Jejak Dibalik Kabut Jilid 14

Paksi mengerutkan dahinya. Ada yang berbeda pada wajah Ki Marta Brewok itu dengan wajah yang dikenalinya dengan sebelumnya. Tetapi perbedaan itu tidak terlalu nampak.

Meskipun demikian, Paksi yakin, Bahwa Ki Marta Brewok itu adalah Ki Marta Brewok gurunya yang telah menempa dengan berbagai macam laku untuk menguasai ilmunya yang tinggi. Meskipun ternyata masih belum mampu mengimbangi Ki Sampar Angin.

Namun dalam pada itu, Wijanglah yang menyahut, “Jangan takut. Meskipun wajah Paman agak seram, tetapi ia orang baik. Paman hanya belum sempat mencukur berewoknya.”

Orang tua itu mengangguk-angguk meskipun masih nampak ragu. Ki Marta Brewok lah yang kemudian bertanya, “Ki Sanak, aku justru ingin bertanya, apa yang telah terjadi di padukuhan ini? Padukuhan ini adalah padukuhan yang nampak subur. Nampaknya kehidupan penghuni padukuhan ini cukup baik dilihat dari ujud lahiriahnya. Rumah-rumahnya cukup pantas. Halaman yang cukup luas dan pohon buah-buahan yang berbuah lebat. Sawah pun nampaknya terhampar luas dan tidak akan pernah kekurangan air di segala musim.”

Orang tua itu mengangguk-angguk kecil. Katanya, “Lingkungan ini memang subur, Ki Sanak.”

“Lalu, apakah yang telah terjadi disini? Padukuhan ini menjadi sepi seperti kuburan.”

“Untunglah kalian tidak lewat padukuhan ini kemarin.”

“Apa yang terjadi kemarin?”

“Kemarin di padukuhan ini terjadi keributan. Bahkan pertempuran yang menimbulkan kematian.”

“Siapakah yang telah bertempur disini? Apakah antara penghuni padukuhan ini dengan sekelompok orang yang ingin berbuat jahat? Atau antara kelompok-kelompok yang datang dari luar padukuhan ini?”

Orang tua itu termangu-mangu sejenak. Sekali lagi ia mengamati ketiga orang yang duduk di serambi banjar itu. Katanya, “Tetapi bukankah kalian bukan bagian dari orang-orang yang kemarin menimbulkan keributan disini?”

“Tentu tidak. Apakah ada di antara kami yang mirip dengan orang-orang yang bertempur kemarin disini?”

Orang tua itu menarik nafas panjang.

“Entahlah, bagaimana mulanya. Tetapi dua kelompok orang bertemu dan bertengkar di ujung padukuhan. Kemudian mereka bertempur dengan sengitnya, sehingga salah satu kelompok melarikan diri dengan meninggalkan dua orang korban terbunuh. Sementara itu, kelompok yang menang justru telah berbuat semena-mena terhadap orang-orang di padukuhan ini. Mereka menggeledah setiap rumah untuk mencari seorang anak muda yang katanya melarikan diri dari istana Pajang.”

“Apakah mereka menyebut nama anak muda itu?” bertanya Paksi.

Wijang menarik nafas panjang. Ia tahu, bahwa Paksi sengaja menanyakannya, meskipun tanpa bertanya pun ia sudah tahu siapakah yang dimaksud.

Orang tua itu memandang Paksi sekilas. Namun kemudian orang tua itu merenung sejenak. Katanya kemudian, “Ya. Orang itu menyebut sebuah nama. Pangeran Benawa.”

Paksi mengangguk-angguk. Namun ketika ia berpaling memandang wajah Wijang, hampir saja Paksi tertawa. Wajah itu nampak muram dan gelap. Sementara Ki Marta menggeleng lemah.

Wijang lah yang kemudian bertanya, “Apakah Pangeran Benawa itu dapat diketemukan?”

“Tentu tidak,” berkata orang tua itu. “Kami sama sekali tidak mengenal anak muda yang bernama Pangeran Benawa. Sepengetahuan kami, pangeran adalah sebutan bagi anak seorang raja. Mungkin Raja Pajang atau Raja Demak atau raja yang manapun.”

“Ya,” Ki Marta Brewok menyahut, “pangeran memang anak seorang raja.”

“Lalu, apa yang mereka lakukan setelah mereka tidak menemukan Pangeran Benawa disini?” bertanya Paksi.

“Mereka mencoba memaksa kami untuk menunjukkan dimana Pangeran Benawa bersembunyi. Mereka sudah mendapat keterangan bahwa sehari sebelumnya Pangeran Benawa sedang menuju kemari,” jawab orang tua itu.

“Tetapi bukankah jalan bercabang-cabang sehingga mungkin saja Pangeran Benawa itu mengambil jalan simpang?” desis Wijang.

“Ya. Kami pun sudah mengatakannya. Tetapi orang-orang itu justru marah. Mereka memukuli para penghuni padukuhan ini. Sebelum pergi mereka sempat mengancam untuk menghukum kami jika ternyata Pangeran Benawa itu bersembunyi disini.”

“Bagaimana sikap para bebahu padukuhan ini?”

“Tulang punggung Ki Bekel hampir saja mereka patahkan karena Ki Bekel mencoba melindungi rakyatnya.”

“Bagaimana dengan bebahu kademangan?”

“Semalam kami telah mengirimkan orang untuk melaporkan kepada Ki Demang. Tetapi sampai siang ini kami belum mendapat keterangan. Tetapi entahlah jika orang itu sudah langsung menemui Ki Bekel di rumahnya.”

Ki Marta Brewok pun kemudian berkata, “Jika demikian, kami tidak akan terlalu lama disini, Ki Sanak. Kami tidak ingin menjadi sebab, Ki Sanak dan orang-orang padukuhan mengalami kesulitan karena kehadiran kami. Jika orang-orang yang mencari Pangeran Benawa itu melihat kehadiran kami, mungkin mereka akan berbuat sesuatu yang semakin menyulitkan penghuni padukuhan ini.”

“Tetapi bukankah kalian bukan termasuk orang-orang dari gerombolan yang saling bertengkar itu?”

“Tentu tidak, Kek,” jawab Paksi, “Kami hanya kebetulan saja lewat.”

“Jika demikian, hati-hatilah, Ki Sanak,” pesan orang tua itu.

“Baik, Kek. Kami akan berhati-hati,” jawab Wijang. Namun ia pun masih juga bertanya, “Tetapi apakah jalan ini akan sampai ke Alas Mentaok?”

“Apakah kalian akan pergi ke Alas Mentaok?” orang tua itu ganti bertanya.

“Kami hanya ingin tahu saja,” jawab Wijang.

Ki Marta Brewok menggamit anak muda itu. Sementara itu, orang tua itu pun menjawab, “Jalan ini memang akan sampai ke Alas Mentaok. Tetapi hutan itu adalah hutan yang sangat garang. Orang yang masuk ke dalamnya, tidak akan pernah keluar lagi.”

“Jika demikian, kami tidak akan masuk ke dalamnya, Kek. Kami akan berada di luarnya saja.”

“Untuk apa sebenarnya kalian ingin melihat hutan itu?”

“Tidak ada apa-apa, Kek. Kami hanya pernah mendengar namanya. Kami hanya ingin tahu, apakah hutan itu sebenarnya ada.”

Orang tua itu mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Sebaiknya kalian urungkan saja niat kalian melihat-lihat hutan itu. Ular sebesar lidi pun akan dapat membunuh kalian. Kumbang mutiara yang beracun itu pun sangat berbahaya. Apalagi jika kalian terperosok ke dalam sarang semut salaka. Dalam waktu singkat, hanya tulang-tulang kalian sajalah yang akan tinggal.”

“Mengerikan sekali, Kek.”

“Belum lagi disebut jenis-jenis binatang buas. Segala jenis harimau terdapat di hutan itu. Yang paling mengerikan adalah kelompok-kelompok anjing hutan yang ganas dan licik. Burung pemakan bangkai dan yang tidak kalah berbahayanya adalah pusaran-pusaran lumpur dan pasir, yang dapat menghisap tubuh seseorang hingga sampai ke perut bumi.”

Meskipun Wijang dan Paksi bukan penakut, tetapi tengkuk mereka pun meremang.

Ki Marta Brewok hanya menarik nafas panjang. Tetapi ia tidak mengatakan apa-apa.

Wijang dan Paksi pun kemudian telah minta diri kepada orang tua itu. Demikian pula Ki Marta Brewok yang membawa mangkuk kecil berisi minyak kelapa itu. Katanya, “Kami akan menampung minyak ini dengan daun pisang saja, Ki Sanak.”

“Aku punya bumbung bambu kecil yang dapat kalian bawa,” desis orang tua itu.

“Jika demikian, terima kasih, Ki Sanak,” jawab Ki Marta Brewok.

Ketika orang tua itu meninggalkan mereka untuk mengambil bumbung kecil yang dikatakannya, Ki Marta Brewok berdesis, “Kenapa kau bertanya tentang Alas Mentaok?”

“Kenapa?” bertanya Wijang.

“Apakah kau sengaja meninggalkan jejak arah perjalananmu?”

Wijang mengerutkan dahinya. Namun kemudian ia pun tertawa. Katanya, “Tanpa meninggalkan jejak, ternyata orang-orang yang mencari Pangeran Benawa itu dapat menemukan jejaknya.”

“Tetapi jejak itu tentu masih kabur. Kau memperjelas jejak yang kabur itu.”

“Maaf, Ki Marta,” desis Wijang, “aku tidak menyadarinya.”

“Sudahlah. Mudah-mudahan orang tua itu tidak akan pernah bercerita tentang kehadiran kita, maksudku dua orang anak muda di padukuhan ini kepada siapa pun juga.”

Wijang mengangguk-angguk. Namun pembicaraan mereka pun terhenti karena orang tua yang mengambil bumbung itu datang sambil membawa bumbung kecil yang sudah berisi minyak kelapa. Namun katanya kemudian, “Tuangkan minyak kelapa di mangkuk kecil itu juga ke dalam bumbung kecil ini. Barangkali kalian akan membutuhkannya lagi di perjalanan.”

“Terima kasih, Ki Sanak,” berkata Ki Marta Brewok. Sementara orang tua itu pun telah menyerahkan bumbung kecil itu beserta sumbatnya.

Ki Marta Brewok lah yang menerima bumbung kecil itu. Kemudian menuangkan minyak kelapa yang berada di mangkuk kecil. Sambil mengembalikan mangkuk kecil itu, Ki Marta Brewok pun berkata sekali lagi, “Terima kasih, Ki Sanak.”

Namun sebelum ketiga orang itu minta diri, mereka dikejutkan oleh derap kaki kuda yang dengan cepat mendekat. Bahkan tiba-tiba saja berderap memasuki halaman banjar itu.

Ketiga orang itu memang menjadi tegang. Orang tua penunggu banjar itu pun menjadi ketakutan pula.

Namun ketika orang tua itu mendengar namanya dipanggil, maka ia pun menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Ki Demang. Agaknya bersama Ki Jagabaya.”

Orang tua itu pun segera menghambur keluar langsung pergi ke halaman depan banjar itu.

Sebenarnyalah yang datang adalah Ki Demang, Ki Jagabaya dan dua orang pengiringnya. Mereka pun kemudian berloncatan turun dari kuda mereka.

Di serambi belakang banjar itu, Ki Marta Brewok, Wijang dan Paksi termangu-mangu sejenak. Dengan nada tinggi Paksi bertanya, “Apakah yang kita lakukan?”

Ki Marta Brewok lah yang menyahut, “Kita menunggu saja disini. Apa saja yang akan dilakukan oleh Ki Demang.”

Wijang dan Paksi pun mengangguk-angguk.

Dengan demikian, maka mereka bertiga pun telah duduk menunggu di serambi belakang banjar padukuhan itu.

Sementara itu, Ki Demang, Ki Jagabaya dan dua orang pengiringnya naik dan duduk di pendapa. Orang tua penunggu banjar itu pun kemudian bercerita apa yang telah terjadi di padukuhan itu kemarin.

“Baru semalam aku mendapat laporan,” berkata Ki Demang. “Kenapa ketika peristiwa itu terjadi, tidak seorang pun yang memberi laporan kepadaku?”

“Semua orang sedang dicengkam ketakutan,” jawab penunggu banjar itu.

“Bagaimana dengan Ki Bekel?” bertanya Ki Demang.

“Ki Bekel sedang sakit. Punggungnya hampir dipatahkan oleh orang-orang yang garang itu.”

“Apakah Ki Bekel dapat datang kemari?”

“Aku tidak tahu, Ki Demang,” jawab penunggu banjar itu. “Apakah Ki Bekel dipanggil kemari? Biarlah aku pergi ke rumahnya.”

“Tidak usah kau sendiri yang pergi,” berkata Ki Demang yang kemudian memerintahkan salah seorang pengiringnya untuk memanggil Ki Bekel. Katanya kemudian, “Tetapi jika ia tidak mungkin untuk datang kemari, biarlah nanti aku datang ke rumahnya.”

Dalam pada itu, ternyata orang tua penunggu banjar itu tidak mengatakan bahwa ada tiga orang yang berada di serambi belakang banjar itu, sehingga dengan demikian ketiga orang itu tidak diminta untuk menghadap.

Sambil menunggu kedatangan Ki Bekel, penunggu banjar itu menceriterakan apa yang sudah terjadi di padukuhan itu sebagaimana yang diceriterakannya kepada ketiga orang yang sedang berada di serambi belakang banjar itu.

Beberapa saat kemudian ternyata Ki Bekel telah datang ke banjar. Meskipun punggungnya masih sakit, tetapi ia memaksa diri untuk memenuhi panggilan Ki Demang yang sudah berada di banjar.

Di serambi belakang, Ki Marta Brewok, Wijang dan Paksi berusaha untuk mempertajam pendengaran mereka, sehingga mereka dapat mengikuti pembicaraan di pendapa banjar itu.

“Ceriterakan, Ki Bekel. Apa yang telah terjadi. Tadi kakek penunggu banjar ini juga sudah berceritera. Tetapi Ki Bekel tentu akan dapat berceritera lebih lengkap.”

Ki Bekel pun mulai berceritera. Sebagian besar dari ceriteranya memang tidak berbeda dengan ceritera penunggu banjar itu.

Tetapi ketiga orang di serambi belakang itu kemudian mendengar Ki Demang bertanya, “Apakah Ki Bekel dapat menduga, siapakah yang telah datang ke padukuhan ini? Mungkin Ki Bekel mengenal ciri-cirinya atau mungkin ada di antara mereka yang menyebut nama gerombolan mereka atau apa pun yang dapat dipergunakan untuk mengenali mereka?”

“Sulit, Ki Demang,” jawab Ki Bekel. “Tetapi ada di antara mereka yang mengenakan pakaian sebagaimana pakaian prajurit Pajang meskipun tidak lengkap.”

“Mungkin mereka telah merampasnya atau mereka berhasil membunuh satu dua orang prajurit, kemudian mempergunakan pakaian prajurit yang terbunuh itu,” jawab Ki Demang.

Tetapi di belakang Wijang berdesis, “Tentu para pengikut Paman Harya Wisaka.”

Ki Marta Brewok dan Paksi mengangguk-angguk. Agaknya Wijang yakin, orang yang datang di padukuhan itu adalah para pengikut Harya Wisaka.

Pembicaraan selanjutnya tidak begitu penting lagi bagi ketiga orang yang berada di serambi itu. Ki Bekel ternyata tidak dapat menyebut ciri-ciri dari kelompok yang lain.

Beberapa saat kemudian, maka terdengar Ki Demang itu pun berkata, “Baiklah. Aku minta Ki Bekel menyiapkan semua laki-laki yang masih mampu mempergunakan senjata. Jika sejak sebelumnya kita sudah bersiap, maka akibatnya tentu akan berbeda. Kita tidak akan memberikan kesempatan kepada orang-orang itu untuk memasuki rumah demi rumah. Menakut-nakuti semua orang.”

“Tetapi apakah kami mampu untuk melawan mereka?”

“Aku tentu tidak akan mencuci tangan. Aku akan ikut campur. Setiap padukuhan akan menyiapkan kelompok-kelompok anak muda yang dapat bergerak cepat dari padukuhan yang satu ke padukuhan yang lain. Kalian harus menyiapkan alat-alat untuk memberikan isyarat. Apa pun yang terjadi, kita tidak akan membiarkan kampung halaman kita menjadi lingkungan perburuan tanpa memberikan perlawanan. Bukankah kita mempunyai harga diri?”

“Baik. Baik,” berkata Ki Bekel. “Sejak hari ini, kami akan mempersiapkan diri.”

“Nanti malam, setiap padukuhan akan mengirimkan lima sampai sepuluh orang untuk ikut berjaga-jaga disini. Tetapi tidak mustahil bahwa padukuhan yang lain pun akan mengalami keadaan yang sama seperti padukuhan ini.”

“Baik, Ki Demang.”

“Nah, sekarang aku akan mengelilingi padukuhan-padukuhan. Malam nanti aku akan berada di banjar ini. Mudah-mudahan mereka tidak kembali. Tetapi jika mereka kembali, kita akan bersikap lain dari sikap kita kemarin.”

“Terima kasih, Ki Demang,” jawab Ki Bekel. “Aku akan mempersiapkan diri sebaik-baiknya.”

“Bagaimana keadaan Ki Bekel sendiri?”

“Aku berharap bahwa aku segera menjadi baik. Aku sudah mendapat obat yang mujarab.”

Demikianlah, sejenak kemudian Ki Demang dan pengiringnya itu pun telah meninggalkan banjar padukuhan itu. Ki Bekel yang agaknya masih belum pulih benar itu pun telah kembali pula.

Sejenak kemudian, orang tua penunggu banjar itu telah berada di serambi belakang menemui ketiga orang yang berada di serambi itu.

“Mereka sudah pulang,” berkata penunggu banjar itu.

Ki Marta Brewok, Paksi dan Wijang pun kemudian telah minta diri.


“Kami akan meneruskan perjalanan, Kek,” berkata Wijang. “Berhati-hatilah, Ngger. Jika kalian bertemu dengan orang-orang yang garang itu, kalian akan diperlakukan semena-mena. Orang-orang itu agaknya memang tidak berjantung.”

“Baiklah, Ki Sanak,” berkata Ki Marta Brewok, “mudah-mudahan kami tidak bertemu dengan mereka.”

Demikianlah, maka ketiga orang itu pun segera meninggalkan banjar padukuhan itu. Sebenarnya ada niat Wijang dan Paksi untuk berada di padukuhan itu barang satu dua malam. Mereka ingin bersama-sama dengan para penghuni padukuhan itu untuk melawan para pengikut Harya Wisaka.

Tetapi Ki Marta Brewok pun berkata, “Mungkin kita dapat mengusir orang-orang itu. Tetapi jika ada yang sempat mengenali Pangeran, padukuhan ini akan menjadi semakin parah. Pada kesempatan lain, akan datang kekuatan yang tidak terlawan. Apalagi setelah kita meninggalkan padukuhan ini, sementara orang-orang yang datang itu menganggap bahwa Pangeran memang bersembunyi disini.”

Wijang mengangguk-angguk. Dengan nada dalam ia pun berkata, “Apakah benar aku telah banyak menimbulkan malapetaka bagi banyak orang yang sebenarnya tidak tahu apa-apa?”

Ki Marta Brewok tidak menyahut. Tetapi ia sempat memperhatikan Wijang yang berjalan sambil menundukkan kepalanya.

Ketika mereka bertiga beristirahat di pinggir sebuah sungai dan duduk di atas sebongkah batu yang besar, yang nampaknya pernah ditumpahkan dari mulut Gunung Merapi, Wijang itu pun berkata, “Aku harus memperhatikan peristiwa-peristiwa itu. Aku tidak boleh menutup mata, bahwa banyak peristiwa yang tidak dikehendaki telah terjadi.”

“Tentu hal itu tidak Pangeran kehendaki. Tetapi sebenarnyalah bahwa hal itu telah terjadi. Orang-orang yang tamak itu tidak menghiraukan sama sekali akibat dari perbuatan mereka.”

Wijang mengangguk-angguk. Katanya, “Apa yang dilakukan oleh orang-orang tamak itu akibatnya sama seperti yang aku lakukan.”

“Maksud Pangeran?”

“Yang aku lakukan dan yang mereka lakukan sama-sama menimbulkan banyak korban.”


“Tetapi niat Pangeran jauh berbeda dari niat orang-orang yang tamak itu.”

“Ki Marta Brewok, bukankah Ki Marta Brewok pernah mengatakan, bahwa niat yang baik tidak selalu mendatangkan hasil yang baik?”

Ki Marta Brewok menarik nafas dalam-dalam, sementara itu Paksi pun berkata, “Sudahlah. Jangan risaukan.”

“Bagaimana mungkin aku tidak merisaukannya,” sahut Wijang. “Setiap kali kita bertemu dengan keributan yang memungut korban karena kepergianku dari istana. Apakah alasan mereka mencari cincin atau mencari aku, pada dasarnya sama saja.”

“Jadi, apakah yang terpikir oleh Pangeran sekarang?”

Wijang menarik nafas dalam-dalam. Sementara Ki Marta Brewok itu pun berkata, “Bukankah kepergian Pangeran antara lain sengaja menyingkirkan cincin itu? Khususnya karena Pangeran tahu bahwa Harya Wisaka menginginkannya? Kecuali itu, Pangeran pun ingin melihat kehidupan yang sebenarnya dari rakyat Pajang. Namun yang akhirnya tidak dapat Pangeran lakukan, karena Pangeran sibuk melayani orang-orang yang mencari Pangeran Benawa itu.”

“Ya, Ki Marta,” jawab Wijang.

“Jadi apa rencana Pangeran?”

“Aku akan pulang.”

“Pulang ke istana?” bertanya Paksi.

“Ya. Sementara itu aku akan menitipkan cincin ini kepadamu.”

Paksi terkejut. Dengan serta-merta ia pun menjawab, “Wijang, kau tahu bahwa ayahku menginginkan cincin itu. Jika aku membawanya, maka jika ayahku mengetahuinya, maka cincin itu tentu akan dimintanya. Dan aku sama sekali tidak akan dapat mempertahankannya.”

“Berikan saja cincin itu kepada ayahmu. Cincin itu tidak akan hilang.”

“Maksudmu? Kau biarkan aku memberikan cincin itu kepada ayah. Kemudian kau akan mengambilnya sebagaimana pernah kau lakukan?”

“Tentu tidak, Paksi. Tetapi bukankah kau dapat pulang jika kau membawa cincin itu? Jika kau pulang tanpa membawa cincin itu?”

“Yang akan pulang itu kau, Wijang. Bukan aku.”

Wijang menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku ingin mengajak kau pulang. Ibumu sangat merindukanmu. Sementara itu, ayahmu akan menerimamu jika kau membawa cincin itu.”

“Tetapi cincin itu adalah cincin yang sangat tinggi nilainya. Apa arti lingkup keluargaku dibanding dengan nilai cincin itu sendiri.”

“Aku tidak akan kehilangan cincin itu, Paksi. Sehari kemudian, aku akan datang sebagai Pangeran Benawa. Aku akan membawa pertanda dari ayahanda. Dengan demikian, maka ayahandalah yang mengambil cincin itu, karena aku melakukan atas namanya. Tentu dengan ucapan terima kasih dan barangkali ayahanda akan memberikan imbalan atas jasa ayahmu yang telah berhasil menemukan cincin itu. Mungkin pangkat, derajat atau semat.”

“Tetapi persoalannya tidak akan berakhir sampai disitu. Di istana masih ada Harya Wisaka,” jawab Paksi.

“Aku sadari itu. Pergolakan mungkin masih akan terjadi. Tetapi akhirnya aku berpendapat, bahwa gejolak yang terjadi karena cincin itu harus dipersempit ruang lingkupnya. Mungkin akan terjadi benturan-benturan di dalam. Tetapi tidak harus mengorbankan orang-orang padukuhan yang tidak tahu-menahu persoalannya. Biarlah aku dan barangkali Kakangmas Sutawijaya harus menghadapi Paman Harya Wisaka, karena aku yakin, bahwa Kakangmas Sutawijaya akan membantuku menghadapi Paman Harya Wisaka.”

Paksi termangu-mangu sejenak. Ia merenungi ajakan Wijang untuk pulang ke Pajang. Wijang akan memberikan cincin itu kepadanya.

“Satu tanggung jawab yang sangat besar. Jika cincin itu tidak sampai ke tangan ayahnya atau dalam waktu yang pendek sebelum Pangeran Benawa datang atas nama Kangjeng Sultan Pajang, ada orang yang merampasnya, maka persoalannya akan berkembang semakin rumit.”

Namun Ki Marta Brewok itulah yang kemudian berkata, “Sebaiknya kau renungkan gagasan itu, Paksi.”

“Tetapi ayahku tentu akan bertanya-tanya, kenapa Pangeran dengan serta-merta mengetahui bahwa cincin itu ada di tangan ayahku.”

Wijang tersenyum. Katanya, “Mudah sekali. Aku dapat mengatakan bahwa para peramal istana telah memberitahukan kepada ayahanda, bahwa cincin itu sudah berada di Pajang. Di tangan ayahmu.”

Paksi menarik nafas dalam-dalam. Jawaban yang memang tidak akan dapat dipersoalkan lagi. Sementara itu Ki Marta Brewok yang kemudian tersenyum berkata, “Satu gagasan yang lengkap, Paksi.”

“Tetapi jika semalam sebelum Pangeran Benawa datang rumah kami dirampok orang, katakanlah Harya Wisaka dengan beberapa orang berilmu tinggi?” bertanya Paksi.

“Pukul kentongan. Seluruh Pajang akan terbangun,” jawab Ki Marta Brewok. “Pangeran Benawa juga akan terbangun. Jika cincin itu disembunyikan di tempat yang rapat, maka sebelum orang-orang itu dapat menemukan cincin yang mereka cari, Pangeran Benawa dan orang-orang yang dipercayanya, sudah akan berada di rumahmu untuk membantu ayahmu melindungi cincin itu.”

“Ya,” sahut Wijang. “Tetapi dalam keadaan seperti itu, cincin itu akan langsung dibawa oleh Pangeran Benawa atas nama Kangjeng Sultan.”

Paksi mengangguk-angguk. Katanya, “Aku akan memikirkannya. Nanti malam aku akan memberikan jawaban.”

“Kenapa menunggu nanti malam?”

Paksi termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya “Apakah kita tidak jadi melihat-lihat keadaan Alas Mentaok?”

“Kalian sudah dapat menggambarkan ujud dari hutan yang sangat lebat itu, meskipun yang dikatakan oleh orang tua penunggu banjar itu memang agak berlebihan. Aku yang pernah berada di dalam hutan itu beberapa hari, masih juga sempat keluar dalam keadaan hidup. Meskipun demikian, Alas Mentaok memang hutan yang sangat berbahaya.”

Terasa angin berhembus semakin keras. Awan putih selembar-selembar terbang ke utara, tertimbun di ujung Gunung Merapi.

Paksi menarik nafas dalam-dalam. Pendapat Ki Marta Brewok memberikan tekanan pada perasaannya. Ia terlalu percaya kepada orang itu. Orang yang telah memberikan landasan ilmu kanuragan yang tinggi. Bahkan lebih dari itu. Dalam keadaan yang rumit, setiap kali Ki Marta Brewok itu selalu hadir.

Namun dalam pada itu, Ki Marta Brewok itu pun berkata, “Baiklah. Paksi masih akan merenungkan ajakan Pangeran. Marilah kita meneruskan perjalanan. Kapan saja Paksi mengambil keputusan, kita akan dapat menentukan sikap.”

Wijang mengangguk kecil. Katanya, “Baiklah. Marilah kita berjalan. Kita masih akan pergi ke arah selatan. Sampai atau tidak sampai Alas Mentaok.”

Mereka bertiga pun kemudian telah bangkit. Bertiga mereka melangkah ke arah selatan.

Tetapi baru beberapa langkah mereka berjalan, Paksi kemudian berkata, “Baiklah, Wijang. Aku pulang.”

Mereka pun berhenti melangkah. Sambil tersenyum Wijang pun menepuk bahu Paksi sambil berdesis, “Bagus, Paksi. Kita akan bersama-sama pulang. Kau akan membawa cincin itu dan memberikannya kepada ayahmu. Kau akan diterima sebagai anak laki-laki yang baik, yang berbakti kepada orang tua dan bahkan kau akan dapat menjunjung derajat ayahmu, karena dengan mempersembahkan cincin itu kembali ke istana, ayahmu akan mendapat anugerah.”

Paksi termangu-mangu sejenak, hampir di luar sadarnya ia berdesis, “Tetapi aku tidak tahu pasti, apakah ayah seorang yang setia kepada Pajang. Apakah ayah tidak menjadi salah seorang yang berada di bawah pengaruh Harya Wisaka.”

“Kau akan mengawasinya, Paksi.”

“Jika Harya Wisaka datang dengan kekerasan, maka aku dapat memukul kentongan, sehingga seluruh Pajang akan mendengar karena suara kentongan itu akan segera bersambut dan menjalar kemana-mana. Tetapi kalau Harya Wisaka atau kepercayaannya datang dengan diam-diam?”

“Sebaiknya jangan beri kesempatan hal itu terjadi,” berkata Ki Marta Brewok. “Sebaiknya kalian berdua sepakat tentang waktu, agar jarak waktu akan kedatangan Paksi dan kehadiran Pangeran Benawa di rumah Paksi atas nama Kangjeng Sultan tidak terlalu panjang. Dengan demikian, tidak ada kesempatan bagi Harya Wisaka mengambil cincin itu.”

“Baiklah. Kita dapat bersepakat untuk mengatur waktu itu.”

Demikianlah Wijang dan Paksi itu pun telah bersepakat untuk menempuh perjalanan pulang. Mereka telah mengatur, kapan Wijang memasuki istananya dan kapan Paksi akan sampai ke rumahnya. Paksi harus memberikan kesempatan kepada Wijang untuk menemui ayahandanya dan mohon pertanda bahwa Pangeran Benawa atas nama Kangjeng Sultan datang ke rumah Paksi untuk mengambil cincin yang dibawa oleh Paksi.

Namun perjalanan pulang itu harus mereka tempuh dengan berhati-hati. Di sepanjang jalan pulang itu masih mungkin terjadi sesuatu yang tidak mereka inginkan.

Tetapi kedua orang anak muda itu menjadi semakin tenang ketika Ki Marta Brewok itu pun berkata, “Aku akan menyertai kalian sampai ke Pajang.”

“Tetapi bukankah aku tidak perlu berada di alun-alun Pajang dua kali sebulan? Saat bulan purnama dan di tanggal pertama untuk menunggu Ki Marta Brewok?”

Ki Marta Brewok itu mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia pun tertawa.

Wijang memandang keduanya berganti-ganti. Tetapi ia tidak tahu apa yang sedang ditertawakan oleh Ki Marta Brewok. Bahkan Paksi pun kemudian ikut tertawa pula.

“Apa yang kalian tertawakan?” bertanya Wijang.

Paksi menahan tertawa. Namun kemudian ia berceritera bahwa Ki Marta Brewok pernah mengancamnya untuk meminjamkan cincin itu. Ki Marta Brewok akan menemui Paksi di alun-alun Pajang dan menunggunya di saat purnama atau pada tanggal pertama.

Ternyata Wijang pun telah tertawa pula.

Di perjalanan kembali ke Pajang, Ki Marta Brewok telah berpesan agar mereka menghindari persoalan-persoalan yang dapat terjadi di jalan. “Kecuali yang memang tidak dapat kita hindari.”

Kedua anak muda itu mengangguk-angguk. Meskipun demikian, mereka sadar, bahwa mereka berada di lingkungan yang berbahaya. Di daerah yang seakan-akan ditebari oleh orang-orang yang dapat mengancam keselamatan mereka.

Ketika mereka lapar, maka mereka telah memilih kedai yang kecil dan sempit, yang hanya disinggahi oleh orang-orang di sekitarnya, karena kedai itu sama sekali tidak menarik bagi orang-orang yang lewat dalam perjalanan jauh.

Mereka bertiga berharap bahwa di kedai yang kecil itu mereka tidak akan menemui persoalan-persoalan yang dapat menghambat perjalanan mereka.

Sebenarnyalah yang berada di dalam kedai itu agaknya orang-orang di sekitar tempat itu saja. Ada di antara mereka yang duduk tanpa baju dengan keringat yang membasahi seluruh tubuhnya. Di samping nampak sebuah kapak pembelah kayu yang tersandar di dinding. Nampaknya orang itu baru saja membelah kayu di sebelah kedai itu. Di tangannya terdapat sepincuk nasi megana.

Di sisi lain, duduk dua orang yang sudah separo baya. Di hadapannya dihidangkan di paga bambu yang rendah, wedang sere dan beberapa macam makanan. Jadah, jenang alot, wajik dan tasikan. Beberapa kerat ketela rebus dengan tempe bacem dan lombok rawit.

Kedua orang itu nampak asyik berbincang. Mereka tidak menghiraukan orang-orang lain yang berada di kedai itu. Sekali-sekali terdengar keduanya tertawa.

Wijang, Paksi dan Ki Marta Brewok telah mengambil tempat di sudut. Di sebelah orang yang sedang makan sepincuk nasi megana.

Tetapi orang itu tidak menghiraukan kehadiran ketiga orang itu. Nampaknya ia sedang menikmati kangkung, lembayung dan kacang panjang rebus dengan bumbu megana.

Ketika pemilik kedai itu datang mendekat, maka Wijang pun memesan tiga pincuk nasi megana pula.

Ketika orang yang tidak berbaju itu mendengar, maka ia pun mengangkat wajahnya. Dipandanginya Ki Marta Brewok, Wijang dan Paksi sambil tersenyum. Katanya, “Kalian juga senang nasi megana seperti ini?”

“Ya, Ki Sanak,” Ki Marta Brewoklah yang menjawab.

“Murah, kenyang dan awet.”

Ki Marta Brewok tertawa. Wijang dan Paksi pun tertawa pula. Tetapi Wijang lah yang bertanya, “Apa yang awet, Ki Sanak?”

“Awet kenyang. Lembayung dan kangkung membuat kita tidak cepat lapar meskipun kita bekerja keras.”

“Ya. Aku sependapat.” Wijang mengangguk-angguk.

Sejenak kemudian pemilik warung itu pun telah menghidangkan tiga pincuk nasi megana. Tetapi di dalamnya terdapat masing-masing sebutir telur.

“Ha, kalian orang kaya, ya?”

“Tidak. Kenapa?”

“Kalian memakai lauk masing-masing sebutir telur.”

“Kami tidak memesan. Tetapi pemilik kedai itulah yang memberinya.”

Orang yang tidak berbaju itu memandang pemilik kedai yang sudah kembali ke tempatnya. Katanya, “Kebiasaannya memang begitu. Tanpa bertanya, maka ditaruhnya lauk yang mahal-mahal. Disini harga telur tiga keping. Padahal dimana-mana hanya dua keping.”

“O. Apaboleh buat. Jika belum terlanjur, aku tidak mau diberi telur yang tiga keping harganya,” desis Paksi.

“Aku tidak berani mengambil sebutir telur. Nanti anak-anakku tidak makan. Hanya jika ayam kami bertelur lebih banyak, kami sering makan telur. Dua butir telur untuk orang serumah.”

“Apakah ayammu jarang bertelur?”

“Setiap hari ada ayamku bertelur. Tetapi telur itu harus dijual untuk membeli kebutuhan-kebutuhan lain. Aku punyai tujuh orang anak yang masih kecil-kecil.”

“Bukankah Ki Sanak mempunyai sebidang sawah?”

“Sawahku sudah digadaikan oleh ayahku untuk lima tahun. Jadi aku harus menunggu dua tahun lagi untuk dapat menggarap sawahku sendiri. Sekarang aku menggarap sawah orang lain, sambil bekerja menjadi blandong kayu. Istriku jual ayung-ayung. He, disini juga ada ayung-ayung buatan istriku itu. Kau tidak mencicipi? Setiap pagi aku bawa se-irig ayung-ayung. Banyak orang suka ayung-ayung buatan istriku.”

“O. Aku adalah penggemar ayung-ayung,” sahut Wijang.

Blandong kayu itulah yang berteriak kepada pemilik kedai, “He, mana ayung-ayungmu?”

“Habis. He, apakah kau masih belum puas makan ayung-ayung di rumah?”

“Bukan aku. Tetapi ketiga orang tamumu ini.”

“Sayang ayung-ayungnya sudah habis.”

“Nah,” blandong itu berkata dengan bangga, “bukankah ayung-ayung buatan istriku itu sangat laris.”

“Ya. Sayang sekali,” desis Wijang. “Tetapi lain kali aku akan singgah dan membeli ayung-ayungmu.”

Blandong itu tertawa. Katanya, “Tetapi jika kalian memang ingin mencicipinya, silahkan mampir. Rumahku tidak jauh. Mungkin masih ada beberapa bungkus ayung-ayung ada di rumah.”

“Terima kasih, Ki Sanak,” jawab Ki Marta Brewok. “Lain kali aku akan singgah.”

Orang itu terdiam. Dihabiskannya nasi megana di pincuknya. Kemudian diteguknya minumannya sehingga mangkuknya hampir menjadi kosong.

Sambil bangkit berdiri, ia pun menggeliat. Katanya, “Perutku sudah kenyang. Silahkan, Ki Sanak. Jika kau ingin ayung-ayung, singgahlah di rumahku.”

“Terima kasih, Ki Sanak,” jawab Ki Marta Brewok.

Orang itu pun kemudian melangkah mendekati pemilik warung. Diambilnya dua keping uang dan diserahkannya kepada pemilik kedai itu.

Tetapi sebelum orang itu keluar dari kedai itu, maka terdengar keributan di jalan yang membujur di depan kedai itu.

Orang itu termangu-mangu sejenak. Diurungkannya langkahnya, sehingga ia kembali duduk di tempatnya semula. Tetapi nampak wajahnya yang menjadi tegang.

Ternyata bukan hanya orang itu saja yang menjadi tegang. Tetapi yang lain pun menjadi ketakutan. Bahkan seorang yang duduk di sudut menjadi gemetar.

“Orang-orang itu kembali lagi,” desis tukang blandong yang tidak berbaju itu.

“Siapa?”

“Kami tidak tahu, siapakah mereka itu.”

“Apa yang mereka cari?”

“Mereka mencari anak muda yang bernama Pangeran Benawa.”

Wijang menarik nafas panjang. Namun Paksi lah yang bertanya, “Apakah mereka berhasil?”

“Dua hari yang lalu tidak.”

“Jadi mereka sudah datang kemari dua hari yang lalu?”

“Ya.”

Wijang tidak bertanya lagi. Keributan itu menjadi semakin dekat. Ketika Paksi berdiri dan melangkah ke pintu, pemilik kedai itu berkata, “Jangan keluar. Jangan berbuat sesuatu yang dapat menarik perhatian mereka.”

Paksi mengurungkan niatnya. Ia justru melihat dua orang petani yang berlari-lari meloncati parit. Mereka melemparkan cangkul mereka di pinggir jalan.

Sebenarnyalah, sejenak kemudian, empat orang berjalan di depan kedai itu. Seorang perempuan yang berpapasan dengan mereka menjadi gemetar. Sementara itu seorang di antara keempat orang membentaknya, “Kau mau kemana, he?”

Perempuan itu menjawab terbata-bata, “Tidak kemana-mana.”

Orang itu memperhatikan orang yang sudah separo baya sambil berkata. “Awas. Jangan berbuat macam-macam.”

Perempuan itu tidak menjawab. Tetapi kakinya bagaikan menjadi seberat timah.

Keempat orang itu pun kemudian telah berdiri di depan kedai itu. Seorang di antaranya melangkah ke pintu kedai. Sambil berpegangan uger-uger pintu kedai itu, ia memandang ke dalamnya. Ia melihat beberapa orang yang sedang berada di dalam kedai. Mereka melihat orang yang tidak berbaju itu. Orang yang ketakutan di sudut dan tiga orang yang sedang memegangi pincuk nasi megana.


Orang itu sama sekali tidak menduga bahwa seorang pangeran duduk di dalam kedai sambil memegang sepincuk nasi megana. Karena itu, maka orang itu pun kemudian berkata lantang, “Aku minta kalian tidak berbuat sesuatu yang dapat mengacaukan tugas-tugasku disini. Kali ini buruanku tidak boleh lepas. Aku sudah mendapat keterangan bahwa kemarin ia sudah berada disini.”

Tidak seorang pun yang menyahut. Sementara orang itu pun berkata selanjutnya, “Jika sekali ini buruanku itu terlepas lagi, maka aku akan membawa sepuluh orang di antara penghuni padukuhan ini. Mereka tidak akan pernah kembali.”

Semua orang yang berada di kedai itu masih saja terbungkam. Bahkan mereka pun menundukkan kepala. Tidak seorang pun yang berani mengangkat wajahnya, apalagi memandang orang yang berdiri di pintu itu.

“Kalian harus membantu kami. Kalian harus memberitahukan kepada kami, dimana anak muda yang aku cari itu bersembunyi.”

Orang-orang yang ada di dalam kedai itu termasuk pemilik kedai itu masih tetap berdiam diri.

“Baiklah. Kami akan pergi. Kami akan mencari anak muda yang sejak kemarin sudah ada disini.” Sejenak orang itu memandang berkeliling. Karena orang-orang yang berada di dalam kedai masih berdiam diri sambil menunduk, maka orang itu pun tidak berbuat apa-apa.

Sambil beringsut mundur orang itu berkata, “Ingat, siapa yang menggagalkan usaha kami, akan kami hancurkan. Tetapi sebaliknya, siapa yang membantu kami, akan kami beri hadiah yang sangat besar.”

Tidak seorang pun yang menyahut. Semua orang yang ada di dalam kedai itu masih tetap menundukkan kepalanya. Wijang lebih senang menatap telur yang tinggal sepotong di dalam pincuknya daripada memandang orang yang berdiri di pintu itu.

Dalam pada itu, orang yang berdiri di pintu itu juga melihat dua orang anak muda berada di kedai itu. Tetapi dua anak muda dengan pakaian kusut, memegangi pincuk nasi megana di sebuah kedai kecil, sehingga dua orang anak muda itu tidak menarik perhatiannya. Yang ada di dalam kedai itu sama sekali tidak menggiring perhatian orang yang berdiri di pintu itu kepada seorang pangeran.

Demikianlah, maka sejenak kemudian orang-orang itu pun telah meninggalkan kedai itu. Mereka meneruskan langkah mereka sambil menakut-nakuti orang-orang yang lewat di sepanjang jalan.

Wijang menarik nafas dalam-dalam. Ternyata ia sudah luput dari perhatian orang itu. Wijang sama sekali tidak menjadi ketakutan. Tetapi ia masih memikirkan orang-orang padukuhan yang akan dapat menjadi sasaran kemarahan dan dendam jika ia berbuat sesuatu terhadap orang-orang yang mencari Pangeran Benawa itu. Sementara itu, Ki Marta Brewok pun telah berpesan agar Wijang dan Paksi menghindari persoalan-persoalan yang dapat timbul dan menghambat perjalanan pulang mereka.

“Marilah, kita selesaikan nasi megana ini. Kita sebaiknya segera meninggalkan tempat ini,” desis Ki Marta Brewok.

Wijang mengangguk-angguk. Sementara itu Paksi pun telah menyelesaikan nasi megananya meskipun agak tertahan di lehernya, sehingga Paksi harus meneguk minumannya sampai hampir habis.

Wijang tersenyum. Katanya, “Pincuknya jangan ikut ditelan, Paksi.”

“Telurnya,” desis Paksi.

Ki Marta Brewok pun tertawa.

Namun sebelum mereka membayar dan meninggalkan kedai itu, mereka melihat seorang anak muda yang berjalan dengan wajah tengadah dan berhenti di depan kedai itu. Seorang laki-laki bersenjata golok mengiringinya di belakangnya.

Sambil memandang pemilik kedai yang duduk di belakang paga rendah tempat ia menggelar dagangannya, anak muda itu menyapa, “He, Kang. Kemana istrimu? Kaukah yang sekarang berjualan nasi disini?”

Pemilik kedai itu terkejut. Dipandanginya anak muda itu dengan seksama. Namun kemudian ia pun berdesis, “Wicitra. Kapan kau pulang?”

“Kemarin. Aku sekarang sudah berubah. Kenapa kau masih tetap saja menjadi penjual nasi? Bahkan tanpa istrimu?”

“Istriku sedang pulang untuk mengambil bumbu megana. He, kau memang berubah. Dimana kau selama ini?”

Anak muda itu mengangkat wajahnya. Katanya, “Aku tidak mau hidup di tempat yang pengap seperti ini. Aku harus berubah. Dan aku berhasil.”

“Jadi, apa yang kau lakukan disini sekarang?”

“Aku akan menjual warisanku untuk menambah modal kerjaku. Aku seorang saudagar yang berhasil.”

“Maksudmu, tanah dan rumah yang ditinggali kedua orang tuamu itu?”

“Ya.”

“Tetapi bukankah kedua orang tuamu masih hidup?”

“Tanah dan rumah itu akhirnya akan jatuh ke tanganku juga. Apa bedanya sekarang dengan setelah ayah dan ibuku meninggal?”

“Lalu, dimana ayah dan ibumu harus tinggal?”

“Ia dapat tinggal bersama Paman. Bukankah umur mereka sudah tidak akan terlalu panjang lagi?”

“Citra.”

Wicitra tertawa. Katanya, “Jangan dibelenggu oleh kecengengan. Kematian seseorang adalah alami. Semua orang akan mati. Juga ayah dan ibu.”

Wijang dan Paksi mendengar pembicaraan itu. Tiba-tiba Paksi menggamit Wijang sambil berdesis, “Apakah anak itu sudah gila?”

“Sst,” potong Wijang, “biar saja ia berkicau sesuka hati.”

“Tetapi telingaku terasa panas.”

Wijang tertawa tertahan. Katanya, “Jangan membiasakan diri cepat tersinggung.”

Ki Marta Brewok tersenyum. Katanya, “Satu pengenalan yang menarik. Jadi ada juga anak yang bersikap demikian terhadap orang tuanya. Tetapi kita belum tahu, apakah orang tuanya itu orang tuanya sendiri, orang tua angkat atau sekedar mengaku orang tua.”

“Tetapi warisan itu?”

“Sst,” Wijang berdesis.

Ternyata anak muda itu melangkah ke pintu kedai. Seperti orang yang sedang mencari Pangeran Benawa, anak muda yang bernama Wicitra itu berdiri berpegangan uger-uger pintu. Dipandanginya orang-orang yang berada di dalam kedai itu.....

Dengan nada tinggi Wicitra itu berkata, “Kedaimu masih juga kedai kerdil dan kotor. Orang-orang yang makan di dalam kedaimu juga orang-orang yang tidak berbaju dan berpakaian kusut.”

“Kau tidak ingat lagi kepada Kang Setra Blandong?”

“Tentu ingat. Ia masih juga blandong seperti dahulu. Ia masih juga makan di kedaimu tanpa baju.”

Orang yang disebut Setra Blandong itu hanya memandangi Wicitra saja tanpa mengatakan sesuatu.

Wicitra tertawa melihat tukang blandong yang duduk termangu-mangu, yang sebenarnya sudah akan meninggalkan kedai itu, tetapi tertahan karena kehadiran empat orang yang mencari Pangeran Benawa itu. Jika ia kemudian tidak segera pergi sepeninggal keempat orang, ia memang menunggu agar orang itu menjadi semakin jauh. Tetapi sebelum ia beranjak pergi, Wicitra itu telah datang ke kedai itu.

Sementara itu pemilik kedai itu pun kemudian bertanya, “Jadi kau datang kemarin, Wicitra?”

“Ya.”

“Wicitra, ada yang perlu kau ketahui.”

“Apa?”

“Di padukuhan ini sekarang berkeliaran beberapa orang yang sedang mencari seorang anak muda. Mereka baru saja datang ke kedai ini. Mereka mengatakan bahwa anak muda yang mereka cari kemarin sudah datang ke padukuhan ini.”

“Siapakah yang mereka cari?”

“Pangeran Benawa.”

“Pangeran Benawa? Apakah Pangeran Benawa ada di padukuhan kita?”

“Yang aku cemaskan, bahwa kaulah yang dikira Pangeran Benawa itu. Karena kau juga datang ke padukuhan ini kemarin.”

“O. Bukankah aku pantas jika aku dikira seorang pangeran?

Ujudku memang ujud seorang pangeran.”

“Tetapi dengan demikian kau terancam bahaya.”

“Bahaya apa?”

“Orang-orang yang mencari Pangeran Benawa itu adalah orang-orang yang garang. Yang tadi singgah di kedai ini adalah empat orang bersenjata yang kasar dan berwajah seram.”

“Lalu menurut pendapatmu, apa yang harus aku lakukan?”

“Sebaiknya kau tinggalkan padukuhan ini untuk satu dua hari. Jika mereka benar-benar menyangka bahwa kau adalah Pangeran Benawa, maka kau tentu akan mereka bawa.”

“Apakah sia-sia aku berguru beberapa tahun. Pengawalku itu pun seorang gegedug yang tidak terkalahkan. Apalagi hanya empat orang. Sembilan orang pun akan dapat aku binasakan dalam waktu sekejap.”

“Tetapi nampaknya keempat orang itu juga orang-orang berilmu. Mereka sudah datang beberapa hari yang lalu. Mereka kasar dan nampaknya berbahaya.”

“Kau menakut-nakuti aku?”

“Tidak. Tetapi orang-orang itu berbahaya bagimu. Agaknya orang-orang itu sulit diajak bicara. Apakah tidak ada seorang pun yang memberitahukan kepadamu? Ayah dan ibumu?”

“Aku tidak memerlukan pemberitahuan itu, Kang. Lupakan saja. Aku justru akan menampakkan diri untuk mengetahui, apakah aku benar-benar mirip dengan seorang pangeran.”

“Tetapi…. “

Ternyata tukang blandong yang lebih banyak berdiam diri itu akhirnya berbicara juga, “Sudahlah. Wicitra sudah dewasa. Ia dapat membuat pertimbangan-pertimbangan yang mapan. Manakah yang baik dilakukan dan mana yang tidak.”

Pemilik kedai itu memang terdiam. Namun Wicitra itulah yang melangkah mendekati blandong yang tidak memakai baju itu. Pengawalnya pun telah melangkah ke pintu pula sambil memegangi hulu goloknya yang berada di dalam sarungnya dan tergantung di lambung.


“Ternyata kau cukup bijaksana Setra. Terima kasih atas kebijaksanaanmu itu. Tetapi sayang, aku sama sekali tidak memerlukannya. Kau pun tidak membuat pertimbangan dengan ikhlas. Bahkan dalam nada suaramu, tersirat perasaanmu yang jengkel terhadap sikapku. He, apakah kau ingin membuat gara-gara.”

“Sama sekali tidak,” jawab Setra Blandong. “Aku hanya ingin pemilik kedai ini diam.”

Wicitra tertawa. Katanya, “Apakah bajumu masih saja selembar sehingga kau tidak pernah mengenakannya kecuali jika kau pergi jagong bayen?”

Setra memandang orang yang berdiri di pintu. Seorang yang bertubuh tinggi dan besar. Bersenjata golok. Wajahnya seram sedangkan matanya yang tajam seperti mata burung hantu itu memandanginya.

Setra menarik nafas dalam-dalam. Ia hanya seorang blandong kayu. Mungkin ia memiliki tenaga yang besar. Tetapi sejak kecil Setra tidak pernah berkelahi. Karena itu, Setra sama sekali tidak menjawab.

Ketika Wicitra meraba pundak Setra, maka ia pun berkata,

“Keringatmu masih saja belum kering Setra. Tetapi mungkin minuman panasmu itulah yang membuat kau berkeringat.”

Setra Blandong masih tetap diam saja.

Wicitra pun tertawa pula. Katanya, “Hati-hatilah, Setra. Jika kau menebang pohon, kau harus tahu kemana arah pohon itu tumbang, agar pohon itu tidak menimpa kepalamu.”

Setra Blandong itu masih saja berdiam diri.

Wicitra itulah yang kemudian melangkah ke pintu. Ketika pengawalnya bergeser, Wicitra itu pun melangkah keluar sambil berkata lantang kepada pemilik kedai itu, “Aku akan mencari orang-orang yang telah menakut-nakuti penghuni padukuhan ini. Aku akan mengaku Pangeran Benawa.”

Sejenak kemudian, maka Wicitra dan pengawalnya itu pun meninggalkan kedai itu. Tetapi ia masih bertanya kepada pemilik kedai itu, “Kemana mereka pergi, Kang?”

Pemilik kedai itu termangu-mangu sejenak. Keempat orang itu menyusuri jalan di depan kedai itu ke timur. Namun pemilik kedai itu berkata, “Mereka pergi ke barat.”

Wicitra tertawa. Tetapi bersama pengawalnya ia pergi ke timur.

“Kau yang bodoh,” berkata Setra Blandong. “Anak itu datang dari arah barat.”

Pemilik kedai itu mengerutkan dahinya. Namun ia pun tersenyum pula.

Setra Blandong itulah yang kemudian bangkit berdiri dan berjalan keluar. Katanya, “Sejak tadi aku sudah akan pergi. Aku menyesal bertemu dengan anak yang sombong itu.”

“Aku mencemaskannya,” berkata pemilik kedai itu.

“Kau tidak bersalah. Kau sudah mencoba untuk memperingatkannya. Tetapi ia keras kepala. Aku bahkan menjadi jengkel karena kesombongannya. Tetapi pengawalnya itu membuat hatiku berkerut. Terus terang aku takut.”

Pemilik kedai itu mengangguk-angguk. Katanya, “Jangan berkecil hati. Itu wajar-wajar saja. Kita bukan orang yang terbiasa berkelahi. Meskipun kau membawa kapak, tetapi pohon yang kau tebang selalu saja pasrah.”

Setra Blandong itu mengerutkan dahinya. Namun kemudian ia pun tersenyum. Kecut sekali. Tetapi Setra Blandong itu masih juga berkata kepada Ki Marta Brewok dan kedua orang anak muda yang menyertainya, “Jika kau perlu ayung-ayung, ambil di rumahku.”

Ki Marta Brewok tertawa sambil menjawab, “Terima kasih, Ki Setra.”

Sepeninggal Setra Blandong, maka Ki Marta Brewok, Wijang dan Paksi pun telah minta diri pula. Setelah membayar harga makan dan minum mereka, maka mereka pun meninggalkan kedai itu pula.

Namun demikian mereka keluar dari kedai itu, Ki Marta Brewok pun berkata, “Nasib anak itu agaknya akan menjadi kurang baik.”

“Anak itu terlalu sombong,” desis Paksi.

“Apakah kita sebaiknya memperingatkannya. Orang itu masih nampak dari sini. Kita dapat menyusulnya dan memberitahukan bahaya yang dapat mengancamnya. Mungkin jika orang lain yang memberinya peringatan, anak itu akan mau mendengarkannya,” sahut Wijang.

Ki Marta Brewok menarik nafas panjang. Katanya, “Belum tentu. Agaknya anak itu terlalu sombong. Kau dengar apa yang dikatakannya tentang kedua orang tuanya?”

Paksi mengangguk-angguk. Katanya, “Anak itu memang sangat menjengkelkan.”

“Tetapi biarlah kita mencobanya. Mungkin kita dapat meyakinkannya.”

Ketiganya pun mempercepat langkah mereka. Namun anak muda yang bernama Wicitra itu telah hilang di tikungan.

“Kita pun akan berbelok pula,” berkata Ki Marta Brewok. “Tetapi persoalan ini adalah persoalan terakhir yang akan dapat menghambat perjalanan kita. Selanjutnya kita akan langsung menempuh perjalanan pulang.”

“Ya. Kita tidak menghiraukan lagi, apa pun yang terjadi di sekitar diri kita,” berkata Paksi.

Tetapi Wijang justru tertawa. Katanya, “Benar begitu?”

Paksi mengerutkan dahinya. Ki Marta Brewoklah yang kemudian tertawa pula.

Paksi yang memberengut itu pun berkata, “Jadi akulah yang telah menghambat perjalanan pulang?”

“Tidak. Bukankah aku tidak berkata begitu?” sahut Wijang.

Paksi tidak berbicara lagi. Tetapi ia berjalan lebih cepat. Tongkatnya menghentak-hentak tanah yang dilewatinya.

Namun langkahnya tiba-tiba terhenti. Mereka mendengar suara keributan kecil terjadi di belakang tikungan.

Dengan hati-hati ketiganya mendekat sambil melekat di dinding. Dari tempat mereka berhenti, ketiganya mendengar suara seorang laki-laki, “Sebaiknya kau tinggalkan padukuhan ini untuk satu dua hari.”

“Tidak, kau dengar.”

“Jika kau bukan anakku, aku tidak akan mempedulikanmu, Wicitra.”

“O, jadi kau usir agar aku tidak sempat menuntut warisan itu lagi.”

“Ambil, ambil semuanya yang akan kau ambil, Wicitra. Tetapi banyak orang dan bahkan Ki Bekel menasehatkan agar kau meninggalkan padukuhan ini. Orang-orang itu adalah orang-orang yang tidak mengenal kasihan. Mereka tentu menyangka bahwa kaulah yang mereka cari.”

“Pangeran Benawa?”

“Ya.”

“Aku memang akan mengaku sebagai Pangeran Benawa. Bukankah tampangku pantas untuk disebut sebagai seorang pangeran.”

“Tetapi kau akan ditangkap.”

“Siapa yang dapat menangkap aku, biarlah dilakukannya. Aku tidak takut. Kau ajari anakmu menjadi pengecut?”

“Tidak. Tentu tidak. Tetapi aku dan ibumu mohon.”

“Cukup. Sebaiknya ayah menyiapkan segala sesuatunya yang akan ayah wariskan kepadaku. Besok kita menghadap Ki Bekel. Kemudian aku akan menjual semuanya untuk menambah modalku. Jika perdaganganku menjadi besar, aku akan menjadi saudagar yang paling kaya di Pajang.”

“Sudah aku katakan. Ambil yang akan kau ambil.”

“Jangan mencari alasan untuk menunda-nunda lagi.”

“Wicitra.”

“Cukup,” bentak Wicitra. “Biar aku menentukan sikapku sendiri. Aku sudah dewasa. Aku sudah tahu, manakah yang baik dan mana yang tidak baik. Mana yang berbahaya dan mana yang tidak berbahaya.”

“Wicitra…, Wicitra.”

“Diam, diam kau. Jangan ikuti aku.”

Suara mereka tidak terdengar lagi. Langkah Wicitra semakin jauh. Sedangkan desah ayahnya masih terdengar dari balik dinding di tikungan.

Ki Marta Brewok lah yang kemudian berbisik, “Marilah kita dekati orang tua Wicitra itu.”

“Bukan aku yang membuat persoalan,” desis Paksi.

Wijang tertawa tertahan. Katanya, “Tetapi persoalan ini masih terkait dengan persoalan terakhir yang akan melibat kita.”

Ki Marta Brewok pun kemudian memberi isyarat kepada kedua orang anak muda itu untuk mengikutinya.

Demikian ketiganya muncul di tikungan, ayah Wicitra itu terkejut bukan buatan. Hampir saja ia meloncat berlari untuk mengejar anaknya. Tetapi kakinya serasa menjadi seberat timah.

Ki Marta Brewoklah yang kemudian berkata dengan kata-kata yang sareh, “Jangan takut, Ki Sanak. Aku tidak berniat buruk.”

Dengan wajah yang tegang, ayah Wicitra itu memandang Ki Marta Brewok dan kedua anak muda yang menyertainya itu berganti-ganti.

“Siapakah kalian? Apakah kalian akan mencari Pangeran Benawa? Disini tidak ada Pangeran Benawa. Yang kalian sangka Pangeran Benawa itu adalah anakku. Namanya Wicitra. Ia sama sekali tidak tahu-menahu tentang Pangeran Benawa.”

“Ki Sanak, kami tidak sedang mencari Pangeran Benawa. Kami sama sekali tidak mengenalnya, bahkan baru sekarang kami mendengar namanya.”

“Jadi, apa yang kalian cari disini?”

“Kami tidak mencari apa-apa disini, Ki Sanak,” jawab Ki Marta Brewok. “Kami hanya lewat. Di tikungan ini kami mendengar suara ribut-ribut, sehingga kami berbelok kemari.”

Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Jadi kalian tidak mencari Pangeran Benawa?”

“Tidak, Ki Sanak.”

“Tetapi banyak orang yang mengatakan bahwa sekelompok orang sedang mencari Pangeran Benawa disini. Pangeran Benawa yang kemarin sudah datang di padukuhan ini. Sedangkan anak muda yang kemarin datang di padukuhan ini adalah anakku. Aku cemas, bahwa anakku itulah yang disangka Pangeran Benawa.”

“Apakah anakmu mirip dengan Pangeran Benawa?” bertanya Wijang.

“Aku tidak tahu. Aku belum pernah melihat Pangeran Benawa. Yang jelas mirip adalah kemudaannya. Menurut kata orang, Pangeran Benawa itu masih muda. Anakku juga masih muda.”

“Tetapi aku dengar, Ki Sanak justru bertengkar tadi.”

“Itu tadi anakku. Aku mencoba untuk membujuknya agar ia bersedia meninggalkan padukuhan ini barang satu dua hari sampai orang-orang yang mencari Pangeran Benawa itu pergi.”

“Apakah orang-orang yang mencari Pangeran Benawa itu mirip kami?”

“Yang kami dengar adalah empat orang. Mungkin saja yang seorang baru mempunyai keperluan lain.”

“Tetapi orang itu bukan kami,” jawab Ki Marta Brewok yang selanjutnya berkata, “Bagaimana tanggapan anakmu?”

“Anak itu menolak. Ia justru ingin mengaku sebagai Pangeran Benawa itu sendiri.”

“Apakah anakmu tidak takut kepada orang-orang yang sedang mencari Pangeran Benawa itu? Mereka tentu orang-orang yang berilmu tinggi, karena mereka tahu bahwa Pangeran Benawa itu pun berilmu tinggi.”

“Seharusnya anakku menyadari akan hal itu. Tetapi anakku pun merasa memiliki ilmu. Ia baru saja selesai berguru. Sementara itu seorang pengawalnya juga berilmu tinggi.”

“Siapakah pengawalnya itu?”

“Aku tidak tahu, tetapi ia adalah orang yang diupah oleh anakku. Ia seorang upahan yang setia.”

“Seharusnya anakmu mendengar nasehatmu.”

“Apakah kalian bersedia menolong aku?” bertanya ayah Wicitra itu.

“Maksud Ki Sanak?” bertanya Ki Marta Brewok. “Tolong, beri tahu anakku. Kau dapat menakut-nakutinya atau dengan cara apa pun juga.”

“Kemana anakmu sekarang?”

“Mungkin ia pulang dan menunggu orang-orang yang mencari Pangeran Benawa itu di rumah. Atau justru anak itu juga sedang mencari keempat orang yang mencari Pangeran Benawa itu.”

“Aku tidak berkeberatan menemui anakmu dan mencoba mencairkan hatinya yang keras itu.”

“Terima kasih, Ki Sanak. Marilah, aku mohon Ki Sanak bersedia singgah di rumahku.”

Ki Marta Brewok, Wijang dan Paksi pun kemudian telah mengikuti ayah Wicitra itu. Mereka akan menemui Wicitra dan mencoba untuk menyelamatkannya dari tangan orang-orang yang mencari Pangeran Benawa itu.

Demikianlah, sejenak kemudian, ketiga orang itu pun dipersilahkan untuk duduk di pringgitan. Namun ternyata bahwa Wicitra masih belum pulang.

“Anak itu membuat jantungku kuncup,” berkata ayah Wicitra.

“Ia adalah anakku satu-satunya. Meskipun ia telah menyakiti hatiku dengan permintaannya yang sebenarnya tidak masuk akal, tetapi bagaimanapun juga ia adalah anakku.”

“Apa yang diminta oleh anak itu?” bertanya Ki Marta Brewok.

“Rumah dan tanahnya. Sawah dan pategalan yang ada. Anakku akan menjualnya untuk menambah modal usahanya yang nampaknya menjadi semakin maju.”

“Lalu, Ki Sanak akan tinggal dimana?”

“Itu tidak menjadi soal. Aku dan istriku dapat tinggal dimana-mana. Bukankah aku hanya berdua? Aku dapat tinggal di rumah adikku atau di rumah kakak perempuanku atau dimana saja. Bahkan sebuah kandang kerbau pun cukup untuk kami tempati berdua.”

Ki Marta Brewok menarik nafas panjang. Sementara Wijang dan Paksi yang juga masih muda itu tersentuh hatinya. Mereka melihat betapa besar kasih orang tua kepada anaknya, meskipun anaknya telah melakukan pemerasan yang tidak masuk akal.

Namun pembicaraan mereka pun terputus. Sejenak kemudian mereka melihat Wicitra memasuki halaman rumahnya bersama seorang pengawalnya yang menakutkan itu.

Wicitra itu berhenti di tangga pendapa rumahnya. Dengan tegang ia memandang ketiga orang yang duduk di pringgitan bersama ayahnya. Namun kemudian dengan lantang ia pun berkata, “Apakah kau orang-orang yang sedang mencari Pangeran Benawa di padukuhan ini?”

“Bukan Wicitra,” ayahnyalah yang menyahut. “Marilah. Duduklah. Mereka ingin berbicara kepadamu.”

“Siapakah mereka?” bertanya Wicitra. Namun setelah memperhatikan ketiga orang itu dengan seksama Wicitra itu pun berkata, “Bukankah mereka orang-orang yang tadi ada di kedai itu?”

“Ya, Ki Sanak,” jawab Ki Marta Brewok.

“Untuk apa kalian datang kemari? Kalian akan memeras keluarga kami dan mengancam untuk memberitahukan kehadiranku di padukuhan ini?”

“Jangan berprasangka buruk, Wicitra. Duduklah. Mereka akan berbicara kepadamu. Sebentar saja.”

Wicitra memandang Ki Marta Brewok, Wijang dan Paksi berganti-ganti. Namun tanpa naik ke pendapa Wicitra itu berkata, “Apa yang akan kau katakan?”

“Duduklah, Wicitra,” minta ayahnya.

Tetapi jawab Wicitra, “Aku tidak tuli. Katakan.”

Ki Marta Brewok termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun berkata, “Wicitra. Aku hanya ingin memperingatkanmu. Orang-orang yang mencari Pangeran Benawa itu adalah orang-orang yang berilmu. Karena itu, seperti yang dikatakan oleh ayahmu, oleh pemilik kedai itu, maka sebaiknya kau tinggalkan padukuhan ini barang dua tiga hari.”

“Persetan dengan penghinaanmu itu. Kalau aku tadi tidak mengingat pemilik kedai itu kawanku bermain, aku sudah menyumbat mulutnya dengan daun pisang. Ia menganggap aku pengecut yang harus bersembunyi. Sekarang kau datang juga untuk menghina aku. Aku peringatkan kau sekali lagi. Jangan membuat aku marah.”

“Wicitra,” berkata Ki Marta Brewok kemudian, “aku minta maaf, bahwa mungkin kata-kataku menyinggung perasaanmu. Tetapi orang-orang itu benar-benar berbahaya bagimu.”

“Cukup,” teriak Wicitra. “Sekarang kalian pergi. Aku akan mencari orang-orang itu dan mengatakan kepada mereka bahwa akulah Pangeran Benawa itu.”

“Aku mohon, kau mau mempertimbangkannya, Wicitra.”

“Diam, atau aku harus membungkam mulutmu. Pergi. Cepat pergi atau aku akan mengusir kalian.”

Ki Marta Brewok menarik nafas panjang. Kepada ayah Wicitra, Ki Marta Brewok itu berkata, “Maaf, Ki Sanak. Aku sudah mencoba. Tetapi anakmu tidak mau mendengarkannya.”

“Pergi, cepat. Dengar. Orang-orang yang mencari Pangeran Benawa itu sebentar lagi tentu akan datang kemari. Aku sudah berpesan kepada banyak orang, bahwa akulah Pangeran Benawa dan tinggal di rumah ini selama aku berada di padukuhan ini.”

“Bagaimana mungkin hal itu kau lakukan, Wicitra,” sahut ayahnya. “Orang-orang padukuhan ini mengenalmu sejak kau kanak-kanak. Mereka tahu bahwa kau sama sekali bukan pangeran.”

“Aku tidak peduli. Tetapi itu lebih baik bagi mereka. Orang-orang yang mencari Pangeran Benawa itu menakut-nakuti rakyat padukuhan ini. Mereka akan dapat merusak padukuhan ini jika mereka tidak menemukan Pangeran Benawa. Karena itu, aku sudah berpesan kepada mereka, agar mereka menyurukkan orang-orang itu ke tanganku. Aku akan membinasakan mereka.”

“Tetapi mereka orang-orang berilmu,” sahut ayahnya.

“Aku tidak takut,” Wicitra itu berteriak. “Aku akan menunggu mereka disini.”

Ki Marta Brewok, Wijang dan Paksi pun kemudian beringsut dan turun dari pendapa. Sementara itu Wicitra masih berteriak, “Cepat, sebelum aku mendorong kalian dengan ujung pedang.”

Ki Marta Brewok, Paksi dan Wijang pun segera meninggalkan halaman rumah itu. Namun rasa-rasanya mereka tidak dapat meninggalkan keluarga yang malang itu begitu saja. Menurut dugaan Ki Marta Brewok, Wijang dan Paksi, maka Wicitra dan pengawalnya itu tidak akan mungkin dapat mengalahkan keempat orang yang sedang mencari Pangeran Benawa itu. Keempat orang itu pun tentu berbekal pengertian, bahwa Pangeran Benawa adalah seorang yang berilmu sangat tinggi.

Karena itu, maka demikian mereka keluar dari regol rumah Wicitra, mereka pun segera meloncat ke halaman seberang dan bersembunyi di belakang dinding. Agaknya pemilik rumah itu sudah lama menutup pintu rumahnya.

Dalam pada itu, seperti yang dikatakan oleh Wicitra, maka ia telah berpesan kepada banyak orang yang ditemuinya, agar mereka sengaja memberitahukan kepada orang-orang yang mencari Pangeran Benawa bahwa Pangeran Benawa ada di rumah itu.

“Akulah yang mereka cari,” berkata Wicitra. “Orang-orang di Pajang menyebutku Pangeran Benawa. Mereka iri akan keberhasilanku, sehingga mereka mencari aku.”

Orang-orang padukuhan itu tidak banyak yang tahu arti dari sebuah sebutan. Ada di antara mereka yang percaya saja, bahwa Wicitra telah berganti nama dengan Pangeran Benawa.

Untuk beberapa lama Ki Marta Brewok, Wijang dan Paksi menunggu. Mereka pun yakin, bahwa keempat orang yang mencari Pangeran Benawa itu akan datang ke rumah Wicitra.

“Ternyata ada juga segi baiknya pada Wicitra,” desis Paksi.

“Apa?” bertanya Wijang.

“Ia tahu bahwa jika orang-orang yang mencari Pangeran Benawa itu tidak menemukannya, maka ia akan menumpahkan kemarahannya kepada penghuni padukuhan ini.”

“Tetapi bukan itu yang penting baginya. Wicitra yang baru saja menyelesaikan laku di sebuah perguruan, ingin mencoba kemampuannya di samping kesombongannya karena ia sudah berhasil menjadi orang yang berkecukupan dalam umurnya yang masih muda itu.”

“Ya. Keberhasilannya itu telah membuatnya menjadi sangat sombong dan bahkan lupa diri. Kasihan kedua orang tuanya yang sangat mencintainya. Ia adalah anak satu-satunya yang diharapkan dapat menyambung alur keluarganya. Jika ia dihancurkan oleh orang-orang yang mencari Pangeran Benawa, maka terputuslah alur keluarga itu.”

“Tetapi Pangeran Benawa tidak akan dibunuh. Ia harus ditangkap hidup-hidup,” desis Paksi.

“Tetapi jika akhirnya diketahui bahwa ia bukan Pangeran Benawa, ia bukan saja dibunuh. Tetapi ia akan mengalami perlakuan yang sangat pahit sebelum maut benar-benar merenggutnya,” sahut Ki Marta Brewok.

Paksi mengangguk-angguk. Bahkan Paksi menjadi ngeri membayangkan apa yang akan dialami Wicitra itu jika akhirnya diketahui bahwa ia bukan Pangeran Benawa.

Dalam pada itu, Ki Marta Brewok, Wijang dan Paksi itu sudah menunggu beberapa lama. Bahkan Paksi mulai merasa mengantuk karena silirnya angin yang berhembus menerpa wajahnya. Katanya, “Aku justru mengantuk. Perutku kenyang, sementara hembusan angin terasa lembut.”

“Jika kau tertidur, kau akan ditinggal disini,” desis Wijang.

Paksi tertawa. Katanya, “Kenapa kau tidak ikut tidur saja? Jika kau tidak dapat tidur, jangan menjadi iri.”

Wijang mengerutkan dahinya. Namun kemudian katanya, “Kau kira aku tidak mengantuk? Tetapi siapa yang tertidur, akan ditinggal.”

“Jika Ki Marta Brewok yang tertidur?”

“Kita akan ikut tidur,” jawab Wijang. Ki Marta Brewok pun tertawa.

Dalam pada itu, mereka pun segera terdiam ketika mereka mendengar keributan kecil di jalan sebelah. Mereka mendengar seseorang membentak, “Dimana rumah itu?”

Terdengar jawaban dengan suara bergetar. Agaknya orang yang menjawab itu berada dalam keadaan ketakutan. Katanya, “Itu, itu, Ki Sanak. Itu rumahnya.”

“Rumah Pangeran Benawa?”

“Maksudku, Pangeran Benawa ada disitu.”

“Mari ikut aku. Jika kau berbohong, maka kepalamu akan terpisah dari tubuhmu.”

“Tetapi aku tidak tahu apa-apa.”

“Persetan. Kaulah yang telah membawa aku kemari.”

Tidak terdengar jawaban.

Ki Marta Brewok, Wijang dan Paksi pun telah memperhatikan perkembangan keadaan itu dengan seksama. Sejenak kemudian, mereka mendengar geramang orang-orang itu memasuki regol halaman rumah Wicitra.


Dengan hati-hati Ki Marta Brewok pun mulai mengintip dari atas dinding halaman yang dibayangi oleh dedaunan perdu yang rimbun.

“Mereka sudah masuk,” desis Ki Marta Brewok.

Wijang dan Paksi pun kemudian telah berdiri pula dan melihat pintu regol halaman rumah Wicitra yang terbuka.

Bertiga mereka berusaha untuk dapat melihat apa yang terjadi di halaman rumah seberang jalan. Meskipun tidak dalam keseluruhan, namun mereka dapat mengetahui serba sedikit apa yang terjadi disana.

Ternyata Wicitra sudah berdiri di tangga pendapa rumahnya sambil bertolak pinggang. Dengan lantang Wicitra itu bertanya, “Kalian inikah yang mencari Pangeran Benawa di padukuhan ini?”

Keempat orang yang garang itu tiba-tiba menjadi termangu sejenak. Anak muda yang berdiri di tangga pendapa itu sama sekali tidak menunjukkan kecemasan.

“Kenapa kalian terdiam? Apakah kalian tuli dan bisu?”

Seorang di antara keempat orang itu melangkah maju sambil berdesis, “Siapakah kau?”

“Aku adalah orang yang kalian cari.”

Orang-orang itu saling berpandangan. Seorang di antara mereka berkata, “Kami memang belum pernah bertemu dengan orang yang bernama Pangeran Benawa. Tetapi ciri-ciri Pangeran Benawa sama sekali tidak sama dengan ciri-ciri yang ada padamu, anak muda.”

“Persetan dengan ciri-ciri,” bentak Wicitra. “Apa yang sebenarnya kau kehendaki dengan Pangeran Benawa?”

“Kami mendapat perintah untuk menangkap Pangeran Benawa hidup-hidup. Nah, jika kau memang Pangeran Benawa, menyerahlah. Pimpinan kami yang akan mengenalimu nanti. Jika kau memang Pangeran Benawa, maka persoalannya kemudian adalah persoalanmu dengan pimpinanku. Tetapi jika kau bukan Pangeran Benawa, maka kau akan berurusan dengan aku, karena aku akan menjadi sangat malu, bahwa aku telah menangkap orang yang keliru.”

Wicitra tertawa. Katanya, “Kalian memang orang-orang yang dungu. Seharusnya kalian tahu, bahwa aku memiliki ilmu yang tidak ada batasnya. Apakah kalian bermimpi untuk dapat mengalahkan Pangeran Benawa?”

“Kami tahu bahwa Pangeran Benawa mempunyai ilmu yang sangat tinggi. Tetapi sebagaimana kau lihat, bahwa kami datang berempat. Seberapa pun tinggi ilmu Pangeran Benawa, maka kau tidak akan dapat melawan kami.”

“Aku juga tidak sendiri,” desis Wicitra. “Seorang pengawalku akan ikut bersamaku membantai kalian berempat. Jangan menyesal kalian berempat akan berkubur disini.”

Keempat orang itu mulai tersinggung. Seorang di antaranya berkata tidak kalah lantangnya, “Menyerahlah. Jika kami harus mempergunakan kekerasan, mungkin kami akan melukai kulitmu. Apalagi jika kemudian ternyata kau bukan Pangeran Benawa, maka nasibmu akan menjadi sangat buruk. Tetapi jika kau menyerah, maka kau akan mendapat keringanan.”

“Cukup,” teriak Wicitra. “Sekarang kau mau apa? Lakukan apa yang ingin kau lakukan.”

Keempat orang itu tiba-tiba saja sudah melangkah mengambil jarak yang satu dengan yang lain. Yang tertua di antara mereka pun berkata, “Kami harus menangkap Pangeran Benawa hidup-hidup. Tetapi jika karena perlawanannya Pangeran Benawa mati, aku harus membawa tubuhnya menghadap pemimpin kami.”

“Persetan,” geram Wicitra. “Bersiaplah. Siapakah yang akan mati lebih dahulu.”

Wicitra kemudian melangkah turun dari tangga pendapa. Anak muda itu nampaknya memang tidak mengenal takut sama sekali. Meskipun empat orang yang datang kepadanya itu nampak garang, tetapi dengan wajah tengadah Wicitra siap menghadapi mereka. Sementara itu, seorang pengawalnya yang tidak kalah garangnya telah bergeser pula justru mendekati Wicitra yang sudah berdiri di halaman.

Ayah Wicitra berdiri dengan tubuh gemetar. Ia menjadi bingung. Rasa-rasanya ia ingin meloncat dan memberitahukan bahwa Wicitra bukan Pangeran Benawa. Tetapi dengan demikian juga akan dapat berakibat buruk. Justru karena anak muda itu bukan Pangeran Benawa, maka ia akan diperlakukan dengan semena-mena. Apalagi setelah Wicitra mengaku sebagai Pangeran Benawa. Bahkan mungkin Wicitra itu akan dibantai dengan cara yang sangat keji.

Tetapi jika ia masih dianggap sebagai Pangeran Benawa, maka masih ada kemungkinan untuk tetap hidup, meskipun pada saatnya ia diketahui bukan Pangeran Benawa, maka segala-galanya akan berakhir.

Ayah Wicitra itu menjadi sangat bingung.

Dalam keadaan yang demikian, ibu Wicitra pun telah membuka pintu pringgitan dan menjenguk apa yang telah terjadi di halaman rumahnya. Ketika ia melihat anaknya dan seorang pengawalnya berhadapan dengan empat orang yang garang, maka ia pun berlari ke arah suaminya. Sambil mengguncang lengan suaminya, ibu Wicitra itu pun berkata, “Kakang. Lakukan sesuatu untuk menyelamatkan anakmu, Kakang.”

“Aku sudah berusaha, Nyi. Tadi, tiga orang sudah berusaha membantu menyadarkan Wicitra. Tetapi anak itu tidak mau mendengarkannya. Orang-orang itu bahkan telah diusirnya dengan kasar, sehingga aku sudah kehilangan akal.”

Dalam pada itu, pertempuran di halaman itu pun sudah dimulai. Wicitra harus berhadapan dengan dua orang yang garang itu, sementara pengawalnya pun harus menghadapi dua orang yang lain.

Pertempuran itu pun dengan cepat menjadi sengit. Wicitra yang merasa memiliki ilmu yang tinggi, segera melibat kedua orang lawannya.

Namun Wicitra itu terkejut. Ternyata kedua lawannya itu tidak semudah yang dibayangkannya untuk dapat ditundukkan. Pada benturan-benturan awal, Wicitra sudah merasakan, betapa tangannya yang menggenggam pedangnya menjadi pedih. Kedua orang lawannya itu ternyata memiliki kekuatan yang sangat besar, serta kecepatan gerak yang tinggi.

Untuk beberapa saat lamanya, Wicitra mampu bertahan. Namun kemudian tekanan lawannya itu terasa menjadi semakin berat sehingga Wicitra setiap kali harus berloncatan surut.

“Iblis manakah yang telah merasuk ke dalam tubuh mereka,” geram Wicitra di dalam hatinya.

Karena itu, maka Wicitra harus mengerahkan segenap kekuatan dan kemampuannya untuk mempertahankan dirinya.

Sementara itu, pengawalnya juga mengalami kesulitan melawan dua orang lawan yang tidak kalah garangnya. Goloknya yang besar sekali-sekali telah membentur senjata lawannya. Pedang-pedang yang besar dan panjang.

Dalam waktu yang terhitung singkat, pengawal Wicitra itu sudah harus berloncatan surut untuk mengambil jarak dan memperbaiki keadaannya, sehingga akhirnya Wicitra itu telah berdiri terpisah beberapa langkah dari pengawalnya.

Gambaran Wicitra tentang lawan-lawannya memang jauh berbeda. Wicitra mengira bahwa mereka tidak lebih dari perampok-perampok yang hanya dapat berteriak-teriak dan menggertak.

Namun ternyata mereka benar-benar memiliki ilmu yang tinggi. Apalagi Wicitra harus menghadapi dua orang lawan sekaligus.

Namun Wicitra masih beruntung, bahwa lawannya berusaha untuk tidak membunuhnya. Kedua lawannya masih berusaha untuk dapat menundukkan Wicitra tanpa melukainya. Karena itu, maka kedua orang lawan Wicitra itu dengan sengaja telah berusaha memancing Wicitra agar mengerahkan tenaganya, sehingga pada suatu saat ia akan menjadi tidak berdaya lagi.

Tetapi pengawal Wicitra itu mengalami nasib yang buruk. Ia sama sekali tidak diperlukan oleh keempat orang yang sedang memburu Pangeran Benawa itu. Karena itu, maka kedua orang lawannya pun sama sekali tidak menahan diri. Demikian mereka bertempur, maka serangan-serangan kedua lawan pengawal Wicitra itu datang beruntun sehingga pengawal yang nampak garang itu segera terdesak.

Bahkan pertahanannya pun mulai ditembus oleh serangan-serangan lawannya. Ia berteriak marah ketika lengannya tergores pedang lawannya. Tetapi kemudian justru pundaknya telah terkoyak. Ketika kemudian lambungnya menganga, maka ia pun menjadi semakin lemah. Darah yang mengalir dari tubuhnya semakin lama semakin menjadi deras, sehingga tenaganya pun menjadi cepat menyusut.

Kedua lawannya sama sekali tidak membuat pertimbangan-pertimbangan lagi. Serangan-serangan mereka justru semakin menentukan.

Pengawal Wicitra itu kemudian berteriak nyaring ketika ujung pedang lawannya menghunjam ke dadanya.

Sejenak kemudian, maka pengawal Wicitra itu pun terhuyung-huyung. Ketika ujung pedang itu dicabut, maka ia pun jatuh tertelungkup.

Pengawal Wicitra itu tidak sempat menggeliat. Nafasnya pun telah putus pula, sementara tubuhnya terbaring diam di tanah. Wicitra terkejut. Ia terlalu yakin akan kemampuan pengawalnya, sehingga kematiannya benar-benar telah mengguncang jantungnya.

Sementara itu, kedua orang lawannya semakin menekannya. Apalagi ketika kedua orang yang telah membunuh pengawalnya itu telah ikut mengepungnya pula.

“Kau tidak mempunyai kesempatan lagi,” berkata salah seorang dari orang-orang yang mengepungnya itu. “Jika kau menyerah, kau masih mempunyai kesempatan hidup. Tetapi jika kau melawan, mungkin senjata kami akan menggores kulitmu atau bahwa akan menghunjam ke dadamu.”

Wicitra menjadi bingung. Empat orang telah mengepungnya di tengah-tengah halaman rumahnya. Ia benar-benar menjadi kehilangan akal. Jika ia berterus terang bahwa sebenarnya ia bukan Pangeran Benawa, maka ia tentu akan dibunuh juga.

Wicitra menyesali kesombongannya. Ia tidak mengira bahwa dunia kanuragan yang mulai diterjuninya adalah dunia yang sangat buas dan liar.

Kedua orang tuanya menjadi sangat bingung. Ibunya menangis tertahan-tahan, sementara ayahnya mencoba untuk menenangkannya. Tetapi hati ayahnya itu sendiri sama sekali tidak menjadi tenang.

Dalam keadaan yang sangat gawat itu, Wicitra benar-benar telah kehilangan akal. Ketika empat ujung pedang teracu ke tubuhnya, maka tiba-tiba saja ia melemparkan senjatanya. Sambil berjongkok Wicitra itu pun merengek seperti kanak-kanak, “Ampun. Aku mohon ampun.”

Keempat orang itu saling berpandangan sejenak. Namun kemudian salah seorang di antara mereka berkata, “Katakan yang sebenarnya, apakah kau Pangeran Benawa?”

“Tidak. Bukan, aku bukan Pangeran Benawa.”

“Anak iblis kau. Kau sudah mencoba membohongi aku. Bukan karena kebenaran Pangeran Benawa itu yang sangat menyakitkan, tetapi kau sudah mencoba mempermainkan aku. Menganggap bahwa aku dan kawan-kawanku tidak lebih dari pencuri ayam yang dapat dipermainkan. Kau terlalu sombong dan terlalu merendahkan kami.”

“Bukan maksudku. Aku tidak bermaksud apa-apa.”

“Kenapa kau mengaku Pangeran Benawa? Bukankah itu berarti bahwa kau telah menantang kami?”

“Tidak. Aku mohon ampun.”

Dalam pada itu, ibu Wicitra itu pun telah berlari menghambur ke halaman. Dengan serta-merta ia pun memeluk anaknya sambil menangis. Katanya, “Aku mohon ampun bagi anakku. Ia anakku satu-satunya. Ia memang manja. Tetapi ia anak yang baik.”

“Persetan dengan anakmu yang hanya satu,” seorang di antara

keempat orang itu justru berteriak. “Kaukah yang menyuruh anakmu mengaku Pangeran Benawa? Kau ingin punya anak seperti Pangeran Benawa? Atau kau bangga anakmu disangka Pangeran Benawa?”

“Tidak, aku sama sekali tidak menyuruhnya.”

Namun tiba-tiba ayah Wicitra itulah yang menjawab, “Akulah yang menyuruhnya mengaku Pangeran Benawa. Alangkah senangnya punya anak yang dikagumi. Yang ditakuti tetapi juga dicari banyak orang. Karena itu, jika hal itu kau anggap salah, akulah yang bersalah. Jika kesalahan itu harus dihukum, hukumlah aku. Kau dapat membunuhku. Tetapi jangan anakku. Ia tidak tahu apa-apa. Ia anak baik. Ia sama sekali tidak sombong sebagaimana kalian duga.”

“Kau ayah yang gila. Kau surukkan anakmu ke dalam maut. Kau dorong anakmu sehingga terjerumus ke dalam jurang yang penuh dengan batu-batu karang yang runcing.”

“Aku memang bersalah. Karena itu, yang sepantasnya dihukum mati adalah aku. Bukan anakku.”

“Aku tidak peduli. Tetapi jika yang kau katakan itu benar, kau dan anakmu harus mati. Kalian berdua sudah menghina kami.”

“Ki Sanak,” teriak ibu Wicitra yang masih memeluk anaknya, “jika harus ada dua orang yang dihukum mati, biarlah suamiku dan aku sajalah yang mati, jangan anakku.”

“Cukup,” teriak orang yang tertua di antara keempat orang itu.

“Kalian tidak dapat memerintah aku. Biarlah terserah kepadaku, apa yang akan aku lakukan. Jika kalian membuat marah aku dan kawan-kawanku, maka kalian akan mengalami nasib yang paling buruk. Siapa pun yang akan aku hukum, maka anak muda yang mengaku Pangeran Benawa itu akan mati.”

“Jangan, jangan,” teriak ibu Wicitra.

Wicitra sendiri menangis. Ia menjadi sangat ketakutan. Kegarangannya tiba-tiba telah larut hanyut bersama arus air matanya. Katanya tersendat-sendat, “Aku mohon ampun. Aku mohon ampun. Aku mohon hidup.”

“Pengecut licik. Melihat kesombonganmu, tidak pantas kau merengek seperti ini. Ayo bangkit. Lebih baik kau mati dengan senjata di tanganmu daripada mati aku jerat kakimu dan aku gantungkan tubuhmu di dahan pohon nangka itu. Ayo cepat. Ambil pedangmu. Kita akan bertempur seorang melawan seorang.”

“Tidak, aku tidak berani. Aku mohon ampun.”

“Cepat.”

Adalah di luar dugaan, bahwa tiba-tiba saja ayah Wicitra itu melangkah dengan tenang ke depan. Dipungutnya pedang Wicitra. Kemudian ia berdiri tegak dengan pedang di tangan sambil berkata lantang, “Aku yang akan melawanmu. Aku tidak takut mati. Tetapi aku mohon anakku hidup.”

“Tutup mulut, laki-laki gila. Sudah aku katakan, siapa pun yang akan mati, tetapi anak ini harus mati. Kau dengar? Tidak ada gunanya kau melindungi anakmu. Tetapi berkumpullah kalian bertiga disini, berbaringlah. Aku akan menusuk dadamu seorang demi seorang.”

Suasana menjadi sangat tegang. Sementara itu, orang-orang yang mencari Pangeran Benawa itu berteriak lantang, “Cepat. Kalian harus berbaring semua atau mati perlahan-lahan?”

Ketegangan telah mencengkam jantung ayah, ibu dan Wicitra sendiri yang masih saja merengek. Tetapi justru karena itu, orang tertua di antara keempat orang itu menjadi sangat marah. Tiba-tiba saja kakinya menyambar mulut anak itu dengan kerasnya.

“Diam kau monyet kecil. Atau aku akan mengulitimu hidup-hidup?”

Mulut Wicitra pun menjadi berdarah. Tetapi ia tidak dapat diam. Ia tetap menangis merengek-rengek.

Namun pada keadaan yang demikian, tiba-tiba tiga orang telah memasuki regol halaman rumah itu. Dengan lantang yang tertua di antara mereka, Ki Marta Brewok berteriak nyaring, “Ha, akhirnya kita dapat menemukan Pangeran Benawa disini.”

Keempat orang yang sudah siap membunuh itu terkejut. Mereka serentak berpaling.....

“Kami datang untuk menjemput Pangeran Benawa,” berkata Ki Marta Brewok.

Keempat orang itu termangu-mangu sejenak. Seorang di antara mereka pun kemudian bertanya, “Yang mana yang kau maksud dengan Pangeran Benawa.”

“Yang mana? Apakah kalian belum pernah mengenal Pangeran Benawa?”

“Belum,” jawab yang lain.

“Anak muda itu adalah Pangeran Benawa,” jawab Ki Marta

Brewok sambil menunjuk Wicitra.

“Ia bukan Pangeran Benawa. Ia tidak lebih dari seorang pembohong yang sombong, tetapi sekaligus pengecut yang cengeng.”

Ki Marta Brewok tertawa. Katanya, “Begitu sempurnanya ia mengelabuhi kalian, sehingga kalian percaya bahwa ia bukan Pangeran Benawa. Demikian pandainya ia menyamarkan dirinya.”

“Tidak. Ia bukan Pangeran Benawa. Kami sudah siap membantainya bersama ayah dan ibunya, yang berusaha melindunginya.”

Ki Marta Brewok tertawa berkepanjangan. Katanya, “Cobalah kau berani benar-benar membunuhnya. Maka kalian akan menjadi adeg pengamun-amun.”

Orang itu termangu-mangu sejenak. Sementara Ki Marta Brewok berkata, “Nah, serahkan saja Pangeran Benawa kepadaku. Aku akan mengantarkannya kembali ke istana.”

Orang tertua di antara keempat orang itu memandang Wicitra yang ketakutan sejenak. Kemudian memandang ayah dan ibunya. Ketika kemudian ia memandang Ki Marta Brewok, maka ia pun kemudian berkata, “Kau jangan menambah kemarahan kami, Ki Sanak. Siapakah kalian dan apakah sebenarnya kepentingan kalian?”

“Serahkan Pangeran Benawa kepadaku.”

“Tidak ada Pangeran Benawa disini,” jawab orang itu.

“Jangan menipu aku. Aku sudah mengenal Pangeran Benawa dengan baik. Anak muda itu adalah Pangeran Benawa.”

“Persetan,” geram orang itu. “Apakah ia Pangeran Benawa atau bukan, tetapi aku tidak akan menyerahkannya. Kami sudah bersepakat untuk membunuhnya. Membunuh kedua orang tua ini pula. Mereka telah menghinakan kami dengan mengaku sebagai Pangeran Benawa.”

“Jika orang itu menurut pendapatmu memang bukan Pangeran Benawa, serahkan saja kepadaku. Aku akan menukarnya dengan apa yang kau kehendaki.”

Keempat orang itu benar-benar menjadi bimbang. Namun ketika ia melihat mulut Wicitra berdarah, maka mereka pun yakin bahwa orang itu bukan Pangeran Benawa. Namun demikian mereka memang tidak berniat menyerahkan anak muda itu karena mereka sudah berniat membunuhnya saja.

Sementara itu, Ki Marta Brewok pun berkata, “Ki Sanak. Jika tidak kau serahkan Pangeran Benawa itu, maka kita akan saling berbenturan. Dan itu sangat tidak menguntungkanmu, karena kami bekerja untuk Harya Wisaka.”

“Setan kau. Kami juga bekerja untuk Harya Wisaka,” teriak orang tertua di antara keempat orang itu.

“Ada bedanya, Ki Sanak. Kalian hanya orang-orang upahan. Tetapi kami adalah keluarga Harya Wisaka itu sendiri.”

“Kau jangan mengigau. Kami adalah para petugas dari Harya Wisaka. Kami mendapat kuasa untuk membawa Pangeran Benawa menghadap langsung Harya Wisaka itu.”

“Jadi, kenapa Pangeran Benawa itu akan kau bunuh?”

“Persetan.”

Ki Marta Brewok itu tertawa. Katanya, “Ternyata kau tidak mengenal Harya Wisaka dengan baik. Karena itu, maka biarlah aku memberitahukan kepada kalian, bahwa kalian sudah tidak diperlukan lagi. Demikian Pangeran Benawa dapat kami ketemukan, maka orang-orang upahan memang harus dimusnahkan semuanya. Hanya jika kalian dengan sukarela mengikuti kami dan menyerahkan diri kepada Harya Wisaka, maka kami tidak akan membunuhmu.”

“Gila. Ternyata kalian tidak kalah sombongnya dengan anak muda ini. Karena itu, bersiaplah. Kalianlah yang akan mati lebih dahulu. Kami bertiga akan melawan kalian bertiga, seorang di antara kami akan menjaga anak muda yang gila ini.”

Ki Marta Brewok menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Kenapa kita harus mempergunakan kekerasan?”

“Kalian adalah iblis-iblis yang harus dibinasakan.”

Ki Marta Brewok segera memberi isyarat kepada Paksi dan Wijang untuk berpencar. Katanya, “Jika kalian melawan, aku tidak mempunyai pilihan lain.”

Tiga orang di antara keempat orang itu pun telah bergerak. Yang tertua telah menunjuk seorang di antara mereka untuk menunggui Wicitra, “Jangan kau bunuh. Tunggu. Aku sendiri ingin membunuhnya dengan caraku.”

Orang itu mengangguk. Sementara ketiga orang kawannya pun telah mempersiapkan diri menghadapi Ki Marta Brewok, Wijang dan Paksi.

Demikian Paksi pun segera memutar tongkatnya, sementara senjata lawannya sudah mulai teracu pula.

“Gila,” geram lawan Paksi. “Kau kira tongkat semacam itu akan dapat kau pergunakan sebagai senjata?”

“Jangan menilai tongkatku,” sahut Paksi. “Sudah seribu kali aku mempergunakannya. Aku mengenal tongkatku ini seperti aku mengenali tangan dan kakiku sendiri. Karena itu, aku tahu seberapa jauh kemampuannya.”

Lawan Paksi itu menggeram. Dengan garangnya ia memutar senjatanya. Kemudian senjata itu terjulur lurus menggapai ke arah dada.

Paksi sengaja meloncat mundur. Ia belum membenturkan tongkatnya pada senjata lawannya itu.

Orang-orang itu pun kemudian bertempur tanpa mengekang diri. Seperti saat mereka bertempur melawan pengawal Wicitra, maka mereka berusaha untuk secepatnya menyelesaikannya. Menurut penilaian mereka, anak-anak muda itu ilmunya tentu tidak akan menyamai orang yang bertubuh kekar dan berwajah garang, yang menjadi pengawal orang yang mengaku Pangeran Benawa itu.

Karena itu, maka lawan Paksi pun itu berharap bahwa dalam waktu dekat ia dapat menyelesaikannya.

Tetapi ketika senjata mereka mulai berbenturan, maka orang itu pun segera menyadari, bahwa anak muda yang bersenjata tongkat itu memiliki ilmu yang cukup. Bahkan lawan Paksi itu menduga, bahwa anak muda itu memiliki kemampuan lebih tinggi dari anak muda yang mengaku Pangeran Benawa itu.

Ketika orang itu menghentakkan kemampuannya, maka Paksi memang agak terkejut dan berloncatan surut. Lawannya yang garang itu dengan kasar telah membentak, “Jangan menyesali diri. Kau akan mati dengan penuh penyesalan.”

Orang itu pun benar-benar telah melibat Paksi dengan tanpa dikekang sama sekali.

Paksi pun meyakini, bahwa orang-orang itu memang orang-orang yang tidak berjantung. Pembunuh-pembunuh upahan yang dapat menghunjamkan pedangnya di tubuh lawannya dengan tanpa berkedip sama sekali. Paksi pun meyakini bahwa orang itu benar-benar ingin membunuhnya sebagaimana mereka telah membunuh pengawal Wicitra itu.

Namun dengan demikian, maka Paksi pun telah mendapatkan satu ketetapan, bahwa orang yang demikian itu tidak akan mungkin dapat berubah. Jika ia tetap hidup, maka orang itu tentu menimbulkan lagi kematian-kematian di hari-hari mendatang.

“Pembunuhan-pembunuhan semacam itu harus dihentikan,” berkata Paksi di dalam hatinya.

Sementara itu Wijang pun sudah mengambil keputusan pula. Orang yang bertempur melawannya itu juga benar-benar akan membunuhnya. Ia pun yakin, bahwa tanpa pertolongan, Wicitra dan keluarganya itu tentu benar-benar akan dibunuhnya. Karena itu, maka Wijang pun tidak mempunyai pilihan lain. Lawannya itu pun harus dihentikannya untuk selama-lamanya.

Karena itu, baik Wijang mau pun Paksi tidak lagi merasa ragu-ragu. Mereka harus bertempur dengan segenap kemampuannya untuk membunuh lawannya.

Tetapi orang-orang itu pun benar-benar mempunyai bekal yang cukup untuk melakukan pekerjaan mereka. Mereka memiliki kemampuan yang tinggi, yang dapat mereka jual. Dengan modal kemampuan itu, mereka menjadi pembunuh upahan. Upah yang besar untuk pekerjaan yang ringan bagi mereka.

Tetapi saat itu, mereka ternyata membentur seorang yang berilmu tinggi. Baik lawan Paksi mau pun lawan Wijang, tidak segera mampu mengatasi lawannya. Bahkan dalam benturan-benturan yang terjadi kemudian, mereka harus mengakui kenyataan, bahwa anak-anak muda itu berilmu tinggi.

Ki Marta Brewok pun telah bertempur pula melawan orang tertua di antara keempat orang itu. Dengan tangkasnya Ki Marta Brewok menekan lawannya yang bersenjata pedang. Meskipun orang tertua itu juga seorang yang berilmu tinggi, tetapi berhadapan dengan Ki Marta Brewok, orang itu dengan cepat merasakan tekanan yang sangat berat.

Sementara itu Ki Marta Brewok pun menilai keempat orang itu adalah orang-orang yang berbahaya. Ternyata usaha Harya Wisaka untuk mencari Pangeran Benawa tidak tanggung-tanggung. Harya Wisaka telah bekerja bersama para prajurit dan petugas sandi yang dapat dipengaruhinya, perguruan-perguruan dan orang-orang berilmu tinggi serta orang-orang upahan yang juga berilmu tinggi. Orang-orang upahan yang kepalanya hanya dibayangi oleh upah yang besar tanpa berusaha mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Mereka tidak pernah menilai arti kebenaran dari tugas-tugas yang mereka lakukan. Meskipun mereka tahu seseorang tidak bersalah sama sekali, tetapi jika ada orang lain yang mengupahnya untuk membunuh orang itu, maka pembunuhan itu dilakukannya juga.

Pertempuran di halaman itu semakin lama menjadi semakin sengit. Lawan Ki Marta Brewok semakin lama semakin terdesak karenanya. Ia tidak dapat mengingkari kenyataan, bahwa kemampuan orang yang wajahnya ditumbuhi jambang, kumis dan janggut yang lebat itu memiliki kemampuan yang sangat tinggi.

Ketika terdengar orang itu bersiut nyaring, maka Ki Marta Brewok pun menjadi semakin berhati-hati. Ia tidak mengerti arti isyarat itu. Namun Ki Marta Brewok memang menduga, bahwa akan segera terjadi perubahan di arena pertempuran.

Sebenarnyalah seorang yang mengawasi Wicitra yang sudah kehilangan kejantanannya itu beringsut sambil mengancam Wicitra, “Jangan pergi kemana pun juga. Jika kau meninggalkan halaman ini, maka aku akan memotong kedua tangan dan kakimu serta lidahmu. Kemudian kau akan kami tinggalkan begitu saja.”

Wicitra benar-benar menjadi ketakutan. Ibunya hampir pingsan membayangkan kemungkinan yang sangat buruk itu, sementara ayahnya masih saja berdiri termangu-mangu.

Namun ayah Wicitra itu sempat menyaksikan pertempuran yang berlangsung dengan sengitnya itu. Ternyata orang yang wajahnya nampak gelap oleh jambang, kumis dan janggutnya serta kedua orang anak muda itu adalah orang-orang yang berilmu tinggi. Keempat orang yang sangat garang itu ternyata tidak dapat segera mengalahkan lawan-lawan mereka sebagaimana mereka lakukan terhadap Wicitra   serta pengawalnya yang garang itu. Dalam waktu yang dekat, pengawal

Wicitra itu telah kehilangan kesempatan untuk melindungi dirinya. Sehingga dalam waktu yang terhitung singkat, orang yang nampaknya garang dan tidak terkalahkan itu telah terbunuh.

Namun dua orang yang kemudian bertempur melawan Ki Marta Brewok itu tidak dapat mengulangi keberhasilan mereka. Mereka tidak dapat segera menguasai dan apalagi membunuhnya. Orang yang berjambang, berkumis dan berjanggut lebat itu, ternyata memiliki ilmu yang jauh lebih tinggi dari orang yang garang yang menjadi pengawal anak muda yang mengaku Pangeran Benawa itu.

Dalam pada itu, orang yang bertempur melawan Paksi pun harus meningkatkan kemampuannya pula. Benturan-benturan yang terjadi telah membuat jantung orang itu berdebaran. Tongkat kayu itu ternyata benar-benar merupakan senjata yang sangat berbahaya bagi anak muda itu.

“Gila,” geram orang itu. Ia sama sekali tidak mengira, bahwa orang-orang yang mereka temui di kedai kecil itu adalah orang-orang yang berilmu tinggi.

Dengan tongkatnya yang berputaran, Paksi mulai mendesak lawannya. Sementara itu Wijang pun telah membuat lawannya menjadi gelisah. Sepasang pisau belatinya yang digenggam di kedua tangannya berputaran dengan cepat. Bahkan bagi lawannya sepasang pisau itu seakan-akan telah berubah menjadi berpasang-pasang yang menyerangnya dari segala arah.

“Iblis manakah yang telah mengajarinya bermain pisau seperti itu,” geram lawan Wijang itu.

Ayah Wicitra menyaksikan pertempuran itu dengan mulut yang ternganga. Ia bukan seorang yang berilmu tinggi. Tetapi ia dapat melihat, betapa ketiga orang yang datang kemudian itu dengan tangkasnya bertempur melawan keempat orang yang hampir saja membunuhnya, membunuh istrinya dan membunuh anaknya.

Wicitra yang ketakutan itu mulai memperhatikan pertempuran yang terjadi. Ia mulai melihat betapa kedua orang anak muda itu bertempur dengan tangkasnya.

Kesadaran Wicitra yang mulai tumbuh menguasai gejolak perasaannya itu membuatnya menyadari apa yang telah dilakukannya.

Empat orang yang mencari Pangeran Benawa itu adalah orang-orang berilmu tinggi. Kemampuannya sama sekali tidak berarti menghadapi dua orang di antara mereka, sedangkan pengawalnya yang dibanggakan itu dengan cepat telah terbunuh.

Tetapi orang yang wajahnya ditumbuhi jambang, kumis dan janggut yang lebat itu, sama sekali tidak nampak mengalami kesulitan melawan dua orang di antara empat orang yang mencari Pangeran Benawa itu.

“Siapakah sebenarnya mereka bertiga?” pertanyaan itu mulai tumbuh di hati Wicitra.

Wicitra sama sekali tidak menghiraukan mereka ketika ia melihat ketiga orang itu berada di kedai. Bahkan ia telah mengusir ketiga orang itu ketika ketiga orang itu berusaha meyakinkannya, bahwa keempat orang yang mencari Pangeran Benawa itu adalah orang-orang yang berbahaya. Wicitra itu tidak mau mendengarkan ketika ketiga orang itu datang dan minta kepadanya untuk meninggalkan rumahnya satu atau dua hari. Dengan sombong Wicitra itu bahkan berniat mengaku dirinya Pangeran Benawa.

Wicitra itu pun menjadi sangat malu kepada dirinya sendiri. Apalagi ketika kemudian ia berjongkok sambil menangis untuk minta dikasihani.

Sementara itu, Paksi masih bertempur dengan cepat bahkan keras. Lawannya semakin lama menjadi semakin kasar. Namun Paksi sama sekali tidak mengalami kesulitan. Bahkan tongkatnya telah membuat lawannya menjadi kebingungan.

Meskipun lawan Paksi telah menghentakkan kemampuannya, tetapi ujung senjatanya sama sekali tidak mampu menggapainya. Setiap kali terjadi benturan, maka tangan lawan Paksi itu terasa pedih. Anak muda itu ternyata mempunyai tenaga dan kekuatan yang sangat besar.

Bahkan semakin lama ujung tongkat Paksi pun menjadi semakin membingungkannya. Sehingga akhirnya ujung tongkat Paksi itu mampu menembus pertahanannya.

Lawan Paksi itu berteriak nyaring ketika ujung tongkat Paksi mendorong pundaknya sehingga hampir saja ia kehilangan keseimbangannya.

Bagi lawan Paksi, sentuhan ujung tongkat anak muda itu telah membuatnya menjadi sangat marah. Anak itu masih terlalu muda untuk mampu mengimbangi ilmunya. Namun anak muda itulah yang lebih dahulu mampu menembus pertahanannya, mengenai pundaknya sehingga pundaknya merasa sangat sakit.

Tetapi apa pun yang kemudian dilakukan, anak muda bersenjata tongkat itu memang berilmu sangat tinggi. Bahkan ketika lawan Paksi itu berusaha menyerang anak muda itu dengan pedang terjulur mengenai dada, ternyata ujung pedang itu sama sekali tidak menyentuh tubuhnya. Bahkan anak muda itu menghindar dengan memiringkan tubuhnya dan sempat mengayunkan tongkatnya, menghantam lambung.

Demikian keras ayunan tongkat Paksi, sehingga orang itu terpelanting selangkah ke samping. Tanpa dapat mempertahankan keseimbangannya, maka orang itu telah terbanting jatuh.

Meskipun demikian, setelah berguling beberapa kali, maka ia pun dengan cepat melenting berdiri.

Paksi tidak memburunya. Seakan-akan ia memang sengaja memberi kesempatan kepada lawannya mempersiapkan diri untuk menghadapinya lagi.

Sambil menyeringai orang itu berdiri sambil menggenggam senjatanya erat-erat. Dipandanginya Paksi dengan mata yang bagaikan menyala.

“Anak demit,” orang itu menggeram, “kau akan menyesal dengan kesombonganmu itu.”

Paksi berdiri tegak sambil menggenggam tongkatnya. Katanya, “Bersiaplah.”

“Aku akan membunuhmu.”

“Kita akan bertempur sampai tuntas.”

Orang itu menggertakkan giginya. Namun tiba-tiba saja ia meloncat menyerang dengan mengerahkan segenap kemampuannya.

Sementara itu, Wijang pun telah mendesak lawannya. Orang itu pun telah mengerahkan kemampuannya pula. Tetapi lawannya yang terhitung masih muda itu sulit untuk diimbanginya.

“Lakukan apa yang dapat kau lakukan,” berkata Wijang.

“Persetan,” geram lawannya.

“Aku tidak dapat membayangkan, apa jadinya jika kau harus bertempur melawan Pangeran Benawa. Maksudku, jika Pangeran Benawa mulai bersungguh-sungguh. Jika ia merengek dan minta ampun, itu semata-mata ia ingin menjajagi, apakah di otakmu masih ada sisa-sisa akal sehatmu.”

“Diam,” teriak lawan Wijang.

Tetapi Wijang berkata terus, “Sebenarnyalah Pangeran Benawa itu ingin tahu, apakah kau masih tetap berjantung manusia atau jantungmu sudah berbulu serigala sehingga kau tidak mau mendengarkan permintaan ampun seseorang.”

“Cukup,” orang itu berteriak pula. “Aku koyak mulutmu.”

“Kenapa tidak kau lakukan?” bertanya Wijang.

Kemarahan orang itu sudah membakar ubun-ubunnya. Dengan garangnya ia meloncat sambil mengayunkan senjatanya menebas ke arah leher Wijang. Tetapi dengan tangkas Wijang mengelakkan serangan itu. Bahkan Wijang pun kemudian melenting dengan cepatnya. Ayunan pisau belatinya kemudian justru telah menyambar bahu lawannya.

Lawannya meloncat mundur sambil mengumpat-umpat Dengan telapak tangannya ia meraba pundaknya. Cairan yang hangat mengalir dari luka di bahunya itu.

Wijang bergerak maju selangkah demi selangkah. Sepasang pisau belatinya bergetar di kedua tangannya.

Kemarahan lawannya bagaikan membakar jantungnya. Dengan geram orang itu berkata, “Kau akan menyesali tingkah lakumu.”

“Kita sudah memasuki satu sikap akhir, Ki Sanak. Tidak ada yang akan menyesal. Kau tidak, aku juga tidak, apa pun yang akan terjadi. Pertempuran ini hanya akan berakhir setelah aku atau kau mati di arena ini.”

Lawan Wijang yang marah itu membentak dengan garangnya,

“Aku akan membantaimu sampai lumat.”

“Hukuman bagi mereka yang berniat membunuh Pangeran Benawa adalah hukuman mati, karena seandainya Pangeran Benawa sendiri yang melakukannya, akibatnya akan sama saja bagimu.”

“Tutup mulutmu, tikus kecil.”

Wijang justru tertawa. Katanya, “Aku merasakan getar kecemasan di dalam kata-katamu.”

“Persetan kau.”

Dengan garangnya orang itu pun segera meloncat menyerang Wijang. Tetapi Wijang sudah siap menghadapinya. Karena itu ketika orang itu meloncat sambil menjulurkan senjatanya. Namun Wijang sempat mengelak. Sambil merendah pisaunya telah terayun menyambar lengan lawannya.

Lengan itu pun telah berdarah pula. Setiap titik darah membuat kemarahan orang itu semakin menyala di dalam dadanya. Tetapi setiap titik darah yang menetes dari lukanya telah menyusut tenaga dan kekuatannya.

Tidak banyak yang dapat dilakukan oleh orang itu. Tangan dan kaki Wijang terlalu cepat untuk diimbanginya.

Pertempuran itu semakin lama menjadi semakin keras. Orang-orang yang berusaha menangkap Pangeran Benawa itu benar-benar telah memeras segenap kemampuannya.

Ki Marta Brewok yang menghadapi dua orang lawan telah membuat kedua orang lawannya menjadi bingung. Orang yang berjambang lebat itu mampu bergerak demikian cepatnya. Kedua orang lawannya tidak tahu, senjata apa yang dipergunakannya, tetapi sentuhan tangannya mampu melukai kulit mereka. Seakan-akan hanya dengan telapak tangannya, orang itu dapat menangkis ayunan senjata lawan-lawannya.

Namun keduanya yakin, ada semacam lapisan baja yang dikenakan oleh orang yang berjambang, berkumis dan berjanggut lebat itu pada telapak tangannya serta ujung-ujung yang runcing pada jari-jarinya.

Kedua orang lawan Ki Marta Brewok memang menjadi bingung. Setelah dengan demikian cepat dan mudahnya mereka membunuh pengawal yang mengaku Pangeran Benawa itu, meskipun ujud pengawal itu demikian garangnya, mereka kemudian menghadapi lawan yang seakan-akan dilindungi oleh oleh dinding baja di seputarnya. Kedua orang itu sama sekali tidak pernah berhasil menyentuh kulit lawannya itu. Jika senjata mereka terjulur lurus atau terayun mendatar, maka senjata mereka itu seakan-akan telah membentur sekat yang tidak tertembus.

Tetapi sebaliknya, jari-jari tangan orang itu beberapa kali berhasil menyentuh tubuhnya. Sedangkan setiap sentuhan, meninggalkan luka yang menganga.

Keseimbangan pertempuran segera menjadi jelas. Lawan Paksi dan Wijang sudah terdesak semakin jauh. Sementara itu, lawan Ki Marta Brewok pun menjadi semakin tidak berarti.

Betapapun mereka berusaha dengan mengerahkan segenap tenaga, kekuatan dan kemampuan, namun perlawanan mereka sudah tidak berarti apa-apa lagi. Keempat orang itu benar-benar telah kehilangan kesempatan.

Wicitra dan kedua orang tuanya telah bergeser menepi. Ia dapat melihat apa yang bakal terjadi. Ia melihat keempat orang yang hampir saja membunuhnya itu sudah tidak berdaya.

Kegirangan terasa melonjak di dadanya. Ia merasa terlepas dari bahaya maut yang hampir saja mencekiknya. Namun yang kemudian dipertanyakan, bagaimana sikap ketiga orang itu. Wicitra telah menghinakannya. Telah mengusirnya dan sama sekali tidak menghargai kata-katanya.

Tetapi menilik sikap mereka, agaknya mereka tidak akan sebengis keempat orang yang hampir saja membantainya itu.

Dengan kerut di dahi, Wicitra melihat bagaimana Ki Marta Brewok dengan tangkasnya bertempur. Wicitra menjadi semakin malu kepada diri sendiri. Ia merasa seakan-akan dirinya telah menguasai semua ilmu di muka bumi sehingga ia telah menjadi orang yang tidak terkalahkan. Namun sekarang ia melihat kenyataan, betapa kecilnya di hadapan orang-orang berilmu tinggi. Orang-orang berilmu tinggi yang rendah hati.

Meskipun Wicitra sudah dapat menduga, akhir dari pertempuran itu, namun ia pun terkejut juga ketika seorang lawan Ki Marta Brewok itu berteriak nyaring. Tubuhnya terlempar dari arena dengan darah yang mengalir dari luka-lukanya.

Sejenak kemudian orang-orang itu pun telah terbanting jatuh.

Menggeliat, namun kemudian tidak bergerak sama sekali.

Belum lagi ketegangan di jantungnya mengendor, maka Wicitra itu pun melihat bagaimana lawan yang seorang lagi telah terlempar pula dengan kerasnya. Kepalanya membentur sebatang pohon yang cukup besar. Benturan yang keras sekali, sehingga seorang itu pun kemudian terjatuh dengan tubuh yang lunglai.

Nafasnya menjadi sendat, sehingga akhirnya berhenti sama sekali.

Wicitra berdiri termangu-mangu. Dengan demikian, maka akhir dari kedua orang lawan anak-anak muda itu pun menjadi semakin jelas pula.

Lawan Wijang yang menjadi putus asa telah menyerangnya sejadi-jadinya. Namun ketika pisau belati Wijang bergerak menyilang, maka ujung pisau itu pun telah menggores dadanya.

Cukup dalam, sehingga orang itu pun terhuyung-huyung beberapa langkah surut. Namun kemudian satu loncatan panjang telah mengakhiri pertempuran itu. Ujung pisau belati Wijang yang lain kemudian telah terhujam di dada orang itu.

Sementara itu, hampir bersamaan waktunya, Paksi pun telah menyelesaikan lawannya pula. Ketika lawannya berusaha menusuk lambungnya, Paksi sempat mengelak. Bahkan kemudian tongkatnya pun telah terayun tepat mengenai tengkuk lawannya yang kehilangan sasaran itu.

Sejenak kemudian halaman itu menjadi sepi. Paksi berdiri dengan kaki renggang mengamati lawannya yang sudah tidak bernyawa. Sementara Wijang berdiri termangu-mangu. Di sebelah yang lain, dua sosok tubuh pun terbaring diam.

Di halaman rumah Wicitra itu terdapat lima sosok mayat dengan luka-luka di tubuh mereka.

Ki Marta Brewok lah yang kemudian melangkah mendekati Wicitra sambil berkata, “Nah, sekarang kau baru percaya, bahwa orang-orang itu sangat berbahaya bagimu.”

Wicitra mengangguk dalam-dalam sambil berkata, “Ya, Ki Sanak. Aku percaya. Aku mohon ampun atas sikapku terhadap Ki Sanak.”

Sementara itu, ayah Wicitra itu pun berkata, “Kami mengucapkan terima kasih, Ki Sanak. Ki Sanak telah menyelamatkan nyawa anakku.”

“Satu pelajaran yang sangat berharga bagi anakmu.”

“Kau harus bersyukur kepada Yang Maha Agung, Wicitra. Kau pun harus mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Ki Sanak bertiga ini.”

Sekali lagi Wicitra mengangguk hormat sekali. Katanya, “Aku mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya, Ki Sanak.

Yang Maha Agung sajalah yang dapat membalas kebaikan budi Ki Sanak bertiga.”

“Wicitra,” berkata Ki Marta Brewok, “setelah terjadi peristiwa ini, apa yang akan kau lakukan?”

Wicitra termangu-mangu sejenak. Lalu katanya, “Aku akan melakukan sebagaimana Ki Sanak katakan. Aku akan meninggalkan tempat ini.”

“Bagaimana dengan rencanamu menjual tanah dan rumah ini serta mengusir ayah dan ibumu?”

Wicitra terkejut mendengar pertanyaan itu. Untuk beberapa saat ia justru terbungkam.

Ternyata Ki Marta Brewok tidak memaksanya untuk menjawab. Tetapi ia justru bertanya kepada ayah Wicitra, “Bagaimana dengan lima sosok mayat itu? Apakah kita dapat minta tolong orang-orang padukuhan ini untuk menguburnya?”

“Mereka takut keluar rumah, Ki Sanak. Apalagi setelah terjadi peristiwa ini.”

“Kau panggil mereka dan katakan bahwa keadaan sudah aman. Tidak ada lagi orang-orang yang mencari Pangeran Benawa. Justru mereka akan diminta tolong untuk menguburkan mereka.”

Ayah Wicitra termangu-mangu sejenak. Namun katanya kemudian, “Aku akan mencobanya.”

Ternyata ayah Wicitra itu berhasil meyakinkan tetangga-tetangganya, bahwa bahaya yang mereka takuti untuk sementara telah tidak ada lagi, sehingga beberapa orang telah keluar dari rumahnya dan pergi ke halaman rumah Wicitra.

Mereka memang agak ketakutan ketika mereka melihat Ki Marta Brewok dan kedua orang anak muda yang berpakaian kusut. Tetapi ayah Wicitra memberitahukan kepada mereka, bahwa ketiga orang itulah yang telah membinasakan orang-orang garang yang mencari Pangeran Benawa itu.

“Kami adalah para pengikut Harya Wisaka,” berkata Ki Marta Brewok kepada orang-orang yang berkerumun. “Kami sebenarnya juga mencari Pangeran Benawa sebagaimana keempat orang itu. Tetapi kami tahu, bahwa kami tidak dapat melibatkan kalian begitu saja dalam pencaharian ini. Karena itu, maka kami pun tidak akan pernah mengganggu kalian. Apa pun yang aku lakukan terhadap kalian, kalian tentu tidak akan dapat membantu kami.”

“Terima kasih, Ki Sanak,” sahut seorang yang rambut dan kumisnya sudah memutih.

Di sisa hari itu, orang-orang padukuhan itu disibukkan oleh lima sosok mayat yang harus mereka kuburkan. Namun mereka merasa tenang, bahwa di padukuhan itu terdapat tiga orang berilmu tinggi yang dapat melindungi mereka dari kemungkinan buruk.

Hari itu, Ki Marta Brewok, Paksi dan Wijang bermalam di rumah Wicitra. Ketika orang-orang yang sibuk menguburkan lima sosok mayat itu sudah pulang ke rumah masing-masing, sementara malam mulai turun, Ki Marta Brewok, Paksi dan Wijang telah mandi pula, maka mereka pun duduk di pendapa rumah Wicitra bersama dengan Wicitra dan kedua orang tuanya.

Setelah minum seteguk wedang jahe, maka Ki Marta Brewok pun mengulangi pertanyaannya, “Wicitra, aku masih ingin mendengar jawabmu, setelah peristiwa ini, apakah yang akan kau lakukan? Apakah sekedar meninggalkan tempat ini, atau kau mempunyai rencana yang lain?”

“Aku belum memikirkannya, Ki Sanak, kecuali pergi meninggalkan tempat ini?”

“Dalam keadaan yang gawat, apakah kau sadari, apa yang telah dilakukan oleh ayah dan ibumu, yang sedianya akan kau usir dari rumah ini?”

Wajah Wicitra menjadi tegang. Dipandanginya Ki Marta Brewok dengan tajamnya. Pertanyaan itu benar-benar telah mengguncang jantungnya. Ia berusaha mengingat, apa yang akan dilakukan. Menjual tanah dan rumah itu. Mengusir ayah dan ibunya. Namun Wicitra itu pun kemudian sempat membayangkan, apa yang telah dilakukan oleh ayah dan ibunya saat ia berada di dalam keadaan yang paling gawat. Meskipun ayah dan ibunya itu tahu, bahwa ia akan mengusirnya serta menjual tanah dan rumahnya, namun kedua orang tuanya itu masih berusaha melindunginya. Seperti seorang ibu yang memeluk anaknya erat-erat saat terjadi gempa, maka ibunya telah memeluknya saat nyawanya terancam. Bahkan ayah dan ibunya itu telah menyatakan kesediaannya untuk mati jika itu dapat menyelamatkan nyawanya.

Sejenak Wicitra termangu-mangu. Di luar sadarnya dipandanginya ayah dan ibunya yang sudah tua itu.  Rasa-rasanya di penglihatannya ayah dan ibunya menjadi lain. Ayah dan ibunya kelihatan begitu tua namun wajahnya yang cerah itu bagaikan bercahaya.

Tiba-tiba Wicitra itu membayangkan apa yang terjadi dengan ayah dan ibunya itu jika keduanya terusir dari rumahnya. Apa yang terjadi pada keduanya jika keduanya harus hidup menumpang di rumah pamannya, sementara itu, sebelumnya ia mempunyai tanah, rumah, sawah dan ladang. Terasa jantung Wicitra bergetar. Orang tua yang diusirnya itu ternyata masih juga bersedia mati untuknya.

Tiba-tiba saja Wicitra itu menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Terdengar anak muda itu pun menangis terisak-isak seperti kanak-kanak yang menahan tangisnya karena takut dicambuk ayahnya.

“Wicitra, kenapa?” Ibunya pun beringsut mendekatinya.

“Bukankah segala sesuatunya sudah lampau. Bahaya yang hampir saja merenggut nyawa itu sudah lewat.”

Wicitra mengangguk-angguk. Tetapi isaknya masih saja mengguncang tubuhnya.

“Kenapa kau Wicitra. Kenapa kau, Ngger.”

Tiba-tiba saja Wicitra itu memeluk ibunya. Tangisnya tidak lagi tertahan. Ia tidak saja terisak. Tetapi Wicitra itu benar-benar menangis.

“Ibu, maafkan aku. Ayah,” tangisnya.

“Kenapa, kau kenapa?” Ibunya yang cemas telah mengguncang-guncang tubuhnya.

“Ayah, Ibu. Aku mohon maaf. Hampir saja aku telah menyia-nyiakan Ayah dan Ibu. Aku telah menjadi anak durhaka. Hampir saja aku mengusir Ayah dan Ibu dari rumah ini.”

“Sudahlah, Wicitra. Bukankah semua itu belum terjadi?”

“Tetapi semuanya itu akan terjadi seandainya tidak terjadi peristiwa yang hampir saja merenggut nyawaku. Bahkan aku pun tidak memikirkannya, jika Ki Sanak itu tidak bertanya kepadaku. Ayah, Ibu, aku mohon maaf. Aku telah khilaf. Aku pun harus minta maaf kepada banyak orang karena kesombonganku selama ini, seolah-olah aku adalah orang yang terpenting di dunia ini. Seolah-olah putaran kehidupan ini berporos padaku.”

“Aku bersyukur, Wicitra,” desis ayahnya. “Ternyata peristiwa ini ada juga nilainya bagimu. Nilai yang baik. Kau juga harus minta maaf seribu kali kepada ketiga orang yang telah menyelamatkanmu. Kau telah berbuat kasar kepada mereka, namun justru merekalah yang telah membangunkanmu dari mimpi burukmu.”

Wicitra mengangguk-angguk. Tangisnya sudah mereda. Ketika ia sudah dapat mengucapkan permohonan maaf kepada ayah dan ibunya, maka rasa-rasanya bebannya sudah jauh berkurang.

Kepada Ki Marta Brewok, Paksi dan Wijang, Wicitra itu pun berkata, “Ki Sanak bertiga. Aku benar-benar menyesal atas sikapku. Bukan saja terhadap kalian bertiga, tetapi juga terhadap semua orang. Selama ini aku telah terbius oleh keberhasilanku. Ketika aku pulang ke padukuhan ini, aku merasa bahwa disini aku adalah orang yang paling penting. Orang yang paling berarti, sehingga aku tidak lagi mampu mengekang perasaanku.”

“Kau masih mempunyai banyak waktu untuk meluruskan jalanmu, anak muda.”

Wicitra mengangguk-angguk.

“Tetapi kau harus setia kepada pengakuanmu ini, Wicitra.

Maksudku, kau tidak akan pernah mengulanginya lagi. Juga sikapmu terhadap lingkunganmu, terutama kepada ayah dan ibumu. Mereka adalah sosok yang menjadi lantaran kelahiranmu. Karena itu, kau tidak dapat memisahkan diri dari kehadiran mereka.”

“Aku akan selalu mengingatnya, Ki Sanak. Aku akan selalu mengingat apa yang terjadi. Aku tidak akan lagi mengganggu ayah dan ibu tentang tanah, rumah, sawah dan pategalan.”

“Mudah-mudahan kau selalu mengingatnya,” desis Ki Marta Brewok.

Pembicaraan mereka terputus ketika satu dua orang tetangga datang untuk sekedar ikut berbincang di pendapa. Mereka membicarakan ketakutan yang melanda padukuhan itu sejak keempat orang itu mencari Pangeran Benawa di padukuhan mereka. Bahkan orang itu sudah mengancam untuk membawa sepuluh orang penghuni padukuhan itu apabila mereka tidak menemukan Pangeran Benawa.

Kepada orang-orang itu Ki Marta Brewok selalu mengatakan bahwa ia dan kedua orang anak muda yang datang bersamanya itu adalah para pengikut Harya Wisaka.

Dengan demikian, maka ceritera yang berkembang di padukuhan itu kemudian adalah, bahwa dua kelompok pengikut Harya Wisaka telah saling berbenturan. Empat orang di antaranya telah terbunuh.

Beberapa orang yang datang ke rumah orang tua Wicitra itu berbincang sampai lewat tengah malam. Ibu Wicitra menjadi sibuk menyediakan minuman dan bahkan makan menjelang tengah malam. Baru menjelang dini, tetangga-tetangga dekat orang tua Wicitra itu minta diri.

Pagi-pagi sekali, Ki Marta Brewok, Paksi dan Wijang pun telah bangun. Mereka segera pergi ke pakiwan dan berbenah diri.

Sebelum fajar mereka telah minta diri untuk melanjutkan perjalanan mereka.

“Kemana?” bertanya ayah Wicitra.

“Kami tidak dapat mengatakannya, karena kami akan pergi ke tempat yang kami sendiri tidak tahu,” jawab Ki Marta Brewok.

“Mencari Pangeran Benawa?” bertanya Wicitra.

“Ya. Kami memang harus mencari Pangeran Benawa. Bedanya dengan keempat orang itu, kami telah mengenal Pangeran Benawa sehingga tidak akan dapat dikelabuhi lagi.”

“Jadi kalian sudah mengenal Pangeran Benawa?”

“Aku adalah abdi di istana Pajang,” jawab Ki Marta Brewok. “Karena itu, aku dapat mengenal Pangeran Benawa dengan baik.”

Wicitra mengangguk-angguk. Ia merasa dirinya semakin kecil. Tetapi untunglah bahwa ketiga orang itu mempunyai sifat dan watak yang lain sekali dengan keempat orang yang telah terbunuh itu meskipun mereka mengemban tugas yang sama.

Namun sebelum Ki Marta Brewok meninggalkan rumah Wicitra ia masih juga bertanya, “Apakah kau akan segera meninggalkan rumah ini?”

“Ya,” Wicitra mengangguk-angguk, “hari ini juga aku akan meninggalkan rumah ini. Siapa tahu masih ada kelompok-kelompok lain yang mencari Pangeran Benawa. Seandainya mereka tidak menyangka aku Pangeran Benawa, mereka mungkin saja memaksa aku untuk menemukannya, sementara Pangeran Benawa tidak ada disini.”

Demikianlah, maka Ki Marta Brewok, Paksi dan Wijang pun telah minta diri kepada seisi rumah itu. Kepada ayah dan ibu Wicitra dan kepada Wicitra yang pada hari itu juga akan meninggalkan rumahnya. Namun Wicitra telah berubah karenanya. Wicitra tidak lagi akan memaksa ayah dan ibunya menjual tanah, rumah, sawah dan pategalannya.

Demikianlah, maka sebelum matahari terbit, Ki Marta Brewok, Paksi dan Wijang telah berada di sebuah bulak yang panjang. Embun masih nampak menggantung di ujung dedaunan yang basah. Namun langit nampak cerah. Tidak ada selembar awan pun yang nampak di wajah langit.

Dalam pada itu, burung-burung liar pun telah terbangun pula di sarangnya. Kicaunya membuat pagi menjadi semakin semarak. Sementara langit menjadi merah oleh cahaya matahari yang mulai menguak cakrawala.

Ketiga orang yang berjalan di dinginnya pagi itu tidak banyak berbicara. Paksi yang berjalan di paling depan, sekali-sekali menghentakkan tongkatnya di tanah yang masih basah. Di ujung rerumputan, butir-butir embun masih nampak berkilat-kilat memantulkan cahaya matahari.

Paksi memang tidak banyak berbicara. Ia bahkan mulai memikirkan dirinya sendiri. Paksi itu telah melihat, bagaimana seorang ayah yang berusaha melindungi anaknya sehingga siap untuk menyerahkan nyawanya.

“Apakah ayahku juga dapat berbuat seperti itu?” pertanyaan itu tiba-tiba saja telah tersembul di hatinya.

Paksi menarik nafas dalam-dalam. Ayahnya agaknya memang agak lain dari ayah Wicitra.

“Apakah ayah juga bersedia menyerahkan nyawanya bagiku?”

Paksi menarik nafas dalam-dalam. Ayahnya justru telah memerintahkannya untuk melakukan satu pekerjaan yang tidak masuk akal. Pada umurnya yang ketujuh-belas, ayahnya telah memerintahkannya memasuki satu dunia yang sangat garang tanpa bekal yang memadai.

“Jika saja aku tidak bertemu dengan beberapa orang yang baik hati,” berkata Paksi di dalam hatinya. “Seandainya aku tidak bertemu dengan guru. Tidak bertemu dengan Pangeran Benawa sendiri. Tetapi langsung bertemu dengan keempat orang yang mencari Pangeran Benawa dan diperlakukan seperti Wicitra, maka ayahku tidak akan berusaha melindungi aku sebagaimana dilakukan oleh ayah Wicitra. Bahkan ayah tentu akan menganggap aku seorang yang sudah sepantasnya mati karena hidupku sama sekali tidak berarti bagi seorang ayah.”

Terngiang kata-kata yang menusuk hatinya, bahwa ayah Paksi itu tidak menghendaki Paksi pulang tanpa membawa cincin yang dicarinya itu.

“Apakah ayah menganggap cincin itu lebih berharga dari anaknya?” pertanyaan itu timbul pula di hati Paksi.

Namun Paksi sama sekali tidak tahu jawabnya.

“Justru karena itu aku harus pulang,” berkata Paksi di dalam hatinya.

Ki Marta Brewok yang berjalan di belakang Paksi juga tidak banyak berbicara. Sementara itu Wijang berjalan di paling belakang. Diamatinya lingkungannya yang hijau. Sawah, padukuhan-padukuhan, namun juga hutan yang lebat di kaki gunung.

Ketika Paksi berpaling, maka dilihatnya Ki Marta Brewok berjalan beberapa langkah di belakangnya. Baru beberapa langkah lagi Wijang berjalan sambil menebarkan pandangan matanya.

“Marilah. Mumpung masih pagi,” ajak Paksi.

Ki Marta Brewok mempercepat langkahnya. Tetapi Wijang menyahut, “Kenapa tergesa-gesa.”

Paksi menarik nafas dalam-dalam.

Paksi yang kemudian berjalan di sebelah Ki Marta Brewok itu ternyata tidak dapat menahan desakan perasaannya. Bagi Ki Marta Brewok bukan saja kawan seperjalanan. Tetapi ia adalah gurunya yang telah membentuknya menjadi seorang yang berilmu tinggi.

“Guru,” berkata Paksi kemudian, “aku menjadi sangat gelisah.”

“Kenapa?”

“Seakan-akan aku tidak sedang berjalan pulang.”

“Apa yang kau pikirkan?”

“Apakah ayahku juga bersedia berkorban seperti ayah Wicitra itu, Guru?”

Ki Marta Brewok menarik nafas panjang. Katanya kemudian, “Tentu, Paksi. Seorang ayah tentu akan selalu melindungi anak-anaknya sebagaimana dilakukan oleh ayah Wicitra. Tentang berhasil atau tidak, itu tergantung pada keadaan dan kemampuan. Tetapi naluri seorang ayah tentu akan berbuat yang terbaik bagi anaknya.”

“Bagaimana pendapat Guru tentang ayahku yang telah memerintahkan kepadaku untuk mencari cincin itu?”
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar