“Aku merasa gembira pula, bahwa Ki Waskita telah menyatakan kesediaannya pula untuk bekerja bersama Ki Panengah membina perguruan itu. Dengan demikian aku yakin bahwa perguruan itu akan berkembang dengan baik. Lebih baik dari perkembangannya dimasa sebelumnya” berkata Kanjeng Sultan selanjutnya.
“Hamba akan ikut berusaha, Kangjeng Sultan” sembah Ki Waskita.
Demikianlah, maka kekancingan yang diterima oleh Ki Panengah itu telah membuka lembaran baru bagi perguruan yang dipimpinnya. Di dalam kekancingan itu juga disebutkan, bahwa Ki Panengah telah mendapat wewenang untuk membuka Hutan Jabung menjadi sebuah padepokan beserta lingkungan pendukungnya. Ki Panengah dapat membuka sebidang tanah persawahan, petegalan dan padang rumput untuk membuka peternakan. Sebuah sungai kecil akan dapat mengairi sawah dan pategalannya. Bahkan dapat pula dibuat sebuah belumbang untuk memelihara ikan dan memlihara itik dan angsa.
Namun Ki Panengah telah ditantang untuk bekerja keras. Yang mula-mula dilakukan oleh Ki Panengah adalah mengumpulkan kembali murid-muridnya yang kehilangan gairah setelah Ki Panengah meninggalkan padepokannya unluk waktu yang cukup lama.
Sebenarnyalah para muridnya merasa segan untuk berkumpul dan berguru lagi. Mereka lebih senang mengisi waktu mereka dengan bermain, bergerombol hilir mudik, bahkan kadang-kadang tingkah laku mereka menimbulkan gangguan bagi banyak orang.
Meskipun demikian, mereka datang pula ke rumah Ki Panengah untuk mengetahui, apakah ada perkembangan baru pada perguruannya yang sudah lama menjadi sepi.
Ketika mereka memasuki halaman rumah Ki Panengah, mereka sama sekali tidak menunjukkan sikap seorang murid yang baik yang memasuki perguruannya. Mereka merasa diri mereka adalah anak-anak para pemimpin di Pajang, para perwira dan orang-orang yang berpengaruh.
Karena itu, maka sebagian diantara mereka yang datang berkuda, tidak mau turun dari kudanya ketika kuda itu memasuki halaman rumah Ki Panengah.
Namun keringat mereka segera membasahi pakaian mereka ketika mereka melihat Pangeran Benawa dan Raden Sutawijaya duduk diatas sehelai tikar pandan yang dibentangkan di pendapa.
“Apakah benar Pangeran Benawa dan Raden Sutawijaya yang duduk di pendapa itu?”
“Ya” jawab seorang kawannya yang juga menjadi sangat gelisah.
Namun agaknya Pengeran Benawa dan Raden Sutawijaya tidak menghiraukan mereka. Keduanya duduk dengan tertib dihadapan Ki Panengah. Di belakang mereka, Paksi pun duduk dengan kepala tunduk.
Dengan jantung yang berdebaran, anak-anak muda murid perguruan Ki Panengah itu pun naik ke pendapa pula. Mereka pun kemudian duduk dengan tertib pula. Seorang diantara mereka berdiri di regol halaman memperingatkan kawan-kawan mereka yang baru datang, agar mereka memasuki regol dengan tertib.
Tetapi dua orang anak muda yang bengal tidak mau turun dari kuda mereka. Ketika kawan mereka yang berdiri dipintu mencoba memperingatkan mereka, maka keduanya justru tertawa keras-keras sehingga tubuhnya terguncang-guncang.
“Untuk apa Pangeran Benawa dan Raden Sutawijaya berada di rumah kakek tua ini”
“Aku tidak tahu, tetapi mereka ada disini”
“Kau akan mempermainkan aku, he?” bertanya seorang yang bertubuh tinggi besar.
“Tidak tetapi aku berkata yang sebenarnya”
“Minggir kau, atau tubuhmu akan dikoyak oleh kaki-kaki kudaku he?”
Anak muda yang berdiri diregol itu tidak mencegahnya lagi. Ia justru berharap agar keduanya tetap saja berkuda sampai ketangga pendapa.
Ketika keduanya memasuki halaman rumah, maka dilihatnya beberapa orang kawannya telah duduk pula dengan tertib dipendapa. Tetapi mereka tidak segera melihat Pangeran Benawa dan Raden Sutawijaya diantara mereka.
Seperti yang diharapkan kawannya yang berdiri diregol, maka keduanya memang masih tetap berada dipunggung kuda mereka sampai kuda-kuda mereka mendekati tangga pendapa.
Tetapi wajah mereka menjadi pucat ketika mereka melihat, Pangeran Benawa dan Raden Sutawijaya memang ada di pendapa rumah gurunya itu pula. Bahkan Pangeran Benawa telah bangkit berdiri sambil berkata, “Ampun guru. Aku perlu berbicara dengan kedua anak muda yang tidak tahu adat itu. Aku masih memaafkan mereka yang datang terdahulu. Tetapi kedua anak muda ini sama sekali tidak mendengarkan meskipun kawannya yang berdiri diregol itu sudah memperingatkan mereka. Bukan karena aku dan kakangmas Sutawijaya ada disini tetapi berkuda di halaman, apalagi halaman rumah orang tua, adalah satu perbuatan yang tidak pantas. Bahkan mereka telah menyebut guru dengan sebutan kakek tua. Aku mendengar dengan jelas pembicaraan mereka karena aku mempunyai kemampuan untuk mendengarnya”
Kedua orang anak muda itu menjadi gemetar. Pangeran Benawa benar-benar bangkit berdiri. Melangkah ke tangga pendapa dan bahkan turun ke halaman.
“Kemarilah” suara Pangeran Benawa terasa menghentak isi dada kedua orang anak muda itu,
“Bersiaplah. Kita akan berkelahi”
“Ampun Pangeran” kedua orang anak muda itu berjongkok sambil menyembah, “kami mohon ampun”
“Bangkit” Pangeran Benawa membentak, “kita akan berkelahi”
“Hamba tidak berani Pangeran” jawab keduanya hampir berbareng.
Tetapi Pengeran Benawa telah melangkah mendekat. Menarik lengan mereka dengan tangan kiri dan kanan. Demikian kerasnya sehingga kedua orang anak muda itu terangkat.
Dengan keras Pengeran Benawa menghentakkan mereka sehingga keduanya terbanting jatuh.
Anak-anak muda yang berada di pendapa itu menjadi sangat tegang. Sementara itu Raden Sutawijaya masih saja duduk di tempatnya tanpa bergeser sama sekali.
Paksi pun masih saja duduk ditempatnya. Tetapi ia nampak menjadi gelisah. Sementara itu Ki Panengah sama sekali tidak berbuat apa-apa. Ia mengerti maksud Pangeran Benawa. Sejak semula, suasana perguruan itu memang harus berubah.
“Bangkit. Jika kalian tidak mau bangkit, aku akan membunuh kalian berdua disini. Tidak ada orang yang dapat mencegahnya. Tidak ada pula orang yang dapat menyalahkan aku. Aku sudah memberi waktu kepada kalian untuk mempersiapkan diri. Apalagi aku hanya seorang diri, sedangkan kalian berdua”
Kedua orang anak muda itu memang bangkit. Tetapi mereka hanya berjongkok saja sambil menyembah pula.
“Hamba mohon ampun”
“Tidak” suara Pangeran Benawa lantang, “bangkit dan berkelahi”
Keduanya masih telap berjongkok sehingga tiba-tiba saja tangan Pangeran Benawa menyambar wajah salah seorang dari mereka sehingga terdengar anak muda itu mengaduh kesakitan. Tubuhnya terguncang dan jatuh berguling di tanah. Sementara itu kaki Pangeran Benawa terayun menghantam kening anak muda yang seorang lagi.
Untuk beberapa saat lamanya keduanya tidak mampu bangkit, sementara Pangeran Benawa berteriak, “Bangkit anak-anak cengeng”
Dengan susah payah keduanya pun bangkit. Di wajah mereka terdapat noda kebiru-biruan. Seorang diantaranya bibirnya menjadi pecah dan berdarah. Seorang lagi matanya menjadi merah seperti bara.
“Jika sekali lagi hal seperti ini kalian lakukan, maka aku akan membunuh kalian. Aku dan kakangmas Sutawijaya sejak sekarang adalah murid dari perguruan ini seperti kalian”
Kedua anak muda itu sama sekali tidak menjawab. Tubuh mereka yang gemetar, serta ketakutan yang mencekam, membuat mereka seakan-akan tidak dapat berdiri tegak.
Namun Pengeran Benawa pun kemudian berkata, “Naiklah”
Kedua orang anak muda itu pun kemudian telah naik ke pendapa dan duduk diantara kawan-kawan mereka.
Sikap Pengeran Benawa itu benar-benar membuat kejutan bagi anak-anak muda yang berguru kepada Ki Panengah. Mereka tidak lagi dapat bersikap seenaknya. Bukan karena mereka menjadi semakin hormat kepada Ki Panengah. Tetapi karena ditempat ini duduk pula Pangeran Benawa dan Raden Sutawijaya.
Ki Panengah memang belum berbuat api-apa. Ia masih belum menunjukkan perubahan sikap. Ki Panengah masih saja duduk diam. Disebelahnya duduk seorang yang dikenal dengan nama Ki Waskita.
Baru sejenak kemudian, Ki Panengah itu pun berkata, “Selamat datang diperguruan ini anak-anakku. Aku tahu, untuk beberapa lama perguruan ini tidak berjalan sebagaimana seharusnya karena aku pergi meninggalkan kalian untuk kira-kira setahun. Tetapi aku menunjuk seorang saudaraku untuk menggantikan aku. Tetapi agaknya saudaraku itu tidak mendapat sambutan sebagaimana seharusnya”
Anak-anak muda yang duduk di pendapa itu pun mendengarkan dengan jantung yang berdebaran. Jika saja Ki Panengah menjadi marah dan menghukum mereka. Mereka tidak dapat berbuat apa-apa karena Pangeran Benawa dan Raden Sutawijaya ada diantara mereka.
Tetapi Ki Panengah itu kemudian justru berkata, “Aku minta maaf kepada kalian. Sekarang, setelah aku kembali, maka aku telah diadili oleh orang tua kalian. Aku diwajibkan untuk mengembalikan citra perguruan ini. Perguruan ini harus pulih kembali. Bahkan harus menjadi sebuah perguruan yang benar-benar memiliki bobot yang tinggi. Karena itu, maka akan dilakukan beberapa pembenahan. Untuk itu maka aku harap kalian sampaikan kepada ayah kalian, bahwa besok mereka aku minta datang kemari. Aku akan berbicara dengan mereka”
Beberapa orang anak muda yang duduk di pendapa itu merasa aneh mendengar perintah gurunya. Orang tua mereka harus datang. Apa hak Ki Panengah untuk memanggil orang tua mereka. Ayah mereka adalah para pemimpin, para Senapati dan orang-orang yang mempunyai pengaruh yang kuat terhadap pemerintahan di Pajang.
Namun ternyata Ki Panengah itu berkala selanjutnya, “Yang berhalangan datang, aku minta diwakili oleh orang yang dapat mengambil keputusan bagi kalian”
Pendapa itu menjadi hening. Anak-anak muda itu merasa tidak senang dengan sikap. Ki Panengah. Tetapi tidak seorang pun berani mengucapkannya, karena di pendapa itu terdapat Pangeran Benawa dan Raden Sutawijaya.
Bahkan terdengar Pangeran Benawa itu berkata, “Akan aku sampaikan kepada ayahanda, guru”
Sementara itu Raden Sutawijaya pun menyahut, “Aku harap bahwa ayahanda Sultan akan dapat datang. Jika tidak, maka ayah Ki Gede Pemanahanlah yang akan datang esok”
“Terima-kasih” sahut Ki Panengah, “mudah-mudahan ayah anak-anak muda yang lain juga dapat datang esok”
Tidak ada yang menyahut. Semuanya terdiam meskipun merasa ketegangan di jantung anak-anak muda yang ada di pendapa itu.
Dalam pada itu, Ki Panengah masih memberikan beberapa penjelasan bagi anak-anak muda itu. Bahwa selanjutnya, hanya mereka yang bersungguh-sungguh sajalah yang akan diterima berguru di perguruan Ki Panengah itu.
Ketika kemudian pertemuan itu dibubarkan, maka anak-anak muda itu masih tidak beranjak dari tempat mereka. Mereka menunggu Pangeran Benawa dan Raden Sutawijaya meninggalkan tempat itu.
Baru kemudian setelah Pengeran Benawa dan Raden Sutawijaya minta diri, maka anak-anak muda itu pun turun pula dari pendapa. Tetapi mereka tidak berani langsung meloncat ke punggung kuda, karena Pangeran Benawa dan Raden Sutawijaya pun menuntun kuda mereka di halaman. Baru setelah mereka berada di luar regol, mereka naik keatas punggung kuda mereka.
Paksi pun kemudian telah meninggalkan pendapa itu pula bersama beberapa orang kawannya yang berjalan kaki. Paksi sengaja berjalan kaki, karena ia tidak mau dianggap terlalu sombong dengan kuda ganjaran yang telah diterimanya dari Pangeran Benawa.
Di jalan pulang, Paksi mendengar beberapa orang kawannya yang menganggap sikap Ki Panengah itu aneh.
“Kenapa Pangeran Benawa dan Raden Sutawijaya berguru pula kepada Ki Panengah?” bertanya salah seorang kawannya.
“Entahlah” sahut yang lain, “kehadiran mereka membuat kami merasa kecil”
“Aku tidak tahu, apakah ayahku mau datang esok. Mungkin ayah justru akan memanggil Ki Panengah”
“Tetapi Pangeran Benawa dan Raden Sutawijaya tidak merasa tersinggung atas sikap Ki Panengah itu”
“Biarlah esok ayah datang. Biarlah ayah melihat apa yang akan terjadi esok. Apakah Ki Gede Pemanahan benar-benar datang. Apalagi Kangjeng Sultan sendiri”
Paksi pun merasa gelisah pula. Seperti kawan-kawannya, ia pun harus menyampaikan kepada ayahnya, bahwa esok ayahnya diminta datang ke rumah Ki Panengah.
“Bagaimanapun juga sikap ayah, aku harus menyampaikannya. Mudah-mudahan ayah dapat datang dan mengetahui wewenang Ki Panengah sekarang ini”
Namun bagaimanapun juga, Paksi menjadi berdebar-debar ketika ia ingin menyampaikan undangan Ki Panengah itu kepada ayahnya. Menjelang senja, ketika ayahnya duduk di pringgitan menghadapi minuman hangat dan beberapa potong makanan, Paksi telah menemuinya. Dengan dada yang berdebaran, Paksi duduk dihadapan ayahnya.
“Ada yang ingin aku sampaikan, ayah”
Ayahnya memandang dengan dahi yang berkerut. Dengan singkat ayahnya bertanya, “Apa?”
“Aku ingin menyampaikan pesan Ki Panengah”
“Pesan buatku?”
“Ya, ayah”
“Pesan apa?”
Paksi menarik nafas panjang. Katanya kemudian, “Ki Panengah minta orang tua murid-muridnya datang ke perguruan”
Tiba-liba saja wajah Ki Tumenggung menegang, “Gurumu memanggil aku?”
“Bukan hanya ayah. Tetapi semua orang tua yang mengirimkan anak-anaknya berguru kepada Ki Panengah. Ki Panengah merasa bersalah karena meninggalkan perguruan untuk waktu yang terlalu lama. Ki Panengah berusaha untuk memenuhi perintah para orang tua, agar Ki Panengah berusaha memperbaiki dan menertibkan kembali perguruannya”
“Aku yang seharusnya memanggil gurumu. Juga orang-orang tua muridnyalah yang seharusnya memanggilnya. Jika perlu ia harus mendatangi kami seeorang demi seorang. Bukan sepatutnya ia memanggil kami”
“Ayah” suara Paksi menjadi berat, “dua orang murid dari perguran kami adalah Pangeran Benawa dan Raden Sutawijaya. Raden Sutawijaya sudah menyatakan, bahwa Ki Gede Pemanahan akan datang jika Kangjeng Sultan berhalangan besok”
“Ki Gede Pemanahan? Bahkan Kangjeng Sultan? Apakah gurumu sudah gila?”
“Tetapi begitulah keadaannya, ayah. Ki Gede Pemanahan besok akan datang”
Wajah Ki Tumenggung menjadi sangat tegang. Bahkan terdengar giginya gemeretak. Ia tidak dapat menerima sikap Ki Panengah itu. Tetapi bagaimana mungkin Ki Gede Pemanahan sendiri akan bersedia memenuhi undangan Ki Panengah. Bahkan Ki Tumenggung itu tidak dapat mengerti kenapa Pangeran Benawa dan Raden Sutawijaya harus dikirim ke perguruan itu. Kenapa Kangjeng Sultan tidak memanggilnya saja di hari hari tertentu jika Ki Panengah itu memang diperlukan.
Namun bagaimanapun juga. Ki Tumenggung merasa mendapat semacam tekanan bahwa ia harus hadir esok memenuhi panggilan Ki Panengah. Satu langkah yang tidak akan pernah dilakukan sebelumnya.
“Ki Panengah akan sangat menyesal seandainya besok Ki Gede Pemanahan tidak hadir” geram Ki Tumenggung, “kami, orang tua para muridnya tentu akan mengambil langkah tertentu untuk membuatnya jera”
Paksi pun menjadi berdebar-debar. Ia pun tidak yakin, bahwa Ki Gede Pemanahan akan hadir, namun jika saja Pangeran Benawa dan Raden Sutawijaya besok datang ke rumah Ki Panengah, tentu tidak seorang pun yang akan berani berbuat sesuatu.
Sore itu, Paksi telah pergi ke kesatrian untuk menghadap Pangeran Benawa. Ia telah menceriterakan sikap ayahnya ketika ia menyampaikan undangan dari Ki Panengah.
“Hamba kira, banyak orang tua yang bersikap seperti ayah hamba itu”
Pangeran Benawa mengangguk-angguk. Namun katanya, “Kakangmas Sutawijaya sudah berbicara dengan paman Pemanahan. Paman Pemanahan akan benar-benar datang esok”
“Syukurlah” Paksi mengangguk-angguk. Namun ia pun kemudian bertanya, “Apakah Pangeran dan Raden Sutawijaya akan hadir?”
“Ya. aku besok akan datang”
“Jika ayah hamba tidak berkeberatan, besok hamba juga akan datang, Pangeran”
“Kenapa ayahmu berkeberatan?”
“Kadang-kadang hamba tidak dapat menebak, apa yang sebenarnya ayah kehendaki”
Pangeran Benawa mengangguk kecil. Katanya, “Baiklah. Tetapi usahakan untuk datang”
Paksi pun kemudian mohon diri dari kasatrian. Meskipun Pangeran Benawa sudah dapat meyakinkannya, bahwa Ki Gede pemanahan akan datang besok, namun Paksi masih saja merasa gelisah.
Karena itu, maka di malam harinya, Paksi tidak segera dapat tidur. Baru setelah lewat tengah malam. Paksi pun terlelap.
Dihari berikutnya, sebelum Paksi mohon kepada ayahnya uniuk ikut pergi ke rumah Ki Panengah, justru ayahnyalah yang memerintahkannya bersiap.
“Kita pergi ke rumah Ki Panengah. Kau akan dapat melihat, apakah Ki Gede Pemanahan akan dalang atau tidak. Ki Gede Pemanahan bukan seorang tua yang kerjanya hanya mendengarkan suara perkutut. Tetapi Ki Gede mempunyai banyak kesibukan”
Paksi tidak menjawab. Tetapi ia memang menjadi berdebar-debar. Apalagi ketika ayahnya berkata, “Aku bahkan menduga, bahwa kaulah yang membual seolah-olah Ki Gede akan datang untuk memaksaku datang di rumah Ki Panengah”
Paksi hanya dapat menundukkan kepalanya. Tetapi jika Ki Gede Pemanahan tidak datang, maka ayahnya tentu akan menjadi sangat marah kepadanya.
Meskipun demikian, jika Pangeran Benawa dan Raden Sutawijaya dapat datang ke rumah Ki Panengah, maka seluruh tanggung-jawab atas tidak kehadiran Ki Gede Pemanahan tidak akan dapat dibebankan kepadanya oleh ayahnya.
“Aku sudah mengorbankan waktuku. Aku tentu akan sangat terlambat datang ke tempat tugasku karena aku menunaikan permintaanmu untuk datang ke rumah gurumu” berkata Ki Tumenggung.
“Terima-kasih ayah” jawab Paksi.
“Tetapi aku tidak mau keterlambatanku di tempat tugasku Itu hanya karena bualanmu”
Beberapa saat kemudian, maka Ki Tumenggung itu telah siap untuk berangkat. Seorang pembantunya telah menyiapkan kudanya di halaman.
“Kenapa kau masih belum bersiap?” bertanya Ki Tumenggung.
“Aku sudah siap, ayah” jawab Paksi.
“Aku akan pergi berkuda” berkata ayahnya pula.
“Maksud ayah, aku juga harus berkuda?”
“Apakah kau akan berlari dibelakang kudaku?”
Paksi pun dengan tergesa-gesa telah menyiapkan kudanya pula. Sebenarnyalah Paksi merasa agak segan, karena kudanya akan nampak lebih baik dari kuda ayahnya.
Tetapi Paksi tidak dapat berbuat lain, karena ia memang hanya mempunyai seekor kuda saja.
Sejenak kemudian, Paksi pun telah minta diri kepada ibunya dan kedua adiknya yang berdiri di tangga pendapa.
Demikianlah, Paksi dan ayahnya segera turun ke jalan. Ki Tumenggung berkuda didepan, sedangkan Paksi mengikutinya di belakang.
Semakin dekat dengan regol halaman rumah Ki Panengah, Paksi menjadi semakin berdebar-debar. Jika saja Ki Gede Pemanahan tidak datang. Apalagi jika Pangeran Benawa dan Raden Sutawijaya juga tidak datang.
Namun akhirnya keduanya pun sudah berhenti di depan regol halaman rumah Ki Panengah. Ternyata di halaman beberapa ekor kuda sudah terikat di patok-patok yang tersedia serta di pepohonan yang tumbuh di halaman.
Paksi pun segera meloncat turun dari kudanya, sementara Ki Tumenggung masih duduk di punggung kudanya itu. Paksi menjadi tegang ketika ayahnya akan memasuki halaman tanpa turun dari punggung kudanya. Ia tidak berani menegur ayahnya, tetapi ia pun tidak ingin ayahnya ditegur oleh orang lain. Bahkan mungkin oleh Pangeran Benawa atau Raden Sutawijaya.
Namun akhirnya Paksi itu pun berdesis, “Mudah-mudahan Ki Gede Pemanahan sudah hadir, ayah”
Ki Tumenggung mengerutkan dahinya. Ia melihat beberapa ekor kuda yang besar dan tegar seperti kuda yang dipakai oleh Paksi. Karena iiu, maka Ki Tumenggung pun menduga, bahwa di pendapa itu sudah hadir orang-orang yang sepatutnya dihormati.
“Tetapi apakah Ki Gede Pemanahan juga benar-benar hadir, bahkan telah hadir di pendapa?” bertanya Ki Tumenggung di dalam hatinya.
Ketika Ki Tumenggung dan Paksi menuntun kudanya memasuki halaman, maka dua orang telah menyambut mereka dan mempersilahkan mereka naik ke pendapa.
Salah seorang dari mereka pun kemudian berdesis, “Ki Gede Pemanahan telah hadir pula di pendapa”
“Ki Gede Pemanahan?” Ki Tumenggung tersentak.
“Ya. Ki Gede sudah datang bersama Pangeran Benawa dan Raden Sutawijaya. Menurut Ki Gede Pemanahan, Kangjeng Sultan tidak dapat datang karena kesibukannya. Karena itu, maka Ki Gede sekaligus mewakili Kangjeng Sultan”
Ki Tumenggung menjadi berdebar-debar. Ternyata pertemuan itu merupakan pertemuan yang sungguh-sungguh. Bukan sekedar pertemuan sebagaimana pernah dilakukan sebelumnya.
Sejenak kemudian, maka Ki Tumenggung pun telah duduk di pendapa. Disampingnya, Paksi duduk sambil menunduk.
Ketika Ki Tumenggung sempat melihat disekelilingnya, maka dilihatnya beberapa orang pejabat istana, para Senopati dan para pemimpin duduk tepekur. Rasa-rasanya pendapa itu menjadi beku sebagaimana mereka berada di paseban. Sementara itu, di depan mereka yang hadir, Ki Gede duduk disebelah Ki Panengah. Disebelahnya lagi duduk Ki Waskita. Sedangkan Pangeran Benawa dan Raden Sutawijaya duduk berbaur dengan beberapa orang anak muda yang ikut bersama ayah mereka datang memenuhi undangan Ki Panengah.
Ketika kemudian Ki Gede berbincang dengan Ki Panengah, barulah kemudian beberapa orang yang hadir di pendapa itu sempat berbicara pula yang satu dengan yang lain, meskipun dengan berbisik-bisik.
Seorang Rangga yang duduk disebelah ayah Paksi itu pun berdesis, “Ki Tumenggung, apakah sebenarnya yang akan dilakukan oleh Ki Panengah sehingga ia berani mengundang Ki Gede Pemanahan. Bahkan Kangjeng Sultan?”
“Entahlah. Aku tidak tahu. Tetapi ternyata bahwa Ki Gede Pemanahan juga bersedia datang”
Seorang Tumenggung yang duduk didepan ayah Paksi sempat berpaling dan berdesis, “Raden Sutawijaya ternyata juga dikirim untuk berguru di perguruan ini, sehingga Ki Gede sebagai orang tua Raden Sutawijaya merasa wajib pula memenuhi undangan Ki Panengah”
Ayah Paksi itu mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak bertanya-tanya lagi.
Ternyata sejenak kemudian, pertemuan itu pun dimulai. Ki Panengahlah yang membuka pertemuan itu dengan kata kata pengantarnya. Kemudian Ki Panengah itu pun menjelaskan maksudnya mengundang orang tua para murid yang dikirim berguru kepadanya.
“Ki Gede Pemanahan, para pejabat di istana, para perwira prajurit dan para pemimpin pemerintahan serta Ki Sanak semuanya yang telah mempercayakan anak anaknya berguru di perguruan ini, perkenankanlah aku dengan sangat bersyukur menyatakan, bahwa aku telah menerima surat kekancingan yang baru dari Kangjeng Sultan tentang keberadaan perguruan ini serta wewenang yang dilimpahkan kepadaku”
Para pemimpin yang hadir di pendapa itu pun menjadi berdebar-debar. Selama ini merekalah yang menentukan kebijaksanaan serta tugas dan wewenang Ki Panengah. Namun tiba-tiba Ki Panengah menyebut Surat Kekancingan dari Kangjeng Sultan di Pajang.
Meskipun sebelumnya perguruan Ki Panengah itu juga ditetapkan dengan Surat Kekancingan dari Kangjeng Sultan, tetapi wewenang Ki Panengah sangat terbatas. Segala sesuatunya terserah kepada para pemimpin di Pajang yang mengirimkan anak:anak mereka berguru kepadanya.
Karena itu, maka para pemimpin yang hadir di pendapa itu mendengarkan dengan sungguh-sungguh ketika kekancingan itu dibacakan. Bahkan Ki Panengah mohon kepada Ki Gede Pemanahan untuk membacakan Surat Kekancingan itu.
“Aku mohon, Ki Gede” berkata Ki Panengah sambil mengangguk hormat.
Ki Gede Pemanahan tersenyum. Namun diterimanya Surat Kekancingan itu dari tangan Ki Panengah sambil berkata, “Baiklah Ki Panengah. Biarlah aku membaca Surat Kekancingan ini”
Ki Gede pun bekisar sejengkal. Namun sebelum membaca Surat Kekancingan itu, Ki Gede itu pun berkata, “Tetapi sebelumnya aku ingin menyampaikan penyesalan Kangjeng Sultan, bahwa Kangjeng Sultan tidak dapat hadir sekarang ini. Sebenarnya Kangjeng Sultan juga ingin menetapi kewajibannya sebagai seorang ayah yang mengirimkan anaknya ke perguruan ini. Tetapi karena kesibukan yang tidak dapat ditinggalkan, maka Kangjeng Sultan terpaksa tidak dapat hadir”
Para pemimpin yang hadir di pendapa rumah Ki Panengah itu menjadi berdebar-debar. Agaknya Ki Panengah tidak main-main dengan rencananya yang agaknya langsung diajukannya kepada Kangjeng Sultan dan bahkan telah mendapat persetujuannya.
Sejenak kemudian, maka Ki Gede Pemanahan pun telah membacakan Surat Kekancingan tentang perguruan yang dipimpin oleh Ki Panengah itu. Hak, wewenang dan kewajibannya. Di Surat Kekancingan itu juga disebutkan, bahwa Ki Panengah mendapat hak untuk membuka hutan Jabung untuk membangun padepokannya serta tanah pendukungnya yang cukup luas.
Demikian Ki Gede Pemanahan selesai membacakan Surat Kekancingan itu, maka ketegangan pun mencengkam jantung tiap orang yang hadir dalam pertemuan itu. Dalam Surat Kekancingan itu disebutkan bahwa Ki Panengah mendapat hak dan wewenang sepenuhnya untuk mengatur perguruannya tanpa dapat dicampuri orang lain. Sedangkan pengawasan atas perguruan itu langsung berada di tangan Ki Gede Pemanahan.
“Mungkin ada beberapa perubahan hak dan wewenang bagi Ki Panengah atas perguruannya. Tetapi Surat Kekancingan ini adalah wajar sekali. Seperti yang disebut dalam Surat Kekancingan itu, bahwa Ki Panengah akan mendengarkan dan mempertimbangkan setiap pendapat dan saran yang baik dan bermanfaat yang diberikan oleh semua pihak bagi kebaikan dan kemajuan perguruan ini. Tetapi kebijaksanaan terakhir ada pada Ki Panengah” berkata Ki Gede Pemanahan selanjutnya.
Ki Panengah pun kemudian mengucapkan terima kasih atas kesediaan Ki Gede. Ki Panengah sendiri kemudian menyehatkan beberapa syarat bagi mereka yang akan meneruskan berguru kepadanya.
“Kita akan bekerja keras. Kita akan membuka hutan dan tidak lagi menggantungkan hidup perguruan kita kepada orang lain. Setiap orang yang berguru kepadaku, akan tinggal di padepokan dan terikat pada ketentuan dan paugeran yang sangat mengikat. Karena itu, aku mohon kepada mereka yang akan mengirimkan putera-puteranya ke perguruanku, untuk mempertimbangkannya dengan sungguh-sungguh. Kangjeng Sultan menghendaki agar perguruanku menjadi seperti kebanyakan perguruan yang lain. Yang mengirimkan putera-puteranya untuk berguru, dengan sungguh-sungguh ingin putera-puteranya memiliki kemampuan. Bukan sekedar pernyataan bahwa pernah berguru di sebuah perguruan yang diakui kehadirannya oleh Kangjeng Sultan tetapi tidak mampu mandiri”
Pernyataan Ki Panengah itu memang menimbulkan berbagai tanggapan dihati beberapa orang yang ada di pendapa rumahnya.
Sebagian dari mereka menjadi kecewa, tetapi sebagian justru menjadi mantap. Mereka berharap bahwa anak-anak mereka benar-benar akan menjadi orang-orang yang berilmu. Bukan sekedar hilir mudik, bergerombol di simpang-simpang empat, bahkan menganggu orang-orang lewat, karena mereka merasa memiliki kemampuan yang tinggi karena mereka sudah berguru, selain sandaran yang kokoh karena orang tua mereka adalah pemimpin.
Dibagian terakhir dari pertemuan itu adalah beberapa pesan singkat yang disampaikan oleh Ki Gede Pemanahan.
Ki Panengah pun memberikan kesempatan kepada yang hadir untuk menyatakan pendapat mereka. Namun tidak seorang pun yang mempergunakan kesempatan itu untuk berbicara.
“Baiklah” berkata Ki Panengah, “aku akan segera memulai membuka hutan Jabung. Karena itu, maka dalam dua pekan ini aku harus sudah mendapat kepastian, siapakah yang akan tetap berguru di perguruan ini seijin orang tua mereka masing-masing. Tetapi seperti yang sudah aku katakan, mereka yang berguru kepadaku akan tinggal dipadepokan dengan ketentuan dan paugeran yang sangat mengikat”
Demikainlah, maka sejenak kemudian, pertemuan itu pun sudah ditutup. Ki Gede Pemanahan pun kemudian telah minta diri. Selanjutnya para tamu yang lain pun berurutan meninggalkan rumah Ki Panengah.
Seorang Senapati berkata kepada kawannya di perjalanan pulang, “Buat apa aku mengirimkan anakku. Aku seorang Senapati yang mumpuni dalam olah kanuragaan. Biarlah aku ajari sendiri anakku itu. Aku yakin, bahwa hasilnya akan jauh lebih baik daripada ia harus berguru kepada Panengah. Panengah tentu akan memanfaatkan kesempatan ini untuk kepentingannya sendiri. Ia akan memaksa para cantrik untuk bekerja keras seperti budak-budak belian dengan senjata hak dan wewenang yang dilimpahkan kepadanya. Tetapi hasilnya tentu sebagian hesar bagi keuntungan dirinya sendiri”
Kawannya mengangguk-angguk. Katanya, “Bagaimana mungkin Ki Panengah dapat membujuk Kangjeng Sultan untuk membuat Surat Kekancingan seperti itu. Bagaimana pula ia dapat membujuk Ki Gede Pemanahan untuk hadir di rumahnya, sehingga dapat diperalatnya untuk kepentingannya”
“Itulah kelebihan Panengah. Bukan dalam olah kanuragaan, tetapi kemampuannya membujuk orang yang paling berkuasa di Pajang”
Namun beberapa orang yang lain justru menanggapi perubahan tatanan dalam perguruan Ki Panengah itu dengan harapan. Jika perguruan itu menjadi lebih baik, maka anaknya pun akan mendapat tuntunan berbagai macam ilmu dengan lebih baik pula.
“Aku akan melihat perkembangannya, berkata seorang Tumenggung kepada kawannya, “mudah-mudahan menjadi semakin baik. Jika justru menjadi semakin buruk, aku akan memanggil anakku keluar dari perguruan ini”
“Aku justru berpengharapan” sahut seorang Rangga, “mudah-mudahan perguruan Ki Panengah akan menjadi perguruan yang diperhitungkan. Hasilnya pun akan memuaskan pula”
Demikianlah, Ki Panengah memberikan waktu dua pekan untuk membuat kepastian, siapakah yang akan tetap menjadi muridnya. Yang akan bersama-sama membangun sebuah padepokan dengan mempersiapkan lingkungan pendukungnya.
Dalam pada itu, Ki Tumenggung Sarpa Biwada menjadi bimbang. Apakah ia akan menyerahkan Paksi ke perguruan itu atau tidak. Tetapi jika Paksi diserahkan kepada perguruan itu, maka tanpa diusirnya, Paksi sudah tidak akan berada dirumahnya lagi.
“Tetapi itu tidak menyelesaikan persoalan” berkata Ki Tumenggung didalam hatinya, “pada suatu saat ia tentu akan pulang. Segala-galanya akan menjadi kacau”
Ketika Ki Sarpa Biwada itu meninggalkan rumah Ki Panengah, ia pun telah memerintahkan Paksi langsung pulang. Ki Tumenggung sendiri akan pergi ke tempat tugasnya.
“Apakah kau akan tetap berguru kepada Ki Panengah atau tidak, akan aku pikirkan lagi” berkata Ki Tumenggung kepada Paksi ketika mereka berpisah.
Paksi tidak menjawab. Ia berharap bahwa ayahnya akan menyerahkannya kepada Ki Panengah untuk memasuki padepokan yang akan dibangunnya.
“Aku tidak pernah membantah perintah ayah” berkata Paksi didalam hatinya, “tetapi jika ayah tidak menyerahkan aku kembali ke perguruan, maka untuk pertama kalinya aku menolak sikap ayah”
Ketika Paksi itu kemudian sampai dirumah, maka ibunya pun segera bertanya, “Dimana ayahmu?”
“Ayah langsung pergi ketempat tugasnya, ibu” jawab Paksi.
Ibunya mengangguk-angguk. Tetapi ia pun bertanya pula, “Apakah Ki Gede Pemanahan benar-benar datang ke rumah Ki Panengah?”
“Ya, ibu. Ki Gede benar-benar datang bersama Pangeran Benawa dan Raden Sutawijaya”
“Lalu, apa saja yang dibicarakan dalam pertemuan itu?”
Paksi pun kemudian menceriterakan rencana pembangunan kembali perguruan yang sudah hampir kehilangan wibawanya itu.
“Bagaimana dengan kau? Apakah kau akan kembali ke perguruan itu?”
“Maksudku demikian, ibu. Tetapi aku masih menunggu keputusan ayah”
Ibunya mengangguk-angguk. Tetapi seperti kata Paksi, ibunya tidak dapat membayangkan, keputusan apa yang akan diambil oleh Ki Tumenggung.
Namun disiang hari, ketika Ki Tumenggung pulang, maka ia pun langsung mencari Paksi. Dipanggilnya Paksi untuk duduk diserambi samping.
“Aku perlu berbicara dengan kau, Paksi” berkata ayahnya.
Paksi menjadi berdebar-debar. Dengan kepala tunduk ia duduk disebelah ayahnya, disebuah lincak yang panjang. Lincak yang dibuat dari pring tutul yang manis.
“Paksi” berkata ayahnya, “aku sudah mengambil keputlusan. Kau dapat melanjutkan berguru kepada Ki Panengah”
Paksi mengangkat wajahnya yang menjadi cerah. Dengan nada dalam Paksi pun menyahut, “Terima kasih ayah”
Aku berharap kau akan mendapat manfaat yang besar dari perguruan yang akan mempunyai tatanan yang baru itu. Aku berharap bahwa kau akan dapat menjadi seorang yang berguna”
“Terima-kasih ayah. Aku akan berusaha sebaik-baiknya untuk memenuhi keinginan ayah”
“Kau harus bersungguh-sungguh, Paksi. Kau harus menyadap ilmu dari perguruan itu sampai tuntas”
Paksi merasa gembira sekali akan keputusan ayahnya. Ia pun merasakan sikap ayahnya yang berbeda. Agaknya ayahnya pun menjadi sangat mantap dan bersungguh-sungguh. Bahkan ayahnya itu menepuk bahunya dan berkata dengan lembut, “Kau adalah harapan keluarga di masa depan, Paksi”
“Ayah” suara Paksi menjadi sendat, “aku akan berusaha untuk dapat memenuhi harapan ayah dan keluarga ini. Mudah-mudahan Yang Maha Penyayang memberikan jalan kepadaku”
“Mohonlah. Maka kau akan mendapatkannya”
Paksi menarik nafas dalam-dalam. Ia merasa mendapat suatu anugerah yang besar, bahwa justru ayahnya telah menyatakan persetujuannya sebelum Paksi memohonnya. Bahkan sikap ayahnya pun demikain baik kepadanya, sehingga rasa-rasanya ayahnya belum pernah bersikap demikian lembut sebelumnya.
“Nah, pergilah kepada gurumu. Katakan, bahwa atas ijinku, kau akan tetap berguru kepada Ki Panengah”
“Terima-kasih ayah. Aku akan pergi ke rumah guru”
“Pergilah”
Paksi pun kemudian segera bangkit. Demikian ia masuk keluang dalam, ibunya pun bertanya, “Apa yang dikatakan ayahmu, Paksi”
“Ayah mengijinkan aku melanjutkan berguru kepada Ki Panengah, ibu”
lbunya menarik nafas panjang. Ia sudah mendengar dari Paksi, bahwa tatanan perguruannya akan berubah. Jika Paksi melanjutkan berguru kepada Ki Panengah, maka ia harus tinggal di padepokan.
“Jadi kau akan pergi lagi, Paksi”
“Bukankah hanya di seberang pintu gerbang kota itu, ibu. Padepokan itu akan didirikan di hutan Jabung. Hanya beberapa ribu tonggak saja. Setiap saat aku kehendaki, aku dapat pulang sepanjang tidak melanggar paugeran perguruan itu”
Ibunya mengangguk. Katanya, “Mudah-mudahan kau mampu menguasai ilmu yang diturunkan oleh gurumu”
“Doakan ibu”
Ibunya mengangguk. Namun sebelum ia mengatakan sesuatu, adik laki-laki Paksi pun mendekat sambil berkata, “Ibu. Aku juga akan mohon ijin kepada ayah untuk ikut berguru kepada Ki Panengah seperti kakang Paksi”
Ibunya memandang anaknya itu sambil tersenyum. Katanya “Kau harus minta ijin kepada ayahmu”
Adik laki-laki Paksi itu mengangguk. Tiba-tiba saja ia bertari mencari ayahnya.
Tetapi ketika hal itu diutarakan kepada ayahnya, maka ayahnya itu pun berkata, “Jangan sekarang”
“Kenapa ayah. Mumpung segala-galanya baru dimulai dari permulaan”
“Aku akan melihat lebih dahulu, apakah perguruan itu akan bertambah menjadi semakin baik atau justru sebaliknya. Karena itu, biarlah kakakmu yang memang sudah berguru sebelumnya kepada Ki Panengah untuk melanjutkannya. Jika ternyata perguruan itu menjadi semakin baik, maka kau akan aku kirim pula ke perguruan itu. Kita akan menunggu perkembangannya pada tahun pertama dan kedua dari perguruan itu”
“Begitu lama aku harus menunggu?
“Jika kita segera meyakini bahwa perguruan itu akan menjadi baik, maka kau akan segera masuk pula kedalamnya”
Adik Paksi itu memang menjadi keeewa. Ia ingin pergi bersama kakaknya. Tetapi ia pun dapat mengerti sikap ayahnya yang berhati-hati.
Karena itu, ia tidak berusaha memaksakan kehendaknya meskipun benar-benar merasa kecewa.
Menjelang senja Paksi pergi ke rumah gurunya. Ia ingin segera menyampaikan kepada gurunya, bahwa dengan senang hati ayahnya mengijinkannya untuk berguru terus. Meskipun Paksi sudah memutuskan, seandainya ayahnya melarangnya, ia akan tetap melangkah terus, namun ia merasa sangat gembira, bahwa ayannya justru sangat mendukungnya.
Ketika hal itu disampaikan kepada gurunya, maka gurunya pun mengangguk-angguk sambil tersenyum. Katanya, “Bukankah tidak ada masalah lagi, Paksi?”
“Ya, guru”
“Syukurlah” sahut Ki Waskita yang kebetulan berada di rumah Ki Panengah.
“Bahkan ayah mengatakan kepadaku, bahwa aku harus bersungguh-sungguh, karena aku adalah harapan keluargaku dimasa depan”
“Ayahmu benar, Paksi. Mungkin penjelasan Ki Panengah setia sesorah Ki Gede Pemanahan lelah membuka hati ayahmu sehingga dengan serta merta ayahmu menginginkan kau tetap berguru pada perguruan yang diharapkan menjadi semakin baik ini”
“Tidak dengan serta-merta, Ki Mana” jawab Paksi, “ketika kami pulang tadi dari rumah ini, ayah masih nampak ragu Tetapi demikian ayah pulang dari tempat tugasnya, maka sikap ayah sudah berubah. Ayah dengan pasti dan bahkan dengan penuh harapan, mengatakan bahwa aku diijinkan untuk berguru di perguruan ini untuk selanjutnya dengan segala macam ketentuan dan paugeran yang berlaku”
Ki Marta Brewok mengerutkan dahinya, sementara itu Ki Panengah mengangguk-angguk kecil. Dengan nada berat, Ki Panengah pun berkata, “Baiklah Paksi. Kami pun berpendapat bahwa kau harus tetap berada di perguruan ini. Apalagi kini Pangeran Benawa dan Raden Sutawijaya juga berguru di perguruan ini, meskipun aku yakin bahwa ilmu mereka lebih tinggi dari ilmuku. Tetapi keduanya berniat untuk mengangkat derajad perguruan ini. Jika pada suatu saat perguruan ini sudah berjalan dengan baik, keduanya akan dengan puas mengundurkan diri, meskipun kita berharap bahwa keduanya masih akan tetap memelihara keterikatan dengan perguruan kita”
Paksi berada dirumah gurunya untuk beberapa lama. Ketika malam menjadi semakin malam, maka Paksi pun telah minta diri.....
Disepanjang jalan Paksi sempat menilai sikap gurunya dan Ki Marta Brewok yang juga disebut Ki Waskita itu. Ketika ia menceriterakan sikap ayahnya, nampak keduanya memperhatikan dengan sungguh-sungguh.
“Tetapi aku tidak tahu, apakah tanggapan mereka sebenarnya terhadap sikap ayah”
Namun Paksi pun kemudian telah menilai sikap ayahnya pula. Seperti yang dikatakannya kepada gurunya, sikap ayahnya seakan-akan berubah dengan tiba-tiba
“Mungkin ayah sempal berbicara dengan kawan-kawan ayah di tempat tugasnya” berkata Paksi didalam hatinya.
Dalam pada itu, ketika batas waktu yang ditentukan oleh Ki Panengah itu sudah habis, maka Ki Panengah telah memanggil anak-anak muda yang menyatakan dirinya untuk terus berguru diperguruan itu bersama orang tua mereka. Memang tidak terlalu banyak. Tidak lebih dari lima belas orang anak muda. Tetapi nampak pada wajah mereka, kesungguhan pada anak-anak muda itu untuk berguru. Demikian pula pada orang tua mereka. Mereka nampaknya menyerahkan anak-anak mereka dengan penuh kepercayaan. Diantara orang tua yang hadir mengantar anaknya adalah Ki Gede Pemanahan.
“Kita akan segera memulai” berkala Ki Panengah.
Sebenarnyalah Ki Panengah telah memutuskan, bahwa anak-anak muda yang telah mantap untuk berguru kepadanya itu, untuk datang dihari berikutnya. Katanya, “Sejak besok, kalian tidak akan pulang lagi. Kalian akan berada di padepokan yang untuk sementara akan berada di rumah ini. Sementara itu, kita akan mulai membuka hutan Jabung. Membangun sebuah padepokan dan kemudian menempatinya. Kita tidak perlu tergesa-gesa, karena untuk sementara kita sudah mempunyai tempat meskipun kurang memenuhi syarat”
Dalam pertemuan itu, Ki Gede Pemanahan telah menawarkan bantuan bagi Ki Panengah. Dengan sungguh-sungguh Ki Gede berkata, “Ki Panengah. Jika Ki Panengah memerlukan bantuan untuk membuka hutan, maka aku akan dapat mengerahkan beberapa kelompok prajurit. Dengan bantuan mereka, rencana Ki Panengah untuk membangun sebuah padepokan dengan tanah pendukungnya dengan membuka hutan Jabung akan dapat dengan segera terwujud”
“Terima-kasih Ki Gede. Kami akan sangat berterima-kasih atas bantuan yang Ki Gede tawarkan kepada kami. Tetapi, untuk sementara, biarlah anak-anak kami yang melakukannya. Mereka sebaiknya merasakan betapa mereka harus bekerja keras untuk menyongsong masa depan yang lebih baik. Mereka pun harus menempa diri, wadag dan jiwanya. Tetapi pada suatu saat, mungkin sekali kami memang memerlukan bantuan itu”
Ki Gede Pemanahan tersenyum. Katanya, “Aku setuju dengan sikap Ki Panengah. Anak-anak itu harus diperkenalkan dengan kerja. Mereka tidak seharusnya begitu saja memasuki sebuah bangunan yang sudah siap mereka tempati. Tetapi mereka akan ikut merasakan, betapa mereka harus bekerja keras untuk mewujudkannya. Dengan demikian mereka akan merasa ikut memiliki dan akan memelihara bangunan ilu. Ujud dan roh dari bangunan itu”
“Terima-kasih atas pengertian Ki Gede Pemanahan”
“Tetapi jika pada suatu saat Ki Panengah memerlukannya, aku akan menyediakannya. Mungkin ada sesuatu yang tidak teratasi oleh anak-anak serta persoalan-persoalan yang tidak terpecahkan, aku akan Berusaha membantunya”
“Pada saatnya aku akan menghadap, Ki Pemanahan. Sekali lagi aku mengucapkan terima-kasih”
Pertemuan itu memang tidak berlangsung terlalu lama. Ki Gede Pemanahan pun kemudian minta diri pula.
“Besok Pangeran Benawa dan Sutawijaya akan datang untuk tinggal di padepokan ini”
Demikianlah Ki Gede Pemanahan meninggalkan padepokan itu, maka yang lain pun telah minta diri pula. Ki Tumenggung Sarwa Biwada juga minta diri. Tetapi ketika Paksi minta ijin untuk tinggal sebentar di rumah gurunya, Ki Tumenggung tidak berkeberatan.
“Aku akan langsung ketempat tugasku. Sebaiknya kau harus segera pulang mempersiapkan segala sesuatunya yang akan kau bawa esok”
“Baik, ayah” jawab Paksi.
Sepeninggal ayahnya, maka Paksi pun telah ikut membantu gurunya, Ki Waskita dan beberapa orang pembantu dirumah itu untuk mempersiapkan segala-galanya. Ruangan-ruangan untuk tidur. Untuk makan, untuk mendengarkan uraian-uraian serta sesorah serta menyiapkan sanggar tertutup dan terbuka.
Lewat tengah hari, maka Paksi pun telah minta diri pula,
“Pulanglah” berkata gurunya, “bukankah ayahmu tadi berpesan agar kau segera pulang. Biarlah persiapan ini tidak di selesaikan sampai tuntas. Anak-anak besok harus ikut mengatur pula, ruangan-ruangan yang akan mereka pergunakan sendiri”
Ketika Paksi sampai dirumah, ayahnya memang belum pulang. Ibunyalah yang menyambutnya dipintu pringgilan.
Karena itu, ketika Paksi melangkah menuju ke seketeng, ia pun segera berbelok naik ke pendapa dan mendapatkan ibunya yang agaknya memang telah menunggunya.
“Apakah ayahmu langsung pergi ketempat tugasnya, Paksi?” bertanya ibunya demikian Paksi naik ke pendapa.
“Ya, ibu”
“Dan kau?”
“Aku tinggal untuk beberapa lama di rumah guru”
“Persoalan apa yang dibicarakan dalam pertemuan itu?”
“Besok aku mulai masuk ke padepokan. Tatanan perguran Ki Panengah sekarang berbeda dengan tatanan sebelumnya. Setiap murid dari perguruan Ki Panengah harus tinggal di padepokan”
“Sejak kapan kau akan tinggal di padepokan itu, Paksi?”
“Sejak besok, ibu”
“Besok? Begitu tiba-tiba?”
“Sebenarnya juga tidak begitu tiba-tiba, ibu. Bukankah guru lelah memberitahukan sejak dua pekan lalu?”
“Tetapi aku tidak mengira bahwa pelaksanaannya begitu cepat. Sementara itu, aku belum mempersiapkan apa-apa bagimu”
“Apa yang harus dipersiapkan? Satu dua lembar pakaian sudah cukup, ibu. Bukankah aku mempunyai lebih dari itu?”
Ibunya menarik nafas dalam-dalam. Paksi yang pemah mengembara sampai lebih dari setahun, tentu mempunyai pengalaman yang cukup. Tinggal di sebuah padepokan dimana pun tempatnya adalah jauh lebih baik dari sebuah pengembaraan.
Meskipun demikian ibunya itu pun berkata, “Siapkanlah. Pakaianmu yang manakah yang akan kau bawa. Mungkin kau memerlukan bekal yang lain”
“Aku hanya akan membawa sepengadeg pakaian saja, ibu”
“Akan kau bawa uangmu?”
“Tidak, ibu. Aku tidak akan dapat mempergunakannya Karena itu, sebaiknya ibu saja yang mempergunakannya jika ibu memerlukannya”
Ibunya tersenyum. Katanya, “Semua kebutuhanku sudah tercukupi, Paksi. Ibu juga sedikit-sedikit mempunyai tabungan selain perhiasan”
“Mungkin adik-adikku memerlukannya, ibu”
Ibunya masih tersenyum. Tetapi Paksi menjadi heran bahwa mata ibunya menjadi basah.
“Ibu?” desis Paksi.
Ibunya mengusap matanya. Katanya, “Aku terlalu berharap padamu, Paksi”
“Apa yang ibu harapkan?”
“Hari depanmu yang baik”
“Menurut ayah, aku harus memohon ibu, maka aku akan mendapatkannya”
“Ya, anakku. Memohon dalam doa sambil berusaha sekuat tenaga. Dengan mempergunakan nalar budi yang telah dikurniakan kepadamu dengan dukungan ujud kewadaganmu”
Paksi mengangguk sambil berdesis, “Ya, ibu”
Ibunya masih mengusap matanya yang basah. Namun kemudian ibunya itu pun berkata, “Marilah anakku. Bersiap-siaplah”
Didalam biliknya Paksi masih sempat merenungi sikap ayahnya, ibunya, gurunya dan Ki Waskita.
Paksi itu pun kemudian menarik nafas panjang. Memang mungkin ayahnya justru menjadi gembira bahwa ia akan dapat menjadi sandaran keluarga dimasa datang. Tetapi mungkin ayahnya menjadi gembira justru karena ia akan pergi dari rumah itu.
Tetapi Paksi pun kemudian menarik nafas panjang. Gumamnya, “Apa pun alasannya, tetapi ayah tidak mmenghalangi aku berguru kepada Ki Panengah”
Menjelang sore hari, ayah Paksi itu pulang dari tempat tugasnya. Adalah tidak terbiasa ia begitu memperhatikan Paksi. Demikian ayahnya pulang, maka ia langsung mencari Paksi untuk menanyakan, apakah persiapan Paksi sudah lengkap.
“Sudah ayah” jawab Paksi.
“Apa saja yang akan kau bawa?”
“Sepengadeg pakaian”
“Hanya itu?”
“Aku tidak memerlukan apa-apa lagi, ayah”
Ayahnya mengangguk-angguk. Sementara Paksi pun berkata, “Tetapi aku juga akan membawa keris ganjaran Kangjeng Sultan, kuda yang barangkali dapat dipergunakannya di padepokan untuk berbagai macam kepentingan serta tongkat yang aku bawa dari pengembaraan itu”
“Baiklah” berkata ayahnya, “mudah-mudahan kau berhasil. Rencana Ki Panengah untuk membuka hutan itu adalah gagasan yang gemilang dari seorang guru yang ingin menempa murid-muridnya lahir dan batin tanpa menyandarkan diri pada bantuan orang lain. Jika Ki Panengah berhasil, maka perguruannya akan dapat berbangga, karena mereka telah membangun padepokan itu dengan keringat para penghuninya itu sendiri”
“Ya, ayah” jawab Paksi, “kelak, jika pada waktunya Kami meninggalkan perguruan itu, maka kebanggaan itu akan selalu menyertai kami. Para murid perguruan itu yang kemudian akan mengenang kami yang telah menyiapkan tempat bagi mereka”
“Nah, segala sesuatunya kemudian terserah kepadamu, karena ayah tidak iagi dapat banyak membantumu salelah kau berada di padepokan”
Malam itu adalan malam terkahir Paksi tidur diiumahnya. Adik-adiknya, ibunya dan bahkan ayahnya seakan-akan telah membuat acara perpisahan. Mereka berbincang-bineang sampai jauh malam. Ibunya menyiapkan makan dan minum bagi seluruh keluarga.
“Tetapi bukankah kakang pada waktu-waktu tertentu dapat pulang?” bertanya adik perempuan Paksi.
“Tentu” jawab Paksi, “asal tidak terlalu sering”
“Bukankah kami juga boleh berkunjung?” bertanya adik laki-laki Paksi.
“Tentu” jawab Paksi pula, “tetapi juga tidak terlalu sering”
“Jika ayah mendapat kepastian bahwa perguruan kakang Paksi itu menjadi semakin baik, aku juga diperkenankan ikut berguru, kakang” berkata adik laki-laki Paksi. Sambil berpaling kepada ayahnya ia pun bertanya, “Bukankah begitu ayah?”
“Ya. kita akan melihat perkembangan perguruan itu. Jika perguruan itu tidak bertambah baik, justru bertambah buruk, maka kakang Paksi pun akan aku ambil pula dari perguruan itu” jawab ayahnya.
Seisi rumah itu berbincang sampai menjelang tengah malam. Adik perempuan Paksi yang berbaring sambil meletakkan kepalanya di pangkuan ibunya sudah tertidur.
“Tidurlah, Paksi” berkata ayahnya.
“Baik, ayah”
“Bukankah kau besok berangkat pagi-pagi?”
“Tidak pagi sekali” jawab Paksi.
Ayah Paksi pun kemudian telah masuk kedalam biliknya pula, setelah mengangkat anak perempuannya yang tertidur dan membaringkannya di biliknya. Demikian pula ibunya pun telah masuk kedaiam biliknya pula.
Tetapi Nyi Tumenggung itu tidak segera berbaring di pembaringannya. Untuk beberapa lama ia masih duduk saja sambil merenungi anaknya yang besok akan memasuki sebuah padepokan.
“Kau tidak perlu menjadi gelisah, Nyi” berkata Ki Tumenggung, “Paksi memasuki perguruan bagi kepentingan. Aku sudah memperhitungkan, bahwa hidup di padepokan itu akan dapat menempanya, melengkapi pengalaman selama pengembaraannya. Bagi Paksi, hidup di padepokan itu tentu tidak akan terasa berat, karena hidup di padepokan itu tentu jauh lebih mapan dari sebuah pengembaraan”
Nyi Tumenggung mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak dapat menyingkirkan kecurigaannya, bahwa bagi Ki Tumenggung, padepokan itu akan menelan Paksi untuk selamanya, karena Ki Tumenggung memang berniat untuk menyingkirkan Paksi. Tetapi Nyi Tumenggung masih dapat menghibur diri, bahwa padepokan yang akan dibangun di hutan Jabung itu letaknya tidak terlalu jauh.
Malam itu, Nyi Tumenggung hanya sempat tidur beberapa saat. Pagi-pagi sekali ia sudah bangun dan pergi ke dapur untuk Mempersiapkan makan dan minum bagi Paksi sebelum ia berminat kerumah gurunya yang untuk sementara akan menjadi sebuah padepokan meskipun kurang memenuhi syarat. Selangnya Paksi akan berada di padepokan itu untuk seterusnya.
Paksi pun ternyata telah bangun pula. Seperti biasanya Paksi telah menimba air untuk mengisi jambangan di pakiwan. kemudian mandi dan berbenah diri. Disiapkannya pakaian yang akan dibawanya. Tongkatnya dan keris yang telah dimintanya dari ibunya.
Ketika matahari mulai memanjat langit, maka Paksi pun telah siap untuk berangkat. Setelah makan pagi bersama seluruh keluarganya, maka Paksi pun telah minta diri.
“Hati-hatilah, Paksi. Kau harus dapat membawa dirimu sebaik-baiknya. Kau akan berkumpul dengan anak-anak muda sebayamu. Sentuhan-sentuhan perasaan akan dapat saja terjadi” pesan ibunya.
“Ya, ibu” jawab Paksi. Selanjutnya ia pun berkata, “Aku mohon doa restu ayah dan ibu”
Kepada adik-adiknya Paksi pun telah minta diri pula. Bahkan kepada pembantu-pembantu dirumah itu.
Sikap ayahnya ternyata jauh berbeda dengan sikap ayahnya ketika memerintahkannya pergi mencari cincin lebih dari setahun yang lalu. Ayahnya tidak lagi marah-marah, membentak-bentak dan mengancamnya. Tetapi sikap ayahnya nampak begitu baik dan ramah.
Demikianlah, maka ketika matahari memanjat naik, maka Paksi pun meninggalkan rumahnya. Ayah, ibu dan saudara-saudaranya mengantarnya sampai keregol halaman. Bahkan kedua adiknya telah turun kejalan sambil melambai-lambaikan tangannya.
Ibu Paksi mengusap matanya yang basah. Tetapi ia mencoba tersenyum ketika adik laki-laki Paksi itu berkata, “Kakang Paksi nampak sangat gagah di punggung kudanya yang besar dan tegar, ibu. Badannya yang tingi dan menjadi semakin besar itu membuatnya menjadi seorang yang banyak dikagumi orang dimasa datang”
Ibunya mengusap rambut anaknya itu sambil berkata, “Bukankah selisih tinggi badanmu dan kakakmu Paksi tidak terpaut banyak. Kau pun akan tumbuh menjadi setinggi dan sebesar kakakmu”
“Aku sudah pantas berada di padepokan itu, ayah” katanya kemudian.
“Sudah aku katakan, kita akan menunggu perkembangan dari padepokan itu” jawab ayahnya.
Adik Paksi itu mengangguk-angguk.
Namun tiba-tiba saja adik perempuan Paksi itu pun berkata, “Ibu, aku juga ingin berguru untuk mendapatkan ilmu kanuragan”
Ibunya tersenyum. Sambil membelai rambut anak perempuannya, ia pun berkata, “Padepokan hanya akan diisi oleh anak-anak muda seperti kakakmu itu”
“Tetapi bukankah anak perempuan juga boleh memiliki kemampuan olah kanuragaan”
Ibunya kemudian menggandengnya masuk keruang dalam. Katanya, “Marilah, bantu ibu menyingkirkan mangkuk-mangkuk yang kotor dan kemudian mencucinya”
“Apakah anak perempuan hanya dapat mencuci mangkuk atau mencuci pakaian?”
“Tentu tidak” jawab ibunya “tetapi jangan pikirkan sekarang”
“Jadi kapan, ibu?”
Ibunya mengusap matanya. Tetapi ia tertawa. Katanya, “Marilah. Bukankah kau belum membersihkan bilikmu?”
“Aku tadi tergesa-gesa mandi dan makan bersama kakang Paksi yang segera akan berangkat, ibu”
“Nah, sekarang kau harus membersihkan bilikmu”
Adik perempuan Paksi itu termangu-mangu sejenak. Namun ia pun segera berlari naik kependapa, melintas pringgitan dan ruang dalam langsung ke biliknya.
Hari itu, sekelompok anak muda telah berkumpul dirumah Ki Panengah. Tidak lebih dari lima belas orang ditambah dua orang murid yang khusus. Pangeran Benawa dan Raden Sutawijaya. Hari itu, para murid Ki Panengah harus mempersiapkan rumah Ki Panengah yang akan menjadi padepokan mereka untuk sementara. Meskipun sebelumnya tempat itu sudah diatur, tetapi mereka masih harus menyelesaikannya sendiri ruang yang akan mereka pergunakan sebagai ruang tidur, bangsal untuk menyelenggarakan pertemuan-pertemuan, pembicaraan dan tukar kawruh. Mempersiapkan sanggar terbuka dan sanggar tertutup serta menyediakan peralatan yang mereka perlukan.
Meskipun tempat itu masih belum memenuhi syarat, tetapi untuk sementara cukup memadai.
Baru di hari berikutnya, maka Ki Panengah mengadakan persiapan-persiapan yang diperlukan. Mengatur waktu dan membagi anak-anak muda yang berguru kepadanya dalam kelompok-kelompok kecil.
Karena semuanya sejak semula memang murid-murid Ki Panengah kecuali Pangeran Benawa dan Raden Sutawijaya, maka Ki Panengah mengerti tingkat kemampuan mereka masing-masing, sehingga dapat disusun tataran-tataran yang tepat bagi mereka.
Bagi Ki Panengah jumlah yang lima belas itu pada masa permulaan dianggapnya cukup memadai. Jika jumlah muridnya terlalu banyak, maka tempatnya akan sulit untuk menampung mereka, karena mereka akan berada di padepokan itu. Berbeda dengan masa-masa sebelumnya. Anak-anak muda itu hilir mudik datang dan pergi pada saat-saat yang yang kurang tertib.
Di hari berikutnya, Ki Panengah mulai memperkenalkan murid-muridnya dengan suasana yang baru. Mereka mulai diperkenalkan dengan sanggar terbuka dan tertutup yang sudah dibenahi sehingga mendapatkan suasana yang baru.
Perkenalan dengan keadaan dan susana yang baru itu berlangsung sampai akhir pekan yang pertama. Baru kemudian, pada permulaan pekan kedua, Ki Panengah mulai menempa murid-muridnya berdasarkan atas penguasaan ilmu mereka masing-masing.
Namun yang diberikan Ki Panengah bukan hanya ilmu kanuragan. Tetapi juga pengetahuan yang lain. Ki Waskita ternyata telah menyatakan kesediaannya untuk membantu Ki Manengah untuk memberikan tuntunan bagi murid-muridnya.
Kepada murid-muridnya itu Ki Panengah berkata, “Jumlah ini sangat memadai. Kalian akan menjadi murid utama perguruan ini. Pada saatnya kami menerima cantrik-cantrik yang baru, maka kalian sudah siap membantuku. Aku pun berharap bahwa setelah setahun, padepokan kita sudah siap untuk menampung cantrik lebih banyak lagi di hutan Jabung”
Setelah sebulan lewat, maka perguruan Ki Panengah itu benar-benar mulai sudah mapan. Para cantrik di padepokan itu sudah mulai terbiasa dengan kewajiban mereka masing-masing di padepokan. Mereka tidak lagi harus diperingatkan untuk menemukan tugas mereka masing-masing. Bergantian dalam seperti mereka mengerjakan pekerjaan yang tidak terbiasa mereka lakukan di rumah mereka masing-masing kecuali Paksi. Mereka harus menimba air untuk mengisi jambangan pakiwan, untuk nimgisi gentong di dapur, untuk menyiram halaman agar tidak berdebu serta menyiram pohon-pohon bunga.
Sementara itu, yang lain harus membersihkan padepokan, yang menyapu halaman, membersihkan ruangan-ruangan termasuk sanggar terbuka dan tertutup.
Yang lain lagi harus bekerja di dapur, menyiapkan makan minuman bagi seluruh keluarga padepokan itu. Tetapi mereka dibantu oleh dua orang perempuan separo baya yang sejak sebelumnya memang bekerja pada perguruan itu.
Tetapi para cantrik itulah yang harus menyiapkan kayu bakar dan keperluan-keperluan yang lain. Bahkan mereka pula yang harus mencuci mangkuk. Kedua orang perempuan yang membantu mereka didapur pun berwenang untuk memberikan perintah-perintah kepada para cantrik yang sedang mendapat giliran bekerja di dapur.
Mula-mula semuanya dilakukan dengan canggung. Tetapi semakin lama para cantrik itu pun menjadi semakin terbiasa dengan tugas-tugas mereka.
Ki Panengah tidak berkeberatan jika ada orang tua dari para cantrik datang untuk menengok anaknya yang berada di padepokan itu. Ki Panengah juga tidak berkeberatan jika mereka melihat anak-anak mereka bekerja keras di padepokan itu. Bahkan beberapa orang tua justru menjadi semakin mantap melihat anak-anaknya mengenali pekerjaan sehari-hari. Mereka yang terbiasa bangun sampai menjelang matahari di puncak langit, di padepokan itu harus bangun pagi-pagi sekali sebelum fajar. Mereka harus menunaikan segala tugas mereka bagi kehidupan lahir dan batin mereka. Kemudian mereka harus mulai menyelesaikan pekerjaan mereka sampai saatnya matahari terbit. Baru mereka bergantian mandi setelah melakukan latihan-latihan ringan bagi ketahanan tubuh mereka, sebelum mereka memasuki ruang mereka masing-masing sesuai dengan ketentuan, sementara beberapa orang berada di sanggar.
Pembantu Ki Panengah yang mewakilinya selama Ki Panengah pergi telah mendapat tugas mengawasi para cantrik, sehingga pembagian tugas itu dapat berjalan lancar.
Demikianlah, maka para cantrik yang ada di padepokan itu menempuh kehidupan mereka dengan belajar dan bekerja tanpa melupakan ketakwaan mereka kepada Yang Maha Agung.
Ki Tumenggung Sarpa Biwada juga pernah menengok Paksi di padepokannya. Bahkan dalam waktu sebulan, Ki Tumenggung sudah dua kali mengunjungi padepokan itu. Nampaknya Ki Tumenggung sangat memperhatikan keadaan padepokan itu, sehingga dalam percakapannya dengan Ki Panengah Ki Tumenggung telah menanyakan, kapan Ki Panengah itu akan membuka hutan Jabung.
“Jika mereka telah memiliki padepokan sendiri, maka perkembangan mereka tentu akan menjadi semakin pesat” berkata Ki Tumenggung Sarpa Biwada.
“Ya, Ki Tumenggung” jawab Ki Panengah, “doakan saja agar kami segera dapat membuka hutan itu. Namun aku masih harus melatih anak-anak agar mereka siap lahir dan batinnya untuk memulai pekerjaan besar ini”
“Jika Ki Panengah memerlukan bantuan, maka aku tidak berkeberatan untuk membantu membuka hutan itu menurut kemampuanku. Orang tua para cantrik yang lain, tentu sependapat dengan aku”
“Terima-kasih, Ki Tumenggung. Pada saatnya kami, seisi padepokan ini akan memerlukan bantuan dari segala pihak. Tetapi untuk sementara kami akan berusaha sendiri. Yang penting biarlah anak-anak berlatih mandiri”
Ki Tumenggung mengangguk-angguk. Tetapi ia pun berkata, “Tentu ada batas-batas kemampuan mandiri itu. Seberapa besar tenaga seseorang, maka tentu ada tingkat-tingkat kekuatan. Sehinga pada suatu saat ia akan terbentur pada suatu hal yang tidak terangkat olehnya”
“Ya, Ki Tumenggung. Jika anak-anak sampai pada keadaan seperti itu, maka biarlah aku menyampaikan kepada orang tua mereka, termasuk Ki Tumenggung”
“Ki Panengah tidak seharusnya membebankan segala-galanya kepada kemurahan hati Ki Gede Pemanahan. Biarlah kami, orang tua para cantrik ikut memikul beban. Tentu akan memberikan kepuasan kepada kami”
“Aku mengerti, Ki Tumenggung. Pada saatnya kami akan menyampaikan kepada Ki Tumenggung”
“Baiklah Ki Panengah. Aku akan menunggu”
Ki Tumenggung itu pun kemudian telah minta diri. Ia pun minta diri pula kepada Paksi.
Perhatian Ki Tumenggung terhadap padepokan itu memang menarik perhatian. Jika ia sekedar ingin menyingkirkan Paksi dari rumahnya, maka ia tidak akan menaruh perhatian demikian besarnya. Bahkan seakan-akan mendorong agar Ki Panengah segera membuka hutan Jabung.
“Memang perlu mendapat perhatian” berkata Ki Waskita.
“Ya, Ki. Nampaknya ada maksud tertentu pada Ki Tumenggung. Tetapi semoga hati kamilah yang terlalu kotor, sehingga kami terlalu curiga kepadanya, padahal Ki Tumenggung benar-benar berniat baik”
Ki Waskita tersenyum. Katanya, “Jarang seseorang mengharap bahwa dirinyalah yang bersalah. Biasanya orang yang jelas bersalah pun menganggap dirinya benar. Dan dirinyalah yang paling benar”
Ki Panengah pun tertawa sambil mengangguk-angguk.
Meskipun Ki Waskita menanggapinya sambil tersenyum. Namun ternyata hai itu disampaikannya kepada Ki Gede Pemanahan yang sudah mendapat laporan lengkap tentang sikap Ki Tumenggung Sarpa Biwada serta kemungkinan hubungannya dengan Harya Wisaka.
“Sikap Ki Tumenggung terhadap anak laki-lakinya yang tiba-tiba saja berubah, juga menarik perhatian” berkata Ki Waskita.
“Ya” Ki Pemanahan pun mengangguk-angguk pula. Namun kemudian katanya, “Tetapi mungkin Ki Panengah itu benar. Kamilah yang terlalu curiga terhadap seseorang”
“Jika saja Ki Tumenggung Sarpa Biwada tidak berhubungan dengan Harya Wisaka, maka agaknya dugaan itu memang benar, Ki Gede. Tetapi menilik apa yang pernah dilakukan Ki Tumenggung Sarpa Biwada dan dengan siapa ia berhubungan, kecurigaan kita tidak berlebihan”
“Ki Panengah memang harus berhati-hati”
“Jika Ki Tumenggung itu selalu mendorong agar Ki Panengah segera membuka hutan Jabung, maka agaknya Ki Tumenggung atau orang-orang yang berhubungan dengan Ki Tumenggung itu mempunyai niat tersendiri”
Ki Gede Pemanahan mengangguk-angguk. Katanya, “Apakah hal ini sudah Ki Waskita bicarakan dengan Ki Panengah?”
“Serba sedikit sudah, Ki Gede”
“Jika demikian, apabila sampai pada saatnya Ki Panengah membuka hutan Jabung, maka tentu diperlukan pengamanan yang khusus. Ini bukan berarti bahwa kami tidak mempercayai kemampuan dan kemandirian perguruan Ki Panengah. Tetapi kita juga harus berpijak pada kenyataan, bahwa perguruan itu masih baru lahir”
Ki Waskita mengangguk-angguk. Katanya, “Aku mempunyai banyak kesempatan untuk berbicara dengan Ki Panengah, Ki Gede. Di sela-sela tugas-tugas kami di padepokan itu”
“Baiklah, Ki Waskita. Aku minta Ki Waskita memberitahukan kepadaku, kapan Ki Panengah akan membuka hutan Jabung”
“Ki Panengah sedang mempersiapkan cantrik-cantriknya lahir dan batin untuk menghadapi tugas yang berat itu”
Ki Gede Pemanahan mengangguk-angguk. Namun Ki Gede benar-benar sangat memperhatikan perguruan yang dipimpin Ki Panengah, sehingga ia telah mengirimkan anaknya ke perguruan itu. Bahkan Kangjeng Sultan juga memperkenankan Pangeran Benawa untuk berada di padepokan itu pula.
Ki Gede Pemanahan dan Kangjeng Sultan memang menginginkan bibit-bibit yang meyakinkan bagi masa depan Pajang.
Dalam pada itu, anak-anak muda yang berguru di padepokan Ki Panengah itu pun telah ditempa dalam berbagai macam ilmu. Mereka bukan saja menjadi seorang anak muda yang memiliki kemampuan olah kanuragan. Tetapi juga anak-anak muda yang cerdas dan mempunyai wawasan luas tentang pemerintahan dan tentang berbagai macam ilmu yang lain.
Karena pada dasarnya anak-anak muda itu sudah mempunyai dasar ilmu sebelumnya yang juga mereka terima dari Ki Panengah serta kesungguhan mereka dengan bekerja keras, maka peningkatan ilmu mereka pun terasa menjadi lebih cepat.
Kehadiran Pangeran Benawa dan Raden Sutawijaya mempunyai pengaruh yang sangat besar. Di padepokan itu, keduanya sama sekali tidak dibedakan dengan murid-murid yang lain. Keduanya juga harus bangun pagi-pagi dan melakukan apa yang harus dilakukan oleh murid-murid yang lain, termasuk menyapu halaman dan menimba air serta bekerja di dapur.
Namun ilmu mereka yang sangat tinggi memacu anak-anak muda yang lain untuk semakin keras berlatih. Kemampuan Paksi pun membuat kawan-kawannya menjadi heran. Sebelum meninggalkan perguruannya, Paksi memang mempunyai beberapa kelebihan dari kawan-kawannya. Namun setahun kemudian, kemampuannya seolah-olah telah menjadi berlipat-ganda.
Demikianlah, setelah beberapa bulan berlalu, maka Ki Panengah telah mengadakan penilaian atas kemampuan murid-muridnya. Ternyata bahwa kerja keras yang dilakukan oleh para murid itu membuahkan hasil yang memuaskan. Bukan saja Ki Panengah merasa puas, tetapi Ki Waskita pun menganggap bahwa anak-anak muda itu telah berhasil pada tahap pertama.
Dengan demikian, maka Ki Panengah mulai membicarakan kemungkinan untuk membuka hutan Jabung.
“Bagaimana pendapat Ki Waskita?” bertanya Ki Panengah.
“Aku kira memang sudah saatnya, Ki Panengah. Tetapi seperti yang pernah kita bicarakan, kita harus berhati-hati. Sebagaimana kita ketahui, sudah berapa kali Ki Tumenggung Sarpa Biwada mendesak kepada kita, agar Ki Panengah segera membuka hutan Jabung. Tetapi seperti yang Ki Panengah katakan, mudah-mudahan kita keliru. Hati kita yang buram ini terlalu mudah untuk berprasangka buruk terhadap seseorang. Padahal, maksudnya yang sebenarnya adalah baik”
Ki Panengah tersenyum. Katanya “Tetapi apa salahnya jika kita berhati-hati”
“Sebaiknya kita merencanakan, kapan kita akan mulai membuka hutan itu. Kita harus membuat persiapan yang sebaik-baiknya. Peralatan yang memadai, perencanaan yang matang serta kemauan yang kuat”
Ki Panengah pun mengangguk-angguk. Katanya, “Ya. Kita akan menyusun rencana itu. Kita berdua dan beberapa orang akan pergi ke hutan Jabung untuk melihat keadaan sebalai bahan perencanaan itu. Aku akan minta Ki Kriyadama untuk menyertai kita. Ki Kriyadama akan dapat membantu kita untuk membuat perencanaan yang baik bagi sebuah padepokan yang Ikan berdiri dari beberapa bangunan”
“Siapa saja yang akan kita bawa ke hutan Jabung?” berkata Ki Waskita.
“Siapa menurut pendapat Ki Waskita?”
“Siapa saja, asal bukan Pangeran Benawa”
Ki Panengah menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Ya. Aku mengerti”
Banyak orang yang menginginkannya. Pangeran Benawa diburu orang sejak lama karena ia membawa cincin itu. Apalagi sekarang Pangeran Benawa justru mengenakan cincin itu setiap hari”
“Aku mengerti. Orang-orang yang memburunya itu mungkin sekali akan memanfaatkan seliap kesempatan. Jika mereka tahu, bahwa Pangeran Benawa akan pergi ke hutan Habung, maka mereka akan menyergapnya”
“Mungkin Harya Wisaka. Tetapi mungkin kelompok-kelompok lain. Perguruan-perguruan orang gila yang tentu juga bertebaran di sini setelah mereka mendengar bakwa Pangeran Benawa telah kembali ke istana”
“Sebaiknya Pangeran Benawa memang tidak mengenakan cincin itu sehari-hari”
Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada berat ia pun berkata, “Aku kira tidak akan ada bedanya. Orang-orang itu tetap menduga bahwa cincin itu ada pada Pangeran Benawa. Jika mereka tidak menemukan cincin itu pada Pangeran Benawa seandainya mereka dapat menangkapnya, maka nasib Pangeran Benawa akan menjadi sangat buruk”
Ki Panengah mengangguk-angguk. Betapapun tingginya ilmu Pangeran Benawa, namun kemungkinan yang paling buruk itu pun akan dapat terjadi. Perguruan-perguruan yang dipimpin oleh orang-orang yang tamak itu juga mempunyai beberapa orang berilmu tinggi. Jika mereka dapat bekerja sama, meskipun hanya untuk sementara, maka kekuatan mereka akan menjadi cukup besar. Sedang disisi lain, Harya Wisaka juga akan mampu mengumpulkan orang-orang berilmu tinggi untuk melakukan hal yang sama terhadap Pangeran Benawa.
“Sebaiknya Pangeran Benawa memang tidak ikut bersama kami. Bahkan aku juga berharap Raden Sutawijaya juga tidak”
“Paksi?”
“Paksi tidak akan menjadi sasaran lagi, karena cincin itu tidak mungkin ada padanya”
“Jika ada kepentingan lain?” bertanya Ki Waskita dengan dahi yang berkerut.
Ki Panengah mengangguk-angguk. Katanya, “Aku mengerti. Jika demikian, apakah sebaiknya kita berdua saja bersama Ki Kriyadama untuk melihat keadaan serta kemungkinannya?”
Ki Waskita termangu-mangu sejenak. Namun katanya kemudian “Agaknya memang demikian, Ki Panengah. Kita berdua saja bersama Ki Kriyadama”
Keduanya ternyata sepakat untuk tidak membawa orang lain ke hutan Jabung.
Karena itu, maka dihari berikutnya, Ki Panengah dan Ki Waskita memberitahukan kepada para cantrik, bahwa keduanya akan pergi ke hutan Jabung bersama Ki Kriyadama. Semula para cantrik itu menyatakan keinginan mereka untuk ikut. Bahkan agak memaksa. Tetapi Ki Panengah pun kemudian berkata, “Dengar perintahku. Setiap murid harus mendengarkan perintah gurunya”
Tidak seorang pun yang kemudian memaksakan kehendak mereka. Pangeran Benawa dan Raden Sutawijaya pun tidak. Jika mereka tidak menurut perintah gurunya, maka akan menjadi contoh yang tidak baik bagi murid-murid yang lain, yang sudah mulai menempatkan diri sebagaimana seharusnya seorang murid.
Sebenarnyalah, Ki Panengah dan Ki Waskita pun telah pergi ke hutan Jabung. Bertiga bersama Ki Kriyadama mereka melarikan kuda mereka, keluar pintu gerbang kota.
Semakin lama mereka menjadi semakin jauh dari kota. Mereka pun kemudian menyusuri jalan yang semakin lama semakin sempit, sehingga akhirnya kuda mereka berjalan diatas jalan setapak berurutan. Ki Panengah berada di paling depan. Kemudian Ki Kriyadama dan terakhir adalah Ki Waskita”
Karena hutan Jabung memang tidak terlalu jauh dari kota-raja, maka sebelum matahari memanjat sampai ke puncak, mereka sudah berada di hutan Jabung.
Mereka pun kemudian telah menambatkan kuda mereka. Bertiga mereka melihat-lihat kemungkinan-kemungkinan yang dapat mereka lakukan untuk membuka sebuah padepokan dengan lingkungan pendukungnya.
“Hutan ini adalah hutan yang sangat lebat” berkata Ki Waskita.
Ki Panengah menarik nafas dalam-dalam. Perguruannya benar-benar menghadapi tantangan yang sangat berat. Para cantrik harus bekerja sangat keras untuk membuka hutan itu.
“Berapa tahun kalian akan menyelesaikan kerja kalian?” bertanya Ki Kriyadama.
“Bagaimana menurut pendapatmu?”
“Kalian tidak akan mampu melakukan hanya dengan lima-belas orang, atau katakanlah dengan yang lain duapuluh orang. Memang mungkin kalian dapat melakukannya. Tetapi baru ketika murid-muridmu itu menjadi tua, pekerjaan ini akan dapat diselesaikan”
Ki Panengah mengangguk-angguk. Sementara Ki Waskita pun berdesis, “Seakan-akan tidak ada sejengkal tanah pun yang luang”
“Ya” sahut Ki Panengah “jika aku memaksa anak-anak untuk membuka hutan tanpa pihak lain, maka kapan mereka mendapat kesempatan untuk menempa diri?”
“Pertimbangkan, Ki Panengah. Aku tahu maksud Ki Panengah. Tetapi Ki Panengah harus melihat kenyataan ini”
“Ki Waskita, bagaimana pendapat Ki Waskita jika hal ini kita bicarakan dengan Ki Gede Pemanahan”
“Aku sependapat” jawab Ki Waskita “aku kira kita lebih baik berbicara langsung dengan Ki Gede Pemanahan daripada dengan orang tua para cantrik”
“Tetapi aku akan tetap melibatkan para cantrik, sehingga para cantrik pun akan merasa ikut membangun padepokan itu”
“Aku setuju, Ki Panengah”
“Nah, jika demikian, maka anak-anak muda yang berguru kepada Ki Panengah tidak akan terlalu banyak kehilangan waktu, justru pada umur mereka yang paling sesuai untuk menempa diri”
Beberapa saat lamanya, Ki Panengah, Ki Waskita dan Ki Kriyadama berada di hutan itu. Mereka memasuki hutan itu sampai beberapa puluh patok untuk melihat-lihai keadaannya. Disana-sini tumbuh pohon-pohon raksasa yang harus ditebang. Sementara itu, hutan itu pun pepat dengan pepohonan yang lebih kecil serta pohon-pohon perdu. Dahan-dahan kering yang patah terbujur lintang. Sebagian sudah menjadi lapuk, diselimuti oleh gerumbul-gerumbul liar yang berduri. Sulur pepohonan terjurai bergayutan dan saling membelit dengan pepohonan yang merambat, merajut pohon yang satu dengan pohon yang lain.
“Medan yang sangat berat” berkata Ki Panengah “aku memang harus menyesuaikan keinginan dengan kenyataan ini.
Beberapa saat mereka melihat-lihat keadaan, tiba-tiba mereka terkejut mendengar kuda-kuda mereka meringkik. Agaknya kuda-kuda itu melihat sesuatu yang membuat mereka ketakutan.
Karena itu, ketiga orang itu pun segera berloncatan menerobos lebatnya hutan itu untuk melihat, apa yang terjadi dengan kuda-kuda mereka.
Namun demikian mereka muncul dari sela-sela pepohonan yang rapat rapat, mereka melihat kuda-kuda mereka yang tertambat di antara pepohonan yang sudah menjadi jarang yang tumbuh di padang perdu dipinggir hutan, sudah menjadi tenang. Beberapa orang berdiri di dekat kuda-kuda mereka berempat. Tiga orang diantara mereka mengelus leher kuda-kuda yang gelisah itu sehingga menjadi tenang kembali. Agaknya mereka adalah orang-orang yang mengenali kuda dengan baik, sehingga mereka dengan cepat menguasai kuda-kuda yang terkejut itu.
“Selamat siang, Ki Sanak” berkata salah seorang dari mereka.
Ki Panengah, Ki Waskita dan Ki Kriyadama memandang mereka satu demi satu. Mereka melihat tujuh orang yang seakan-akan memang menunggu ketiga orang yang keluar dari hutan itu.
“Selamat siang” jawab Ki Panengah meskipun agak ragu.
“Kami lewat di padang perdu ini” berkata orang itu, “kami memang agak keheranan melihat tiga ekor kuda yang terlambat disini. Karena itu, kami sepakat untuk memanggil kalian dengan mengejutkan kuda-kuda kalian”
“Untuk apa kalian memanggil kami?” bertanya Ki Panengah.
“Kami hanya ingin tahu, apakah yang kalian lakuan disini? Hutan ini adalah hutan yang sangat lebat yang jarang didatangi orang. Tetapi kalian bertiga memerlukan untuk menembus memasuki hutan ini”
“Tidak apa-apa Ki Sanak. Hanya terdorong oleh keinginan untuk mengetahui, apakah isi hutan ini”
Orang-orang itu tertawa. Seorang yang bertubuh agak gemuk berkata, “Kalian jangan berolok-olok”
“Kenapa berolok-olok? Aku berkata sebenarnya”
“Baiklah” berkata orang yang rambutnya sudah mulai ditumbuhi uban yang selembar-selembar mencuat dari balik ikat kepalanya “jika kau tidak mau mengatakan keperluanmu, kami tidak akan memaksa. Tetapi kuda-kuda kalian ini sangat menarik. Kami masih kekurangan kuda di perguruan kami. Karena itu, maka kami ingin membeli ketiga ekor kuda kalian ini”
Ki Panengah mengerutkan dahinya. Namun sebelum ia menjawab, Ki Waskita telah menjawabnya, “Berapa kalian ikan membeli kuda-kuda kami?”
Orang yang berambut sudah mulai ubanan itu mengerutkan dahinya. Namun kemudian ia pun tertawa, Katanya, “Berapa kalian memberi harga?”
“Semula kami tidak berniat menjualnya, Ki Sanak. Tetapi jika kalian bersedia memberikan harga yang tinggi, maka kami akan memikirkannya”
Orang yang berambut mulai ubanan itu justru termangu mangu.
Namun orang yang bertubuh agak gemuk itulah yang menyahut “Tiga keping. Kami mempunyai uang tiga keping untuk membeli tiga ekor kuda kalian”
Ki Waskita sama sekali tidak terkejut. Ia sudah menduga bahwa orang-orang itu akan memberikan jawaban asal saja mengucapkan kata-kata. Karena itu, maka Ki Waskita itu pun segera menyahut “Satu penghargaan yang tinggi. Orang lain tidak akan berani menghargai kuda-kuda kami semahal itu, sama dengan nilai tiga pincuk nasi megana”
Orang yang bertubuh gemuk itu mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia pun tertawa. Katanya “Nah, bukankah kami sudah berbaik hati. Nah sekarang relakan kami membawa kuda-kuda kalian pergi. Kami akan memelihara dengan baik.
“Nanti dulu, Ki Sanak” cegah Ki Waskita, “sebelum kalian pergi, aku ingin bertanya, siapakah kalian dan kalian datang dari perguruan mana?”
Orang yang rambutnya mulai ubanan itu melangkah maju sambil berkata, “Sudahlah. Jangan bertanya macam-macam. Kami anggap persoalan diantara kita sudah selesai”
“Kalian belum membayar tiga keping uang”
Orang yang rambutnya mulai ubanan itu berkata, “Hentikan gurauanmu itu. Kami akan membawa kuda-kuda kalian”
“Tunggu, Ki Sanak. Kalian belum menjawab. Kalian itu siapa dan dari perguruan mana?”
Orang berambut ubanan itu tidak menjawab. Demikian orang yang agak gemuk dan orang-orang yang lain. Tiga orang diantara mereka sudah siap untuk melepaskan ikatan ketiga ekor kuda itu untuk membawanya pergi. Sementara yang lain pun telah beranjak pula dari tempat mereka.
Namun Ki Waskita itu pun justru tertawa sambil berkata, “Kalian memang lucu. Kalian ingin mencuri kuda dihadapan pemiliknya. Kau kira kami akan membiarkannya?”
“Kalian mau apa kakek-kakek?” bertanya orang yang berwajah garang dengan goresan cacat di kening.
“Jangan main-main dengan orang-orang tua” berkata Ki Waskita. Sebaiknya kalian pergi saja”
Ketujuh orang itu tidak menghiraukan peringatan itu. Namun Ki Waskita memang tidak membiarkan mereka pergi membawa kuda-kuda mereka. Karena itu, maka ia pun berkata sambil memungut batu sebesar telur, “Jangan memaksa kakek-kakek tua ini kehilangan gurauannya. Aku dapat melempar siapa yang mencoba membawa kuda-kuda kami”
Orang-orang itu tiba-tiba saja tertawa keras-keras. Seorang diantara mereka berkata “Kau memang seorang badut yang lucu, kek”
Tetapi belum lagi mulutnya terkatup, orang itu terpelanting jatuh. Kemudian orang itu menggeliat kesakitan sambil merintih. Tangan kirinya memegangi bahu kanannya yang dicengkam kesakitan.
Enam orang kawannya terkejut. Mereka tidak tahu apa yang terjadi. Yang mereka tahu, tiba-tiba saja kawannya merintih kesakitan.....
“Kau melemparnya dengan batu?” bertanya orang yang mulai ubanan.
“Ya” jawab Ki Waskita sambil memungut lagi sebutir lutu sebesar telur.
Keenam orang itu tiba-tiba saja telah memencar. Namun diluar perhitungan mereka, seorang lagi telah terdorong beberapa langkah surut. Kemudian jatuh terguling di tanah. Sambil berteriak kesakitan orang itu pun menungging sambil memegangi perutnya.
Sementara itu, Ki Waskita telah memungut lagi sebutir batu.
Giliran siapa yang akan aku lempar dengan batu ini?” bertanya Ki Waskita, “jika aku kehilangan kesabaran, aku tidak akan melempar bahu atau perut kalian. Tetapi dahi kalian sehingga kepala kalian akan pecah”
Orang-orang itu pun termangu-mangu sejenak. Yang sudah mencoba untuk melepaskan tambatan kuda-kuda itu pun telah mengurungkannya dan bergeser surut, bahkan berdiri di belakang sebatang pohon untuk berlindung.
“Bawa kawan-kawanmu pergi. Tetapi sebut perguruanmu. Jika kalian berkeberatan, maka aku akan membunuh kalian”
Orang-orang itu masih berdiri tegak mematung.
“Cepat, sebut perguruan kalian atau nama pemimpin perguruan kalian”
Orang-orang itu masih berdiam diri. Namun mereka pun terkejut ketika mereka mendengar derak dahan pohon yang berdiri tidak jauh dari tempat mereka berdiri itu patah dan jatuh selangkah dari orang yang agak gemuk itu. Ranting dan daun-daunnya telah menimpa seorang yang lain, sehingga terhuyung-huyung. Dengan cepat ia pun meloncat menjauh.
“Jika kalian tidak menjawab, maka batu berikutnya akan menyambar kepala salah seorang dari kalian”
Orang yang rambutnya sudah mulai ubanan itu pun akhirnya berkata, “Kami adalah murid-murid dari perguruan Goa Lampin”
Tetapi Ki Waskita dan Ki Panengah itu pun tertawa. Ki Panengah lah yang menyahut, “Apakah kalian termasuk laki-laki yang hidup di kerangkeng-kerangkeng di Goa Lampin”
Orang yang rambutnya ubanan itu mengerutkan dahinya. Sementara Ki Panengah pun berkata, “Kami tahu bahwa kalian masih saja bersaing untuk memburu cincin itu. Itulah sebabnya maka sekarang kalian berkeliaran di sekitar Pajang, karena agaknya kalian sudah mendengar bahwa Pangeran Benawa sudah kembali ke istana. Tetapi kalian jangan menyebut perguruan Goa Lampin”
Orang yang rambutnya sudah mulai ubanan itu menjadi berdebar-debar. Ternyata orang-orang tua itu adalah orang-orang yang berilmu tinggi yang belum mereka kenal. Mungkin mereka juga orang-orang yang sedang memburu Pangeran Benawa. Karena itu, maka orang yang rambutnya mulai ubanan itu katanya, “Apa yang sebenarnya kau ketahui tentang Pangeran Benawa dan cincin itu? Apakah kalian berada ditempat ini juga karena kalian sedang memburu Pangeran Benawa?”
“Ya” jawab Ki Panengah, “tetapi kami tidak mau disaingi. Karena itu, kalian harus enyah dari tempat ini serta jangan berkeliaran lagi disekitar Pajang. Tetapi kalian belum menjawab, kalian datang dari perguruan mana?”
Orang itu akhirnya menjawab “Kami adalah orang-orang dari perguruan Tegal Arang”
Ki Panengah tersenyum. Katanya, “Kenapa kalian tidak menyebutnya sejak semula. Sebenarnyalah kami sudah mengetahui bahwa kalian adalah orang-orang Tegal Arang. Tetapi kami ingin tahu, apakah kalian termasuk orang-orang yang jantan yang berani menengadahkan dadanya menghadapi apapun juga. Tetapi ternyata kalian adalah pengecut yang ingin menyembunyikan kenyataan tentang diri kalian sendiri”
Tidak seorang pun yang menjawab. Sementara ilu Ki Panengah itu pun berkata, “pergilah. Bawa kawan-kawanmu yang kesakitan itu. Tetapi ingat, jangan ganggu kami lagi”
“Kami tidak akan mengganggu kalian lagi. Tetapi aku tidak tahu, apakah guru juga berpendirian begitu” desis orang yang berkumis tebal.
“Kau masih juga berani mengancam?” bentak Ki Waskita sambil melangkah maju.
Orang itu bergeser surut. Tetapi ia tidak menyahut.
“Pergilah” ulang Ki Panengah, “ceriterakan semuanya yang kau alami kepada gurumu. Jika ia mempunyai keberanian, biarlah ia datang bersama para putut, menguyu dan jejanggan serta semua cantriknya. Kami tidak akan tergetar sama sekali”
Orang-orang itu tidak menjawab. Tetapi mereka mulai menolong kawan-kawannya yang kesakitan.
“Mereka tidak apa-apa” berkata Ki Panengah, “jika saja mereka tidak cengeng, mereka akan dapat berjalan sendiri seperti saat mereka datang. Jangan mencoba meminjam kudaku untuk membawa mereka”
Orang-orang itu masih tetap berdiam diri. Namun sejenak kemudian, orang-orang itu mulai beringsut meninggalkan Ki Panengah, Ki Waskita dan Ki Kriyadama.
Tetapi beberapa langkah kemudian orang yang rambutnya mulai beruban itu pun berhenti. Kemudian memutar badannya sambil bertanya, “Apakah kalian bersedia menyebut nama dan gelar kalian serta perguruan kalian?”
“Itu tidak penting” jawab Ki Panengah “gurumu tentu belum mengenal kami”
Orang itu tidak mendesak lagi. Ia pun kemudian berbalik pula dan meneruskan langkahnya meninggalkan ketiga orang tua yang berdiri termangu-mangu di tepi hutan itu.
Sambil berdesah Ki Panengah itu pun berdesis, “Mereka masih belum menghentikan usaha mereka untuk memburu Pangeran Benawa”
“Jika kita membuka hutan ini, kita memang harus berhati-hati. Mereka akan dapat bekerja bersama meskipun kemudian orang-orang dari berbagai perguruan itu akan dapat bertempur dan saling membunuh”
Demikianlah, maka ketiga orang itu pun kemudian meninggalkan hutan Jabung dan kembali ke kotaraja. Mereka sudah mendapatkan gambaran tentang hutan yang akan mereka buka. Tetapi mereka juga sudah mendapat gambaran, bahwa orang-orang yang menginginkan cincin itu telah memburu Pangeran Benawa sampai ke Pajang. Bahkan mereka tentu tidak akan segan-segan mengirimkan orangnya untuk mencari Pangeran Benawa di dalam lingkungan dinding Kotaraja dengan segala kemungkinan yang dapat terjadi atas mereka.
“Hal ini harus kita sampaikan kepada Ki Gede Pemanahan untuk mengamankan Pangeran Benawa. Jika perlu, Pangeran Benawa tidak usah terlibat dalam pembukaan hutan itu” gumam ki Panengah.
“Tetapi Pangeran Benawa sendiri tentu bersikap” sahut Ki Waskita.
Ki Panengah menarik nafas dalam-dalam. Pangeran Benawa memang bukan benda mati yang dapat mereka letakkan dimana saja menurut keinginan mereka. Tetapi Pangeran Benawa itu justru mempunyai kemauan yang kadang-kadang justru sulit dimengerti.
“Kita akan menghadap Ki Gede” desis Ki Panengah, “tentu bersama dengan Ki Kriyadama”
Apakah aku juga penting untuk ikut menghadap?”
Ki Kriyadama dan Ki Waskita memberikan uraian tentang pembangunan padepokan setelah hutan itu dibuka”
“Terserah saja kepada kalian” berkata Ki Kriyadama.
Dalam pada itu, Ki Panengah dan Ki Waskita masih belum memberikan keterangan kepada murid muridnya. Namun Ki Panengah itu pun berkata, “Bersiap-siap sajalah. Kita akan segera mulai dengan kerja yang sangat berat”
Sebenarnyalah di hari berikutnya, Ki Panengah, Ki Waskita dan Ki Kriyadama telah menghadap Ki Gede Pemanahan untuk memberikan laporan tentang keadaan hutan Jabung yang
akan mereka buka.
Ki Gede Pemanahan itu tersenyum. Katanya, “Aku dapat mengerti, Ki Panengah. Jadi bagaimana sebaiknya menurut Ki Panengah?”
“Kami akan meminta bantuan Ki Gede untuk membuka hutan itu. Tetapi bukan berarti bahwa anak-anak kami dari padepokan tidak akan melakukannya. Kami, para pengasuh berpendapat, bahwa anak-anak kami harus tetap terlibat dalam pembangunan padepokan itu. Tetapi kami pun berpendapat bahwa kami tidak boleh mengorbankan waktu terlalu banyak dari anak-anak tersebut”
“Baiklah Ki Panengah. Aku akan mempersiapkan tenaga yang kau inginkan itu” Ki Gede menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian katanya pula, “selain untuk mempercepat pembangunan padepokan itu, Ki Panengah dan seisi padepokan itu juga memerlukan pengamanan”
Ki Panengah mengangguk-angguk. Ia segera mengerti apa yang dimaksudkan oleh Ki Gede. Karena itu, maka Ki Panengah pun telah menceriterakan pula kehadiran orang-orang dari perguruan Tegal Arang di hutan Jabung.
“Pangeran Benawa tetap terancam oleh orang-orang yang memburu cincin itu, Ki Gede. Kami sebenarnya menginginkan agar Pangeran Benawa tidak terlibat dalam kerja di hutan Jabung. Tetapi aku yakin, bahwa Pangeran Benawa tidak akan bersedia”
“Ya. Aku pun berpendapat, bahwa Pangeran Benawa akan menolak jika Ki Panengah mengusulkan kepadanya, agar Pangeran Benawa itu tidak usah ikut ke hutan Jabung. Ia pun akan menolak jika diusulkan kepadanya untuk menyimpan cincinnya itu, karena ia tahu, bahwa Harya Wisaka juga sedang memburu cincin itu pula”
“Jadi menurut Ki Gede?”
“Orang-orang yang akan membantu hutan itu adalah orang-orang yang akan mampu melindungi kalian pula. Seluruh keluarga padepokan. Bukan maksudku mengatakan bahwa orang-orang yang akan membantu membuka hutan Jabung itu memiliki kemampuan melebihi Ki Panengah, Ki Waskita, Ki I Kriyadama dan anak-anak dari padepokan itu. Tetapi jumlah mereka akan dapat ikut menentukan. Jika orang-orang yang menginginkan Pangeran Benawa karena Pangeran Benawa membawa cincin itu, jumlahnya terlalu banyak, maka kemungkinan buruk akan dapat terjadi. Tetapi dengan orang-orang yanp aku kirim untuk membuka hutan itu, maka jumlah itu akan dapat diimbangi”
Ki Panengah menarik nafas dalam-dalam. Diluar sadarnya, Ki Panengah itu menegaskan, “Apakah Ki Gede akan mengirim sekelompok prajurit ke hutan Jabung?”
Ki Gede mengangguk-angguk. Katanya, “Para prajurit akan membantu Ki Panengah membuka hutan itu. Tetapi mereka tidak akan hadir dihutan itu sebagai prajurit. Mereka akan luluh dengan para cantrik dari padepokan Ki Panengah sebagai satu ujud sumbangsih dari para prajurit”
“Terima-kasih, Ki Gede” desis Ki Panengah.
“Nah, tentukan saja. Kapan Ki Panengah akan mulai membuka hutan itu. Sekelompok orang akan ikut bersama para cantrik dan membuka hutan Jabung itu. Meskipun setiap hari mereka bergulat dengan senjata, tetapi mereka tidak akan canggung mempergunakan kapak untuk menebang pepohonan di hutan itu”
Demikianlah, maka Ki Panengah, Ki Waskita dan Ki Kriyadama, seorang yang memilki pengetahuan luas dan memadai untuk membangun sebuah padepokan, telah menentukan saat untuk mulai membuka hutan itu. Orang tua para cantrik pun telah diberi tahu, saat yang penting itu.
“Di awal bulan depan, kami akan mulai dengan membuka hutan itu. Pada saat bulan mulai nampak di langit, maka dihari berikutnya, maka pohon yang pertama akan ditebang. Orang tua dari para cantrik itu menjadi berdebar-debar. Anak-anak mereka akan terlibat dalam satu kerja yang besar.
Dalam pada itu, Ki Tumenggung Sarpa Biwada pun bartanya, “Apakah para cantrik akan mondar-mandir setiap hari dari padepokan ini ke hutan Jabung?”
“Bagaimana cara yang terbaik menurut Ki Tumenggung?” bertanya Ki Panengah.
“Sebaiknya para cantrik membangun perkemahan yang dapat menampung mereka di pinggir hutan Jabung. Waktu mereka tidak akan mereka habiskan untuk hilir mudik dari padepokan ini ke hutan Jabung”
“Satu pikiran yang baik. Kami akan mempertimbangkan Ki Tumenggung”
“Padepokan ini memerlukan waktu dua tiga pekan untuk membangun perkemahan serta mengangkut persediaan bahan makanan. Membuat sumur dan memagari lingkungan yang dipergunakan itu. Kita memang akan kehilangan waktu. Tetapi setelah itu, maka para cantrik tidak perlu lagi hilir mudik dari padepokan ini ke hutan Jabung. Sementara itu, waktu-waktu yang terluang akan tetap dapat dipergunakan untuk meningkatkan ilmu yang disadap diperguruan ini”
“Gagasan yang bagus sekali, Ki Tumenggung. Agaknya kami akan dapat mengetrapkan gagasan ini bagi para cantrik”
“Kerja ini adalah kerja yang besar, Ki Panengah. Hitungan waktunya adalah hitungan tahun. Bukan hari, pekan atau bulan sekalipun”
“Terima-kasih atas kesediaan Ki Tumenggung ikut memikirkan pertumbuhan padepokan ini”
“Bukankah anakku ada di padepokan ini?”
Sebenarnyalah bahwa gagasan itu memang sudah direncanakan oleh Ki Kriyadama. Tetapi bahwa Ki Tumenggung telah menyampaikan gagasan itu, justru menjadi perhatian Ki Panengah dan Ki Waskita. Bukan tentang gagasan itu sendiri, karena gagasan itu bukan hal yang baru. Tetapi kenapa gagasan itu disampaikan.
Setiap kali Ki Panengah dan Ki Waskita membicarakan Ki Tumenggung Sarpa Biwada, mereka selalu tersenyum masam. Ki Waskita itu pun berdesis, “Kenapa kita terlalu curiga kepadanya?”
“Kecurigaan kita kepadanya, sama seperti kecurigaan kita kepada Harya Wisaka. Kasihan Paksi” desis Ki Panengah.
Dalam pada itu, maka persiapan-persiapan telah dilakukan. Peralatan yang akan dibawa, persediaan bahan pangan serta kebutuhan-kebutuhan yang lain.
Namun Ki Panengah berkata, “Jarak hutan Jabung tidak terlalu jauh. Jika ada kekurangan, kita akan segera dapat mengambilnya di padepokan ini”
Dalam pada itu, ditempat lain, sekelompok prajurit pun telah mempersiapkan diri pula. Mereka juga mempersiapkan alat-alat untuk membuka hutan, Kapak, parang, tali-temali, dan sebagainya. Sedangkan sekelompok yang lain juga sudah mempersiapkan alat-alat pertukangan untuk membuat barak-barak darurat serta pagar pelindungnya. Sedangkan sekelompok kecil bertugas untuk merintis jalan yang lebih lebar menuju ke hutan Jabung.
Kerja yang memakan waktu benahun-tahun jika hanya di kerjakan oleh lima-belas orang cantrik saja.
Ketika datang waktunya untuk mulai kerja besar itu, maka Ki Gede Pemanahan pun telah mengatur para prajurit untuk berangkat berurutan. Sekelompok prajurit yang mendapat tugas merintis jalan telah berangkat lebih dahulu. Mereka membuat jalan setapak ke hutan Jabung menjadi jalan yang memungkinkan untuk dilewati pedati-pedati yang akan membawa alat-alat dan pangan ke padang perdu diluar hutan Jabung. Sementara para cantrik yang telah dipersiapkan harus membangun perkemahan yang akan mereka pergunakan sementara, dibantu oleh beberapa orang prajurit yang memiliki ketrampilan pertukangan dipimpin langsung oleh Ki Kriyadama.
Namun dalam pada itu, para prajurit yang ditugaskan untuk membantu pembangunan padepokan itu telah menanggalkan ciri-ciri keprajuritan mereka.
Dalam pada itu, Ki Panengah dan Ki Waskita menyadari sepenuhnya, bahwa bantuan yang diberikan oleh Ki Gede Pemanahan bukannya sekedar bantuan tenaga. Tetapi juga beaya yang besar, karena para prajurit itu masih tetap harus menerima gaji mereka sebagai prajurit dan sedikit tambahan bagi setiap orang, karena mereka terlibat dalam kerja yang berat.
Tetapi yang dilakukan oleh Ki Gede Pemanahan itu telah disetujui oleh Kangjeng Sultan, karena setiap persoalan yang menyangkut padepokan itu selalu disampaikannya kepada Kangjeng Sultan Hadiwijaya.
Dihari-hari berikutnya, maka kerja membuka hutan Jabung itu menjadi semakin riuh. Para cantrik dari padepokan itu yang dipimpin oleh Ki Panengah dan Ki Waskita, serta para prajurit yang oleh Ki Gede Pemanahan diperbantukan kepada padepokan itu, telah bekerja keras untuk membangun sebuah padepokan.
Seperti yang direncanakan, telah dibangun sebuah perkemahan sementara yang terdiri dari beberapa barak memanjang di padang perdu yang telah dibabat.
Kerja itu benar-benar kerja yang besar. Ki Panengah harus mengakui, bahwa kerja itu tidak dapat dilakukan oleh para cantrik sendiri. Jika hal itu dilakukan, maka seperti kata Ki Kriyadana, bahwa kerja itu baru akan selesai selelah para Cantrik menjadi tua sementara mereka tidak sempat menyadap ilmu sebagaimana yang mereka cita-citakan.
Namun para cantrik dari padepokan yang dipimpin oleh Ki Panengah itu sepenuhnya terlibat dalam pembangunan itu, sehingga merasakan ikut bertanggung-jawab terhadap padepokan yang telah mereka bangun itu.
Pangeran Benawa dan Raden Sutawijaya juga terlibat dalam kerja itu sebagaimana para cantrik yang lain. Ketika Ki Panengah dan Ki Waskita mencoba menghubungi mereka dan minta agar mereka tidak usah ikut dalam kesibukan pembangunan itu, maka sambil tertawa Pangeran Benawa berkata, “Apa pula keberatannya? Bukankah dalam kerja itu terdapat banyak orang, sehingga tidak seorang pun akan mengganggu aku?”
Ki Panengah dan Ki Waskita tidak dapat memaksa Pangeran Benawa dan Raden Sutawijaya untuk tidak melibatkan diri. Tetapi Ki Panengah dan Ki Waskita memang mencemaskan mereka.
Dalam pada itu, kerja yang besar itu ternyata selalu diawasi oleh dua orang dari jarak yang cukup jauh. Kedua orang itu dengan cermat mengikuti kerja para cantrik dan para prajuirt itu dengan seksama. Namun akhirnya mereka mendapat kesimpulan, bahwa di hutan Jabung itu terdapat kekuatan yang cukup besar dan sulit untuk diatasi tanpa persiapan yang memadai.
“Ternyata Pangeran Benawa mendapat perlindung yang kuat” berkata salah seorang dari mereka.
“Kita memang harus bersabar. Kita tidak akan dapat bertindak dengan tergesa-gesa jika kita ingin berhasil” sahut yan lain.
“Tetapi agaknya Harya Wisaka tidak sabar lagi untuk menangkap Pangeran Benawa. Saat ini adalah saat yang tepat untuk menangkapnya dan mengambil cincin dari tangannya. Jika waktunya tertunda-tunda, Harya Wisaka mencemaskan, bahwa cincin itu sudah tidak berada di tangan Pangeran Benawa lagi”
“Tetapi apakah cukup kekuatan untuk menguasai para cantrik dan para prajurit yang bekerja membuka hutan itu?”
Kawannya mengangguk-angguk. Katanya, “Didalamnya dapat pula orang-orang berilmu tinggi seperti Ki Panengah, orang yang berewok itu, Pangeran Benawa sendiri dan Raden Sutawijaya.”
“Kita hanya wajib melaporkan apa adanya. Segala sesuatu terserah kepada Harya Wisaka”
Tetapi kedua orang itu masih harus menunggu dua hari lagi. Seperti hari-hari sebelumnya, mereka pun selalu datang dan mengawasi kerja yang sibuk di hutan Jabung itu. Beberapa batang pohon raksasa sudah dirobohkan, sementara beberapa balok yang panjang telah berdiri. Barak yang tiang-tiangnya yang dibuat dari batang-batang kayu bulat yang panjang sebesar bambu petung. Sementara itu kerangka atapnya dibuat dari bambu basah yang juga banyak terdapat di hutan itu.
Barak-barak itu memang dibuat hanya untuk sementara. karena itu, maka bahannya pun tidak harus dipilih dengan sangat teliti, meskipun kekuatannya tetap diperhitungkan.
“Mereka mempergunakan bahan seadaanya” desis salah seorang yang mengawasi kerja di hutan Jabung itu.
“Tetapi bangunan yang sebenarnya bagi padepokan itu tentu dibuat dari kayu yang terpilih”
Yang lain mengangguk-angguk. Akhirnya kedua orang itu pun telah menghadap Harya Wisaka untuk memberikan laporan, apa yang sudah mereka lihat di Hutan Jabung.
“Aku mempunyai kekuatan yang cukup besar. Aku akan dapat menghancurkan mereka” berkata Harya Wisaka.
“Mungkin sekali” jawab salah seorang pengawas itu, “Tetapi yang terjadi adalah perang yang yang besar yang tentu akan berkepanjangan. Pajang tentu akan segera menjatuhkan keputusan untuk menghancurkan kita yang disebutnya sebagai sebuah pemberontakan dan pengkhianatan. Kita tidak akan dapat bersembunyi dan mencuci tangan lagi”
“Apakah kita harus menunggu cincin itu terlepas dari tangan Pangeran Benawa?” desis Harya Wisaka.
“Tetapi kita pun tidak ingin tersuruk kedalam satu keadaan yang rumit. Kita akan menjadi buruan yang selalu dikejar-kejar”
“Kita mempunyai kekuatan untuk melawan”
“Itulah yang aku maksudkan. Kita harus mempersiapkan landasan itu lebih dahulu. Setelah kita berhasil menangkap Pangeran Benawa, maka kita akan langsung berada dilandasan itu”
“Kau memang gila. Kau kira landasan itu belum dipersiapkan sekarang ini? Apa yang kau ketahui selama ini, he?
“Tetapi apakah landasan itu sudah memadai?”
“Jangan bodoh. Kita tidak akan bertempur dalam garis perang gelar”
Kedua orang yang ditugasi untuk mengawasi hutan Jabung itu termangu-mangu sejenak. Namun Harya Wisaka itu pun kemudian berkata, “Tetapi memang kita tidak akan terlalu bodoh untuk menyerang mereka. Kita akan memancing orang-orang dungu dari beberapa perguruan itu untuk datang lebih dahulu di hutan Jabung”
Kedua orang pengawas itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian mereka pun mengangguk-angguk ketika Harya Wisaka berkata, “Orang-orang kita yang berada diantara mereka akan memancing agar mereka berusaha menangkap Pengeran Benawa. Dalam pertempuran itu, kedua belah pihak akan hancur. Pada saat itulah kita datang untuk melumatkan keduanya dan menangkap Pangeran Benawa”
“Jika demikian, kita harus membuat perhitungan yan matang. Kita tidak boleh terlambat, karena jika kita datang padu saat bantuan dari Pajang datang pula ke hutan Jabung, maka kitalah yang justru akan terjebak”
“Kau memang dungu. Kita akan menutup jalan ke Kota Raja. Jika ada penghubung yang pergi ke Pajang untuk minta bantuan, kita akan menghancurkan mereka”
“Jadi apa yang harus kami lakukan kemudian?”
“Kalian harus tetap mengawasi keadaan. Aku akan bersama dengan beberapa orang yang dapat aku ajak bicara tentang rencana ini”
Sebenarnyalah, bahwa Harya Wisaka telah memanggil tiga orang yang dianggapnya dapat diajak berbicara tentang persoalan-persoalan yang sangat penting. Diantara mereka adalah Ki Tumenggung Sarpa Biwada.
“Aku akan tetap berada di Pajang” berkata Ki Tumenggung Sarpa Biwada”
“Tetapi Ki Tumenggung harus berhati-hati. Ki Tumenggung agaknya sudah dicurigai berhubungan dengan aku, karena aku datang kerumah Ki Tumenggung pada saat Pangeran Benawa juga ada dirumahmu. Sementara itu, aku sadari, bahwa aku adalah orang yang paling dicurigai diistana Pajang ini. Tetapi para pemimpin di Pajang tidak dapat membuktikan bahwa aku telah melakukan kesalahan”
“Apa yang akan kita lakukan kemudian, Ki Tumenggung bertanya seorang Rangga yang berkumis lebat.
“Ki Rangga Surareja” berkata Harya Wisaka, “kita harus menyiapkan segala-galanya. Semua kekuatan harus kita himpun untuk menguasai Pangeran Benawa yang sampai sekarang masih membawa cincin itu. Kemudian seperti yang kita rencana kita akan meninggalkan Pajang dan berlindung di dalam kekuatan kita yang sesungguhnya. Pasukan Pajang tidak akan mudah menemukan kita sehingga pada saatnya kita mengadakan perlawanan terbuka. Kita dapat menghimpun kekuatan di sebelah Utara Gunung Kendeng. Kita pun dapat bekerja sama dengan orang-orang Demak yang sejalan dengan rencana kita”
“Tetapi bagaimana dengan para pengikut Harya Wisaka yang ada di Pajang?”
“Jangan hiraukan mereka. Biar saja mereka dihancurkan oleh pasukan Pajang asal cincin itu sudah ada ditanganku”
“Tetapi apakah mereka tidak akan menjadi bebanku?” bertanya Ki Sarpa Biwada.
“Tidak seorang pun dapat mengkaitkan Ki Tumenggung dengan usaha menangkap Pangeran Benawa itu. Sampai saat ini yang Ki Tumenggung kerjakan adalah kegiatan dibawah permukaan. Memang kecurigaan-kecurigaan itu ada dan sepert aku katakan, Ki Tumenggung harus berhati-hati. Tetapi aku yakin, bahwa Ki Tumenggung akan mampu mengelakkannya”
“Tetapi jika kemudian Harya Wisaka berhasil dan Harya Wisaka kembali untuk merebut Pajang, aku justru tidak disingkirkan” berkata Ki Tumenggung Sarpa Biwada.
“Jangan cemas. Rencanaku sudah matang. Orang-orang kita sudah mulai mempengaruhi para pemimpin perguruan yang dungu itu. Mereka sudah mempersiapkan sebuah serangan besar-besaran untuk menangkap Pangeran Benawa. Pada saal itulah kita akan memetik keberhasilan perjuangan yang sudah sekian lama kita lakukan”
“Tetapi ingat titipanku”
“Jangan takut. Apa artinya seorang Paksi Pamekas. Demikian kita menangkap Pangeran Benawa, mengambil cincinnya, maka semuanya akan mati. Pangeran Benawa, Raden Sutawijaya dan titipanmu itu. Kau tidak akan merasa terganggu lagi Kau akan memiliki segalanya yang kau inginkan”
“Terima-kasih” Ki Tumenggung mengangguk-angguk
Demikianlah, Harya Wisaka telah merencanakan segala-galanya. Beberapa orang pengikutnya yang berhasil diseledupkan kedalam lingkungan perguruan-perguruan yang memperebutkan cincin yang disimpan oleh Pangeran Benawa itu telah berhasil menghasut para pemimpinnya untuk membawa Pangeran Benawa ke hutan Jabung.
Para pemimpim dari perguruan Tegal Arang yang mendengar keterangan tentang keberadaan Pangeran Banawa di hutan Jabung, dihubungkan dengan laporan orang-orangnya yang bertemu dengan Ki Panengah, Ki Waskita dan Ki Kriyadama, telah meyakinkan mereka, bahwa hutan Jabung memang sedang dibuka untuk membangun sebuah padepokan.
“Pangeran Benawa ada didalamnya” berkata pengikut Harya Wisaka yang berhasil menyelundup kedalam lingkungan perguruan Tegal Arang.
“Kau yakin?” bertanya seorang diantara para pemimpin perguruan Tegal Arang.
“Sebaiknya kita mengirim satu dua orang petugas sandi untuk meyakinkannya” berkata pengikut Harya Wisaka yang berhasil menyelundup itu.
Ternyata pengamatan para petugas sandi itu membenarkan. Pangeran Benawa ikut dalam pembangunan padepokan itu.
Yang kemudian mengamati pembangunan padepokan itu bukan hanya perguruan Tegal Arang, perguruan-perguruan yang lain pun telah melakukannya pula, perguruan Sad, perguruan Goa Lampin dan perguruan-perguruan yang lain. Bahkan mereka pun telah melakukan pembicaraan diantara mereka untuk bergabung menyerang mereka yang sedang membuka hutan Jabung itu.
“Kita tidak akan bertengkar kemudian. Kita memberi janji, bahwa Pangeran Benawa akan menjadi hak siapa pun yang berhasil menangkapnya. Demikian pula jika cincin yang ada padanya. Tetapi jika cincin itu sudah dilepaskannya, maka siapa pun yang menemukan cincin itulah yang mempunyai hak, sehingga kita tidak perlu untuk saling berperang kemudian”
Pernyataan itu ternyata saling disepakati, sehingga dengan demikian, maka mereka pun telah mempersiapkan orang-orang mereka untuk menyerang perkemahan yang ada di padang perdu, dipinggir hutan Jabung.
“Kita tidak perlu tergesa-gesa” berkata salah seorang diatara mereka” membangun sebuah padepokan dengan membuka hutan itu memerlukan waktu yang lama”
“Jadi maksudmu?” bertanya yang lain.
“Kita harus berhati-hati. Kita harus tahu benar kekuatan yang ada di hutan Jabung itu”
Namun pengikut Harya Wisaka yang diselundupkan kedalam lingkungan perguruan-perguruan yang menginginkah cincin itu pun memberikan keterangan, bahwa yang perlu diperhitungkan hanyalah para pemimpin dan murid-murid dari padepokan yang dipimpin oleh Ki Panengah”
“Lalu apa yang lain?” bertanya seseorang yang telah mengamati pembukaan hutan Jabung itu.
“Mereka adalah orang-orang upahan. Mereka adalah orang-orang padesaan yang dikumpulkan oleh Ki Panengah dan kemudian diupah untuk membantu mengerjakan pembuatan padepokan itu, karena tidak mungkin para cantrik sendiri yang melakukannya”
Para pemimpin perguruan itu pun kemudian telah menyetujui rencana penyerangan terhadap orang-orang yang membuka hutan Jabung itu.
Tetapi perguruan itu tetap saja berhati-hati. Mereka telah mengirimkan petugas-petugas sandi untuk mengetahui keadaan yang sebenarnya di hutan Jabung.
Tetapi sejak semula para prajurit yang membantu bekerja hutan itu memang tidak mengenakan ciri ciri keprajuritan mereka. Dengan demikian, maka memang sulit untuk diketahui, bahwa mereka sebenarnya adalah para prajurit-prajurit yang telatih untuk memegang senjata.
Dalam pada itu, maka perguruan-perguruan itu pun telah menyusun rencana penyerangan sampai ke bagian-bagian yang terkecil yang harus mereka sepakti.
Harya Wisaka mengikuti semua rencana perguruan-perguruan itu lewat orang-orangnya yang dapat diselundupkan kedalam lingkungan mereka. Dengan keterangan-keterangan itulah, maka Harya Wisaka telah mempersiapkan orang-orangnya pula. Pada saat yang tepat pasukannya harus hadir di hutan Jabung. Sementara itu, beberapa orang harus mengawas jalan yang menghubungkan hutan Jabung dengan pintu gerbang kotaraja untuk menahan setiap penghubung yang akan memberikan laporan dan minta bantuan jika serangan orang-orang dari perguruan-perguruan yang menginginkan Pangeran Benawa itu datang.
Dalam pada itu, pada persiapan di hari-hari terakhir yang direncanakan, maka para pemimpin dari perguruan-perguruan yang ingin menangkap Pangeran Benawa itu telah bertemu Kebo Serut yang masih saja dianggap cukup berpengaruh untuk memimpin pertemuan itu.
“Seharusnya kau duduk disini, Nyi Melaya Werdi” desis Wira Bangga.
“Iblis kau” geram Nyi Melaya Werdi, “bercerminlah. Lihat wajahmu yang buruk itu dipermukaan sendang yang airnya diam. Kau akan malu sendiri”
Wira Bangga itu tertawa. Katanya, “Kau sekarang menjadi semakin garang Nyi. Mungkin selama ini kau semakin mematangkan ilmumu. Karena itu, kau nampak sedikit lebih kurus. Tetapi karena itu kau menjadi semakin langsing dan semakin cantik”
“Aku tantang kau berperang tanding”
Wira Bangga tertawa semakin keras. Namun kemudian Sima Pracima pun memotong, “He, dimana adikmu Megar Permati?”
“Ia tidak masuk. Telinganya selalu menjadi panas mendengar kata-kata kalian yang kotor. Megar Permati takut, bahwa ia tidak akan dapat menahan diri, sehingga salah satu diantara kaian akan dibunuhnya”
Sima Pracima tertawa berkepanjangan. Bahkan yang lain pun tertawa pula. Dengan nada tinggi Sima Pracima itu pun bertanya kepada Gedhag Panunggal, “He, Gedhag Panunggal. Kenapa kau diam saja?”
“Aku lebih baik diam saja. Aku dan Megar Melati telah membuat janji sendiri”
“Setan kau. Iblis kau” geram Melaya Werdi.
Gedhag Panunggal masih saja tertawa. Tetapi Kebo Serut lah yang kemudian tertawa, “Sudahlah. Duduklah disini, Melaya Werdi. Aku masih menunggu sejodhang nasi gurihmu dan ingkungmu yang sepuluh itu”
Melaya Werdi tersenyum. Katanya, “Sebenarnya aku sudah menyediakan paman. Tetapi aku tidak tahu, dimana paman bersembunyi, sehingga aku tidak tahu, kemana aku harus mengirimnya”
“Ah, aku tidak bersembunyi”
“Tetapi aku tidak tahu, dimana paman tinggal”
Kebo Serut tertawa. Katanya, “Baiklah. Kita sisihkan sebentar jodhangmu itu. Kita berbicara tentang rencana kita untuk menyerang Alas Jabung”
Suasana pun kemudian berubah menjadi bersungguh-sungguh. Nyi Melaya Werdi pun kemudian memberikan isyarat kepada adiknya, agar Megar Permati memasuki ruangan itu pula.
Meskipun suasananya sudah berubah, tetapi Gedhag Panunggal masih saja tersenyum-senyum sambil berdesis, “He, kau sempat bersolek pula Megar”
Megar Permati sama sekali tidak menjawab, Ia pun segera duduk dibelakang kakak perempuannya. Nyi Melaya Werdi.
Sejenak kemudian, maka orang-orang itu pun mulai berbicara tentang rencana mereka. Namun Kebo Serut masih bertanya, “Apakah Rapak Rembulung dan Pupus Rembulung tidak datang?”
“Keduanya adalah orang-orang liar yang tidak dapat diajak berbicara dengan baik-baik” jawab Wira Bangga.
“Kita tidak usah menghiraukan perempuan jalanan itu beserta suaminya”
Kebo Serut tertawa. Katanya, “Jangan membenci Pupuk Rembulung. Setidak-tidaknya untuk sementara”
“Ia selalu merasa perempuan yang cantik didunia”
“Itulah yang menarik pada seorang perempuan. Siapa pun perempuan itu, ia merasa yang paling cantik didunia. Ia pun lalu tidak senang jika ada perempuan lain yang merasa cantik pula”
“Paman memihak Pupus Rembulung” potong Megar Permati.
Melaya Werdi pun menggamitnya sambil berdesis, “Sudahlah”
Megar Permati pun terdiam. Kebo Serut lah yang kemudian membawa orang-orang yang telah terkumpul itu untuk menyusun rencana dalam sebuah pembicaraan yang mendalam.
Pertemuan itu telah mensahkan kesepakatan mereka terdahulu. Siapa yang berhasil menangkap Pangeran Benawa dalam pertempuran yang bakal terjadi di hutan Jabung itu, maka ialah yang berhak menawan dan merampas cicin yang dibawanya Kemudian terserah kepadanya, apakah Pangeran Bemawa itu akan dilepaskan atau akan dibunuh. Sementara itu, jika cincin itu sudah terlepas dari tangan Pangeran Benawa, maka siapa yang berhasil menemukannya, maka ialah yang berhak. Yang lain harus menghindari pertempuran diantara mereka, karena pertempuran itu hanya akan menghambur-hamburkan nyawa para pengikut mereka.
Para pemimpin itu telah membicarakan pula, darimana mereka menyerang.
Akhirnya mereka pun memutuskan untuk menyerang hutan Jabung itu diakhir pekan. Mereka akan berkumpul disekitar hutan Jabung dimalam yang akan diterangi oleh bulan yang hampir penuh. Mereka akan menyerang pada saat matahari akan terbit.
“Aku akan memberikan isyarat” berkata Kebo Serut, “orang-orangku akan melepaskan panah sendaren keempat penjuru, sehingga semuanya akan dapat mendengarnya. Pada saat itulah kita akan menyerang. Nah, siapa pula yang kemudian akan beruntung, bertemu dengan Pangeran Benawa di medan berhasil menangkapnya”
Pertemuan itu mereka sepakati pula sebagai pertemuan yang terakhir. Setelah itu, mereka akan bertemu langsung di hutan Jabung bersama pasukan mereka masing-masing dan bersiap menerima isyarat anak panah sendaren.
“Ingat, Akhir pekan. Menjelang matahari terbit, anak panah sendaren itu akan meluncur. Siapa yang terlambat adalah salah mereka sendiri. Pangeran Benawa akan menjadi milik mereka yang datang lebih dahulu” berkata Kebo Serut.
Keputusan itu memang sampai ketelinga Harya Wisaka. orang-orangnya yang berhasil disusupkan di perguruan-perguruan yang menginginkan cincin itu, telah memberikan laloran, bahwa perguruan-perguruan itu telah mempersiapkan orang-orangnya sebaik-baiknya. Mereka akan berkumpul di hutan Jabung pada akhir pekan.
“Bagus” desis Harya Wisaka, “kita harus memanfaatkan kesempatan itu sebaik-baiknya. Kita tunggu sampai kedua belah pihak kehabisan nafas. Kemudian kita akan melumatkan mereka untuk mengambil Pangeran Benawa”
Namun dalam pada itu, bukan Harya Wisaka sajalah yang mendapat laporan tentang kesiagaan beberapa perguruan untuk menyerang hutan Jabung. Tetapi laporan tentang ilu telah ditangkap pula oleh para petugas sandi dari Pajang.
Seorang petugas sandi telah berhasil menyusup kedalam lingkungan kegiatan Harya Wisaka. Tetapi ada pula diantara mereka yang berhasil menyusup kedalam lingkungan perguruan-perguruan yang telah mempersiapkan diri untuk menyerang hutan Jabung.
Ketika laporan tentang kegiatan Harya Wisika itu sampai ketelinga Ki Tumengung Wirayuda, maka Ki Tumenggung pun lelah menyampaikannya pula kepada Ki Gede Pemanahan.
Ki Gede Pemanahan telah mencocokkan laporan itu dengan laporan yang telah diberikan oleh petugas sandi yang menjadi penghubung dengan petugas yang berada dilingkungi perguruan-perguruan yang ingin menyerang hutan Jabung itu
“Siapkan pasukan yang dapat bergerak cepat, Ki Tumenggung, disamping pasukan yang harus sudah berada di hutan Jabung. Kita harus menjebak mereka dan menjebak para pengikut Harya Wisaka. Namun kita harus benar-benar memperhitungkan waktu”
“Aku sudah mempersiapkan pasukan yang segera aku kirim ke hutan Jabung, Mereka akan pergi kehutan itu di dalam pedati-pedati yang membawa peralatan dan bahan pangan ke hutan Jabung sebagaimana sering dilakukan”
“Waktunya tinggal tiga hari lagi, Ki Tumenggung. Mereka akan menyerang hutan Jabung itu pada akhir pekan”
“Mulai hari ini beberapa pedati akan pergi ke hutan Jabung, Ki Gede. Sebagaian dari pedati-pedati itu akan membawa bakal dinding bambu yang siap di pasang di perkemahan yang sedang di bangun itu. Ki Kriyadama memang merencanakan untuk membeli dinding-dinding bambu yang sudah dipasarkan. Waktunya tidak memungkinkan untuk menganyam sendiri dinding bambu itu. Apalagi hanya untuk dipakai sementara, sehingga tidak memerlukan dinding bambu yang bermutu terlalui baik”
Ki Gede Pemanahan mengangguk-angguk. Namun kemudian ia pun bertanya-tanya, “Bagaimana dengan Pangeran Benawa Sendiri?”
“Sudah diduga, permohonan kami agar Pangeran Benawa berada di istana untuk menjaga segala kemungkinan ditolaknya. Pangeran Benawa justru berharap untuk memancing agar segala-galanya segera dapat diselesaikan”
“Aku sudah menduga” desis Ki Gede Pemanahan. Dengan nada berat ia pun berkata, “Namun dengan demikian, tanggung-jawab kita menjadi berat. Jika terjadi sesuatu atas Pangeran Benawa itu, maka kitalah yang akan digantung oleh Kangjeng Sultan Hadiwijaya yang sebenarnya sangat mencintai puteranya itu”
Ki Tumenggung Wirayuda itu mengangguk-angguk. Katanya, “Ya, Ki Gede. Mudah-mudahan kita dapat mengatasi gejolak yang bakal terjadi di hutan Jabung itu”
“Kita juga tidak tahu pasti, seberapa besar kekuatan gabungan dari perguruan-perguruan itu, yang nampaknya tidak dapat diabaikan”
“Kita berharap bahwa mereka menganggap orang-orang yang bekerja di hutan Jabung itu bukan para prajurit, sehingga persiapan mereka tidak cukup memadai”
“Harya Wisaka tahu, bahwa para pekerja itu adalah prajurit-prajurit”
“Tetapi Harya Wisaka sengaja tidak membocorkan hal itu. Rahasia itu dipegangnya sebagaimana kita merahasiakannya, karena Harya Wisaka juga ingin menjebak dan mengharap perguruan-perguruan itu dihancurkan agar untuk selanjurnya, Harya Wisaka tidak merasa terganggu oleh mereka”
“Harya Wisaka memang cerdik. Kita berharap bahawa Harya Wisaka sendiri ikut dalam pasukan yang akan menangkap Pangeran Benawa itu, sehingga tidak akan dapat menangkapnya”
“Mudah-mudahan Ki Gede”
“Apakah Ki Tumenggung Wirayuda sudah menghubungi Ki Panengah, Ki Waskita dan Ki Kriyadama?”
“Sudah, Ki Gede”
“Baiklah. Persiapkanlah segala sesuatunya. Pasukan berkuda itu jangan mengecewakan. Penempatan para petugas sandi yang akan mengirimkan berita lewat panah sendaren beranting itu harus benar-benar mapan, sehingga kita segera tahu, kapan pasukan-pasukan berkuda itu harus bergerak. Hutan jabung tidak terlalu jauh, sehingga isyarat beranting itu harus benar-benar sampai”
“Ada dua jalur yang sudah dipersiapkan, Ki Gede. Tetapi juga jalur lain. Penghubung berkuda itu akan menyampaikan laporan”
“Mereka tidak akan sampai ke gerbang kota. Jika Harya Wisaka sudah mempersiapkan rencananya sebagaimana yang kita dengar, maka ia tentu akan menutup jalur ke pintu gerbang kota”
“Benar, Ki Gede. Tetapi penghubung kita akan menempuh jalur yang lain dari jalur yang diperhitungkan. Mereka sudah merintis jalan mereka sendiri. Tetapi kita berharap, bahwa isyarat beranting dengan panah sendaren itu tidak akan meleset.
Ki Gede Pemanahan mengangguk-angguk. Katanya, “Beban kita cukup berat. Pangeran Benawa berkeras untuk tidak bersedia berada di istana. Bahkan seandainya Kangjeng Sultan Hadiwijaya sendiri yang memerintahkannya. Sedangkan jika terjadi sesuatu atas dirinya, kita tentu akan menanggung akibatnya”