di padukuhan itu tidak ada yang membuka pintu. Yang sudah terlanjur terbuka dan pemiliknya mulai menyapu halaman di pagi hari, telah menutup pintunya kembali.

Perang yang terjadi itu sangat menakutkan mereka. Penghuni padukuhan itu sadar, bahwa mereka tidak akan dapat berbuat apa-apa kecuali bersembunyi. Mereka tidak dapat berpihak kepada siapa kecuali bersembunyi. Jika mereka mulai berpihak, maka nasib mereka kemudian akan menjadi sangat buruk. Karena itu, para penghuni padukuhan itu merasa lebih baik tinggal di dalam rumah mereka masing-masing, menutup pintu dan menunggu apa yang akan terjadi kemudian.

Sementara itu para pengikut Harya Wisaka yang tinggal di banjar padukuhan dan di rumah Ki Bekel, telah turun semuanya ke medan. Bahkan mereka yang sehari-hari bertugas di dapur atau tugas-tugas lain, harus ikut serta masuk ke dalam kancah pertempuran.

Para prajurit yang belum berpengalaman dan hatinya tidak sebesar kawan-kawannya, masih saja bertempur dengan hati yang selalu cemas. Namun ketika satu dua prajurit yang dipimpin oleh Raden Sutawijaya, Pangeran Benawa dan Paksi itu sempat menyusup dan bertempur bersama mereka, maka terasa hati
mereka menjadi tenang.

Apalagi ketika para prajurit yang belum berpengalaman itu melihat bagaimana mereka bertempur, maka mereka seakan-akan telah mendapat dorongan untuk berbuat sebagaimana mereka lakukan.

Sebenarnyalah kehadiran pasukan khusus itu sangat berpengaruh atas kawan dan lawan. Para pengikut Harya Wisaka pun menjadi cemas melihat kehadiran pasukan kecil itu.

Raden Sutawijaya yang membawa pasukannya langsung ke induk pasukan lawan, telah berhasil menguasai jalan induk padukuhan itu. Sementara itu. Pangeran Benawa telah membawa pasukannya ke banjar padukuhan. Sedangkan Paksi mencoba menerobos memasuki rumah Ki Bekel yang juga dipergunakan oleh pasukan Harya Wisaka itu.

Ternyata bahwa para pengikut Harya Wisaka itu tidak mampu mempertahankan tempat-tempat yang mereka pergunakan selama mereka berada di padukuhan itu. Pasukan Pangeran Benawa telah berhasil memasuki banjar padukuhan dan menguasai semua barang-barang milik para pengikut Harya Wisaka yang ada di banjar. Sementara itu, pasukan yang dipimpin oleh Paksi pun telah menguasai pula rumah Ki Bekel.

Ternyata Ki Bekel dan keluarganya sudah tidak ada di rumah itu. Paksi yang memasuki rumah itu sampai ke dapur, menemukan seorang perempuan yang duduk ketakutan.

“Kau siapa, Bibi?” bertanya Paksi.

“Aku semula adalah pembantu Ki Bekel” jawab perempuan tua itu.

“Dimana sekarang Ki Bekel?”

“Ki Bekel telah diusir dari rumah ini oleh para pemimpin pasukan yang menduduki padukuhan ini. Ki Bekel sekarang tinggal di rumah adiknya, di ujung padukuhan”

Paksi mengangguk-angguk. Dari perempuan tua itu Paksi dapat mengetahui dimana Ki Bekel itu tinggal. Karena itu, maka Paksi pun segera berusaha untuk menemuinya. Ditinggalkannya beberapa orang prajuritnya di rumah Ki Bekel, sementara itu ia membawa prajuritnya yang lain ke rumah adik Ki Bekel itu.

“Jika para pengikut Harya Wisaka itu datang untuk menguasai kembali rumah ini, pertahankan. Tetapi jika kekuatan mereka jauh melampaui kekuatan kalian, lepaskan. Beritahu aku dan kita bersama-sama akan mengambil kembali rumah ini” pesan Paksi kepada prajurit-prajuritnya.

Demikianlah, maka Paksi pun telah membawa prajurit prajuritnya ke rumah di ujung padukuhan.

Namun di sepanjang jalan yang ditempuhnya, pasukannya masih saja telah berbenturan dengan kekuatan Harya Wisaka yang masih berkeliaran di padukuhan itu. Tetapi Paksi berhasil menerobos menuju ke rumah di ujung padukuhan. Ketika Paksi dan dua orang prajuritnya memasuki regol halaman, maka prajurit-prajuritnya pun telah menebar. Setiap kali pertempuran masih saja terjadi. Apalagi ketika pasukan yang dipimpin oleh Ki Lurah Sanggabaya mulai mendesak lawannya yang banyak kehilangan setelah pasukan Raden Sutawijaya menguasai jalan induk padukuhan itu.

Pintu rumah di ujung padukuhan itu pun tertutup rapat seperti rumah-rumah yang lain. Perlahan-lahan Paksi mengetuk pintunya. Tetapi pintu tidak segera dibuka.

“Tolong, bukakan pintunya” berkata Paksi.

Tetapi tidak seorang pun yang membukakan. Bahkan tidak seorang pun yang menjawab.

“Atas nama kekuasaan Pajang, bukalah pintunya”

Nampaknya sebutan itu menyentuh hati orang-orang yang ada di dalam. Ternyata kemudian terdengar seseorang bertanya, “Siapakah kau, Ki Sanak?”

“Kami prajurit Pajang yang datang untuk membebaskan padukuhan ini”

“Prajurit Pajang?”

“Ya”

“Benarkah?”

“Ya. Kami adalah prajurit-prajurit Pajang”

Terdengar langkah mendekati pintu. Kemudian terdengar seseorang mengangkat selarak pintu itu.

Demikian pintu itu terbuka, maka Paksi pun telah berdiri di depan pintu.

“Apakah aku berhadapan dengan Ki Bekel?”

“Tidak, Ki Sanak. Aku adiknya. Siapakah Ki Sanak ini?”

“Aku prajurit dari Pajang. Pasukan Pajang yang ada di Prambanan serta tiga kelompok kecil pasukan khusus telah memasuki padukuhan ini”

“Jadi Ki Sanak prajurit Pajang?”

Paksi pun menyahut, “Kalian kenal pakaian kami? Jika kalian ragu, kalian kenal pertanda ini?”

Paksi pun kemudian telah menunjukkan timang pada ikat pinggangnya. Timang yang dibuat khusus dengan bentuk yang khusus pula, yang dikenakan oleh para prajurit Pajang.

“Ki Sanak masih ragu-ragu? Memang mungkin timang seperti ini dipalsukan. Tetapi kau harus yakin, bahwa kami adalah prajurit Pajang. Aku ingin berbicara dengan Ki Bekel”

Seorang laki-laki separo baya melangkah mendekati mereka sambil berkata, “Marilah. Silahkan masuk, anak muda. Akulah bekel di padukuhan ini”

Paksi dan kedua orang pengawalnya pun masuk ke ruang dalam. Mereka pun dipersilahkan duduk di sebuah amben yang besar.

“Kami harus meninggalkan rumah kami” berkata Ki Bekel.

“Anak isteriku sekarang berada disini”

“Aku sudah menguasai rumah Ki Bekel. Seorang perempuan tua memberitahukan kepadaku, bahwa Ki Bekel ada disini”

“O”

“Aku hanya ingin tahu, apakah selama pasukan itu ada disini, Harya Wisaka juga berada disini?”

Ki Bekel menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada dalam ia pun menjawab, “Aku tidak mungkin dapat mengetahuinya, Ki Sanak. Aku sudah diusir dari rumahku”

“Menurut pendengaran Ki Bekel?”

“Hanya menurut pendengaran, Harya wisaka memang berada disini. Tetapi aku belum pernah melihat, yang manakah yang bernama Harya Wisaka itu”

Paksi mengangguk-angguk. Ia tidak dapat memaksa orang itu untuk mengetahui dengan pasti. Agaknya Ki Bekel itu sudah berbicara dengan jujur.

“Baiklah, Ki Bekel. Jika demikian, biarlah aku mencari di antara para pengikutnya. Kami, para prajurit Pajang akan berusaha mengenalinya. Mungkin ia justru berada di antara para pengikutnya. Bahkan mungkin di antara para petugas dapur atau orang-orang yang tidak mendapat banyak perhatian”

“Maaf, Ki Sanak. Aku tidak dapat banyak membantu”

“Ki Bekel” berkata Paksi kemudian, “rumahmu sudah aku bebaskan. Jika kau ingin pulang, pulanglah. Tetapi jika kau merasa bahwa kemungkinan buruk dapat terjadi atasmu, silahkan untuk tinggal lebih lama disini”

“Terima kasih, Ki Sanak. Tetapi aku belum berani pulang sebelum keadaan menjadi jelas”

Paksi pun kemudian minta diri. Ia pun meninggalkan empat orang prajuritnya di halaman rumah itu. Ia pun berpesan sebagaimana pesannya kepada prajurit-prajuritnya yang ditinggal di rumah Ki Bekel, “Jangan mati untuk mempertahankan rumah ini. Jika kalian tidak kuat menahan arus, lepaskan. Kita akan melakukan bersama-sama”

Paksi pun kemudian telah membawa prajuritnya yang lain untuk turun ke jalan, menutup regol samping padukuhan.

Beberapa orang pengikut Harya Wisaka sampai pula ke tempat itu, sehingga telah terjadi pertempuran di beberapa tempat. Bahkan beberapa orang benar-benar telah datang ke rumah Ki Bekel yang kosong. Tetapi para prajurit yang ditinggalkan oleh Paksi berusaha mencegah mereka. Pertempuran yang pendek telah terjadi.

Beberapa orang pengikut Harya Wisaka itu pun kemudian telah meninggalkan rumah itu.

Dalam pada itu, Paksi pun telah meninggalkan pula beberapa orang di regol samping. Paksi sendiri kemudian telah bergerak memasuki arena pertempuran yang seru yang masih saja terjadi di beberapa tempat di padukuhan itu.

Dalam pada itu, sebagian besar prajurit dari kelompok yang dipimpin oleh Raden Sutawijaya telah berbaur dengan para prajurit dari Prambanan. Mereka ternyata menjadi panutan dari para prajurit yang masih belum berpengalaman. Rasa-rasanya mereka pun akan mampu memiliki kelebihan sebagaimana para prajurit dari pasukan khusus itu.

Dalam pada itu, semakin lama para prajurit yang dipimpin oleh Ki Lurah Sanggabaya itu pun semakin menguasai keadaan. Mereka menebar semakin luas. Sebagian telah bergabung dengan para prajurit di bawah pimpinan Pangeran Benawa. Sedang yang lain mengalir sampai di rumah Ki Bekel yang telah dikuasai oleh Paksi.

Menjelang sore hari, maka kekuatan para pengikut Harya Wisaka telah menyusut jauh sekali. Dimana-mana telah dikuasai oleh para prajurit dari Prambanan dan para prajurit dari pasukan khusus. Mereka berada di simpang-simpang empat dan simpang-simpang tiga. Mereka berada di banjar padukuhan, di rumah Ki Bekel dan di tempat Ki Bekel tinggal. Bahkan beberapa rumah bebahu telah dijaga pula oleh para prajurit.

Para pengikut Harya Wisaka benar-benar telah kehilangan kesempatan. Mereka tidak mempunyai lagi ruang gerak. Bahkan jalan-jalan pun seakan-akan telah tertutup.

Dalam pada itu, maka Raden Sutawijaya pun telah meneriakkan peringatan kepada para pengikut Harya Wisaka itu dari regol rumah seorang saudagar yang kaya. Raden Sutawijaya tahu, bahwa di halaman di depan rumah itu terdapat beberapa orang pengikut Harya Wisaka yang masih berkumpul.

“Menyerahlah sebelum kami kehabisan kesabaran. Kami akan menerima penyerahan di halaman banjar. Letakkan senjata dan berbaris teratur. Kami menunggu sampai matahari rendah menjelang senja. Jika kalian tidak menyerah, maka kami akan membersihkan padukuhan ini. Kami akan menghancurkan kalian. Tidak akan ada jalan keluar”

Suara Raden Sutawijaya memang dapat didengar oleh beberapa orang di antara para pengikut Harya Wisaka. Namun sama sekali tidak terdengar tanggapan.

“Kami menunggu sampai menjelang senja. Setelah itu, tidak seorang pun akan mendapat kesempatan lagi”

Dengan demikian, maka Raden Sutawijaya memang memusatkan kekuatannya di sekitar banjar. Para pengikut Harya Wisaka itu dapat saja berbuat aneh-aneh. Mereka dapat saja berpura-pura menyerah. Namun tiba-tiba mereka menyerang.

Karena itu, maka baik di luar banjar, maupun di halaman banjar, para prajurit Pajang siap menghadapi segala kemungkinan. Sementara beberapa kelompok prajurit bertugas untuk mengawasi semua regol padukuhan. Bahkan setiap jengkal dinding padukuhan itu.

Ketika matahari menjadi semakin rendah, ternyata ada beberapa orang yang datang untuk menyerahkan diri. Agaknya kesempatan yang diucapkan oleh Raden Sutawijaya itu telah tersebar di antara para pengikut Hara Wisaka.

Namun ternyata yang datang menyerah tidak terlalu banyak. Meskipun demikian, maka pasukan para pengikut Harya Wisaka itu tentu sudah tidak mempunyai kekuatan sama sekali. Selain yang terbunuh, terluka parah dan menyerah, maka sisanya sudah tidak begitu banyak lagi.

Para pengikut Harya Wisaka yang menyerah itu pun telah ditempatkan di ruang dalam pendapa banjar setelah ruangan itu dibersihkan. Barang-barang para pengikut Harya Wisaka telah ditimbun di ruang belakang banjar itu.

Beberapa orang pemimpin mereka telah dipisahkan, dan ditempatkan di gandok sebelah kiri.

Sampai batas waktu yang ditentukan, ternyata tidak terlalu banyak para pengikut Harya Wisaka yang menyerahkan diri.

Ternyata mereka memang sudah tidak mempunyai pilihan lain. Ketika Pangeran Benawa berbicara dengan salah seorang dari mereka yang menyerah, maka orang yang menyerah itu berkata, “Kami sudah merasa sangat letih. Kami merayap dari satu tempat ke tempat yang lain tanpa melihat harapan masa depan yang lebih baik”

“Dimana kawan-kawanmu yang lain, yang tidak menyerah?”

“Mereka terbunuh, terluka dan yang lain lagi menjadi ketakutan. Mereka merasa bahwa jika mereka menyerah, maka mereka akan hidup di dalam neraka tanpa berkesudahan”
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar