Jejak Dibalik Kabut Jilid 13

Wijang termangu-mangu sejenak, tetapi kemudian berkata, “Kali ini aku mempercayaimu. Kami akan mencarinya di tempat lain. Waktu yang diberikan oleh Eyang Resi Sapu Geni tidak terlalu panjang.”

“Resi Sapu Geni?” ulang Repak Rembulung. “Aku belum pernah mendengar nama itu.”

“Tentu,” potong Wijang, “kau hanya tahu nama-nama Perguruan Tegal Arang, Goa Lampin, Umbul Telu, dan perguruan-perguruan kecik lainnya.”

Repak Rembulung mengerutkan dahinya. Katanya, “Apakah maksudmu dengan perguruan kecik?”

“Perguruan sebesar kecik. Kecik memang terlalu kecil dibandingkan dengan kentos salak.”

“Ternyata kalian terlalu sombong, anak-anak muda.”

“Jika kami tidak sombong, maka kami tidak akan melibatkan diri dalam pertempuran ini.”

“Baik, baik,” Repak Rembulung mengangguk-angguk. Namun katanya kemudian, “Tetapi sebenarnya aku merasa sayang sekali melihat sikap dan kelakuan kalian.”

“Kenapa?”

“Kalian masih terlalu muda untuk terdampar dalam kehidupan seperti ini.”

“Maksudmu?”

“Kau mempunyai masa depan yang cerah dengan ilmu yang tinggi.”

“Ya. Aku yakin itu,” jawab Wijang.

Repak Rembulung tertawa. Katanya, “Kau memang terlalu yakin akan dirimu. Tetapi kau benar. Jika kalian berdua tidak sombong, maka kalian tidak akan terjun ke dalam pertempuran ini.”

“Ya.”

“Tetapi justru itulah yang kami maksudkan. Kenapa kalian yang muda, yang yakin akan kemampuan diri dan mendambakan hari depan yang cerah, tersekap dalam kehidupan seperti ini.”

“Kehidupan seperti apa?”

“Menurut kalian sendiri, kalian berasal dari Perguruan Goa Lampin. Namun kemudian kalian menganggap bahwa kami, dari perguruan kecik hanya mengenal perguruan-perguruan kecik lainnya, antara lain kau sebut pula Goa Lampin.”

Wijang mengerutkan dahinya. Sementara Pupus Rembulung berkata, “Anak-anak muda, siapa pun kalian, tetapi kalian adalah anak-anak muda yang aneh bagi kami. Meskipun sejak semula kami yakin, bahwa kalian bukan orang-orang dari Goa Lampin, bahkan bukan pula pengikut orang yang bernama Ki Sapu Geni, namun sikap kalian mencemaskan kami.”

“Kenapa?” bertanya Wijang.

“Mudah-mudahan kalian tidak bersungguh-sungguh dan berusaha mengelabuhi dengan kekasaran kalian yang berlebih-lebihan itu. Tetapi seandainya kalian benar-benar larut dalam dunia seperti ini, maka kami sangat menyayangkannya.”

“Lalu, apa yang sebaiknya harus kami lakukan?”

“Kalian dapat memanfaatkan kemampuan kalian untuk kepentingan yang lebih berarti. Maksudku, seandainya kalian ada di dalam satu lingkungan, apakah itu Goa Lampin, atau pengikut Resi Sapu Geni, atau dari perguruan-perguruan gelap lainnya, maka hidup kalian tidak akan berarti apa-apa.”

Wijang tertawa. Katanya, “Kalian dapat berkata seperti itu, tetapi apa yang kalian lakukan? Apakah kalian menginjak jalan kebenaran dengan sikap kalian?”

“Aku sudah mengira, bahwa kau akan mengikuti keberadaan kami dalam dunia kami sekarang ini,” jawab Pupus Rembulung. “Kami memang tidak akan dapat ingkar bahwa kami telah tenggelam dalam dunia yang pekat ini. Justru karena itu aku dapat mengatakan bahwa sebaiknya kalian mencoba melihat kepada diri kalian sendiri, apa yang sekarang sedang terjadi atas diri kalian. Seandainya kami masih semuda kalian, maka kami akan berpikir ulang untuk menerjuni dunia seperti yang kami rambah sekarang. Tetapi kesadaran kami datang terlambat. Karena itulah, aku ingin memperingatkan kalian, agar kesadaran kalian tidak datang terlambat.”

Wijang dan Paksi saling berpandangan sejenak. Namun kemudian Wijang pun tertawa. Katanya, “Kalian berdualah yang aneh. Kalian sebaiknya menasehati diri kalian sendiri.”

Tetapi Pupus Rembulung itu tertawa pendek. Katanya, “Baiklah, anak muda. Segala sesuatunya memang terserah kepada kalian sendiri. Apakah kalian juga akan menjadi seorang petualang seperti kami, seperti orang-orang Tegal Arang, Umbul Telu dan barangkali aku juga dapat menyebut Goa Lampin atau Resi Sapu Geni, atau seorang lurah prajurit. Hari depan kalian adalah milik kalian sendiri. Bentuklah menurut selera kalian.”

Wijang termangu-mangu sejenak, sementara Paksi justru diam membeku.

“Sekarang, biarlah aku melanjutkan perjalanan. Sekali lagi aku mengucapkan terima kasih atas dua hal. Pertama, kalian telah membantu kami, karena kalian tidak mau melihat pertempuran yang tidak adil. Kedua, kalian percaya bahwa Pangeran Benawa tidak berada di tangan kami,” berkata Pupus Rembulung.

Wijang tidak menyahut. Sementara Repak Rembulung berkata, “Semoga kalian tidak bertemu dengan Pangeran Benawa.”

“Kenapa?”

“Akibatnya tidak akan baik bagi kalian berdua.”

“Kenapa?”

“Berhasil atau tidak berhasil, pengaruhnya akan sangat buruk bagi kalian berdua.”

“Kalian takut aku berhasil menangkapnya lebih dahulu?”

“Aku takut bahwa segala-galanya akan berhasil bagi kalian,” jawab Repak Rembulung.

“Omong kosong. Seberapa pun tinggi ilmu Pangeran Benawa, tetapi ia manusia juga seperti kami. Kami berdua akan dapat melumpuhkannya.”

“Jika kalian berhasil, maka pengaruhnya pun tidak akan kalah buruknya.”

“Maksudmu?”

“Kalian tidak akan pernah hidup tenang. Kalian akan diburu oleh orang-orang yang menginginkan cincin itu. Apakah cincin itu masih tetap ada pada kalian atau tidak. Termasuk Harya Wisaka. Di samping itu, keluarga istana yang kehilangan pangerannya akan memburu kalian seperti memburu tupai.”

“Apakah hal seperti itu tidak terjadi pada orang lain? Pada kalian berdua misalnya, seandainya kalian berhasil menangkap Pangeran Benawa.”

“Hidup kami sudah kami pertaruhkan. Nama kami sudah terlanjur dilengkapi lumpur. Tetapi kalian belum. Kalian masih muda dan berhari depan panjang, jika kalian sendiri tidak menjerumuskan diri ke dalam kesulitan sehingga umur kalian menjadi pendek. Kalian masih mempunyai banyak kesempatan untuk membentuk diri sendiri. Apakah kalian benar-benar akan menjadi budak di Goa Lampin atau pengikut Sapu Geni atau kalian akan memilih menjadi seorang lurah prajurit atau seorang bebahu sebuah padukuhan. Dengan kemampuan yang tinggi, kalian akan dapat melindungi rakyat padukuhan kalian dari tindak kejahatan.”

Wajah Wijang menjadi tegang. Namun kemudian katanya,

“Cukup. Sekali lagi aku katakan, nasehati diri kalian sendiri.”

“Baik, anak-anak muda. Kami juga akan menasehati diri kami sendiri. Selamat.”

Repak Rembulung dan Pupus Rembulung kemudian meninggalkan Wijang dan Paksi yang berdiri termangu-mangu. Mereka berjalan dengan tanpa menaruh kecurigaan kepada Wijang dan Paksi jika saja mereka akan berbuat licik.

“Orang-orang aneh,” desis Wijang kemudian. Paksi pun menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian ia pun berkata, “Marilah kita tinggalkan tempat ini. Mungkin sesuatu akan dapat terjadi jika kita masih berada disini. Orang-orang yang baru saja mencegat Repak Rembulung dan Pupus Rembulung itu tentu akan datang kembali.”

Paksi memandang orang-orang yang terluka itu. Namun ia tidak berkata apa-apa kepada mereka. Segala sesuatu memang terserah kepada kawan-kawan mereka.

Sambil melangkah, Paksi pun berdesis, “Nampaknya orang-orang yang ingin merampok uang itu telah menggiring kita untuk menyaksikan keanehan sifat Repak Rembulung dan Pupus Rembulung.”

“Ya. Jika mereka tidak memaksa kita untuk berbelok, kita tidak akan sampai ke tempat ini. Kita tidak akan mempunyai kesan yang membingungkan tentang Repak Rembulung dan Pupus Rembulung. Kita melihat satu sisi yang keras dan kasar dari kedua orang itu, tetapi di sisi lain, kita masih bisa melihat kelembutan tingkah laku mereka. Mereka mengobati orang yang dilukainya, mereka mengucapkan terima kasih kepada kita dan yang aneh, mereka menasehati kita.”

Paksi mengangguk-angguk. Katanya, “Di antara orang-orang dari perguruan yang hitam itu, Repak Rembulung dan Pupus Rembulung tampak semakin hitam. Tetapi disini kita melihat ia dalam ujud dan sifat yang lain.”

“Aku tidak mengerti,” desis Wijang.

Namun Paksi pun berdesis, “Apakah keduanya mengetahui bahwa mereka telah berhadapan dengan Pangeran Benawa sendiri, sehingga mereka menunjukkan sikap yang telah disaputnya menjadi menjadi lembut dan bijak?”

“Agaknya tidak. Mereka tidak tahu dengan siapa mereka berbicara. Jika mereka menyadari bahwa mereka berhadapan dengan Pangeran Benawa tanpa sisi yang lain dari sifat-sifat mereka, maka mereka akan berusaha menangkapnya.”

“Tetapi mereka menyadari, bahwa orang yang dianggapnya Pangeran Benawa itu mempunyai ilmu yang tinggi.”

“Tetapi mereka tentu tidak akan dengan mudah melepaskan kesempatan itu. Apalagi mereka belum meyakini bahwa kemampuan kita tidak akan dapat mereka kalahkan. Mereka hanya sempat melihat bagaimana kita bertempur tanpa mengenali ilmu kita yang sebenarnya.”

Paksi mengangguk-angguk.

Keduanya pun berjalan semakin menjauhi medan. Tetapi mereka tidak berniat untuk mengikuti Repak Rembulung dan Pupus Rembulung.


Namun sambil berjalan di antara gerumbul-gerumbul perdu mereka masih saja membicarakan kedua orang suami istri yang aneh itu.

Dalam pada itu, terik matahari semakin menyengat. Di hadapan mereka membentang hutan yang membujur panjang. Sedang di arah lain, sawah yang bersusun nampak hijau ditumbuhi batang padi yang subur. Nampaknya itu bukan sekedar sawah tadah hujan. Air yang jernih mengalir di parit-parit yang terjadi secara alami, menuruni kaki Gunung Merapi, sehingga sawah yang tersusun itu tidak akan kekurangan air di segala musim.

Dalam pada itu, Wijang dan Paksi pun merasa bahwa mereka harus menjadi semakin berhati-hati. Mereka sudah mulai bersinggungan dengan orang-orang yang memburu mereka, terutama Pangeran Benawa. Meskipun ia masih belum dapat dikenali oleh orang-orang yang dikenalinya, namun keduanya mencemaskan bahwa pada suatu saat mereka tidak akan dapat menghindar lagi.

Ketika hal itu mereka bicarakan, maka Wijang pun berkata, “Apa boleh buat. Aku sudah mengambil keputusan untuk mengambil pengembaraan ini meskipun tujuanku semula masih belum dapat aku lakukan dengan baik.”

“Apakah keadaan istana Pajang itu sedemikian menjemukan bagi Pangeran, sehingga Pangeran segan untuk pulang?”

“Pertanyaanmu aneh, Paksi. Bukankah sudah aku katakan, jika aku pulang membawa cincin ini, maka cincin ini akan hilang. Selebihnya darimana aku dapat melihat kehidupan yang sebenarnya dari masyarakat Pajang jika aku tetap berada di istana?”

“Tetapi apakah kejemuan Pangeran di istana itu bukan satu dorongan yang kuat bagi Pangeran untuk meninggalkan istana?”

“Ya. Bukankah hal itu juga sudah pernah aku katakan kepadamu? Tetapi sudahlah, kita akan meneruskan pengembaraan kita.”

Paksi pun kemudian tidak bertanya lagi tentang niat Pangeran Benawa untuk melanjutkan pengembaraan. Bahkan sebenarnya Paksi memang berharap agar Pangeran Benawa itu mengambil keputusan yang demikian, sehingga ia akan mendapatkan kawan dalam pengembaraan itu.

Namun yang kemudian justru bertanya adalah Pangeran Benawa, “Paksi, bagaimana dengan kau sendiri? Apakah kau tidak berniat untuk pulang? Jika kau ingin membawa cincin bermata tiga itu, bawalah. Berikan kepada ayahmu. Apakah benar ayahmu akan menyerahkan kepada Ayahanda Sultan atau tidak.”

“Aku tidak mau bermain-main dengan benda yang sangat berharga itu. Jika permainan itu berakibat buruk, maka aku akan menyesal sepanjang hidupku.”

Wijang tersenyum. Namun ia pun bertanya, “Berakibat buruk apa maksudmu?”

“Jika ayah tidak mau menyerahkan cincin itu ke istana, maka akibatnya akan sangat buruk baginya.”

Wijang justru tertawa. Katanya, “Kau teringat kepada kedua orang yang menginginkan cincin itu?”

“Ya. Pangeran telah membuat aku berdebar-debar ketika Pangeran menyerahkan cincin itu kepada mereka.”

“Dan kau cemas bahwa aku akan memperlakukan ayahmu seperti mereka? Tentu tidak mungkin, Paksi. Kau tentu akan marah. Dan kau tentu akan membunuh aku.”

“Mungkin aku dapat membunuh Pangeran, jika tangan dan kaki Pangeran diikat lebih dahulu dengan Janget Kinatelon.”

Wijang tertawa. Suaranya lepas menghambur menggetarkan udara lereng Gunung Merapi itu.

Tetapi lingkungan itu ternyata sepi. Tidak ada seorang pun yang mendengar suara tertawa Pangeran Benawa.

Keduanya pun kemudian berjalan terus. Namun mereka mulai menggeser arah untuk menemukan jalan yang lebih baik dari sebuah padang yang banyak ditumbuhi gerumbul-gerumbul perdu yang bahkan kadang-kadang semak-semak berduri.

Ketika mereka menemukan sebuah jalan, maka matahari telah condong ke barat. Cahayanya masih terasa menyengat kulit.

Namun keduanya berjalan terus meskipun tidak terlalu cepat.

Namun tiba-tiba Wijang pun berkata, “Nampaknya di depan itu sebuah padukuhan yang cukup besar.”

“Ya,” Paksi mengangguk-angguk.

“Kita akan singgah. Apakah kau tidak lapar?”

Paksi tersenyum. Namun Wijang itu pun berkata dengan nada tinggi, “Kau tentu tidak lapar.”

“Aku juga sudah lapar,” jawab Paksi.

“Kenapa kau tidak pucat?”

“Apakah kau juga pucat?”

“Aku tidak dapat melihat wajahku sendiri.”

“Apakah kita harus mencari blumbang dan melihat kita di dalamnya?”

“Pokoknya kita lihat, apakah di padukuhan di depan ada kedai atau tidak.”

Paksi tertawa. Katanya, “Nampaknya kau kelaparan.”

Wijang mengangguk sambil menjawab, “Aku tidak pernah merasa kelaparan seperti sekarang. Aku tidak tahu kenapa.”

Keduanya pun kemudian mempercepat langkah mereka memasuki padukuhan di depan mereka. Padukuhan yang memang agak besar.

Demikian mereka memasuki regol padukuhan, maka keduanya pun yakin, bahwa di dalam padukuhan itu tentu terdapat kedai yang memadai.

Sebenarnyalah, ketika mereka sampai di sebuah simpang empat di dalam padukuhan itu, mereka mendapatkan sebuah kedai nasi yang masih dibuka. Di sebelahnya sebuah kedai yang lain, yang menjual kebutuhan sehari-hari serta keperluan dapur.

Ternyata tidak jauh dari tempat itu terdapat sebuah pasar hewan yang sudah sepi. Nampaknya hari itu memang bukan hari pasaran. Meskipun demikian, di sebelah pasar itu justru masih nampak kesibukan perdagangan. Agaknya padukuhan itu adalah penghasil kelapa dan gula kelapa yang cukup besar, sehingga di sebelah pasar hewan itu terdapat tiga empat pedati yang sedang memuat kelapa dan gula kelapa.

Dengan demikian, maka tempat itu masih terhitung ramai meskipun matahari sudah menjadi semakin condong.

Kedai yang masih dibuka itu masih juga dikunjungi beberapa orang. Sementara itu, kedua kedai yang lain agaknya sudah lebih dahulu ditutup.

Wijang dan Paksi pun kemudian memasuki kedai yang masih dibuka itu. Mereka segera mencari tempat di sudut, sehingga mereka tidak akan merasa terganggu oleh mereka yang keluar masuk kedai itu.

“Hati-hatilah dengan kampilmu,” desis Wijang. “Nanti ada orang yang menginginkannya lagi.”

Paksi memandang ke sekitarnya. Kedua orang duduk di sudut yang lain. Tiga orang di dekat pintu dan dua orang lagi justru duduk menghadap ke tempat pemilik kedai itu menyiapkan pesanan-pesanan para pembelinya.

Sejenak kemudian, maka Wijang pun telah memesan minuman dan makanan bagi dirinya sendiri dan bagi Paksi. “He, kau pesan apa untukku?”

“Pokoknya kita memesan minuman dan makanan yang sama. Nasi pecel, telur rebus dan ikan goreng.”

“Ikan apa?”

“Apa saja yang ada. Gurameh, lele, sepat atau bahkan wader.”

Paksi menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak menolak. Ia juga senang makan nasi pecel asal tidak terlalu pedas.

Ketika kemudian Paksi menikmati pesanan itu, maka tiba-tiba saja Wijang menggamitnya. Katanya, “Berhati-hatilah. Nampaknya ada orang yang memperhatikan kedatangan kita.”

“Darimana kau tahu?”

“Dua orang berhenti di depan pintu. Nampaknya mereka memperhatikan kita berdua. Berbisik-bisik dan kemudian pergi.”

“Kita nikmati saja minuman dan makanan ini lebih dahulu,” jawab Paksi.

“Aku setuju,” sahut Wijang.

Namun ketika Paksi menghabiskan satu mangkuk nasi, ia merasa cukup kenyang. Karena itu, ketika Wijang menambah lagi, Paksi menggeleng. Katanya, “Aku belum lapar sekali. Bukankah tadi kita sudah makan?”

“Aku tidak ingat lagi. Yang penting aku harus makan karena aku lapar.”

Paksi tersenyum. Sebuah pertanyaan timbul di dalam hatinya, apakah di istana Pangeran Benawa dapat makan senikmat itu.

Beberapa saat kemudian, keduanya pun sudah selesai. Wijang mengelus perutnya sambil berkata, “Kau benar, Paksi. Ternyata aku merasa terlalu kenyang.”

“Belum lagi jika kau habiskan wedang sere serta beberapa potong makanan yang disediakan itu.”

Wijang menggelengkan kepalanya. Katanya, “Kau ingin perutku meledak?”

Paksi tertawa. Namun suara tertawanya pun patah ketika ia juga melihat dua orang yang bergeser ketika ia mengangkat kepalanya.

“Aku melihat mereka,” desis Paksi tiba-tiba. “Mereka siapa?”

“Dua orang yang tadi kau lihat,” jawab Paksi. Namun tiba-tiba saja wajahnya nampak tegang. Katanya, “Rasa-rasanya aku mengenal mereka.”

“Kau mengenal mereka?” bertanya Wijang dengan dahi yang berkerut.

“Setidak-tidaknya salah seorang dari mereka.” Wijang menarik nafas dalam-dalam. “Sekarang giliranmu. Aku kira mereka memperhatikan aku.”

Paksi pun kemudian bertanya, “Apakah kau tidak akan memesan apa-apa lagi?”

“Kau kira perutku tidak akan pernah kenyang?” Paksi masih sempat senyum. Kemudian bertanya, “Marilah, kita tinggalkan tempat ini. Mungkin di luar beberapa orang sudah menunggu kita.”

“Kita harus mempersiapkan diri.”

Paksi pun kemudian membayar harga makan dan minum mereka sambil minta diri kepada pemilik kedai itu.

Ketika keduanya keluar dari kedai, maka mereka pun memperhatikan keadaan di sekitar kedai itu. Beberapa orang memang nampak berjalan lewat jalan di depan dan di sebelah kedai itu. Namun Paksi tidak melihat orang yang rasa-rasanya sudah dikenalnya itu.

“Orang-orang itu sudah pergi,” desis Wijang.

“Ya. Tetapi tentu tidak jauh dari kita.”

Keduanya pun kemudian melangkah meninggalkan kedai itu, sementara Paksi bertanya, “Kita akan pergi kemana?”

“Ke selatan. Pokoknya ke selatan,” jawab Wijang.

Paksi menarik nafas panjang. Katanya, “Ya. Pokoknya kita pergi ke selatan.”

Demikianlah keduanya pun melangkah semakin jauh dari kedai itu.

Namun sebelum mereka terlalu jauh, maka mereka pun mendengar keributan di belakang rumpun bambu yang tumbuh di sebuah halaman yang agak kosong. Pendengaran mereka yang tajam segera mengetahui, bahwa telah terjadi pertempuran di belakang rumpun bambu yang lebat itu.

Keduanya pun dengan serta-merta telah meloncat melingkari rumpun bambu itu. Keduanya tertegun ketika mereka melihat pertempuran yang sengit. Dua orang melawan seorang yang berilmu sangat tinggi.

Tetapi ternyata bukan hanya mereka berdua sajalah yang telah mendengar suara ribut di belakang rumpun bambu itu. Beberapa orang yang lain pun telah berdatangan, seorang demi seorang.

Tetapi tidak seorang pun segera berani melerai pertempuran yang sengit itu.

Paksi yang menyaksikan pertempuran itu menjadi berdebar-debar. Salah seorang yang bertempur berpasangan itu pernah dikenalnya. Tetapi seorang yang lain belum.

Namun pertempuran itu tidak berlangsung lama. Tiba-tiba saja seorang dari mereka yang bertempur berpasangan itu terlempar dari arena. Sebuah luka yang panjang menganga di dadanya.

Yang seorang lagi masih berusaha untuk bertahan. Tetapi sebelum Paksi dan Wijang sempat berbuat sesuatu, maka orang itu pun telah terpelanting pula. selain luka di lehernya, maka kepala orang itu telah membentur sebuah batu yang cukup besar, sehingga orang itu langsung terbunuh.

Dengan cepat Paksi berjongkok di sebelah orang yang pernah dikenalnya. Sambil mengguncang orang itu, Paksi berdesis, “Paman, Paman Derpa.”

Orang yang terluka itu pun berusaha untuk memperhatikan anak muda yang menyebut namanya. Dengan suara yang lemah orang itu pun kemudian berdesis, “Angger Paksi.”

“Ya, Paman.”

“Menyingkirlah. Orang itu sangat berbahaya bagimu.”

“Kenapa? Dan kenapa Paman sekarang berada disini?”

“Aku mendapat perintah dari ibumu untuk mencari Angger. Sudah setahun lebih kau meninggalkannya. Ibu ingin kau segera pulang. Berhasil atau tidak berhasil.”

Paksi tidak segera menjawab. Sementara orang itu berkata, “Tetapi agaknya ayahmu berkeberatan, Ngger. Kau baru boleh pulang jika kau bawa apa yang dipesankan oleh ayahmu.”

Paksi mengangguk-angguk. Namun ia pun bertanya, “Apa hubungannya dengan orang itu, Paman?”

“Orang itu adalah seorang dari mereka yang mendapat perintah dari ayahmu. Mereka juga harus mencari benda yang diinginkan oleh ayahmu itu. Tetapi mereka juga mendapat tugas untuk mencarimu.”

“Apakah yang dikehendaki oleh ayah?”

Sebelum Derpa menjawab, orang yang telah melukainya itulah yang menjawab sambil tertawa, “Kau harus menemukan benda itu. Jika tidak, lebih baik aku habisi sama sekali.”

“Itukah pesan ayahku, atau kehendakmu sendiri.”

“Aku berhak menentukan.”

Namun Derpa yang terluka parah itu berdesis, “Ayahmu memang tidak menghendaki kau segera pulang.”

“Kenapa, Paman? Kenapa?”

“Aku tidak tahu, Ngger.”

“Paman. Paman,” Paksi mengguncang orang itu. Tetapi Derpa sudah menutup matanya untuk selama-lamanya.

Jantung Paksi bagaikan tersulut api. Ia pun segera bangkit berdiri, memandang orang yang membunuh Derpa itu dengan mata yang menyala.

“Kau telah membunuh Paman Derpa.”

Orang itu tertawa. Katanya, “Kedua orang itu sangat menjengkelkan. Ia adalah budak-budak ibumu yang setia, kesetiaan mereka adalah kesetiaan yang buta. Aku sudah memperingatkan mereka mengurungkan niatnya mencarimu. Tetapi mereka tidak mau mendengarkannya.”

“Apakah sebabnya kau melarangnya? Apakah mereka merugikanmu sehingga kau bunuh mereka.”

“Tentu. Aku mendapat tugas dari ayahmu, agar kau tidak pulang sebelum kau berhasil. Bukankah tugas kedua orang tuamu bertentangan dengan tugasku.”

“Aku tidak peduli. Aku akan pulang.”

Orang itu tertawa berkepanjangan. Katanya, “Semua akan sia-sia. Jika kau memaksa pulang, maka kau akan mati. Tetapi seandainya kau tidak pulang pun, aku memang akan membunuhmu.”

“Kenapa?”

“Seorang sainganku akan berkurang. Bukankah kau juga akan mencari cincin itu.”

“Kau gila. Kau berada di dalam satu lingkungan yang pekat. Disini ada seribu orang yang sedang mencari cincin itu.”

“Aku akan bunuh mereka satu demi satu.”

“Siapa kau sebenarnya?”

Orang itu memandang Paksi dengan tajamnya. Dengan nada tinggi ia pun berkata, “Siapa pun aku, akibatnya akan sama saja bagimu. Kau akan mati. Itu saja yang perlu kau ketahui.”

“Persetan. Kau telah membunuh Paman Derpa dan seorang kawannya. Kau pun harus mati disini.”

“He? Aku harus mati? Apakah kau harus membunuh diri?”

“Aku akan membuatmu,” geram Paksi.

Suara tertawa orang itu bagaikan mengguncang rumpun bambu di sebelahnya. Di sela-sela tertawanya orang itu berkata,

“Kau memang lucu, anak manis. Tetapi sangat menjengkelkan karena kesombonganmu. Tetapi pengaruhnya sangat bagus bagiku. Dengan demikian nafsuku membunuh menjadi semakin besar. Sekarang, sebutlah nama ibumu untuk yang terakhir kalinya.”

Paksi bergeser menjauhi tubuh Derpa yang terbaring diam. Beberapa orang di sekitar tempat itu menjadi tegang. Mereka berharap anak muda itu menyingkir saja. Tetapi Paksi justru mendekati orang yang memegang sebilah pedang itu.


“Apa yang akan kau lakukan, anak muda?” bertanya orang itu.

Paksi pun menjawab dengan nada tinggi, “Sudah aku katakan, aku akan membantumu untuk membunuh diri.”

Orang itu tertawa semakin keras. Katanya, “Kau bukan saja sombong. Tetapi kau sudah gila. Bukankah kau lihat, bahwa aku dapat membunuh dua orang yang diutus oleh ibumu mencarimu?”

“Ya,” jawab Paksi.

“Lalu apa yang dapat kau lakukan?”

Paksi justru melangkah mendekat. Katanya, “Bukankah kepalamu masih belum sekeras batu hitam? Tongkatku ini akan memecahkan tulang kepalamu.”

“Kesombonganmu sudah berlebihan, anak muda. Sudah waktunya aku membungkam mulutmu.”

Paksi sama sekali tidak menjadi gentar. Ia justru semakin mendekati orang yang telah membunuh Derpa.

Sementara itu, Wijang sama sekali tidak berusaha untuk mencampurinya. Ia berdiri saja beberapa langkah dari Paksi. Meskipun demikian, ia siap berbuat sesuatu jika diperlukan. Bahkan Wijang sedang memperhatikan seseorang yang berdiri tidak terlalu jauh dari arena pertempuran itu. Agaknya orang itu mempunyai hubungan dengan orang yang telah membunuh Derpa, langsung atau tidak langsung.

Karena itu, kecuali mempersiapkan diri jika ia diperlukan untuk membantu Paksi, maka Wijang pun mengawasi orang yang dicurigainya itu.

Dalam pada itu, Paksi yang marah itu pun telah bersiap untuk bertempur. Tongkatnya mulai menggelepar di tangannya. Namun orang yang telah membunuh Derpa itu masih saja tertawa. Dengan golok yang besar, yang telah melukai dan bahkan membunuh Derpa, orang itu menuding Paksi sambil berkata, “Kau memang lucu, anak muda. Tetapi orang-orang yang akan mati kadang-kadang memang berbuat aneh-aneh.”

Paksi tidak menjawab. Tetapi dengan kecepatan yang tinggi, Paksi yang marah itu telah memukul golok di tangan orang yang menertawakannya itu.

Orang itu benar-benar terkejut. Tenaga Paksi ternyata sangat besar, sehingga orang itu tidak dapat mempertahankan goloknya, sehingga golok itu terpelanting jatuh beberapa langkah dari kakinya.

Dengan serta-merta orang itu pun bergerak untuk memungut goloknya. Namun tiba-tiba pula ujung tongkat Paksi telah melekat di lehernya.

Sekali lagi orang itu terkejut. Ia tidak mengira sama sekali bahwa anak muda itu mampu bergerak demikian cepatnya. Karena itu, maka orang itu pun mengurungkan niatnya untuk mengambil goloknya, karena ujung tongkat yang menekan lehernya itu akan dapat melukainya. Bahkan luka yang parah.

“Aku dapat membunuhmu sekarang. Tetapi aku bukan pengecut yang licik. Kau tentu beralasan bahwa aku belum bersiap karena seranganku datang tiba-tiba. Sekarang, ambil golokmu. Kita akan bertempur dengan jujur.”

Jantung orang itu bergetar ketika Paksi menarik tongkatnya. Justru karena itu, maka untuk beberapa saat ia berdiri termangu-mangu.

Wijang pun mengerutkan dahinya melihat sikap orang yang dicurigainya. Ia tidak melihat bahwa orang itu akan mencoba membantu orang yang telah membunuh Derpa. Meskipun nampak ketegangan di wajahnya, namun ia berdiri saja di tempatnya. Sementara itu, beberapa orang yang lain pun masih juga berkerumun menyaksikan apa yang telah terjadi di belakang rumpun bambu yang lebat di halaman yang kosong itu.

“Ambil golokmu,” bentak Paksi. “Kita akan bertempur. Aku tidak peduli apa kau bersenjata atau tidak.”

Ketika Paksi mundur beberapa langkah, maka orang itu pun dengan cepat meraih goloknya. Demikian ia berdiri tegak dengan golok di tangannya, maka ia pun menggeram, “Satu penghinaan yang pahit. Tetapi kau akan menyesal dengan kesombongan yang tidak ada taranya ini, anak muda.”

“Kita akan bertempur. Aku tidak yakin bahwa ayah menghendaki agar kau membunuhku. Mungkin benar jika ayah ingin aku pulang dengan membawa benda yang dikehendaki. Tetapi niat untuk membunuh itu tentu timbul dari jantungmu yang berbulu itu.”

“Bukankah kau dengar, Derpa juga mengatakan bahwa ayahmu tidak ingin kau pulang.”

“Ayah tidak ingin aku pulang tanpa membawa benda itu.”

“Persetan,” geram orang itu. “Kesombonganmu serta penghinaan ini tidak akan dapat dimaafkan lagi.”

“Cukup,” potong Paksi. “Bersiaplah.”

Orang itu kemudian bersiap. Sekilas ia memandang Wijang yang berdiri termangu-mangu. Orang itu merasa semakin direndahkan bahwa anak muda yang seorang lagi sama sekali tidak akan berusaha membantu Paksi.

“Apakah anak muda ini merasa dirinya sudah memiliki ilmu yang mumpuni?” bertanya orang itu di dalam hatinya.

Namun dalam pada itu, Paksi dan Wijang pun mengerti, bahwa orang yang membunuh Derpa itu belum pernah mengenal orang yang bernama Pangeran Benawa.

Meskipun orang itu sekali-sekali memperhatikan Wijang, namun perhatiannya yang sekilas itu sekedar untuk meyakinkan, apakah anak muda itu akan melibatkan diri atau tidak.

Sejenak kemudian, orang yang bersenjata golok itu telah mulai menyerang. Tetapi orang itu menjadi sangat berhati-hati. Yang dilakukan Paksi adalah isyarat, bahwa anak muda itu adalah anak muda yang berilmu dan mempunyai tenaga dan kekuatan yang besar.

Namun bagaimanapun juga orang itu tetap yakin, bahwa ia akan dapat membunuh anak muda itu dalam waktu singkat. Jika goloknya sempat lepas, itu karena ia benar-benar lengah dan tidak menduga bahwa anak muda itu akan menyerang demikian tiba-tiba.

Paksi pun kemudian telah memutar tongkatnya pula. Sekali-sekali tongkatnya itu terjulur. Ketika orang yang bersenjata golok itu mencoba dengan tiba-tiba membentur tongkat Paksi, ternyata tongkat itu tidak terlepas dari tangan anak muda itu. Bahkan telapak tangan orang itulah yang menjadi panas.

Semakin lama keduanya bergerak semakin cepat. Mereka mulai saling menyerang. Golok di tangan orang itu mulai berputaran, kemudian terayun mendatar mengarah ke leher Paksi. Namun tongkat Paksi pun bergerak mengimbangi kecepatan gerak golok kawannya. Setiap kali golok itu membentur tongkat Paksi, sehingga golok itu tidak pernah dapat menyerang kulit anak muda itu.

Semakin lama pertempuran itu menjadi semakin sengit.

Wijang yang memperhatikan pertempuran itu sekali-sekali mengerutkan dahinya. Namun Wijang pun tidak melepaskan perhatiannya kepada orang yang dicurigainya itu. Mungkin saja orang itu menyerang dengan senjata rahasia atau berbuat sesuatu dengan licik.

Tetapi nampaknya orang itu benar-benar tidak akan melibatkan diri.

Pertempuran antara orang yang telah membunuh Derpa melawan Paksi itu semakin lama menjadi semakin sengit. Ujung tongkat Paksi lah yang kemudian telah berhasil menembus pertahanan lawannya. Ketika golok itu dengan derasnya menyambar ke arah bahu kanan Paksi, maka Paksi pun sempat memiringkan tubuhnya. Demikian golok itu terayun tanpa menyentuhnya, maka dengan cepat Paksi menjulurkan tongkatnya.

Ujung tongkat Paksi itulah yang justru mematuk lambung lawannya sehingga lawannya terdorong beberapa langkah surut.

Namun ketika sekali lagi Paksi menyerang ke arah dada, orang itu menangkis dengan goloknya. Bahkan sambil berputar, orang itu menyerang dengan ayunan goloknya yang besar itu.

Paksi lah yang meloncat surut. Tetapi demikian cepatnya ia bergerak, sehingga dengan satu loncatan panjang, Paksi menjulurkan tongkatnya mematuk dadanya.

Sekali lagi orang itu terdorong surut. Namun ia tidak sempat memperbaiki keadaannya. Paksi yang memburunya mengayunkan tongkatnya dengan derasnya memukul ke arah dahi.

Orang yang telah membunuh Derpa itu tidak menyerah. Ia mencoba menggeliat menghindari ayunan tongkat lawannya.

Orang itu memang berhasil menyelamatkan kepalanya. Tetapi tongkat Paksi telah mengenai pundak kirinya. Demikian kerasnya, sehingga orang itu mengaduh kesakitan.

Dengan cepat ia berusaha mengambil jarak. Namun Paksi tidak memberinya kesempatan. Anak muda yang marah itu memburunya terus. Tongkatnya menebas dengan cepatnya. Orang yang masih kesakitan itu tidak sempat mengelak.

Lambungnya telah disambar oleh tongkat Paksi. Orang itu gagal menangkis serangan itu dengan goloknya. Ia pun gagal untuk mengelak.

Pada saat yang gawat itu, ujung tongkat Paksi telah menukik mengenai perutnya, sehingga orang itu membungkuk kesakitan.

Pada saat itulah, tongkat Paksi terayun mengenai tengkuknya.

Terdengar orang itu berteriak. Kemudian mengumpat kasar. Namun kemudian orang itu terjatuh berguling di tanah sambil mengerang kesakitan.

Paksi pun berdiri termangu-mangu. Orang itu masih menggeliat. Namun jari-jarinya tidak lagi dapat menggenggam goloknya, sehingga goloknya itu pun tergolek sejengkal dari tangannya itu.

Perlahan-lahan Paksi melangkah mendekatinya. Bahkan kemudian berjongkok di sampingnya.

“Anak iblis,” orang itu mencoba mengangkat kepalanya. Tetapi kepala itu pun terkulai kembali dengan lemahnya.

Paksi tidak menyahut. Dipandanginya saja orang yang sudah tidak berdaya itu. Betapapun kemarahan membakar jantungnya, tetapi Paksi tidak dapat sekali lagi mengayunkan tongkatnya mengakhiri hidup orang itu.

Meskipun demikian, orang itu keadaannya sudah sedemikian parahnya meskipun ia masih berusaha untuk mengancam, “Aku akan membunuhmu.”

“Apa sebenarnya pesan ayahku?” tiba-tiba Paksi bertanya.

“Persetan dengan ayahmu,” geram orang itu. “Aku tidak peduli dengan ayahmu. Aku ingin membunuhmu, karena kau akan dapat mengganggu usahaku.”

Paksi menggertakkan giginya. Tetapi ia tidak berbuat apa-apa.

Dipandanginya saja orang yang terbaring sambil mengerang kesakitan itu, namun sambil mengumpat-umpat.

Tetapi suaranya semakin lama menjadi semakin lambat. Akhirnya suaranya terdiam. Ternyata bahwa orang yang telah membunuh Derpa dan kawannya itu tidak dapat bertahan lebih lama lagi. Nafasnya pun kemudian telah terhenti.

Paksi menarik nafas dalam-dalam. Orang yang telah membunuh Derpa dan kawannya itu pun telah dibunuhnya pula.

Namun dalam pada itu, ketika Paksi mengangkat wajahnya, ia melihat Wijang dengan cepat melangkah pergi. Paksi tidak tahu, apa yang akan dilakukannya. Karena itu, maka dengan serta-merta ia pun telah mengikutinya. Untuk sesaat ia melupakan tubuh-tubuh yang terbaring diam itu.

Orang-orang yang berkerumun pun termangu-mangu. Mereka melihat seorang yang dengan tergesa-gesa meninggalkan tempat itu. Kemudian disusul oleh anak muda yang datang bersama-sama anak muda yang baru saja bertempur dengan membunuh lawannya.

Demikian orang itu turun ke jalan, maka Wijang pun menghentikannya.

“Tunggulah, Ki Sanak.”

Orang itu memang berhenti. Ketika ia memandang berkeliling, maka dilihatnya banyak orang yang berkerumun pula di jalan itu. Sementara itu, Wijang telah berdiri di belakangnya sambil berkata, “Tunggu, Ki Sanak. Ada sesuatu yang ingin aku tanyakan.”

Orang itu kemudian memutar tubuhnya dan bersiap menghadapi segala kemungkinan.

“Kenapa kau tidak membantu kawanmu yang terbunuh itu?”

“Ia bukan kawanku,” jawab orang itu.

“Jadi untuk apa kau mengawasinya?”

Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ketika ia melihat Paksi datang pula menyusulnya, maka orang itu pun menjadi semakin gelisah.

“Siapakah orang ini?” bertanya Paksi.

“Aku curiga kepadanya. Ia mengamati pertempuran itu. Kemudian dengan tergesa-gesa pergi ketika lawanmu terbunuh.”

Paksi melangkah mendekat. Dengan nada berat ia bertanya,

“Kau juga diupah oleh ayahku?”

Orang itu menjadi tegang. Dipandanginya Paksi dan Wijang berganti-ganti. Namun agaknya orang itu juga tidak mengenal bahwa yang dihadapinya itu adalah seorang pangeran.

“Kenapa kau diam saja?” bentak Paksi.

Orang itu terkejut. Ia memang sedang membuat pertimbangan. Namun kemudian ia pun menjawab, “Aku bukan kawan orang yang terbunuh itu. Tetapi memang aku sedang mengawasinya.”

“Kenapa dan untuk siapa kau melakukan pengawasan terhadap orang yang terbunuh itu?” bertanya Paksi.

“Aku adalah kepercayaan ayahmu.”

“Nah, bukankah orang itu juga bekerja untuk ayahku?”

“Ya. Tetapi ia seorang yang tidak dapat dipercaya. Karena itu, aku harus mengawasinya. Aku tahu bahwa orang itu berusaha untuk mengikuti Derpa yang mendapat perintah dari ibumu mencarimu. Sebenarnya ia bertugas untuk mengetahui, hanya mengetahui, apakah kau sudah berhasil mendapatkan benda yang dikehendaki oleh ayahmu itu atau belum?”

“Kalau belum?”

“Kau harus mencari terus sampai kau dapat menemukannya.”

“Jika untuk selamanya aku tidak menemukannya?”

“Kau tidak dapat kembali pulang.”

“Kalau aku sudah mendapatkannya?”

“Kau harus pulang dan menyerahkan benda itu kepada ayahmu.”

“Kenapa ia akan membunuhku?”

“Ia ingin mendapatkan cincin itu bagi dirinya sendiri.”

“Ketika ia mencoba membunuhku, kenapa kau tidak berusaha untuk mencegahnya?”

Wajah orang itu menjadi tegang. Dipandanginya kedua orang anak muda itu berganti-ganti. Namun akhirnya ia berkata, “Aku tidak mendapat tugas untuk mencegahnya. Ayahmu tidak akan kehilangan jika kau dibunuh oleh orang itu. Tanpa memikul dosanya, ayahmu akan merasa beruntung atas kematianmu.”

“Kenapa? Kenapa ayahku menginginkan kematianku?”

“Ayahmu tidak pernah mengupah orang untuk membunuhmu. Tetapi ia sama sekali tidak berkeberatan jika hal itu terjadi.”

“Ya, tetapi kenapa?”

“Aku tidak tahu.”

Wajah Paksi menjadi sangat tegang. Tongkatnya pun kemudian teracu ke dada orang itu. Katanya, “Dengar. Aku dapat melobangi dadamu dengan tongkat ini.”

“Aku percaya.”

“Jadi, jawab pertanyaanku.”

“Aku benar-benar tidak tahu. Aku tidak dapat mencampuri persoalan-persoalan yang menyangkut keluargamu.”

“Kau jangan berbohong. Aku dapat membunuhmu,” geram Paksi.

“Kau dapat membunuhku. Tetapi aku tidak akan pernah dapat menjawab pertanyaanmu itu.”

Jantung Paksi bagaikan membara. Dengan lantang ia pun berkata, “Aku tantang kau bertempur.”

Wajah orang itu menjadi semakin tegang. Katanya kemudian, “Aku bukan pengecut. Bahkan aku merasa bahwa ilmuku tidak kalah dari ilmu orang yang telah kau bunuh itu. Tetapi aku juga merasa bahwa aku tidak akan dapat mengalahkanmu. Meskipun demikian, jika kau menghendaki untuk membunuhku dengan cara sebagaimana kau lakukan atas orang yang membunuh Derpa itu, aku tidak akan menolak.”

Wijang lah yang kemudian berkata, “Kau tidak usah bertempur lagi, Paksi. Biarlah orang ini menemui ayahmu. Biarlah ia mengatakan apa yang telah terjadi disini. Kematian Derpa dan kawan-kawannya, kematian orang yang telah membunuhnya dan pembicaraanmu dengan orang ini.”

“Aku tidak dapat mempercayainya. Ia dapat berbohong dan bahkan dapat memfitnah. Ia dapat mengadu domba antara aku dan ayahku. Aku pun tidak percaya bahwa orang ini tidak mempunyai hubungan dengan orang yang telah terbunuh itu. Semua. Aku tidak percaya semua kata-katanya.”

“Aku mengerti,” sahut Wijang. “Tetapi menurut pendapatku, beri kesempatan ia menemui ayahmu. Apa pun yang akan dikatakannya. Pada saatnya kau akan dapat mengerti, apakah orang ini berkata sebenarnya atau tidak. Kita mempunyai banyak waktu untuk memburunya kemana pun ia bersembunyi. Ayahmu akan dapat memberikan petunjuk kemana kita harus mencarinya.”

“Anak-anak muda,” berkata orang itu, “kalian harus ingat, bahwa bukan hanya aku yang dapat berbohong. Ayahmu juga dapat berbohong.”

“Persetan kau,” geram Paksi.

Wijanglah yang kemudian berkata, “Pergilah. Lakukan apa yang ingin kau lakukan. Tetapi ingat, akibat dari langkah-langkah yang akan kau ambil akan menentukan nasibmu kemudian.”

Orang itu tidak menjawab. Sementara Paksi pun berkata, “Baik. Kau mendapat kesempatan kali ini. Tetapi pada suatu saat, kau akan membuat perhitungan dengan aku.”

Orang itu masih saja tidak menjawab. Ketika kemudian ia memandang berkeliling, maka orang-orang yang ada di sekitarnya pun memandanginya dengan tegang pula.....

“Aku akan pergi,” berkata orang itu kemudian. “Aku akan menemui ayahmu dan mengatakan apa yang telah terjadi disini.”

Paksi tidak menjawab. Tetapi Wijang pun berkata, “Pergilah. Kau juga harus mengatakan kepada ayahnya, bahwa ada seribu orang yang sedang mencari benda yang dicarinya. Sulit bagi Paksi untuk dapat menemukannya.”

Tiba-tiba saja Paksi memotong, “Tetapi aku akan pulang. Ibuku menginginkan aku pulang. Aku tidak peduli siapa pun juga.”

Orang itu tidak menyahut. Sementara Paksi membentak, “Cepat, pergilah.”

Orang itu pun menarik nafas dalam-dalam. Selangkah ia bergeser surut. Namun kemudian ia pun melangkah meninggalkan Paksi dan Wijang yang berdiri tegak mengawasinya.

“Ia akan bercerita kepada ayahmu,” berkata Wijang.

“Ya.”

“Ayahmu harus tahu, bahwa kau bukan lagi Paksi sebagaimana saat kau meninggalkan rumahmu.”

Paksi termangu-mangu. Namun tiba-tiba saja ia berdesis, “Tetapi apakah benar ayah menghendaki kematianku?”

“Jangan percaya.”

“Setidak-tidaknya ayah tidak menghendaki aku pulang.”

“Tentu bukan itu maksudnya,” jawab Wijang. “Ayahmu ingin mendorong agar kau lebih bersungguh-sungguh mencari benda yang diinginkan.”

Paksi memandang Wijang sekilas. Namun kemudian katanya, “Kau hanya ingin menenangkan perasaanku. Tetapi kau menangkap ketidakwajaran itu. Aku, sekitar setahun yang lalu, dalam umurku yang baru tujuh belas, aku harus keluar dari rumah untuk mencari jejak cincin yang hilang tanpa bekal ilmu yang memadai. Bukankah itu keputusan gila yang pernah diambil oleh ayahku?”

“Sudahlah. Ada tiga sosok mayat yang terkapar di belakang rumpun bambu ini. Nanti kita berbicara lagi.”

Paksi pun tiba-tiba teringat kepada Derpa yang telah terbunuh. Ia mengenal orang itu. Derpa sempat berkata kepadanya, bahwa ibunya mengharapkannya pulang.

Bersama Wijang ia pun kemudian kembali ke balik rumpun bambu. Beberapa orang masih berkerumun. Empat orang di antara mereka berdiri di sebelah tubuh-tubuh yang terkapar itu.

Seorang di antara mereka kemudian memperkenalkan dirinya, “Aku bekel di padukuhan ini, anak muda.”

Wijang dan Paksi pun mengangguk hormat. Dengan nada dalam Paksi pun berkata, “Kami mohon maaf, Ki Bekel, bahwa peristiwa ini terjadi di padukuhan ini.”

“Beberapa orang saksi mengatakan, bahwa kalian tidak memancing keributan ini. Bahkan kalian merupakan salah satu sasaran dari orang yang ternyata terbunuh itu.”

“Ya, Ki Bekel. Aku juga tidak tahu pasti, kenapa tiba-tiba saja orang itu ingin membunuhku.”

“Baiklah,” berkata Ki Bekel, “nanti aku berharap, kalian berdua singgah di rumahku. Mungkin kita dapat berbicara tentang beberapa hal yang perlu.”

“Baik, Ki Bekel. Tetapi perkenankanlah kami berdua menyelenggarakan penguburan mereka yang terbunuh ini. Namun kami ingin mendapat keterangan, dimana kami dapat mengubur mereka.”

Ki Bekel tersenyum. Katanya, “Biarlah orang-orang padukuhan ini membantu kalian, anak-anak muda.”

Paksi menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya, Ki Bekel.”

Ki Bekel itu pun kemudian berkata kepada orang yang berdiri di sebelahnya, yang ternyata adalah jagabaya di padukuhan itu, “Perintahkan beberapa orang untuk mengubur mereka, Ki Jagabaya. Aku akan membawa kedua orang anak muda ini ke rumahku.”

“Baik, Ki Bekel,” jawab Ki Jagabaya.

Namun Paksi pun kemudian berkata, “Tolong, Ki Bekel, pisahkan yang seorang ini dari yang lain. Yang seorang ini justru memusuhi kedua orang yang lain. Aku pun mohon, seorang dari kedua orang ini dapat diberi ciri. Orang ini bernama Derpa.”

“Baik, anak muda. Ki Jagabaya akan melakukannya.”

“Pada suatu saat, kami akan kembali. Keluarga kedua orang itu tentu ingin melihat kuburan mereka.”

“Baik, baik, anak muda.”

Demikianlah, Ki Bekel justru membawa Paksi dan Wijang ke rumahnya. Setelah membersihkan diri di pakiwan, maka keduanya pun duduk di pringgitan bersama Ki Jagabaya.

“Siapakah kalian berdua itu, anak muda. Dan kenapa kalian sampai kemari? Beberapa orang yang berada di sekitar arena itu mendengar bahwa kalian sedang mencari sesuatu di lingkungan ini yang aku yakini tentu sebuah cincin yang sekarang sedang diburu oleh banyak orang.”

“Sebenarnya kami berdua tidak memerlukannya, Ki Bekel. Tetapi ayah kami yang memaksa untuk mencarinya.”


“Apakah kalian bersaudara?”

“Ya, Ki Bekel. Bukan saudara kandung. Tetapi saudara sepupu,” jawab Paksi.

“Nama kalian?”

“Namaku Paksi.”

“Namaku Wijang, Ki Bekel,” Wijang pun mengangguk hormat.

“Yang kalian maksud dengan ayah kalian itu, ayah Angger Paksi atau ayah Angger Wijang.”

Tiba-tiba saja Wijang menjawab, “Sebenarnya adalah ayahku, Ki Bekel. Tetapi Paksi juga menyebutnya ayah.”

Ki Bekel mengangguk-angguk. Katanya, “Itukah sebabnya, maka ayah kalian itu menginginkan Angger Paksi tidak pulang.”

“Kami masih harus menegaskan kebenaran pernyataan itu, Ki Bekel. Sebab sikap ayahku terhadap aku dan Paksi nampaknya tidak ada bedanya.”

Ki Bekel mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya, “Mungkin ayah Angger Wijang telah memendam perasaannya sejak lama, sehingga pada suatu saat, perasaan itu terungkit. Sementara itu ayah Angger Wijang tidak mempunyai cara dan alasan yang pantas untuk menyingkirkan Angger Paksi.”

“Aku tidak yakin, Ki Bekel,” sahut Wijang.

“Baiklah. Aku tidak ingin seakan-akan menyelidiki persoalan yang timbul di lingkungan keluarga kalian. Namun yang penting, yang akan aku beritahukan kepada kalian adalah, bahwa banyak orang yang sedang memburu cincin itu. Cincin yang aku dengar telah murca dari keraton. Cincin itu telah hilang dari bangsal pusaka bersama dengan hilangnya salah seorang pangeran di Pajang. Justru Pangeran Benawa.”

Wijang dan Paksi hanya mengangguk-angguk saja.

“Karena itu, Ngger, aku ingin memperingatkan, bahwa sebaiknya kalian tidak melibatkan diri dalam usaha penemuan cincin itu. Meskipun aku tahu, bahwa ternyata Angger Paksi berilmu tinggi, tetapi kalian hanya berdua. Sementara itu, menurut pendengaranku, beberapa orang sakti dari berbagai lingkungan sedang berkeliaran di sisi selatan Gunung Merapi.

Mereka menganggap bahwa sepercik cahaya yang sangat terang, yang turun dari langit, adalah cincin yang hilang itu, yang jatuh di lereng sebelah selatan Gunung Merapi ini. Namun di samping itu, maka mereka pun telah beramai-ramai memburu Pangeran Benawa yang diduga membawa cincin itu pergi dari istana.”

“Jadi Pangeran Benawa sendiri telah mencuri cincin itu, Ki Bekel?” bertanya Wijang.

“Jangan berkata begitu, Ngger. Bagaimanapun juga Pangeran Benawa adalah seorang pangeran.”

“Jadi?”

“Tidak seorang pun tahu, apa maksud Pangeran Benawa dengan membawa cincin itu pergi dari istana. Jika banyak orang menganggap bahwa siapa yang mengenakan cincin itu di jarinya, ia akan dapat menurunkan penguasa di tanah ini, maka sebenarnya Pangeran Benawa mempunyai kesempatan terbesar tanpa harus membawa cincin itu pergi.”

“Jika demikian, Pangeran Benawa telah memancing pergolakan yang dapat meresahkan banyak orang.”

“Sudahlah. Yang penting ingin aku sampaikan kepada kalian berdua, sebaiknya kalian tidak usah melibatkan diri ke dalam pusaran perburuan itu. Kalian dapat menjelaskan hal itu kepada ayah kalian, jika ayah kalian memang telah menugaskan kalian untuk mencarinya.”

Kedua orang anak muda itu mengangguk-angguk. Dengan nada rendah Wijang berkata, “Baik, Ki Bekel. Kami akan meninggalkan tempat ini. Sejak semula memang kami merasa segan untuk melakukannya. Kami sama sekali tidak tahu apa yang harus kami lakukan. Karena itu, kami berkeliaran saja di lereng selatan Gunung Merapi ini.”

“Aku senang kesediaan Angger untuk meninggalkan tempat ini. Aku tidak ingin melihat anak-anak yang masih muda seperti Angger berdua harus terlibat dalam persoalan yang rumit, yang akan merenggut jiwa Angger. Sedangkan sebenarnya masa depan Angger masih panjang dan masih penuh dengan harapan-harapan.”

“Ya, Ki Bekel,” jawab Paksi, “kami akan memperhatikan pesan Ki Bekel. Seperti yang dikatakan oleh saudaraku, kami akan segera meninggalkan tempat ini.”

“Bukan maksud kami mengusir Angger berdua. Jika Angger berdua masih ingin tinggal disini, aku sama sekali tidak berkeberatan.”

“Terima kasih, Ki Bekel. Agaknya kami ingin meneruskan perjalanan kami.”

“Angger berdua akan kemana?”

“Kami akan mengembara kemana saja, seakan-akan kami sedang mencari cincin itu. Pada suatu hari kami akan pulang dan melaporkan bahwa kami telah gagal.”

Ki Bekel menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian ia pun berkata, “Tetapi segala sesuatunya terserah kepada kalian, anak-anak muda. Aku hanya memberikan pertimbangan, karena aku merasa sayang, bahwa masa depan kalian akan patah karena keinginan orang tua kalian yang berlebihan itu”

“Ya, Ki Bekel. Kami mengerti,” sahut Wijang. “Kami mengucapkan terima kasih atas nasehat dan petunjuk Ki Bekel.”

“Aku juga mempunyai anak seumur kalian. Aku selalu membayangkan masa depan yang baik bagi anakku itu. Aku pun berharap anakku itu berumur panjang.”

Namun ketika kemudian Wijang dan Paksi mohon diri, Ki Bekel menahannya. Katanya, “Kami sedang menyiapkan makan untuk kalian berdua.”

Wijang dan Paksi berpandangan sejenak. Mereka baru saja makan dan bahkan terlalu kenyang. Karena itu, maka Wijang pun berkata, “Kami mengucapkan terima kasih, Ki Bekel. Tetapi kami berdua baru saja makan menjelang peristiwa itu terjadi. Ketika kami sedang berada di kedai itulah, kedua orang yang sedang mencari kami itu melihat dan selanjutnya justru terlibat dalam pertengkaran dengan orang lain yang juga berkepentingan dengan kami.”

“Tetapi tidak baik menolak rejeki, anak-anak muda. Meskipun hanya sedikit, aku minta kalian makan lebih dahulu.”

“Sungguh, Ki Bekel. Kami mengucapkan terima kasih. Kami mohon maaf, bahwa kami terpaksa tidak dapat menerima uluran tangan Ki Bekel. Kami bukannya menolak, tetapi agaknya tidak ada tempat lagi di dalam perut kami.”

“Tetapi kalian baru saja bertempur. Kalian tentu letih dan seandainya kalian baru saja makan, maka kalian tentu telah menjadi lapar kembali.”

“Kami mohon maaf, Ki Bekel.”

Kerut dahi Ki Bekel nampak semakin dalam. Agaknya ia menjadi kecewa. Tetapi apaboleh buat. Keduanya masih merasa sangat kenyang.

Dengan demikian, maka Wijang dan Paksi pun segera minta diri. Berkali-kali mereka mengucapkan terima kasih dan mohon maaf kepada Ki Bekel yang menjadi kecewa.

Tetapi Ki Bekel pun kemudian tersenyum sambil berkata, “Baiklah. Selamat jalan. Mudah-mudahan kalian tidak menjumpai persoalan yang dapat mengganggu perjalanan kalian. Sekali lagi aku ingin menasehatkan, jangan melibatkan diri dalam persoalan yang gawat ini.”

Wijang dan Paksi mengangguk-angguk. Hampir berbareng keduanya menjawab, “Baik, baik, Ki Bekel.”

Demikianlah, keduanya pun segera meninggalkan rumah Ki Bekel dari padukuhan yang terhitung besar itu.

Demikian mereka meninggalkan halaman rumah itu, maka dua orang yang berwajah garang keluar dari ruang dalam. Dengan geram, seorang di antara mereka berkata, “Setan-setan kecil itu menolak untuk makan.”

Ki Bekel dengan wajah gelisah menyahut, “Aku sudah mencoba untuk memaksa mereka, tetapi mereka tidak mau.”

“Sikapmu tidak meyakinkan,” geram yang lain.

“Aku sudah berusaha. Tetapi keduanya memang menolak.”

Seorang di antara mereka yang bertubuh tinggi dan berkulit kuning berkata, “Jika saja mereka mau makan, maka racun itu akan membuat mereka menjadi lemah. Kita akan dengan mudah mengakhiri mereka di bulak sebelah.”

“Tanpa racun kita akan mengakhiri mereka di pategalan. Tidak di bulak. Itu tentu akan lebih baik. Kemungkinan kecil sekali akan dilihat orang, bagaimana kita membantai kedua anak muda itu.”

Namun dalam pada itu, Ki Bekel pun bertanya, “Apa sebenarnya salah mereka sehingga mereka harus dibantai? Bukankah mereka sudah bersedia untuk meninggalkan daerah ini serta tidak lagi ikut memburu cincin bermata tiga itu?”

“Mereka tentu berbohong. Aku tidak percaya kepada mereka. Aku menduga bahwa mereka adalah para pengikut Harya Wisaka. Keduanya agaknya sedang memburu Pangeran Benawa. Ilmu mereka nampaknya cukup meyakinkan, sehingga mereka, setidak-tidaknya yang membawa tongkat itu, akan dapat mengganggu tugas-tugas kami. Apalagi jika Harya Wisaka menurunkan orang-orangnya yang lain di daerah ini.”

“Mereka tentu bukan pengikut Harya Wisaka. Bukankah jelas bahwa mereka ditugaskan oleh ayah mereka. Bahkan agaknya ada persoalan yang rumit di dalam lingkungan keluarga mereka sendiri. Seorang di antara mereka dengan sengaja diusir dari rumahnya, sehingga perintah untuk mencari cincin itu adalah sekedar untuk menyingkirkannya.”

“Mereka hanya berpura-pura.”

“Bagaimana mungkin yang dilakukan itu sekedar pura-pura. Tiga orang mati dan sudah dikuburkan. Yang mati itu tidak sekedar pura-pura.”

“Kau memang dungu, Ki Bekel,” seorang di antara kedua orang itu membentak. “Orang-orang seperti Harya Wisaka tidak akan merasa sayang mengorbankan orang-orangnya untuk melakukan satu permainan yang rumit. Orang-orang yang saling membunuh itu sendiri tidak menyadari, bahwa mereka tidak lebih dari alat-alat permainan yang diatur oleh Harya Wisaka.”

“Permainan yang demikian tentu merupakan permainan yang berlebihan.”

“Cukup,” yang lain pun membentak pula. “Kau tidak tahu cara yang diambil oleh Harya Wisaka. Cara yang paling kasar pun akan dilakukannya.”

Ki Bekel memang tidak menjawab. Ia sadar, dengan siapa ia berhadapan.

Sementara itu, salah seorang dari kedua orang itu pun berkata, “Ingat, Ki Bekel, jika kau tidak ingin padukuhanmu ini hancur, ikuti petunjuk-petunjukku. Aku mempunyai kekuatan yang cukup untuk berbuat apa saja atas padukuhan ini.”

Ki Bekel termangu-mangu sejenak. Jantungnya terasa bergejolak. Tetapi ia tidak dapat melawan kehendak kedua orang itu, karena Ki Bekel menyadari bahwa di belakang kedua orang itu terdapat sebuah kelompok yang berlindung di belakang nama sebuah perguruan yang mempunyai banyak pengikut.

Tetapi wajah Ki Bekel itu menjadi pucat ketika salah seorang di antara kedua orang itu berkata, “Marilah, kita susul kedua anak itu.”

“Kita hanya berdua?” bertanya yang seorang.

“Ki Sampar Angin ada di banjar. Bersama Ki Sampar Angin kita akan dapat menyelesaikan siapa saja.”

Kawannya mengangguk-angguk, sementara itu yang lain itu berkata selanjutnya, “Kita berdua akan membunuh seorang di antara mereka. Sedangkan Ki Sampar Angin akan menyelesaikan yang seorang lagi.”

Kawannya mengangguk-angguk. Katanya, “Jangan terlalu lama.”

“Kita akan melakukannya malam nanti.”

“Tetapi kita jangan kehilangan jejak.”

Keduanya pun kemudian meninggalkan rumah Ki Bekel dengan tergesa-gesa. Namun seorang di antara mereka sempat berkata, “Jangan berbuat aneh-aneh, Ki Bekel. Kakang Wira Bangga akan merasa tidak senang jika kau tidak mau mengikuti petunjuk-petunjukku, apalagi pesan-pesan Kakang Wira Bangga sendiri.”

Ki Bekel itu tidak menjawab. Dadanya merasa menjadi sesak. Ia harus menelan kepahitan sikap kedua orang yang berwajah garang itu. Apalagi jika mereka menyebut nama Wira Bangga. Maka bulu-bulu kuduk Ki Bekel menjadi meremang.

Sejenak kemudian, kedua orang itu pun telah hilang dari halaman rumah Ki Bekel. Ki Bekel tahu pasti, bahwa keduanya akan pergi ke banjar menjemput orang yang bernama Ki Sampar Angin. Kemudian menyusul kedua orang anak muda yang harus mengalami nasib buruk. Meskipun anak-anak muda itu berbekal ilmu, tetapi apakah mereka mampu menghadapi kedua orang yang garang itu dan apalagi Ki Sampar Angin, kepercayaan Ki Wira Bangga.

Tetapi Ki Bekel tidak dapat berbuat apa-apa. Bahkan padukuhannya itu sendiri seakan-akan berada di bawah bayang-bayang Ki Wira Bangga yang setiap saat akan dapat menghancurkannya.

Satu-satunya harapan Ki Bekel adalah, kedua orang anak muda itu telah menempuh jalan yang jejaknya tidak dapat diikuti oleh kedua orang berwajah garang yang masih akan singgah di banjar untuk menjemput Ki Sampar Angin.

“Kalau saja kedua anak-anak muda itu tahu bahaya yang sedang mengancam mereka,” berkata Ki Bekel di dalam hatinya.

Tetapi Ki Bekel pun mengetahui, bahwa jalan ke selatan itu membujur panjang melintasi beberapa padukuhan. Kecuali jika kedua orang anak muda itu berbelok mengambil jalan yang lebih kecil, bahkan lorong-lorong sempit atau jalan setapak.

“Jika mereka mengikuti jalan panjang itu, maka mereka tentu akan segera disusul oleh Ki Sampar Angin dengan kedua orang berwajah garang itu,” berkata Ki Bekel dalam hatinya pula.

Ada niat untuk menyusul dan memberitahu bahaya yang akan menyusul kedua anak muda itu. Jika ia menunggang kuda, maka dalam waktu singkat kedua orang anak muda itu akan dapat disusulnya. Tetapi Ki Bekel tidak mempunyai keberanian untuk melakukannya. Taruhannya bukan sekedar Ki Bekel itu sendiri, tetapi seluruh padukuhannya. Para penghuni padukuhan yang tidak tahu-menahu persoalannya, akan ikut mengalami kesulitan.

Karena itu, maka Ki Bekel pun kemudian hanya duduk saja di pringgitan. Kepalanya terasa pening dan keringatnya pun membasahi pakaiannya. Kegelisahan yang sangat telah mencengkam jantungnya.

Tiba-tiba saja ia teringat kepada nasi yang telah disediakan bagi kedua orang anak muda yang akan diracunnya. Racun yang lemah, yang akan membuat tenaga kedua orang anak muda itu menjadi rapuh. Namun, yang gagal karena kedua orang anak muda itu menolaknya.

“Jika seseorang makan nasi itu, nasibnya akan menjadi sangat buruk,” berkata Ki Bekel yang kemudian tergesa-gesa pergi ke ruang dalam.

Nasi itu pun kemudian telah dibawanya ke kebun belakang. Dibuatnya lubang yang agak dalam. Ditaruhnya nasi itu ke dalamnya dan kemudian ditimbunnya rapat-rapat.

Dalam pada itu, Wijang dan Paksi telah meninggalkan padukuhan itu. Mereka memang menyusuri jalan yang panjang yang menuju ke selatan. Keduanya sama sekali tidak berniat untuk keluar dari jalur jalan itu dan mengambil jalan setapak atau lorong-lorong sempit.

“Sikap Ki Bekel itu agak aneh,” desis Wijang.

“Ya. Aku merasakan bahwa ada sesuatu yang tidak wajar,” sahut Paksi.

“Mudah-mudahan hanya prasangka buruk,” gumam Wijang.

Paksi mengangguk-angguk. Meskipun demikian ia pun bergumam, “Rasa-rasanya ia memang mengusir kita dari padukuhannya. Apakah Ki Bekel juga berkepentingan cincin itu?”

“Mungkin saja. Justru karena daerahnya pernah dilalui atau bahkan menjadi tempat persinggahan orang-orang yang sedang memburu cincin itu, maka ia pun ikut-ikutan memburunya. Apalagi Ki Bekel merasa bahwa padukuhannya merupakan lingkungan perburuan, setidak-tidaknya lintasan perburuan itu,” sahut Wijang.

Paksi tidak segera menyahut. Dipandanginya jalan yang membujur panjang di hadapannya. Sementara itu, matahari pun menjadi semakin rendah. Cahayanya mulai memudar. Panas tidak lagi terasa memanggang tubuh kedua orang anak muda itu.

Ketika langit menjadi semakin suram, maka Paksi pun bertanya, “Dimana kita akan bermalam? Apakah kita akan bermalam di banjar padukuhan?”

Wijang termangu-mangu sejenak. Katanya, “Padukuhan-padukuhan di jalur ini, nampaknya sangat berhati-hati menanggapi kehadiran orang yang mereka anggap asing. Aku memperhatikan orang-orang di padukuhan-padukuhan yang telah kita lewati. Termasuk padukuhan yang telah menjeratmu dalam pertempuran itu.”

“Ya. Aku pun merasakan betapa orang-orang padukuhan memandang kita lewat. Itu tentu karena mereka mempunyai pengalaman yang tidak menyenangkan dari orang-orang yang lewat di padukuhan mereka.”

“Kita akan bermalam di tempat yang terbuka saja.”

“Di padang perdu.”

“Ya. Kita sudah sering bermalam di tempat terbuka.”

Keduanya pun kemudian sepakat untuk mencari tempat bermalam sebelum gelap turun, sehingga mereka dapat mengetahui keadaan di seputar tempat mereka bermalam itu.

Ketika senja turun, maka mereka telah menemukan tempat yang menurut pendapat mereka cukup baik untuk bermalam. Tidak terlalu dekat dengan hutan. Beberapa buah batu besar berserakan di tempat itu, sehingga mereka akan dapat tidur di atas salah satu batu yang datar.

Keduanya pun kemudian telah memilih dua buah batu yang jaraknya tidak terlalu jauh. Mereka pun kemudian telah sepakat untuk bergantian tidur.

“Bagaimanapun juga kita berada di daerah yang asing,” berkata Wijang. “Kita harus berhati-hati.”

Paksi mengangguk. Katanya kemudian, “Kau sajalah yang tidur dahulu. Aku akan tidur lewat tengah malam.”

Wijang tersenyum. Katanya, “Pilihan yang baik.”

Paksi pun tersenyum. Katanya, “Kau dapat tidur sekarang.”

“Siapa yang dapat tidur di saat seperti ini?”

Paksi tertawa. Katanya, “Jika demikian, baiklah. Kita masih punya waktu untuk membersihkan diri. Di sebelah tentu ada sungai. Aku mendengar airnya yang gemericik.”

Keduanya pun kemudian telah pergi ke sungai. Pendengaran mereka yang tajam telah menuntun mereka ke sebuah tebing.

Namun Wijang pun kemudian berbisik di telinga Paksi, “Jangan letakkan tongkatmu jika kau turun ke sungai.”

“Ya. Aku mendengar. Tetapi aku belum melihat sesuatu.”

“Aku juga belum. Gelap mulai turun. Berhati-hatilah. Setiap saat bahaya dapat menyergap kita.”

Paksi mengangguk kecil. Dengan hati-hati Paksi menuruni tebing sungai. Pendengarannya yang tajam, dengan mengetrapkan ilmu Sapta Pangrungu, Paksi menangkap desir lembut beberapa langkah di sampingnya. Sentuhan tubuh seseorang dengan dedaunan pada gerumbul perdu.

Sambil bertelekan tongkatnya, Paksi menuruni tebing. Ia berjalan di depan, sedangkan Wijang berjalan di belakang.

Kedua anak muda itu mengurungkan niatnya untuk membersihkan diri. Keduanya hanya duduk saja di atas sebuah batu yang besar sambil berkelakar. Sekali-sekali terdengar suara mereka tertawa meledak dan berkepanjangan.

Ketika gelap malam menjadi semakin hitam, keduanya seakan-akan tidak menghiraukannya. Keduanya masih saja berbicara. Bahkan keduanya mulai berteka-teki.

Ternyata orang-orang yang menunggu mereka lengah, menjadi tidak sabar lagi. Dengan satu isyarat, tiga orang telah meloncat dari balik gerumbul. Kemudian meluncur menuruni tebing sungai itu pula.

Sambil berdiri di tepian yang berpasir dan berbatu-batu, Ki Sampar Angin pun berkata, “Selamat malam, anak-anak muda. Apa yang kalian lakukan disitu?”

Wijang dan Paksi tidak terkejut lagi karena kehadiran mereka. Keduanya memandang ketiga orang itu sejenak. Kemudian kedua orang anak muda itu turun dari atas batu yang besar itu.

“Selamat malam, Ki Sanak,” desis Wijang. “Siapakah kalian dan apakah kalian ingin bertemu dengan kami?”

“Ya,” sahut Ki Sampar Angin. “Kami memang ingin bertemu dengan kalian.”

“Untuk apa?” bertanya Wijang pula.

Ki Sampar Angin tertawa. Katanya, “Kami sengaja mengikuti perjalanan kalian.”

“O.”

“Kami ingin mendapatkan cincin bermata tiga itu.”

“Cincin apa?” bertanya Paksi dengan serta-merta. “Jangan ingkar. Cincin itu tentu sudah ada pada kalian.”

“Aku tidak tahu maksudmu,” geram Wijang.

“Jangan berpura-pura. Sekarang berikan cincin itu kepada kami. Kami tidak akan mengusik kalian.”

“Kami tidak tahu, apa maksud kalian yang sebenarnya.”

“Jangan banyak bicara. Ada tidak ada alasannya kita akan bertempur. Kami akan menghancurkan kalian semuanya dan mengambil cincin itu dari salah seorang dari kalian berdua.”

Wijang berpaling kepada Paksi sejenak. Namun dengan sengaja ia menjawab dengan kata-kata yang cukup tajam, “Apa kalian melihat wajah kami bercahaya sehingga kalian menganggap bahwa kami telah menemukan cincin yang sedang diburu itu? Ki Sanak, kami bukan orang-orang tamak seperti kalian. Kami justru menghindari dari lingkungan perburuan ini.”

“Kalian akan pergi sambil membawa cincin itu?” bertanya Ki Sampar Angin.

“Mimpimu sangat buruk, Ki Sanak.”

“Jangan mencoba melawan, karena tidak ada artinya sama sekali. Perlawanan hanya akan menambah kemarahan kami, sehingga kami akan dapat berbuat sesuatu yang tidak pernah kau bayangkan menjelang kematian kalian.”

Wijang dan Paksi pun segera teringat pula kepada dua orang yang dengan ringan hati berusaha membunuh mereka. Jika mereka tidak menemukan cincin itu, tidak menjadi apa. Korban yang telah dibunuh itu tidak membebani perasaan mereka sama sekali.

“Ki Sanak,” berkata Wijang kemudian, “kami sama sekali tidak berurusan dengan cincin itu.”

“Kau kira aku tidak mendengar apa yang dikatakan oleh orang-orang yang telah mati termasuk yang kau bunuh itu.”

Wajah Paksi menjadi tegang. Dengan nada tinggi ia pun berkata, “Jika kau tahu apa yang kami bicarakan, kau tentu juga tahu, setidak-tidaknya menangkap makna pembicaraan kami, bahwa cincin itu masih belum kami ketemukan.”

Ki Sampar Angin tertawa. Katanya, “Mungkin kau memang belum menemukan. Tetapi bukankah kau masih akan mencarinya? Kau atau ayahmu atau siapa pun yang berhubungan dengan kau, menurut perhitunganku adalah orang-orang yang digerakkan oleh Harya Wisaka. Begitu rumitnya permainannya, sehingga kalian menjadi saling membunuh tanpa disadari. Berebut medan dan dahulu mendahului. Ayah kalian itu pun tentu hanya sekedar barang mainan Harya Wisaka sehingga bersedia mengorbankan anak dan kemenakannya.” “Kau mengigau,” geram Paksi.

“Permainan yang sangat rumit. Entahlah, apa yang dilakukan oleh Harya Wisaka. Prajurit-prajurit sandi yang selama ini mendapat kepercayaan dari Kangjeng Sultan pun telah menjadi alat permainannya pula. Para bangsawan dan para tumenggung.”

“Kau mengigau,” geram Paksi yang jantungnya mulai memanas. “Kau kira kau dapat memperlakukan kami sekehendak hatimu?”

“Aku tahu bahwa kau memiliki kemampuan yang baik. Tetapi kau tidak akan dapat melawan kami bertiga. Seorang di antara kalian akan segera dibantai oleh kedua orang kawanku, sedangkan yang seorang lagi akan segera aku cincang sampai lumat.”

Wijang dan Paksi memang menjadi tegang. Mereka sadar bahwa orang yang bernama Sampar Angin itu tentu orang yang berilmu tinggi. Sedangkan kedua orang yang lain tentu juga orang-orang yang berbahaya. Bagaimana juga Wijang dan Paksi harus memperhitungkan berbagai macam kemungkinan. Bahkan kemungkinan yang terburuk sekalipun.

Betapapun kedua anak muda itu membekali dirinya, namun kemampuan mereka tetap saja terbatas. Dengan demikian, maka mungkin saja orang itu memiliki kemampuan melampaui kemampuan mereka berdua.

Tetapi apa pun yang akan terjadi, keduanya harus menghadapinya. Sudah tentu mereka tidak akan dengan suka rela menyerahkan leher mereka untuk dipenggal.

Karena itu, maka Wijang pun kemudian berkata, “Ki Sanak. Apa pun yang terjadi, kami memang harus menghadapi.”

Orang itu tertawa. Katanya, “Baiklah. Tetapi sebelum kami membantai kalian, kami ingin kalian mengetahui serba sedikit tentang kami bertiga. Namaku Ki Sampar Angin. Mungkin kalian sudah pernah mendengarnya. Kedua orang itu kawanku ini adalah Ki Sura Semu dan Ki Prana Gombak. Keduanya adalah orang yang namanya sangat ditakuti. Bukan saja oleh orang kebanyakan, tetapi gegedug di seluruh Pajang pun selalu memperhitungkan kehadirannya. Karena itu, kalian tidak akan dapat memperlakukannya sebagaimana kau lakukan sebagaimana orang yang menyusulmu atas perintah ayahmu dan yang telah membunuh dua orang yang mencarimu atas perintah ibumu itu.”

Wijang dan Paksi memang menjadi tegang. Namun mereka tidak ingin kalah sebelum berusaha mempertahankan diri. Karena itu, mereka tidak ingin menghiraukan, siapa pun yang mereka hadapi. Apakah mereka orang-orang sakti yang dapat bersembunyi di balik kabut, atau bahkan dapat terbang di awang-awang.

Karena itu, maka Wijang pun menyahut, “Kami akan mempertahankan hidup kami. Kami merasa masih terlalu muda untuk mati.”

“Itu adalah ciri dari para pengikut Harya Wisaka. Mereka adalah orang-orang yang tidak kenal menyerah. Mereka baru mengakhiri perlawanan mereka setelah mati. Kesetiaan mereka sampai pada batas kematian. Itulah yang aku kagumi.

Bagaimana Harya Wisaka dapat membuat orang-orangnya kehilangan pribadinya dan berserah diri seutuhnya bagi kepentingannya.”

“Kenapa kau masih saja mengigau, Ki Sampar Angin. Kami sudah siap untuk mempertahankan diri.”

Ki Sampar Angin tertawa. Katanya, “Aku kagumi keberanian kalian. Aku memang iri kepada Harya Wisaka yang mempunyai pengikut setia sampai mati.”

Wijang dan Paksi pun tidak menjawab. Apa pun yang mereka katakan tidak berarti apa-apa. Orang itu akan tetap dapat menganggapnya sebagai pengikut Harya Wisaka. Namun mungkin juga karena Ki Sampar Angin dan kelompoknya terlalu cemas terhadap kekuatan Harya Wisaka, sehingga setiap kekuatan yang tidak dikenalnya selalu dihubungkannya dengan apa yang disebutnya sebagai permainan yang digerakkan oleh Harya Wisaka.

Tetapi apa pun latar belakang dari Ki Sampar Angin, Wijang dan Paksi harus sangat berhati-hati menghadapi ketiga orang yang berilmu tinggi itu.

Sebenarnyalah sejenak kemudian, Ki Sampar Angin pun bergeser selangkah. Kepada kedua orang kawannya ia pun berkata, “Nah, kita sudah terlalu lama berbicara. Sekarang waktunya untuk membunuh mereka.”

Kedua orang itu pun bergeser pula. Sementara Wijanglah yang kemudian berdiri tegak untuk menghadapi kedua orang itu. Menurut perhitungannya, kedua orang itu tentu lebih berbahaya dari Ki Sampar Angin meskipun ilmu Ki Sampar Angin tentu lebih tinggi dari Sura Semu dan Prana Gombak. Tetapi jika keduanya bergabung menjadi satu, maka kekuatan dan kemampuan keduanya akan lebih besar dari Ki Sampar Angin.

Paksi lah yang kemudian bersiap menghadapi Ki Sampar Angin. Seorang yang nampaknya memiliki bekal ilmu yang tinggi serta pengalaman yang sangat luas.

Ki Sampar Angin pun sambil tertawa mulai meloncat menyerang. Tetapi ia menghentikan langkahnya, karena Paksi menyilangkan tongkatnya. Sambil bergeser selangkah Ki Sampar Angin berkata, “Nampaknya tongkatmu adalah senjata andalanmu.”

Paksi tidak menjawab. Namun tiba-tiba saja Ki Sampar Angin melibat Paksi dengan pertempuran yang cepat. Demikian tiba-tiba sehingga Paksi pun terdorong beberapa langkah surut.

Ki Sampar Angin kemudian berdiri di atas batu sambil berkata, “Nah, kau harus menyadari, bahwa bobot ilmuku tidak sekedar sejajar dengan bobot ilmu orang yang telah kau bunuh itu.”

“Ya,” jawab Paksi, “aku tahu.”

“Nah, dengan demikian kau tahu apa yang akan terjadi atas dirimu.”

“Apa pun yang terjadi,” geram Paksi. Ki Sampar Angin tidak berbicara lagi. Tetapi serangan-serangannya pun kemudian telah datang bergulung seperti angin pusaran.

Namun Paksi pun telah dibekali ilmu pula. Karena itu, tongkatnya pun segera berputaran. Sekali-sekali menukik menusuk dengan cepatnya.

Ternyata Ki Sampar Angin pun mengalami kesulitan melawan anak muda yang bersenjata tongkat itu. Gerakannya menjadi sangat terbatas. Serangannya sulit untuk menjangkaunya, karena putaran tongkat anak muda itu merupakan pertahanan yang sangat rapat.

Bahkan serangan-serangan tongkat Paksi pun semakin lama menjadi semakin berbahaya. Ketika tongkat Paksi terjulur lurus ke arah dada, Ki Sampar Angin dengan cepat pula bergeser selangkah ke samping. Namun tiba-tiba saja tongkat itu menggeliat. Hampir saja tongkat itu menyambar kening Ki Sampar Angin, sehingga Ki Sampar Angin itu dengan tergesa-gesa meloncat jauh surut.

Meskipun tongkat itu tidak menyentuhnya, tetapi jantung Ki Sampar Angin telah tergetar. Hampir saja keningnya terkoyak tongkat anak muda itu.

Karena itu, maka Ki Sampar Angin pun tidak akan membiarkan tubuhnya dikenai oleh senjata lawannya yang menjadi semakin berbahaya.

Ketika tongkat Paksi kemudian menyambarnya, maka tiba-tiba saja telah terjadi benturan yang keras.

Paksi terkejut. Sementara itu, Ki Sampar Angin pun tertawa. Katanya, “Kau terkejut anak muda.”

Paksi tidak menjawab. Tetapi ia bersiap menghadapi segala kemungkinan. Dengan sepasang gelang-gelang besi yang digenggamnya di kedua belah tangannya, maka Ki Sampar Angin tentu akan menjadi lebih berbahaya.


“Apakah kau belum pernah melihat jenis senjata seperti senjataku?”

Paksi mengerutkan dahinya. Namun asal saja ia menjawab, “Sudah.”

“O. Siapakah yang pernah mempergunakan senjata seperti senjataku ini?”

Paksi pun menjawab sekenanya, “Di lereng Gunung Merapi.”

“Di lereng Gunung Merapi? Saat terjadi perang brubuh itu?”

Seperti orang yang sedang mengigau Paksi menjawab, “Ya.”

“Kalau begitu, aku menjadi yakin sekarang. Kau tentu salah satu dari alat permainan Harya Wisaka.”

Paksi terkejut. Sambil memutar tongkatnya ia bertanya, “Kenapa kau mengambil kesimpulan seperti itu?”

Ki Sampar Angin tiba-tiba saja meloncat mengambil jarak. Katanya, “Kau tentu ada di pertempuran itu. Kau tentu berada di dalam pasukan Harya Wisaka.”

“Apakah kau juga ada di dalam pertempuran itu?”

“Tidak. Baru kemudian Wira Bangga memberitahukan kepadaku tentang pertempuran itu. Tentang keganasan Harya Wisaka dan para pengikutnya yang terdiri dari para prajurit dan bahkan prajurit sandi. Tetapi juga beberapa orang pertapa yang dapat dipengaruhinya serta beberapa perguruan yang dipimpin oleh orang-orang buta mata hatinya, karena mereka tidak dapat mengerti, siapakah Harya Wisaka itu.”

“Apakah hatimu tidak buta dan melihat dengan terang, siapakah yang berdiri di belakangmu? Ternyata kau juga tidak lebih dari barang permainan yang dimainkan oleh Wira Bangga sebagaimana pengakuanmu sendiri.”

“Tidak, anak muda. Hubunganku dengan Wira Bangga berbeda dengan hubungan Harya Wisaka dengan alat-alat permainannya.”

“Aku tidak peduli,” geram Paksi.

“Aku bukan pengikut Wira Bangga. Tetapi aku telah menempatkan diri dan bekerja untuknya, karena aku ingin melihatnya berhasil. Aku adalah kakak seperguruannya.”

“O,” Paksi menjadi berdebar-debar. Tetapi kesan itu tidak nampak pada sikapnya mau pun pada kata-katanya. Orang itu adalah saudara tua seperguruan Wira Bangga. Dengan demikian dapat diduga bahwa ilmunya agak lebih tinggi, setidak-tidaknya lebih matang dari ilmu yang dimiliki oleh Wira Bangga.

“Nah, kau sekarang tahu siapa aku sebenarnya. Karena itu, maka kau sama sekali tidak mempunyai harapan untuk dapat keluar dari tempat ini dengan selamat.”

Namun Paksi pun bertanya, “Apakah perguruanmu itu termasuk salah satu perguruan hitam?”

Orang itu tertawa lagi berkepanjangan. Namun ia pun kemudian bertanya, “Apakah yang kau maksud dengan perguruan hitam?”

“Kau tahu maksudnya,” geram Paksi.

“Baik. Mungkin aku harus menerjemahkan hitam itu dengan sifat-sifat yang buruk. Bekerja dengan iblis dan berniat untuk menghancurkan dunia ini.”

“Nah, kau akui keberadaanmu?”

“Aku tidak pernah memperdulikan, apakah kami termasuk golongan yang disebut hitam atau putih. Yang penting aku mempunyai ilmu yang tinggi, yang dapat aku pergunakan untuk menggapai keinginan-keinginan yang bergetar di dalam dadaku.”

“Jadi kau anggap sah untuk mempergunakan cara apa pun untuk mencapai tujuan?”

“Bersiaplah,” tiba-tiba saja Ki Sampar Angin menggeram.

Paksi tidak bertanya lagi. Ia pun segera bersiap untuk menghadapi segala kemungkinan.

Dengan gelang-gelang besi yang digenggam di kedua tangannya, Ki Sampar Angin pun menyerang Paksi dengan garangnya. Kedua tangannya terayun-ayun mengerikan. Dengan gelang-gelang besinya, Ki Sampar Angin berulang-ulang membentur tongkat Paksi yang menggelepar di tangannya. Namun Paksi pun semakin lama semakin merasakan, betapa besar tenaga orang yang bernama Ki Sampar Angin itu.

Bahkan semakin lama serangan-serangan Ki Sampar Angin menjadi semakin deras mengalir mendera pertahanan Paksi yang mulai goyah.

Paksi pun harus meningkatkan kemampuannya untuk mempertahankan diri dari serangan-serangan Ki Sampar Angin yang datang bagaikan angin prahara.

Dalam pada itu, Wijang pun harus bertempur melawan dua orang yang berilmu tinggi. Karena itu, maka Wijang pun harus berloncatan dengan cepat untuk menghindari serangan-serangan yang datang beruntun, susul-menyusul dari kedua orang yang berdiri seberang-menyeberang.

Dengan demikian, maka Wijang pun harus meningkatkan ilmunya pula. Ia harus mampu bergerak dengan kecepatan yang sangat tinggi untuk menghindari serangan lawan-lawannya.

Kedua orang lawan Wijang itu ternyata agak terkejut juga melihat kemampuan anak muda itu. Ternyata anak muda itu mampu bergerak dengan kecepatan yang sangat tinggi. Berloncatan dan bahkan kadang-kadang bagaikan terbang menghindar dari garis serangan kedua lawannya.

Wijang yang sebenarnya adalah Pangeran Benawa itu ternyata memang memiliki ilmu yang seakan-akan tidak terbatas. Meskipun ia harus menghadapi lawannya yang berilmu tinggi, namun ternyata bahwa Wijang tidak segera mengalami kesulitan. Dengan kemampuannya yang tinggi, kedua orang lawannya kadang-kadang telah terkejut karena unsur gerak Wijang yang tidak terduga-duga.

Meskipun demikian, Wijang masih mampu menyembunyikan ciri-ciri ilmunya yang sebenarnya agar kedua orang lawannya tidak dapat mengenalinya. Kadang-kadang Wijang bertempur dengan keras. Tidak ada bedanya dengan kekasaran kedua orang lawan-lawannya.

Namun kedua orang lawan Wijang itu pun mempunyai landasan ilmu yang tinggi serta pengalaman yang luas. Mereka tidak pernah merasa dihambat oleh perasaannya. Apalagi belas kasihan serta pertimbangan-pertimbangan kemanusiaan yang lain. Keduanya bertempur tanpa kendali, serangan-serangan mereka meluncur tanpa terkekang sama sekali.

Karena itulah, maka Wijang harus benar-benar berhati-hati.

Meskipun keduanya tidak segera dapat menguasainya, namun Wijang tidak boleh lengah barang sekejappun, karena yang sekejap itu akan dapat berarti akhir dari segala-galanya.

Sebenarnya Wijang tidak mencemaskan diri sendiri. Sekilas ia sempat melihat, apa yang terjadi dengan Paksi. Wijang melihat, bahwa Paksi sudah terjerat dalam kesulitan.

Wijang menyesal, bahwa ia telah memilih kedua orang itu sebagai lawannya. Semula ia menganggap kemampuan Ki Sampar Angin tentu tidak akan lebih tinggi dari kemampuan kedua orang yang bertempur berpasangan itu.

Namun yang terjadi adalah sebaliknya. Ki Sampar Angin adalah orang yang benar-benar berilmu tinggi. Bahkan Wijang pun merasa, bahwa seorang diri, ia akan mengalami kesulitan untuk melawan Ki Sampar Angin.

Karena itu, maka Wijang pun segera menghentakkan ilmunya. Sepasang pisau belatinya telah berada di dalam genggamannya.

Seperti banjir bandang ia melibat kedua orang lawannya.....

Kedua lawannya pun telah bersenjata pula. Seorang di antara mereka bersenjata kapak, sedang yang lainnya bersenjata golok yang besar.

Meskipun demikian, pisau belati di tangan Wijang itu pun menjadi sangat berbahaya. Dengan pelindung pergelangan tangannya, Wijang menangkis serangan-serangan kapak dan golok lawannya. Kemudian dengan pisau belatinya ia menyerang dengan cepat, seperti kuku burung sikatan yang menyambar mangsanya di rerumputan.

Wijang yang mengetahui kesulitan Paksi, dengan mengerahkan kemampuannya, berusaha untuk dengan cepat mengakhiri perlawanan kedua lawannya.

Tetapi ternyata Wijang tidak dapat melakukannya dengan cepat. Kedua lawannya tidak membiarkan lehernya dikoyak oleh pisau belati Wijang atau perut mereka dibelah dengan pisau belati yang tajam itu.

Karena itu, maka mereka pun memberikan perlawanan yang cukup berat bagi Wijang meskipun Wijang berhasil mendesak kedua lawannya itu.

Wijang menjadi semakin cemas ketika Paksi tidak lagi mampu memberikan perlawanan yang dapat membendung arus serangan lawannya. Gelang-gelang di kedua tangan Ki Sampar Angin membuat tongkat Paksi menjadi tidak berarti.

Dalam puncak ilmunya, Paksi berloncatan dengan cepatnya sehingga kadang-kadang hanya nampak seperti bayangan yang berterbangan di seputarnya. Namun Ki Sampar Angin tidak menjadi bingung. Bahkan kadang-kadang Ki Sampar Angin bahkan dapat mencegat tata gerak Paksi yang cepat itu.

Paksi yang telah menempa diri dengan laku yang berat, ternyata tidak mampu mengatasi kemampuan Ki Sampar Angin. Serangan-serangannya tidak mampu memecahkan pertahanan lawannya. Bahkan beberapa saat kemudian, serangan-serangan Ki Sampar Angin yang datang benar-benar merupakan angin prahara, yang telah menggulungnya, menghanyutkannya dalam putaran yang semakin cepat.

Paksi yang mampu bergerak dengan kecepatan yang sangat tinggi itu kemudian bagaikan selembar kapuk randu yang diombang-ambingkan oleh angin pusaran yang keras, yang kemudian menggulungnya dan siap melemparkannya ke udara dan membantingnya jatuh di tanah yang berbatu-batu.

Wijang menjadi sangat cemas. Terdengar Wijang berteriak nyaring, “Paksi, kau mampu meringankan tubuhmu. Kau tentu mampu memberatkan tubuhmu.”

Suara Wijang itu memang menggetarkan jantung Paksi. Dengan segenap kemampuan yang ada padanya, Paksi pun berusaha melawan angin pusaran yang sedang mempermainkannya.

Tetapi pengaruhnya tidak terlalu besar. Paksi masih saja terombang-ambing tanpa dapat berbuat banyak. Meskipun penalarannya masih tetap utuh, namun rasa-rasanya sangat sulit bagi Paksi untuk dapat keluar dari pusaran kekuatan ilmu Ki Sampar Angin.

Kecemasan semakin mencekam jantung Wijang. Ia semakin mengerahkan kemampuannya untuk menyelesaikan kedua lawannya. Tetapi kedua lawannya juga berilmu tinggi. Keduanya mampu memberikan perlawanan yang menyulitkan bagi Wijang. Meskipun Wijang selalu mendesak mereka, namun Wijang masih belum berhasil memberikan pukulan terakhir.

Dalam keadaan yang rumit itu, Wijang tidak lagi memikirkan akibatnya, ketika Wijang harus mengerahkan kemampuan puncaknya, tiba-tiba saja Wijang justru telah menyelipkan kedua pisau belatinya di sarungnya. Dengan serta-merta Wijang itu telah menelakupkan kedua telapak tangannya.

Pada kedua telapak tangan Wijang yang menelakup itu, telah mengepul asap yang berwarna kehijauan.

Ki Sampar Angin yang melihatnya terkejut. Apalagi ketika ia melihat Wijang itu kemudian mengangkat tangan kanannya di atas kepalanya.

“Lebur Seketi,” Ki Sampar Angin memperingatkan kedua orang kawannya.

Kedua orang lawan Wijang itu terkejut pula. Hanya ada beberapa orang yang mampu memiliki kemampuan menguasai ilmu yang menggetarkan jantung itu. Apalagi lawan mereka itu masih muda. Memang sulit dipercaya. Namun ciri-ciri dari ilmu itu sudah nampak diungkapkan oleh anak muda itu.

Dengan demikian, maka jantung kedua orang lawan Wijang itu serasa berdentang semakin cepat. Dengan serta-merta mereka berloncatan menebar.

Namun Wijang bergerak terlalu cepat. Dengan tangkasnya ia meloncat menyerang seorang di antara kedua lawannya.

Orang itu tidak lagi mampu mengelakkan dirinya. Karena itu, dengan mengerahkan segenap ilmunya, maka orang itu terpaksa menangkis serangan Wijang.

Dengan demikian, maka dua kekuatan ilmu yang tinggi telah berbenturan. Wijang memang tergetar selangkah surut. Namun lawannya telah terlempar beberapa langkah. Terbanting jatuh dan berguling beberapa kali. Namun kemudian orang itu sama sekali tidak bergerak lagi.

Pada saat yang bersamaan, seorang lawannya yang lain telah meloncat mengayunkan tangannya ke arah tengkuk Wijang.


Wijang yang masih terguncang itu tidak dapat membentur serangan itu. Ia tidak sempat mempersiapkan diri dengan sebaik-baiknya, sehingga jika ia memaksakan sebuah benturan terjadi, maka keadaan Wijanglah yang akan menjadi sangat sulit.

Dalam keadaan yang demikian, Wijang masih berusaha menghindar. Ia pun menjatuhkan dirinya di saat tangan lawannya itu menyambarnya.

Wijang masih berhasil menghindar dari ilmu lawannya. Namun ketika kemudian ia meloncat bangkit, maka akibat benturan yang terjadi sebelumnya, terasa mempengaruhi pernafasannya.

Tetapi Wijang tidak sempat berpikir terlalu jauh. Ia pun segera mempersiapkan diri untuk menghancurkan lawannya yang seorang lagi sebelum ia dapat membantu Paksi yang mengalami kesulitan yang semakin parah. Paksi sudah mulai kehilangan kemampuan perlawanannya. Tongkatnya memang masih berada di tangannya, tetapi tubuhnya berada diombang-ambingkan oleh pusaran angin yang tidak mampu dilawannya.

Dalam pada itu, Ki Sampar Angin itu pun berteriak, “Berhati-hatilah. Kau berhadapan langsung dengan Pangeran Benawa. Bertahanlah. Anak itu sudah tidak berdaya. Dalam sekejap aku dapat membunuhnya.”

Pangeran Benawa serta Paksi yang sudah tidak berdaya itu terkejut. Ternyata Ki Sampar Angin mampu mengenali Pangeran Benawa dari ungkapan ilmu yang memang sudah jarang dikuasai oleh orang-orang berilmu tinggi.

“Anak semuda itu yang mampu menguasai ilmu itu hanyalah beberapa orang saja. Antara lain Pangeran Benawa dan Mas Ngabehi Loring Pasar. Tetapi Mas Ngabehi itu sekarang berada di istana.”

Namun Wijang sempat berteriak, “Ada lebih dari seribu orang yang mampu melakukan sebagaimana aku lakukan sekarang. Kalianlah yang ternyata sangat picik, sehingga tidak mengetahui isi dari dunia oleh kanuragan yang sebenarnya.”

Ki Sampar Angin pun menyahut, “Siapa pun kau, tetapi kau tidak akan mampu menolong kawanmu. Beruntunglah aku, bahwa aku dapat langsung bertemu dengan Pangeran Benawa.”

Wijang menggeram. Tetapi ia tidak boleh terbenam dalam pembicaraan itu. Paksi sudah semakin tidak berdaya meskipun ia mengerahkan segenap ilmunya.

Ternyata Wijang yang dadanya telah terguncang oleh benturan ilmu dengan salah seorang lawannya, tidak segera mampu mengalahkan lawannya yang seorang lagi. Wijang pun harus berpikir ulang, apakah ia masih dapat membenturkan ilmunya sekali lagi tanpa menghancurkan dadanya yang sudah melemah. Sementara itu, lawannya juga merasa ragu untuk berbenturan ilmu. Meskipun lawannya itu mengetahui bahwa anak muda itu sudah tidak lagi berada pada puncak kemampuannya. Tetapi Lebur Seketi adalah ilmu yang sangat menggetarkan. Seorang kawannya telah terkapar jatuh dan tidak mampu bangkit kembali untuk selamanya.

Sementara itu, keadaan Paksi ternyata menjadi semakin memburuk. Dalam pusaran angin, Paksi hanya mampu meronta. Menggeliat dan mencoba bertahan. Tetapi ia sama sekali sudah tidak mampu untuk menyerang lawannya.

Wijang yang semakin gelisah itu tidak dapat sekedar menunggu, berpikir dan apalagi ragu-ragu. Karena itu, maka Wijang pun akhirnya memutuskan untuk mengetrapkan ilmunya Lebur Seketi, apa pun bakal jadinya. Jika ia masih dapat mengalahkan lawannya, maka ia akan dapat membantu Paksi. Jika tidak, biarlah ia pun hancur dalam pertempuran itu.

Karena itu, maka sekali lagi Wijang menelakupkan tangannya.

Dalam kegelapan malam, beberapa pasang mata yang tajam itu melihat asap yang berwarna kehijauan mengepul dari sela-sela telapak tangannya. Kemudian Wijang pun dengan cepat mengangkat tangannya dan meloncat menyerang lawannya.

Lawannya tidak mempunyai pilihan lain. Demikian cepatnya semuanya itu terjadi. Karena itu, lawannya itu pun telah mengerahkan semua kemampuannya pula. Menyilangkan tangannya di depan wajahnya.

Sekali lagi telah terjadi benturan yang keras. Ilmu yang jarang ada duanya itu telah membentur pertahanan lawannya.

Akibatnya memang sangat mendebarkan. Ternyata Wijang tidak hanya terdorong selangkah surut. Tetapi ia pun kemudian terhuyung-huyung dan jatuh terduduk. Nafasnya menjadi semakin sesak, sementara jantungnya terasa bagaikan terbakar.

Ketika kemudian Wijang berusaha untuk bangkit, maka keseimbangannya masih belum pulih kembali. Sendi-sendinya terasa semakin tidak berdaya.

Wijang memandang lawannya yang terlempar dan jatuh terguling. Benturan itu telah membuat bagian dalamnya terluka parah. Kekuatan Aji Lebur Seketi benar-benar tidak dapat ditandinginya meskipun lawannya sudah tidak berada di puncak kemampuannya.

Orang itu masih mampu menggeliat. Bahkan mengerang kesakitan. Namun kemudian suaranya yang lemah itu pun telah terputus sama sekali.

Namun Wijang pun sudah terlalu lemah pula. Meskipun demikian, ia tidak dapat membiarkan Paksi mengalami bencana. Karena itu, tertatih-tatih Wijang pun melangkah mendekati pusaran angin yang sedang mempermainkan Paksi yang sudah menjadi semakin lemah.

Ketika Ki Sampar Angin melihat kedua lawannya sudah tidak mampu melakukan perlawanan dan bahkan mungkin sudah terbunuh, ia pun menggeram marah. Apalagi ketika ia melihat Wijang tertatih-tatih mendatanginya.

“Kau sudah tidak berdaya, Pangeran,” berkata Ki Sampar Angin. “Tenagamu sudah terkuras habis. Kau tidak akan mampu berbuat apa-apa lagi. Bahkan lari pun kau tidak mungkin melakukannya. Tetapi kematian kedua orang kawanku itu harus kau tebus. Kawanmu ini pun harus mati.”

Ki Sampar Angin tidak menunggu lebih lama lagi. Ia pun kemudian telah menghentakkan ilmunya, sehingga pusaran angin itu menjadi semakin cepat.

“Tunggu,” teriak Wijang. “Apa yang kau kehendaki dariku. Bebaskan kawanku, aku akan memenuhi apa yang kau inginkan.”

“Cincin itu,” teriak Ki Sampar Angin.

“Baik. Aku akan memberikan cincin itu.”

“Apakah cincin itu benar ada padamu?”

“Ya,” jawab Wijang.

“Jika demikian, aku akan membunuh kawanmu, kemudian membunuhmu, aku akan mendapatkan cincin itu.”

“Kau curang. Kau harus melepaskan kawanku itu.”

Tetapi Ki Sampar Angin justru tertawa berkepanjangan. Dihentakkannya ilmunya bukan saja semakin tinggi, tetapi justru sampai ke puncak.

Paksi sudah tidak berdaya lagi. Pusaran itu menghisapnya, melemparkannya ke udara. Kemudian melepaskannya, sehingga Paksi itu pun meluncur dengan derasnya jatuh di sungai yang berbatu-batu.

Tetapi yang tidak terduga itu telah terjadi. Demikian tubuh itu hampir menghantam sebongkah batu yang besar, maka sesosok tubuh telah meloncat menyambarnya. Dengan kekuatan dan kemampuan melampaui kewajaran, orang itu menangkap tubuh Paksi, kemudian meletakkannya di atas batu besar itu. Sementara sosok tubuh itu berdiri tegak di sebelahnya dengan kaki renggang.

Paksi sendiri kemudian berusaha untuk bangkit dan duduk di sebelah orang itu. Sementara Wijang berdiri termangu-mangu. Jantungnya yang rasa-rasanya berhenti berdenyut itu, terasa mulai dialiri darahnya kembali.

Ki Sampar Angin terkejut bukan kepalang. Sosok tubuh itu tiba-tiba saja telah ada disitu tanpa diketahui, kapan ia datang.

Paksi yang kemudian turun dari batu besar itu berusaha untuk mengenali orang yang telah menolongnya.

Dengan nada tinggi Paksi yang lemah itu berdesis, “Ki Marta Brewok.”

Orang itu tertawa. Katanya, “Benar, Paksi. Aku datang tepat pada waktunya. Seandainya tubuhmu jatuh menimpa batu ini, maka dapat dibayangkan, apa yang terjadi atas dirimu.”

Wijang yang melangkah tertatih-tatih mendekat itu pun berdesis pula, “Untunglah Ki Marta Brewok berada disini di saat yang sangat gawat ini. Pada saat kami berdua sudah tidak berdaya untuk mengadakan perlawanan.”

“Kalian berdua memang bukan lawan orang ini,” desis Ki Marta Brewok. “Ki Sampar Angin adalah orang yang sangat sakti. Ilmunyalah yang sebenarnya bernama Sampar Angin. Tetapi nama ilmunya itulah yang kemudian dipakainya untuk namanya.”

“Persetan. Siapakah kau yang telah berani mencampuri persoalanku dengan anak-anak muda ini.”

Ki Marta Brewok itu tertawa. Katanya, “Ternyata kebesaran namamu tidak seimbang dengan kebesaran jiwamu. Kau hanya berani bermain-main dengan anak-anak. Sudah tentu kau dapat memenangkan pertempuran melawan mereka. Itu pun sama sekali tidak adil, kau bertiga, sedang anak-anak itu hanya berdua.”

“Aku memerlukan mereka. Dan kau tidak berhak ikut campur.”

“Setiap orang Pajang berhak ikut campur, karena kau akan merampas cincin kerajaan Pajang. Setiap orang Pajang wajib mengamankan cincin itu.”

“Kau sendiri tentu menghendaki cincin itu.”

“Tidak. Jika aku menginginkannya, tentu sudah aku lakukan. Aku mengenal mereka sejak lama. Aku pernah tinggal bersama mereka. Aku tahu bahwa cincin itu ada pada Pangeran Benawa sejak ia meninggalkan istana.”

Ki Sampar Angin memandang orang itu dengan tajamnya. Sementara itu Ki Marta Brewok itu pun kemudian telah meloncat turun dan melangkah mendekat.

“Apa pun yang kau katakan,” berkata Ki Sampar Angin, “aku menginginkan cincin itu, maka kaulah yang akan mati lebih dahulu.”

“Aku sudah tahu kedahsyatan ilmumu, Ki Sampar Angin. Tetapi itu tidak menggetarkan perasaanku. Aku sudah bertekad untuk membantu menyelamatkan cincin itu. Karena itu maka cincin itu harus tetap berada di tangan Pangeran Benawa.”

Sorot mata Ki Sampar Angin bagaikan menyala. Ia memang tidak menghiraukan lagi kedua orang anak muda yang sudah tidak berdaya itu. Meskipun Pangeran Benawa berilmu tinggi, tetapi benturan ilmu yang terjadi dua kali berturut-turut itu membuatnya menjadi sangat lemah.

Karena itu, maka yang akan dihadapinya hanyalah orang yang disebut Marta Brewok itu. Meskipun Ki Sampar Angin sadar, bahwa lawannya itu berilmu sangat tinggi, tetapi Ki Sampar Angin meyakini, bahwa orang itu tidak akan mampu mengalahkan ilmunya. Angin pusaran itu akan segera membelitnya, menghisap dan melemparkannya ke udara. Kemudian membantingnya di atas bebatuan.

Ki Mana Brewok pun telah mempersiapkan diri menghadapi segala kemungkinan. Ia bergeser selangkah mendekat. Ki Sampar Angin itu pun telah bersiap pula untuk bertempur. Di tangannya justru tidak lagi tergenggam lingkaran-lingkaran besinya.

Tetapi dengan kedua tangannya yang kosong, Ki Sampar Angin tidak kalah berbahayanya. Apalagi ia sudah mengetrapkan ilmunya yang menggetarkan itu.

Sejenak kemudian, maka keduanya telah terlibat dalam pertempuran. Keduanya langsung berada pada tataran ilmu yang tinggi. Ayunan tangan mereka menimbulkan sambaran angin yang deras, tajam dan panas.

Tetapi daya tahan Ki Marta Brewok cukup tinggi. Karena itu, maka sentuhan udara yang tajam dan panas itu sama sekali tidak mempengaruhi perlawanannya.

Dalam pada itu, Ki Sampar Angin pun tidak ingin bertempur berlama-lama. Ia sadar bahwa lawannya yang berilmu itu sudah melihat tataran ilmunya, bahkan sampai ke puncak. Karena itu, maka Ki Sampar Angin pun segera mengetrapkan ilmunya.

Serangan-serangannya pun kemudian telah melibat lawannya bagaikan libatan angin prahara. Semakin lama semakin cepat berputar seperti angin pusaran.

Tetapi Ki Marta Brewok bukannya Paksi. Karena itu, maka angin pusaran itu tidak mampu menghanyutkannya, mengombang-ambingkannya dan apalagi melemparkannya ke udara.

Serangan Ki Sampar Angin itu menjadi semakin cepat dan semakin kuat. Sambil berputar mengitari Ki Marta Brewok, Ki Sampar Angin menyerang dengan garangnya.

Namun putaran itu semakin lama menjadi semakin cepat, secepat angin pusaran. Bahkan ketika Ki Sampar Angin sendiri bergerak semakin lamban, pusaran angin itu tetap melibatnya, justru semakin cepat.

Tetapi tubuh Ki Marta Brewok pun semakin lama menjadi semakin berat, sehingga akhirnya menjadi seberat timah. Angin pusaran yang menjadi semakin kencang itu sama sekali tidak mampu mengguncangnya. Bahkan bergeser pun tidak.

Ki Sampar Angin berdiri tegak sambil mengangkat kedua tangannya menengadah. Sementara itu, angin pusarannya menjadi semakin kuat berusaha mengangkat dan menghisap tubuh Ki Marta Brewok. Tetapi Ki Marta Brewok sama sekali tidak bergetar.

Sambil menyilangkan tangannya di dadanya, Ki Marta Brewok berdiri di tengah-tengah angin pusaran yang kuat itu, yang mengangkat debu, dedaunan, tanah, pasir dan bahkan potong-potongan dahan yang patah. Ketika Ki Sampar Angin sampai ke puncak ilmunya, pepohonan yang tumbuh di pinggir sungai itu pun telah tercabut sampai ke akarnya. Bukan hanya pohon-pohon perdu, tetapi pepohonan yang lebih besar.

Meskipun demikian, Ki Marta Brewok masih tetap berdiri di tengah-tengah angin pusaran itu. Di dalam gelap malam, Ki Marta Brewok menjadi semakin tidak nampak lagi, karena pusaran angin yang mengangkat segala macam benda yang ada di sekitarnya.

Dalam pada itu, Wijang telah membimbing Paksi untuk menjauhi arena. Hanya dengan lambaran Aji Sapta Pandulu, mereka dapat melihat Ki Marta Brewok yang berdiri di tengah-tengah libatan ilmu Sampar Angin itu. Semakin lama Ki Marta Brewok semakin merendah pada lututnya. Dengan ilmunya Ki Marta Brewok itu telah membuat dirinya semakin berat pula.

Dua kekuatan sedang beradu. Ki Sampar Angin berusaha untuk menghisap dan mengangkat lawannya, melemparkannya ke udara sehingga tubuh itu akan jatuh terbanting di atas bebatuan.

Tetapi Ki Marta Brewok ingin bertahan. Seakan-akan Ki Marta Brewok itu berusaha untuk menghunjamkan kakinya jauh-jauh ke perut bumi, sehingga angin pusaran Ki Sampar Angin tidak mampu mengangkatnya lagi.

Untuk beberapa lama mereka beradu ilmu. Meskipun tidak jelas, tetapi dengan Aji Sapta Pandulu, Wijang dan Paksi melihat, bahwa kedua orang itu benar-benar sedang mengerahkan ilmu masing-masing.

Jantung Wijang dan Paksi rasa-rasanya berdentang semakin keras dan semakin cepat. Mereka tidak dapat menduga, apa yang akan terjadi. Nampaknya kedua orang berilmu sangat tinggi itu benar-benar tengah mempertaruhkan hidup mereka dalam pertempuran yang habis-habisan itu.

Dalam pada itu, selagi Wijang dan Paksi dicengkam oleh ketegangan, maka tiba-tiba saja mereka terkejut. Ki Marta Brewok yang ada di dalam pusaran angin yang semakin keras dan kuat itu, yang telah mencabut beberapa batang pohon dan melontarkannya ke udara, seakan-akan telah meledak. Percikan-percikan api memancar dari tubuhnya. Bahkan kemudian semburan asap yang putih kebiru-biruan menderu dan menghembus dengan kuatnya angin pusaran di sekitarnya.

Angin pusaran itu pun kemudian telah pecah. Segala macam benda yang sedang diterbangkan itu pun berhamburan. Juga beberapa buah gerumbul perdu, semak-semak dan bahkan pohon yang tercabut dengan akar-akarnya.

Terdengar Ki Sampar Angin itu berteriak keras-keras. Suaranya melengking tinggi. Namun kemudian suara itu pun semakin menurun, sementara itu tubuh Ki Sampar Angin menjadi bergetar. Akhirnya tubuh itu pun tidak lagi berdaya untuk tetap tegak berdiri mempertahankan keseimbangannya.

Demikian tubuh itu jatuh berguling, maka segala sesuatunya pun menjadi reda. Tidak ada lagi suara gemuruh angin pusaran. Tidak ada lagi hembusan asap yang menyembur dari tubuh Ki Marta Brewok bersama pancaran api. Udara di atas sungai itu pun menjadi bersih kembali.

Namun dalam pada itu, Ki Marta Brewok berjalan tertatih-tatih mendekati tubuh Ki Sampar Angin.

“Ki Marta Brewok,” desis Wijang dengan cemas. Sambil menggandeng Paksi, Wijang yang dirinya sendiri juga masih terlalu lemah, melangkah mendekati Ki Marta Brewok.

“Bagaimana keadaan Ki Marta Brewok?” bertanya Wijang dengan cemas.

Ki Marta Brewok mencoba untuk tersenyum. Katanya, “Aku tidak apa-apa, Pangeran. Duduklah. Aku ingin melihat orang ini sejenak.”

Wijang berdiri termangu-mangu. Paksi lah yang kemudian duduk di atas sebongkah batu, sementara Ki Marta Brewok bergeser mendekati tubuh Ki Sampar Angin.

Ki Marta Brewok pun kemudian berjongkok di sebelah Ki Sampar Angin. Ketika Ki Marta Brewok meletakkan tangannya di leher Ki Sampar Angin, maka ia pun menarik nafas dalam-dalam.

“Bagaimana, Ki Marta?” bertanya Wijang.

“Ki Sampar Angin telah meninggal.”

Wijang dan Paksi menarik nafas dalam-dalam. Tiga orang telah terbunuh di tempat ini.

Sejenak kemudian, maka mereka bertiga pun telah duduk di atas bebatuan. Dengan nada dalam Ki Marta Brewok pun berkata, “Apa yang akan kita lakukan terhadap ketiga sosok mayat itu?”

“Bagaimana kita dapat menguburkannya?” desis Wijang.

Ki Marta Brewok pun kemudian berkata, “Satu-satunya kemungkinan adalah menguburkan mereka di tepian. Yang dapat kita gali dengan tangan kita adalah pasir tepian.”

“Apakah binatang buas yang berkeliaran di padang perdu itu tidak akan mencium baunya dan menggalinya.”

“Di atasnya kita timbun dengan bebatuan yang cukup kuat.”

“Marilah,” berkata Wijang. Namun ketika kemudian ia bangkit berdiri, nampak sekali bahwa tenaganya seakan-akan telah terkuras habis.

Ki Marta Brewok yang melihat keadaannya itu pun berkata, “Kita tidak tergesa-gesa, Pangeran. Sekarang kita dapat beristirahat. Tenagaku pun rasa-rasanya telah terhisap habis. Aku harus mengerahkan segenap tenaga dan kemampuanku untuk melawan Aji Sampar Angin itu.”

“Baiklah, kita akan beristirahat dahulu,” desis Wijang.

Namun yang kemudian bertanya adalah Paksi, “Tetapi kenapa tiba-tiba Ki Marta sudah berada di tempat ini?”

“Aku sudah lama berada disini. Aku mendengarkan segala pembicaraan kalian dengan Ki Sampar Angin.”

“Apakah yang menuntun Ki Marta Brewok sampai ke tempat ini?”

Ki Marta Brewok menarik nafas panjang. Namun kemudian ia pun berkata, “Antara lain adalah Ki Sampar Angin itu. Ketika aku melihatnya, maka tiba-tiba saja timbul keinginanku untuk mengikutinya. Aku tahu, bahwa kehadiran orang itu sangat berbahaya bagi orang lain. Apalagi di daerah ini. Daerah perburuan cincin bermata tiga itu. Karena itu, aku langsung menduga bahwa Ki Sampar Angin juga sedang berburu cincin itu.”

“Ki Marta Brewok mengikutinya?”

Ki Marta Brewok nampak ragu. Tetapi kemudian ia pun mengangguk, “Ya. Aku pun mengikutinya.”

Wijang mengangguk-angguk. Namun terasa bahwa ada sesuatu yang disembunyikan. Paksi pun merasakan hal itu pula. Karena itu, ia pun kemudian bertanya, “Apakah ada hal lain yang membawa Ki Marta Brewok sampai ke tempat ini?”

Ki Marta Brewok terdiam sesaat. Namun kemudian ia pun menjawab agak tersendat, “Tidak. Tidak ada hal lain yang membawaku kemari. Mungkin juga ada unsur kebetulan saja.”

Paksi lah yang kemudian bertanya, “Apakah Ki Marta Brewok melihat apa yang terjadi di belakang rumpun bambu siang tadi?”

Ki Marta Brewok tersenyum. Katanya, “Ketika kau bunuh orang yang telah membunuh Derpa?”

Paksi menarik nafas panjang. Agaknya Ki Marta Brewok menyaksikan pula apa yang telah terjadi itu. Bahkan Ki Marta Brewok pun mengetahui bahwa salah seorang yang terbunuh itu bernama Derpa.

“Ia tentu mendengar pembicaraan kami,” berkata Paksi di dalam hatinya.

Namun Wijanglah yang kemudian bertanya, “Ki Marta, apakah Ki Sampar Angin juga berada di belakang rumpun bambu itu ketika terjadi pertempuran?”

“Ya,” Ki Marta Brewok mengangguk.

Tetapi kedua anak muda itu tidak bertanya lebih banyak lagi. Ketika terasa angin semilir, maka tubuh mereka pun menjadi semakin segar.

Tetapi mereka masih mempunyai pekerjaan yang harus mereka selesaikan sebelum fajar. Mengubur ketiga orang yang telah terbunuh.

Ketika matahari kemudian terbit, maka ketiga orang itu pun sudah berbenah diri. Mereka sudah siap meninggalkan tempat itu untuk melanjutkan perjalanan ke selatan.

Meskipun udara pagi segar telah menyegarkan ketiga orang yang sedang menyusuri jalan panjang itu, namun mereka masih nampak letih. Pertempuran yang terjadi semalam, benar-benar telah menguras tenaga mereka. Bahkan kadang-kadang masih terasa sentuhan-sentuhan rasa sakit di dada mereka. Benturan ilmu yang keras serta pengerahan segenap kemampuan, benar-benar telah membuat mereka letih.

Di sepanjang perjalanan, Paksi masih saja berbicara tentang Derpa dan kawannya serta orang yang telah membunuhnya. Paksi masih saja bertanya-tanya, apakah benar ayahnya menghendaki agar Paksi tidak pulang, kecuali membawa cincin yang harus dicarinya.

“Tentu tidak, Paksi,” berkata Ki Marta Brewok, “bahkan mungkin benar dugaan Ki Sampar Angin, bahwa orang itu adalah alat permainan Harya Wisaka. Meskipun kau belum mengenalnya, tetapi orang itu tentu agaknya sudah mengenalmu. Tetapi mungkin juga justru Derpalah yang memberitahukan kepadanya, bahwa kaulah Paksi yang dicarinya.”

“Tetapi aku sama sekali tidak bersangkut paut dengan Harya Wisaka, Ki Marta.”

“Tetapi Harya Wisaka atau orang-orangnya mengetahui bahwa kau juga sedang mencari cincin itu.”

“Ki Marta,” berkata Wijang kemudian, “menurut Ki Sampar Angin, ia adalah saudara tua seperguruan Ki Wira Bangga.”

“Ya. Aku juga mendengarnya. Tetapi pada saat seperti ini serta keadaan yang rumit, kita tidak dapat memegang setiap pengakuan seseorang. Bukankah kalian juga pernah mengaku sebagai pengikut Harya Wisaka atau mengaku sebagai orang Goa Lampin atau pengikut siapa pun yang kau sebut saja namanya tanpa ada orangnya.”

Wijang dan Paksi terkejut. Dengan serta-merta Wijang bertanya, “Apakah Ki Marta Brewok melihat bagaimana kami mengaku sebagai pengikut Harya Wisaka atau mengaku orang dari Goa Lampin atau pengakuan-pengakuan yang lain?”

“Mungkin. Maksudku mungkin kalian juga pernah mengaku-aku sehingga orang lain pun dapat juga mengaku dan menyebut pemimpin dari perguruan-perguruan yang memang sedang berburu itu.”

Tetapi Wijang dan Paksi memandang Ki Marta Brewok dengan sorot mata yang aneh. Bahkan Paksi pun berhenti melangkah, sehingga Wijang dan Marta Brewok pun berhenti pula.

“Kenapa?” bertanya Ki Marta Brewok.

Paksi menarik nafas. Namun kemudian sambil menggeleng ia pun melangkah pula.

Sementara itu matahari menjadi semakin tinggi. Sinarnya terasa mulai menggatalkan kulit. Namun masih terdengar di pepohonan burung-burung liar berkicau dengan riangnya. Burung-burung itu kemudian berterbangan dari satu pohon ke pohon yang lain. Jika sekelompok burung terbang menjauh, maka kelompok yang lain pun berdatangan. Lagu yang mereka perdengarkan pun menjadi berbeda dengan kelompok sebelumnya. Tetapi nadanya tetap gembira mensyukuri kebebasan mereka.

“Kalian sekarang akan pergi ke mana?” bertanya Ki Marta Brewok.

“Bukankah kami tidak pernah mempunyai tujuan yang pasti,” sahut Wijang.

“Ya, aku tahu. Tetapi kali ini kalian berjalan kemana?”

“Kami ingin pergi ke Alas Mentaok. Sekedar melihat-lihat, apakah isi hutan itu.”

Ki Marta Brewok mengangguk-angguk. Namun kemudian sambil menunjuk hutan yang tidak terlalu jauh dari jalan itu, Ki Marta Brewok itu pun berkata, “Alas Mentaok adalah hutan yang lebat dan luas. Jauh lebih besar dan lebih gawat dari hutan yang nampak itu. Meskipun hutan itu termasuk hutan yang lebat, tetapi Alas Mentaok adalah hutan yang paling gawat.”

“Jadi tanah itukah yang diberikan ayahanda kepada Paman Pemanahan.”

“Ya.”

“Kenapa jauh berbeda dengan Pati yang sudah menjadi semakin ramai.”

Ki Marta Brewok menggelengkan kepalanya. Katanya, “Entahlah. Seharusnya aku bertanya kepada Pangeran. Barangkali Pangeran pernah mendengar perbincangan mengenai hal itu.”

“Jika aku mendengarnya, Ki Marta, tentu tidak terperinci.”

Ki Marta Brewok mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya, “Aku mengerti, Pangeran. Tetapi mungkin pandangan jauh ke depan Kangjeng Sultan sajalah yang tidak dapat kita tangkap sekarang.”

Wijang tidak menjawab. Dilayangkannya pandangan matanya menyusuri bibir hutan yang membujur panjang tidak terlalu jauh dari jalan yang dilaluinya. Sementara itu kotak-kotak sawah pun membentang luas pula. Seperti biasanya, padang perdu telah menjadi batas antara tanah persawahan dan hutan belukar itu.

Meskipun demikian, para petani tidak pernah takut menggarap sawah mereka. Jarang sekali terjadi binatang buas keluar dari hutan untuk mencari mangsa. Di dalam hutan itu seakan-akan telah disediakan makanan yang cukup bagi binatang-binatang buas itu.

Tetapi memang pernah terjadi seekor harimau yang sudah tua, yang tidak lagi mampu mengejar kijang yang berlari seperti angin, muncul di padukuhan untuk mencuri seekor kambing.

Namun ketuaannya itu pulalah yang telah membuatnya tidak mampu melarikan diri dari kemarahan penduduk padukuhan itu.

Ketika harimau itu terjebak oleh seekor kambing yang sengaja diumpankan di sudut padukuhan, maka orang-orang padukuhan yang memang sudah mengintainya, beramai-ramai menyerang harimau itu, sehingga akhirnya harimau tua itu pun terbunuh.

Beberapa saat kemudian, mereka pun telah memasuki sebuah padukuhan yang dikelilingi oleh tanah persawahan yang luas dan subur. Padukuhan itu pun nampaknya juga merupakan padukuhan yang subur. Pohon buah-buahan yang tumbuh di padukuhan itu dapat berbuah lebat. Pohon nangka yang buahnya menempel bukan saja di dahan-dahannya, tetapi juga di batangnya dari atas sampai menyentuh tanah. Pohon nyiur yang buahnya bergayutan di antara pelepahnya. Sementara itu, tanaman-tanaman yang lain pun nampak hijau segar pula. Ketela pohon, empon-empon dan beberapa jenis sayuran. Bahkan ada yang menanam jagung dan ketela rambat. Batang sirih yang merambat di pohon kelor daunnya nampak sangat rimbun. Sulurnya dan pupusnya yang berwarna hijau muda menjalar mencari pegangan.

Tetapi ketiga orang yang berjalan di padukuhan itu menjadi heran. Padukuhan yang subur itu nampak sepi. Pintu-pintu rumah tertutup rapat. Sedangkan pintu-pintu regol meskipun ada yang terbuka, tetapi sebagian besar juga tertutup atau hanya sedikit saja terbuka.

“Ada apa di padukuhan ini?” bertanya Wijang.

“Padukuhan ini nampak begitu sepi. Tidak ada anak-anak bermain di halaman. Tidak ada perempuan yang sedang menidurkan anaknya di serambi. Tidak pula ada laki-laki yang memanggul cangkul pergi ke sawah atau perempuan yang menggendong bakul dari pasar.”

Ki Marta Brewok mengangguk-angguk. Namun ia pun berdesis, “Tetapi terasa ada berpasang-pasang mata mengamati kita sekarang ini.”

“Dari balik pintu rumah?”

“Ya,” jawab Ki Marta Brewok.

“Apa yang menarik?” bertanya Paksi.

“Maksudku, kelengangan ini menarik untuk diketahui apa sebabnya.”

“Ya. Tetapi agaknya sulit untuk mendapatkan keterangan tentang padukuhan ini karena tidak orang yang berada di luar rumahnya,” gumam Paksi.

“Marilah, kita melihat banjar padukuhan ini,” berkata Ki Marta Brewok.

“Dimana letak banjar padukuhan?”

“Biasanya di pinggir jalan induk seperti ini. Tetapi jika tidak ada banjar di pinggir jalan ini, kita akan mengelilingi padukuhan. Kita tentu akan menemukan banjar padukuhan ini atau bahkan rumah Ki Bekel tanpa bertanya kepada siapa pun juga.”

Wijang dan Paksi hanya mengangguk-angguk saja. Sementara itu, kaki mereka pun melangkah terus menyusuri jalan padukuhan.

Namun seperti yang mereka duga, maka mereka pun sampai di sebuah regol bangunan yang mereka duga sebagai banjar padukuhan.

“Marilah, kita akan masuk ke dalam. Tentu ada petugas penunggu banjar ini,” ajak Ki Marta Brewok.

Ketiganya pun kemudian telah memasuki regol halaman yang diduganya sebagai banjar itu. Sejenak mereka bertiga mengamati pendapa yang cukup luas, tetapi nampak sejuk. Sepasang pohon sawo kecik tumbuh di halaman. Sedangkan beberapa batang pohon mlinjo tumbuh di dekat dinding samping halaman. Buahnya yang sudah memerah bergayutan di dahan-dahannya.

“Nampaknya banjar ini sepi,” desis Paksi.

“Halamannya nampak bersih. Tentu ada orang yang menyapunya pagi tadi. Mereka tentu penunggu banjar ini.”

“Apakah Ki Marta Brewok yakin bahwa bangunan ini banjar padukuhan,” bertanya Paksi.

“Ya. Jika bukan banjar, lalu apa? Bukankah bangunan ini bukan tempat tinggal?”

Paksi mengangguk-angguk.

“Marilah, kita cari penunggu banjar ini. Mungkin ia berada di belakang.”

“Atau sudah tidak ada di banjar ini. Demikian ia selesai membersihkan halaman, orang itu pun segera pergi meninggalkan banjar ini.”

Ki Marta Brewok tidak menyahut. Namun ia pun kemudian melangkah ke halaman samping.

Bangunan itu memang sepi. Tetapi Ki Marta Brewok tidak segera mengajak kedua orang anak muda itu pergi. Ki Marta Brewok bahkan telah pergi ke bagian belakang banjar itu. Wijang dan Paksi mengikutinya saja di belakangnya.

Sebuah bangunan kecil terdapat di belakang banjar itu. Ki Marta Brewok yakin, bahwa bangunan itu adalah tempat tinggal penunggu banjar itu.

Karena itu, maka Ki Marta Brewok pun telah mengetuk pintu rumah kecil di belakang banjar itu.

Beberapa kali Ki Marta Brewok mengetuk pintu itu. Tetapi tak ada seorang pun menyahut.

Namun Ki Marta Brewok itu pun kemudian berbisik kepada Wijang dan Paksi, “Ada orang di dalam.”

Wijang dan Paksi pun mengangguk-angguk. Dengan mempertajam pendengaran mereka, maka mereka pun juga mengetahui bahwa di dalam rumah itu bersembunyi tidak hanya seorang.

“Ki Sanak,” berkata Ki Marta Brewok, “kami ingin minta pertolongan. Apakah Ki Sanak tidak bersedia menolong kami. Kami hanya akan minta sedikit minyak kelapa untuk mencairkan obat.”

Nampaknya suara Ki Marta Brewok yang meyakinkan mampu mengetuk hati penghuni rumah kecil itu. Karena itu, maka sejenak kemudian terdengar desir langkah kaki menuju ke pintu.

Namun kemudian pintu itu terbuka, maka seorang yang rambutnya sudah ubanan telah terduduk dengan tubuh gemetar. Suaranya pun gemetar pula, “Ampun, Ki Sanak. Aku mohon ampun. Aku hanya orang tua yang tidak tahu apa-apa.”

Ki Marta Brewok terkejut melihat sikap orang itu. Namun Wijang segera bergeser maju. Meskipun demikian ia sempat berbisik di telinga Ki Marta Brewok, “Orang itu takut melihat wajah Ki Marta Brewok.”

Ki Marta Brewok itu tertawa dalam hati. Tetapi ia tidak ingin menyinggung perasaan orang tua yang ketakutan itu, bahkan mungkin akan membuatnya semakin takut.

“Kek,” berkata Wijang, “kami hanya ingin minta minyak kelapa sedikit saja.”

Orang tua itu mengangkat wajahnya. Orang yang berjambang, berkumis dan berjanggut lebat itu sudah bergeser surut. Yang berdiri di hadapannya adalah anak muda yang berwajah bening.

Sambil memandangi ketiga orang yang berdiri di depan rumahnya itu berganti-ganti, orang tua itu bertanya, “Minyak kelapa, maksud Ki Sanak?”

“Ya. Minyak kelapa,” jawab Wijang.

“O,” orang itu masih nampak bimbang. Namun kemudian ia pun bangkit berdiri sambil berkata, “Aku akan mengambilkannya, anak muda. Tetapi bukankah kalian tidak akan menghukum kami.”

“Kenapa kami akan menghukummu, Kek?”

Orang tua itu termangu-mangu. Namun kemudian katanya,

“Silahkan duduk di serambi belakang banjar itu, anak muda. Aku akan mengambil minyak itu sebentar di dapur.”

Beberapa saat Ki Marta Brewok, Wijang dan Paksi menunggu. Mereka sempat melihat sebatang pohon kayu manis di halaman samping. Paksi yang mengambil kulit batangnya sedikit, mencium bau yang sedap sekali.

Hampir di luar sadarnya, Paksi berkata, “Di rumahku juga ada pohon kayu manis.”

Adalah mengejutkan sekali ketika di luar sadarnya Ki Marta Brewok itu menyahut, “Umurnya sudah tua sekali, Paksi.”

Paksi memandang wajah Ki Marta Brewok dengan kerut kening. Sementara itu agaknya Ki Marta Brewok juga terkejut mendengar kata-katanya sendiri.

Bahkan pertanyaan Paksi kemudian membuatnya gelisah meskipun Ki Marta Brewok berhasil menyembunyikannya, “Apakah Ki Marta Brewok tahu, bahwa pohon kayu manis di halaman rumahku itu umurnya sudah tua sekali?”

“Tentu tidak,” jawab Ki Marta Brewok dengan serta-merta. “Yang aku maksud umurnya sudah tua sekali adalah pohon kayu manis itu.”

“Kayu manis ini?” bertanya Paksi.

“Ya.” Tetapi Ki Marta Brewok itu memang menjadi gelisah.

“Nampaknya pohon ini masih terlalu muda, Ki Marta,” berkata Paksi kemudian.

Ki Marta Brewok tiba-tiba saja tertawa pendek. Katanya, “Aku masih memikirkan padukuhan ini. Karena itu agaknya aku menjawab seenaknya saja.”

Paksi tidak sempat bertanya lebih lanjut. Orang tua penunggu banjar itu pun keluar sambil membawa minyak kelapa di dalam sebuah mangkuk kecil.

“Inilah minyak kelapa itu, anak muda,” berkata orang tua itu.

“Terima kasih, Kek,” jawab Wijang sambil menerima minyak itu.

“Tetapi aku persilahkan kalian duduk di serambi. Tolong kere bambu itu ditutup kembali.”

“Terima kasih, Kek. Biarlah aku duduk di emperan itu saja.”

“Jangan, anak muda. Masuklah ke serambi.”

“Kenapa, Kek?” bertanya Wijang.

Orang tua itu tidak menjawab. Setelah menutup pintu rumahnya sendiri, ia pun melangkah ke serambi sambil memberi isyarat kepada ketiga orang pendatang itu untuk mengikutinya.

Sejenak kemudian, mereka berempat telah berada di serambi belakang banjar padukuhan itu. Serambi yang tertutup oleh kere bambu yang berjuntai sampai ke lantai.

“Siapakah kalian bertiga, Ki Sanak?” bertanya orang tua itu. Orang tua itu mengangguk kecil. Tetapi setiap kali dipandanginya wajah Ki Marta Brewok, wajah itu agaknya membuat berdebar-debar.

Di luar sadarnya, Paksi pun ikut memandang wajah Ki Marta Brewok itu. Wajah yang sebagian tetutup oleh jambang, kumis dan janggut yang tebal.....
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar