Jejak Dibalik Kabut Jilid 20

Dengan demikian, maka yang terjadi kemudian adalah pertarungan yang keras dan bersungguh-sungguh. Ki Semburwangi tidak lagi mengekang dirinya, apa pun yang bakal terjadi dengan Paksi, seorang anak muda yang semula ditiliknya, apakah ia akan dapat diangkat menjadi muridnya.

Namun yang terjadi kemudian adalah pertempuran yang sebenarnya.

Paksi memang tidak mau mengalah. Orang yang menyebut dirinya Semburwangi itu telah beberapa kali merendahkan guru dan perguruannya. Karena itu, maka ia pun ingin membuktikan, bahwa guru dan perguruannya bukan sebagaimana dikatakan oleh Ki Semburwangi itu.

Dengan demikian, maka pertarungan di dalam sanggar itu semakin lama menjadi semakin keras. Ki Semburwangi tidak akan membiarkan dirinya dihina oleh anak ingusan itu. Namun Paksi pun tidak mau kehilangan kebanggaannya atas guru dan perguruannya.

Dengan demikian, maka Ki Semburwangi itu pun telah mengerahkan ilmunya untuk segera mengatasi lawannya yang masih sangat muda itu. Bahkan Ki Semburwangi tidak menghiraukan lagi, seandainya anak muda itu terbunuh dalam putaran yang seharusnya tidak lebih dari sebuah pendadaran.

Paksi pun merasakan, betapa udara di sanggar itu serasa menjadi semakin panas. Ki Semburwangi bergerak semakin cepat. Tangannya seakan-akan tidak lagi hanya sepasang, tetapi beberapa pasang. Serangannya datang beruntun dari tangan yang seakan-akan menjadi beberapa pasang itu.

Tetapi Paksi pun tidak membiarkan dirinya dilindas oleh kemarahan lawannya. Serangan-serangannya pun menjadi semakin kuat pula. Tangan dan kakinya seakan-akan menjadi semakin keras, bahkan sekeras batu hitam.

Benturan-benturan yang kemudian terjadi, seakan-akan telah mengguncang sanggar itu. Tiang-tiangnya menjadi bergetar dan beberapa utas tali ijuk pengikat dinding pun menjadi putus.

Ki Tumenggung Sarpa Biwada berdiri membeku di tempatnya. Ia sungguh-sungguh tidak mengira, bahwa kemampuan Paksi telah menjadi sedemikian jauhnya.

Dalam pada itu, Ki Semburwangi pun telah sampai ke puncak ilmunya. Dengan garangnya ia telah mempersiapkan serangannya yang akan menentukan akhir dari pertempuran itu. Dengan lantang Ki Semburwangi itu pun berkata, “Bukan salahku jika tubuhmu menjadi lumat”

Tetapi Paksi pun telah bersiap. Ia pun telah mengerahkan segenap kemampuannya pada ilmu puncaknya.

Sekejap kemudian, maka Ki Semburwangi itu telah meloncat sambil mengayunkan tangannya, mengarah ke kening Paksi dilambari dengan segenap kemampuan ilmunya. Sementara itu, Paksi pun telah bersiap pula. Dikerahkannya daya tahan tubuhnya, dibarengi dengan kekuatan ilmu puncaknya, Paksi pun telah meloncat pula membenturkan kedua belah tangannya yang bersilang.


Satu benturan yang dahsyat telah terjadi.

Sanggar itu pun benar-benar berguncang. Pintunya bagaikan dihentakkan terbuka. Ikatan dinding di sudut sudut sanggar itu telah terlepas. Palang-palang kayu sebagai alat berlatih di sanggar itu pun terpelanting jatuh.

Sanggar itu telah berderak-derak bagaikan diguncang oleh gempa.

Untunglah bahwa sanggar itu terletak di belakang. Nyi Tumenggung yang sedang berada di dapur tidak begitu menghiraukan suara derak sanggar yang terguncang itu. Adik laki-laki Paksi lah yang berteriak oleh suara yang aneh itu. Dengan ragu-ragu ia pergi ke halaman samping. Tetapi ia tidak melihat sesuatu. Sanggar itu masih tetap berdiri disana.

“Suara itu berasal dari sanggar itu” katanya di dalam hati.

Namun adik laki-laki Paksi itu menjadi termangu-mangu ketika ia melihat pintu sanggar itu terbuka. Selangkah demi selangkah ia mendekat. Tetapi ia tidak dapat langsung melihat isi sanggar itu.

“Ada apa, Kakang?” tiba-tiba adik perempuannya sudah berada di belakangnya.

“Tidak ada apa-apa” jawab kakaknya.

“Aku mendengar suara yang aneh dari sanggar itu”

“Mungkin. Tetapi ayah ada disana” Adik laki-laki Paksi itu pun kemudian mengajak adik perempuannya justru masuk ke serambi sambil berkata, “Jangan ganggu mereka yang sedang berada di sanggar”

Adik perempuannya mengangguk-angguk.

Dalam pada itu, di dalam sanggar, Paksi harus berjalan tertatih-tatih ke sebuah lincak panjang yang terletak di pinggir sanggar itu. Ia pun kemudian duduk dengan menyilangkan kakinya mengatur pernafasannya yang bagaikan bekerja di lubang hidungnya. Sementara itu, Ki Tumenggung telah mengangkat tubuh Ki Semburwangi dan membaringkannya di sudut sanggar itu.

Ketika ia meletakkan telinganya di dada Ki Semburwangi, ia masih mendengar detak jantung Ki Semburwangi meskipun tidak teratur. Ki Tumenggung itu pun kemudian berpaling kepada Paksi sambil menggeram, “Anak setan. Kau lukai bagian dalam tubuh Ki Semburwangi. Seharusnya kau tahu diri. Ki Semburwangi hanya ingin menjajagi kemampuanmu. Tetapi kau bersungguh-sungguh sehingga bagian dalam tubuhnya terluka parah”

Keadaan Paksi sudah menjadi berangsur baik. Diangkatnya tangannya perlahan-lahan, kemudian diturunkannya di samping tubuhnya. Kakinya yang bersilang pun telah diurainya. Paksi pun kemudian turun dari lincak itu.

“Ki Semburwangi tidak sekedar main-main, Ayah” sahut Paksi. “Tetapi ia pun bersungguh-sungguh. Jika aku tidak melawan ilmunya, aku tentu sudah mati”

“Omong kosong” sahut ayahnya. “Ia tahu apa yang dilakukannya”

“Ia telah mengerahkan puncak ilmunya. Aku tahu itu”

“Tidak”

“Jika Ayah tidak yakin, aku akan menunggu sampai keadaannya menjadi baik. Besok, besok lusa atau kapan saja. Jika penjajagan ini diulangi, maka ia tidak akan dapat berbuat lebih baik dari yang dilakukan sekarang. Ayah harus yakin itu. Jika Ki Semburwangi memang dapat menjadi lebih baik dari tataran ini, biarlah aku menanggung akibatnya”

Ki Tumenggung menjadi semakin tegang. Paksi tidak pernah membantahnya. Sekali-sekali Paksi memang sering mencoba menghindar. Tetapi jika Ki Tumenggung mulai menekannya, Paksi selalu tunduk kepadanya.

Tetapi saat itu Paksi dengan tegas menolak pendapatnya. Bahkan Paksi itu berkata selanjutnya, “Seharusnya Ayah tidak mudah percaya kepada orang-orang seperti Ki Semburwangi. Ternyata seperti yang Ayah lihat, ia tidak lebih baik dari aku. Dengan demikian Ayah dapat membayangkan, apa jadinya jika aku diambilnya menjadi muridnya. Ilmuku tidak menjadi semakin baik. Tetapi justru menjadi semakin buruk”

“Cukup” bentak ayahnya. “Kau tidak usah menggurui aku”

Tetapi Paksi masih juga menjawab, “Aku sama sekali tidak bermaksud menggurui Ayah. Tetapi aku hanya ingin menunjukkan kenyataan ini”

“Diam kau” bentak ayahnya.

Namun Paksi masih belum mau diam. Ia masih juga berkata, “Ternyata Ayah telah salah menilai kemampuan Ki Semburwangi. Ia bukan apa-apa, Ayah. Apalagi dibanding dengan Ki Panengah, dengan Ki Waskita, dengan Pangeran Benawa dan Raden Sutawijaya. Jika Ki Semburwangi itu dilepaskan di perguruan Ki Panengah, ia tidak lebih dari seekor kelinci yang kebingungan di antara sekumpulan harimau yang garang”

Kata-kata Paksi itu bagaikan gumpalan-gumpalan batu padas yang menghentak-hentak dadanya. Ki Tumenggung itu pun kemudian justru telah terduduk di sebelah tubuh Ki Semburwangi. Sambil menggeleng-gelengkan kepalanya serta menutup telinganya ia berkata tidak terlalu keras, “Sudah, sudah”

Paksi pun terdiam. Tetapi perlahan-lahan ia melangkah mendekati ayahnya dan Ki Semburwangi yang terbaring.

“Aku akan mengambil air” berkata Paksi kemudian. Paksi pun melangkah keluar dari sanggarnya untuk mengambil semangkuk air di dapur.

Ibunya yang masih sibuk di dapur bersama seorang pembantunya, serta tidak tahu apa yang telah terjadi di sanggar bertanya, “Kau cari apa, Paksi?”

“Air, Ibu. Air masak tetapi yang sudah dingin”

Dengan semangkuk air, Paksi pun kembali ke sanggar.

Ketika di bibir Ki Semburwangi diteteskan beberapa titik air, maka bibir itu pun mulai bergerak-gerak. Bahkan kemudian, matanya pun mulai terbuka. Titik-titik air itu diteteskan lagi di bibir Ki Semburwangi sehingga orang itu pun kemudian menjadi sadar.

Ki Semburwangi mulai mengingat-ingat, apa yang telah terjadi. Ketika ia melihat Paksi, ia pun berusaha untuk bangkit sambil mengumpat kasar. Namun dadanya terasa menjadi sangat sakit.

“Berbaring sajalah, Ki Semburwangi”

“Aku akan membunuh anak iblis itu”

“Jangan mengigau. Kau sudah kalah, Ki Semburwangi” bentak Paksi. “Jika kau ingin aku membunuhmu, aku sudah dapat melakukannya. Bahkan sekarang pun aku dapat membunuhmu”


“Paksi” bentak Ki Tumenggung Sarpa Biwada.

“Orang seperti Ki Semburwangi harus diyakinkan, bahwa ia sudah kalah. Otaknya harus menerima kenyataan ini atau aku benar-benar akan membunuhnya”

“Paksi, kau tidak boleh menjadi gila”

“Ki Semburwangi harus mengakui kekalahannya. Dan itu berarti aku tidak akan memilihnya menjadi guruku. Aku tidak ingin belajar kepadanya, karena ilmunya lebih rendah dari ilmuku”

“Cukup” bentak Ki Tumenggung.

Tetapi Paksi sudah bertekad untuk menjatuhkan harga diri Ki Semburwangi sehingga ia mengakui apa yang telah terjadi. Karena itu, Paksi pun masih saja berkata lantang, “Kau harus mengakui kekalahan itu, Ki Semburwangi atau aku akan membunuhmu sekarang juga”

“Jangan bunuh aku” minta Ki Semburwangi.

Permintaan itu memang tidak terduga sebelumnya akan terloncat dari bibir Ki Semburwangi. Permintaan itu sekaligus merupakan pengakuan, bahwa ia memang sudah dikalahkan dengan anak yang masih terlalu muda itu. Yang sebelumnya ingin dijajaginya, apakah ia pantas untuk menjadi muridnya.

Paksi menarik nafas dalam-dalam. Orang yang menyebut dirinya Ki Semburwangi itu sudah benar-benar kehilangan harga dirinya dan mengakui kekalahannya.

Dengan nada berat Paksi pun berkata, “Aku tidak membunuhmu karena kau adalah tamu ayahku. Adalah kewajibanku untuk menghormatimu. Tetapi dalam kesempatan lain, jika kau berurusan langsung dengan aku, aku benar-benar akan membunuhmu”

Paksi tidak menunggu jawaban Ki Semburwangi. Sambil melangkah ke pintu, Paksi pun berdesis, “Aku mohon diri, Ayah. Aku harus kembali ke barak”

Ki Tumenggung tidak menjawab. Jantungnya serasa berdentang di dadanya. Ia sama sekali tidak mengira, bahwa Paksi memiliki ilmu yang demikian tinggi, sehingga telah mempermalukan Ki Semburwangi. Seorang yang akan diajaknya bekerja bersama untuk melemparkan Paksi ke tempat yang tidak diharapkannya.

Paksi yang kemudian keluar dari sanggar itu pun telah pergi ke pakiwan untuk mencuci muka, tangan dan kakinya. Kemudian dibenahinya pakaiannya dan ikat kepalanya. Sejenak kemudian, Paksi pun telah mencari ibunya yang ternyata sudah tidak berada lagi di dapur.

Ketika Paksi menemui ibunya di ruang dalam, maka kedua adiknya pun ikut menemuinya pula.

“Aku akan mohon diri, Ibu” berkata Paksi.

“Bukankah kau akan bermalam disini meskipun hanya semalam?” bertanya ibunya.

Paksi tersenyum. Katanya, “Aku akan kembali ke barak”

“Dimana ayahmu sekarang?”

“Ayah masih ada di sanggar bersama Ki Semburwangi. Masih ada yang mereka bicarakan”

“Apakah kau sudah minta diri kepada ayahmu?”

“Sudah, Ibu. Mudah-mudahan dalam waktu dekat, aku dapat pulang lagi. Tetapi tentu tidak dapat terlalu sering”

“Aku mengerti, Paksi” desis ibunya.

Namun tiba-tiba saja ayah Paksi telah muncul dari pintu butulan. Dipandanginya Paksi dengan mata yang bagaikan menyala. Dengan nada geram Ki Tumenggung itu pun berkata, “Kau akan menyesali kesombonganmu, Paksi”

Paksi yang tidak terbiasa menjawab kata-kata ayahnya ternyata telah keluar dari kebiasaan itu. Sambil menatap wajah ayahnya bahkan langsung ke matanya, Paksi itu menjawab, “Aku akan menanggung segala akibatnya, Ayah. Sekarang aku sudah puas, bahwa aku dapat menunjukkan kepada orang yang menyebut dirinya Semburwangi itu, tataran kemampuan murid Ki Panengah dan Ki Waskita. Biarlah orang itu mempunyai takaran terhadap perguruan yang dipimpin oleh Ki Panengah itu”

Ki Tumenggung itu pun menggeretakkan giginya. Dengan suara bergetar ia pun berkata, “Bukan saja tataran ilmu yang kasar itu yang kau peroleh dalam perguruan yang dipimpin oleh Ki Panengah, tetapi juga ajaran agar kau berani menentang orang tuamu”

“Apakah aku menentang Ayah?” Paksi justru bertanya. “Ki Semburwangi sendirilah bahkan atas persetujuan Ayah, ingin menjajagi kemampuanku sesuai dengan tataran yang sebenarnya. Nah, aku sudah melakukannya. Jika ternyata ilmuku lebih tinggi dari ilmu Ki Semburwangi, tentu itu bukan salahku. Bukan salah Ki Panengah dan Ki Waskita. Tetapi salah Ki Semburwangi. Kenapa dengan ilmu yang rendah itu ia sudah berani menyatakan dirinya salah seorang dari pemimpin sebuah perguruan yang disebutnya besar dan berbobot”

Sebelum Ki Tumenggung menyahut, Nyi Tumenggung yang ikut menjadi tegang itu pun bertanya, “Apa yang telah terjadi?”

“Anakmu itu, Nyi. Guru-gurunya telah mengajarinya untuk berani menentang orang tuanya”

“Benar begitu, Paksi?”

“Menurut pendapatku, tidak Ibu. Aku telah melakukan perintah Ki Semburwangi atas persetujuan Ayah. Kami, aku dan Ki Semburwangi telah saling menjajagi kemampuan. Tetapi ternyata ilmuku lebih tinggi. Bukankah itu bukan salahku?”

Ketika Nyi Tumenggung kemudian berpaling memandang suaminya, maka Ki Tumenggung itu pun segera melangkah pergi.

“Paksi” desis ibunya, “untuk pertama kalinya aku melihat kau berani membantah kata-kata ayahmu”

“Aku tidak membantah, Ibu. Aku hanya menjelaskan apa yang sebenarnya telah terjadi. Aku tidak pernah melupakan nasehat dan petunjuk Ibu, kewajiban seorang anak kepada orang tuanya. Guru-guruku pun selalu memberikan petunjuk serupa di perguruan”

“Jadi kenapa ayahmu nampaknya menjadi sangat marah?”

“Aku telah mengalahkan Ki Semburwangi”

“Mengalahkan? Maksudmu?”

Paksi pun kemudian telah menceriterakan apa yang terjadi di sanggar dengan singkat serta niat ayahnya memindahkan tempatnya berguru.

Jantung Nyi Tumenggung menjadi berdebar-debar. Sementara itu Paksi pun berceritera berterus-terang tentang sikap Ki Semburwangi yang agaknya bukan sekedar menjajaginya.

Sementara itu, tiba-tiba saja adik laki-laki Paksi itu berdesis perlahan-lahan, “Jadi, Kakang Paksi telah menang?”

Paksi menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Bukan menang. Tetapi ternyata ilmu Ki Semburwangi belum setinggi ilmu Ki Panengah dan Ki Waskita”

“Ibu, seharusnya aku juga segera dikirim ke padepokan Kakang Paksi. Aku tidak mau jika aku kelak dikirim ke perguruan Ki Semburwangi”

“Nanti pada saatnya, kau tentu akan dikirim pula” desis Paksi kemudian.

Adik laki-laki Paksi itu mengerutkan dahinya. Sementara adik perempuan Paksi itu berkata, “Kenapa ayah berniat memindahkan Kakang Paksi ke perguruan lain?”

Yang menjawab adalah ibunya, “Tentu maksud ayah baik. Ayah ingin Kakang Paksi menjadi semakin tinggi ilmunya”

“Tetapi ternyata calon gurunya itu ilmunya lebih rendah dari Kakang Paksi”

“Karena itu, Kakang Paksi akan kembali ke perguruannya yang lama” jawab ibunya. Namun katanya kemudian, “Tetapi kalian tidak usah ikut mempersoalkannya. Biarlah kakakmu dan ayahmu sajalah yang membicarakannya”

Adik perempuan Paksi itu mengangguk-angguk kecil.

Sementara itu, Paksi pun kemudian berkata, “Aku mohon diri, Ibu” Lalu katanya kepada adik-adiknya, “Baik-baiklah kalian di rumah. Kalian harus selalu membantu ayah dan ibu di rumah. Kalian tidak boleh menentang perintah dan petunjuk mereka”

Kedua adiknya itu pun mengangguk-angguk.

Demikianlah, sejenak kemudian Paksi pun telah berpacu meninggalkan rumahnya. Di hadapannya terbentang jalan panjang menuju ke Hutan Jabung, sementara matahari telah bersembunyi di balik bukit.

Tetapi gelap malam tidak menghambat perjalanan Paksi, sehingga anak muda itu dengan selamat telah memasuki baraknya.

Kedua orang gurunya serta kawan-kawannya terkejut melihat kedatangannya. Mereka mengira bahwa Paksi akan bermalam di rumahnya.

“Kau tidak jadi bermalam di rumah, Paksi?” bertanya Ki Waskita.

Sambil tersenyum Paksi menjawab, “Tidak, Guru. Sedang ada tamu di rumahku”

“Berapa orang tamu yang datang ke rumahmu?”

“Seorang, Guru”

“Hanya seorang? Bukankah rumahmu cukup besar untuk menampung sepuluh orang tamu sekalipun?”

Paksi menarik nafas dalam-dalam. Ia pun kemudian bergumam seolah-olah kepada dirinya sendiri, “Tetapi yang seorang ini adalah tamu yang khusus”

Paksi menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada berat ia pun kemudian menceriterakan apa yang terjadi di rumahnya kepada kedua orang gurunya.

Ki Panengah dan Ki Waskita mendengarkan ceritera Paksi dengan bersungguh-sungguh. Ternyata ceritera Paksi itu sangat menarik perhatian keduanya. Demikian Paksi selesai berceritera, Ki Panengah pun bertanya, “Apakah sebelumnya kau pernah melihat Ki Semburwangi itu datang ke rumahmu dan bertemu dengan ayahmu?”

“Belum, Guru” jawab Paksi.

“Nama yang bagus, Semburwangi” desis Ki Waskita.

“Sayang, hanya namanya saja yang bagus” sahut Ki Panengah.

“Ki Panengah tidak usah ikut-ikutan mencari nama yang bagus seperti nama itu” berkata Ki Waskita kemudian.

Ki Panengah tertawa. Paksi pun tersenyum pula. Sementara itu Ki Panengah berdesis, “Kenapa Ki Waskita pernah memperkenalkan diri dengan nama Marta Brewok?”

Ki Waskita pun tertawa pula. Namun ia pun menjawab, “Bukankah ada bedanya penampilan Marta Brewok dan Waskita?”

Paksi pun akhirnya tertawa pula.

Namun Paksi pun kemudian berkata, “Tetapi Ki Semburwangi bukan orang pertama di padepokannya, Guru”

“Jadi siapakah pemimpin padepokan itu?”

“Ki Ajar Wisesa Tunggal” jawab Paksi.

Ki Panengah dan Ki Waskita saling berpandangan sejenak. Dengan nada dalam, Ki Waskita pun kemudian berkata, “Jadi Ki Semburwangi itu salah seorang pembantu orang yang menyebut dirinya Ki Ajar Wisesa Tunggal?”

“Ya, Guru. Apakah Guru mengenal Ki Ajar Wisesa Tunggal?”

“Ya. Aku pernah mendengarnya. Seorang yang berilmu tinggi yang telah memisahkan diri dari perguruan serta mengingkari tatanan kehidupan yang berlaku”

“Maksud Guru?”

“Ia merasa dirinya bukan bagian dari pergaulan sesamanya dengan segala macam tatanan, paugeran dan ikatan-ikatan yang dirasanya sangat membelenggunya. Ia ingin memiliki kebebasan sebagai seorang yang memiliki akal budi. Karena itu, dilakukannya apa yang ingin dilakukan tanpa menghiraukan sikap dan pendapat banyak orang. Dengan demikian tingkah lakunya kadang-kadang nampak aneh dan tidak dapat dimengerti”

Paksi menarik nafas dalam-dalam. Sementara Ki Panengah pun bertanya, “Paksi, kenapa ayahmu berhubungan dengan Ki Ajar Wisesa Tunggal?”

Paksi menggeleng sambil menjawab, “Aku tidak mengerti, Guru. Ketika aku pulang tadi, Ki Semburwangi telah berada di rumahku. Namun nampaknya ayah juga tidak begitu akrab dengan orang itu”

“Jadi malam ini Ki Semburwangi bermalam di rumahmu?”

“Ya, Guru. Ia dalam keadaan lemah”

“Kau nampaknya bersungguh-sungguh”

“Aku hanya ingin memaksanya mengakui kekalahannya. Jika tidak demikian, maka ia tidak mau melihat kenyataan itu, sehingga pada kesempatan lain, ia akan mengulanginya atau melakukannya dengan cara lain”

Ki Panengah dan Ki Waskita tersenyum. Namun Ki Panengah pun kemudian berkata, “Mungkin Semburwangi benar-benar telah menjadi jera. Jika ia bertemu denganmu, maka ia akan menyimpang. Tetapi kau harus berhati-hati jika pada suatu saat kau bertemu dengan Ki Ajar Wisesa Tunggal, ia seorang yang berilmu tinggi dan tidak terikat oleh tatanan apa pun juga”

Paksi pun mengangguk sambil berdesis, “Ya, Guru”

“Ki Ajar Wisesa Tunggal dapat tersinggung oleh kekalahan kepercayaannya itu”

Paksi pun mengangguk pula, “Ya, Guru”

“Sudahlah. Kau tidak usah terlalu memikirkannya. Sementara ini kau harus berlatih semakin keras. Kau sudah berada di batas tertinggi dari penguasaan ilmu yang dapat kami wariskan. Kau tinggal mengembangkannya dan menyesuaikan dengan dunia yang akan kau hadapi”

“Ya, Guru”

“Sudahlah. Beristirahatlah” desis Ki Panengah.

Ketika Paksi kemudian berpaling kepada Ki Waskita, maka Ki Waskita pun mengangguk sambil berkata, “Ya. Kau tentu letih”

Paksi pun kemudian meninggalkan gurunya. Setelah pergi ke pakiwan, maka Paksi pun segera berada di dalam baraknya bersama-sama dengan kawan-kawannya. Pangeran Benawa dan Raden Sutawijaya pun berada pula di antara mereka.


“Siapa lagi orang yang akan meramaikan permainan kita ini sehingga akan menjadi semakin meriah” desis Pangeran Benawa.

“Ki Ajar Wisesa Tunggal adalah orang yang aneh menurut Ki Panengah dan Ki Waskita” berkata Paksi kemudian.

“Apa yang aneh?”

“Orang itu merasa tidak terikat segala macam tatanan dan paugeran pergaulan”

Tiba-tiba saja Pangeran Benawa pun menyahut dengan serta-merta, “Bagus”

“Apa yang bagus?” bertanya Raden Sutawijaya.

Pangeran Benawa tiba-tiba tertawa sendiri. Agaknya ada yang lucu yang ingin dikatakannya. Tetapi sebelum diucapkannya, Pangeran Benawa itu sudah lebih dahulu tertawa.

“Apa yang bagus?” Raden Sutawijaya mengulang.

Pangeran Benawa menahan tertawanya. Katanya patah-patah, “Kita hadapi orang itu dengan cara yang sama”

“Apa yang kita hadapi? Apakah kita akan berkelahi dengan orang itu?”

Pangeran Benawa masih menahan tertawanya. Katanya, “Kita berlaku sebagaimana dilakukannya di padepokan Ki Ajar Wisesa Tunggal. Kita berbuat sesuka hati kita tanpa menghiraukan tatanan dan unggah-ungguh. Jika Ki Ajar itu berkeberatan, kita berkelahi. Bukankah begitu?”

“Kau masih saja seperti seorang cantrik yang turun gunung”

Pangeran Benawa masih saja tertawa. Katanya, “Sudah lama aku ingin bertemu dengan orang yang tidak lagi mengenal tatanan. Sebenarnyalah aku ingin melakukannya. Tetapi tidak di tengah-tengah orang yang masih menghargai tatanan itu”

“Ada-ada saja kau, Dimas”

Tetapi para cantrik yang lain pun tertawa pula. Bahkan seorang di antara mereka berkata, “Apakah kita akan mencoba?”

“Guru tentu tidak akan mengijinkan” sahut Raden Sutawijaya. “Kecuali jika mereka mendahului”

Pangeran Benawa tidak menyahut lagi. Tetapi ia pun segera membaringkan dirinya di amben bambu yang berjajar di dalam barak itu. Amben bambu yang sama seperti yang dipakai oleh para cantrik yang lain.

Sementara itu, di rumah Ki Tumenggung Sarpa Biwada, Ki Semburwangi duduk di serambi samping bersama Ki Tumenggung. Beberapa kali Ki Semburwangi masih berdesah karena dadanya terasa nyeri. Tulang punggungnya bagaikan telah retak.

“Yang akan menyesal bukan hanya anakmu, Ki Tumenggung” berkata Ki Semburwangi. “Seluruh perguruannya akan menyesal”

“Apa yang akan kau lakukan?” bertanya Ki Tumenggung.

“Jika Ki Ajar Wisesa Tunggal berniat untuk datang ke padepokan Ki Panengah, maka habislah padepokan itu”

“Ki Semburwangi, padepokan itu mempunyai pelindung yang kuat. Para pekerja yang setiap hari membantu membangun padepokan itu adalah prajurit-prajurit Pajang. Ketika padepokan itu diserang oleh beberapa perguruan yang termasuk dalam kelompok hitam, kekuatan di padepokan itu bersama para prajurit berhasil menghalau, bahkan menghancurkan pasukan gabungan yang menyerang itu”

“Kau tidak dapat menakut-nakuti aku”

“Aku tidak menakut-nakuti Ki Semburwangi. Bahkan kemudian pasukan Harya Wisaka pun telah dihancurkan pula. Sedangkan Harya Wisaka sendiri telah tertangkap”

“Kami tidak sebodoh mereka, Ki Tumenggung. Kelakuan anakmu itu tidak dapat dimaafkan. Aku menyesal bahwa aku tidak bersungguh-sungguh. Ketika aku sadari kekalahanku, aku sudah terlambat”

“Aku mohon maaf, Ki Semburwangi”

“Kau minta aku melupakan penghinaan ini?”

“Tidak. Bukan itu. Segala sesuatunya terserah kepada Ki Semburwangi. Aku minta maaf, bahwa aku tidak dapat mencegahnya”

Ki Semburwangi mengerutkan dahinya. Katanya, “Aku tentu akan membuat perhitungan. Ki Ajar Wisesa Tunggal tidak akan membiarkan nama perguruannya dicemarkan”

Ki Tumenggung justru berkata, “Segala sesuatunya terserah kepada Ki Semburwangi dan Ki Ajar Wisesa Tunggal. Aku tidak akan melindungi anakku, karena ia telah melakukan kesalahan”

“Bukan hanya anakmu. Tetapi perguruannya akan dihancurkan”

“Aku tidak akan turut campur”

“Juga jika anakmu mati?”

“Kita sudah pernah berbicara tentang anak itu”

Ki Semburwangi menarik nafas dalam-dalam. “Jika aku bertemu anak itu sekali lagi, aku tidak akan mengekang diri. Aku akan menyelesaikannya tanpa ampun lagi”

Ki Tumenggung menarik nafas dalam-dalam. Namun ia tidak menyahut lagi.

Malam itu, Ki Semburwangi bermalam di rumah Ki Tumenggung. Di keesokan harinya, Ki Semburwangi akan kembali ke padepokannya dengan membawa dendam di dalam hati.

Sementara itu, Ki Tumenggung Sarpa Biwada tidak pernah berusaha untuk melindungi Paksi dari kemungkinan pembalasan dendam bukan saja oleh Ki Semburwangi, tetapi oleh seluruh padepokannya di bawah pimpinan Ki Ajar Wisesa Tunggal.

Ketika di keesokan harinya Ki Semburwangi meninggalkan rumah Ki Tumenggung, maka para cantrik di perguruan yang dipimpin oleh Ki Panengah sudah berada di sanggar. Mereka sempat berlatih beberapa lama sebelum mereka beristirahat dan menggabungkan diri dengan para prajurit yang bekerja membangun padepokan bagi perguruan Ki Panengah itu. Nampaknya pembangunan itu menjadi lebih cepat dari yang direncanakan. Ki Kriyadama benar-benar telah bekerja keras agar padepokan itu segera dapat terwujud.

Sementara itu, sebagian prajurit telah membangun pelataran yang cukup luas di sekitar padepokan itu. Yang lain menggelar sawah di pinggir hutan dan mengatur saluran air. Dengan membuat parit yang disalurkan ke sungai, maka rawa-rawa di hutan itu pun mulai mengering.

Dengan demikian, padepokan serta bagian-bagian yang mendukungnya bersama-sama telah dikerjakan dengan bantuan para prajurit.

Namun dalam pada itu, Ki Panengah dan Ki Waskita yang mengikuti hubungan yang kurang serasi antara Paksi dengan ayahnya sempat berpesan kepada Paksi, agar ia tetap berhati-hati.

“Kekalahan Ki Semburwangi tidak akan berhenti sampai sekian. Sedangkan kita tidak tahu pasti, bagaimana sikap ayahmu terhadap peristiwa itu” berkata Ki Waskita.

“Ayah menyalahkan aku” sahut Paksi.

“Jika demikian, kau harus berhati-hati”

Paksi mengangguk-angguk. Dengan nada berat ia menyahut, “Ya, Guru”

Sebenarnyalah hari-hari yang kemudian berjalan, dilewati dengan tidak meninggalkan kewaspadaan oleh Paksi. Tetapi ia tidak merasa cemas sama sekali. Apalagi ia yakin, bahwa keluarga dari padepokan itu tidak akan membiarkannya dihantui oleh dendam yang menyala di hati Ki Semburwangi.

Namun Paksi terkejut ketika pada beberapa hari kemudian, seorang telah datang ke padepokannya untuk menemuinya.

“Kau siapa?” bertanya Paksi.

“Satu sikap yang sombong. Apakah kau tidak dapat berlaku lebih baik dengan unggah-ungguh yang lengkap”

“Maaf, Ki Sanak. Inilah aku. Senang atau tidak senang, aku tidak dapat berbuat lain dari sikapku ini. Kecuali jika aku berpura-pura”

Orang itu mengerutkan dahinya. Katanya kemudian, “Baik. Aku terima perlakuan ini”

“Apakah kau mempunyai keperluan dengan aku?” bertanya Paksi.

“Jika tidak, aku tidak akan menemuimu disini” jawab orang itu.

Paksi memandang wajah orang itu dengan tajamnya. Tetapi orang itu hanya tersenyum-senyum saja.

“Katakan, apakah kepentinganmu datang menemuiku disini” berkata Paksi kemudian.

Orang itu justru tertawa.

Paksi menyadari, bahwa orang itu tentu mempunyai niat yang tidak sewajarnya. Sikapnya semakin menjengkelkan. Tetapi Paksi harus mengekang diri.

“Paksi” berkata orang itu, “kau sudah membuat satu kesalahan yang sangat besar. Kau telah menyakiti hati Ki Semburwangi, salah seorang utusan Ki Ajar Wisesa Tunggal”

Paksi menarik nafas dalam-dalam. Dengan demikian maka ia sudah mendapat jawaban dari teka-teki tentang orang yang datang itu.

“Jadi kau salah seorang pengikut Ki Ajar Wisesa Tunggal sebagaimana Ki Semburwangi?”

“Ya”

“Kau akan menyampaikan pesan Ki Ajar itu?”

“Dengar anak muda” berkata orang itu, “kau harus menebus kesalahanmu itu dengan mempertaruhkan perguruanmu”

“Persoalanku dengan Ki Semburwangi tidak ada hubungannya dengan perguruanku”

“Kami tidak peduli. Apalagi kau beberapa kali menyebut, bahwa kau adalah murid Ki Panengah dan Ki Waskita. Nah, sekarang pertemukan aku dengan Ki Panengah dan Ki Waskita”

“Untuk apa?”

“Biarlah mereka meratapi perguruan mereka yang baru akan bangkit ini. Tetapi perguruan ini akan hancur sebelum sempat menghuni padepokan yang dibuat dengan banyak tenaga dan biaya ini”

“Apa maksudmu?”

“Biarlah aku berbicara dengan gurumu”

“Siapa namamu?”

“Aku akan berbicara dengan gurumu”

“Jika kau tidak mau menyebut namamu, aku tidak akan mempertemukan kau dengan kedua orang guruku”

“Kau memang anak setan, Paksi”

“Sebut namamu”

Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Baiklah. Panggil aku Ki Surakanda. Salah seorang kepercayaan Ki Ajar Wisesa Tunggal”

“Jadi kedudukanmu selapis dengan Ki Semburwangi?”

“Pertanyaanmu sangat tidak pantas. Tetapi baiklah aku beritahukan kepadamu, bahwa Semburwangi adalah adik seperguruanku”

“Kalian murid Ki Ajar Wisesa Tunggal?”

“Sekarang katakan kepada gurumu, bahwa aku akan berbicara dengan gurumu”

Paksi termangu-mangu sejenak. Tetapi ia menjadi sangat ingin tahu, apa yang akan dikatakan oleh orang yang menyebut dirinya Ki Surakanda itu. Karena itu, maka katanya, “Tunggulah disini. Aku akan memanggil guru”

Sejenak kemudian, Paksi pun telah menemui kedua orang gurunya dan menceriterakan maksud kedatangan orang yang bernama Ki Surakanda itu.

“Jadi dugaan kita benar” berkata Ki Panengah.

“Marilah, kita temui orang itu” desis Ki Waskita kemudian.

Paksi pun kemudian bersama Ki Panengah dan Ki Waskita menemui Ki Surakanda, pengikut Ki Ajar Wisesa Tunggal.

“Selamat datang di padepokan kami yang belum jadi ini, Ki Surakanda” berkata Ki Panengah demikian ia duduk menemui orang yang agaknya diutus oleh Ki Ajar Wisesa Tunggal itu.

“Padepokanmu akan menjadi padepokan yang besar, Ki Sanak” sahut Ki Surakanda.

“Mudah-mudahan isinya kelak tidak mengecewakan”

Ki Surakanda mengangguk-angguk. Katanya, “Sayang, kalian mulai dengan langkah yang salah”

“Apa yang salah?” bertanya Ki Panengah.

Ki Surakanda itu pun memandang Ki Panengah dan Ki Waskita berganti-ganti. Dengan agak ragu ia pun berkata, “Apakah aku berhadapan dengan Ki Panengah dan Ki Waskita?”

“Ya”

“Terima kasih atas kesediaan kalian menerima kedatanganku. Aku tahu pasti bahwa yang berewok itu adalah Ki Waskita”

Ki Waskita tersenyum. Katanya, “Aku hanya malas memotongnya, Ki Sanak”

“Baiklah” Ki Surakanda itu mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Kedatanganku kemari bukan atas kehendakku sendiri, Ki Sanak. Aku datang atas perintah pimpinan kami, mahaguru di perguruan kami, Ki Ajar Wisesa Tunggal”

Ki Panengah dan Ki Waskita mengangguk-angguk. Sementara orang itu berkata selanjutnya, “Seperti yang aku katakan tadi, kalian mulai dengan langkah yang salah”

“Apa yang salah, Ki Surakanda?” bertanya Ki Panengah.

“Salah seorang muridmu yang bernama Paksi telah berbuat licik terhadap adik seperguruanku, Semburwangi”

“Apa yang aku lakukan?” potong Paksi.

“Apakah kau tidak berceritera kepada gurumu tentang apa yang kau lakukan terhadap Ki Semburwangi?”

“Aku telah menceriterakannya. Tetapi tidak ada yang licik sama sekali”

“Kau tentu telah menyembunyikannya. Kau tidak akan berani mengatakan kepada gurumu. Mungkin kau takut bahwa gurumu akan marah kepadamu. Tetapi jika gurumu tidak berdiri tegak di atas paugeran perguruan sehingga ia tidak akan marah kepadamu, kau tentu juga merasa malu”

Telinga Paksi menjadi panas. Tetapi dengan sareh, Ki Panengah bertanya, “Ki Surakanda, apakah yang lelah dilakukan oleh muridku?”

“Anak itu menangis-nangis untuk berguru kepada Ki Ajar Wisesa Tunggal. Karena Ki Ajar merasa belas kasihan kepadanya, maka diperintahkannya Ki Semburwangi untuk menjajagi kemampuan dasar anak muda itu. Tetapi Ki Semburwangi sama sekali tidak tahu, bahwa ada niat buruk terkandung di dalam hati muridmu itu. Ketika Ki Semburwangi dan Paksi berada di sanggar, disaksikan oleh Ki Tumenggung Sarpa Biwada, maka Paksi dengan serta-merta tanpa peringatan lebih dahulu, langsung menyerang Ki Semburwangi yang tidak menyangka bahwa hal seperti itu akan terjadi”

Ki Panengah dan Ki Waskita mendengarkannya sambil mengangguk-angguk. Sementara Paksi justru tidak memotongnya. Cerita Ki Surakanda itu begitu berlebihan. Ki Panengah dan Ki Waskita tidak akan mempercayainya.....

Sementara itu Ki Surakanda pun berkata lebih lanjut, “Perbuatan Paksi yang licik itu telah membuat Ki Semburwangi terluka di bagian dalam tubuhnya, karena Ki Semburwangi tidak mau menghadapi anak itu dengan bersungguh-sungguh. Jika saja Ki Semburwangi tidak mengendalikan dirinya, maka Paksi tentu sudah mati. Tetapi Ki Semburwangi masih juga menghormati Ki Tumenggung Sarpa Biwada”

Ki Panengah pun mengangguk hormat sambil menjawab, “Kami mengucapkan terima kasih atas kebaikan hati Ki Semburwangi sehingga muridku dapat kembali ke perguruan ini dengan selamat”

“Semula kami mengira bahwa Paksi benar-benar ingin meninggalkan perguruan ini dan mencari perguruan lain yang lebih baik dan berbobot. Tetapi yang terjadi adalah perbuatan licik yang jahat itu. Ki Panengah dan Ki Waskita, apakah kalian memang memerintahkan Paksi untuk menjajagi tataran ilmu dari perguruan kami?”

“Tidak, Ki Surakanda, sama sekali tidak”

“Jadi apa maksud Paksi sebenarnya dengan permainan kotornya itu?”

“Sudahlah, Ki Surakanda” sahut Ki Waskita, “sebaiknya kita berkata berterus-terang saja. Apakah maksud kedatangan Ki Surakanda. Ki Surakanda tidak perlu mengarang ceritera yang begitu panjang untuk menjelek-jelekkan Paksi di hadapan kami, karena kami lebih percaya kepada Paksi daripada kepadamu”

“Kesalahan yang biasa dilakukan oleh seseorang guru” berkata Ki Surakanda. “Apalagi guru-guru yang memanjakan murid-muridnya. Mereka tidak mau melihat kenyataan. Tetapi mereka langsung mempercayai apa yang dikatakan oleh muridnya. Meskipun muridnya itu mengada-ada dan bahkan berbohong”

Ki Panengah mengerutkan dahinya. Namun ia pun kemudian menjawab, “Kesalahan yang sama telah dilakukan pula oleh Ki Ajar Wisesa Tunggal. Ia langsung mempercayai Ki Semburwangi, kepercayaannya, meskipun Ki Semburwangi itu berbohong”

Wajah Ki Surakanda menegang. Dengan nada tinggi ia bertanya, “Jadi kau menuduh Ki Ajar Wisesa Tunggal tidak melihat kenyataan yang terjadi di sanggar Ki Tumenggung Sarpa Biwada?”

“Ya” jawab Ki Panengah.

“Kau telah berani menghina mahaguru di perguruan kami. Ki Panengah, tanpa ada yang memberikan laporan, Ki Ajar Wisesa Tunggal dapat melihat tanpa dibatasi oleh ruang. Bahkan Ki Wisesa Tunggal dapat melihat menembus batasan waktu. Ki Ajar tahu apa yang akan terjadi. Karena itu, jangan mencoba menghinanya”

Tetapi Ki Waskita menyahut, “Ki Surakanda. Mungkin Ki Ajar dapat melihat menembus jarak dan batasan ruang. Tetapi Paksi adalah orang yang mengalami. Ia berada di ruang dan waktu kejadian. Betapapun tajamnya penglihatan Ki Ajar Wisesa Tunggal, namun yang mengalami dalam waktu dan ruang itu tentu lebih pasti terhadap peristiwa yang terjadi itu”

“Tetapi Paksi telah berbohong. Yang dialaminya tidak seperti yang dikatakannya”

“Bukan Paksi yang berbohong. Tetapi Ki Ajar Wisesa Tunggal. Yang dikatakannya tidak seperti yang dilihatnya dengan ketajaman mata batinnya” namun kemudian Ki Panengah telah meneruskannya, “Itu jika kita percaya bahwa Ki Ajar dapat melihat menembus batasan ruang dan waktu”

“Cukup” bentak Ki Surakanda. “Kalian benar-benar telah merendahkan derajat mahaguru kami. Kalian akan menyesalinya sepanjang hidup kalian”

“Bukan maksud kami, Ki Surakanda. Tetapi biarlah kami berbicara sewajarnya saja”

“Aku berbicara wajar”

“Syukurlah. Tetapi apa maksud kedatanganmu selain untuk memamerkan kelebihan Ki Ajar Wisesa Tunggal?”

Wajah orang itu menjadi merah. Namun kemudian ia pun berkata, “Baik. Dengarkan Ki Panengah dan Ki Waskita. Aku datang untuk minta agar Paksi diserahkan kepadaku. Aku akan membawanya menghadap Ki Ajar Wisesa Tunggal. Paksi harus mempertanggung-jawabkan perbuatannya terhadap Ki Semburwangi”

Tetapi Ki Panengah dan Ki Waskita justru tertawa. Dengan nada tinggi Ki Panengah itu pun berkata, “Kenapa Ki Semburwangi menjadi cengeng dan tumbak cucukan. Seperti kanak-kanak yang kalah berkelahi dengan kawannya ia langsung menangis dan melaporkan kepada ayahnya. Kemudian ayahnyalah yang menantang kanak-kanak kawannya bermain itu untuk berkelahi”

“Cukup. Cukup” Ki Surakanda berteriak. “Kenapa kalian menjadi demikian sombongnya sehingga kalian berani menghina perguruan kami?”

“Kami tidak bermaksud menghina, Ki Surakanda. Tetapi itu tidak wajar sama sekali. Kau tentu sudah mengetahui jawaban kami. Kami tidak akan menyerahkan Paksi”

“Jadi kalian akan mengorbankan perguruan serta padepokan yang masih sedang dipersiapkan ini hanya untuk seorang murid yang keras kepala?”

“Kenapa kau berkata begitu, Ki Surakanda?”

“Jika kalian tidak menyerahkan Paksi, maka kami akan datang ke padepokan ini”

“Baiklah, kami berterus-terang sebelum kalian menyesal. Jangan mencoba mengganggu padepokan ini. Jika kalian memaksanya, kalian akan hancur sendiri”

“Kau jangan mengandalkan prajurit yang sedang bekerja membantu membangun padepokanmu. Tetapi kau harus berlandaskan pada kekuatan dan kemampuan padepokanmu sendiri”

“Itu tidak adil, Ki Surakanda. Kami tidak tahu berapa banyak murid di perguruanmu? Jika muridmu jauh lebih banyak dari jumlah murid di perguruan ini, maka pertempuran akan menjadi tidak seimbang”

“Jika kalian merasa bahwa perguruan kalian hanya perguruan kecil dan tidak mungkin melawan perguruan kami, serahkan Paksi”

“Tidak” jawab Ki Panengah tegas. “Jika kalian memang berniat untuk menyelesaikan persoalannya, marilah kita berbuat adil. Biarlah Paksi dan Ki Semburwangi menyelesaikan persoalan mereka”

“Persoalannya sudah diangkat menjadi persoalan antar perguruan”

“Baik. Jika itu yang kau kehendaki” jawab Ki Panengah. “Jika kalian mau datang, datanglah”

“Kau libatkan para prajurit itu?”

“Sebagian dari mereka adalah murid-muridku”

“Bohong, licik, pengecut”

“Apa bedanya? Mereka berguru kepadaku selama mereka membangun padepokan ini”

“Tidak. Mereka tidak pernah berguru kepadamu”

Ki Panengah tertawa. Katanya, “Terserahlah kepadamu. Tetapi aku akan memanggil mereka untuk mempertahankan perguruan mereka”

Ki Surakanda itu pun termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Baiklah. Kita akan menempuh jalan yang paling adil”

“Katakan, Ki Surakanda” sahut Ki Panengah.

“Kita akan menentukan, padepokan manakah yang lebih baik di antara padepokan kita. Kita akan menampilkan lima orang terbaik dari padepokan kita masing masing”

“Perang tanding?”

“Tidak. Sekedar untuk meyakinkan kita, padepokan siapakah yang terbaik di antara kita”

Ki Panengah menarik nafas panjang. Katanya, “Apakah kami yang tua-tua ini harus tampil di gelanggang permainan seperti itu?”

“Jika kalian memang tidak memiliki keyakinan untuk dapat mengimbangi perguruan kami, katakanlah. Kami tidak akan memaksakan cara ini. Tetapi serahkan Paksi kepada kami”

“Baiklah” Ki Panengah mengangguk angguk, “kami akan menerima lima orang tamu yang akan melakukan penjajagan di perguruan kami”

“Bagus. Tetapi dengan taruhan”

“Masih ada tetapinya?”

“Ya. Jika kalian kalah, kalian akan menyerahkan Paksi kepada kami”

“Jika kami menang?”

“Kami tidak akan mengambil Paksi”

“Serahkan Semburwangi kepada kami”

“Itu tidak termasuk dalam perjanjian”

Akhirnya Ki Panengah pun mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Kami tidak menuntut apa-apa. Kami setuju dengan menurunkan lima orang terbaik dari padepokan ini, tentu termasuk guru dan para pembantunya”

Orang itu mengangguk-angguk. Katanya, “Ya. Siapa pun boleh turun ke arena. Tidak terbatas pada murid-muridnya saja”

“Baiklah. Kami akan menunggu kedatangan kalian”

“Beri kesempatan Paksi minta diri kepada kedua orang tuanya, atau biarkan ia melarikan diri. Tetapi kemana pun ia lari, kami akan dapat menangkapnya”

“Tidak. Paksi tidak akan lari. Paksi tidak akan minta diri kepada orang tuanya. Tetapi Paksi akan menjadi seorang dari lima orang yang akan turun ke permainan itu”

“Baik. Aku akan pulang. Pada kesempatan lain, kami akan datang dengan kawan-kawan kami yang akan turun ke gelanggang untuk menghancurkan kesombongan orang-orang dari perguruan ini”

“Silahkan, Ki Surakanda. Kami akan menunggu”

Demikianlah, maka Ki Surakanda pun meninggalkan padepokan yang masih sedang dikerjakan itu. Ia sempat melihat para prajurit yang sedang sibuk bekerja. Ki Surakanda pun menyadari, bahwa kekuatan padepokannya tidak akan mampu berbuat apa-apa terhadap kekuatan yang ada di padepokan itu. Para pekerja yang terdiri dari para prajurit itu tentu tidak akan berdiam diri jika padepokan itu diserang. Seperti yang pernah terjadi, pasukan Harya Wisaka yang kuat pun tidak mampu memecahkan perlawanan para prajurit, para cantrik dan para pemimpin padepokan itu. Apalagi padepokannya.

Tetapi justru karena tantangannya diterima, maka padepokannya akan dapat mempermalukan padepokan yang nampaknya didukung sepenuhnya oleh kalangan istana Pajang.

“Jika padepokan kami dapat mengungguli padepokan Ki Panengah, maka perhatian para pemimpin Pajang akan berpaling kepada kami” berkata Ki Surakanda kepada diri sendiri.

Sementara itu, Ki Panengah dan Ki Waskita telah memberitahukan tantangan itu kepada Pangeran Benawa dan Raden Sutawijaya serta taruhannya.

Mendengar tantangan itu Pangeran Benawa justru tertawa. Katanya, “Nah, keinginanku akan dapat terpenuhi. Kita akan berhubungan dengan orang yang tidak mau menghiraukan paugeran dan tatanan kehidupan orang banyak. Ki Ajar Wisesa Tunggal adalah orang yang hanya mau menuruti kemauannya sendiri”

“Apa keinginanmu, Adimas?” bertanya Raden Sutawijaya.

“Berbuat serupa” jawab Pangeran Benawa. “Tetapi hanya terhadap Ki Ajar Wisesa Tunggal”

“Orang itu tentu sangat berbahaya, Pangeran. Orang yang disebut mahaguru oleh para pengikutnya itu tentu orang yang berilmu sangat tinggi” sahut Ki Panengah.

“Bukankah menyenangkan sekali?” desis Pangeran Benawa

“Sebaiknya Pangeran mencari permainan yang lain saja” minta Ki Panengah.

Pangeran Benawa mengerutkan dahinya. Namun Raden Sutawijaya pun berkata, “Kita masih belum tahu, kapan mereka datang. Kita pun masih belum yakin, bahwa mereka bersungguh-sungguh atau sekedar mencoba menggertak kita”

Pangeran Benawa mengangguk-angguk. Katanya, “Aku berharap bahwa mereka benar-benar datang. Aku ingin tahu wajah orang yang menyebut dirinya Ajar Wisesa Tunggal itu”

Ki Waskita pun berkata, “Sebaiknya kita tidak usah terlalu memikirkan mereka. Bukannya kita menjadi lengah. Tetapi kita tidak akan menjadi sangat terikat dengan tantangan utusan Ki Ajar Wisesa Tunggal itu”

Pangeran Benawa menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak berkata apa-apa lagi.

Namun bagaimanapun juga, orang-orang dari perguruan Ki Panengah itu harus mempersiapkan diri. Jika benar mereka datang berlima, maka yang harus bersiap-siap menghadapi mereka adalah Ki Panengah sendiri, Ki Waskita, Pangeran Benawa, Raden Sutawijaya dan Paksi. Namun untuk menurunkan Pangeran Benawa dan Raden Sutawijaya, Ki Panengah harus mendapat ijin dari Ki Gede Pemanahan.

Karena itu, maka di hari berikutnya, Ki Panengah dan Raden Sutawijaya telah pergi ke Pajang untuk menghadap Ki Gede Pemanahan.

Mendengar tantangan dari Ki Ajar Wisesa Tunggal lewat Ki Surakanda, Ki Gede Pemanahan tertawa. Katanya, “Ada baiknya untuk menguji kemampuan murid-murid dari perguruan Ki Panengah”

“Sebenarnya kami tidak perlu menguji lagi, Ki Gede. Kami sudah meyakini kemampuannya. Tetapi kami tidak berani melakukannya tanpa ijin Ki Gede. Apalagi Pangeran Benawa. Tetapi agaknya Pangeran Benawa sulit untuk dicegah selain kami memang tidak mempunyai orang lain yang memiliki kemampuan setinggi Pangeran Benawa, karena perguruan kami masih sangat muda”

“Memang sulit untuk mencegah Pangeran Benawa jika ia sudah menyatakan satu keinginan. Aku akan menghadap Sultan. Jika Sultan berkeberatan, aku akan memberitahukan kepada Ki Panengah”

“Kami menunggu, Ki Gede”

“Jika besok aku tidak datang, atau tidak ada utusanku menemui Ki Panengah, berarti tidak ada keberatan apa apa”

“Baik, Ki Gede. Mudah-mudahan tidak ada kesulitan apa-apa”

“Usahakan agar Pangeran Benawa tidak ingin langsung bertemu dengan Ki Ajar Wisesa Tunggal”

“Ya, Ki Gede”

“Ki Ajar pun tentu akan mempunyai perhitungan yang lebih baik setelah Paksi mampu mengalahkan salah seorang kepercayaannya yang bernama Semburwangi itu”

“Ya, Ki Gede”

“Baiklah. Aku pun minta Sutawijaya berhati-hati. Jangan merendahkan orang lain. Mungkin di padepokan itu tidak terdapat orang berilmu sangat tinggi. Tetapi Ki Ajar Wisesa Tunggal akan dapat minta bantuan kepada sahabat-sahabatnya”

“Baik, Ayah. Aku akan berhati-hati. Aku pun akan berusaha agar Adimas Pangeran Benawa tidak menganggap kehadiran Ki Ajar Wisesa Tunggal itu sebagai satu permainan. Tetapi ia harus bersungguh-sungguh”

“Usahakan agar Pangeran Benawa tidak langsung berhadapan dengan Ki Ajar itu sendiri jika Ki Ajar itu langsung terjun di arena”

“Baik, Ayah. Aku akan mencoba mengekangnya”

Setelah mendapat beberapa pesan dari Ki Gede, maka Ki Panengah dan Raden Sutawijaya pun telah minta diri.

“Nanti aku akan menghadap Kangjeng Sultan” berkata Ki Gede kemudian.

Sepeninggal Ki Panengah dan Raden Sutawijaya, maka Ki Gede Pemanahan pun telah berbenah diri untuk menghadap Kangjeng Sultan Pajang, untuk menyampaikan sikap Pangeran Benawa yang ingin ikut turun menghadapi tantangan Ki Ajar Wisesa Tunggal.

Namun ketika Ki Gede sampai di istana, maka seorang pelayan dalam memberitahukan agar Ki Gede menunggu sebentar.

“Ada apa?” bertanya Ki Gede agak heran. Jika tidak ada keperluan yang sangat penting atau jika Sultan tidak sedang mandi, jarang sekali Ki Gede harus menunggu jika ia akan menghadap Sultan pada saat apa pun juga. Bahkan di malam hari.

“Kangjeng Sultan baru menerima tamu”

“Siapa?”

“Seorang perempuan”

“Perempuan?” jantung Ki Gede menjadi berdebar-debar. Tentu ada yang tidak sewajarnya telah terjadi. Namun beberapa saat kemudian, seorang pelayan dalam telah datang mengemban perintah Kangjeng Sultan bahwa Ki Gede dipersilahkan untuk masuk ke ruang samping.

Ki Gede pun segera masuk ke ruang samping. Demikian ia melangkahi pintu, maka ia pun terkejut, yang sudah menghadap Sultan adalah Sekarsari, isteri Harya Wisaka.


“Terlambat” berkata Ki Gede Pemanahan di dalam hatinya. Sebenarnyalah sebelum Ki Gede Pemanahan mengatakan sesuatu, Kangjeng Sultanlah yang berkata lebih dahulu, “Kakang Pemanahan, Sekarsari hanya mohon ijin untuk dapat bertemu dengan suaminya”

“Apakah Kangjeng Sultan mengijinkannya?”

“Bukankah wajar jika seorang isteri mengunjungi suaminya yang sedang dipenjara? Tetapi dengan janji, bahwa setiap kali Sekarsari akan mengunjungi suaminya ia harus minta ijin”

“Apakah ada orang lain yang dapat memberinya ijin selain Kangjeng Sultan?”

“Tidak” Kangjeng Sultan menggeleng. “Harya Wisaka adalah seorang tahanan yang sangat berbahaya. Ia sudah berusaha untuk melakukan pemberontakan. Bahkan ingin membunuh puteraku, Pangeran Benawa. Karena itu, hanya akulah yang dapat memberinya ijin untuk menengok suaminya”

“Hamba mengucapkan beribu terima kasih, Sinuhun” desis Sekarsari sambil tersenyum.

Ki Gede Pemanahan menarik nafas dalam-dalam. Katanya di dalam hati, “Tentu senyumnya itulah yang membuat Kangjeng Sultan memberinya ijin untuk menengok suaminya. Tetapi setiap orang pun akan mengerti, bahwa tentu tidak hanya tersangkut pada senyuman itu saja”

Ki Gede Pemanahan itu pun kemudian bertanya, “Apakah Kangjeng Sultan memberikan batasan kapan saja Harya Wisaka dapat dijenguk oleh isterinya?”

“Kapan saja Sekarsari menginginkan. Tetapi sekali lagi, Sekarsari harus mendapat ijin langsung dari aku sendiri”

“Hamba Kangjeng Sultan” desis Ki Gede Pemanahan.

Sementara itu Kangjeng Sultan pun kemudian berkata kepada Sekarsari, “Kau boleh pulang Sekarsari. Datanglah kapan saja kau perlukan. Tetapi kau tidak dapat langsung mengunjungi suamimu”

“Hamba, Kangjeng Sultan. Hamba tentu akan menghadap Kangjeng Sultan lebih dahulu. Karena hamba tahu, bahwa hanya Kangjeng Sultan lah yang mempunyai kekuasaan untuk mengijinkan hamba menengok Kakangmas Harya Wisaka. Meskipun sekedar hanya untuk memenuhi kewajiban seorang isteri, karena sebenarnyalah hamba tidak lagi merasa terikat kepadanya sejak hamba tahu, bahwa Kakangmas Harya Wisaka telah berani melawan Kangjeng Sultan”

“Syukurlah. Jika kau dapat menilai sikap suamimu yang salah itu. Kau memang seorang isteri yang baik. Tetapi sayang, bahwa kau jatuh ke tangan seorang laki-laki yang jahat”

“Hamba memang menyesal, Kangjeng Sultan. Tetapi segala sesuatunya sudah terlanjur”

“Baiklah. Pulanglah”

“Hamba mohon diri, Kangjeng Sultan. Hamba mohon diri, Ki Gede”

Ki Gede tidak beringsut dari tempatnya, meskipun Kangjeng Sultan sendiri bangkit berdiri ketika Sekarsari berjalan sambil berjongkok meninggalkan ruangan itu setelah menyembah. Ketika Sekarsari sampai di pintu ia pun sekali lagi menyembah sambil tersenyum. Baru kemudian Sekarsari bangkit berdiri meninggalkan pintu, sementara Kangjeng Sultan berdiri termangu-mangu.

Baru sejenak kemudian Kangjeng Sultan itu teringat bahwa Ki Gede Pemanahan sedang menghadap. Sambil berpaling kepada Ki Gede, Kangjeng Sultan itu pun berkata, “Sayang sekali. Seorang perempuan secantik itu menjadi isteri Harya Wisaka yang jahat. Bukankah begitu, Kakang Pemanahan?”

“Hamba, Kangjeng Sultan” sahut Ki Gede Pemanahan.

Kangjeng Sultan Hadiwijaya mengangguk-angguk. Namun kemudian ia pun bertanya, “Apakah ada sesuatu yang penting akan kau sampaikan, Kakang?”

“Hamba, Kangjeng Sultan”

“Tentang apa?”

Ki Gede Pemanahan pun mencoba menjelaskan, apa yang telah disampaikan kepadanya oleh Ki Panengah. Tetapi nampaknya Kangjeng Sultan tidak begitu memperhatikannya. Setiap kali Kangjeng Sultan Hadiwijaya itu merenung dan menerawang ke dalam angan-angannya.

“Ampun Kangjeng Sultan” berkata Ki Gede Pemanahan kemudian, “hamba ingin mohon titah Kangjeng Sultan tentang putera Kangjeng Sultan, Pangeran Benawa yang berada di padepokan itu. Apakah Kangjeng Sultan mengijinkan jika Pangeran Benawa ingin turun ke gelanggang untuk ikut serta bertanding melawan orang-orang dari padepokan Ki Ajar Wisesa Tunggal”

Tetapi jawab Kangjeng Sultan Hadiwijaya agak mengecewakan Ki Gede. Katanya, “Terserah kau saja, Kakang. Kau tentu cukup bijaksana untuk menilai, apakah Benawa pantas turun ke gelanggang atau tidak”

“Hamba mohon pertimbangan Paduka”

“Terserah saja kepada Kakang”

Ki Gede Pemanahan tahu pasti, apa yang sedang bergejolak di dada Kangjeng Sultan Hadiwijaya. Karena itu, tidak ada gunanya jika ia berusaha mendesak agar Kangjeng Sultan itu sedikit bersungguh-sungguh menghadapi persoalan yang dibawanya. Karena itu, maka Ki Gede pun segera minta diri meninggalkan Kangjeng Sultan yang kemudian lebih banyak merenung itu.

“Tentu Sekarsari yang telah menyebabkan Kangjeng Sultan tenggelam dalam dunia angan-angannya” berkata Ki Gede Pemanahan di dalam hatinya. “Perempuan itu selicin suaminya. Tetapi aku terlambat mencegahnya. Siapakah yang telah membawanya menghadap Kangjeng Sultan?”

Tetapi titah Sultan sudah terlanjur dijatuhkan. Sekarsari dapat mengunjungi suaminya di dalam bilik tahanannya asal mendapat ijin langsung dari Kangjeng Sultan sendiri.

“Tidak ada yang dapat merubah keputusan itu kecuali Kangjeng Sultan sendiri” berkata Ki Gede kepada diri sendiri.

Sebenarnyalah keputusan itu diambil ketika hati Kangjeng Sultan sedang kabur melihat kecantikan Sekarsari. Sebelumnya Kangjeng Sultan memang pernah melihat dan bertemu dengan perempuan itu. Tetapi Sekarsari tidak menunjukkan sikap seperti yang baru saja dilakukan. Ia pun tidak tersenyum-senyum selain menundukkan kepalanya dan bahkan agak lebih banyak berusaha menyembunyikan wajahnya.

Tetapi dalam satu kepentingan yang khusus, Sekarsari sengaja menengadahkan wajahnya yang cantik, meredupkan matanya dan menghiasi bibirnya yang kemerah-merahan dengan senyuman yang sangat manis.

Ki Gede Pemanahan memang tidak dapat berbuat apa-apa. Tetapi Ki Gede Pemanahan bukannya tidak berusaha sama sekali. Ia telah mendatangi para petugas yang menjaga bilik tahanan Harya Wisaka dan memperingatkan agar mereka berhati-hati.

“Akan ada perintah, bahwa isteri Harya Wisaka diperkenankan menemui suaminya langsung dari Kangjeng Sultan” berkata Ki Gede Pemanahan. “Karena itu berhati-hatilah”

“Baik, Ki Gede” jawab pemimpin prajurit yang bertugas jaga. “Sampaikan peringatan ini kepada prajurit yang bertugas kemudian”

“Baik, Ki Gede” jawab pemimpin prajurit itu.

Di hari berikutnya, Ki Gede justru telah memerlukan pergi ke Hutan Jabung dengan beberapa orang pengawal. Kedatangannya agak mengejutkan Ki Panengah. Agaknya Kangjeng Sultan berkeberatan jika Pangeran Benawa turun ke gelanggang. Jika demikian, maka Ki Panengah akan mengalami kesulitan untuk mencegahnya.

“Biarlah Ki Gede berbicara langsung dengan Pangeran Benawa” berkata Ki Panengah di dalam hatinya.

Tetapi ternyata Ki Gede tidak membawa perintah untuk membatalkan keinginan Pangeran Benawa untuk ikut bertanding melawan orang-orang dari perguruan yang dipimpin oleh Ki Ajar Wisesa Tunggal. Tetapi khusus kepada Ki Panengah dan Ki Waskita, Ki Gede Pemanahan telah menceriterakan keputusan Kangjeng Sultan tentang ijin yang diberikan kepada Sekarsari untuk menengok suaminya.

“Harya Wisaka akan menjadi semakin keras kepala” berkata Ki Gede.

“Jika demikian, biar saja Harya Wisaka berada dalam tahanan sampai seumur hidupnya jika ia masih tetap dalam pendiriannya”

“Tetapi permintaan isterinya akan merambat dari sedikit ke sedikit lagi, dan selanjutnya. Jika Kangjeng Sultan sudah hanyut dan larut dalam kehangatan sikap Sekarsari yang nampaknya akan mengorbankan apa saja bagi suaminya, maka segala permintaan Sekarsari akan dipenuhinya”

“Tetapi tentu tidak dengan kebebasan Harya Wisaka”

Ki Gede menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Mudah-mudahan Kangjeng Sultan masih ingat, bahwa Harya Wisaka itu seorang yang sangat berbahaya”

“Tetapi Harya Wisaka itu akan berbahaya bagi Kangjeng Sultan sendiri”

Ki Gede mengangguk-angguk. Namun katanya kemudian, “Tetapi Kangjeng Sultan sudah mulai tidak menghiraukan puteranya. Ketika aku memberitahukan niat Pangeran Benawa untuk turun ke medan, Kangjeng Sultan menyerahkan keputusannya kepadaku. Seakan-akan Kangjeng Sultan tidak sempat memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi atas puteranya itu”

Ki Panengah dan Ki Waskita saling berpandangan sejenak. Namun kemudian Ki Waskitalah yang bertanya, “Menurut pendapat Ki Gede?”

“Aku akan minta Pangeran Benawa berhati-hati. Aku akan menyarankan kepada Ki Panengah dan Ki Waskita, jika ingin menurunkan lima orang di gelanggang, maka kelima orang itu tidak dibatasi dengan lawan masing-masing. Yang terjadi adalah
lima orang melawan lima orang. Itu saja”

“Aku mengerti, Ki Gede”

“Pertarungan ini penting bagi kelangsungan padepokan ini. Jika kalian tidak berhasil, maka setiap orang akan segera berpaling dari padepokan yang kita harapkan akan dapat tumbuh subur di kemudian hari ini. Mereka akan segera memilih padepokan Ki Ajar Wisesa Tunggal. Meskipun sebenarnya ukuran keberhasilan sebuah padepokan tidak hanya pada kemampuan olah kanuragan para pemimpinnya. Tetapi banyak sekali ilmu yang penting bagi sisi-sisi kehidupan yang lain daripada beradu kekerasan”

“Ya. Ki Gede”

“Nah, beritahu aku jika benar Ki Ajar Wisesa Tunggal datang, jika ada kesempatan. Kecuali jika mereka datang langsung menantang memasuki arena. Tetapi mereka tentu membawa saksi. Mereka ingin kemenangan mereka segera tersebar di seluruh Pajang. Ki Ajar Wisesa Tunggal pun akan segera membangun padepokannya menjadi lebih besar lagi”

“Ya, Ki Gede”

“Tetapi aku tidak yakin, bahwa Ki Ajar akan jujur. Maksudku, apakah ia tidak akan minta bantuan dari perguruan lain?”

“Kami sudah mempertimbangkan kemungkinan itu”

“Baiklah. Berhati-hatilah. Aku percaya kepada Ki Panengah dan Ki Waskita. Tetapi sekali lagi aku berpesan, agar kalian berlima terjun dalam satu kesatuan”

“Baik, Ki Gede. Kami akan menyaratkannya”

“Karena kekuatan sebuah perguruan itu juga dinilai dari keutuhannya. Bukan seorang-seorang”

“Baik, Ki Gede”

Ki Gede pun tidak terlalu lama berada di Hutan Jabung. Tetapi Ki Gede juga memerlukan melihat-lihat para prajurit yang bekerja membantu membangun padepokan itu. Ki Gede juga menyediakan waktu untuk berbicara dengan para cantrik dan para prajurit sebelum meninggalkan Hutan Jabung.

“Ki Kriyadama telah bekerja keras” berkata Ki Gede ketika ia siap meninggalkan Hutan Jabung.

“Sejauh dapat aku lakukan, Ki Gede”

Ki Gede tertawa. Katanya, “Pembangunan ini mudah-mudahan memberikan pengalaman tersendiri kepada para cantrik. Kelak mereka akan dapat mengembangkannya sendiri padepokannya, meskipun masih harus selalu diawasi dan dituntun”

“Mereka cepat tanggap, Ki Gede. Beberapa orang telah mampu menangani kayu. Bahkan ada di antara mereka yang sudah sanggup menangani pekerjaan yang terhitung rumit”

“Syukurlah. Aku minta Ki Kriyadama menuntun mereka di bidang yang Ki Kriyadama kuasai”

Namun Ki Waskita pun menyahut, “Ki Kriyadama juga menguasai ilmu kanuragan, tidak kalah dari kami berdua”

“Ah, tentu tidak, Ki Gede. Aku memang pernah belajar. Tetapi guruku hanya menganjurkan agar aku memperhatikan tingkah laku binatang. Dari kancil sampai ke binatang buas. Tetapi yang lebih banyak aku perhatikan adalah seekor kera, karena masa remajaku, tetanggaku memelihara seekor kera yang terhitung besar”

Ki Gede tertawa. Katanya, “Salah satu cabang perguruan yang akan dapat menghasilkan seorang yang berilmu tinggi dengan berbagai macam kemampuan olah tubuh”

“Yang kemudian dengan lancar aku tirukan, bukan tata gerak tubuhnya”

“Jadi apanya?”

“Suaranya”

Yang mendengarkan tertawa. Sementara Ki Kriyadama berkata selanjutnya, “Karena itu, aku pandai menirukan bermacam suara binatang”

Tetapi Ki Panengah cepat-cepat menyahut, “Tidak hanya suaranya, Ki Gede. Ketika aku sempat memperhatikan Ki Kriyadama bertempur, ia mampu bergerak secepat kijang, setangkas kera dan segarang seekor harimau kumbang, tetapi sekuat dan setenang seekor banteng”

Tetapi dengan serta-merta Ki Kriyadama pun menyahut, “Katakan saja bahwa aku merupakan bagian dari Hutan Jabung”

Orang-orang yang mendengarkan kelakar itu pun tertawa semakin berkepanjangan.

Namun kemudian, Ki Gede pun telah minta diri untuk kembali ke Pajang.

“Mudah-mudahan cepat selesai. Padepokan ini harus segera berkembang menjadi padepokan yang besar. Hutan Jabung yang luas itu masih akan dapat memberikan sebagian dari tubuhnya bagi padepokan kalian”

Demikianlah, maka sejenak kemudian Ki Gede pun telah naik ke punggung kudanya. Ada beberapa pesan khusus bagi Pangeran Benawa dan Raden Sutawijaya, khususnya menghadapi orang-orang dari padepokan yang dipimpin oleh Ki Ajar Wisesa Tunggal.

“Jangan berbuat menurut kehendakmu sendiri. Kalian harus tunduk kepada perintah Ki Panengah dan Ki Waskita”

“Tetapi menurut pendengaranku, Ki Ajar Wisesa Tunggal itu seorang yang hanya mau menuruti kemauannya sendiri saja, Paman”

“Ya. Agaknya memang demikian”

“Kenapa kita tidak dapat berbuat hal yang sama?”

“Bukankah kita bukan Ki Ajar Wisesa Tunggal?”

Pangeran Benawa mengerutkan dahinya. Tetapi ia pun terdiam.

Sejenak kemudian, maka Ki Gede Pemanahan dan pengawalnya minta kepada Ki Panengah dan Ki Waskita agar mereka tidak membicarakan lebih dahulu tentang ijin yang diberikan oleh Kangjeng Sultan kepada Sekarsari untuk menengok suaminya di dalam bilik tahanannya.

Dalam pada itu, Ki Panengah dan Ki Waskita telah minta kepada Pangeran Benawa, Raden Sutawijaya dan Paksi untuk berlatih lebih keras dari sebelumnya. Ki Panengah, Ki Waskita dan Ki Kriyadama telah memberikan ijin kepada mereka untuk lebih banyak berada di dalam sanggar daripada di tempat kerja mereka. Para cantrik pun telah mendengar tantangan dari padepokan yang dipimpin oleh Ki Ajar Wisesa Tunggal untuk membuat perbandingan ilmu, khususnya ilmu kanuragan.

Dalam pada itu, secara khusus Paksi pun telah menemui Ki Panengah dan Ki Waskita bahwa menurut pengenalannya, salah seorang dari padepokan Ki Ajar Wisesa Tunggal telah bersikap tidak jujur. Meskipun Ki Semburwangi semula hanya ingin menjajagi kemampuan Paksi, namun akhirnya, jika ia mampu maka ia tentu sudah membunuh Paksi atau membuatnya cacat seumur hidupnya.

“Aku mengerti maksudmu, Paksi” berkata Ki Panengah.

“Meskipun semula yang dimaksud oleh Ki Ajar Wisesa Tunggal hanya sekedar penjajagan dan perbandingan ilmu dari kedua perguruan, namun yang terjadi akan dapat berbeda”

“Ya, Guru”

“Baiklah. Kita semua memang harus berhati-hati. Kita pun harus meningkatkan persiapan kita untuk menghadapinya”

“Ya, Guru”

Namun dalam pada itu, maka Ki Panengah dan Ki Waskita pun kemudian telah sepakat untuk mengangkat sampai kepada puncak kemampuan bagi Paksi. Keduanya menyadari bahwa di antara kelima orang yang mungkin akan turun ke gelanggang, Paksi lah yang paling lemah. Karena itu, maka agar tidak terjadi sesuatu atas Paksi, ia harus mendapat peningkatan seperlunya.

“Mudah-mudahan kita mempunyai waktu lebih dari tiga hari tiga malam” berkata Ki Panengah.

“Ya. Sedikitnya kita memerlukan waktu sepanjang itu untuk menempa Paksi sampai ke puncak”

“Untunglah bahwa tubuh dan jiwanya telah dipersiapkan dengan baik, sehingga pewarisan ilmu puncak itu tidak akan mengejutkannya”

“Baiklah, kita akan mencobanya”

“Jika dalam waktu tiga hari tiga malam orang-orang Ki Ajar itu datang?”

“Kita minta Ki Kriyadama untuk menggantikannya”

“Tetapi Ki Kriyadama bukan keluarga perguruan kita”

“Apaboleh buat. Tetapi sekarang ia merupakan keluarga besar kita disini”

Akhirnya Ki Panengah dan Ki Waskita memutuskan untuk mewariskan ilmu yang memiliki kekuatan yang sulit diimbangi. Hanya orang-orang berilmu sangat tinggi sajalah yang akan dapat menahan ilmu itu. Ilmu yang telah diolah dan dimatangkan oleh Ki Waskita dan Panengah khusus bagi Paksi Pamekas.

Demikianlah, setelah berbicara dengan Paksi, dengan Pangeran Benawa dan Raden Sutawijaya, maka Paksi pun mulai memasuki sanggar dalam tempaan yang khusus. Selama tiga hari tiga malam, Paksi akan berlatih dengan mengerahkan segenap nalar budinya. Tubuh dan jiwanya.

Selama itu, maka Ki Panengah dan Ki Waskita telah menyerahkan pimpinan padepokan kepada Raden Sutawijaya dan Pangeran Benawa didampingi oleh Ki Kriyadama.

“Kau sudah mempelajarinya, Paksi” berkata Ki Panengah setelah mereka berada di dalam sanggar. “Kau telah menguasai semua unsur-unsurnya. Yang harus dilakukan sekarang tinggal memadukannya menjadi satu kesatuan yang utuh dan mempunyai kemampuan yang tinggi”


“Ya, Guru”

“Bukankah kau telah mempersiapkan lahir dan batinmu?”

“Sudah, Guru”

“Baiklah. Kita akan segera mulai. Pusatkan segala nalar budimu. Jangan hiraukan apa pun yang terjadi di luar sanggar. Jika kau gagal, maka kau harus mengulanginya lagi. Tiga hari tiga malam”

“Ya, Guru”

“Lupakan Ki Ajar Wisesa Tunggal”

“Ya, Guru”

“Lupakan sikap ayahmu”

“Ya, Guru”

“Lupakan apa saja”

“Ya, Guru”

“Lakukan dengan keutuhan jiwa dan ragamu, serta kebulatan tekadmu. Panjatkan doamu, agar usahamu untuk mewarisi ilmu ini dapat berlangsung dengan selamat dan berhasil baik”

“Ya, Guru”

Demikianlah, maka Paksi pun mulai dengan penempaan diri selama tiga hari tiga malam untuk menguasai puncak ilmunya, yang sebenarnya unsur-unsurnya telah dimilikinya.

Demikianlah, Ki Panengah dan Ki Waskita telah menuntun Paksi sehingga Paksi menemukan keutuhan ilmu yang disadapnya dari kedua orang gurunya.

Sejak hari pertama, Paksi seakan-akan telah dihadapkan kembali pada unsur-unsur yang benar-benar telah dikuasainya. Namun seolah-olah Paksi telah bergerak dalam sebuah lingkaran yang berputar pada satu pusaran. Setiap kali ia bertemu kembali dengan apa yang telah dikenalnya. Namun Paksi seakan-akan bergerak semakin lama semakin tinggi. Unsur-unsur yang ujud wadagnya sama itu ternyata memiliki sifat dan makna yang semakin dalam dan semakin tinggi, sehingga akhirnya Paksi seakan-akan telah berputar di puncak sebuah pusaran.

Tiga hari tiga malam, Paksi terpisah dari dunia luar. Ia terpisah dari kawan-kawannya, dari padepokan yang sedang dibangun, dari Hutan Jabung, dari tantangan Ki Ajar Wisesa Tunggal dan dari sikap ayahnya yang tidak dimengertinya.

Tiga hari Paksi ditempa lahir dan batinnya. Ia makan apa yang diberikan kepadanya oleh gurunya. Ia berhenti menempa diri jika gurunya memberinya isyarat kepadanya. Tetapi ia pun harus melakukan apa yang harus dilakukan sesuai dengan perintah guru-gurunya.

Paksi yang sebelumnya telah diberitahu oleh gurunya, bahwa ia sudah tuntas dengan dasar ilmunya, kini Paksi telah menemukan kedalamannya. Karena itu, maka unsur-unsur gerak yang dikuasainya bobotnya seakan-akan telah berubah.

Kedua gurunya yang menuntunnya tidak ragu-ragu lagi, bahwa kesiapan wadag dan batin Paksi telah cukup mapan. Karena itu, maka Paksi pun kemudian telah sampai pada saatnya untuk sampai pada puncak penguasaan ilmunya.

Demikianlah, pada hari yang ketiga, sejak ia menapak di tengah-tengah sanggar, maka Paksi sudah diarahkan untuk mencapai puncak penguasaan ilmunya.

Hari pun berjalan dengan lamban. Udara di sanggar terasa panas. Paksi dalam olah lakunya, telah mengerahkan segenap tenaga dan kemampuannya.

Setapak demi setapak Paksi bagaikan memanjat tebing. Tangan dan kakinya harus mencengkam batu-batu padas yang tajam, sehingga terasa menjadi pedih. Keringatnya mengalir dari seluruh lubang-lubang kulit di tubuhnya, mengalir menitik membasahi lantai sanggar.

Pada saat matahari mencapai puncak langit, maka Paksi pun telah sampai pada puncak lakunya. Dihentakkannya segenap tenaganya yang masih tersisa. Ia tidak boleh gagal justru pada saat-saat terakhir.

Sehingga pada saatnya, Paksi terasa kembali berada dalam pusaran yang mengangkatnya semakin tinggi. Kembali ia pada unsur-unsur gerak yang sudah dikenalinya dengan baik, tetapi dalam sifat dan makna yang lebih dalam, sehingga akhirnya, Paksi benar-benar telah berada di puncak.

Akhirnya semuanya pun lenyap. Paksi telah terhempas berdiri di lantai sanggarnya. Disilangkannya tangannya di dadanya. Kaki kanannya ditariknya mundur setengah langkah sambil merendah pada lututnya. Namun kemudian Paksi pun meloncat maju sambil mengayunkan tangan kanannya menghantam sasaran.

Ki Panengah dan Ki Waskita memang telah meletakkan sebongkah batu padas sebesar anak sapi di dalam sanggar itu sebelum Paksi memasuki sanggar itu tiga hari yang lalu. Sebongkah batu padas itulah yang kemudian menjadi sasaran ayunan tangannya.

Akibatnya mengejutkan. Batu padas itu pun bagaikan meledak, pecah berserakan.

Setelah pecahan-pecahan kecil yang menghambur itu runtuh dan terserak di lantai sanggar, Paksi pun menarik nafas dalam-dalam. Laku yang dijalaninya rasa-rasanya merupakan tataran yang berlanjut dari yang pernah dilakukan di dalam goa di balik air terjun bersama Ki Marta Brewok. Saat mata batinnya melihat dirinya sendiri menjalani laku, sehingga sampai pada puncak laku yang dijalaninya, saat Paksi melihat dirinya sendiri mengungkapkan inti kekuatan yang terangkum di dalam diri dan mengangkatnya ke permukaan.

Kini segala sesuatunya telah ternyata. Ilmunya yang telah luluh di dalam dirinya, menyatu dengan ujud kewadagannya, sehingga menjadi satu kekuatan yang jarang ada duanya.

Ketika Paksi menyadari sepenuhnya akan keberadaannya di dalam sanggar, maka ia melihat kedua orang gurunya berdiri di hadapannya sampai tersenyum. Dengan nada lembut Ki Waskita yang pernah dikenalnya dengan nama Ki Marta Brewok itu berkata, “Aku yakin bahwa kau akan dapat melakukannya pada waktunya. Bahkan kau masih mempunyai waktu hampir setengah hari tersisa. Apa yang pernah kau lakukan di balik air terjun itu merupakan rintisan jalanmu ke puncak ilmu sekarang ini. Tetapi hati-hati dengan ilmumu ini. Ilmumu harus berarti bagi banyak orang. Bukan sebaliknya. Kau pun harus bersyukur bahwa kau mendapat kemampuan untuk mengungkapkan kekuatan dan tenaga yang ada di dalam dirimu dengan laku yang
berat”

Paksi menundukkan kepalanya. Ia mulai merasa bahwa tubuhnya sangat letih dan bahkan kekuatannya seakan-akan telah terkuras habis.

Agaknya kedua gurunya menyadari akan keadaan itu. Karena itu, maka katanya, “Beristirahatlah. Lepaskan segala ketegangan. Kemudian duduklah di lincak bambu itu”

Paksi pun masih melakukan beberapa gerak lagi untuk melepaskan ketegangan dengan mengendorkannya. Kemudian ia pun melangkah gontai ke lincak bambu panjang di pinggir sanggar itu.

“Kau telah selesai menjalani laku, Paksi. Sudah lama kau dipersiapkan untuk melakukannya. Agaknya hubungan yang buruk dengan perguruan yang dipimpin oleh Ki Ajar Wisesa Tunggal telah mendorong agar kau lebih cepat melakukannya”

“Aku hanya dapat mengucapkan terima kasih, Guru” suaranya terdengar dalam sekali.

“Kau telah menguasai ilmu yang kami sebut Guntur Geni”

Paksi menarik nafas dalam-dalam. Sekali lagi ia berkata, “Terima kasih, Guru”

“Semoga ilmumu berguna bagi banyak orang”

Paksi tidak menyahut. Namun sesekali ia menarik nafas dalam-dalam untuk melonggarkan nafasnya.....

“Bersiaplah. Kita akan keluar dari sanggar ini. Selama tiga hari tiga malam kita berada di dalam sanggar tanpa gangguan apa pun juga. Agaknya Ki Ajar Tunggal Wisesa memang masih belum datang”

Paksi mengerutkan dahinya. Dengan nada berat ia pun berdesis, “Bagaimana jika ia sudah datang dan kita masih terkungkung di sanggar ini?”

“Aku sudah berpesan, jika Ki Ajar Wisesa Tunggal datang, Raden Sutawijaya akan memanggil aku dan Ki Waskita. Kau memang akan tetap berada di sanggar agar kau tidak gagal dalam laku yang sedang kau jalani”

“Lalu siapakah orang kelima yang akan turun ke gelanggang?”

“Bukankah ada Ki Kriyadama?”

Paksi menarik nafas dalam-dalam. Tetapi menurut pertimbangannya, Ki Kriyadama bukanlah orang perguruannya. Namun pada saat itu Ki Kriyadama memang sedang sibuk bekerja untuk membangun sebuah padepokan bagi perguruannya. Bahkan ketika Ki Panengah dan Ki Waskita akan memasuki sanggar, Ki Kriyadama diminta untuk mengamati kepemimpinan Raden Sutawijaya.

Beberapa saat kemudian, Ki Panengah, Ki Waskita dan Paksi pun keluar dari sanggar. Orang-orang yang pertama-tama melihat mereka, segera mendekat. Mereka melihat Paksi yang pucat dan lemah. Tetapi nampak wajahnya berseri.

“Apakah Paksi berhasil?” bertanya seorang di antara para cantrik.

“Ya” Ki Panengahlah yang menjawab, “Paksi telah berhasil”

“Kapan giliran kami, Guru?” bertanya seorang yang berambut keriting.

Ki Panengah tersenyum. Katanya, “Baru berapa bulan kau berguru? Jika kau sudah berguru berbilang tahun sebagaimana Paksi, serta wadag dan jiwamu sudah benar-benar siap, maka kau akan segera menjalani laku sebagaimana dijalani oleh Paksi”

Cantrik itu pun tertawa. Ia sadar, bahwa sebelumnya ia memang tidak bersungguh-sungguh sebagaimana banyak kawan-kawannya. Tetapi kemudian ia telah bersungguh-sungguh berguru kepada Ki Panengah dan Ki Waskita.

“Pada satu saat, aku pun akan menjalani laku seperti Paksi” berkata cantrik itu di dalam hatinya.

Demikianlah, maka Paksi pun segera dikerumuni oleh kawan-kawannya, para cantrik yang meninggalkan pekerjaan mereka. Yang terjadi pada Paksi telah mendorong mereka untuk berbuat sebagaimana yang telah dilakukan oleh Paksi. Mereka harus bekerja dengan sungguh-sungguh untuk mendapatkan dan menguasai ilmu. Karena yang penting bagi mereka adalah pewarisan ilmu itu. Bukan keberadaan mereka di padepokan.

Di sisa hari itu, Paksi pun kemudian telah mandi keramas dengan abu merang. Ternyata bukan saja tubuhnya, tetapi rambutnya pun menjadi kotor. Sedangkan kedua gurunya pun mengatakan, bahwa mandi keramas yang dilakukan itu adalah lambang tekad Paksi untuk membersihkan dirinya dari kotoran yang melekat di semua bagian tubuh dan jiwanya.

Di hari berikutnya, tubuh Paksi telah menjadi segar kembali. Kekuatannya bukan saja terasa pulih, namun dalam keadaan khusus kekuatannya memang seakan-akan menjadi berlipat-lipat.

Seperti yang dikatakan oleh gurunya, maka Paksi pun merasa dibebani tanggung jawab yang lebih besar bukan saja untuk membangun padepokannya, tetapi juga tatanan kehidupan.

Namun dengan demikian, Paksi merasakan satu kehidupan yang lebih hangat di bawah perlindungan sayap-sayap yang tidak terkuat oleh kekuatan apapun. Sayap-sayap maha penciptanya.

Tetapi dengan demikian, Paksi pun juga harus mengembangkan sayap-sayap kecilnya, untuk melindungi kehidupan yang lebih kecil lagi dari kekecilannya.

Pangeran Benawa dan Raden Sutawijaya menanggapi keberhasilan Paksi dengan gembira. Tetapi seperti biasanya Pangeran Benawa sering mempunyai gagasan yang lain dari kawan-kawannya.

Ketika Paksi sudah nampak segar kembali, maka tiba-tiba saja Pangeran Benawa itu pun berkata, “Paksi, kau dengar gurauan Ki Kriyadama itu?”

“Ya”

“Sangat menarik, kan?”

“Maksud Pangeran?”

“Jika ada waktu luang, kita pergi ke hutan. Kita melihat tingkah laku binatang-binatang liar di hutan. Dari tikus, kancil, kera, harimau yang berjenis-jenis, banteng dan apa saja”

“Lalu?”

Yang menyahut adalah Raden Sutawijaya, “Lalu kita pun dapat menyebut diri kita bagian dari Hutan Jabung seperti Ki Kriyadama, begitu?”

Pangeran Benawa tertawa. Paksi pun tertawa pula. Namun Paksi pun kemudian berdesis, “Bukankah Raden Sutawijaya pernah menjalani laku di tengah-tengah hutan sampai selapan hari?”

“Darimana kau tahu?” bertanya Raden Sutawijaya.

“Ki Panengah yang mengatakannya. Raden Sutawijaya menjalani laku bersama seorang anak muda yang Ki Panengah tidak tahu namanya”

“Aku tahu, tetapi Kakangmas tidak pernah mengajak aku”

Raden Sutawijaya tertawa. Katanya, “Baiklah. Aku akan ikut kalian jika kalian akan mempergunakan waktu luang untuk melihat-lihat isi dari jantung Hutan Jabung”

“Kita akan berbicara dengan Ki Panengah”

“Jika Ki Ajar Wisesa Tunggal datang?”

“Bukankah kita tidak akan tinggal di hutan sampai berhari-hari. Jika kita pergi ke hutan, setiap kali tidak akan lebih dari satu hari. Tetapi tentu saja tidak hanya sekali”

Raden Sutawijaya tertawa. Tetapi ia tahu, bahwa gagasan itu tidak lebih dari satu permainan untuk melewatkan kejenuhan

Pangeran Benawa dengan kesibukan sehari-hari yang hampir sama. Tidur, bangun, meningkatkan daya tahan tubuh dan latihan-latihan khusus, bekerja, beristirahat, makan, latihan lagi dan seterusnya. Agaknya Pangeran Benawa yang terbiasa tidak terkungkung dalam satu putaran kerja yang senada menjadi jenuh.

Ternyata Ki Panengah dan Ki Waskita tidak berkeberatan. Tetapi dengan pesan, bahwa mereka tidak berburu binatang hutan.

“Binatang-binatang itu kelak akan menjadi tetangga kita. Jangan sakiti hati mereka” pesan Ki Panengah.

“Tidak, Guru. Kami datang tidak untuk bermusuhan dengan isi hutan itu”

“Jaga diri dari patukan ular. Binatang yang sulit untuk diajak bersahabat serta pendendam. Jangan lupa telan butiran obat untuk melawan bisa sebelum kalian memasuki hutan. Bukan saja ular, tetapi kakek laba-laba, dan beberapa jenis kumbang berbisa”

“Kenapa kakek laba-laba, Guru?” bertanya Pangeran Benawa.

Raden Sutawijaya tertawa. Pertanyaan itu memang wajar sekali. Sementara Ki Panengah pun menjawab, “Laba-laba yang bulunya agak aneh. Sebagian bulu-bulunya berwarna putih seperti uban, sedang yang lain coklat gelap”

“Seperti berewok Ki Waskita” sahut Raden Sutawijaya.

Ki Waskita tertawa. Namun Pangeran Benawa berkata, “Uban Ki Waskita tumbuh terlalu cepat. Di lereng Gunung Merapi berewoknya masih hitam legam”

Ki Waskita masih saja tertawa. Tetapi tidak menjawab.

Sambil menunggu kedatangan Ki Ajar Wisesa Tunggal, maka Pangeran Benawa, Raden Sutawijaya dan Paksi pun sering memasuki Hutan Jabung yang lebat. Ketika ada di antara para cantrik yang ingin ikut bersama mereka, Ki Panengah dan Ki Waskita menyatakan keberatannya.

“Sangat berbahaya bagi kalian” berkata Ki Panengah.

Para cantrik itu pun tidak memaksa. Mereka merasa bahwa kemampuan dan ketrampilan mereka masih sangat terbatas. Hari-hari pun telah dijalani dengan kerja dan belajar di Hutan Jabung.

Sementara itu, di istana Pajang, Sekarsari menjadi semakin sering menghadap Kangjeng Sultan. Bahkan kemudian meskipun Sekarsari tidak akan pergi menengok Harya Wisaka, ia pun telah menghadap pula, sekedar memberitahukan bahwa hari itu ia tidak ingin pergi ke bilik tahanan suaminya.

“Jangan terlalu sering” berkata Kangjeng Sultan.

“Hamba, Kangjeng Sultan. Rasa-rasanya hamba sudah menjadi jenuh pergi ke bilik tahanan Kakangmas Harya Wisaka”

“Karena itu, kau tidak perlu membuang-buang waktumu untuk menengoknya”

“Dengan demikian, hamba juga tidak terlalu sering mengganggu paduka”

“Tidak. Aku tidak merasa terganggu. Kau boleh datang kapan saja menghadap. Bahkan daripada kau pergi ke bilik tahanan, lebih baik berada disini”

“Tetapi bukankah paduka terlalu sibuk dengan urusan pemerintahan?”

Kangjeng Sultan tertawa. Katanya, “Aku adalah seorang raja. Banyak orang yang membantuku menjalankan pemerintahan”

“Tetapi bukankah segala kebijaksanaan dari paduka pula asalnya. Para pembantu paduka tidak akan dapat melakukan tugas mereka sekehendak hati mereka sendiri”

“Ya. Tetapi bukankah menggariskan kebijaksanaan tidak harus dilakukan setiap hari? Hanya para pembantu yang bodoh sajalah yang setiap hari? Hanya para pembantu yang bodoh sajalah yang setiap hari menunggu perintah”

“Tetapi para pembantu yang cerdik akan memanfaatkan tugas-tugasnya untuk kepentingan diri sendiri”

Kangjeng Sultan tertawa. Katanya, “Tidak. Tidak ada seorang pun dari para pembantuku yang berbuat seperti itu. Memanfaatkan jabatannya untuk kepentingan diri sendiri”

Tetapi Sekarsari tersenyum. Katanya, “Paduka yakin, Kangjeng Sultan?”

“Jika ada satu dua orang yang menyalah-gunakan kedudukannya, bukankah itu wajar. Satu atau dua orang dari puluhan bahkan ratusan orang yang setia kepadaku”

“Bagaimana jika angka itu terbalik?”

“Maksudmu?”

“Puluhan bahkan ratusan orang itulah yang telah menyalahgunakan kedudukan dan jabatannya, sedangkan hanya dua atau tiga orang sajalah yang setia kepada paduka dan tidak menyalah-gunakan kedudukannya?”

Kangjeng Sultan bahkan tertawa. Katanya, “Kau pandai juga bergurau Sekarsari”

Sekarsari pun tertawa. Tetapi ia pun kemudian berkata, “Kangjeng Sultan, hamba ingin bertanya, apakah para petugas di penjara itu dapat disebut menyalahgunakan kedudukannya atau tidak”

“Maksudmu?” wajah Kangjeng Sultan berkerut.

“Jika aku datang menengok Kakangmas Harya Wisaka, wajah-wajah mereka jadi nampak lain. Mereka tertawa-tawa tanpa sebab. Mereka bertanya-tanya dengan kata-kata miring yang tidak pantas. Bahkan ada yang telah berani menyentuh tubuh hamba”

Tanggapan Kangjeng Sultan adalah di luar dugaan Sekarsari. Sambil menghentakkan tangannya Kangjeng Sultan Hadiwijaya menggeram, “Tunjukkan kepadaku prajurit yang telah berani menyentuh tubuhmu. Aku akan memerintahkan hari ini juga memancung kepalanya di alun-alun. Sedangkan yang lain harus dihukum betek seperti binatang juga di alun-alun agar orang-orang Pajang dapat melihat prajurit-prajurit Pajang yang bertabiat seperti binatang”

Sejenak wajah Sekarsari menegang. Namun kemudian bibirnya mulai tersenyum sambil berkata, “Tidak, Kangjeng Sultan. Itu tidak perlu”

“Mereka bersalah”

“Bukankah seorang raja itu juga seorang yang bijaksana. Pengampun dan berbudi. Kangjeng Sultan, jika saja Kangjeng Sultan mau mendengar pendapat hamba, para prajurit itu tidak usah dihukum. Apalagi hamba pun sudah lupa, prajurit yang manakah yang telah berani mengganggu hamba”

“Jadi?”

“Hamba hanya mohon, para prajurit yang bertugas itu diganti saja. Bukan hanya sekelompok petugas pada saat tertentu. Tetapi kesatuannya pun harus diganti”

Kangjeng Sultan menarik nafas panjang. Katanya, “Beruntunglah mereka, karena kau seorang perempuan yang baik hati”

“Kenapa mereka yang ditugaskan untuk menjaga para tawanan itu tidak diserahkan saja kepada para pelayan dalam? Mereka juga prajurit. Mereka harus bertanggung jawab langsung kepada Baginda”

“Apakah sebaiknya demikian menurut pendapatmu?”

“Hamba, Sinuhun”

“Baiklah. Aku akan memikirkannya”

“Terima kasih, Kangjeng Sultan. Hamba akan merasa lebih aman dengan para pelayan dalam daripada para prajurit yang terbiasa berada di peperangan. Perlakuan terhadap Kakangmas Harya Wisaka pun tentu akan berbeda. Meskipun hamba tidak lagi merasa terikat dengan Kakangmas Harya Wisaka, tetapi hamba merasa kasihan juga bila melihat perlakuan yang semena-mena terhadap Kakangmas Harya Wisaka”

“Memang para tawanan dalam jenis kesalahan apa pun tidak boleh diperlakukan semena-mena, Sekarsari. Karena itu, aku setuju dengan pendapatmu. Aku akan segera memerintahkan untuk mengganti para petugas itu”

Sekarsari tersenyum. Sambil menyembah ia pun kemudian menundukkan kepalanya dan berdesis, “Hamba mengucapkan terima kasih, Paduka”

Kangjeng Sultan pun justru telah turun dari tempat duduknya. Mendekati Sekarsari. Sambil menengadahkan wajah perempuan cantik itu Kangjeng Sultan pun berkata, “Sekarsari. Kau tidak pantas menjadi isteri Harya Wisaka”

“Apa yang pantas bagi hamba, Paduka?”

Kangjeng Sultan tidak menjawab. Tetapi diangkatnya kedua lengan Sekarsari untuk bangkit berdiri.

Di hari-hari berikutnya, Sekarsari menjadi semakin bebas berada di istana. Bahkan tidak hanya di siang hari. Tetapi juga di malam hari. Kangjeng Sultan Hadiwijaya benar-benar telah tenggelam di dalam mimpi indahnya bersama perempuan yang bernama Sekarsari

Seperti biasanya, tidak seorang pun di dalam istana Pajang yang dapat mencegahnya. Ki Gede Pemanahan yang mempunyai pengaruh yang besar terhadap Kangjeng Sultan pun tidak dapat. Yang sangat mengejutkan adalah perintah Kangjeng Sultan untuk menggantikan para prajurit yang bertugas menjaga Harya Wisaka. Yang kemudian mendapat perintah untuk bertugas adalah sekelompok para pelayan dalam yang memang memiliki kemampuan sebagaimana para prajurit. Namun demikian, ada juga perbedaan watak dari kesatuan yang berbeda itu.

Ketika hal itu ditanyakan oleh Ki Gede Pemanahan, maka Kangjeng Sultan pun menjawab, “Para penjaga itu harus langsung bertanggung jawab kepadaku. Harya Wisaka adalah seorang tawanan yang sangat berbahaya”

“Harya Wisaka adalah seorang pemberontak, Paduka”

“Ya, itulah sebabnya, ia harus mendapat penjagaan yang sangat ketat”

Ki Gede Pemanahan memang tidak dapat berbuat apa-apa. Bahkan Ki Gede tidak dapat menelusuri kenapa Kangjeng Sultan telah menjatuhkan perintah itu. Namun Ki Gede itu menjadi semakin curiga, ketika seorang kepercayaannya memberikan laporan kepadanya, bahwa ia melihat Sekarsari sedang berjalan tergesa-gesa berdua dengan seorang lurah pelayan dalam. Seorang lurah yang masih muda.

“Apakah ada hubungannya dengan Harya Wisaka?”

“Arah pikiranku tidak kesana, Ki Gede”

“Lalu apa?”

“Mereka nampak sangat mesra. Lurah pelayan dalam itu memang seorang lurah muda yang gagah dan tampan”

“Jika Kangjeng Sultan mengetahuinya, lurah yang berwajah tampan itu akan dapat digantung atau dipancung di alun-alun”

“Apakah yang harus aku lakukan, Ki Gede?”

“Tidak apa-apa. Tetapi awasi tempat tahanan Harya Wisaka itu. Jangan terlalu dekat. Jika para pelayan dalam itu mengetahuinya, mereka akan tersinggung. Aku juga akan berbicara dengan Ki Tumenggung Wiradilaga, pemimpin pelayan dalam Pajang. Aku akan memperingatkannya, bahwa Harya Wisaka adalah tawanan yang sangat berbahaya”

Prajurit itu mengangguk dalam-dalam sambil berkata, “Baiklah, Ki Gede. Aku akan selalu mengawasinya. Aku sekarang mohon diri”

Hari itu juga Ki Gede Pemanahan telah menemui Ki Tumenggung Wiradilaga. Dengan hati-hati Ki Gede memperingatkan, bahwa Harya Wisaka adalah tawanan yang sangat penting dan berbahaya.

“Ya, Ki Gede” Ki Tumenggung Wiradilaga mengangguk hormat. “Satu tanggung jawab yang berat. Tetapi aku sudah menempatkan orang-orang yang baik di sekitar bilik tawanan Harya Wisaka”

“Syukurlah” sahut Ki Gede. “Jika orang-orangmu gagal dalam tugas itu, maka kau akan mendapat hukuman yang sangat berat”

“Aku akan berhati-hati, Ki Gede”

“Setiap kali kau sendiri harus melihat keadaan medan. Jangan terlalu percaya kepada orang-orangmu saja”

“Ya, Ki Gede. Aku akan melakukannya”

Ki Gede mengangguk-angguk. Ia tahu bahwa Ki Tumenggung Wiradilaga adalah seorang prajurit yang baik, yang bertugas sebagai pemimpin pelayan dalam. Karena itu, maka Ki Gede pun dapat sedikit mengurangi ketegangan jantungnya.

Meskipun Ki Gede merasa sedikit terganggu ketenangannya karena beberapa peristiwa yang terjadi di istana, namun ia menaruh perhatian pula ketika dua orang datang dari Hutan Jabung untuk menemuinya.

“Ada apa?” bertanya Ki Gede kepada kedua orang prajurit itu.

“Kami mendapat perintah dari Ki Panengah untuk menghadap Ki Gede”

“Apakah ada persoalan yang penting?”

“Ki Gede, besok Ki Ajar Wisesa Tunggal akan datang bersama beberapa orang pengikutnya”

Ki Gede Pemanahan termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun mengangguk-angguk sambil berdesis, “Baiklah. Besok aku akan datang ke Hutan Jabung. Aku ingin menjadi saksi dari permainan yang diusulkan oleh utusan Ki Ajar Wisesa Tunggal itu”

“Ki Panengah dan Ki Waskita memang berharap, jika Ki Gede sempat dan tidak ada halangan apa pun untuk datang ke Hutan Jabung. Ki Panengah dan Ki Waskita mohon ijin untuk menyiagakan para prajurit jika Ki Ajar Wisesa Tunggal melanggar persetujuan kesepakatan”

“Aku tidak berkeberatan” jawab Ki Gede. “Besok pagi-pagi sekali aku akan berangkat ke Hutan Jabung”

Kedua orang prajurit itu pun kemudian segera minta diri. Sementara Ki Gede pun berpesan, “Lakukan pengamatan di sekitar lingkungan. Siapkan pasukanmu sejak malam nanti”

“Ya, Ki Gede”

“Kita tidak mempercayai Ki Ajar Wisesa Tunggal itu sepenuhnya, ia adalah orang yang tidak mempunyai keterikatan dengan apa saja. Juga dengan janji dan kata-katanya sendiri”

“Baik, Ki Gede. Nanti akan kami sampaikan kepada Ki Lurah”

Demikianlah, sepeninggal kedua orang prajurit itu, Ki Gede pun telah memanggil seorang lurah prajurit kepercayaannya. Diperintahkannya untuk memilih lima orang terbaiknya yang besok akan diajaknya pergi ke Hutan Jabung.

“Ki Gede akan pergi ke Hutan Jabung?”

“Ya. Ada sedikit permainan yang memerlukan saksi. Kita akan menjadi saksi besok”

Malam itu, Ki Gede telah mendapat ijin dari Kangjeng Sultan, bahwa besok Ki Gede akan pergi ke Hutan Jabung. Sekali lagi Ki Gede mengutarakan niat Pangeran Benawa untuk turun ke gelanggang.

“Jika Kangjeng Sultan berkenan”

Tetapi tanggapan Kangjeng Sultan masih sama saja. Rasara-sanya Kangjeng Sultan tidak menaruh perhatian terhadap puteranya itu. Perhatian Kangjeng Sultan sepenuhnya sedang tertuju kepada seorang perempuan.

Seperti ketika Ki Gede memberitahukan hal itu sebelumnya, maka Kangjeng Sultan pun berkata, “Terserah kepada Kakang Pemanahan. Kakang tentu mempunyai pertimbangan-pertimbangan yang matang bagi Benawa”

“Hamba ingin mendengar titah Paduka”

“Terserah sajalah, Kakang”

Ki Gede Pemanahan hanya dapat menarik nafas dalam-dalam. Kangjeng Sultan nampaknya enggan berpikir. Karena itu dibebankannya tanggung jawab sepenuhnya kepada Ki Gede Pemanahan.

“Jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan, maka leherkulah taruhannya” berkata Ki Gede di dalam hati.

Tetapi Ki Gede Pemanahan memang tidak dapat mendesak Kangjeng Sultan untuk menentukan sikapnya terhadap Pangeran Benawa. Dengan kecewa Ki Gede Pemanahan pun minta diri.

Namun Kangjeng Sultan itu masih berpesan, “Berhati-hatilah, Kakang”

“Hamba akan berhati-hati, Kangjeng Sultan. Mohon restu”

“Aku percaya kepada Kakang”

Malam itu Ki Gede Pemanahan telah berkemas. Pengenalannya yang tidak terlalu banyak tentang Ki Ajar Wisesa Tunggal memaksanya harus berhati-hati. Tetapi di Hutan Jabung telah ada sepasukan prajurit yang jika diperlukan siap untuk bertempur.

Pagi-pagi sekali, sebelum matahari terbit, Ki Gede Pemanahan sudah berangkat ke Hutan Jabung. Ia ingin sampai di hutan itu mendahului kedatangan Ki Ajar Wisesa Tunggal dan orang-orangnya. Lima orang prajurit pilihan telah ikut bersamanya.

Ketika mereka sampai di Hutan Jabung, matahari masih rendah di timur. Ki Ajar Wisesa Tunggal memang belum datang sebagaimana diharapkan.

Sejenak Ki Gede sempat mengamati kesiagaan para prajurit. Meskipun mereka masih tidak mengenakan pakaian keprajuritan mereka, karena mereka akan tetap berada di pekerjaan mereka, namun mereka berada dalam kesiagaan penuh untuk bertempur setiap saat diperlukan. Tempat mereka bekerja pun telah mereka atur sesuai dengan kemungkinan yang dapat terjadi di Hutan Jabung itu.

Untuk beberapa saat Ki Gede masih menunggu. Bahkan ketika matahari sepenggalah Ki Gede berkata kepada Ki Panengah dan Ki Waskita, “Orang itu dapat saja tidak datang hari ini. Tetapi esok atau lusa sesuai dengan wataknya. Keputusannya dapat berubah setiap saat menurut keinginannya yang berubah-ubah”

“Terpaksa kita yang harus menyesuaikan diri”

“Tidak. Kita dapat juga berbuat sekehendak kita. Jika mereka datang, kita tidak perlu menghiraukannya” sahut Pangeran Benawa. “Kita minta mereka menunggu sampai esok”

“Jika mereka tidak mau?” bertanya Ki Gede Pemanahan.

“Ada dua kemungkinan. Kita biarkan mereka pergi, atau kita lumatkan mereka hari ini disini”

Ki Gede Pemanahan tersenyum. Katanya, “Kita tidak perlu menjadi seperti mereka”

Pangeran Benawa tidak menjawab. Tetapi dibaca pada wajahnya, nampak bahwa Pangeran Benawa benar-benar ingin mencoba mengetrapkan sikap itu terhadap Ki Ajar Wisesa Tunggal.

Ketika matahari menjadi semakin tinggi, menjelang puncak langit, barulah sekelompok orang-orang mendatangi padepokan yang masih bersifat sementara itu, sedang padepokan yang sesungguhnya masih dalam pembangunan.

Ki Panengah, Ki Waskita, Raden Sutawijaya, Pangeran Benawa, Paksi dan beberapa orang cantrik yang lain telah turun menyongsong sekelompok orang-orang berkuda itu.

Tetapi Ki Gede Pemanahan tetap duduk di pendapa bangunan induk padepokan sementara itu.

Ternyata sikap Ki Gede itu adalah sikap yang tepat sekali. Ketika iring-iringan orang berkuda itu memasuki regol halaman, mereka telah berloncatan turun dari kuda mereka. Tetapi seorang di antara mereka masih tetap duduk di atas punggung kudanya.

“Orang yang di punggung kuda itulah Ki Ajar Wisesa Tunggal” desis Ki Panengah.

Para muridnya mengangguk-angguk. Namun Pangeran Benawa pun berkata, “Orang itu memang gila”

Ketika mereka mendekati orang-orang yang menyambut kedatangannya, yang diucapkan Ki Ajar Wisesa Tunggal itu justru sebuah pertanyaan, “Kaliankah yang membuat peraturan bahwa orang yang naik kuda harus turun di halaman padepokan burukmu ini?”

Ki Panengah tidak menjawab pertanyaan itu, tetapi ia justru bertanya, “Kau kenal aku, Ki Ajar?”

Ki Ajar itu mengerutkan dahinya. Dipandanginya Ki Panengah dengan saksama. Kemudian katanya, “Namamu bukan Panengah. Juga bukan Waskita”

“Inilah yang bernama Ki Waskita” berkata Ki Panengah sambil menunjuk Ki Waskita.

“Jadi kau siapa?”

“Aku Ki Panengah”

“Kau senang nama itu?”

“Ya”

“Pakailah. Aku tidak berkeberatan”

Pangeran Benawa mulai terbakar jantungnya. Namun di sebelahnya berdiri Raden Sutawijaya yang setiap kali menggamitnya.

“Aku ingin mempersilahkan kalian duduk di pendapa”

Ki Ajar Wisesa Tunggal itu pun akhirnya turun pula dari kudanya. Katanya, “Aku ingin naik dan duduk di pendapa itu”

“Silahkan, Ki Ajar”

Namun Ki Ajar itu pun tertegun sejenak. Dilihatnya seorang yang sudah duduk di pendapa. Dengan serta-merta ia pun bertanya, “Siapakah yang sudah duduk di pendapa itu?”

“Ki Gede Pemanahan”

“Ki Gede Pemanahan?” Ki Ajar itu mengulangi.

“Bukankah kau mengenalnya atau setidak-tidaknya pernah mendengar namanya?”

“Ya. Tentu. Setiap orang Pajang tentu pernah mendengar namanya”

Tanpa dipersilahkan lagi, Ki Ajar Wisesa Tunggal itu pun segera naik ke pendapa. Tanpa memberikan hormat sama sekali kepada Ki Gede Pemanahan ia melangkah mendekat. Sambil berdiri tegak Ki Ajar Wisesa Tunggal itu pun bertanya, “Kaukah yang bernama Ki Gede Pemanahan?”

Ki Gede menarik nafas dalam-dalam. Tetapi dengan nada rendah ia menjawab, “Ya, Ki Sanak. Akulah Pemanahan. Kau siapa?”

“Kau tentu sudah mengenal aku atau mendengar namaku disebut-sebut. Aku adalah Ki Ajar Wisesa Tunggal”

“Silahkan duduk, Ki Ajar” Ki Gede Pemanahan mempersilahkannya tanpa bangkit berdiri di tempat duduknya.

Ki Ajar itu termangu-mangu sejenak. Lalu katanya, “Rasa-rasanya aku ingin duduk disitu”

Ki Ajar itu pun kemudian duduk di pendapa itu. Tetapi ia tidak duduk di atas tikar yang sudah terbentang. Ditariknya sehelai dari tikar-tikar yang terbentang itu untuk duduk di tengah-tengah pendapa.

“Suruh mereka duduk disini. Masing-masing membawa tikar sendiri”

Ki Panengah dan Ki Waskita memang menjadi agak canggung. Namun tiba-tiba saja Pangeran Benawa menarik mereka berdua dan dengan sedikit memaksa agar mereka duduk bersama Ki Gede Pemanahan.

“Suruh mereka duduk disini” terdengar sekali lagi suara berat Ki Ajar Wisesa Tunggal.

Raden Sutawijaya lah yang kemudian duduk di hadapan Ki Ajar Wisesa Tunggal itu bersama Paksi. Tetapi Pangeran Benawa telah menahan agar Ki Panengah dan Ki Waskita tidak mendekati.

Ki Ajar Wisesa Tunggal itu pun kemudian berkata lebih keras lagi. Suaranya bagaikan guntur yang menggetarkan langit. Pendapa itu telah terguncang dan nyaris runtuh.

“Suruh mereka duduk disini”

Ternyata Ki Wisesa Tunggal itu telah memamerkan kemampuan Aji Gelap Ngampar yang dimilikinya.

Tetapi kekuatan Aji Gelap Ngampar itu tidak mengejutkan sama sekali. Orang-orang berilmu tinggi dari perguruan Ki Panengah tidak terpengaruh sama sekali dengan getar Aji Gelap Ngampar, meskipun mereka harus meningkatkan daya tahan mereka. Terutama bagi bagian dalam tubuh mereka.

Karena itu, mereka seakan-akan tidak mendengar dan tidak mengetahui bahwa pendapa yang mereka pergunakan sementara itu terguncang. Mereka masih saja duduk di tempat mereka masing-masing. Bahkan Raden Sutawijaya dan Paksi yang duduk di hadapan Ki Ajar Wisesa Tunggal itu masih saja duduk sambil tersenyum-senyum.

Wajah Ki Ajar itu nampak berkeringat. Tidak ada seorang pun dari mereka yang duduk bersama-sama Ki Gede Pemanahan berpindah tempat. Aji Gelap Ngampar yang dilontarkan itu sama sekali tidak berpengaruh atas orang-orang dari padepokan Ki Panengah.

Ki Gede Pemanahan masih tetap duduk di tempatnya. Ki Panengah dan Ki Waskita duduk beberapa jengkal dari Ki Gede. Di sebelahnya lagi adalah Pangeran Benawa.

Namun tiba-tiba saja Pangeran Benawa itu bangkit berdiri. Ki Panengah dan Ki Waskita tidak sempat menangkap pergelangan tangannya.

“Mau apa anak itu” desis Ki Gede Pemanahan.

Pangeran Benawa pun kemudian menarik sehelai tikar lagi. Tetapi tidak dibawa mendekati Ki Ajar Wisesa Tunggal. Tetapi ditariknya tikar itu ke sudut. Tiba-tiba saja Pangeran Benawa itu berbaring di atas tikar itu. Bahkan Pangeran Benawa itu pun telah memejamkan matanya.

“Aku mengantuk” berkata Pangeran Benawa. “Jika saat berkelahi itu tiba, bangunkan aku”

Wajah Ki Ajar Wisesa Tunggal menjadi merah. Dengan garang ia berkata, “He, siapa kau? Murid Ki Panengah? Pantas, kau tidak tahu aturan sama sekali. Aku tamu padepokan ini masih berada disini, kau tidur disitu”

Tetapi Pangeran Benawa itu pun bertanya, “Siapakah yang telah membuat aturan itu? Kau? Atau siapa? Aku tidak terikat pada peraturan apa pun juga, kecuali peraturan dan paugeran yang ditetapkan oleh Kangjeng Sultan”

“Persetan dengan Kangjeng Sultan”

“Persetan dengan peraturanmu. Aku mau tidur. Peliharalah mulutmu baik-baik, Ki Ajar Wisesa Tunggal”

Kemarahan Ki Ajar sampai ke ubun-ubun. Tiba-tiba saja ia meloncat bangkit.

Namun bersamaan dengan itu, Raden Sutawijaya dan Paksi yang duduk di hadapannya telah bangkit pula dan bersiap menghadapi segala kemungkinan. Sementara Pangeran Benawa masih tetap berbaring.

Bahkan dengan lantang Pangeran Benawa itu pun berkata, “Kau tidak boleh marah, Ki Ajar, sebagaimana Ki Panengah juga tidak marah ketika kau tidak mau turun dari kudamu saat kau memasuki halaman padepokan ini, karena kau merasa tidak terikat pada peraturan yang ada. Sekarang, biar saja aku berbuat sesuka hatiku tanpa menghiraukan peraturan, sopan-santun dan unggah-ungguh”

“Setan kau, aku ingin melumatkan mulutmu”

“Aku masih memerlukan mulutku, Ki Ajar”

Kemarahan Ki Ajar tidak terbendung lagi. Tiba-tiba saja ia pun berteriak, “Kita turun ke halaman. Kita mulai pertarungan itu. Lima orang dari perguruanku dan lima orang dari perguruan Ki Panengah. Selebihnya orang-orangku akan menjadi saksi, bahwa nama besar perguruan Ki Panengah akan runtuh. Pajang akan segera berpaling dari perguruan ini kepada perguruanku, sehingga semua bantuan, uang dan kelengkapan akan mengalir ke padepokanku”

“Istana Pajang hanya akan menghargai orang yang tahu dan patuh kepada peraturan dan paugeran. Kecuali jika kau yang menjadi raja di Pajang”

“Itu tidak mustahil” sahut Ki Ajar Wisesa Tunggal.

Tetapi Pangeran Benawa yang masih berbaring itu tertawa berkepanjangan.

Ki Ajar itu pun sekali lagi berteriak, “Kita akan segera mulai. Makin cepat makin baik”

Ki Ajar tidak menunggu jawaban. Ia pun segera melangkah turun ke halaman.

Ki Panengah, Ki Waskita dan Ki Gede Pemanahan pun telah bangkit pula. Mereka pun segera turun pula ke halaman, sementara Raden Sutawijaya menghampiri Pangeran Benawa sambil berkata, “Marilah. Kita turun ke halaman. Bukankah kau menunggu saat seperti ini?”

Pangeran Benawa bangkit berdiri. Katanya, “Ajar edan itu harus dipaksa untuk mengerti paugeran sebagai tatanan kehidupan yang harus dianut dan dipatuhi oleh masyarakat”

“Kita akan mendapat kesempatan nanti”

Pangeran Benawa tidak berkata apa-apa lagi. Tapi ia pun segera turun pula ke halaman.

Dalam pada itu, Ki Ajar Wisesa Tunggal itu pun berkata, “Kita akan memperbandingkan ilmu dari lima orang dari padepokanku dan lima orang dari padepokan Ki Panengah. Kita tidak akan menentukan siapa melawan siapa. Tetapi lima orang melawan lima orang”

Ki Panengah dan Ki Waskita menarik nafas panjang. Justru sebelum mereka mengusulkan, Ki Ajar Wisesa Tunggal sudah menyebutnya. Ketika mereka berpaling kepada Ki Gede Pemanahan, maka Ki Gede itu pun menganggukkan kepalanya sambil tersenyum.

Karena itu, maka Ki Panengah pun berkata, “Baiklah, Ki Ajar. Kita masing-masing akan turun bersama lima orang yang akan berhadapan dengan lima orang. Ini adalah satu kesepakatan”

“Apa artinya kesepakatan?” bertanya Ki Ajar.

“Kita masing-masing harus tunduk pada kesepakatan itu”

“Jika tiba-tiba timbul niat yang lain, kenapa kita harus terbelenggu dengan kesepakatan?”

“Baik” yang menjawab adalah Pangeran Benawa yang juga sudah turun ke halaman. Kemudian ia pun berkata lantang, “Ki Lurah, siapkan para prajurit. Semuanya. Jika nanti tiba-tiba aku bermimpi buruk, aku ingin kalian semuanya turun ke arena untuk membantai orang-orang yang berani datang memasuki padepokan kita”

Ki Ajar mengerutkan dahinya. Katanya, “Itu pikiran gila”

“Bukan pikiran gila. Hanya kalau tiba-tiba timbul niat yang lain”

“Tetapi itu bukan sifat laki-laki”

“Apa arti sifat seseorang dihadapkan kepada kesepakatan? Sifat laki-laki adalah berpegang pada kesepakatan, tanpa tiba-tiba timbul niat yang lain” jawab Pangeran Benawa.

Ki Ajar Wisesa Tunggal menggeram. Ia belum pernah berhadapan dengan orang yang bersikap demikian keras terhadapnya. Namun tiba-tiba saja Ki Ajar itu membentak, “He, siapa namamu?”

“Itu tidak penting. Kenapa kita harus terikat pada sebuah nama?”

“Gila. Anak iblis” teriak Ki Ajar Wisesa Tunggal. “Bersiaplah. Kita akan membuat arena”

Para cantrik dari padepokan Ki Panengah dan para pengiringnya telah membentuk satu lingkaran bersama para prajurit yang bekerja di padepokan itu. Mereka telah menghentikan kerja mereka dan ikut menyaksikan perbandingan ilmu yang diinginkan oleh Ki Ajar Wisesa Tunggal yang ingin merebut kepercayaan istana Pajang dari padepokan yang dipimpin oleh Ki Panengah itu.

Dalam pada itu, lima orang dari padepokan Ki Panengah telah berada di lingkaran arena. Ki Panengah dan Ki Waskita sendiri, Raden Sutawijaya, Pangeran Benawa dan Paksi. Sementara itu, dari kubu Ki Ajar Wisesa Tunggal telah turun lima orang pula. Tidak termasuk Ki Ajar Wisesa Tunggal.

“Setan tua itu tidak turun ke arena” desis Pangeran Benawa.

Raden Sutawijaya termangu-mangu pula. Namun ketika ia memandang Ki Gede Pemanahan, maka Ki Gede itu pun mengangguk.

“Ayah akan mengawasinya” desis Raden Sutawijaya kemudian.

Pangeran Benawa mengangguk-angguk. Sementara itu, Ki Kriyadama justru berdiri hanya beberapa langkah saja dari Ki Ajar Wisesa Tunggal.

“Mereka tidak akan berani berbuat gila disini” desis Raden Sutawijaya. “Mereka dikelilingi oleh prajurit Pajang. Ki Ajar Wisesa Tunggal pun tahu, bahwa Ki Gede Pemanahan ada disini pula”

Pangeran Benawa masih mengangguk-angguk. Sementara itu, Ki Panengah yang berdiri di sebelah Paksi pun berdesis, “Berhati-hatilah, Paksi. Kau akan menjadi taruhan”

“Ya, Guru”

“Apakah orang yang bernama Semburwangi itu ada di antara mereka?”

“Tidak, Guru. Tetapi Ki Surakanda ada di antara lima orang itu”

“Ya. Nampaknya orang itu sangat yakin akan dapat mengalahkan kita dan membawamu kepada Ki Semburwangi”

“Tetapi bukankah Ki Ajar Wisesa Tunggal tidak menyebut-nyebut namaku?”

“Tetapi jika mereka benar-benar menang, Surakanda tidak akan melupakan perjanjian itu, meskipun seperti sikap Pangeran Benawa, tiba-tiba saja dapat timbul niat yang lain”

Paksi tersenyum. Sementara Ki Waskita pun berkata, “Itu hanya satu cara untuk menutupi kelicikan-kelicikan yang selalu dilakukan oleh Ki Ajar Wisesa Tunggal. Ia sengaja berbuat agar dirinya dianggap tidak mau terikat kepada segala bentuk peraturan dan paugeran”

“Tepat” sahut Ki Panengah.

Namun dalam pada itu, Ki Ajar Wisesa Tunggal pun telah berteriak, “Bersiap-siaplah. Kalian masing-masing lima orang. Sekali lagi aku katakan, bahwa kalian lima orang berhadapan dengan lima orang”

Namun tiba-tiba seperti yang dikatakan oleh Ki Panengah, Surakanda itu pun berteriak, “Jika kami menang, kami akan membawa Paksi bersama kami. Paksi tidak dapat menolak”

Tetapi seperti sudah diduga pula, Pangeran Benawa pun menyahut, “Persetan dengan kesepakatan. Jika tiba-tiba aku mempunyai keinginan lain, terserah kepadaku”

“Itu perbuatan licik”

“He, apa artinya licik? Aku tidak pernah mendengar kata-kata itu sehingga aku tidak tahu artinya” jawab Pangeran Benawa. Bahkan sekali lagi Pangeran Benawa itu berteriak, “Ki Lurah, siapkan prajuritmu. Aku dapat saja mengigau menurut selera mulutku”

Betapapun ketegangan mencengkam arena itu, tetapi beberapa orang sempat tersenyum melihat sikap Pangeran Benawa. Ki Gede Pemanahan pun tersenyum pula. Sementara wajah Ki Ajar Wisesa Tunggal justru menjadi kemerah-merahan. Ia tidak mengira bahwa pada suatu saat ia akan bertemu dengan seseorang yang telah membenturkan kebiasaannya itu dengan tingkah laku yang sangat menjengkelkan, sehingga Ki Ajar Wisesa Tunggal itu telah termakan oleh kebiasaannya sendiri.

Dengan suara yang menggelegar Ki Ajar Wisesa Tunggal itu pun berteriak, “Kita akan segera mulai”

Beberapa orang prajurit yang berdiri di sekitar arena merasakan getar suara itu seakan-akan menghentak di dada mereka. Tetapi suara yang dilontarkan dengan kekuatan Aji Gelap Ngampar itu sama sekali tidak mempengaruhi kelima orang yang telah berdiri di arena.

Kelima orang yang sudah berada di dalam lingkaran itu pun segera mempersiapkan diri. Agaknya orang-orang Ki Ajar Wisesa Tunggal yang berada di dalam lingkaran itu dipimpin oleh Ki Surakanda. Beberapa kali ia melambaikan tangannya untuk memberikan isyarat kepada keempat orang kawannya.

Seorang di antara kelima orang pengikut Ki Ajar Wisesa Tunggal itu adalah seorang yang bertubuh tinggi dan besar. Kepalanya botak dan sengaja tidak memakai ikat kepala. Tetapi kumisnya tumbuh lebat di bawah hidungnya, terpelihara rapi menyilang hampir sampai ke telinga meskipun sudah bercampur putih.

Seorang lagi tubuhnya terhitung kecil. Tetapi sejak memasuki arena, tubuhnya selalu bergerak dengan lincahnya. Tubuhnya yang kecil itu agaknya memang terlalu sulit untuk disentuh. Rambutnya yang sudah putih, terjurai di bawah ikat kepalanya yang dipakainya sekenanya saja.

Yang lain adalah seorang yang umurnya separo baya. Seorang yang berwajah tampan. Kumisnya yang tipis terpelihara rapi. Pakaiannya nampak tertata dengan tertib dan berwarna cerah.

Seorang lagi justru sangat menarik perhatian. Seorang tua yang bertubuh kurus dan tidak mengenakan baju, sehingga tulang-tulang iganya nampak mengambang di dadanya. Sepasang matanya yang cekung memancarkan kilatan-kilatan kemampuannya yang tinggi.

Ki Panengah memperhatikan orang itu sejenak. Kemudian ia pun berdesis, “Orang inilah yang harus mendapat perhatian utama”

Raden Sutawijaya yang memiliki ilmu seakan-akan tidak terbatas itu pun berkata, “Lintang Wora-wari”

Ki Panengah dan Ki Waskita mengerutkan dahinya. Perlahan Ki Waskita berdesis, “Raden yakin?”

“Ya. Serahkan orang itu kepadaku meskipun kita akhirnya akan bekerja bersama”

Tetapi Pangeran Benawa justru tertawa. Namun sebelum ia mengatakan sesuatu, Raden Sutawijaya berdesis, “Sst. Mereka sudah siap”

Pangeran Benawa menarik nafas dalam-dalam. Dengan malas ia melangkah menjauhi Raden Sutawijaya. Ketika ia lewat di depan Paksi, ia pun berdesis, “Jangan terlalu jauh dari Kakangmas Sutawijaya. Mata orang yang tidak berbaju itu sangat berbahaya. Ia memiliki ilmu Lintang Wora-wari”

Ternyata ada juga jenis ilmu yang belum diketahuinya.

Tanpa ditentukan sebelumnya, Ki Ajar Wisesa Tunggal itu telah menempatkan diri untuk memimpin perbandingan ilmu antara dua padepokan itu. Sepuluh orang yang berada di dalam arena itu sama sekali tidak bersenjata. Sementara itu, Ki Gede Pemanahan pun mengerutkan dahinya ketika ia melihat orang yang tidak berbaju itu.

Di sisi lain, Ki Kriyadama pun menjadi tegang. Ternyata Ki Ajar Wisesa Tunggal tidak bermain-main dengan acaranya itu. Ki Kriyadama pun menaruh perhatian terbesar kepada orang tua kurus yang tidak berbaju itu.

Dalam pada itu, para prajurit yang berada di sekitar arena itu pun menyadari, bahwa orang-orang yang berada di dalam arena itu adalah orang-orang yang berilmu sangat tinggi. Namun seperti dikatakan oleh Pangeran Benawa, mereka pun harus bersiap menghadapi kemungkinan yang paling buruk.

Beberapa saat kemudian, maka orang-orang yang sudah berada di arena itu pun telah menyebar. Kedua belah pihak tidak ingin bertempur dalam kelompok yang menyatu, meskipun mereka akan berhadapan dalam keutuhan.

Ternyata bukan hanya Pangeran Benawa yang memperingatkan Paksi, tetapi Raden Sutawijaya pun berdesis di telinga Paksi sambil lalu, “Hindari orang tidak berbaju itu. Jangan terlalu jauh dari aku”

Paksi mengangguk kecil. Tetapi dengan demikian ia menyadari betapa berbahayanya orang kurus yang tidak berbaju itu.

Dalam pada itu, terdengar suara Ki Ajar Wisesa Tunggal berteriak nyaring. Suaranya meninggi menggetarkan arena itu, “Kenapa kalian tidak segera mulai?”

Ki Surakanda lah yang pertama-tama meloncat menyerang. Dendamnya benar-benar tertuju kepada Paksi. Namun dengan demikian, kedua orang guru Paksi, Raden Sutawijaya dan Pangeran Benawa justru tidak terlalu mencemaskannya lagi.

Serangan Ki Surakanda berarti bahwa untuk sementara Paksi tidak akan berhadapan langsung dengan orang yang tidak berbaju itu.

Dalam pada itu, Raden Sutawijaya lah yang melangkah mendekati orang yang tidak berbaju itu. Sambil tersenyum Raden Sutawijaya pun berdesis, “Kita belum saling mengenal, Ki Sanak”

Tetapi di luar dugaan Sutawijaya, ternyata orang itu terlalu garang. Yang pertama-tama diucapkan adalah umpatan kasar. Kemudian katanya, “Kau mau apa tikus kecil?”

“Ah, jangan begitu, Ki Sanak. Mungkin dalam pertemuan ini kita akan dapat saling menimba ilmu”

“Aku cekik kau sampai mati. Dan itu bukan salahku”

“Kenapa kau menjadi begitu garang?”

Orang itu tidak menjawab. Namun Sutawijaya benar-benar harus berhati-hati. Ia melihat pada matanya yang cekung itu bayangan yang kelam, sehingga kedua mata orang itu seakan-akan membenam.

Namun justru matanya itulah yang harus mendapat perhatian, meskipun tidak harus ditatap.

Sejenak kemudian orang bertubuh kurus itu melangkah maju sambil berdesis, “Berjongkoklah, supaya kau tidak mengalami perlakuan buruk. Biarlah empat orang kawanmu saja yang ikut bermain”

“Apakah kita akan berjongkok bersama-sama?” bertanya Raden Sutawijaya.

“Persetan dengan kau”

Tiba-tiba tangan orang itu terayun mendatar menyambar ke arah wajah Raden Sutawijaya. Tetapi Raden Sutawijaya yang sudah siap telah memiringkan wajahnya, sehingga tangan orang kurus itu tidak menyentuhnya.

Namun serangannya tidak terhenti. Ia pun segera mengayunkan tangannya yang lain menyambar ke arah kening. Namun sekali lagi Raden Sutawijaya sempat menghindar.

“Tikus kecil. Ternyata kau tangkas juga”

Raden Sutawijaya tidak menjawab. Sementara itu, orang kurus itu mendesak terus sambil mengayunkan kedua tangannya berganti-ganti.

Tetapi Raden Sutawijaya tidak membiarkan orang itu terus-menerus menyerangnya dengan tangannya sambil melangkah maju, seakan-akan tidak akan pernah terjadi perlawanan sama sekali. Karena itu, maka tiba-tiba saja Raden Sutawijaya telah menyerang orang itu dengan kakinya.

Dengan mudah serangan itu dilakukan. Orang itu sama sekali tidak melindungi dirinya. Tidak berusaha menghindar dan membiarkan kaki Raden Sutawijaya mengenai perutnya.

Raden Sutawijaya yang menyadari bahwa orang itu berilmu sangat tinggi, telah mengerahkan sebagian besar dari kekuatan tenaga dalamnya. Raden Sutawijaya tidak ingin bahwa serangan kakinya itu justru akan menyakiti dirinya sendiri. Jika saja kekuatannya memantul oleh daya tahan tubuh lawannya, maka serangan kakinya itu akan dapat menyakiti diri sendiri.

Yang menjadi sangat terkejut adalah orang yang kurus itu. Ia tidak mengira bahwa lawannya yang masih terhitung muda itu memiliki kekuatan yang sangat besar. Lawannya yang menyerang tubuhnya dengan kakinya itu tidak terpental dan jatuh berguling serta menyeringai menahan sakit. Tetapi serangan kakinya itu mampu menggoyahkan keseimbangannya. Bahkan orang tua yang tidak berbaju itu terdorong dua langkah surut.

“Gila” geram orang itu, “ini adalah satu kegilaan”

“Kenapa?” bertanya Raden Sutawijaya.

“Kau mempunyai kekuatan yang demikian besarnya”

“Aku lebih muda darimu, Kek. Bukankah wajar jika wadagku masih lebih kuat dari wadagmu”

“Tetapi kekuatan seseorang tidak tergantung kepada kemampuan kewadagan saja”

“Aku percaya. Seandainya ilmu kita seimbang, maka kemudaanku adalah satu kelebihan di antara kita”

“Ilmu kita seimbang?” bertanya orang tua itu.

“Kenapa?”

Orang tua itu tertawa berkepanjangan sehingga perutnya yang tipis itu terguncang-guncang. “Kau membuat perutku sakit, Ki Sanak”

Raden Sutawijaya tidak menjawab. Tetapi ia sempat memandang orang-orang di seputar arena. Hampir semua orang memandang orang kurus yang sedang tertawa itu. Bahkan, orang-orang yang sedang berada di arena pun telah berpaling kepadanya. Sedangkan Ki Ajar Wisesa Tunggal, tanpa mengetahui persoalannya telah ikut tertawa pula.

“Kau lucu, Ki Sanak” berkata orang itu sambil tertawa.

“Ya, kawan-kawanku juga mengatakan aku lucu” jawab Raden Sutawijaya.

“Tutup mulutmu” tiba-tiba orang tua kurus itu membentak.

Raden Sutawijaya pun terdiam. Sementara orang tua itu berkata, “Ternyata kau tidak menyadari dengan siapa kau berhadapan”

“Bukankah sudah aku katakan, kita belum saling mengenal?”

“Akulah yang dikenal dengan sebutan Ki Ageng Carangcendana”

“Wah”

“Kenapa?”

“Tidak apa-apa. Aku senang mendengar nama Ki Ageng”
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar