Di sisi lain, Paksi bertempur melawan seorang yang umurnya menjelang separo baya. Tubuhnya yang tinggi dan kekar nampak sangat meyakinkannya. Ditangannya tergenggam sebuah bindi yang berat. Tetapi ditangan orang itu, bindi itu berputaran dengan cepatnya.
“Kau tidak mempunyai kesempatan lagi, Paksi” geram orang itu.
“Kau siapa?” bertanya Paksi.
“Aku adalah salah seorang kepercayaan Harya Wisaka”
“Kenapa Harya Wisaka ingin membunuhku” bertanya Paksi.
“Tidak hanya kau, Paksi. Harya Wisaka ingin membunuh semua orang yang bekerja bersama dengan Pangeran Benawa”
“Aku mengerti. Tetapi nampaknya ada sesuatu yang khusus sehingga ia telah menunjuk seseorang untuk melakukannya”
“Nasibmu memang buruk. Jangan terlalu banyak bertanya, agar kau dapat mati dengan tenang. Jika kau tahu kenapa kau harus dibunuh, maka perasaanmu akan tersiksa menjelang kematianmu”
“Persetan dengan igauanmu. Tetapi kau belum menyebut namamu” geram Paksi.
“Namaku Gana Warak”
“Baiklah” berkata Paksi kemudian, “jika kau benar-benar ingin membunuhku, maka aku pun benar-benar ingin membunuhmu”
Gana Warak itu tertawa. Katanya, “Kau anak kemarin sore yang masih berbau pupuk lempuyang. Kau tidak mempunyai pilihan apa pun sekarang ini kecuali mati”
Tetapi Paksi sama sekali tidak terpengaruh. Bahkan ia pun ikut tertawa pula sambil menjawab, “Kaulah yang agaknya sengaja membunuh diri. Kenapa kau menjadi jemu untuk berjuang disamping Harya Wisaka”
“Setan bekasakan kau”
“Jangan marah. Aku tidak marah meskipun kau mengumpati aku atau menghina. Marah adalah satu pantangan besar bagi orang yang sedang bertempur. Nah, bukankah aku telah berbaik hati memberimu peringatan”
“Tutup mulutmu. Atau aku yang harus mengoyaknya”
Paksi yang masih muda itu tertawa semakin keras.
Ternyata orang yang sudah separo baya, yang seharusnya sudah mengendap itu lebih cepat marah daripada Paksi. Namun dengan demikian, orang itu pun kemudian telah menyerang Paksi dengan bindinya, seperti prahara yang menerjang pepohonan.
Tetapi Paksi berdiri teguh seperti batu karang. Betapapun gerangnya serangan-serangan yang menerjangnya, namun Paksi letap bertahan dengan teguh. Putaran bindi lawannya yang melibatnya dapat ditepisnya. Ayunan bindi itu dapat dilangkis-nya dengan tongkatnya.
Benturan-benturan yang terjadi telah mengejutkan lawannya. Gana Warak yang garang itu tidak menduga, bahwa anak muda yang akan dibunuhnya itu mempunyai kekuatan yang sangat besar, serta ketangkasan gerak yang sangat cepat.
Namun Gana Warak tidak sempat menilai kemampuan lawan dengan cermat. Ia harus bertempur dengan cepat, mengimbangi kecepatan gerak lawannya yang masih terlalu muda baginya itu.
Namun dalam pada itu, kepungan pasukan para pengikut Harya Wisaka itu menjadi semakin mengecil. Para cantrik dan para prajurit yang bertahan itu semakin mengalami kesulitan. Jumlah lawan ternyata terlalu banyak.
Sementara itu, pasukan berkuda yang meluncur dari pintu gerbang Panjang sudah menjadi semakin dekat dengan hutan Jabung. Derap kaki Kuda yang gemuruh itu bagaikan menggancang bumi menimbulkan gempa.
Semakin lama pasukan berkuda itu menjadi semakin dekat. Tetapi mereka yang bertempur di hutan Jabung tidak segera mendengarnya. Hiruk pikuk pertempuran, teriakan-teriakan nyaring, sorak yang sekali-sekali terdengar, dentang senjata dan bentakan-bentakan lantang, memenuhi seluruh arena.
Baru kemudian, ketika pasukan berkuda itu menjadi sangat dekat, orang-orang yang bertempur, terutama para pengikut Harya Wisaka, terkejut karenanya.
Tetapi mereka tidak mempunyai banyak kesempatan. Demikian mereka menyadari bahwa pasukan berkuda itu datang, maka pasukan berkuda itu telah bergerak melingkar. Mereka telah membuat lingkaran di luar kepungan para pengikut Harya Wisaka.
Harya Wisaka yang bertempur melawan Pangeran Benawa mengumpat kasar. Dengan kemarahan yang menggelegak di dadanya, Harya Wisaka itu pun berteriak, “Apa kerja kelompok yang menutup jalan masuk ke Pajang sehingga prajurit berkuda itu mendapat laporan tentang pertempuran di hutan ini?”
Tidak ada yang menyahut. Orang-orang yang bertempur didekat Harya Wisaka juga mempunyai pertanyaan seperti yang diteriakkan oleh Harya Wisaka. Namun segala sesuatunya sudah terjadi. Pasukan berkuda itu telah berada di hutan Jabung, bahkan telah mengepung pasukannya.
Justru Pangeran Benawa lah yang bertanya sambil meloncat surut, “Kau bertanya kepada siapa, paman? Kepadaku atau kepada orang lain?”
Harya Wisaka tidak menjawab. Tetapi ia justru menggeram, “Anak yang malang. Kedatangan mereka akan mempercepat kematianmu. Semula aku masih memikirkan kemungkinan untuk memaafkanmu asal kau serahkan cincin itu kepadaku. Tetapi sekarang, kesempatan itu telah tidak ada sama sekali. Aku harus segera membunuhmu, kemudian menyapu pasukan berkuda itu sampai orang yang terakhir”
Tetapi Pangeran Benawa tertawa. Katanya, “Dalam keadaan seperti ini, paman masih sempat bermimpi. Lihat paman, pasukan paman sudah terkurung. Pasukan paman memang mungkin mendesak kedalam kepungan karena jumlah pasukan paman jauh lebih banyak dari pasukan kami. Tetapi kedatangan pasukan berkuda itu tentu akan membawa perubahan”
“Jangan banyak bicara. Kau lebih baik mempergunakan kesempatan ini untuk berdoa. Sekejap lagi nyawamu akan terpisah dari ragamu”
Namun Harya Wisakalah yang terkejut. Demikian mulutnya terkatub, ujung tombak Pangeran Benawa terjulur kearah mulutnya. Hampir saja Harya Wisaka terlambat. Namun ia masih sempat meloncat surut sambil merendah. Bahkan Harya Wisaka sempat menjulurkan senjatanya kearah lambung Pangeran Benawa. Namun Pangeran Benawa dengan tangkasnya menggeliat, sehingga ujung senjata itu tidak menyentuhnya.
Harya Wisaka yang kemudian mengerahkan kemampuannya mencoba untuk dengan cepat menghabisi perlawanan Pangeran Benawa. Tetapi Pangeran Benawa yang menyadari keadaan telah meningkatkan ilmunya.
Ternyata Harya Wisaka tidak segera mampu mengakhiri perlawanan Pangeran Benawa yang jauh lebih muda dari dirinya itu.
Meskipun pedangnya berputaran seperti baling-baling yang mengitari tubuhnya, sehingga seakan-akan tubuh Harya Wisaka itu terbalut oleh awan yang putih kelabu, namun ujung pedang itu sama sekali tidak mampu menyentuh tubuh Pangeran Benawa. Namun Pangeran Benawa pun mengalami kesulitan untuk menembus kabut yang menyelimuti tubuh Harya Wisaka itu.
Sementara itu, pasukan berkuda yang telah mulai memasuki arena itu pun segera menambah keseimbangan pertempuran. Jika semula para pengikut Harya Wisaka yang mengepung para cantrik dan prajurit yang jumlahnya lebih kecil dari para pengikut Harya Wisaka, sehingga mereka semakin terhimpit dalam kepungan yang menyempit, maka justru pasukan Harya Wisakalah yang kemudian telah terjepit. Dibagian dalam mereka harus menghadapi prajurit Pajang dan para cantrik yang sudah berada di hutan Jabung, sedangkan keluar mereka menghadapi para prajurit dari pasukan berkuda yang tegar, yang tenaga dan kekuatannya masih utuh. Sementara itu, kaki-kaki kuda yang beriari-lari mengelilingi medan itu pun akan dapat melukai para pengikut Harya Wisaka yang menjadi lengah.
Pertempuran di arena itu menjadi semakin sengit. Para prajurit berkuda yang bersenjata pedang, bertempur dengan garangnya. Pedang mereka menyambar-nyambar seperti kuku-kuku elang yang tajam mencengkam anak ayam yang berlari ketakutan.
Tetapi para pengikut Harya Wisaka itu bukannya tidak memberi perlawanan. Mereka pun berusaha untuk meruntuhkan para prajurit yang ada dipunggung kuda itu. Beberapa orang telah melemparkan tombak mereka. Ternyata ada juga yang berhasil. Seorang prajurit berkuda yang dadanya tertembus tombak telah terlempar jatuh dari kudanya.
Tetapi prajurit yang lain sempat menangkis dengan pedangnya, sehingga tombak itu terlempar jatuh ditanah tanpa menyentuh sasarannya.
Tetapi para pengikut Harya Wisaka yang marah karena tidak berhasil mengenai penunggangnya, telah menyerang kudanya dengan sengaja. Mereka tidak menghiraukan siapakah sebenarnya lawan mereka. Tetapi kuda-kuda yang menjadi tunggangan itu mereka anggap ikut bersalah.
Dengan demikian, maka beberapa ekor kuda telah jatuh terguling. Ujung tombak telah menembus tubuh mereka. Sementara penunggangnya telah terpelanting jatuh.
Namun mereka pun dengan tangkasnya meloncat bangkit. Senjata mereka yang masih tetap dalam genggaman pun segera berunduk. Mereka juga tidak menjadi tanggung jika mereka harus bertempur dengan kaki menginjak bumi.
Dengan demikian, maka pertempuran di hutan Jabung itu pun menjadi semakin sengit. Pasukan yang dikerahkan oleh Harya Wisaka tidak lagi dapat menekan lawan-lawan mereka. Para cantrik dan para prajurit dari pasukan khusus yang memang dikirim untuk melindungi para cantrik, terutama karena di hutan Jabung itu hadir juga Pangeran Benawa dan Raden Sutawijaya, tidak lagi mengalami tekanan yang sangat berat. Sebagian lawan mereka telah bergerak surut untuk menghadapi pasukan berkuda yang datang bagaikan arus banjir bandang itu.
Harya Wisaka yang mengetahui langsung dan kemudian mendapat laporan tentang keadaan medan, berteriak nyaring, “Tutup mulutmu, dungu. Kau kira aku buta dan tidak dapat melihat apa yang terjadi?”
Penghubung itu terdiam. Namun ia pun harus segera tanggap akan keadaan di sekitamya. Karena itu, maka penghubung itu pun harus bertempur untuk melindungi dirinya.
Pangeran Benawa yang masih harus bertempur melawan Harya Wisaka berkata, “Jangan marah kepada penghubungmu, paman. Ia melakukan kewajibannya untuk memberitahukan bahwa pasukan paman dalam kesulitan”
“Kau juga harus menutup mulutmu, Benawa” teriak Harya Wisaka.
Tetapi betapapun Harya Wisaka mengerahkan kemampuannya, tetapi Pangeran Benawa benar-benar menguasai ilmunya dengan mapan.
Bahkan ketika Harya Wisaka sampai pada puncak ilmunya. Pangeran Benawa sama sekali tidak beranjak surut. Pangeran Benawa tidak menjadi gentar melihat cahaya yang berkilat-kilat pada daun pedang lawannya sehingga membuatnya kadang-kadang menjadi silau. Namun dengan ilmu Sapta Panggraita. Pangeran Benawa dapat mengetahui dengan tepat, apa yang dilakukan oleh Harya Wisaka.
“Kau selama ini berguru kepada siapa, Benawa” geram Harya Wisaka.
“Kepada ayahanda, paman”
“Omong kosong. Pekerjaan ayahmu hanyalah bercanda dengan perempuan-perempuan itu”
“Ia menyisihkan sedikit waktunya, untuk mengajariku bermain tombak bersama kakangmas Sutawijaya”
“Setan. Tentu Pamanahan yang mengajarimu sehingga kau menjadi sangat sombong seperti juga Sutawijaya. Tetapi sebentar lagi Sutawijaya pun akan mati”
Tetapi Pangeran Benawa itu berkata, “Lihat paman. Kedua orang lawan kakangmas Sutawijaya itu sama sekali tidak berdaya.
Mereka justru mulai terdesak. Sementara itu, Paksi pun tidak dapat dikalahkan oleh lawannya. Itukah saudara-saudara paman yang paman banggakan?”
Harya Wisaka tidak menjawab. Tetapi dia pun meloncat dengan pedang terjulur lurus kearah dada Pangeran Benawa.
Tetapi Pangeran Benawa dengan cepat mengelak. Bahkan tombaknya pun berputar dengan cepat. Landeannya terayun menyentuh lengan Harya Wisaka.
Tetapi sentuhan itu tidak menyakitinya. Sambil meloncat mundur, Harya Wisaka telah menyiapkan serangan. Demikian Pangeran Benawa meloncat maju dengan ujung tombak menikam ke arah dada, Harya Wisaka sempat menangkisnya dengan menebas ujung tombak itu ke samping.
Pertempuran diantara keduanya pun menjadi semakin sengit. Kemarahan Harya Wisaka rasa-rasanya akan meledakkan dadanya. Meskipun ia tahu bahwa Pangeran Benawa berilmu tinggi, tetapi ia tidak mengira bahwa Pangeran Benawa itu mampu mengimbangi kemampuannya bermain pedang dengan unsur-unsur gerak yang semakin rumit. Bahkan kekuatan ilmunya telah memancar dari daun pedangnya yang dapat membuat lawannya menjadi silau oleh kilatan-kilatan yang tajam.
Tetapi pertahanan Pangeran Benawa sekali tidak terguncang karenanya. Pangeran Benawa pun masih tetap tangkas. Serangan-serangannya masih tetap garang dan berbahaya.
Disisi lain. Raden Sutawijaya masih menghadapi kedua orang lawannya. Namun kedua orang lawannya yang disebut saudara-saudaranya oleh Harya Wisaka itu, tidak segera dapat menguasai keadaan. Bahkan semakin lama Raden Sutawijaya telah semakin menekan mereka. Apalagi ketika pasukan berkuda semakin mendesak dan menguasai medan. Kegelisahan pasukan Harya Wisaka telah merembet pula ke jantung kedua lawan Raden Sutawijaya.
Sementara itu, Paksi berloncatan dengan tongkatnya yang berputaran menghadapi lawannya yang garang. Setiap kali tongkatnya telah membentur senjata lawannya yang berat. Tetapi bindi lawannya itu tidak juga berhasil mematahkan tongkat Paksi yang ujudnya tidak lebih dari sebatang kayu yang seolah-olah begitu saja dipatahkan dari dahannya.
Lawan Paksi itu pun menjadi semakin gelisah pula sebagaimana kawan-kawannya. Ia tahu pasti, bahwa pasukan Harya Wisaka tidak akan mampu bertahan menghadapi pasukan berkuda itu, kecuali jika Harya Wisaka dengan cepat dapat membunuh Pangeran Benawa, kedua orang lawan Raden Sutawijaya juga segera dapat menghentikan perlawanannya dan ia sendiri mampu segera mengakhiri perlawanan Paksi, anak muda yang garang itu. Dengan demikian Harya Wisaka, kedua lawan Raden Sutawijaya dan Gana Warak itu sendiri akan dapat langsung terjun melawan para prajurit, maka kematian Pangeran Benawa dan Raden Sutawijaya akan dapat mengecilkan hati para prajurit dan para cantrik. Bahkan orang-orang berilmu tinggi yang berada di antara para cantrik itu pun akan dicengkam oleh kegelisahan dan kebingungan.
Tetapi ternyata hal itu tidak dapat mereka lakukan. Bahkan Gana Warak itu sendiri telah mendapat tekanan yang besar dari Paksi.
Sebenarnyalah tongkat Paksi yang berputaran semakin cepat itu telah mampu menyentuh tubuh Gana Warak. Meskipun sentuhan itu belum menyakitinya, tetapi Gana Warak merasa benar-benar terkejut.
Karena itu, maka Gana Warak itu pun telah mengerahkan segenap kemampuannya. Ayunan bindinya pun kemudian bagaikan menimbulkan angin prahara yang dengan kerasnya melanda tubuh Paksi.
Paksi harus bertahan terhadap hembusan angin prahara itu. Bahkan kemudian, seakan-akan telah berubah menjadi angin pusaran yang melingkarnya. Debu dan sampah dedaunan berter-bangan disekitarnya. Bahkan angin itu seakan-akan mengangkatnya ke udara.
“Ilmu iblis mana lagi yang dipergunakan Warak gila ini” geram Paksi. Namun Paksi telah mengenal ilmu seperti itu. Mungkin orang yang pernah menyerangnya dengan ilmu serupa adalah saudara seperguruan Gana Warak. Tetapi mungkin juga bukan. Mungkin mereka adalah sempalan-sempalan dari pergu man yang semula mempunyai satu lajer.
Justru karena itu, Paksi telah mendapat petunjuk, bagaimana ia harus melawannya. Sambil berdiri tegak dengan lutut yang sedikit merendah, Paksi pun telah memutar tongkatnya dilambari dengan ilmu yang telah pernah disadapnya. Tongkatnya pun kemudian berputar berlawanan arah dengan angin pusaran yang melandanya. Semakin lama semakin cepat semakin cepat.
Ternyata Paksi memang luar biasa. Putaran tongkatnya yang melampaui kecepatan baling-baling yang ditiup angin kencang itu, mampu mempengaruhi putaran ilmu lawannya. Angin pusaran itu semakin lama menjadi semakin mengecil, sehingga akhirnya yang terjadi adalah gejolak angin yang kacau tanpa arah. Debu dan sampah berhamburan ke segala arah. Hembusan udara yang tidak menentu dan kacaunya penglihatan oleh debu dan sampah dedaunan.
Gana Warak mengumpat kasar. Namun kemudian dihentakkannya bindinya langsung mengarah ke tubuh Paksi.
Namun Paksi pun telah bersiaga sepenuhnya. Dengan cepat ia mengelak. Bindi itu terayun sejengkal dari keningnya. Bahkan Paksi masih sempat menjulurkan ujung tongkatnya.
Gana Warak tidak menduga, bahwa Paksi justru menyerangnya dengan ujung tongkatnya. Karena itu, ujung tongkat itu telah mengenai lambungnya.
Gana Warak segera meloncat mengambil jarak. Namun Paksi justru memburunya. Serangannya pun telah menyusul pula. Tongkatnya itu pun terayun mendatar menyambar kearah lututnya.
Gana Warak melenting tinggi. Sekali ia berputar di udara, kemudian jatuh tepat pada kedua telapak kakinya, sementara tubuhnya seakan-akan menjadi lentur.
Sekali lagi tubuhnya melenting dan terayun diudara. Dengan sebuah putaran diudara, maka Gana Warak telah mengambil jarak. Sehingga ketika Paksi memburunya, Gana Warak telah bersiap sepenuhnya.
Namun dalam pada itu, para prajurit berkuda, semakin menguasai arena. Para pengikut Harya Wisaka semakin terhimpit antara kekuatan yang ada didalam kepungan mereka dan kekuatan yang kemudian yang ada di dalam kepungan mereka dan kekuatan yang kemudian justru mengepung mereka.
Karena itu, maka keutuhan pasukan para pengikut Harya Wisaka pun menjadi semakin rapuh. Sementara itu para prajurit dari pasukan berkuda yang datang dalam keadaan yang bugar itu, bertempur semakin garang.
Harya Wisaka yang terkepung itu memang tidak mempunyai pilihan lain kecuali bertempur. Tetapi ia masih dapat berusaha. Tiba-tiba saja Harya Wisaka itu telah meneriakkan aba-aba sandi yang meskipun telah disepakati oleh para pemimpin pasukan Harya Wisaka, namun mereka sama sekali tidak berniat untuk melontarkannya.
Namun ternyata isyarat sandi itu terlontar juga.
Para cantrik dan para prajurit Pajang tidak ada yang mengetahui arti dari isyarat itu. Namun mereka pun lelah mempersiapkan diri pula. Mereka memperhitungkan bahwa pasukan Harya Wisaka itu akan berusaha meninggalkan medan.
Tetapi yang terjadi kemudian agak berbeda dari perhitungan mereka. Harya Wisaka tidak beranjak dari lawannya. Demikian pula kedua lawan Sutawijaya yang menjadi semakin sulit. Lawan Paksi pun tidak meninggalkan anak muda itu pula.
Namun yang terjadi adalah guncangan di medan pertempuran. Ternyata isyarat itu adalah usaha pasukan Harya Wisaka mengerahkan kekuatan di satu sisi. Pasukan mereka seakan-akan telah bergeser dan memusatkan perlawanan mereka pada sisi yang mereka anggap lemah. Isyarat berikutnya telah terlontar pula, dan pertempuran pun segera berubah bentuknya.
Pasukan Harya Wisaka telah menggempur dinding kepungan yang mereka anggap lemah. Dengan demikian, maka hentakkan itu telah mendesak para prajurit dan pasukan berkuda disatu sisi untuk bergeser surut. Namun sebelum lingkaran itu pecah, para prajurit berkuda dengan cepat memperkuat dinding kepungan yang hampir koyak itu.
Namun gerak pasukan Harya Wisaka telah berubah lagi. Pada dasarnya pasukan Harya Wisaka telah mengacaukan garis pertempuran. Sebagian dari mereka sengaja menyusup masuk disela-sela pasukan lawan. Yang lain. Bahkan ada diantara mereka yang sengaja bergerak dengan cepat menyilang garis pertempuran.
Namun para prajurit dari pasukan berkuda segera menanggapinya. Mereka menyadari, bahwa lawan telah memancing perang brubuh. Sehingga dengan demikian, maka para pemimpin prajurit Pajang itu menduga, bahwa itu adalah usaha terakhir dari pasukan Harya Wisaka untuk menyelamatkan diri.
Dalam pada itu, Harya Wisaka sendiri masih ingin mempergunakan kesempatan yang ada untuk menangkap atau membunuh sama sekali Pangeran Benawa. Namun ternyata Pangeran Benawa memiliki ilmu yang lebih tinggi dari dugaannya. Karena itu, maka Harya Wisaka lah yang mengalami kesulitan.
Tetapi Harya Wisaka sama sekali tidak berputus-asa. Dikerahkannya segenap ilmunya untuk mematahkan perlawanan Pangeran Benawa.
Yang nasibnya lebih buruk dari Harya Wisaka adalah Gana Warak. Seorang yang diaku saudara oleh Harya Wisaka. Seorang yang berasal dari sebuah perguruan di seberang Gunung Kendeng.
Ternyata Paksi yang bersenjata tongkat itu mampu mematahkan ilmu yang berkembang dan bersumber dari Aji Sapu Angin. Karena itu, maka justru Gana Warak lah yang kemudian mengalami kesulitan. Sekali-sekali tongkat Paksi telah dapat menyentuhnya. Bahkan ketika ujung tongkat Paksi menyambar lambungnya, Gana Warak terdorong beberapa langkah surut.
Perutnya terasa menjadi mual. Namun sebelum Gana Warak sempat memperbaiki keadaannya, tongkat Paksi yang terayun mendatar menyambar kearah kening.
Gana Warak masih sempat menangkis dengan bindinya yang berat sehingga ujung tongkat itu tidak mengenainya Namun dengan sangat cepat Paksi memutar tongkatnya. Tongkat itu terjulur lurus, menggapai dadanya.
Gana Warak terdorong dengan derasnya. Kali ini ia tidak berhasil mempertahankan keseimbangannya, sehingga Gana Warak itu jatuh terbanting ditanah.
Namun dengan cepat Gana Warak itu meloncat bangkit. Dengan berteriak nyaring, Gana Warak memusatkan nalar budinya. Sekali lagi ia mencoba menyerang Paksi dengan Aji Sapu Anginnya yang sudah berkembang dan menjadi semakin berbahaya.
Tetapi sekali lagi, Paksi mampu meredamnya. Angin pusaran itu pun bagaikan lenyap dihalau oleh gelar kekuatan yang berputar kearah yang sebaliknya, sesuai dengan putaran tongkat Paksi.
Namun serangan yang kedua itu membuat Paksi semakin marah. Karena itu, demikian angin pusaran itu pecah berhamburan, maka serangan Paksi pun datang bagaikan banjir bandang.
Ternyata Gana Warak memiliki kemampuan untuk bergerak secepat Paksi. Karena itu maka ujung tongkat Paksi pun lelah mengenainya pula. Bahkan menjadi semakin sering.
Ketika tongkat itu benar-benar mengenai keningnya, maka pandangan mata Gana Warak bagaikan menjadi gelap.
Sebelum ia sempat berbuat sesuatu, maka tongkat paksi itu telah memukul tengkuknya, sehingga Gana Warak itu jatuh tertelungkup.
Sekali lagi Paksi mengangkat tongkatnya. Namun kendali nalarnya mampu mencegahnya. Baginya orang itu akan menjadi penting jika Paksi menghubungkannya dengan rencana khusus orang itu untuk membunuhnya.
Karena itu, maka Paksi mengurungkan niatnya untuk membunuhnya.
Ketika Gana Warak itu mencoba untuk bangkit, sekali lagi paksi memukul tengkuknya. Tetapi tidak dengan tongkatnya. Paksi memukul tengkuk orang itu dengan tangannya, agar ia dapat memperhitungkan, bahwa orang itu tidak akan mati karenanya.
Sebenarnyalah bahwa Gana Warak telah menjadi pingsan. Paksi pun kemudian memanggil salah seorang prajurit yang kehilangan lawannya.
“Bantu aku mengikat orang ini. Aku memerlukannya”
Prajurit itu pun kemudian telah melepaskan kamus dan ikat pinggang orang itu. Dengan kamus dan ikat pinggangnya sendiri, maka tangan dan kaki orang itu telah diikat.
Dalam pada itu, perang pun menjadi semakin sengit. Medan itu pun telah menjadi kacau balau. Tetapi para pengikut Harya Wisaka yang berlari-lari menyusup di sela-sela lawan dan kawan itu, justru mampu memperpanjang perlawanan.
Namun yang terjadi itu tidak akan mempengaruhi akhir dari pertempuran itu.
Harya Wisaka pun akhirnya menyadari, bahwa tidak ada gunanya lagi bertempur berlama-lama. Justru hanya akan mengurangi jumlah kawan-kawannya yang menjadi korban ujung-ujung senjata lawan.
Perang brubuh yang kacau itu pun ternyata mampu ditanggapi dengan baik oleh para prajurit yang memang sudah memiliki pengalaman yang luas itu. Sehingga para prajurit dan para cantrik itu tidak menjadi bingung atau kehilangan pegangan.
Karena ilu, maka sejenak kemudian, telah terdengar isyarat yang dilontarkan oleh Harya Wisaka disahut oleh beberapa orang diantara mereka. Isyarat yang kemudian terdegar di seluruh medan itu pun menimbulkan berbagai pertanyaan pada para cantrik dan prajurit Pajang.
Sementara itu, medan pertempuran itu pun nampaknya menjadi semakin kacau. Para pengikut Harva Wisaka berlari-lari, menyerang dan menghindar dengan berbagai macam cara yang kadang-kadang kasar.
Namun pada saat yang demikian ilu, kedua lawan Raden Sutawijaya justru mengalami nasib yang buruk. Ketika keduanya mencoba menghentakkan kemampuan mereka, ternyata Raden Sutawijaya pun telah siap dipuncak kemampuannya.
Karena itu, maka kedua orang lawannya itu sama sekali tidak berhasil mengacaukan perlawanan Raden Sutawijaya yang agaknya memang tidak menghiraukan suasana seluruh medan, karena Raden Sutawijaya pun yakin, bahwa para cantrik dan para prajurit akan dapat menguasai keadaan.
Dalam pertempuran yang semakin cepat, serta kemampuan yang diluar perhitungan nalar, maka kedua orang lawan Sutawijaya itu telah kehilangan kesempatan. Seorang diantaranya yang mencoba untuk menyerangnya dari samping, justru telah terjerumus kedalam keadaan yang paling buruk. Tombak Raden Sulawijaya lelah menghunjam langsung kedalam perutnya.
Kawannya yang melihat keadaan iiu, sama sekali tidak berusaha menolongnya. Ia tahu bahwa usaha itu tentu akan sia sia. Karena itu, maka ia pun justru berusaha melarikan diri dan hanyut kedalam kekacau-balauan pertempuran.
Tetapi Raden Sutawijaya tidak melepaskannya. Dengan loncatan panjang, maka ujung tombak Raden Sutawijaya itu lelah menggapai punggung orang yang berusaha melarikan diri itu.
Terdengar teriakan nyaring. Namun kemudian diam.
Pada saat yang demikian, maka pertempuran pun menjadi semakin kacau. Namun para pengikut Harya Wisaka pun telah mempergunakan kesempatan uniuk itu bergerak keluar dari arena. Mereka bergerak ke arah hulan Jabung yang masih lebat.
Harya Wisaka yang tidak lagi mempunyai kemungkinan untuk berhasil menangkap atau membunuh Pangeran Benawa pun berusaha untuk mempergunakan kesempatan itu, melarikan diri dalam perlindungan kekacau-balauan itu.
Namun dalam pada itu, terdengar Ki Rangga Yudapranata berteriak, “Menyerahlah. Kalian tidak mempunyai kesempatan lagi”
Tetapi para pengikut Harya Wisaka tidak segera memenuhi perintah itu. Mereka masih berusaha untuk melepaskan diri. Mereka menyadari, bahwa jika mereka menyerah, mereka akan diadili dengan tuduhan pemberontakan.
Sementara ilu, Harya Wisaka sendiri masih mencari kesempatan untuk dapat menghindari lawannya yang masih muda itu.
Ketika arus kekacauan itu seakan-akan melanda arena tempat Harya Wisaka bertempur, karena para pengikut Harya Wisaka sengaja ingin memberi kesempatan kepada pemimpinnya uniuk melarikan diri, maka Harya Wisaka telah berusaha untuk hanyut dalam arus yang bergejolak keras itu.
Namun demikian ia meloncat surut, maka langkahnya pun segera terhalang. Ternyata Raden Sutawijaya telah berdiri dengan tombak pendek ditangannya menghadangnya.
Harya Wisaka pun segera bergerak ke samping. Namun sekali lagi langkahnya terhenti. Dihadapannya berdiri Paksi dengan tongkatnya siap untuk menghadapinya.
Harya Wisaka menjadi berdebar-debar. Sementara itu arus gelombang kekacauan telah berlalu. Para prajurit Pajang telah menghalau para pengikut Harya Wisaka dengan meninggalkan korban yang terbujur lintang di medan.
“Kalian licik” geram Harya Wisaka, “kalian hanya berani bertempur dengan kelompok seperti ini”
“Menyerahlah, paman” desis Pangeran Benawa, “bukankah selama ini kita telah bertempur seorang melawan seorang? Ternyata paman tidak dapat mengalahkan aku”
“Kau telah menyadap ilmu iblis” geram Harya Wisaka.
Pangeran Benawa tersenyum. Katanya, “Apakah yang paman katakan. Aku mohon paman menyerah. Ayahanda bukan pendendam”
“Kalau saja kalian jantan, aku akan menantang salah seorang diantara kalian untuk berperang tanding”
“Paman mempunyai persoalan dengan aku” berkata Pangeran Benawa, “karena itu, perang tanding itu hanya dapat paman lakukan untuk melawan aku”
“ Tetapi jika paman kehendaki, aku pun siap melayani paman” desis Raden Sutawijaya.
Harya Wisaka termangu-mangu. Sementara itu Pangeran Benawa pun berkata, “Sebelum kita berperang tanding paman, aku ingin menantang paman untuk berlomba ketangkasan naik kuda. Aku ternyata seorang pendendam. Sebelum kita berlomba ketangkasan naik kuda, aku masih belum puas. Baru kemudian kita akan berperang tanding jika paman inginkan”
Wajah Harya Wisaka terasa menjadi panas. Tetapi ia memang tidak akan dapat berbut apa-apa menghadapi ketiga orang yang telah mengepungnya itu.
Sementara itu, pasukan Harya Wisaka itu pun telah hanyut dari arena. Sebagian dari mereka tidak sempat melarikan diri. Mereka tertangkap dan dipaksa untuk menyerah. Mereka harus meletakkan senjata mereka di tanah. Karena mereka tidak mau menyerah dengan suka-rela sehingga masih memberikan perlawanan sampai mereka tidak mempunyai kesempatan lagi atau terluka, maka para prajurit telah mengikat tangan mereka.
Ki Rangga Yudapranata yang melihat keadaan medan bersama Ki Panengah, Ki Waskita dan Ki Kriyatama telah menemukan tubuh Ki Rangga Suraniti yang terbaring diam.
“Sayang sekali” Ki Rangga Yudapranata berjongkok disisinya, “Ia seorang prajurit yang baik. Ia memiliki ilmu yang tinggi”
Namun mereka pun terkejut pula ketika mereka melihat Ki Rangga Suratapa terbaring tidak terlalu jauh dari tubuh Ki Rangga Suraniti. Tetapi Ki Rangga Suratapa itu masih bertahan. Nafasnya masih mengalir lancar dari lubang hidungnya.
Dengan cepat Ki Waskita merawatnya. Ia membawa obat yang untuk sementara akan dapat menolongnya.
“Ki Lurah Yudatama” desis Ki Rangga Suratapa.
“Kenapa?”
“Ia juga terluka parah”
Ki Panengah lah yang kemudian bangkit. Sementara dengan sendat Ki Rangga berkata, “Ia berada tidak jauh dari tempat ini”
Ki Panengah dan Ki Kriyadama pun segera mencarinya. Ketika mereka akhirnya menemukannya, ternyata Ki Lurah itu sudah tidak bernafas lagi.
“Seorang prajurit yang sangat baik” desis Ki Panengah.
Sementara itu, seorang prajuritnya duduk disisinya sambil mengusap air matanya. Prajurit itu sendiri terluka. Tetapi ia sempat berdesis ketika Ki Panengah dan Ki Kriyadama mendekatinya, “Ia seorang pemimpin yang baik. Aku berhutang nyawa kepadanya”
Ki Panengah mengangguk. Katanya, “Ya. Ki Lurah Yudatama adalah seorang prajurit yang baik”
Ki Panengah dan Ki Kriyadama itu pun kemudian bangkit berdiri dan beringsut ketika Pangeran Benawa, Raden Sutawijaya dan Paksi datang mendekat. Diantara mereka berdiri Harya Wisaka yang sudah tidak bersenjata.
Demikian prajurit yang menangisi Ki Lurah Yudatama itu melihat Harya Wisaka, maka tiba-tiba saja ia meloncat bangkit. Pedangnya terangkat dan terayun dengan derasnya sambil berteriak, “kaulah sumber dari malapetaka ini”
Tetapi pedang itu membentur landean tombak pendek Pangeran Benawa. Demikian kerasnya, apalagi orang itu tidak mengira bahwa akan terjadi benturan, maka pedang itu telah terlepas dari tangannya.
Orang itu terkejut. Selangkah ia surut. Dengan wajah yang tegang prajurit itu pun bertanya, “Kenapa Pangeran menghalangi aku?”
“Prajurit” desis Ki Kriyadama, “kau berbicara dengan Pangeran Benawa”
“Ya, aku tahu. Justru karena itu aku bertanya. Bukankah Harya Wisaka ini sumber dari malapetaka ini?”
“Kau telah kehilangan unggah-ungguh” berkata Ki Kriyadama.
Orang itu terdiam, sementara Pangeran Benawa berkata, “Aku tahu, hatinya sedang bergejolak”
Prajurit itu pun kemudian menundukkan kepalanya, sementara Pangeran Benawa berkata, “Aku memerlukan Harya Wisaka hidup-hidup. Aku ingin mendengar paman Harya berceritera tentang ketegaran kudanya. Tentang mimpi-mimpinya dan tentang dunianya”
Prajurit itu menunduk semakin dalam. Sementara Pangeran Benawa menepuk bahunya sambil berkata, “Kau adalah seorang prajurit yang baik. Aku berterima-kasih kepadamu dan kepada kawan-kawanmu yang telah dengan gigih bertempur melindungi kami”
Prajurit itu tidak menjawab.
Sementara itu, seorang cantrik telah menemui Ki Panengah sambil berkata, “Saudara-saudaraku sudah berkumpul, guru”
“Baik. Aku akan segera menemui mereka”
Ki Panengah pun kemudian telah memberitahukan kepada Ki Kriyadama, bahwa ia akan menemui para cantrik lebih dahulu.
“Marilah Pangeran Benawa, Raden Sutawijaya dan kau, Paksi. Kita temui saudara-saudaramu, para cantrik”
Ki Kriyadama lah yang kemudian bersama-sama para prajurit yang lain mengangkat tubuh Ki Lurah yang gugur di medan pertempuran itu. Selain Ki Lurah, beberapa orang para prajurit yang lain mengangkat tubuh Ki Lurah yang gugur di medan per-tempuran itu. Selain Ki Lurah, beberapa orang prajurit telah gugur pula. Selebihnya, berserakan tubuh-tubuh yang sudah tidak bernyawa. Selain para pengikut Harya Wisaka, juga para-para pengikut orang-orang yang sangat bernafsu untuk memiliki cincin yang ada ditangan Pangeran Benawa itu.
Didalam barak yang dipergunakan untuk sementara itu, berkumpul para murid Ki Panengah. Tujuh orang diantara mereka terluka. Tiga orang terluka berat.
Ki Panengah merasa sangat prihatin atas peristiwa itu. Tetapi ia masih bersyukur, bahwa tidak ada diantara mereka yang gugur dalam pertempuran itu. Agaknya para prajurit dari Pasukan Khusus yang dipimpin oleh Ki Lurah Yudatama itu telah berjuang dengan sungguh-sungguh untuk melindungi para cantrik.
Namun Ki Lurah Yudatama sendiri harus menyerahkan nyawanya. Sementara Ki Suratapa terluka berat.
Dalam pada itu, meskipun ada tiga orang cantrik yang terluka parah, namun Ki Panengah masih berharap, bahwa ketiganya dapat ditolong nyawanya, jika Tuhan Yang Maha Pemurah berkenan.
Namun dalam pertempuran yang sengit itu, Pajang dapat menangkap hidup-hidup Harya Wisaka. Harya Wisaka tidak akan dapat mencuci tangan atas apa yang sudah dilakukannya. Jika sebelumnya, Harya Wisaka tidak dapat ditangkap karena tidak dapat dibuktikan bahwa ia sudah melakukan kesalahan dengan melanggar paugeran, maka saat itu Harya Wisaka langsung dapat ditangkap justru saat ia memimpin pasukannya untuk membunuh Pangeran Benawa. Tuduhan yang dikenakan kepada Harya Wisaka adalah tuduhan yang sangat berat. Melakukan pemberontakan.
Meskipun demikian. Pajang gagal untuk menangkap para pemimpin kelompok dan perguruan yang telah menyerang perkemahan itu. Tetapi mereka telah dapat dikenali di pertempuran itu, sehingga Pajang dapat mengirimkan pasukan ke sarang mereka untuk menghancurkannya.
Dalam pada itu, Paksi pun kemudian telah teringat kepada seseorang yang mengaku saudara Harya Wisaka yang telah berusaha membunuhnya. Ia dapat membuat orang itu pingsan dan kemudian memerintahkan beberapa orang prajurit untuk mengikatnya.
Paksi pun kemudian minta diri untuk mencari orang yang mengaku bernama Gana Warak itu. Namun Paksi menjadi sangat kecewa. Ternyata orang yang mengaku bernama Gana Warak itu sudah terbujur membeku.
“Siapa yang membunuhnya?” bertanya Paksi, “ bukankah saat ia diikat, ia hanya pingsan?”
“Ya, Paksi” jawab seorang prajurit, ”tetapi ketika arus kekacauan itu melanda tempat ini, dan kemudian dapat kami singkirkan, orang itu kami dapati sudah mati. Dadanya telah ditusuk langsung dengan sebilah pedang atau semacamnya.
Paksi menarik nafas dalam-dalam. Dengan demikian ia telah memerintahkan kepada orang itu secara khusus untuk membunuhnya.
Ketika Paksi kemudian kembali kedalam baraknya, maka ia pun langsung mendekati Harya Wisaka yang duduk bersandar tiang. Sementara tangannya yang melingkari tiang itu terikat dengan eratnya.
“Harya Wisaka” geram Paksi, “bukankah Gana Warak itu kau aku atau mengaku saudaramu?”
Harya Wisaka memandang wajah Paksi yang tegang. Namun Harya Wisaka yang terikat itu justru tersenyum. Katanya, “Kenapa kau nampak menjadi sangat gelisah? Apakah kehilangan sesuatu di medan?”
“Kenapa kau secara khusus telah memerintahkan Gana Warak itu membunuhku?”
Harya Wisaka itu bahkan tertawa. Katanya, “Aku ingin kau mati”
“Kenapa?”
“Kenapa? Kenapa aku ingin kau mati? Kau adalah bagian dari kekuatan lawanku. Apakah ada yang aneh?”
Pangeran Benawa dan Raden Sutawijaya mendekatinya. Dengar nada berat Raden Sutawijaya itu bertanya, “Ada apa Paksi?”
“Harya Wisaka telah memerintahkan seseorang secara khusus untuk membunuhku”
“Ia pun telah berbuat demikian atas diriku. Dua orang yang diakunya sebagai saudaranya, berusaha untuk membunuhku”
“Tentu ada sebabnya. Sebenarnya aku dapat menangkap orang itu hidup-hidup. Ia hanya pingsan ketika aku minta para prajurit mengikatnya. Tetapi seseorang telah membunuhnya”
“Siapa yang telah membunuhnya?” bertanya Pangeran Benawa.
“Tidak tahu. Tetapi dapat dipastikan bahwa yang membunuh adalah kawan orang itu sendiri. Bukan seorang prajurit atau seorang cantrik”
“Paman tentu mengetahuinya” desis Pangeran Benawa.
“Aku memang memerintahkannya untuk membunuh Paksi. Bukankah Paksi yang telah menemukan cincin itu dan menyerahkannya kepada Pangeran?”
“Tidak. Paksi menyerahkan cincin itu kepada ayahnya” jawab Pangeran Benawa.
Tetapi Harya Wisaka itu masih saja tertawa meskipun tangannya terikat, “Siapa pun yang diserahi cincin itu, namun akhirnya cincin itu telah jatuh ke tangan Pangeran. Aku menjadi tidak senang karenanya. Untuk mendapat kepuasan batin, aku perintahkan Gana Warak untuk membunuhnya. Ia bukan saudaraku. Tetapi ia adalah orang upahan. Aku telah mengupahnya dengan uang serta janji, bahwa kelak ia akan menjadi seorang Lurah Prajurit. Untunglah bahwa ia mati, sehingga kelak aku tidak perlu memenuhi janjiku untuk mengangkatnya menjadi Lurah Prajurit karena ternyata ia tidak berguna sama sekali”
Paksi menggeram. Tetapi Pangeran Benawa justru tertawa pula. Dengan nada tinggi ia pun bertanya, “Seandainya orang itu tidak mati, apakah paman sempat mengangkatnya menjadi Lurah Prajurit?”
“Ya”
“Kapan?” bertanya Pangeran Benawa.
“Pada suatu hari setelah aku mengambil alih pimpinan pemerintahan Pajang dari tangan Kangjeng Suitan Hadiwijaya”
Pangeran Benawa mengerutkan dahinya. Namun ia sama sekali tidak nampak marah, sehingga Paksi menjadi heran karenanya. Paksi sendiri hampir tidak dapat menahan diri menghadapi sikap Harya Wisaka. Tetapi Pangeran Benawa sendiri bahkan kemudian tertawa berkepanjangan. Demikian pula Raden Sutawijaya.
Dengan ringan Pangeran Benawa bertanya, “Kapan itu kira-kira terjadinya, paman?”
Harya Wisaka termangu-mangu sejenak. Tetapi ia mulai jengkel terhadap sikap Pangeran Benawa dan Raden Sutawijaya. Mereka sama sekali tidak menunjukkan kemarahan mereka. Pembicaraan itu mereka anggap sebagai sendau gurau saja, atau lebih buruk lagi keduanya menganggapnya hanya sekedar sebagai lelucon yang pantas ditertawakan.
Karena itu maka Harya Wisaka tidak tertawa lagi. Dia tidak berhasil membuat Pangeran Benawa dan Raden Sutawijaya marah. Memang Paksi nampak menjadi marah, tapi yang lain justru mentertawakannya......
Ternyata dugaan Harya Wisaka benar. Pangeran Benawa itu pun kemudian berkata, “Paman memang seorang yang Jenaka. Dalam keadaan seperti ini, paman masih sempat bergurau.
“Aku tidak bergurau” Harya Wisaka justru mulai membentak, “aku berkata sebenarnya. Aku akan merebut singgasana dari tangan Karebet, anak Tingkir itu”
“Jangan marah, paman. Aku juga tidak marah, meskipun yang paman sebut Karebet anak Tingkir itu adalah ayahandaku yang sekarang bertahta di Pajang”
“Kau tidak akan dapat marah, karena yang aku katakan itu benar”
“Aku tahu paman bahwa yang paman katakan itu benar. Aku tidak akan marah. Aku justru bangga bahwa seorang gembala dari Tingkir akhirnya dapat menjadi Raja di Pajang. Nah, bukankah nalarnya begitu”
“Cukup” bentak Harya Wisaka, “jika saja tanganku tidak terikat”
“Pada saatnya aku akan melepaskan ikatan tangan paman untuk melakukan lomba menunggang kuda. Aku sudah mendapat seorang pengikut lagi. Kakangmas Sutawijaya. Jadi kita akan berlomba bertiga. Aku tidak mengajak Paksi, karena menurut perhitunganku, Paksi masih belum dapat menyamai paman dalam hal menunggang kuda”
“Cukup. Diam kau Benawa?”
Tetapi Raden Sutawijaya pun justru bertanya, “Kenapa paman menjadi marah? Sebaiknya paman sedikit sabar, agar paman tidak mengalami goncangan perasaan, karena kemarahan paman itu tidak akan berarti apa-apa. Tidak akan menimbulkan perubahan pada keadaan paman sekarang”
“Diam. Diam” Harya Wisaka itu berteriak. Tetapi yang terdengar kemudian adalah Pangeran Benawa dan Sutawijaya tertawa. Dengan nada tinggi Pangeran Benawa berkata, “Pamanlah yang mulai mengajak kami bergurau. Sekarang paman pulalah yang mulai menjadi marah. Untunglah bahwa kami tidak marah. Keadaan kami sekarang jauh lebih baik dari keadaan paman, sehingga jika kami bertindak lebih jauh dari sekedar mentertawakan paman, paman tidak mencegahnya”
“Kalian mau apa? Kalian ingin membunuhku? Kenapa tidak kau lakukan?”
“Kami masih memerlukan paman. Sudah aku katakan. Aku adalah pendendam. Aku harus menunjukkan kelebihaku bermain kuda. Baru kemudian akan dipertimbangkan, langkah-langkah yang akan kami ambil”
Harya Wisaka menggeram. Namun ia tidak berkata apa-apa lagi.
Sementara itu Pangeran Benawa lah yang berkata kepada Paksi, “Sudahlah Paksi. Jangan kau paksa paman Harya Wisaka sekarang berbicara tentang saudaranya yang secara khusus diperintahkannya untuk membunuhmu. Besok alau lusa kita masih mempunyai waktu”
Paksi mengangguk kecil. Katanya, “Baiklah Pangeran. Tetapi hamba tidak dapat melupakan hal ini”
“Aku mengerti” berkata Pangeran Benawa.
Mereka bertiga pun kemudian telah meninggalkan Harya Wisaka yang masih terikat. Sementara itu, Ki Rangga suratapa pun telah dibawa ke dalam barak itu. Lukanya juga sangat parah. Sedangkan para prajurit yang terluka lainnya telah dibawa ke barak sebelah. Para tabib yang bertugas dalam lingkungan keprajuritan yang menyertai pasukan berkuda itu pun segera bekerja keras untuk mengobati dan merawat mereka.
Sementara itu para prajurit yang lain pun sibuk mengumpulkan para prajurit yang gugur. Sedangkan yang lain lagi mengurus mereka yang tertangkap. Baik para pengikut Harya Wisaka maupun para anggauta gerombolan dan para murid dari perguruan yang ingin memiliki cincin yang berada di tangan Pangeran Benawa itu.
Dalam pada itu, selain seorang tabib dari lingkungan keprajuritan yang terbaik, maka Ki Waskita dan Ki Panengah telah ikut menangani langsung para cantrik yang terluka. Apalagi mereka yang parah.
Hari itu, adalah hari yang sangat sibuk bagi para prajurit. Mereka harus mengumpulkan kawan-kawan mereka yang terluka dan yang gugur. Disamping itu mereka harus mengurus dan kemudian mengawasi para tawanan yang mengumpulkan para pengikut gerombolan dan perguruan-perguruan yang ingin menangkap Pangerang Benawa serta para pengikut Harya Wisaka yang terbunuh, kemudian menguburkannya, serta membawa mereka yang terluka ke barak.
Sementara itu, dua orang prajurit berkuda telah berpacu ke Pajang untuk memberikan laporan, akhir dari permainan yang rumit dihutan Jabung itu.
“Yang gugur akan dibawa ke Pajang dan dimakamkan dengan upacara resmi” berkata Ki Tumenggung Wirayuda.
Namun upacara pemakaman tidak dapat dilangsungkan pada hari itu juga, karena senja telah turun.
Dalam keremangan senja itulah, Pangeran Benawa sendiri bersama Raden Sutawijaya dan Paksi telah membawa Harya Wisaka ke Pajang. Mereka langsung membawa Harya Wisaka menghadap Ki Gede Pamanahan.
Tetapi di hadapan Ki Gede Pemanahan, Harya Wisaka itu pun berkata dengan lantang, “Untuk apa aku dibawa kemari?”
”Paman Harya Wisaka harus mempertanggung-jawabkan semua perbuatan paman” jawab Pangeran Benawa.
“Tetapi kenapa aku harus menemui Ki Gede Pemanahan? Ia tidak berhak menuntut pertanggung-jawabanku. Hanya mereka yang sederajat atau lebih tinggi dari derajadku yang dapat memeriksa aku dan apalagi menurut tanggung-jawabku. Aku hanya mau berbicara dengan Sultan Hadiwijaya”
“Maksud paman, Karebet gembala dari Tingkir itu? Nanti paman juga tidak mau berbicara dengan orang yang menurut paman adalah keturunan pihak pedarakan itu” berkata Pangeran Benawa.
“Setan kau Pangeran. Siapa pun orang itu, tetapi orang itu sekarang menjadi Sultan di Pajang”
“Paman Pemanahan sekarang adalah orang yang mendapat kepercayaan dari Kangjeng Sultan untuk mempertanggung-jawabkan keamanan Pajang dalam arti yang seluas-luasnya selain kedudukannya sebagai Panglima seluruh pasukan Pajang, paman”
“Aku tidak peduli. Aku hanya mau berbicara dengan Sultan”
“Baiklah. Jika demikian, persoalan paman tidak akan pernah selesai, karena Kangjeng Sultan telah menugaskan paman Pemanahan untuk menangani persoalan paman Harya Wisaka”
“Aku akan bertemu dengan Sultan sendiri” Harya Wisaka itu pun berteriak marah.
Tetapi Pangeran Benawa hanya tersenyum saja. Karena Ki Gede Pemanahan, Pangeran Benawa itu pun bertanya, “Bagaimana menurut pertimbangan paman?”
“Jika Harya Wisaka tidak mau berbicara dengan aku, apaboleh buat”
“Maksud paman?”
“Simpan saja Harya Wisaka di ruang tahanan”
“Sampai kapan, paman?” dengan sengaja Pangeran Benawa bertanya.
Ki Gede Pemanahan tersenyum pula. Jawabnya, “Sampai Harya Wisaka mau berbicara”
“Kalau ia tidak juga mau berbicara dengan paman?”
“Ia tidak akan pernah keluar dari bilik tahanannya”
“Itu tidak adil. Itu sewenang-wenang. Inikah cara yang ditempuh Pajang untuk menegakkan paugeran?”
“Jika paman tidak mau berbicara, lalu apa gunanya untuk mengeluarkan paman dari tahanan?” berkata Raden Sutawijaya.
“Aku mau bicara dengan Sultan”
“Ayahanda Sultan sangat sibuk” sahut Raden Sutawijaya.
“Omong Kosong. Karebet hanya sibuk dengan perempuan”
“Nah, bukankah paman tahu bahwa ayahanda sibuk dengan perempuan sehingga ayahanda tidak sempat menemui paman”
“Itu tidak adil. Itu sewenang-wenang”
“Bukankah Paman memahami tata pemerintahan? Bukankah paman tahu, bahwa tidak semua persoalan harus ditangani oleh Kangjeng Sultan sendiri? Dalam hal ini Kangjeng Sultan sudah menugaskan paman Pemanahan. Karena itu kedudukan paman Pemanahan tidak ada ubahnya dengan kedudukan ayaharda Sultan sendiri”
“Diam kau, diam? Kalian tidak tahu apa-apa tentang pemerintahan. Ki Gede Pemanahan juga tidak tahu apa-apa”
“Menurut paman, yang diketahui oleh ayahanda Sultan tentu juga hanya perempuan. Bukankah begitu?”
“Setan kau Sutawijaya”
Raden Sutawijaya tertawa. Sementara Ki Gede Pemanahan pun berkata, “Masukkan kedalam bilik tahanan. Beri kesempatan Harya Wisaka merenungi perbuatannya sampai ia mau berbicara”
“Tidak, itu tidak adil. Aku tidak mau sebelum aku berbicara dengan Sultan”
Tetapi Pangeran Benawa dan Raden Sutawijaya tidak menghiraukannya. Bersama Paksi mereka membawa Harya Wisaka kedalam bilik tahanannya.
Para pemimpin prajurit di Pajang menyadari, bahwa Harya Wisaka adalah seorang yang berilmu sangat tinggi. Karena ilu, maka di sekitar bilik tahannya telah diletakkan penjagaan yang kuat. Disamping lima orang prajurit, telah dilugaskan seorang perwira yang dianggap memiliki ilmu yang tinggi untuk mengawasi Harya Wisaka. Perwira itu bersama-sama dengan para prajurit setidak-tidaknya akan dapat menghambat jika Harya Wisaka berniat melarikan diri, sementara dengan isyarat akan dapat dipanggil kelompok-kelompok prajurit yang lain yang bertugas didalam istana Pajang.
Sementara itu, Ki Gede Pemanahan pun telah memerintahkan untuk memisahkan Harya Wisaka dari lingkungan keluarganya. Tidak seorang pun yang boleh mengunjunginya.
Bahkan Raden Ayu Sekarsari, isterinya, juga tidak boleh menemuinya.
Dengan demikian, maka Harya Wisaka benar benar merasa dipisahkan dari kehidupannya. Bukan saja niatnya uniuk memiliki cincin kerajaan itu tidak tercapai, namun ia pun merasa telah kehilangan segala-galanya.
Sementara itu, kerja di hutan Jabung pun telah dilanjutkan. Pembangunan sebuah padepokan yang besar. Bukan sekedar untuk lima-belas orang. Tetapi para pemimpin dan para canirik sudah membayangkan, bahwa padepokan itu akan menjadi padepokan dan sebuah perguruan yang berpengaruh di Pajang.
Pangeran Benawa, Raden Sutawijaya dan Paksi bersama para cantrik telah tenggelam lagi didalam kerja bersama para prajurit demikian masa berkabung lewat.
Meskipun gerombolan-gerombolan dan perguruan-perguruan yang menginginkan Pangeran Benawa serta kekuatan Harya Wisaka sudah dihancurkan, namun para pemimpin di Pajang masih juga merasa perlu untuk menempatkan para prajurit di hutan Jabung. Kecuali untuk membantu pembangunan padepokan yang terhitung besar itu, juga dianggap perlu bagi keselamatan Pangeran Benawa dan Raden Sutawijaya.
Dalam pada itu, setelah pertempuran yang sengit terjadi di hutan Jabung, Paksi pernah sekali mengunjungi keluarganya. Kedatangannya disambut dengan gembira sekali oleh ibu serta adik-adiknya yang telah mendengar peristiwa yang mendebarkan di hutan Jabung.
“Yang Maha Maha Agung masih melindungi aku, ibu. Sebagaimana saat-saat pengembaraanku, aku selamat”
“Syukurlah, Paksi” berkata ibunya dengan mata yang berkaca-kaca, “aku sangat mencemaskanmu. Bahkan seluruh keluarga ini. Ayahmu juga menjadi sangat tegang sehingga dimalam harinya, ayahmu sama sekali tidak dapat tidur. Bahkar mondar-mandir diruang dalam. Selongsong lombaknya pun telah dilepasnya sehingga tombak itu dapat dipergunakannya setiap saat. Ayahmu merasa seolah-olah ia berada di medan pertempuran itu pula”
Paksi menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada rendah ia bertanya, “Dimana ayah sekarang, ibu?”
“Ayahmu baru pergi ke tempat tugasnya di istana. Sebentar lagi ayahmu tentu akan pulang”
“Bukankah biasanya yang sudah pulang?”
“Sejak terjadi pertempuran di hutan Jabung, ayahmu nampak semakin sibuk. Bahkan ayahmu nampak gelisah sejak sebelum pertempuran itu berlangsung. Nalurinya sebagai seorang prajurit seakan-akan telah memberitahukan kepadanya, bahwa akan terjadi sesuatu atas dirimu, bahkan ayahmu pernah berkata kepadaku, bahwa ada semacam dorongan untuk menengokmu sehari sebelum pertempuran itu terjadi. Tetapi karena kesibukannya, maka ayahmu belum sempat melakukannya”
Paksi mengangguk-angguk. Sementara adik perempuannya pun berkata, “Kenapa kakang tidak pulang saja? Bukankah sangat berbahaya berada di pinggir hutan itu?”
“Kenapa kakang Paksi harus pulang? Bahkan ayah telah menjanjikan, bahwa aku pun akan dikirim ke padepokan itu pula kelak” sahut adik Paksi yang laki-laki.
“Untuk apa kau pergi kesana?” bertanya adik perempuannya.
“Berguru, seperti kakang Paksi. Aku ingin berbuat sesuatu bagi negara ini sebagaimana telah dilakukan oleh kakang Paksi. Bukankah kakang Paksi yang telah berhasil menemukan kembali cincin kerajaan yang hilang itu”
“Sudahlah” berkata Paksi, “besok pada saatnya kau akan dikirim ke padepokan itu. Sekarang padepokan itu baru dibuat. Bahkan masih lama padepokan baru itu akan siap. Disamping bangunannya, juga kelengkapan pendukungnya. Terutama sawah dan pategalan, agar padepokan itu dapat mandiri”
”Kapan padepokan itu siap, kakang. Sebulan? Dua bulan?”
Paksi tertawa. Katanya, “Jauh Jebih lama lagi. Mungkin setahun segala-galanya baru siap”
“Jadi selama ini?”
“Segala-galanya serba sementara. Kami tinggal di padepokan yang bangunannya dibuat untuk sementara. Dindingnya yang diperbaharui karena dalam pertempuran itu telah dirobohkan, juga untuk sementara. Kami masih mendapat sumbangan bahan pangan dari Pajang. Tetapi kami sudah mulai menggarap tanah yang semula padang perdu. Kami telah mengalirkan air dengan parit melintasi padang perdu itu. Air yang kami dapat dari kebaikan hati petani di sebelah padang perdu itu”
“Apakah para petani itu sudah tidak memerlukan air?”
“Tentu masih. Tetapi air di parit itu cukup melimpah, sehingga kami telah mendapat bagian pula. Sementara itu, kami sedang mengatur arus air dari rawa-rawa di dalam hutan Jabung, yang bersumber dari dua mata air yang terhitung besar di dalam hutan itu. Jika kami dapat menyalurkan air itu untuk sementara ke sungai terdekat, maka rasa-rasa rawa-rawa didalam hutan itu akan menyusut. Hutan itu akan dapat ditebang dan dibuat tanah yang tak pernah mengering meskipun di musim kemarau”
“Kakang” berkata adik laki-laki Paksi, “aku ingin ikut kakang sekarang saja. Jika nanti kakang kembali ke padekokan, aku akan ikut serta”
Paksi tertawa. Katanya, “Jangan sekarang. Padepokan kami untuk sementara masih belum menerima cantrik lagi”
“Jika saja ayah bersedia menyampaikan kepada pemimpin padepokan itu”
Ibunyalah yang kemudian menyahut, “Jangan tergesa-gesa. Masih banyak waktu sementara padepokan itu sudah siap untuk menerima cantrik baru”
Adik Paksi itu mengangguk-angguk kecil. Tetapi ia nampak kecewa. Sementara adik perempuannya berdesis, “Di padepokan itu tidak ada ibu yang dapat melayanimu. Menuang minuman, menyenduk nasi, mengumpulkan pakaian kolor”
Kata-katanya terputus. Ketika adik laki-laki Paksi itu bangkit berdiri, maka adik perempuannya itu pun segera bergeser dan bersembunyi di belakang ibunya”
“Ibu” desisnya.
“Sudahlah” berkata ibunya, ”kakakmu tentu ingin beristirahat. Ia ingin merasakan satu perubahan dari yang dialaminya sehari-hari di padepokannya yang masih sementara itu”
Tetapi Paksi itu pun menyahut, “Aku senang berada diantara para cantrik. Disana juga tinggal Pangeran Benawa dan Raden Sutawijaya”
“Tetapi mereka tentu mendapat tempat serta pelayanan khusus di padepokan itu”
“Tidak ibu. Mereka diperlakukan sama seperti para cantrik yang lain. Seandainya umur mereka berdua tidak lebih tua dari rata-rata para cantrik, maka mereka akan di perlakukan dengan cara yang sama seperti yang lain-lain. Tetapi karena umur mereka, terutama Raden Sutawijaya, maka mereka memang diperlakukan agak berbeda. Namun semata-mata karena umur mereka. Kami memang harus menghormati orang-orang yang lebih lua dan kita. Tetapi apa yang kami kerjakan, juga harus mereka kerjakan”
Ibunya mengangguk-angguk sambil tersenyum. Katanya, “Baiklah. Duduklah bersama adik-adikmu. Aku akan pergi ke dapur. Aku harus membantu memasak agar sesuai dengan selera ayahmu”
Paksi mengangguk sambil menjawab, “Silahkan ibu. Aku hari ini akan berada di rumah sampai sore. Aku mendapat ijin kembali ke barak sampai senja”
“Kau tidak bermalam disini malam ini?” bertanya adik perempuannya.
“Tidak. Aku harus kembali ke barak”
“Kembali saja esok, kakang”
Paksi tersenyum. Katanya, “Nanti aku dimarahi”
“Kalau sudah terlanjur mau apa. Biar saja pemimpin kakang itu marah. Tetapi kakang sudah terlanjur bermalam disini”
“Nanti aku dihukum”
“Dihukum? Apakah mereka berhak menghukum seseorang?”
“Ya. Seorang pemimpin perguruan berhak menghukum cantrik-cantriknya yang tidak mematuhi peraturan”
“Kenapa pemimpin perguruan itu galak sekali?”
“Ah, kau tahu apa” potong adik Paksi yang laki-laki, “jika mereka yang bersalah tidak dihukum, maka semua cantrik yang ada diperguruan itu akan berbuat salah. Mereka menjadi tidak patuh dan paugeran yang ada bukan untuk memagari ketaatan para cantrik, tetapi sekedar untuk dilanggar”’
Adik perempuannya mengerutkan dahinya. Justru ibunya yang tertawa sambil berdesis, “Ternyata kau lantip juga”
“Aku harus mempelajarinya sejak sekarang” Paksi pun tertawa. Tetapi adik perempuannya mencibirkan bibirnya. Tetapi sebelum ia mengatakan sesuatu, adik laki-laki Paksi itu berdesis, “Ayo, kau mau bilang apa?”
Adik perempuannya menggeleng. Tetapi ia pun kemudian berpegangan pada baju ibunya sambil berkata, “Aku ikut ke dapur, bu”
Sepeninggal ibu dan adik perempuannya, maka Paksi dan adik laki-lakinya pun turun ke halaman. Mereka duduk di tangga pendapa. Sementara adik laki-laki Paksi itu minta Paksi menceriterakan apa yang terjadi ketika padepokan sementaranya diserang oleh beberapa pihak.
Ketika Paksi kemudian berceritera, adik laki-lakinya itu mendengarkannya dengan saksama. Beberapa saat kemudian, mereka melihat seekor kuda dengan penunggangnya memasuki regol halaman. Adik Paksi itu pun segera bangkit berdiri sambil berdesis, “Ayah”
Paksi pun berdiri pula.
Seorang pembantu dirumah itu pun kemudian telah menyongsong Ki Tumenggung untuk menerima kudanya, sementara adik Paksi berlari-lari mendapatkannya sambil berkata, “Ayah. Kakang Paksi datang”
“Ya. Aku melihatnya” sahut ayahnya.
Paksi pun mendekati ayahnya pula. Dengan nada tinggi ayahnya itu pun bertanya, “Kapan kau datang Paksi?”
“Tadi siang ayah” jawab Paksi.
“Bagaimana keadaanmu?”
“Baik, ayah”
“Aku sudah berniat untuk pergi menengokmu ke hutan Jabung. Tetapi aku belum mempunyai waktu”
“Ya. Ibu juga mengatakannya. Bahkan sejak sebelum terjadi serangan itu”
Ayahnya mengerutkan keningnya. Namun ia tidak bertanya lagi. Sambil melangkah ke tangga pendapa, ia berdesis, “Marilah. Kita duduk didalam”
Paksi dan adiknya pun kemudian mengikuti ayahnya yang melangkah naik kependapa, langsung ke pintu pringgitan dan masuk keruang dalam.
Paksi dan adiknya pun duduk diatas tikar pandan di ruang dalam, sementara ayahnya pergi kebiliknya untuk berganti pakaian serta menyimpan kerisnya.
Baru kemudian ayahnya itu telah duduk di ruang dalam pula. Sementara seorang pembantunya telah menyiapkan makan siang diawasi oleh Nyi Tumenggung sendiri.
Sambil meneguk minuman, ayah Paksi itu pun berkata, “Aku telah mendengar secara terperinci, apa yang telah terjadi di hutan Jabung itu, Paksi. Satu perjuangan yang sangat berat. Untunglah bahwa pasukan berkuda itu tidak terlambat datang. Jika saja mereka terlambat, agaknya mimpi tentang padepokan itu akan segera pudar”
“Bukan hanya itu ayah. Pangeran Benawa dan Raden Sutawijaya tentu sudah terbunuh”
“Ya. Agaknya Pangeran Benawa telah melakukan satu kesalahan besar dengan membawa cincin itu ke hutan Jabung. Seharusnya ia menyadari, bahwa cincin itu sedang diburu oleh banyak orang. Kenapa cincin itu tidak disimpan saja di Bangsal Pusaka”
“Tetapi rencana Pangeran Benawa dan Raden Sutawijaya justru berhasil ayah”
“Apa yang berhasil?”
“Pajang dapat menghancurkan gerombolan-gerombolan dan perguruan-perguruan yang memusuhi pajang itu. Nafsu mereka untuk memiliki cincin itu adalah ujud dari nafsu mereka untuk menghancurkan kuasa Pajang dan kemudian memiliki kuasa itu, karena mereka percaya bahwa siapa yang memiliki cincin itu akan dapat memegang kendali pemerintahan di tanah ini. Setidak-tidaknya keturunannya kelak. Namun hasil yang terpenting dari pancingan Pangeran Benawa itu adalah tertangkapnya Harya Wisaka”
Wajah Ki Tumenggung itu pun berkerut. Tetapi hampir diluar sadarnya ia berdesis, “Harya Wisaka itulah yang bodoh. Seharusnya ia membuat perhitungan yang lebih matang. Ia harus meyakini bahwa pasukan berkuda itu tidak akan sempat pergi ke hutan Jabung. Setidak-tidaknya Harya Wisaka perlu membuat hambatan agar pasukan berkuda itu tidak akan sampai ke hutan Jabung secepatnya”
“Ya” jawab Paksi, “jika Harya Wisaka dapat menghambat beberapa lama sehingga pasukan berkuda itu datang terlambat, maka ia tidak akan dapat tertangkap. Mungkin Pangeran Benawa dan Raden Sutawijaya telah gugur”
Ayah Paksi itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun berkata, “Tetapi syukurlah, bahwa hal itu tidak terjadi, sehingga Pangeran Benawa dan Raden Sutawijaya dapat diselamatkan”
“Aku pun harus mengucap syukur pula ayah”
“Ya. Semua para cantrik, termasuk pemimpin padepokan itu harus mengucap syukur”
“Terlebih-lebih aku”
“Kenapa?” bertanya ayahnya.
“Ternyata Harya Wisaka telah memberikan tugas secara khusus kepada seseorang untuk membunuhku”
“He?” Ki Tumenggung nampak terkejut, “seseorang secara khusus untuk membunuhmu?”
“Ya, ayah”
“Kenapa?” bertanya ayahnya dengan nada berat.
“Aku tidak tahu, ayah. Tetapi ketika hal itu aku tanyakan langsung kepada Harya Wisaka, ia mengatakan, bahwa ia merasa sangat kecewa terhadapku, karena aku telah menemukan cincin itu sehingga cincin itu kembali ke tangan Pangeran Benawa”
Wajah ayah Paksi nampak berubah. Katanya, “Sayang, aku tidak ada di medan pertempuran saat itu. Lalu, bagaimana dengan orang itu?”
“Orang itu dapat aku tangkap, ayah”
“Kau dapat menangkapnya? Hidup-hidup?”
“Ya, ayah”
“Dimana orang itu sekarang. Agaknya ia ingin menantangku”
“Orang itu sekarang sudah mati”
“Mati? Bukankah kau dapat menangkapnya hidup-hidup?”
“Ya. Tetapi saat aku bersama Pangeran Benawa dan Raden Sutawijaya menangkap Harya Wisaka, maka orang yang sudah tertangkap dan diikat itu, justru terbunuh. Tentu oleh kawannya sendiri”
“Kawannya sendiri? Bagaimana mungkin”
“Sebenarnya tidak aneh, ayah. Jika orang itu mati, maka rahasia yang diketahuinya akan ikut terkubur bersamanya”
Ayah Paksi itu menarik nafas dalam-dalam. Sambil mengangguk-angguk ia pun berkata, “Ya. kau benar. Sayang sekali orang itu terbunuh”
“Mudah-mudahan dapat dicari jalur lain untuk mengetahui apakah maksud orang upahan itu sesungguhnya. Apakah ia melakukan hal itu dengan alasan sebagaimana dikatakan oleh Harya Wisaka, atau ia mempunyai alasan yang lain”
Ki Tumenggung itu masih mengangguk-angguk. Tetapi ia justru bertanya tentang hal yang lain, “Paksi. Bagaimana pembangunan padepokanmu sekarang? Bukankah dapat berjalan dengan lancar?”
“Ya, ayah. Dengan bantuan para prajurit, pembangunan padepokan itu dapat berjalan dengan cepat sebagaimana diharapkan. Sebagian dari para prajurit menebangi hutan untuk membuka sawah dan pategalan. Sedangkan yang lain beserta para cantrik membangun padepokan serta bangunan-bangunan kelengkapannya. Termasuk beberapa buah sanggar. Sanggar terbuka dan sanggat tertutup”
“Syukurlah” desis ayahnya. Namun ia masih bertanya lagi, “Apakah kegiatan perguruanmu sudah dapat berjalan selagi kalian sibuk membangun padepokan itu?”
“Dapat ayah. Kami dapat membagi waktu dengan baik. Para prajurit dan para pekerja yang sebenarnya, memaklumi kegiatan kami”
“Syukurlah, sehingga keberadaan kalian di perguruan itu tidak banyak membuang waktu. Tetapi masih beruntung bagi mereka yang datang kemudian. Mereka tidak perlu harus bekerja keras membangun padepokan. Mereka dapat langsung menimba ilmu di padepokan itu”
“Tetapi yang datang kemudian pun mempunyai tugasnya masing-masing ayah. Mereka harus menggarap sawah, berternak, belajar menjadi pande besi untuk dapat membuat alat-alat pertanian sendiri serta melatih diri untuk menguasai berbagai macam ketrampilan”
Ki Tumenggung mengangguk-angguk. Katanya, “Paksi. Aku justru berpikir untuk menarik kau dari padepokan itu”
Paksi pun terkejut. Adik laki-lakinya yang ingin segera dikirim ke padepokan itu pun terkejut pula. “Kenapa ayah?”
“Kau banyak kehilangan waktu di padepokan yang segala-galanya baru mulai itu. Bukankah lebih baik kau berguru ditempat lain yang lebih langsung menerima ilmu lahir dan batin”
“Tetapi kami, para cantrik, dapat membagi waktu dengan baik, ayah. Kehadiran kami di padepokan latihan secukupnya. Pagi-pagi sekali, setelah kami melakukan kewajiban kami, kami akan mendapat pengetahuan tentang olah kanuragan. Jika kami sudah memahami ilmu yang kami terima, maka kami akan mendapatkan peningkatan ilmu seterusnya sesuai dengan lapisan-lapisan yang harus dilalui. Kemudian, kami akan turun ke dalam kerja. Kami akan mendapatkan pengalaman yang berharga. Kami akan ikut serta secara langsung menangani pekerjaan pembangunan. Kami mulai dapat mengerjakan pekerjaan batu dan kayu. Kami juga langsung ikut membuat alas dan bebatur dari batu. Kami pun langsung ikut menangani pekerjaan kayu dan yang berhubungan dengan itu. Kami juga diajari membuat alat-alat dari besi yang dipergunakan oleh para pekerja yang mengerjakan kayu. Tetapi kami pun diajari membuat alat-alat pertanian pula. Meskipun pada dasarnya kami diajari untuk melakukan itu semua, tetapi kami dapat memilih. Yang manakah yang paling sesuai dengan diri kami. Kami dapat mengkhususkan diri untuk salah satu atau dua jenis ketrampilan. Yang masih belum dapat diberikan dengan memadai adalah pengetahuan tentang ilmu pertanian, karena kami baru mulai membuka sawah. Sambil melaksanakan, kami akan dapat memperdalam ilmu pertanian itu nanti semakin mendalam. Selebihnya kami juga mempelajari pengetahuan untuk mengenali musim dan pertanda-pertanda alam yang lain dalam hubungannya dengan pertanian. Selain itu, kami juga diperkenalkan dengan kesusasteraan dan pengetahuan-pengetahuan lain serba sedikit. Tentu saja masih sangat terbatas karena keadaan. Tetapi apa yang kami dapatkan sekarang cukup memadai, ayah”
“Aku akan melihat sendiri, apa yang kalian lakukan di padepokanmu itu, Paksi. Tetapi aku tidak ingin anakku menjadi seorang tukang kayu, pande besi atau seorang petani. Jika hal itu yang aku inginkan, aku tidak akan mengirimkan kau ke sebuah perguruan. Yang aku inginkan adalah, anakku menjadi seorang yang memiliki pengetahuan yang luas sebagai bekal bagi masa depannya serta seorang yang memiliki kemampuan kanuragan yang tinggi”
“Ayah” desis Paksi, “aku yakin, bahwa perguruan kami akan menjadi perguruan yang baik. Ki Panengah dengan para pembantunya dan sekarang Ki Waskita yang juga berada di padepokan itu, akan sangat berarti bagi masa depan kami. Sementara itu Ki Kriyadama pun agaknya tidak berkeberatan untuk menularkan pengetahuannya kepada kami, para cantrik. Selain mereka, Ki Panengah tidak akan berkeberatan untuk mengundang beberapa orang lain yang ahli di bidangnya masing-masing untuk membantunya, mematangkan kami para cantrik”
“Semua itu barulah terwujud dalam mimpi. Mimpi Ki Panengah yang disebarkan kepada cantrik-cantriknya”
“Tetapi perguruan ini telah mendapat restu dari ki Gede Pemanahan dan Kangjeng Sultan sendiri. Selain secara resmi hal itu sudah dinyatakannya, mereka pun telah mengirimkan putera-putera mereka ke perguruan ini”
Ki Tumenggung menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian, “Baiklah. Aku akan memikirkannya. Tetapi aku benar-benar ingin melihat, apa yang telah kalian lakukan di padepokan kalian”
Paksi pun mengangguk-angguk kecil. Namun ia tidak menjawab.
Dalam pada itu, makan pun telah siap. Karena itu, maka Nyi Tumenggung pun telah mempersilahkan suaminya dan anak-anaknya makan bersama di ruang dalam. Nyi Tumenggung sendiri justru lebih banyak sibuk melayani suami dan anak-anaknya daripada makannya sendiri. Tetapi wajah Nyi Tumenggung nampak cerah melihat keluarganya yang utuh sedang makan bersama-sama.
“Jangan berbicara saja” desis Nyi Tumenggung ketika adik Paksi yang laki-laki selalu saja bertanya kepada Paksi.
Anak muda itu mengangguk. Tetapi setelah diam beberapa saat, ia mulai bertanya-tanya lagi.
“Nanti kau terbatuk” ayahnya pun memperingatkannya.
Beberapa saat setelah mereka selesai makan, maka Ki Tumenggung pun kemudian berkata, “Beristirahatlah dahulu, Paksi. Aku akan berada di serambi. Udaranya terasa panas disini”,
“Silahkan ayah” sahut Paksi, “aku juga akan melihat burung-burung di halaman samping”
“Aku mempunyai bekisar baru, Paksi” berkata ayahnya.
“Aku sudah mendengar kokoknya ayah. Tentu bekisar yang bagus”
Paksi pun kemudian telah pergi kehalaman samping bersama adik laki-lakinya ketika Ki Tumenggung pergi ke serambi, sementara ibunya membenahi mangkuk-mangkuk yang kotor.
“Bawalah ke belakang” berkata ibunya kepada adik Paksi yang perempuan. Meskipun gadis kecil itu anak seorang Tumenggung, tetapi ibunya mengajarinya untuk melakukan tugas seorang gadis agar kelak ia menjadi seorang perempuan yang tidak canggung menangani rumah tangganya.
Sementara itu, Ki Tumenggung duduk di serambi sambil merenung. Ada sesuatu yang tersangkut dihatinya. Bahkan menggelisahkannya.
Di halaman samping, Paksi dan adik laki-lakinya melihat-lihat beberapa ekor burung yang terkurung didalam sangkarnya. Di tiga sangkar yang lebih besar, terdapat tiga ekor bekisar yang tidak henti-hentinya berkokok.
“Burung-burung itu tidak henti-hentinya bernyanyi, kakang” berkata adik laki-laki Paksi.
Paksi mengangguk-angguk, sementara adiknya berkata selanjurnya, “Dan bekisar itu selalu berkokok menantang”
“Kau yakin bahwa burung-burung itu bernyanyi karena hatinya gembira?”
“Tentu. Jika burung-burung itu tidak sedang bergembira, mereka tidak akan bernyanyi”
Bagaimana jika rnereka tidak sedang bernyanyi, tetapi mereka sedang meratap? Meneriakkan kepedihan mereka karena mereka terkurung didalam sangkar. Betapapun bagusnya sangkar yang diperuntukkan bagi mereka, tetapi arti sangkar itu bagi mereka sama saja dengan sangkar yang buruk”
“Ah, tentu tidak kakang. Sangkar yang bagus tidak sama dengan sangkar yang buruk”
“Mungkin bagi kita yang memandang kelincahan burung-burung itu serta mendengarkan kicaunya, apakah burung-burung itu sedang bergembira atau sedang menangis. Tetapi bagi mereka, sangkar itu telah membatasi kebebasan mereka. Perampasan atas kemerdekaan mereka”
Adik Paksi itu merenung sejenak. Tetapi ia pun berkata, “Apakah burung-burung itu tidak lebih senang berada didalam sangkar? Mereka tidak perlu bersusah payah mencari makan”
“Tetapi mereka terpisah dari keluarganya. Mungkin pada saat burung-burung itu ditangkap, anaknya masih terlalu kecil untuk ditanggalkannya sehingga anak-anak burung itu menunggu tanpa akhir terpisah dari alamnya. Dari dunianya yang luas seluas langit yang biru”
Adik Paksi itu mengangguk-angguk kecil. Dengan ragu-ragu ia berdesis, “Tetapi banyak orang yang memelihara burung didalam sangkar”
“Sudahlah. Marilah kita lihat kuda-kuda ayah di kandang.”
“Kuda kakang juga berada di kandang”
Paksi tersenyum. Namun tiba-tiba adiknya bertanya, “Apakah kuda-kuda itu juga tidak merasa dirampas kebebasannya? Bahkan setiap kali mendapat beban di punggungnya”
“Ya” Paksi mengangguk-angguk, “kuda, kerbau, lembu. Bahkan dengan dicocok hidungnya”
Adiknya memandang Paksi dengan tajamnya. Tiba-tiba dari mulutnya terdengar ia berdesis, “Begitu burukkah peringai kita, kakang”
Paksi menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Asal kita tahu saja. Dengan demikian kita jangan menambah beban mereka. Kita harus bersikap baik terhadap kuda kita, kerbau kita, lembu kita dan binatang-binatang peliharaan kita yang lain. Apalagi binatang-binatang kita yang dapat membantu tugas-tugas kita”
Tetapi adiknya menyambung, “Dan yang dapat menghibur hati kita”
Paksi tertawa, didorongnya kening adiknya dengan jari-jarinya. Namun Paksi kemudian berkata, “Mari, kita pergi ke sanggar. Sudah lama aku tidak melihat sanggar itu”
“Sanggar itu jarang dipakai. Tetapi setiap hari selalu dibersihkan”
“Kau tidak pernah berlatih didalam sanggar?”
“Apa yang dapat aku lakukan? Meloncat-loncat? Berguling-guling?”
“Tetapi bukankah kau sudah memiliki dasar ilmu kanuragan? Kita pernah berlatih serba sedikit waktu itu”
Adiknya mengangguk-angguk. Katanya, “Hanya itulah. Aku selalu mengulang-ulang. Tidak bertambah”
“Setidak-tidaknya kau dapat meningkatkan daya tahan serta menjaga kelenturan tubuhmu. Unsur-unsur yang sangat penting bagi olah kanuragan”
“Itulah yang aku lakukan setiap hari, kakang”
“Apakah tidak ada perhatian sama sekali dari ayah?”
“Semula memang ada. Tetapi akhir-akhir ini ayah nampaknya menjadi sangat sibuk. Bukankah kakang juga mengetahui, sejak kakang pulang dari pengembaraan kakang yang panjang, sehingga kakang masuk kembali ke padepokan, ayah selalu nampak sibuk dan tegang”
Paksi mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Peliharalah apa yang sudah kau miliki. Pada saatnya aku masuk ke sebuah perguruan, kau akan dengan mudah mengikuti tuntunan olah kanuragan”
Adik Paksi itu pun mengangguk-angguk.
Sejenak kemudian, keduanya telah berada di dalam sanggar. Sanggar itu memang nampak bersih. Semua peralatan tertata rapi. Namun terlalu rapi sehingga nampak bahwa sanggar itu memang jarang dipergunakan.
Paksi pun kemudian berkata kepada adiknya, “Nah, lakukan apa yang dapat kau lakukan. Aku ingin mengetahui apa yang sudah kau miliki”
“Belum ada, kakang”
“Sudah. Aku tahu kau sudah memiliki landasan itu sejak aku belum pergi mengembara hampir dua tahun yang lalu”
“Masih seperti itu”
“Tunjukkan kepadaku”
Adik Paksi itu menjadi ragu-ragu. Namun kemudian ia pun melangkah ketengah-tengah sanggar itu.
“Lakukan apa saja yang dapat kau lakukan. Bukankah kau setiap hari melakukannya di sanggar ini”
“Tidak selalu di sanggar ini. Sekali-sekali di dekat belumbang itu. Sekali-dekali di halaman samping. Bahkan kadang-kadang aku lakukan didekat kandang kuda. Suasananya justru sangat mendukung”
“Kau memang dapat melakukannya dimana saja. Memang tidak harus di sanggar. Tetapi jangan kau biarkan sanggar ini tidak memberikan arti apa-apa bagimu, sementara didalam sanggar yang meskipun kecil ini mempunyai peralatan yang memadai”
Adiknya itu mengangguk.
“Nah, sekarang mulailah” berkata Paksi kemudian.
Adiknya itu mulai bersiap. Ia mulai dengan tarikan nafas. Kemudian tangannya bergerak perlahan-lahan. Baru kemudian kakinya dan seluruh tubuhnya. Adik Paksi itu mulai meloncat ketika tubuhnya sudah merasa hangat. Darahnya sudah terasa memanasi pembuluh-pembuluhnya.
Sejenak kemudian, maka adik Paksi itu pun mulai melakukan gerakan-gerakan dasar sebagaimana pernah dipelajarinya sejak dua tahun yang lalu. Seperti yang dikatakan oleh adiknya, bahwa penguasaan unsur gerak adiknya itu seakan-akan tidak bertambah.
Namun yang agak melegakan hati Paksi, penguasaan tubuh, kelenturan dan ketahanannyalah yang bertambah-tambah. Justru karana adik Paksi itu melakukan latihan, meskipun sendiri tanpa tuntunan orang lain, maka ketahanan tubuhnyalah yang menjadi semakin tinggi. Demikian pula penguasaan dan kelenturan tubuh itu.
Paksi membiarkan adiknya bergerak beberapa lama. Sejauh dapat dilakukan, maka adiknya itu pun sudah melakukannya.
Menurut Paksi, hasilnya tidak mengecewakan.
Demikian tubuh adiknya itu sudah menjadi basah kuyup, seakan-akan baru saja kehujanan lebat, Paksi pun segera menghentikannya.
Adik Paksi itu pun kemudian mengurangi kecepatan geraknya. Perlahan-lahan. Kemudian sekedar menjadi gerakan tangan untuk mengatur pernafasannya. Sehingga akhirnya berhenti sama sekali.
“Bagus” desis Paksi.
“Kakang hanya ingin menyenangkan hatiku”
“Tidak. Tetapi aku benar-benar melihat sesuatu pada dirimu. Ketahanan, penguasaan dan kelenturan tubuhmu cukup baik. Karena itu kau harus berusaha meningkat sendiri dengan melakukan latihan-latihan setiap hari”
“Bagaimana aku dapat melakukannya dengan baik kakang. Aku hanya memiliki bekal yang tidak berarti sama-sekali.
“Lakukan apa yang dapat kau lakukan. Bahkan kau jangan mengada-ada. Itu akan dapat membahayakan dirimu sendiri. Yang penting bagimu dalam keadaanmu sekarang ini adalah menyempurnakan yang sudah kau miliki. Kau tingkatkan daya tahan, penguasaan serta kelenturan tubuhmu”
“Aku tidak tahu caranya, kakang”
Paksi termangu-mangu sejenak. Lalu katanya, “Baiklah. Aku tunjukkan kepadamu, bagaimana kau harus melakukannya.
Wajah adik Paksi itu menjadi cerah, la berharap bahwa kakaknya akan dapat memberikan petunjuk-petunjuk agar bekal yang dimilikinya dapat bertambah meskipun sedikit.
Paksi pun kemudian melangkah ketengah sanggar, itu. Ia pun mulai dengan gerak-gerak dasar sebagaimana dimiliki oleh adiknya. Namun kemudian ada beberapa unsur gerak yang baru yang belum dikenalnya sebelumnya.
Dengan sungguh-sungguh adik Paksi itu menirukannya. Terasa sesuatu yang bergetar pada tubuhnya, seakan-akan sebuah simpul yang sebelumnya tertutup telah terbuka karenanya.
Ketika adik Paksi itu kemudian melakukan unsur gerak itu berulang-ulang, maka akhirnya ia pun memahaminya.
“Lakukanlah disamping unsur-unsur yang telah kau kuasai” berkata Paksi, “memang masih belum banyak berarti dalam ilmu kanuragan. Tetapi setidak-tidaknya tubuhmu akan menjadi bertambah baik. Seimbang dan lebih dari itu, kau dapat menguasai dirimu, tubuhmu dan kelenturannya pun akan bertambah. Dengan demikian pada saatnya kau benar-benar mempelajari ilmu kanuragan, maka kau akan dapat dengan cepat menyadapnya”
“Terima-kasih kakang”
“Setiap aku mempunyai kesempatan untuk pulang, aku akan dapat menambah sedikit demi sedikit. Kau tentu akan semakin kuat, daya tahanmu semakin tinggi dan kau benar-benar akan menguasai dan menjaga kelenturan tubuhmu”
“Ya, kakang”
“Itu adalah bekal yang paling baik bagimu jika kau kelak benar-benar memasuki sebuah perguruan. Lebih lebih jika kau diperkenankan ayah memasuki perguruanku”
“Tentu boleh. Ayah sudah mengatakan, bahwa kelak aku akan dikirim ke perguruan kakang jika keadaannya sudah mapan”
“Syukurlah. Tetapi agaknya ayah tidak begitu senang terhadap perguruanku”
Adiknya termangu-mangu, sementara Paksi pun berkata, “Bukankah ayah telah mengatakan bahwa aku justru akan ditarik dari perguruan itu”
Adiknya menarik nafas dalam-dalam. Sedang Paksi berkata selanjutnya, “Aku tidak mengerti, kenapa tiba-tiba ayah berniat demikian. Sebelum kami membuka hutan Jabung, ayah termasuk salah seorang yang mendorong agar kami segera membuka bagian tepi hutan Jabung untuk membangun sebuah padepokan”
“Mungkin ayah menjadi cemas, bahwa serangan seperti yang pernah terjadi itu akan terulang”
“Setidak-tidaknya untuk saat ini, tidak akan ada yang berani mengutik-utik padepokan itu. Gerombolan-gerombolan serta perguruan-perguruan yang terlibat telah dihancurkan. Demikian pula pasukan Harya Wisaka”
“Ya, kakang”
“Yang dalam serangan itu tidak nampak adalah Repak Rembulung dan Pucuk Rembulang. Apakah ia memang tidak dapat, atau para cantrik dan para prajurit tidak dapat mengenali ciri-cirinya sehingga mereka menduga bahwa keduannya tidak nampak di arena pertempuran di hutan Jabung itu”
“Tetapi aku akan mohon kepada ayah, agar aku diperkenankan untuk memasuki perguruan itu. Kakang sendiri nampaknya telah dapat menguasai ilmu sampai tataran yang memadai.
“Aku pun berharap agar aku tidak ditarik dari perguruan itu”
“Apa sebenarnya maksud ayah?”
“Entahlah”
“Paksi lah yang kemudian mengajak adiknya keluar dari sanggar. Keduanya pun kemudian duduk dibawah sebatang pohon gayam yang tinggi di halaman belakang.
Ketika matahari semakin turun di sisi Barat, maka Paksi pun segera teringat, bahwa ia harus kembali ke barak.
Sesudah minta diri kepada ayah, ibu dan adik-adiknya, maka Paksi pun segera melarikan kudanya menuju ke hutan Jabung. Ia tidak ingin kemalaman di perjalanan.....
Dalam pada itu, ayah Paksi memang nampak terlalu gelisah. Tetapi ia tidak mengatakan kepada siapa pun kenapa ia menjadi demikian gelisah. Juga kepada Nyi Tumenggung itu selalu ganti bertanya, “Aku kenapa? Bukankah aku tidak apa-apa?”
Nyi Tumenggung memang tidak dapat memaksa suami untuk berbicara. Jika terjadi salah paham, maka Ki Tumenggung itu justru akan dapat menjadi marah kepadanya.
Karena itu, Nyi Tumenggung memang merasa lebih baik untuk menunggu sehingga pada suatu saat Ki Tumenggung menceriterakan persoalannya kepadanya.
Dalam pada itu, ketika Paksi telah berada di hutan Jabung, maka ia pun telah menceriterakan rerasan ayahnya kepada Ki Panengah dan Ki Waskita.
“Kecemasan seorang ayah, Paksi” berkata Ki Panengah, “peristiwa yang baru saja terjadi di padepokan ini agaknya telah membuat ayahmu menjadi sangat cemas, bahwa peristiwa serupa akan terjadi lagi. Bahkan mungkin dalam peristiwa serupa, kau tidak berhasil menyelamatkan diri”
Paksi mengangguk-angguk. Sementara Ki Waskita berkata, “Sudahlah, Paksi. Jangan terlalu kau pikirkan. Seperti dikatakan oleh gurumu, ayahmu dihinggapi oleh kecemasan itu. Tetapi setelah keadaan menjadi tenang kembali, serta peristiwa itu sudah dilupakannya, maka ia tidak akan mempersoalkannya lagi”
Paksi mengangguk-angguk. Katanya, “Ya, guru. Mudah-mudahan ayah segera melupakannya”
Dihari-hari berikutnya Paksi telah melakukan kewajibannya bersama-sama dengan saudara-saudara seperguruannya. Diantara mereka terdapat Pangeran Benawa dan Raden Sutawijaya. Agaknya kegelisahan Paksi yang mencengkam jantungnya itu tidak dapat diredamnya sendiri, sehingga ia pun telah membicarakannya dengan Pangeran Benawa, seorang yang sudah demikian akrabnya dengan dirinya, setelah mereka melakukan pengembaraan bersama-sama. Bahkan ia tidak merahasiakannya pula kepada Raden Sutawijaya.
Tetapi seperti Ki Panengah dan Ki Waskita, keduanya juga berusaha menenangkan hatinya. “Beberapa hari lagi, ayahmu tentu sudah melupakannya”
Namun dalam pada itu, Raden Sutawijaya pada kesempatan lain berkata pada Pangeran Benawa, “Agaknya ada hubungannya dengan perintah khusus Harya Wisaka untuk membunuh Paksi”
Pangeran Benawa mengangguk-angguk. Hampir diluar sadarnya ia bergumam, “Apa sebenarnya yang dikehendaki ayah Paksi itu terhadap anaknya. Hampir dua tahun yang lalu, saat itu Paksi masih terlalu muda serta landasan ilmunya masih sangat terbatas, ayahnya telah memerintahkannya untuk mencari cincin yang disebut-sebut hilang dari istana itu. Bukankah sikap ayah Paksi itu tidak masuk akal? Sementara itu, kawan-kawannya, juga anak-anak Tumenggung, yang sebaya dengan umurnya masih asyik bermain seperti kanak-kanak. Berkumpul di alun-alun dengan membawa kuda masing-masing. Melarikan kuda-kuda mereka di sepanjang jalan tanpa menghiraukan orang-orang lewat yang menjadi ketakutan. Sementara Paksi harus bergulat mengatasi bahaya maut yang selalu mengintipnya”
“Apakah Ki Panengah dan Ki Waskita tidak mengetahui alasan yang sebenarnya kenapa Paksi mengalami perlakuan yang demikian?”
“Agaknya banyak yang mereka ketahui. Tetapi yang mereka ketahuinya itu masih tetap saja mereka rahasiakan. Keduanya memang serba sedikit telah memberitahukan kepadaku. Tetapi terbatas pada hubungan yang kurang baik antara ayah dan anak. Ki Waskita pulalah yang membawa aku menemui Paksi didalam pengembaraan itu dan bahkan membayangi perjalanan kami”
Raden Sutawijaya mengangguk-angguk. Katanya, “Pada suatu saat, rahasia ini akan tersibak. Aku bahkan menghubungkan hubungan buruk antara ayah dan anaknya itu sudah sedemikan jauhnya, sehingga aku telah menghubungkan hal itu dengan perintah khusus paman Harya Wisaka. Tetapi aku tidak berani mengatakan panggraitaku itu kepada Paksi. Jika aku keliru, maka Paksi akan dapat menjadi salah paham terhadapku”
“Aku juga berpikir sejauh itu, kangmas. Juga berdasarkan dugaan bahwa ayah Paksi itu mempunyai hubungan dengan Harya Wisaka”
Raden Sutawijaya mengangguk-angguk. Namun katanya kemudian, “Tetapi juga dapat terjadi, bahwa seperti yang dikatakan, perintah itu memang datang dari Harya Wisaka yang tidak senang melihat hubungan Paksi dengan kita. Karena dengan demikian Paksi akan menjadi sangat berbahaya karena Paksi akan dapat membuka rahasia hubungan Harya Wisaka dengan ayah Paksi”
“Setahu ayah Paksi?”
Raden Sutawijaya menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “kasihan Paksi. Tetapi tentu ada rahasia yang menyelimuti keluarganya. Persoalannya tambah berbelit karena ayahnya berhubungan dengan Harya Wisaka yang sekarang tertangkap”
Sementara itu Paksi sendiri masih juga dibayangi oleh sikap ayahnya yang sulit untuk dimengerti. Sejak kanak-kanak Paksi tidak pernah membantah perintah ayahnya. Bahkan perintah ayahnya yang sangat sulit untuk dilakukannya, dilakukannya juga. Untunglah bahwa ibunya banyak melindungi dan membantunya, sehingga Paksi masih juga merasa dirinya keluarga Ki Tumenggung Sarpa Biwada. Demikian pula sikap adik-adiknya yang manis kepadanya. Sehingga puncak dari perintah ayahnya yang tidak masuk akal itu ialah memerintahkannya mencari cincin kerajaan yang hilang itu.
Kini ayahnya juga sudah mulai berbicara tentang kemauannya yang tidak masuk akal. Menarik Paksi dari perguruannya.
Tetapi kali ini Paksi sudah bertekad untuk tidak mematuhi perintah ayahnya. Jika ayahnya tetap memerintahkannya untuk mundur dari perguruannya, maka Paksi tidak akan mematuhinya, apa pun akibatnya.
“Mungkin aku akan diusir ayah dari rumah” berkata Paksi didalam hatinya.
Paksi sendiri tidak akan terlantar karena ia akan berada di padepokannya. Tetapi jika demikian halnya, maka ia akan terpisah dari ibu dan adik-adiknya.
Tetapi di padepokan ia mempunyai lebih banyak saudara. Para cantrik dan lebih-lebih lagi ada Pangeran Benawa dan Raden Sutawijaya. Tetapi Paksi pun tahu, bahwa keberadaan Pangeran Benawa dan Raden Sutawijaya di perguruan itu tentu tidak akan terlalu lama. Jika Padepokan yang sebenarnya sudah siap untuk ditempati, maka agaknya Pangeran Benawa dan Raden Sutawijaya itu akan meninggalkan padepokan. Paksi pun tahu bahwa kehadiran Pangeran Benawa dan Raden Sutawijaya adalah usaha untuk memacu para cantrik agar mereka menjadi lebih bersungguh-sungguh.
Kehadiran Pangeran Benawa dan Raden Sutawijaya adalah ujud dari restu Kangjeng Sultan dan Ki Gede Pemanahan.
Dalam pada itu, hari-hari Paksi berikutnya diisinya dengan kerja bersama para cantrik dan bahkan juga Pangeran Benawa dan Raden Sutawijaya. Para cantrik yang baru sembuh dari luka-lukanya masih diminta untuk beristirahat meskipun mereka ingin sekali segera terlibat dalam kesibukan. Mereka yang benar-benar telah sembuh, diberi kesempatan untuk melakukan tugas-tugas yang lebih ringan.
Seperti yang dikatakan oleh Paksi kepada ayahnya, meskipun para cantrik itu sibuk dalam kerja membangun padepokan bersama para prajurit yang diperbantukan kepada mereka, para cantrik itu pun telah mendapat tuntunan untuk meningkatkan ilmu mereka. Pagi-pagi sekali dan lewat sore hari.
Namun Ki Panengah dan Ki Waskita telah memperhitungkan tenaga para cantrik agar mereka tidak memaksa diri untuk bekerja dan belajar serta berlatih melampaui kekuatan wadag mereka, sehingga kerja yang keras itu tidak justru merusak unsur ke wadagan mereka justru diumur-umur mereka yang masih muda itu.
Dalam pada itu, setelah pertempuran terjadi di hutan Jabung, maka ada beberapa orang tua dari para cantrik yang memerlukan datang untuk menengok anak-anak mereka. Apalagi mereka yang berniat untuk menarik anak mereka dari perguruan itu.
Bahkan para orang tua itu justru telah mendorong dan membesarkan hati anak-anaknya.
Sebenarnyalah bahwa Ki Panengah bukan seorang guru yang menutup diri. Karena itu, ia tidak berkeberatan menerima orang tua para cantrik yang ingin melihat keadaan anak-anaknya. Tetapi dalam batas yang wajar, sehingga mereka tidak mengganggu ketekunan anak-anak itu. Atau bahkan mengurangi rasa kemandirian mereka sehingga mereka masih banyak menggantungkan diri kepada orang tua mereka. Tetapi Ki Panengah pun tidak ingin memisahkan mereka dari keluarga mereka sehingga hubungan para cantrik dan keluarganya menjadi asing.
Dalam kesibukan kerja itu, Ki Panengah telah menerima kedatangan seorang yang mengaku sebagai utusan K i Tumenggung Sarpa Biwada untuk menemui Paksi.
“Apa ada persoalan yang penting?” bertanya Ki Panengah.
“Mungkin sekali, Ki Panengah. Aku hanya mendapat pesan untuk menyampaikannya kepada Paksi, bahwa Paksi diminta untuk pulang hari ini”
Ki Panengah menarik nafas panjang. Tetapi dipanggilnya juga Paksi untuk menemui utusan ayahnya itu.
“Kau paman” desis Paksi demikian ia menemui orang itu.
“Ya, ngger. Aku mendapat perintah dari Ki Tumenggung untuk minta angger hari ini pulang. Besok pagi angger dapat kembali lagi ke padepokan ini”
Paksi menarik nafas dalam-dalam. Ia pun kemudian berpaling kepada Ki Panengah untuk minta pertimbangan.
Ki Panengah itu tersenyum sambil berkata, “Pulanglah. Bukankah ayahmu berpesan, bahwa besok pagi kau sudah boleh kembali kepadepokan ini”
Paksi mengangguk sambil berdesis, “Ya, guru”
Namun Paksi pun kemudian berkata kepada utusan itu, “Paman. Kembalilah. Katakan kepada ayah, bahwa aku akan pulang hari ini. Tetapi masih ada sesuatu yang harus aku selesaikan”
“Tetapi kau akan benar-benar pulang hari ini, Paksi”
“Ya. Aku pasti pulang”
Orang itu pun kemudian minta diri untuk mendahului pulang dan memberitahukan kepada Ki Tumenggung atas kesediaan Paksi untuk pulang hari itu juga.
Sepeninggal utusan ayahnya itu, maka Paksi pun telah minta diri kepada Ki Panengah, Ki Waskita, Pangeran Benawa dan Raden Sutawijaya serta saudara-saudara seperguruannya.
“Bukankah kau besok akan kembali, Paksi?” bertanya salah seorang saudara seperguruannya.
“Ya. Besok pagi aku akan kembali ke padepokan ini”
Namun ketika Paksi sudah siap untuk berangkai, Ki Waskita pun berpesan, “Paksi. Kau telah ditempa dengan laiihan-latihan yang berat. Sebenarnya ilmumu sudah lengkap. Kau tidak memerlukan lagi berguru kepada siapa pun juga dengan cara yang terbiasa dilakukan dalam perguruan yang terbuka. Kau memerlukan satu atau dua orang guru yang khusus. Tetapi sebenarnyalah ilmumu sudah memadai, sehingga kau telah memiliki alat pelindung yang baik bagi dirimu sendiri. Pengalamanmu pun juga sudah cukup luas. Kau sudah mengenali berbagai macam ilmu dari berbagai macam perguruan yang mempunyai landasan yang berbeda. Setidak-tidaknya kau pernah melihat dan memperhatikan berbagai jenis ilmu. Karena ilu, aku percaya bahwa kau mampu melindungi dirimu sendiri terhadap orang lain asal mereka tidak memiliki tingkatan ilmu yang khusus sebagaimana Pangeran Benawa dan Raden Sutawijaya”
Paksi mengangguk-angguk. Sementara Ki Panengah berkata Bawa Tongkatmu. Senjata itu seakan-akan telah menyatu dengan tanganmu”
“Baik guru” sahut Paksi sambil mengangguk hormat. Demikianlah, maka sejenak kemudian Paksi pun telah melarikan kudanya dengan kencang menuju ke Pajang.
Disepanjang jalan Paksi tidak kehilangan kewaspadaannya. Mungkin ada orang yang berniat buruk. Bahkan mungkin para pengikut Harya Wisaka yang sudah tertangkap. Meskipun orang yang datang memanggilnya sudah dikenalnya, tetapi hubungan ayahnya dengan Harya Wisaka membuat Paksi harus berhati-hati.
Bagaimanapun juga kecurigaan Paksi terhadap ayahnya sulit untuk disisihkannya, bahwa ayahnya adalah salah seorang pendukung Harya Wisaka apa pun alasannya.
Namun ternyata Paksi tidak mengalami hambatan di perjalanan. Sebelum senja, Paksi telah berada dirumahnya.
Demikian ia masuk lewat pintu seketeng, maka yang pertama kali ditemuinya adalah ibunya.
“Ibu, ayah memanggil aku pulang hari ini”
Ibunya mengangguk.
“Apakah ada sesuatu yang penting?”
“Aku kurang tahu, Paksi. Tetapi ayah sekarang sedang menerima seorang tamu”
“Tamu? Aku tidak melihat seorang pun di pringgitan”
“Ayah menerima tamunya diserambi kanan. Agaknya kau nanti juga akan diperkenalkan dengan tamunya itu”
“Apakah ibu tidak tahu; apakah yang sedang dibicarakan ayah dengan tamunya?”
“Tidak Paksi. Akhir-akhir ini ayahmu menjadi menjadi semakin tertutup. Aku tahu bahwa seorang istri tidak selalu perlu mengetahui seluruh persoalan suaminya, tetapi kadang-kadang terbersit juga keingin-tahuan itu jika terjadi perubahan sikap suaminya”
“Dan ibu tidak bertanya kepada ayah?”
“Aku tidak ingin hubungan keluarga di rumah ini dibayangi oleh kesalahan-pahaman. Karena itu, ibu lebih banyak menunggu saat-saat pintu hati ayahmu terbuka”
Paksi mengangguk-angguk. Namun terasa bahwa ada sesuatu yang memang dirahasiakan oleh ayahnya. Ketika Paksi kemudian masuk keruang dalam, dilihatnya adik laki-lakinya duduk merenung sendiri.
“Dimana adikmu?” bertanya Paksi.
Adik laki-lakinya itu terkejut. Segera ia bangkit dan berdesis, “Kakang?”
“Kenapa kau merenung sendiri disitu?”
Adiknya menggeleng. Namun diwajah itu tidak lagi nampak pencaran kegembiraan masa remajanya.
“Apakah anak ini juga akan mengalami nasib seperti aku?” bertanya Paksi didalam hatinya.
Paksi pun kemudian duduk pula diruang dalam bersama adik laki-lakinya. Dengan nada dalam Paksi bertanya, “Apakah yang dibicarakan oleh tamu itu dengan ayah?”
“Entahlah, kakang. Tetapi agaknya tentang sebuah perguruan. Aku tidak tahu apakah ada hubungannya dengan niat ayah menarik kakang dari perguruan kakang yang sekarang”
Paksi termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Katakan kepada ayah, bahwa aku sudah datang”
Adiknya mengangguk. Ia pun kemudian pergi ke serambi kanan untuk memberitahukan kepada ayahnya, bahwa Paksi sudah datang.
“Suruh ia kemari” sahut ayahnya.
Sejenak kemudian Paksi pun telah duduk bersama dengan ayahnya dan seorang tamu. Seorang yang sudah separo baya. Wajahnya nampak suram. Matanya yang agak redup memandang Paksi dengan pancaran kecurigaan.
“Inikah anak itu?” bertanya orang itu kepada Ki Tumenggung Sarpa Biwada.
“Ya, Ki Semburwangi, inilah anak yang aku katakan itu.
Orang itu mengangguk-angguk. Paksi pun segera mengetahui bahwa orang itu bernama Ki Semburwangi. Dengan nada rendah orang itu berdesis, “Namamu Paksi, kan?”
Paksi mengangguk hormat sambil menjawab, “Ya, Ki Semburwangi”
“Sejak kapan kau berguru kepada Ki Panengah?” bertanya orang itu tiba-tiba.
Paksi terkejut menerima pertanyaan itu. Rasa-rasanya pertanyaan itu begitu tiba-tiba sehingga ia belum siap untuk menjawabnya.
Karena Paksi tidak segera menjawab, maka Ki Tumenggung lah yang menjawabnya, “Sejak tiga atau ampat tahun yang lalu, Ki Semburwangi”
Tetapi Ki Semburwangi itu mengulangi pertanyaannya, “Paksi. Sejak kapan kau berguru kepada Ki Panengah?”
Ki Tumenggung Sarpa Biwada pun tahu, bahwa Paksi lah yang harus menjawabnya. Karena itu, dibiarkannya Paksi yang menjawabnya sendiri.
Debar di dada Paksi sudah mulai mereda. Ia pun kemudian menirukan saja jawab ayahnya, “Sejak sekitar tiga atau ampat tahun yang lalu, Ki Semburwangi”
“Kau haya menirukan jawab ayahmu”
“Sebenarnyalah memang demikian”
“Tetapi kau pernah berhenti berguru lebih dari setahun”
“Ya, Ki Semburwangi”
“Kenapa kau berhenti berguru?”
Paksi termangu-mangu sejenak. Dipandanginya ayahnya yang juga termangu-mangu.
Namun Paksi itu pun kemudian menjawab, “Aku kemudian mengembara lebih dari setahun”
“Kenapa kau mengembara? Kau tentu malas berguru. Kau lebih senang berkeliaran. Bukankah kau menyangka bahwa berkeliaran itu menjanjikan kebebasan kepadamu sehingga kau tidak lagi terikat kepada paugeran-paugeran di sebuah perguruan? Tetapi apa yang kau dapatkan dalam pengembaraanmu itu? Akhirnya kau kembali pulang. Kau sia-siakan saja waktumu yang hampir dua tahun itu. Ketika kau mulai mengembara kau berumur sekitar tujuh belas tahun, sedangkan sekarang kau berumur sembilan belas tahun”
Paksi tidak menjawab. Ia hanya menundukkan kepalanya saja. Ia tidak tahu, apakah ayahnya sudah berbohong tentang masa pengembaraannya, itu, sehingga Ki Semburwangi menyangkanya, bahwa ia sekedar berkeliaran tanpa tujuan”
“Paksi” berkata Ki Semburwangi kemudian, “apakah kau benar-benar ingin berguru?”
Pertanyaan itu juga mengejutkannya. Dengan dahi yang berkerut Paksi pun menjawab, “Aku memang sedang berguru kepada Ki Panengah”
“Omong kosong. Apa yang dilakukan Panengah sekarang? Ia memanfaatkan beberapa orang muridnya itu untuk kepentingannya sendiri. Ia telah berhasil mengelabui Ki Gede Pemanahan, bahkan Kangjeng Sultan sendiri, sehingga ia mendapat kepercayaan yang besar. Bahkan bantuan yang tidak terhitung jumlahnya. Uang, peralatan, bahan-bahan bangunan dan bahan pangan, tenaga dan wewenang. Tetapi jika padepokan itu sudah berdiri, maka segala-galanya itu akan diakunya, seakan-akan miliknya sendiri yang dibuatnya dengan tenaga dan beaya yang dikeluarkannya sendiri”
Paksi mengerutkan dahinya. Ia tidak senang mendengar pendapat itu. Tetapi ketika ia memandang ayahnya sekilas, maka Paksi pun segera menundukkan kepalanya.
“Nah, sekarang aku bertanya kepadamu, apakah kau benar-benar ingin berguru pada sebuah perguruan yang memiliki bobot yang memadai. Bukan sekedar arena untuk memenuhi kepentingan diri sendiri?”
Paksi pun segera mengetahui, persoalan apakah yang sebenarnya sedang dihadapinya. Karena itu, maka sikapnya pun justru menjadi semakin tegas. Ia sudah menentukan sikapnya, bahwa ia tidak akan meninggalkan perguruannya. Karena itu, maka ia pun menjawab, meskipun Paksi harus berhati-hati, “Maafkan Ki Semburwangi. Aku memang ingin berguru dan aku sudah berguru”
“Jawab pertanyaanku” Ki Semburwangi itu membentak, “apakah kau ingin berguru di perguruan yang tepat yang memiliki bobot yang tinggi?”
“Ya. Dan aku sudah berguru pada sebuah perguruan yang tepat dan memiliki bobot yang tinggi”
“Diam kau” Ki Semburwangi itu hampir berteriak, “aku tidak mau mendengar jawaban seperti itu. Jawaban yang tidak jujur dan dapat memberikan arti yang salah. Calon muridku harus jujur. Berani mengatakan apa pun sesuai dengan nalar dan keyakinannya”
Paksi termangu-mangu sejenak. Sementara itu, adik laki-laki Paksi yang kemudian berada di ruang dalampun terkejut. Ia mendengar tamu ayahnya itu membentak keras.
“Apa yang terjadi?” bertanya anak muda itu didalam hatinya.
Paksi memang terdiam sejenak. Jantungnya menjadi berdebar-debar. Sekilas-sekilas dipandanginya wajah ayahnya. Namun ia tidak dapat membaca apa sebenarnya maksud ayahnya.
“Sekarang, jawab pertanyaanku dengan jujur. Apakah kau ingin berguru pada seorang guru yang mumpuni yang memimpin sebuah perguruan yang namanya sudah semerbak diseluruh Pajang? Perguruan yang telah berhasil menempa puluhan orang-orang terkenal dan disegani diseluruh Pajang?”
Tiba-tiba saja Paksi justru ingin tahu, apa yang akan dikatakan orang itu selanjurnya. Karena itu, maka ia pun menjawab singkat, “Ya”
“Nah, kejujuran dengan penalaran yang matang seperti itulah yang aku inginkan dari sikap seorang murid yang baik”
Paksi tidak menyahut. Tetapi ia harus mengatur perasaannya menghadapi persoalan yang akan menjadi semakin rumit apabila ayahnya ikut menyatakan sikapnya.
Namun dalam pada itu, jantung Paksi pun tergetar ketika ia mendengar orang yang bernama Ki Semburwangi itu berkata, “Tetapi tidak mudah untuk dapat menjadi murid dari perguruanku. Aku mendapat wewenang sepenuhnya dari Ki Ajar Wisesa Tunggal untuk menilai apakah kau pantas atau tidak pantas untuk diterima di perguruan kami”
Jantung Paksi menjadi semakin cepat bergelar. Kepada Ki Tumenggung Sarpa Biwada, Ki Semburwangi itu berkata, “Ki Tumenggung. Anak Ki Tumenggung agak meragukan bagi perguruan kami. Ia sudah mulai dengan sikap yang tidak jujur, meskipun sikap itu kemudian diperbaikinya. Karena itu, untuk membuat pertimbangan yang mapan, maka aku ingin tahu, apa saja yang pernah diterimanya dari gurunya diperguruan yang sama sekali tidak berbobot sebagaimana perguruan Ki Panengah”
Wajah Ki Tumenggung berkerut. Hampir diluar sadarnya ia pun bertanya, “Apakah dengan demikian dapat berarti bahwa Paksi mungkin ditolak?”
“Aku ingin melihat. Jika ternyata terdapat banyak kekurangannya, serta sikapnya yang tidak jujur itu, maka Paksi akan dapat diterima dengan syarat”
Ki Tumenggung menarik nafas panjang.
Dari pembicaraan itu, Paksi dapat menarik kesimpulan, bahwa ayahnya telah memutuskan untuk memindahkan Paksi dari perguruannya ke sebuah perguruan lain yang agaknya dipimpin oleh orang yang disebut Ki Ajar Wisesa Tunggal. Sedangkan Ki Semburwangi adalah salah seorang kepercayaan Ki Ajar Wisesa Tunggal.
“Ki Tumenggung” berkata Ki Semburwangi, “apakah Ki Tumenggung mempunyai sanggar yang memadai?”
“Maksud Ki Semburwangi?”
“Kita akan pergi ke sanggar. Aku akan menilai kemampuan Paksi dalam olah kanuragan. Ki Tumenggung tidak usah menjadi cemas, jika sesuatu terjadi atas Paksi. Aku akan dapat mempertimbangkan sejauh mana aku akan mengujinya”
“Baiklah, Ki Semburwangi” jawab Ki Tumenggung, “di belakang ada sebuah sanggar kecil. Aku tidak tahu apa sanggar kecil itu memadai atau tidak”
“Baiklah” berkata Ki Semburwangi. Lalu katanya kepada Paksi, “kita akan pergi ke sanggar. Aku melihat kesombongan di matamu. Juga dalam sikapmu yang tidak jujur itu. Nah, karena itu, maka aku ingin meredam kesombonganmu itu dan mengetahui, apakah kau memiliki bekal yang memadai untuk menyombongkan diri. Baru kemudian aku akan menentukan, apakah kau langsung dapat diterima menjadi murid di perguruan kami atau harus menempuh berbagai macam syarat”
Paksi tidak menjawab. Ketika ia memandang ayahnya, maka ayahnya itu pun berkata, “Kita pergi ke sanggar, Paksi. Jika saja kau bersikap jujur dan tidak sombong, maka penilikan seperti ini tidak perlu”
Paksi tidak menjawab. Tetapi getar di jantungnya itu justru semakin terasa.
“Apakah sebenarnya yang dikehendaki oleh ayah? Apakah ini merupakan satu permainan yang gagasannya timbul dari kepala Harya Wisaka, yang meskipun sudah berada didalam tahanan?” bertanya Paksi didalam hatinya, “tetapi tidak seorang pun diperkenankan menemui Harya Wisaka. Bahkan isterinya pun tidak. Dan seandainya demikian, apalagi sampai pada rencana pembunuhan, apakah ayah sama sekali tidak berkeberatan?”
Paksi pun kemudian teringat akan kecemasannya saat ia harus pergi mencari cincin itu. Pada saat itu ia pun bertanya didalam hati, apakah ayahnya memang ingin menyingkirkannya.
Pertanyaan yang serupa kini telah tumbuh lagi. Tetapi agaknya ayahnya telah mempergunakan cara yang lebih langsung.
Namun Paksi pun kemudian berkata didalam hatinya, “Tidak. Seandainya ayah ingin menyingkirkan aku, ayah tidak perlu membunuhku dengan cara ini. Apalagi dirumah sendiri sehingga ibu dan adik-adikku dapat melihatnya. Bukankah keberadaanku di perguruanku itu juga sudah merupakan satu kenyataan bahwa aku tidak berada dirumah?”
Tetapi pikiran Paksi merambat semakin jauh lagi, “Meskipun aku pergi, tetapi selagi aku masih hidup, maka pada suatu saat aku akan kembali lagi ke rumah ini. Tetapi bukankah diperguruan yang baru ini, pada suatu saal juga kemungkinan aku pulang? Atau aku akan mati di perguruan yang baru itu dengan seribu macam alasan?”
Tetapi Paksi tidak sempat merenung berlama-lama. Ia pun kemudian bersama ayah dan tamunya pergi ke sanggar dibelakang. Sanggar yang bersih dan tertata rapi. Namun justru menunjukkan bahwa sanggar itu jarang sekali dipergunakan dengan bersungguh-sungguh.
Adik laki-laki Paksi yang serba sedikit mendengar pembicaraan itu pun segera berlari menemui ibunya dan berceritera bahwa Paksi akan mengalami pendadaran ilmu di sanggar.
“Tetapi bukankah ayahmu juga pergi ke sanggar?”
“Ya, ibu”
“Kenapa kau nampak cemas?”
Adik laki-laki Paksi itu menarik nafas panjang. Namun ia pun kemudian menggeleng sambil menjawab, “Tidak, ibu. Aku tidak cemas”
Ibunya tersenyum sambil berdesis, “Bukankah pendadaran seperti itu wajar-wajar saja”
“Ya, ibu”
Adik Paksi itu pun tidak bertanya lagi. Apalagi kelika adik perempuannya muncul dari longkangan samping. Bahkan adik laki-laki Paksi itu pun kemudian berlari ke halaman belakang.
Ia masih melihat Paksi, orang yang discbul Ki Semburwangi dan ayahnya memasuki sanggar.
Ki Semburwangi yang sudah berada didalam sanggar, memperhatikan isi sanggar itu dengan dahi yang berkerut. Dengan nada tinggi ia berkata, “Sanggar yang sangat sederhana bagi seorang Tumenggung”
“Aku sendiri jarang mempergunakannya” jawab Ki Tumenggung Sarpa Biwada.
“Bukankah Ki Tumenggung seorang prajurit?”
“Ya. Tetapi kesibukanku tidak memungkinkan aku berada di sanggar ini setiap hari”
Ki Semburwangi itu mengangguk-angguk. Lalu katanya kepada Paksi, “Paksi, kau tunjukkan kepadaku, apakah kau pantas menjadi murid diperguruanku”
Paksi termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun menemukan gagasan untuk menghindar dari rencana ayahnya menyerahkan kepada perguruan lain dengan cara tidak semata-mata.
“Kalau aku mengecewakan orang ini, maka aku akan sulit dapat diterima”
Sejenak kemudian, maka Paksi pun sudah melepas bajunya. Ia sudah siap berdiri ditengah-tengah sanggar itu.
“Sekarang, tunjukkan kepadaku, bahwa kau sudah memiliki dasar pengetahuan olah kanuragan. Jika kau dapat menunjukkan yang pantas, maka kau akan dapat aku terima”
Paksi masih termangu-mangu sejenak. Namun kemudian Ki Semburwangi itu pun membentaknya, “Cepat, lakukan. Kenapa kau menjadi bingung”
Paksi pun seperti terbangun. Ia pun dengan tergesa-gesa mulai melangkahkan kakinya dan menggerakkan tangannya. Dengan kasar Paksi menunjukkan kemampuannya dalam olah kanuragan. Langsung tanpa memanaskan tubuh dan darahnya lebih dahulu.
Tetapi beberapa saat kemudian, tata gerak Paksi justru mengendor. Geraknya tidak lagi cepat dan mapan. Bahkan kadang-kadang ia telah membuat kesalahan-kesalahan. Meskipun kesalahan kecil.
Ki Semburwangi itu pun melangkah mendekati Paksi. Tiba-tiba saja ia tertawa sambil berkata, “Inikah murid Ki Panengah yang dipercaya oleh Kangjeng Sultan Hadiwijaya serta Ki Gede Pamanahan untuk membuka sebuah perguruan bagi anak-anak para pemimpin di Pajang?”
Paksi pun tiba-tiba berhenti dan bergeser surut. Dengan kepala tunduk ia berdiri termangu-mangu.
“Ki Tumenggung. Kau lihat sendiri, bagaimana anakmu ini menunjukkan kemampuannya setelah berguru sekitar tiga ampat tahun”
Tetapi Ki Tumenggung nampaknya mengetahui cara Paksi untuk menolak agar ia tidak dipindahkan dari perguruannya yang lama. Karena itu, maka Ki Tumenggung itu pun berkata, “Ia tidak pernah bersunggung-sungguh, Ki Semburwangi. Itulah sebabnya maka aku ingin anak itu berguru di perguruan Ki Semburwangi, agar ia terbiasa mematuhi peugeran, bersungguh-sungguh dan benar-benar memiliki kemampuan yang tinggi”
“Bukannya tidak bersungguh-sungguh. Tetapi bobot perguruan Panengah memang hanya sampai sekian. Meskipun kemudian anakmu berguru sampai sepuluh atau lima belas tahun, kemampuannya tidak akan meningkat”
“Kemungkinan itu pun telah menjadi pertimbanganku. Bobot yang rendah, kemalasan dan kebodohan”
“Ki Tumenggung. Aku akan memaksa anakmu untuk meningkatkan ilmunya sampai kepuncak kemampuannya. Aku kira, anak ini memang anak yang sangat malas”
“Maksud Ki Semburwangi?”
“Aku akan turun ke arena. Aku tantang anak itu berkelahi. Dengan demikian, ia akan terpaksa meningkatkan ilmu sampai kepuncak kemampuannya. Ia tidak akan bermain-main dengan malas, karena serangan-seranganku benar-benar menyakitinya.
Dahi Ki Tumenggung pun berkerut.
Tetapi Ki Semburwangi pun berkata, “Jangan takut. Anakmu tidak akan mati. Aku hanya akan memaksanya menunjukkan kemampuannya yang sebenarnya. Tanpa dipaksa anak yang malas ini tidak akan melakukannya”
Ki Tumenggung mengangguk-angguk sambil berkata, “Silahkan, Ki Semburwangi. Segala sesuatunya aku serahkan kepada Ki Semburwangi”
Paksi lah yang menjadi berdebar-debar. Ia pun menjadi ragu-ragu. Apakah ia akan tetap menunjukkan kedunguannya sehingga ia tidak akan dapat diterima di perguruan Ki Semburwangi yang dipimpin oleh Ki Ajar Wisesa Tunggal, atau ia akan melindungi dirinya agar tidak disakiti oleh Ki Semburwangi, karena Paksi sadar, bahwa untuk memaksanya meningkatkan ilmunya sampai kepuncak orang itu akan benar-benar menyakitinya.
Tetapi sebelum Paksi dapat memastikan sikapnya, maka Ki Semburwangi pun telah berdiri dihadapannya. Tanpa menyingsingkan kain panjangnya, ia pun berkata, “ Bersiaplah Paksi, aku akan memaksamu menunjukkan kepadaku, tataran kau, tidak akan dapat melakukannya sendiri tanpa dipaksa dengan kekerasan.
Paksi berdiri termangu-mangu. Namun tiba-tiba saja diluar dugaan Paksi, orang itu telah menjulurkan tangannya langsung kearah dada Paksi.
Paksi masih belum bersiap. Ia pun belum memutuskan, apakah ia akan membiarkan dirinya babak belur dan merah biru dan wajahnya menjadi lembab sedang matanya menjadi bengkak, apakah ia harus melawan. Namun jika ia harus melawan, maka ia harus menunjukkan kemampuannya yang sebenarnya.
Dalam kebimbangan itu, pukulan tangan Ki Semburwangi itu pun ternyata mampu mengenai sasarannya. Pukulan itu cukup keras. Tetapi sebenarnya masih mampu diatasi oleh daya tahan Paksi yang tinggi. Namun ternyata Paksi itu membiarkan dirinya terdorong surut selangkah dan kemudian terhuyung-huyung jatuh di tanah.
Ki Semburwangi itu berdiri tegak dengan kaki renggang. Dipandanginya Paksi dengan bibir yang seakan-akan tercibir.
Dari mulurnya terdengar orang itu berkata, “Bangkit murid Panengah. Inikah ukuran keberhasilan perguruanmu itu”
Jantung Paksi menjadi panas. Tiba-tiba saja ia mempunyai gagasan baru. Ia tidak hanya sekedar akan melindungi diri. Tetapi ia benar-benar akan melawan orang itu dengan segenap kemampuannya. Jika aku menang, maka tidak akan pantas baginya untuk menerimaku sebagai murid, karena ilmuku lebih tinggi dari ilmunya. Sebaiknya jika aku kemudian kalah, maka ia tentu akan mengambil beberapa keputusan. Antara lain, aku akan diterima dengan syarat. Aku akan mengalami cobaan yang berlapis, karena orang itu tentu benar-benar akan marah kepadaku”
Tetapi Paksi tidak sempat berpikir lebih panjang. Terdengar Ki Semburwangi itu berteriak lagi, “Bangkit, murid Panengah”
Paksi pun kemudian berusaha untuk bangkit. Sementara Ki Tumenggung Serpa Biwada itu pun berkata, “Paksi, Hanya itulah yang kau miliki setelah kau berguru selama empat tahun”
Paksi tidak menjawab. Tetapi tiba-tiba saja ia cenderung untuk melawan dan bahkan mengalahkan Ki Semburwangi jika mungkin. Karena Ki Semburwangi tentu juga seorang yang berilmu tinggi. Ia adalah seorang yang mendapat kepercayaan dari orang yang menyebut dirinya Ki Wisesa Tunggal yang memimpin perguruannya.
Jika ia ternyata kemudian kalah, apaboleh buat. Tetapi sama sekali tidak terbersit niatnya untuk meninggalkan perguruannya.
Sejenak kemudian, Paksi pun telah berdiri berhadapan dengan Ki Semburwangi. Meskipun Paksi telah bertekad untuk melawan sekuat-kuatnya, namun ia tidak dengan serta-merta meningkatkan ilmunya sampai kepuncak. Ia harus menjajagi kemampuan lawannya untuk menentukan sikap terakhirnya.
Karena itu, maka Paksi pun mulai melawan Ki Semburwangi dari tataran yang paling sederhana, mengimbangi tataran ilmu Ki Semburwangi, karena Ki Semburwangi memang menganggap Paksi baru memiliki dasar-dasar kemampuan olah kanuragan.
Ketika kemudian Ki Semburwangi menyerangnya lagi, Paksi sudah siap untuk menghindar, sehingga serangan Ki Semburwangi tidak mengenai sasarannya.
Ki Semburwangi justru tertawa. Katanya, “Ternyata kau tangkas juga. Kau mampu menghindari seranganku”
Paksi tidak menyahut. Tetapi ia pun sudah bersiap menghadapi serangan-serangan berikutnya, ia sadar sepenuhnya, bahwa Ki Semburwangi tentu akan meningkatkan tataran ilmunya selapis demi selapis.
Sebenarnyalah ketika beberapa kali serangan Ki Semburwangi tidak menyentuh tubuh Paksi, maka Ki Semburwangi pun telah meningkatkan kemampuannya. Serangan-serangannya menjadi semakin cepat dan keras.
Paksi tidak ingin langsung mencengangkan Ki Semburwangi. Selagi tatanan gerak Ki Semburwangi masih sederhana, maka Paksi pun sekali-sekali membiarkan dirinya dikenai serangan Ki Semburwangi. Ketika kaki Ki Semburwangi terayun menyamping, maka kaki itu telah mengenai lambung Paksi.
Tubuh Paksi itu pun terdorong beberapa langkah surut. Nampaknya Paksi hampir saja kehilangan keseimbangannya. Tetapi Paksi mampu bertahan dan tidak terjatuh di lantai sanggar.
“Bagus” Ki Semburwangi memuji. Namun serangan-serangannya pun kemudian datang beruntun.
Paksi sama sekali tidak mengalami kesulitan. Tetapi ia tidak menunjukkan kemampuannya itu. Beberapa kali Paksi meloncat surut mengambil jarak, kemudian Paksi pun seakan-akan memperbaiki kedudukannya yang menjadi sulit.
“Mari anak muda” berkata Ki Semburwangi, “tunjukkan kemampuanmu sebagai murid Panengah”
Paksi tidak menjawab. Tetapi ia pun mencoba menyerang Semburwangi. Namun setangannya sama sekali tidak mengenai sasaran.
Dengan tangkasnya Ki Semburwangi meloncat menghindar. Ketika Paksi memburunya dan menyerang dengan ayunan tangannya menyamping, maka serangan itu telah ditangkis.
Namun benturan yang terjadi memang agak mengejutkan Ki Semburwangi. Tenaga anak muda itu terasa berat menekan.
Tetapi bagi Ki Semburwangi, tekanan itu hanyalah satu kebetulan. Ia pun yakin, bahwa tangan Paksi tentu juga terasa sakit oleh benturan yang terjadi itu.
Setelah beberapa saat Ki Semburwangi menjajagi kemampuan Paksi, maka Ki Semburwangi itu pun berniat untuk memaksa Paksi mengerahkan kemampuan puncaknya. Kemudian meruntuhkan kesombongan anak muda itu dan memaksanya berlutut dihadapannya serta berserah diri.
Karena itu, maka Ki Semburwangi pun telah meningkatkan ilmunya pula. Ia benar-benar ingin menunjukkan kepada Paksi, bahkan kemampuan Paksi yang telah disadapnya dari Ki Panengah itu bukan apa-apa bagi dirinya.
Paksi merasakan peningkatan ilmu Ki Semburwangi itu. Karena itu, maka Paksi pun telah meningkatkan ilmunya pula untuk mengimbangi kemampuan Ki Semburwangi.
Dengan demikian, maka serangan-serangan Ki Semburwangi kemudian telah menggelisahkannya. Paksi pun nampaknya justru menjadi semakin tangkas. Tingkat ilmunya yang lebih tinggi itu tidak menekannya dan menyusutkannya dalam kesulitan. Tetapi anak muda itu rasa-rasanya justru menjadi semakin tegar.
Ki Semburwangi menjadi gelisah. Ia memang belum sampai kepuncak ilmunya. Tetapi bahwa untuk melawan anak-anak yang baru mulai belajar olah kanuragan saja, apakah ia harus mengerahkan ilmunya?
Tetapi Ki Semburwangi memang menjadi semakin gelisah. Serangan-serangannya justru tidak lagi dapat menyentuh tubuh anak muda itu. Bahkan anak muda itu mulai membalas menyerangnya. Serangan-serangannya semakin lama justru menjadi semakin berbahaya.
“Aku harus benar-benar menghajar anak yang sangat sombong ini” gerang Ki Semburwangi didalam hatinya.
Karena itu, maka ia telah meningkatkan tataran ilmunya selapis lagi. Dengan garangnya ia menyerang Paksi seperti banjir bandang.
Tetapi ternyata Ki Semburwangi tidak mampu memecahkan pertahanan Paksi. Serangan-serangannya masih saja belum dapat mengenai sasarannya. Bahkan Ki Semburwangi itu terkejut bukan kepalang, ketika tiba-tiba saja kaki Paksi telah mengenai lambungnya.
Dengan serta-merta, hampir diluar sadarnya, Ki Semburwangi itu meloncat surut untuk mengambil jarak, sementara Paksi tidak memburunya. Seakan-akan Paksi sengaja memberikan kesempatan kepada Ki Semburwangi untuk meyakini apa yang baru saja terjadi.
Namun dalam pada itu, Paksi sudah memperhitungkan masak-masak. Ki Semburwangi akan dapat menjadi sangat marah dan bertempur bersungguh-sungguh. Tetapi jika itu yang terjadi, apaboleh buat. Ia sudah bersiap untuk menghadapinya dan siap pula menanggung akibatnya. Bahkan seandainya Ki Semburwangi itu akan membunuhnya.
Sejenak Ki Semburwangi berdiri tegak sambil memandang Paksi dengan tajamnya. Dengan suara parau Ki Semburwangi itu pun berdesis, “Kau ternyata benar-benar anak yang sombong”
Adalah diluar dugaan pula bahwa Paksi berani menjawab, “Aku adalah murid Ki Panengah. Aku hanya ingin menunjukkan tataran kemampuan murid Ki Panengah. Bukankah itu yang kau kehendaki sejak tadi? Beberapa kali kau sebut nama guruku”
“Cukup” bentak Ki Semburwangi, “aku akan memaksamu bertekuk lutut dihadapanku. Tetapi itu pun belum pasti, bahwa kau akan dapat aku terima sebagai muridku”
“Paksi” berkata Ki Tumenggung, “kau jangan berbuat sebodoh itu. Kau memerlukan seorang guru yang mumpuni”
“Aku memang sedang menjajaginya ayah”
“Setan kau” gaeram Ki Semburwangi.
“Jika kau berhak menjajagi kemampuan calon muridmu, aku pun berhak menjajagi calon guruku. Jika kau berhak menolak aku karena tidak memenuhi syarat yang kau tetapkan, aku pun mempunyai wewenang untuk memilih seorang guru yang aku anggap pantas karena ilmunya jauh melampaui ilmuku”
“Kenapa tiba-tiba saja kau menjadi seperti orang kesetanan, Paksi?” ayahnyalah yang hampir berteriak.
Paksi pun menjawab tanpa berpaling, “Aku adalah murid Ki Panengah”
Tetapi sebelum mulut Paksi terkatup, Ki Semburwangi itu telah meloncat menyerangnya. Kakinya terjulur lurus mengarah ke dada Paksi.
Namun Paksi sudah siap menghadapinya. Karena itu dengan cepat ia bergeser ke samping sambil memiringkan tubuhnya sehingga serangan itu tidak mengenainya. Tetapi dengan cepat, Ki Semburwangi menggeliat. Bertumpu pada kakinya yang baru saja menyentuh tanah, ia berputar. Kakinya yang lain terayun mendatar dengan derasnya.
Tetapi Paksi dengan cepat merendahkan diri sehingga kaki lawannya terayun diatas kepalanya.
Sementara itu, Paksi pun telah menjatuhkan dirinya. Tangannya menapak lantai sanggar sedang kakinya menyapu kaki Ki Semburwangi dengan derasnya.
Serangan yang tidak terduga itu sangat mengejutkan pula. Tetapi Ki Semburwangi terlambat mengelak. Karena itu, sapuan itu telah menghentak kakinya demikian kerasnya, sehingga Ki Semburwangi itu terpelanting.
Ki Semburwangi itu berguling menjauh sambil meloncat bangkit. Demikian ia tegak diatas kedua kakinya, maka ia pun telah bersiap menghadapi serangan Paksi.
Paksi pun tidak melewatkan kesempatan itu. Dengan cepat Paksi meloncat menyerang. Tangannya terayun mengarah ke kening. Namun Ki Semburwangi sempat menangkis serangan itu. Dengan garangnya, ia pun berganti menyerang. Tangannya terjulur lurus mengarah kedada Paksi.
Tetapi Paksi pun menepis tangan itu ke samping. Sementara kakinya terjulur lurus ke arah lambung.
Ki Semburwangi meloncat selangkah surut sehingga kaki Paksi tidak sempat menggapainya. Namun demikian kakinya menyentuh lantai, Ki Semburwangi itu bagaikan dilontarkan, meluncur dengan cepat dengan kaki terjulur menyamping.
Tetapi Paksi pun sempat mengelak, sehingga serangan Ki Semburwangi itu tidak menyentuhnya sama sekali.
Dalam pada itu, wajah Ki Tumenggung Sarpa Biwada menjadi semakin tegang. Ia sama sekali tidak menduga, bahwa Paksi memiliki ilmu demikian tingginya sehingga mampu mengimbangi ilmu Ki Semburwangi. Namun Ki Tumenggung pun menyadari, bahwa dengan demikian Ki Semburwangi akan menjadi sangat marah dan bahkan mungkin tidak terbendung lagi.
Jika Ki Semburwangi kehilangan kendali, sehingga terjadi malapetaka atas Paksi, maka Ki Tumenggung harus mempertanggung-jawabkannya terhadap keluarganya. Nyi Tumenggung dan anak-anaknya yang lain, yang sangat akrab dengan Paksi akan menuntutnya jika ia tidak mencegahnya.
“Paksi memang gila” geram Ki Tumenggung.
Penjajagan yang dilakukan oleh Ki Semburwangi telah berubah arah. Kemarahan Ki Semburwangi benar-benar membuatnya kehilangan kendali.
Tetapi Paksi pun telah siap menghadapi segala kemungkinan. Didadanya telah menyala pula kebanggaan, bahwa ia adalah murid Ki Panengah dan Ki Waskita yang dikenalnya dimasa pengembaraannya yang panjang.....