Jejak Dibalik Kabut Jilid 12

Berempat mereka berjalan semakin jauh. Ketika mereka berada di sebuah bulak yang luas, maka Ki Sanggakaya itu pun berbisik kepada Ki Suratapa, “Kenapa kedua kelinci ini harus dibawa menghadap Ki Rangga Sumawerdi?”

“Maksudmu? Bukankah ini datang dari Ki Rangga Sumawerdi?”

“Aku tahu. Tetapi kita pun tahu, apa yang sebenarnya dikehendaki oleh Ki Rangga Sumawerdi.”

“Ya. Kita tahu. Pangeran Benawa itu akan diserahkan kepada Harya Wisaka.”

“Kau jangan terlalu dungu. Aku yakin, seandainya kita serahkan Pangeran Benawa, maka Pangeran Benawa itu tidak akan diserahkan kepada Harya Wisaka.”

“Belum tentu cincin itu ada pada orang itu.”

“Dugaan ini bersumber dari istana. Dari Harya Wisaka dan orang-orangnya yang kemudian mulut-mulut yang tidak dapat menyimpan rahasia itu telah menebarkan dugaan ini.”

“Kalau dugaan ini salah?”

“Biarlah Harya Wisaka menanggung dosanya.”

Ki Suratapa termangu-mangu sejenak. Sementara Ki Sanggakaya berdesis, “Daripada cincin itu jatuh ke tangan Ki Sumawerdi, kenapa tidak kita ambil saja dari Pangeran Benawa itu?”

“Mana Pangeran Benawa?”

“Salah seorang dari kedua anak muda itu.”

“Aku tidak yakin bahwa salah seorang dari mereka adalah Pangeran Benawa.”

“Seandainya bukan, kita pun tidak dirugikan. Mereka bukan anak cucu kita. Bukan sanak kadang.”

“Jadi?”

“Kita minta cincin itu. Jika mereka tidak memberikan, kita akan membunuhnya dan mengambil cincin itu.”

“Jika mereka benar-benar tidak membawa cincin itu?”

“Tidak apa-apa. Kita cari yang lain.”

“Tetapi kita sudah terlanjur membunuh mereka.”

“Apa salahnya. Sudah aku katakan, anak itu bukan sanak kadang kita.”

Ki Suratapa termangu-mangu sejenak. Dipandangi kedua orang anak muda yang berjalan di hadapan mereka.

Sejenak kemudian Ki Suratapa itu pun mengangguk-angguk sambil berkata, “Baik. Kita akan memaksa mereka menyerahkan cincin itu, atau kita akan membunuh mereka dan mengambil cincin itu dari mereka.”

Namun kedua orang itu tidak tahu sama sekali, bahwa kedua anak muda yang berilmu tinggi itu telah mengetrapkan ilmu Sapta Pangrungu, sehingga mereka dapat mendengar percakapan kedua orang itu meskipun lamat-lamat. Tetapi keduanya mengerti, apa yang akan dilakukan kedua orang itu kepada mereka.


Karena itu, maka Wijang pun telah bergeser mendekati Paksi sambil berkata, “Kau mendengar pembicaraan mereka?”

“Ya.”

“Ternyata mereka adalah orang-orang yang sangat licik.”

“Ya. Mereka telah mengkhianati pemimpinnya.”

“Tetapi menurut mereka, Ki Rangga Sumawerdi itu juga seorang yang sangat licik.”

Paksi menarik nafas dalam-dalam. Namun ia tidak sempat menjawab, karena Ki Sanggakaya dan Ki Suratapa telah menyusul mereka, dan berjalan di sebelah-menyebelah Wijang dan Paksi.

“Kita berhenti sebentar,” berkata Ki Sanggakaya.

“Kenapa?” Bertanya Wijang.

“Berhenti, kau dengar. Kau tidak usah bertanya untuk apa.”

Wijang dan Paksi pun berhenti. Sementara Ki Sanggakaya dan Ki Suratapa berdiri pada jarak beberapa langkah.

“Aku masih ingin bertanya kepada kalian, siapakah di antara kalian yang bernama Benawa?”

“Tidak ada,” jawab Wijang. “Namaku Wijang. Adikku namanya Paksi.”

“Cukup,” bentak Ki Sanggakaya. “Aku tidak mempunyai waktu untuk mendengarkan igauanmu. Sekali lagi aku bertanya, siapakah di antara kalian yang bernama Benawa?”

Wijang pun menjawab, “Sekali lagi aku jelaskan, tidak ada di antara kami yang bernama Benawa.”

“Jangan ingkar. Kalian sekarang berada di bulak yang luas.

Tidak ada orang yang kebetulan berada di sawahnya. Tidak ada orang yang lewat di jalan yang sepi ini. Karena itu, kalian tidak akan dapat mencari pertolongan kepada siapa pun juga.”

“Pertolongan apa?”

“Jika kalian tidak mau mengaku bahwa salah seorang dari kalian adalah Pangeran Benawa, maka kami akan membunuh kalian.”

“Kalian tidak dapat berbuat demikian. Kami tidak bersalah.”

“Karena itu mengakulah. Kemudian serahkan cincin permata tiga butir batu akik itu kepadaku.”

“Kami tidak mengerti, apa yang kau maksudkan,” desis Wijang.

“Cukup. Permainan kalian tidak menarik lagi. Cepat serahkan cincin itu.”

“Sudah aku katakan, aku tidak mengerti apa yang kalian maksudkan. Kami tidak mengerti tentang Pangeran Benawa. Kami tidak mengerti tentang cincin bermata tiga.”

“Cukup. Aku tidak ingin mendengar jawabanmu lagi. Aku ingin kau mengambil cincin itu dan serahkan padaku. Tidak ada gunanya kau ingkar, karena aku akan membunuhmu dan mengambil cincin itu dari kantong ikat pinggangmu atau kantong bajumu.”

Wijang pun akhirnya menjadi jemu. Karena itu, maka ia pun berpaling kepada Paksi sambil berkata, “Apakah kau masih sanggup melanjutkan permainan ini?”

“Kata mereka, permainan kita sudah tidak menarik lagi.”

“Jadi, kita akan mengakhiri permainan ini? Baiklah,”

Wijang pun mengangguk-angguk. Lalu katanya kepada Ki Sanggakaya, “Ki Sanak. Aku pun sudah jemu dengan permainan ini. Sekarang, dengarkan. Aku tidak mau berbicara lagi tentang cincin itu dan tentang Pangeran Benawa. Tidak ada gunanya berbicara dengan orang-orang licik seperti kalian. Seandainya, seandainya kau berhadapan dengan Pangeran Benawa dan Pangeran Benawa itu bersedia menyerahkan cincin yang kau maksud, maka akhirnya kau akan berusaha membunuhnya juga. Karena itu, seandainya Pangeran Benawa itu ada, ia tentu tidak akan menyerahkan cincin yang kau maksudkan.”

“Tentu kami tidak akan membunuhnya. Jika Pangeran Benawa itu bersedia menyerahkan cincinnya, aku akan membebaskannya.”

“Kau sangat licik, tetapi bodoh. Kau kira orang lain apalagi Pangeran Benawa dapat mempercayaimu? Jika kau ambil cincinnya dan Pangeran Benawa itu kau lepaskan, bukankah mulut Pangeran Benawa itu dapat berceritera kepada Harya Wisaka atau kepada Ki Rangga Sumawerdi bahwa cincin itu sudah kau ambil?”

“Kami sudah tidak akan mendekati mereka lagi. Kami sudah berada jauh dari Pajang.”

“Kau berkata sebenarnya?”

“Aku berkata sebenarnya. Aku bersumpah disaksikan oleh bumi dan langit. Jika aku ingkar, maka biarlah aku pertaruhkan nyawaku dan nyawa saudaraku. Benawa akan aku bebaskan.”

Wijang mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Aku akan menyerahkan cincin itu. Tetapi biarlah kami tetap hidup. Akulah Pangeran Benawa itu.”

Ki Sanggakaya dan Ki Suratapa itu justru terkejut. Sejenak mereka justru bagaikan membeku. Namun kemudian Ki Sanggakaya itu pun berkata, “Kau berkata sebenarnya?”

“Bukankah jawaban itu yang kau kehendaki?”

Kedua orang itu saling berpandangan. Justru pengakuan yang tiba-tiba itu membuat mereka menjadi ragu-ragu.

Tetapi Paksi lah yang kemudian terkejut. Ia melihat Wijang benar-benar mengambil cincin permata tiga yang disimpannya dan menunjukkannya kepada orang itu. “Inikah yang kau cari?”

Paksi bergeser mendekat sambil berdesis, “Apakah kau kena sihirnya?”

Tetapi Wijang hanya tersenyum saja. Bahkan diserahkannya cincin itu kepada Ki Sanggakaya.

Ki Sanggakaya menjadi bagaikan bermimpi. Diterimanya cincin bermata tiga butir batu akik itu. Cincin yang menjadi buruan banyak orang. Para pemimpin padepokan dari berbagai aliran. Bahkan keluarga istana sendiri.

Tiba-tiba cincin itu sudah berada di tangannya.

Ki Sanggakaya mencium cincin itu sambil berdesis, “Akulah yang akhirnya memiliki cincin ini.”

Namun Wijang pun kemudian bertanya, “Tetapi kenapa kau berniat mengkhianati Ki Rangga Sumawerdi yang kau duga akan berkhianat pula kepada Harya Wisaka? Bukankah Ki Rangga Sumawerdi termasuk seorang yang setia?”

“Darimana kau tahu bahwa kami menduga tentang kemungkinan pengkhianatan Ki Rangga Sumawerdi terhadap Harya Wisaka?”

“Bukankah kau dan saudaramu itu tadi membicarakannya? Dari pembicaraan kalian pula aku mendengar bahwa kalian berniat mengkhianati Ki Rangga Sumawerdi.”

“Sudahlah,” berkata Ki Sanggakaya, “apa pun yang ingin kami lakukan, akan kami lakukan.”

“Nah, sekarang pergilah. Jangan memburu Pangeran Benawa lagi. Cincin itu sudah ada di tanganmu.”

Ki Sanggakaya menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Jika aku pergi, maka kau tentu akan menertawakan aku. Alangkah dungunya aku dan saudaraku itu.”

“Kenapa?”

“Seperti katamu, kau punya mulut yang dapat berceritera kepada Ki Rangga Sumawerdi atau kepada Harya Wisaka.”

“Jadi?”

“Sayang, anak muda, bahwa kami tidak dapat membiarkan kalian berdua pergi.”

“Tetapi bukankah kalian sudah berjanji?”

“Janji kadang-kadang dapat dilupakan.”

“Tetapi kau sudah bersumpah disaksikan langit dan bumi. Jika kau melanggar sumpahmu, maka nyawamu kau pertaruhkan.”

Ki Sanggakaya itu tertawa. Katanya, “Kau percaya kepada sumpah seseorang? Sumpah sama halnya dengan janji. Karena itu terimalah nasibmu yang buruk. Kalian berdua akan mati. Pangeran Benawa akan mati. Aku tidak tahu siapakah anak muda yang menyertai Pangeran Benawa ini. Tetapi nasibnya sama buruknya dengan nasib Pangeran Benawa. Aku akan menemui Ki Rangga Sumawerdi dan mengatakan bahwa aku tidak bertemu dengan Pangeran Benawa.”

“Tetapi kami berdua masih belum ingin mati.”

“Terima sajalah nasib kalian. Kalian tidak mempunyai pilihan lain.”

“Tetapi ingat, Ki Sanak. Kau dan saudaramu akan dimakan oleh sumpahmu sendiri.”

Ki Sanggakaya masih saja tertawa. Ki Suratapa pun tertawa pula. Bahkan Ki Suratapa itu pun berkata, “Aku memang merasa kasihan kepada kalian berdua. Apalagi kepada Pangeran Benawa. Seorang anak raja yang akan mati di tengah-tengah bulak. Meskipun demikian, aku masih ingin berbaik hati. Aku akan membunuh salah seorang dari kalian dengan cara yang paling baik. Aku akan mematahkan lehernya sehingga ia akan mati seketika tanpa merasakan sakit.”

Tetapi Wijang pun menyahut, “Jika kalian ingkar, sejauh dapat kami lakukan kami akan melawan.”

“Sia-sia anak muda. Kami berdua adalah kepercayaan Ki Rangga Sumawerdi. Tidak ada orang yang dapat melawan kami, meskipun seorang pangeran.”

Wijang tidak menjawab lagi. Tetapi ia memberi isyarat kepada Paksi untuk bersiap.

Dalam pada itu, sekali lagi Ki Sanggakaya mencium cincin bermata tiga itu. Kemudian cincin itu disimpannya di ikat pinggang kulitnya sambil berkata, “Bersiaplah untuk mati, Pangeran.”

Wijang pun kemudian mempersiapkan dirinya untuk menghadapi Ki Sanggakaya, sementara Paksi pun telah bersiap menghadapi Ki Suratapa.

Sambil tertawa Ki Suratapa itu pun berkata, “Jadi, ada gunanya pula tongkatmu itu. Meskipun demikian, segalanya akan menjadi sia-sia.”

Paksi tidak menjawab. Tetapi ia pun segera bersiap untuk menghadapi Ki Suratapa.

Sejenak kemudian Ki Suratapa pun telah mulai bergeser. Dengan tangkasnya ia meloncat menyerang. Namun Ki Suratapa itu harus mengurungkan serangannya ketika ia melihat tongkat Paksi berputar melindungi tubuhnya.

Sambil tertawa Ki Suratapa pun berkata, “Ternyata kau juga memiliki kemampuan bermain dengan tongkatmu. Bagus. Rasa-rasanya memang kurang menyenangkan untuk membunuh kelinci sakit-sakitan.”

Paksi tidak menjawab. Tetapi ia telah bersiap menghadapi segala kemungkinan.

Dalam pada itu, Ki Sanggakaya pun sempat melihat Paksi mempersiapkan diri menghadapi Ki Suratapa. Sambil tertawa ia pun berkata kepada Wijang, “Anak muda yang kau akui sebagai adikmu itu mencoba untuk melawan. Tetapi itu akan mempersulit dirinya sendiri. Kau pun sebaiknya tidak usah melawan, karena itu hanya akan sia-sia saja.”

Tetapi Wijang menjawab lantang sehingga juga didengar oleh Ki Suratapa, “Mungkin kami tidak mampu melawan kalian. Tetapi kalian tidak akan mampu melawan diri kalian sendiri.”

“Kenapa kami harus melawan diri kami sendiri?”

“Kau sudah mengucapkan sumpah yang disaksikan bumi dan langit. Jika kau langgar sumpahmu, maka nyawamu dan nyawa saudaramu kau pertaruhkan.”

“Cukup,” teriak Ki Sanggakaya. “Sudah aku katakan, aku tidak pernah menghargai sumpah dan janji.”

“Mungkin kau tidak menghargainya. Tetapi mulut orang yang berilmu tinggi itu biasanya mempunyai kekuatan yang tidak dapat diurai dengan nalar. Karena itu, maka kau tidak akan mampu melawan sumpahmu sendiri.”

“Diam,” Ki Sanggakaya berteriak semakin keras.

Namun keempat orang itu berada di tengah-tengah bulak yang luas. Adalah kebetulan bahwa tidak ada orang yang sedang bekerja di sawah. Sehingga karena itu, maka suara Ki Sanggakaya bergetar di udara tanpa menyentuh telinga orang lain kecuali mereka berempat.

Wijang tersenyum. Katanya, “Jangan menyesali sumpahmu sendiri. Kau masih mempunyai waktu. Jika kau biarkan kami pergi, maka kau tidak akan dimakan oleh sumpahmu sendiri, karena kau sudah menepatinya.”

Kemarahan Ki Sanggakaya telah sampai ke ubun-ubunnya. Karena itu, maka ia pun segera meloncat menyerang dengan garangnya.

Namun Wijang pun telah bersiap. Dengan tangkasnya ia mengelakkan serangan itu, sehingga serangan Ki Sanggakaya tidak menyentuhnya.

Namun Ki Sanggakaya tidak berhenti. Ia pun segera meloncat memburu, menyerang Wijang seperti badai.

Wijang berloncatan menghindar. Namun masih terdengar suara tertawanya. Katanya, “Tentu kau biasanya tidak terlalu lamban seperti orang tua pikun. Biasanya kau tentu tangkas dan garang. Tetapi kali ini segala-galanya telah dibatasi oleh sumpahmu sendiri.”

“Gila. Gila. Aku koyakkan mulutmu.”

Serangan Ki Sanggakaya itu pun menjadi semakin garang dan semakin cepat. Tetapi lawannya adalah Pangeran Benawa sendiri. Seorang pemuda yang ilmunya sulit untuk dijajagi.

Karena itu, maka pada saat-saat serangan Ki Sanggakaya datang membadai, justru Ki Sanggakaya lah yang berteriak kesakitan. Tangan Wijang sempat menyusup di antara serangan-serangan Ki Sanggakaya sehingga beberapa langkah ia meloncat surut.

Tetapi Wijang lah yang memburunya kemudian. Serangan-serangan Wijang yang cepat dan keras sulit untuk dielakkan.

Dalam pada itu, Ki Suratapa yang bertempur melawan Paksi pun telah mengerahkan kemampuannya. Ia ingin menyelesaikan anak muda itu dengan cepat. Keberhasilan Ki Sanggakaya mendapatkan cincin yang sedang diburu oleh banyak orang itu memberikan kebanggaan hatinya.

Namun kebanggaan itu menjadi larut ketika serangan-serangan Paksi lah yang justru mulai mengenai tubuhnya.

Ki Suratapa tidak mau mengalami kesulitan karena tongkat Paksi. Karena itu, maka ia pun segera menarik parangnya yang besar dan berkilat-kilat.

Tetapi justru karena itu, maka Paksi pun segera mengetahui, bahwa parang lawannya adalah parang kebanyakan.

Sejenak kemudian, maka parang Ki Suratapa itu pun telah berputar. Dengan Geram Ki Suratapa itu pun berkata, “Aku akan memenggal lehermu dan melemparkan lehermu di halaman rumah pamanmu itu.”

“Jika saudaraku itu Pangeran Benawa, maka rumah itu tadi tentu bukan rumah pamanku,” jawab Paksi.

“Persetan,” geram Ki Suratapa.

Tetapi demikian mulutnya terkatup, maka tongkat Paksi telah menembus putaran pedangnya mengenai pundaknya.

Ki Suratapa mengaduh kesakitan. Demikian kerasnya ujung tongkat itu mendorong pundaknya, sehingga Ki Suratapa itu terputar setengah lingkaran. Keseimbangannya pun menjadi goyah. Hampir saja ia terjatuh, namun Ki Suratapa berhasil memperbaiki keseimbangannya, sehingga ia pun kemudian telah berdiri tegak.

Tetapi wajahnya menjadi merah ketika ia melihat Paksi berdiri sambil berpegangan tongkatnya. Terdengar suara tertawa anak muda itu. Katanya, “Hati-hatilah sedikit, Ki Sanak. Bukankah kau utusan pribadi Ki Rangga Sumawerdi? Kau tentu seorang yang pilih tanding. Seorang yang memiliki ilmu yang tidak terlawan. Hanya karena kau terlalu merendahkan aku, maka ujung tongkatku sempat mengenaimu.”

“Aku akan mengoyakkan mulutmu,” geram orang itu.

Tiba-tiba saja Ki Suratapa itu meloncat sambil mengayunkan pedangnya ke arah leher Paksi. Namun Paksi telah menyilangkan tongkatnya untuk menangkis serangan itu.

Ki Suratapa yang melihat gerakan tongkat Paksi telah menarik serangannya. Tiba-tiba saja ujung serangannya itu telah menjurus ke arah jantung.

Namun dengan tangkasnya, Paksi meloncat ke samping, sehingga ujung parang itu tidak menyentuhnya. Bahkan tongkat Paksi lah yang berputar dengan cepat menyambar lambung.

Ki Suratapa tidak sempat mengelak. Parangnyalah yang bergerak cepat menangkis serangan anak muda itu.

Ternyata itu membuat tangan Ki Suratapa menjadi panas. Hampir saja parangnya meloncat dari tangannya karena benturan yang terjadi. Demikian tergesa-gesa ia menangkis serangan Paksi, sehingga genggaman tangannya menjadi kurang mapan.

Tetapi Ki Suratapa yang meloncat mengambil jarak sempat memperbaiki keadaannya. Untuk sesaat ia   menggenggam parangnya di tangan kirinya.

Dengan tajamnya ia memandang Paksi yang berdiri tegak dengan dada tengadah. Ia sudah benar-benar bersiap untuk memasuki satu pertarungan yang menentukan. Dengan sadar Paksi telah siap menghadapi Ki Suratapa yang berilmu tinggi. Ia tidak mau merendahkan lawannya meskipun pada benturan pertama, Paksi tidak banyak mengalami kesulitan.

Di sisi yang lain, Wijang bertempur melawan Ki Sanggakaya. Setiap kali Wijang masih menyinggung sumpah Ki Sanggakaya sehingga jantung Ki Sanggakaya bagaikan mau meledak. Namun semakin lama gelitik itu membekas pula di hati Ki Sanggakaya. Sumpah itu benar-benar membayanginya.

Namun bukan saja karena gejolak perasaan Ki Sanggakaya itu saja yang membuatnya terdesak. Wijang adalah orang yang berilmu sangat tinggi. Meskipun Ki Sanggakaya merasa dirinya memiliki ilmu yang tinggi sebagai kepercayaan Ki Rangga Sumawerdi, namun Ki Sanggakaya itu pun semakin lama menjadi semakin terdesak. Serangan-serangannya tidak mampu mengenai lawannya, tetapi sebaliknya serangan-serangan Wijang telah menyakitinya.

Ketika keadaan Ki Sanggakaya menjadi semakin sulit, maka Ki Sanggakaya yang semula mencoba untuk tidak mempergunakan senjatanya, terpaksa menarik pedangnya. Semula ia ingin membuktikan bahwa dengan tangannya ia akan mampu menyelesaikan anak muda yang bernama Pangeran Benawa itu. Tetapi ternyata ia justru semakin terdesak. Pangeran Benawa benar-benar memiliki ilmu yang tinggi.

Namun, demikian orang itu menarik pedangnya, maka di kedua tangan Pangeran Benawa telah menggenggam sepasang pisau belati yang mendebarkan jantung Ki Sanggakaya.

“Dengar, Ki Sanak,” berkata Pangeran Benawa. Nada suaranya seakan-akan telah berubah. Suaranya menjadi berat menekan. Wajah anak muda itu pun menjadi semakin bersungguh-sungguh. Matanya bagaikan bercahaya, sementara kata-katanya serasa menusuk-nusuk jantungnya. “Kau akan dimakan sumpahmu sendiri. Bersiaplah untuk mati. Aku sudah muak melihat wajahmu.”

Kata-kata itu benar-benar telah mengguncang jantung Ki Sanggakaya. Ia tidak mengira sama sekali, bahwa ia akan berhadapan dengan seorang anak muda yang demikian tinggi ilmunya.

Dalam pada itu, Paksi pun semakin menekan lawannya. Tongkatnya beberapa kali telah mengenai tubuh Ki Suratapa. Ketika parang Ki Suratapa terayun deras dan tidak menyentuh kulit Paksi, maka justru Paksi telah menjulurkan tongkatnya menekan lambung.

Ki Suratapa terdorong beberapa langkah surut. Namun Paksi tidak melepaskannya. Dengan cepat ia meloncat memburunya. Satu ayunan yang keras berhasil menyusul Ki Suratapa mengenai lengannya.

Ki Suratapa mengaduh tertahan. Dengan cepat ia meloncat menjauh. Namun Paksi tertahan ketika ia melihat parang Ki Suratapa berputar semakin cepat. Demikian ia berdiri tegak, maka parang itu pun telah berputar dengan cepatnya. Suaranya berdesing menusuk telinga dengan tajamnya.

Paksi menyadari, bahwa lawannya memang berilmu tinggi. Putaran parangnya itu bagaikan asap putih yang mengitarinya.

Parang itu sendiri menurut penilaian Paksi adalah parang kebanyakan. Tetapi parang kebanyakan itu pada orang berilmu tinggi tentu sangat berbahaya.

Karena itu, maka Paksi pun menjadi semakin berhati-hati. Namun Paksi yang muda itu telah menempa diri dengan menjalani laku yang berat. Karena itu, maka Paksi pun telah meningkatkan kemampuannya pula.

Dengan demikian pertempuran pun menjadi semakin sengit. Ki Suratapa yang sama sekali tidak menduga bahwa anak muda itu memiliki ilmu yang tinggi, menjadi gelisah. Tubuhnya telah dijalari rasa sakit. Pundaknya, lengannya, lambungnya dan bahkan punggung dan dadanya. Karena itu, maka ia pun telah mengerahkan segenap kemampuannya.

Tetapi Paksi pun dengan cepat menanggapinya. Sehingga dengan demikian, maka benturan-benturan pun menjadi semakin keras. Namun tongkat Paksi lah yang semakin sering menyentuh tubuh Ki Suratapa. Beberapa kali ia harus berloncatan mundur menghindari serangan Paksi yang datang beruntun susul-menyusul.

Namun bagaimanapun juga Ki Suratapa mengerahkan kemampuannya, sulit baginya untuk mengimbangi kemampuan Paksi.

Meskipun demikian, ketika Ki Suratapa itu menghentakkan ilmunya dengan menjulurkan parangnya, ternyata ujung parang Ki Suratapa itu sempat menyentuh bahu Paksi.

Paksi terkejut. Selangkah ia meloncat surut. Terasa cairan yang hangat mengalir dari lukanya itu. Kemarahan yang sangat telah membakar jantung Paksi.

Ketika Ki Suratapa melihat darah, maka ia pun telah meloncat pula menyerang. Ia ingin mempergunakan kesempatan itu untuk menekan lawannya yang telah terluka.

Tetapi Paksi tidak membiarkan dirinya dilindas oleh lawannya. Dengan tangkasnya Paksi menangkis serangan Ki Suratapa, sekaligus memutar tongkatnya dan satu serangan yang keras, telah mengenai perut lawannya itu.

Ki Suratapa terdorong surut. Tongkat Paksi itu rasa-rasanya telah menghujam sampai ke tulang.

Paksi lah yang kemudian mempergunakan kesempatan itu. Tongkatnya pun segera berputar pula. Satu ayunan yang keras tongkat Paksi telah memukul punggung Ki Suratapa.

Orang itu terdorong beberapa langkah. Sesaat ia terhuyung-huyung. Namun ketika ia berhasil menjaga keseimbangannya, serangan Paksi telah menyusulnya. Ujung tongkat Paksi itu telah terjulur menekan dada Ki Suratapa dengan kerasnya.

Ki Suratapa menyeringai menahan sakit. Terasa tulang-tulangnya berpatahan. Namun sebelum ia sempat berbuat sesuatu menahan sakit dadanya, maka tongkat Paksi itu telah menghantam tengkuknya.

Ki Suratapa jatuh tersungkur. Tulang lehernya telah patah. Bukan tulang leher Paksi, tetapi justru tulang leher Ki Suratapa sendiri.

Ki Suratapa yang terbaring di tanah itu pun sama sekali tidak bergerak lagi.

Paksi berdiri termangu-mangu. Dipandanginya tubuh yang terbujur diam itu.

Namun ia pun telah berpaling. Wijang ternyata masih bertempur melawan Ki Sanggakaya yang memiliki ilmu yang tinggi.

Paksi itu pun bergeser perlahan-lahan. Ia mendengar Wijang itu berkata, “Ki Sanggakaya. Kau lihat, betapa sumpahmu itu telah menelan saudaramu itu.”

Jantung Ki Sanggakaya terasa berdegup semakin keras. Ia pun melihat sekilas Ki Suratapa yang terbanting jatuh. Apalagi ketika ia melihat Paksi melangkah mendekatinya.

Ki Sanggakaya itu pun sudah tidak berpengharapan lagi. Ia sadar bahwa anak muda yang mengaku Pangeran Benawa itu tidak akan dapat dikalahkannya. Apalagi anak muda yang seorang lagi telah bebas dari lawannya.

Karena itu, maka Ki Sanggakaya tidak mempunyai pilihan lain. Cincin yang diburunya telah ada di tangannya, sehingga tidak ada gunanya lagi ia bertempur lebih lama. Apalagi tanpa satu keyakinan untuk menang.

Beberapa saat Ki Sanggakaya dengan hentakan-hentakan ilmu yang tinggi. Namun ketika Paksi menjadi semakin dekat, Ki Sanggakaya telah menghentakkan ilmunya. Pedangnya berputar dengan cepat, kemudian terjulur menggapai tubuh lawannya. Tetapi Wijang berhasil menghindar dengan meloncat mundur.

Kesempatan itu digunakan oleh Ki Sanggakaya. Dengan serta-merta ia pun telah meloncat surut pula. Kemudian dengan cepat Ki Sanggakaya itu melarikan diri.

Tetapi Wijang tidak mau melepaskannya. Demikian Ki Sanggakaya meloncat meninggalkan arena, maka sebuah pisau belatinya telah melayang memburu lawannya itu.

Terdengar teriakan nyaring. Tubuh Ki Sanggakaya terhuyung sejenak. Dorongan kakinya telah membuat Ki Sanggakaya itu jatuh tersungkur. Pisau belati Wijang yang dilemparkannya telah menghujam di punggungnya.


Ki Sanggakaya masih menggeliat. Namun kemudian sebuah tarikan nafasnya yang terakhir telah melewati lubang hidungnya.

Wijang melangkah mendekat. Demikian pula Paksi.

“Kita tidak mempunyai pilihan lain,” desis Wijang.

Paksi tidak segera menjawab. Ia justru memikirkan cincin yang sudah berada di tangan Ki Sanggakaya itu.

Namun sejenak kemudian, Wijang pun telah menarik pisaunya yang tertancap di punggung Ki Sanggakaya. Kemudian membalikkan tubuhnya dan membuka kantong ikat pinggangnya.

“Kau telah membuat jantungku hampir berhenti berdenyut,” desis Paksi.

Wijang pun telah memungut cincinnya yang bermata tiga. Sambil menyimpan cincinnya di kantong ikat pinggangnya, Wijang itu berdesis, “Aku ingin mengetahui kejujurannya. Ternyata kedua orang ini adalah orang yang sangat berbahaya.”

Paksi mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Lalu, apa yang harus kita lakukan?”

“Kita harus menguburnya.”

“Dimana?”

“Kita bawa keduanya ke gumuk kecil itu.”

“Kita harus memanggulnya?”

“Apa ada cara lain yang lebih baik? Mendukung dengan kedua tangan di depan?”

“Memang tidak ada cara lain,” desis Paksi.

“Mudah-mudahan tidak ada orang lain yang melihatnya,” berkata Wijang kemudian.

Paksi dan Wijang pun kemudian telah memanggul kedua tubuh yang tidak bernyawa lagi. Untunglah gumuk kecil itu letaknya tidak terlalu jauh.

Namun keduanya pun mengalami kesulitan untuk menggali lubang kubur karena mereka tidak mempunyai alat apa pun juga.

“Kita tidak dapat menguburnya. Agar kedua tubuhnya itu tidak menjadi mangsa binatang liar, maka kita timbun saja tubuh itu dengan bebatuan,” berkata Wijang.

“Ya. Itu lebih baik daripada kita tinggalkan keduanya begitu saja.”

Demikianlah, maka Wijang dan Paksi pun telah menutup kedua sosok tubuh itu dengan bebatuan sehingga menjadi rapat dan tidak akan dapat digali oleh binatang-binatang liar.

Setelah keduanya selesai, maka Wijang pun berkata, “Aku mendengar gemericik air. Tentu ada sungai di sebelah.”

“Ya. Pepohonan yang berjajar itu tentu tumbuh sepanjang tanggul sungai.”

Demikianlah, sejenak kemudian mereka telah mandi dan membenahi diri. Wijang telah mengobati luka Paksi. Meskipun luka itu tampaknya tidak terlalu besar, tetapi jika tidak diobati akan dapat menjadi semakin besar.

Beberapa saat kemudian, keduanya pun duduk di atas bebatuan di tepian. Dengan ragu-ragu kemudian Paksi pun berkata, “Bagaimana dengan kita sekarang?”

“Kita sudah memasuki keadaan yang lebih gawat. Aku benar-benar sudah menjadi orang buruan. Seharusnya kau tidak ikut mengalami keadaan yang semakin buruk ini.”

“Maksudmu?”

“Seperti yang pernah aku katakan, biarlah kita mengembara menurut jalan kita masing-masing. Seandainya pada suatu saat aku harus mengalami satu kenyataan pahit dan jatuh ke tangan orang-orang yang memburuku, kau tidak terseret ke dalam kesulitan.”

“Jika itu alasanmu, Wijang, aku menolak. Tetapi jika alasanmu karena kau sudah jemu mengembara bersamaku, maka aku akan mengambil jalan lain.”

Wijang menarik nafas panjang. Katanya, “Paksi, aku senang mengembara bersamamu. Aku mempunyai kawan untuk berbincang. Dalam keadaan yang gawat, aku tidak harus mengatasi sendiri. Tetapi aku tidak ingin menyeret orang lain dalam satu kesulitan karena aku.”

“Lupakan,” desis Paksi, “kita akan bertamasya ke Alas Mentaok.”

Wijang tidak segera menjawab. Agaknya ia sedang merenungi keadaannya.

Beberapa saat kemudian Wijang itu pun berkata, “Kadang-kadang juga timbul pikiran untuk pulang saja ke istana. Tetapi beberapa pejabat di istana juga tidak dapat dipercaya.”

“Bagaimana dengan Kanjeng Sultan? Apakah Kanjeng Sultan tidak dapat mengambil satu sikap tertentu. Atau bahkan mengenakan cincin itu di jari-jarinya.”

“Mungkin ayahanda akan melakukan. Tetapi iblis sudah merasuk di hati orang-orang yang tamak. Jika mereka mengetahui cincin ini di jari-jari ayahanda, maka jari-jari ayahanda itu akan menjadi sasaran. Bahkan akan dapat berarti jiwa ayahanda sendiri.”

“Tetapi bukankah Kanjeng Sultan seorang yang sakti dan bahkan tidak ada duanya. Ketika Harya Penangsang mengirimkan utusannya untuk membunuhnya, kibasan selimutnya sudah cukup untuk membuat utusan Harya Penangsang dengan Keris Setan Kober itu pingsan.”

“Ayahanda telah berubah,” desis Pangeran Benawa.

“Berubah? Maksudmu?”

“Aku pernah mengatakan kepadamu, tidak baik untuk menceritakan kekurangan ayah sendiri.”

Paksi mengangguk-angguk kecil. Memang tidak baik menceriterakan cacat keluarga sendiri. Tetapi dalam keadaan yang tidak terkendali, Paksi pernah mengeluh tentang sikap ayahnya.

Agaknya seperti Pangeran Benawa, Paksi juga tidak ingin segera pulang meskipun dengan alasan yang berbeda. Namun ternyata Wijang pun berdesis, “Jika saja Kakangmas Sutawijaya bersedia menyimpannya.”

Paksi menarik nafas dalam-dalam. Sementara Wijang berkata, “Tetapi sudahlah. Cincin itu ada di tanganku sekarang. Aku harus mengamankannya dan kelak menyerahkan kembali ke istana jika sudah tiba waktunya.”

Paksi termangu-mangu sejenak. Dengan nada dalam ia pun kemudian bertanya, “Sekarang, apa yang harus kita lakukan?”

“Sebaiknya kita kembali ke rumah Ki Pananggungan agar Ki Pananggungan tidak selalu gelisah memikirkan nasib kita. Kita pun sebaiknya minta diri jika kita ingin melanjutkan perjalanan.”

Paksi mengangguk. Katanya, “Ya, aku setuju. Dengan demikian, maka Ki Pananggungan tahu, bahwa kita masih hidup dan masih bebas.”

Sejenak kemudian keduanya pun telah membenahi diri. Sementara itu langit telah menjadi buram. Angin berhembus di sela-sela dedaunan. Beberapa batang pohon yang besar, yang tumbuh sepanjang tanggul sungai menggeleng-gelengkan daunnya. Suaranya yang gemerisik berpadu dengan gemericik air yang mengalir di sela-sela bebatuan terdengar seperti suara lagu yang sangat panjang dan tanpa berkeputusan.

Dalam pada itu, Wijang dan Paksi pun telah menempuh perjalanan kembali ke Kembang Arum. Sementara langit menjadi semakin hitam. Bintang-bintang mulai bermunculan dan bergayut di langit yang luas.

Sambil berjalan Wijang pun berkata, “Agaknya sekarang perhatian orang-orang yang berburu cincin itu tertuju kepada Pangeran Benawa.”

“Ya. Tentu sudah terdengar setiap telinga, bahwa cincin itu berada di tangan Pangeran Benawa yang sekarang tidak ada di istana.”

“Kepergianku sudah kehilangan arti. Aku tidak akan sempat berada di tengah-tengah rakyat Pajang untuk mengetahui keadaan mereka yang sebenarnya. Yang harus aku lakukan kemudian adalah sekedar lari dari buruan-buruan orang-orang yang tamak itu.”

“Jika saja Pangeran Benawa tidak membawa cincin itu,” desis Paksi.

“Jika cincin itu tidak dibawa Pangeran Benawa, cincin itu akan dapat hilang di istana. Kemudian seisi istana akan saling menuduh dan mencurigai. Ketidakseimbangan batin itu akan dapat meledak menjadi benturan-benturan kewadagan. Pajang yang suram akan menjadi semakin muram.”

Paksi mengangguk-angguk kecil. Tetapi ia tidak menjawab.

Namun dalam pada itu, Wijang pun berkata, “Tetapi ada satu hal yang sudah aku ketahui. Ternyata di salah satu sudut wilayah Pajang, berkumpul beberapa kelompok perguruan yang diragukan kemurniannya. Bukan perguruan tempat para cantrik menuntut berbagai macam ilmu, tetapi perguruan tempat orang-orang yang haus akan kehidupan lahiriah yang berlebihan, sehingga mereka telah menempuh jalan yang salah.”

Paksi mengangguk-angguk. Tetapi ketamakan itu ternyata tidak hanya bersarang di hati para pemimpin padepokan yang salah jalan itu. Tetapi juga di hati para pejabat di Pajang. Antara lain adalah ayah Paksi itu sendiri.

Tetapi setiap kali Paksi juga bertanya kepada diri sendiri, apakah ayahnya sengaja menyingkirkannya atau salah satu dari kedua kemungkinan. Pergi dan tidak kembali atau pulang dengan membawa cincin bermata tiga itu.

Sementara itu, kaki-kaki mereka masih melangkah terus. Sedangkan malam menjadi semakin malam. Suara jengkerik dan belalang saling bersautan di rerumputan.

Namun akhirnya keduanya telah memasuki Padukuhan Kembang Arum. Mereka sengaja menghindari gardu-gardu perondan, sehingga tidak seorang pun yang mengetahui bahwa mereka berdua telah kembali ke padukuhan.

Kedua anak muda itu tidak naik ke pendapa dan mengetuk pintu pringgitan. Tetapi keduanya langsung masuk ke longkangan.

Tetapi karena pintu seketeng tertutup dan diselarak dari dalam, maka dengan hati-hati keduanya harus meloncati dinding longkangan.

Beberapa saat kemudian, Paksi telah mengetuk pintu butulan perlahan-lahan.

Ternyata ketukan itu segera didengar oleh orang yang ada di dalam. Sesaat kemudian terdengar gemerisik langkah kaki itu terhenti di belakang pintu.

“Siapa di luar?” yang terdengar adalah suara Ki Pananggungan.

“Aku, Paman. Paksi dan Wijang.”

Ki Pananggungan pun mengenal suara itu. Karena itu, maka sejenak kemudian terdengar selarak pintu diangkat dan pintu butulan itu terbuka.

Demikian Ki Pananggungan itu melihat Paksi dan Wijang di kegelapan malam dalam percikan sorot lampu minyak yang menyorot dari ruang dalam, maka ia pun menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku memang yakin, bahwa kalian akan kembali.”


“Yang Maha Agung masih berkenan melindungi kami, Paman,” desis Paksi.

“Masuklah.”

Keduanya pun kemudian melangkah masuk. Mereka duduk di ruang dalam di bawah cahaya lampu yang redup.

“Apa yang telah terjadi dengan kalian, Ngger?” bertanya Ki Pananggungan.

Wijanglah yang kemudian menceriterakan dengan singkat apa yang telah terjadi. “Kami tidak mempunyai pilihan lain, Paman. Kami terpaksa membunuh mereka berdua.”

Ki Pananggungan menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku mengerti. Bahkan aku sudah memperhitungkan kemungkinan itu sebelumnya. Kalian berdua memang tidak mempunyai kesempatan lain jika kalian tidak ingin dijerat.”

“Kecuali itu, kami mempunyai alasan lain.”

“Alasan apa?”

“Keduanya adalah orang yang licik dan sama sekali tidak menghargai nyawa orang lain. Mereka ingin membunuh kami sekedar mencoba-coba. Kalau cincin itu diketemukan, syukurlah. Jika tidak, mereka tidak merasa dirugikan. Yang mati bukan sanak kadang mereka. Sementara itu, mereka sama sekali tidak menghiraukan lagi Ki Rangga Sumawerdi dan apalagi Harya Wisaka.”

Ki Pananggungan mengangguk-angguk. Katanya, “Orang-orang yang demikian adalah orang-orang yang sangat berbahaya. Mereka akan dapat melakukan apa saja tanpa menghiraukan kepentingan dan bahkan nyawa orang lain. Kali ini mereka terbentur pada kemampuan yang dapat mengatasi mereka. Jika tidak, maka pada kesempatan lain, mereka tentu akan membunuh dan membunuh lagi. Bahkan untuk persoalan yang tidak berarti sekalipun.”

Wijang dan Paksi itu pun mengangguk-angguk. Sementara Ki Pananggungan itu pun berkata, “Selain persoalan yang kalian hadapi itu Ngger, ada sesuatu yang perlu kalian ketahui.”

Wijang dan Paksi termangu-mangu sejenak. Sementara Ki Pananggungan itu berkata selanjutnya, “Sepeninggal kalian berdua, ayah dan ibu Kemuning itu telah singgah kemari.”

“Repak Rembulung dan Pupus Rembulung?” bertanya Paksi.

“Ya,” Ki Pananggungan mengangguk. “Mereka justru tidak tahu bahwa Kemuning ada di sini. Sejak mereka pergi, mereka belum pernah pulang.”

“Jadi, apakah maksud kedatangannya kemari?” bertanya Wijang.

“Mereka hanya singgah sebentar. Mereka justru terkejut karena Kemuning ada disini.”

“Mereka dalam perjalanan ke mana?”

“Tentu mereka tidak berterus-terang kepadaku. Mereka hanya mengatakan, bahwa mereka masih ingin menjelajahi daerah di sebelah selatan Gunung Merapi. Dalam pengembaraan mereka itulah, mereka menyempatkan diri untuk singgah.”

“Apakah pesan mereka kepada Kemuning?” bertanya Paksi.

“Pupus Rembulung telah menangisi Kemuning yang harus menempuh perjalanan jauh sampai ke tempat ini.”

“Kemuning menceriterakan kesulitannya di sepanjang perjalanannya?”

“Tidak seluruhnya. Nyi Permati telah memberitahukan kepadanya, yang manakah yang dapat disampaikan dan yang manakah tidak. Kemuning tidak berceritera tentang Bahu Langlang.”

“Apakah Pupus Rembulung benar-benar menangisinya atau sekedar satu ujud kepura-puraan saja?”

“Pupus Rembulung memang sangat mengasihinya. Jika saja Kemuning berceritera tentang Bahu Langlang, sampai ke ujung langit pun orang itu akan diburunya,” jawab Ki Pananggungan.

Paksi dan Wijang mengangguk-angguk. Sementara Wijang bertanya, “Kenapa keduanya begitu tergesa-gesa?”

“Agaknya mereka tidak ingin didahului oleh orang lain.”

Wijang menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Kenapa semuanya sekarang pergi ke selatan setelah aku pergi ke selatan? Apakah yang telah menuntun mereka? Petunjuk apakah yang telah membawa mereka beramai-ramai menuju ke arah kemana aku pergi?”

“Pangeran,” desis Ki Pananggungan, “Pangeran adalah seseorang yang memiliki kelebihan dari orang lain. Mungkin derajat dan kedudukan Pangeran. Mungkin ilmu Pangeran yang seakan-akan tidak ada batasnya. Tetapi mungkin ilmu Pangeran yang seakan-akan tidak ada batasnya. Tetapi mungkin juga karena cincin yang Pangeran bawa. Atau semuanya saling berpengaruh, sehingga getaran yang seakan-akan memancar dari pribadi Pangeran itu telah mempengaruhi getar di dalam diri orang-orang yang memang sedang mencari Pangeran. Sadar atau tidak sadar, maka getar di dalam diri mereka itu telah menuntun mereka untuk pergi ke arah Pangeran pergi.”

“Jadi bagaimana aku harus menghindarkan jejak itu? Apakah aku harus membuang cincin itu atau menitipkan kepada seseorang.”

“Itu akan sangat berbahaya, Pangeran.”

“Ya. Aku bawa cincin itu karena aku tahu, cincin ini akan hilang jika tetap berada di bangsal pusaka. Berpasang-pasang mata para bangsawan, para pejabat dan para pemimpin yang setiap hari berkeliaran di istana akan mencarinya, sehingga pada suatu saat cincin ini tentu akan dicuri orang. Ketika kemudian aku pergi dan membawanya, maka akulah yang kemudian diburu oleh orang-orang yang tamak itu.”

Namun tiba-tiba Paksi bertanya, “Bagaimana jika cincin itu kau simpan, sementara kau tetap berada di istana?”

“Kau tidak dapat membayangkan bagaimana tamaknya orang-orang di dalam istana. Tidak ada bedanya dengan orang-orang dari beberapa perguruan yang sedang memburu cincin itu. Jika aku membawa cincin itu dan tetap berada di istana, maka nyawaku akan terancam, sementara ruang gerakku terasa sangat sempit. Aku merasa di luar istana, ruang gerakku lebih luas dan bebas. Sedangkan ancaman itu ternyata ada dimana-mana.”

Paksi mengangguk kecil. Ia dapat memahami alasan Wijang. Demikian pula dengan Ki Pananggungan.....

Karena itu, maka Ki Pananggungan itu pun berkata, “Jika demikian, Pangeran harus berhati-hati.”

“Ya, Paman,” Wijang mengangguk-angguk.

“Pangeran akan dapat tinggal disini bersama Angger Paksi untuk waktu yang lebih lama. Kedua orang tua Kemuning itu tentu tidak akan segera datang lagi kemari.”

“Tetapi tempat ini sudah mulai dijamah oleh orang-orang yang sedang memburu Pangeran Benawa itu, Paman,” jawab Wijang. “Karena itu, sebaiknya untuk sementara kami menyingkir, jika kami masih berada disini, mungkin kehidupan dan keluarga Paman pun akan selalu terganggu.”

“Tidak, Pangeran. Nampaknya yang terjadi adalah satu kebetulan. Agaknya orang-orang yang datang itu hanya sekedar untung-untungan.”

“Bagaimanapun juga, telah ada orang yang datang kemari. Kemungkinan yang sama akan dapat terjadi lagi. Kami sangat berterima kasih Paman memberikan tempat kepada kami. Tetapi sekali lagi aku ingin mengatakan, kami tidak ingin menyulitkan keadaan Paman.”

“Maksud Pangeran?”

“Aku dan Paksi sudah bersepakat untuk meneruskan pengembaraan ini. Kami ingin melihat-lihat Alas Mentaok. Satu daerah yang dijanjikan oleh ayahanda bagi Kakangmas Sutawijaya. Jika saja kami dapat bertemu dengan Kakangmas Sutawijaya di Alas Mentaok, maka ceritera tentang cincin itu akan segera menjadi padam.”

“Maksud Pangeran?”

“Biarlah Kakangmas Sutawijaya yang memiliki cincin itu. Ia adalah pemegang masa depan.”

“Tetapi Pangeran adalah putera laki-laki Kangjeng Sultan. Kita tahu, bahwa Raden Sutawijaya adalah putera angkat ayahanda Pangeran.”

Wijang menggeleng-gelengkan kepalanya. Katanya, “Entahlah. Rasa-rasanya seperti yang aku katakan, Kakangmas Sutawijaya adalah pemegang masa depan setelah Pajang yang menurut pendapatku tidak akan berumur panjang.”

“Kenapa Pangeran berpikir bahwa Pajang tidak akan berumur panjang?”

Wijang menarik nafas dalam-dalam, sementara Paksi menundukkan kepalanya. Ia pernah beberapa kali bertanya, namun setiap kali Wijang menjawab, bahwa ia tidak pantas untuk menceriterakan kekurangan ayahnya sendiri.

Namun Wijang ternyata tidak menjawab pertanyaan Ki Pananggungan.

Ki Pananggungan pun tidak mendesaknya. Ia pun mengetahui, bahwa tentu ada hal-hal yang tidak dapat dikatakan. Karena itu, maka ia pun mengalihkan pembicaraannya, “Tetapi Pangeran, bukankah sampai saat ini Alas Mentaok masih belum diserahkan kepada Ki Gede Pemanahan?”

“Sepengetahuanku belum, Paman.”

“Dengan demikian, maka Raden Sutawijaya tentu belum berada di Alas Mentaok.”

“Sebagai Kakangmas Sutawijaya memang belum, Paman. Tetapi Paman tentu juga tahu, bahwa kadang-kadang Kakangmas Sutawijaya juga hilang dari istana. Kadang-kadang untuk waktu yang pendek. Tetapi kadang-kadang untuk waktu yang agak lama. Jika saja kebetulan Kakangmas Sutawijaya berada di Alas Mentaok atau dimana saja, ia tentu tahu, bahwa aku sedang tidak berada di istana.”

Ki Pananggungan mengangguk-angguk. Ia menangkap perasaan kecewa Pangeran Benawa terhadap ayahandanya dan terhadap pemerintahan di Pajang. Tetapi Pangeran Benawa tidak ingin bergerak dari istana itu sendiri.

Pangeran Benawa telah menyatakan kekecewaannya dengan caranya sendiri.

Dalam pada itu, Wijang itu pun berkata, “Malam ini kami berdua ingin melanjutkan perjalanan kami, Ki Pananggungan. Bukan karena kami tidak kerasan di rumah ini. Tetapi untuk kebaikan kita semuanya, maka kami memilih untuk meninggalkan rumah ini.”

Ki Pananggungan tidak dapat memaksa mereka untuk tetap tinggal. Keduanya adalah anak-anak muda yang sudah dewasa penuh yang sudah dapat menentukan langkah-langkah yang mereka ambil dengan penuh tanggung jawab.

“Baiklah, Ngger,” berkata Ki Pananggungan, “kami dapat mengerti maksud Angger meninggalkan rumah ini.”

Sementara itu Paksi pun berkata, “Paman, apakah aku dapat minta diri kepada Kemuning?”

Ki Pananggungan menarik nafas dalam-dalam. Sambil mengangguk-angguk ia pun berkata, “Baik, Ngger. Aku akan membangunkannya.”

Sejenak kemudian, yang duduk di ruang dalam itu tidak saja Ki Pananggungan dan Kemuning, tetapi Nyi Permati dan Nyi Pananggungan telah duduk bersama mereka.

Wijang dan Paksi pun kemudian telah minta diri kepada mereka. Tanpa menyebut alasan yang sebenarnya, Paksi mengatakan, bahwa ia harus melanjutkan pengembaraannya. Kedatangan orang-orang yang berniat buruk terhadapnya dan terhadap Wijang dengan tanpa alasan yang pasti, membuat kedua anak muda itu tidak merasa tenang.

Kemuning menundukkan kepalanya. Ia tidak dapat mencegah keduanya meninggalkan rumah pamannya, meskipun sebenarnya ia ingin mengatakannya. Tetapi sebagai seorang gadis, Kemuning memang harus menjaga dirinya, mengekang perasaannya yang bergejolak dan menahan dirinya.

Meskipun demikian Kemuning itu pun bertanya dengan suara yang hampir tidak terdengar, “Tetapi bukankah Kakang akan kembali pada suatu saat?”

“Ya. Aku akan kembali.”

“Baru saja ayah dan ibu singgah, seandainya Kakang ada, Kakang dapat berkenalan dengan ayah dan ibu.”

Jantung Paksi berdesir. Namun ia pun kemudian menjawab, “Pada kesempatan lain, kami tentu akan dapat bertemu dengan ayah dan ibumu, Kemuning.”

Kemuning tidak menjawab lagi. Tetapi debar jantungnya serasa berdetak semakin cepat.

Demikianlah, beberapa saat kemudian, Wijang dan Paksi pun telah meninggalkan rumah itu. Bukan hanya Kemuning yang mengharap mereka sempat datang kembali. Tetapi juga Nyi Pananggungan dan Nyi Permati.

Memang berat rasanya, terutama Paksi, ketika ia melangkah keluar dari regol halaman rumah Ki Pananggungan. Tetapi mereka tidak dapat berbuat lain. Paksi sadar, bahwa ia tidak dapat sekedar menuruti keinginannya sendiri. Tetapi ia harus memikirkan kepentingan yang lebih luas.

Malam itu, Wijang dan Paksi meninggalkan Padukuhan Kembang Arum. Mereka menyusuri jalan yang menuju ke selatan. Tidak ada tujuan yang pasti. Yang akan mereka lakukan adalah melihat-lihat Alas Mentaok serta menghindari orang-orang yang memburunya.

Namun Wijang memang harus berhati-hati. Di antara orang-orang yang memburunya, adalah orang-orang yang telah mengenalnya. Terutama para pengikut Harya Wisaka. Orang-orang yang sama sekali tidak diduga oleh Pangeran Benawa. Orang-orang yang diduganya prajurit-prajurit yang setia, namun ternyata pengaruh kebendaan dan keduniawian telah membuat mata mereka menjadi silau, sehingga mereka telah menjual kesetiaannya sebagai seorang prajurit.

Embun malam yang turun membuat Wijang dan Paksi merasa semakin dingin. Rerumputan menjadi basah dan sentuhan angin lembut mengguncang titik-titik embun yang bergayutan di ujung dedaunan.

“Apakah kita tidak akan berhenti dan beristirahat?” bertanya Wijang.

“Dimana?” bertanya Paksi. “Gubuk itu?”

“Tetapi kita tidak boleh kesiangan. Belum tentu pemilik gubuk itu orang yang ramah, yang tidak berkeberatan memberi tempat sekedar berteduh kepada seseorang.”

Wijang mengangguk sambil tersenyum. Katanya, “Salah seorang dari kita tidak akan kesiangan.”

Keduanya pun kemudian telah berhenti berjalan. Beberapa puluh langkah meniti pematang. Kemudian naik ke sebuah gubuk kecil. Beberapa lembar tali yang panjang terjulur menggapai orang-orangan sawah untuk mengusir burung di siang hari. Padi yang sudah siap dipanen memang harus ditunggui agar tidak terlalu banyak dimakan burung-burung liar yang kadang-kadang dalam kelompok yang besar seperti segumpal awan turun dari langit.

Kedua anak muda itu pun kemudian membaringkan diri mereka. Wijang menggeliat sambil berdesis, “Tubuhku terasa pegal-pegal.”

“Aku juga,” sahut Paksi.

“Bagaimana dengan lukamu?”

“Sudah tidak terasa lagi,” jawab Paksi.

Wijang tidak bertanya lagi. Dicobanya untuk memejamkan matanya. Meskipun hanya sekejap, jika mereka dapat tidur, rasa-rasanya tubuh mereka akan merasa segar.

Sebenarnyalah, karena kebiasaan mereka, maka sebelum fajar mereka memang sudah bangun.

Dalam pada itu, sebelum matahari terbit, keduanya telah meninggalkan gubuk itu. Tubuh mereka memang terasa menjadi semakin segar. Meskipun mereka hanya sempat tidur sejenak.

Matahari terasa mulai menggatalkan kulit ketika mereka memasuki sebuah padukuhan. Keduanya belum pernah mengenali padukuhan itu. Mereka melihat kesibukan yang sama seperti di padukuhan-padukuhan yang lain. Beberapa orang menyapu halaman. Ada pula yang menyapu jalan di depan regol halaman rumahnya. Derit senggot timba terdengar dengan iramanya sendiri.

Namun ada juga seseorang yang berselimut kain panjangnya, berjongkok di depan regol. Seakan-akan hari yang datang tidak memberinya kesibukan sama sekali, sehingga ia sempat duduk merenungi khayalan-khayalan yang panjang. Suara sapu lidi di halaman sebelah, derit senggot timba tidak mampu membangunkannya dari lamunannya yang memberikan kenikmatan semu.

Wijang sempat juga berkata, “Ada juga pemalas dimana-mana.”

Paksi mengangguk. Tetapi ketika ia berpaling ke arah orang yang duduk berselimut kain panjang itu, Wijang berkata, “Jangan kau perhatikan orang itu. Nanti ia marah.”

“O,” Paksi mengangguk-angguk.

Di pinggir jalan, dekat dengan regol padukuhan, terdapat sebuah kedai kecil yang menjual kebutuhan sehari-hari. Agaknya orang-orang di sekitarnya tidak perlu pergi ke pasar karena di kedai kecil itu telah dijual berbagai macam kebutuhan, terutama kebutuhan dapur. Kecuali keperluan-keperluan khusus.

Sementara Wijang dan Paksi melanjutkan perjalanannya,

Gangsar dengan sengaja berjalan lewat di depan rumah Ki Pananggungan.

Hatinya menjadi berdebar-debar ketika ia tidak melihat dua orang yang disebut kemenakan Ki Pananggungan itu menyapu dan menyiram halaman. Yang sibuk menyapu halaman rumah Ki Pananggungan adalah Kemuning.

Gangsar itu pun berhenti di regol halaman rumah Kemuning. Di depan pintu ia berdiri termangu-mangu memandang Kemuning yang tengah sibuk menyapu halaman. Di matanya, Kemuning nampak menjadi semakin dewasa dan semakin cantik.

“O,” Kemuning tersenyum ketika ia melihat Gangsar berdiri di regol halaman.

“Kau menyapu halaman sendiri, Kemuning. Dimana kedua orang saudaramu itu?”

“Mereka sudah pergi, Gangsar.”

“Kemana?”

“Pulang.”

“Apakah kedua orang yang menjemputnya itu saudaramu pula?”

“Kedua orang yang mana?”

“Kemarin aku melihat kedua orang anak muda itu berjalan bersama dua orang laki-laki.”

Kemuning mengerutkan dahinya. Dengan ragu-ragu ia bertanya, “Dimana kau melihat kedua saudaraku itu?”

“Di luar regol. Kebetulan saja aku melihat keduanya berjalan keluar dari regol padukuhan diikuti oleh kedua orang laki-laki itu.”

“Kau pernah melihat kedua orang laki-laki itu sebelumnya?” bertanya Kemuning.

Gangsar termangu-mangu sejenak. Namun kemudian Gangsar justru bertanya, “Siapakah kedua orang itu?”

Kemuning mengerutkan dahinya. Namun kemudian ia pun menjawab, “Yang seorang adalah pamanku. Yang seorang lagi saudara sepupu paman.”

“O,” Gangsar mengangguk-angguk. Hampir di luar sadarnya, Gangsar itu pun berkata, “Aku bertemu dengan kedua orang itu sebelumnya.”

“Dimana?”

“Di bulak. Keduanya bertanya, apakah aku mengenal kedua orang saudaramu itu.”

“O. Dan kau tunjukkan rumah Paman Pananggungan ini?”

“Bukankah mereka ada disini?”

“Ya, mereka memang ada disini.”

“Apakah kelak mereka akan kembali?” bertanya Gangsar kemudian.

“Aku tidak tahu, Gangsar. Mungkin mereka akan kembali. Tetapi mungkin juga tidak. Kenapa?”

“Tidak apa-apa Kemuning. Aku hanya ingin tahu.”

Kemuning tidak menyahut lagi. Tangannya mulai mengayunkan sapu lidinya lagi sambil berkata, “Maaf, Gangsar. Aku harus menyelesaikan kerja ini, karena kedua orang saudaraku itu sudah pulang.”

“Apakah kau tidak berkeberatan jika aku membantumu?” bertanya Gangsar pula.

Kemuning memandang Gangsar dengan kerut di dahi. Dengan heran ia bertanya, “Kau akan membantu aku menyapu halaman ini?”

“Kalau kau tidak berkeberatan, Kemuning.”

“Apakah halaman rumahmu sudah kau sapu?”

“Ibuku menyapu halaman rumahku.”

Kemuning tersenyum. Katanya, “Terima kasih atas kesediaanmu membantu aku, Gangsar. Tetapi akan lebih baik jika kau membantu ibumu, menyapu halaman rumahmu sendiri.”

Wajah Gangsar menegang sejenak. Tetapi ia pun kemudian telah berdiam diri. Dipandanginya saja Kemuning yang sedang menyapu halaman rumahnya. Tangannya bergerak dengan lincah. Setapak demi setapak ia bergerak maju. Sekali-sekali dengan lengan bajunya Kemuning mengusap keringat di keningnya.

Untuk beberapa saat lamanya Gangsar berdiri bersandar uger-uger pintu regol halaman. Untuk beberapa saat ia tidak berkata apa-apa.

Tetapi kemudian Gangsar itu pun telah minta diri.

“Aku akan pergi ke sawah, Kemuning.”

Kemuning berhenti mengayunkan sapunya. Gadis itu sempat tersenyum sambil menjawab, “Silahkan Gangsar. Tetapi bukankah sawahmu sudah dipanen?”

“Sudah Kemuning. Kami sudah bersiap-siap untuk menanam palawija. Bukankah sebagian besar sawah di bulak sebelah sudah dipanen? Beberapa bahu yang terletak di tempat yang agak rendah di dekat susukan itu, memang agak terlambat. Tetapi tidak terlalu banyak. Dan agaknya dalam satu dua hari ini juga sudah akan dipanen.”

Kemuning mengangguk-angguk. Sementara itu Gangsar yang turun ke jalan itu berkata pula, “Sudahlah Kemuning. Nanti aku akan singgah lagi.”

Kemuning tidak menjawab. Tetapi ia mulai mengayunkan sapu lidinya lagi.

Sepeninggal Gangsar, Kemuning sempat memikirkan keterangan Gangsar tentang kedua orang yang telah membawa Wijang dan Paksi. Kemuning tidak tahu apa yang terjadi kemudian. Paksi dan Wijang tidak berceritera apa-apa. Pamannya pun tidak. Namun agaknya ada sesuatu yang tidak wajar telah terjadi.

“Gangsarlah yang telah menunjukkan, bahwa Kakang Paksi dan Wijang ada di rumah ini.”

Meskipun demikian, Kemuning tidak tahu apa hubungannya antara Gangsar dengan kedua orang itu. Satu kebetulan atau ada sesuatu di balik sikap Gangsar itu.

Kemuning mencoba untuk melupakan saja keterangan Gangsar tentang kedua orang yang telah mengambil Paksi dan Wijang. Agaknya Gangsar juga tidak tahu, bahwa semalam Paksi dan Wijang telah kembali dan minta diri untuk pergi.

Kemuning menarik nafas dalam-dalam. Bagi Kemuning, Paksi adalah seorang yang telah meninggalkan bekas di dinding jantungnya. Namun Kemuning tidak tahu, siapakah sebenarnya Paksi itu. Namun bagi Kemuning, Paksi adalah anak muda yang pernah membebaskannya dari tangan yang akan meremasnya menjadi kerak neraka.

“Kakang Paksi datang dengan diselimuti rahasia. Kemudian ia pergi ke balik kabut rahasia pula.”

Kemuning sama sekali tidak dapat membayangkan, dari mana Paksi datang dan kemana ia pergi. Namun satu hal yang diharapkannya, bahwa pada suatu saat ia akan kembali lagi menemuinya. Mungkin di rumah pamannya, Ki Pananggungan.

Namun mungkin di rumahnya sendiri.

Namun sebuah pertanyaan telah membayang, “Apakah ayah dan ibu dapat menerima kehadirannya?”

Kemuning menggelengkan kepalanya. Ia tidak mau lagi memikirkannya. Biarlah itu nanti terjadi apa yang akan terjadi.

Dengan demikian, maka perhatian Kemuning pun tertuju sepenuhnya pada jalur-jalur bekas sapu lidinya, serta sampah yang terdorong semakin ke sudut halaman. Sebuah lubang tempat sampah terdapat di sudut halaman. Masih ada sisa abu pembakaran sampah yang kemarin.

Dalam pada itu, Wijang dan Paksi pun berjalan terus menyusuri jalan yang masih saja terasa menurun, meskipun sekali-sekali jalan terasa datar, bahkan sedikit memanjat naik. Tetapi mereka menyadari, bahwa mereka sedang menuruni kaki Gunung Merapi.

Ketika sekali-sekali mereka menoleh, maka nampak puncak Gunung Merapi yang kebiru-biruan sudah menjadi semakin jauh. Awan yang putih bergerak perlahan melintas di depan wajah Gunung Merapi yang garang.

Ketika Wijang dan Paksi memasuki sebuah padukuhan yang besar, maka mereka pun melihat jalan yang menjadi semakin ramai. Paksi yang terbiasa pergi ke pasar itu pun berdesis, “Agaknya ada pasar di padukuhan itu.”

“Kenapa?”

“Kita melihat perempuan yang berjalan hilir mudik menggendong bakul dan menjinjing kereneng.”

Wijang pun mengangguk-angguk pula. Mereka tentu orang-orang yang pergi ke pasar atau pulang dari pasar.

Paksi dan Wijang pun kemudian dengan sendirinya mengikuti jalan yang ramai itu. Tanpa membicarakannya lebih dahulu, keduanya pun rasa-rasanya sepakat untuk pergi ke pasar.

Agaknya hari itu adalah kebetulan hari pasaran. Pasar yang terhitung luas itu, tidak menampung orang yang berjualan dan berbelanja. Tidak jauh dari pasar itu, terdapat pemberhentian pedati. Beberapa buah pedati terdapat di tempat itu. Ada yang sedang memuat bahan pangan, tetapi ada juga yang sedang menurunkan muatannya. Bukan saja hasil bumi, tetapi juga barang-barang kerajinan. Kerajinan dari bambu dan bahkan kain lurik.

Paksi dan Wijang berdiri termangu-mangu di depan regol pasar yang ramai itu. Sekali-sekali mereka terdesak menepi. Tetapi di pinggir jalan, orang-orang yang berjualan berderet sampai ke ujung.

“Apa kita akan berbelanja?” bertanya Wijang.

Paksi tersenyum. Katanya, “Sudah lama aku tidak berbelanja.”

“Apakah di pasar ini juga ada orang berjualan nasi tumpang atau dawet cendol?” desis Wijang.

“Tentu ada. Apakah kita akan membeli nasi tumpang di pasar, atau kita akan masuk ke dalam salah satu kedai di depan pasar itu atau kemana? Ternyata perutku mulai lapar.”

Wijang pun tersenyum. Katanya, “Aku juga ingin makan. Lapar atau tidak lapar. Sebaiknya kita masuk saja ke dalam pasar dan membeli nasi tumpang jika ada.”

Paksi mengangguk-angguk. Katanya, “Aku setuju. Kita masuk saja sambil melihat-lihat keadaan di dalam pasar.”

Keduanya pun kemudian memasuki regol pasar yang agak dekat. Banyak orang berjualan di dekat pintu regol, sehingga jalan masuk ke dalam pasar itu menjadi semakin sempit.

“Tongkatmu itu,” desis Wijang, “hati-hati, kalau memukul kepala orang. Tengkuk Suratapa saja dapat kau patahkan, apalagi kepala orang-orang yang sedang berbelanja itu.”

“Apakah tongkat ini harus aku tinggal di luar? Anak-anak tentu senang memilikinya untuk menggapai jambu keluthuk di halaman tetangga.”

Wijang pun tertawa. Katanya, “Jangan kau remehkan tongkatmu itu.”

“Tentu tidak. Karena itu aku membawanya kemana-mana. Juga masuk ke dalam pasar yang sesak ini.”

Baru saja Paksi mengatupkan mulutnya, seorang laki-laki yang berwajah garang membentaknya, “He, kenapa kau membawa tongkat ke dalam pasar yang sedang temawon ini? Hampir saja dahiku membentur pangkal tongkatmu itu.”

“Maaf, Ki Sanak,” desis Paksi.

“Kenapa tongkatmu itu harus kau bawa masuk? Lempar saja di luar pasar ini.”

“Aku akan berhati-hati, Ki Sanak.”

Orang itu memandang Paksi dengan tajamnya. Namun kemudian ia pun berkata, “Jika saja tongkatmu itu menyentuh dahiku, maka aku patahkan bukan saja tongkatmu, tetapi juga tanganmu.”

“Aku minta maaf, Ki Sanak.”

Orang itu pun beranjak pergi. Wijang tersenyum sambil berkata, “Nah, kau memang harus berhati-hati.”

Paksi mengangguk-angguk. Ia pun kemudian melangkah sambil memeluk tongkatnya yang berdiri tegak, agar tidak menyentuh kepala orang.

Beberapa saat mereka menyusuri lorong-lorong di antara para penjual di pasar itu. Lorong-lorong yang sibuk oleh orang berjalan hilir mudik.

“Nah,” desis Wijang, “kau lihat di sebelah penjualan kurungan itu?”

“Ya. Nasi tumpang.”

“Kita berhenti sejenak. Agaknya penjual nasi itu juga menjual makanan.”

“Juga nasi rames.”

“Nasi rames?”

“Ya. Kau lihat ada serundeng, daging empal, jangan asem. Dan itu tentu pepes ikan. Di samping sambal dan lalapan.”

“Ya. Menarik sekali. Aku benar-benar merasa lapar.”

“Ada lincak di sekelilingnya. Ada minuman. Ah, aku belum pernah melihat orang berjualan nasi selengkap itu di dalam pasar. Kecuali di kedai-kedai.”

Sejenak kemudian, Paksi dan Wijang pun telah duduk di sebuah lincak panjang. Paksi lah yang pertama-tama memesan, “Nasi tumpang, Bi.”

Wijang pun memesan pula, “Aku nasi rames. Dengan segala macam sayur dan lauk yang ada.”

Penjual nasi itu memandanginya dengan kerut di dahi. Namun kemudian ia pun tersenyum. “Tentu yang sesuai, anak muda. Nasi tumpang tidak akan sesuai bila diberi sayur asam.”

Wijang mengangguk-angguk. Katanya, “Baik, Bibi. Aku minta nasi rames dengan sayur dan lauk yang cocok.”

Ketika penjual nasi itu sedang meracik nasi rames yang dipesan, Wijang sempat bertanya, “Nasi yang Bibi sediakan ini agak berbeda dengan penjual nasi yang lain. Bibi menjual nasi dengan berbagai macam lauk dan sayur. Termasuk nasi tumpang.”

Penjual nasi itu tertawa. “Sudah lebih dari lima orang yang bertanya seperti kau, anak muda.”

“O,” Wijang pun tersenyum. Sementara Paksi sibuk menyuapi mulutnya dengan nasi tumpang. Namun Paksi kemudian memungut sepotong daging empal sambil berdesis, “Aku mengambil satu, Bibi.”

“Semula aku hanya berjualan nasi rames,” berkata penjual nasi itu, “adik perempuankulah yang berjualan nasi tumpang. Tetapi adikku berhenti setelah menikah. Jadi, aku teruskan saja nasi tumpang itu di samping nasi ramesku.”

Wijang mengangguk-angguk. Namun sejenak kemudian Wijang telah selesai makan nasi ramesnya yang diracik di dalam sebuah pincuk daun pisang.

Namun tiba-tiba saja Wijang menggamit Paksi sambil berdesis,

“Kau lihat kedua orang itu?”

“Repak Rembulung dan Pupus Rembulung.”

“Biar saja. Mereka tidak akan memperhatikan kita.”

“Tetapi setidak-tidaknya Pupus Rembulung pernah melihat kita berdua, ketika kita berdua pergi ke Panjatan.”

Wijang menarik nafas dalam-dalam. Ia sadar bahwa orang-orang seperti Pupus Rembulung itu tidak akan dengan mudah melupakan wajah seseorang yang pernah dilihatnya. Apalagi dalam keadaan yang khusus.

Sejenak Wijang termangu-mangu. Namun kemudian berkata, “Ia pergi ke arah pintu regol. Mereka tidak akan pergi kemari.”

Paksi memperhatikan keduanya. Tetapi keduanya tidak berpaling. Keduanya berjalan di antara banyak orang menuju ke regol pasar.

Sejenak kemudian, maka keduanya pun telah hilang dari penglihatan anak muda itu, tenggelam di balik orang-orang berjalan hilir mudik di pasar.

Repak Rembulung dan Pupus Rembulung memang tidak menarik perhatian orang banyak, karena menurut ujud kewadagan, mereka tidak memperlihatkan ciri-ciri yang khusus.

Penampilan keduanya tidak ubahnya seperti orang-orang kebanyakan.

Namun Wijang dan Paksi terkejut ketika dua orang yang berjalan di dekat mereka duduk berhenti. Seorang di antara mereka berdesis, “Sepasang Alap-alap Elar Perak.”

“Mereka juga pergi ke selatan.”

“Ya. Banyak orang yang pergi ke selatan. Menurut isyarat yang dilihat oleh orang-orang yang berilmu tinggi, Pangeran Benawa yang membawa cincin itu telah bergeser ke selatan.”

“Isyarat apa?”

“Aku tidak tahu.”

Namun kawannya pun kemudian berdesis, “Jadi, bagaimana dengan Sepasang Alap-alap Elar Perak itu.”

“Jika mereka yang menangkap dan menyimpan Pangeran Benawa, maka mereka tidak akan pergi ke selatan.”

“Pangeran Benawa sendiri juga tidak akan pergi ke selatan jika ia berada di tangan suami istri itu. Jadi tidak akan gencar isyarat yang ditangkap oleh orang-orang berilmu tinggi itu.”

Kawannya mengangguk-angguk. Lalu katanya, “Kita akan mengikuti mereka. Jika kita sudah mengetahui arah perjalanan mereka, kita akan melapor.”

Kedua orang itu pun kemudian melangkah pergi untuk mengikuti jejak Repak Rembulung dan Pupus Rembulung.

Wijang menarik nafas dalam-dalam. Katanya sambil berbisik, “Sulit bagi kita untuk menghindarkan diri. Pada suatu saat, kita akan bertemu dengan orang-orang yang mengenaliku.”

“Apaboleh buat. Sepanjang Pangeran Benawa tidak mau kembali ke istana, maka segala kemungkinan memang harus dihadapi dengan segala macam akibat yang dapat terjadi.”

“Ya,” Wijang mengangguk-angguk. Namun Wijang terkejut ketika penjual nasi itu bertanya, “Lagi, anak muda?”

Wijang menjadi gagap, “Ya, ya, lagi, Bibi. Nasi tumpang.”

Ketika Wijang menerima nasi tumpang, kedua orang yang menyebut-nyebut Sepasang Alap-alap Elar Perak itu sudah tidak kelihatan lagi. Seperti Repak Rembulung dan Pupus Rembulung, mereka pun menyelinap di antara orang-orang yang hilir mudik di pasar itu.

Namun kedua orang anak muda itu sempat makan dan minum sepuas mereka. Mereka tidak lagi menghiraukan Repak Rembulung dan Pupus Rembulung. Juga kedua orang yang menyebut sepasang suami isteri itu dengan Sepasang Alap-alap Elar Perak.

Demikianlah, setelah membayar harga makan dan minuman mereka, Wijang dan Paksi pun meninggalkan penjual nasi itu.

Tetapi keduanya tidak mengetahui, bahwa sepasang mata sempat memperhatikan kampil yang dibawa oleh Paksi. Kampil yang berisi uang dan perhiasan yang dibawanya dari rumahnya sebagai bekal perjalanan yang diberikan oleh ibunya.

Beberapa saat kemudian, maka Wijang dan Paksi itu pun telah menyusup keluar dari kesibukan pasar. Sambil melangkah menjauh, Wijang sempat berdesis, “Kenapa Repak Rembulung dan Pupus Rembulung itu digelari Sepasang Alap-alap Elar Perak? Apa yang mirip dengan perak? Pakaiannya atau selendangnya atau apanya?”

“Kita pun dapat membuat gelar yang dapat menggetarkan jantung kita sendiri. Kita dapat menyebut diri kita Sepasang Garuda Berkuku Baja. Atau Sepasang Harimau Berbulu Mas. Atau Lutung Bermata Berlian.”

“Ah, kau.”

Paksi tertawa. Wijang pun kemudian tertawa pula. “Kenapa tidak mempergunakan nama bagian alam yang lain kecuali binatang?”

“Jadi apa?”

“Batu Karang Berujung Tombak.”

“Atau Awan Berlidah Api.”

Kedua anak muda itu tertawa. Namun suara tertawa mereka pun berhenti. Empat orang berwajah seram berjalan cepat menyusul mereka.

“Berhenti, anak muda,” berkata salah seorang dari mereka.

Wijang dan Paksi terkejut. Mereka pun berhenti melangkah, sementara empat orang yang berwajah seram itu pun berhenti pula. Seorang di antara mereka berdesis, “Kalian harus membelok ke kiri.”

“Kenapa?” bertanya Wijang.

“Cepat, sebelum lehermu aku tebas putus.”

Beberapa orang di jalan itu pula. Satu dua orang berpaling. Tetapi mereka tidak melihat sesuatu yang mencurigakan. Empat orang serta kedua orang anak muda itu seakan-akan sedang berhenti dan berbincang sewajarnya.

Seorang di antara keempat orang itu berkata lagi, “Belok ke kiri, kalian dengar.”

Wijang dan Paksi tidak mengetahui maksud keempat orang itu. Tetapi di kepala Wijang terlintas mereka adalah orang-orang yang sedang memburu Pangeran Benawa itu sempat mengenalinya.

Tetapi Wijang dan Paksi justru ingin tahu, apa yang akan mereka lakukan. Karena itu, maka Wijang dan Paksi pun kemudian telah melangkah berbelok ke kiri memasuki lorong yang menusuk ke tengah-tengah pategalan yang sepi.

Beberapa puluh langkah kemudian, seorang dari keempat orang itu pun berkata pula, “Nah, sekarang kita akan berbicara.”


“Apa yang harus kita bicarakan?” bertanya Wijang.

Seorang di antara mereka melangkah maju. Sambil menunjuk kampil yang berada di bawah baju Paksi orang itu berkata, “Kau sembunyikan kampil curian itu di bawah bajumu.”

Wijang dan Paksi pun saling berpandangan sejenak. Namun kemudian Paksi pun menarik nafas dalam-dalam sambil berkata seakan-akan kepada dirinya sendiri, “Jadi orang-orang ini mengikuti kami karena kampil ini.”

“Serahkan kampil itu, kampil itu punyaku.”

Paksi menggaruk tengkuknya sambil berdesis, “Kalian ini ada-ada saja.”

Orang itu justru menjadi heran. Anak muda itu sama sekali tidak menunjukkan kecemasan apalagi ketakutan.

Karena itu, orang itu pun membentak dengan garangnya, “Kampil itu punyaku. Kenapa kau mencurinya.”

Tetapi Paksi tidak menjadi ketakutan. Bahkan dengan nada datar ia bertanya, “Kapan aku mencuri kampilmu? Dimana? Jika kampil ini milikmu, katakan apa isinya. Jika kau menebak benar aku serahkan kampil ini kepadamu.”

Wajah orang itu menjadi tegang. Namun kemudian ia pun berkata lantang, “Aku tidak peduli. Berikan kampil ini kepadaku.”

“Nah, itu baru jujur. Jadi kau akan merampas kampilku ini.”

“Cukup. Jangan banyak berbicara. Aku akan menghitung sampai sepuluh. Kau harus sudah menyerahkan kampilmu itu.”

“Jika tidak?” bertanya Paksi

“Jika tidak, aku akan membunuh kalian berdua.”

“Jangan terlalu garang, Ki Sanak.”

“Satu…,” orang itu tidak menghiraukan kata-kata Paksi.

Kemudian, “Dua, tiga…. “

Paksi bergeser selangkah surut. Namun orang itu pun melangkah maju. Mulutnya masih mengucapkan hitungan, “Empat, lima, enam… “

Paksi pun berdiri termangu-mangu. Sementara itu, orang yang menghitung itu masih juga berlanjut, “Tujuh, delapan, sembilan… “

Namun tiba-tiba hitungan itu berhenti. Orang itu tidak mengucapkan hitungan yang kesepuluh.

Yang terdengar adalah keluhan tertahan. Ternyata ujung tongkat Paksi telah menyentuh bagian atas lambung serta pundak orang itu.

Perasaan sakit yang sangat membuat orang itu tidak dapat mengucapkan sepatah kata pun. Juga hitungan yang kesepuluh. Bahkan orang itu kemudian telah membungkuk menekan bagian atas lambungnya serta sekali-kali meraba pundaknya.

Kawan-kawannya terkejut. Ia tidak melihat dengan jelas apa yang terjadi. Tetapi yang mereka ketahui kemudian, kawannya yang mengucapkan hitungan itu menjadi kesakitan.

“Ia tidak mengucapkan hitungan yang kesepuluh,” berkata Paksi.

Ketiga orang kawannya pun kemudian telah berusaha untuk menolong orang yang kesakitan itu. Mereka membimbing menjauhi Paksi yang kemudian memegangi tongkatnya yang berdiri tegak di sisinya.

“Apa yang terjadi?” bertanya salah seorang dari mereka.

“Lambungku, pundakku,” keluh orang itu.

“Kenapa dengan lambungmu?” bertanya salah seorang kawannya yang melihat tongkat itu bergerak. Tetapi ia tidak tahu pasti apa yang telah terjadi.

“Tongkat itu,” desis orang yang kesakitan itu.

Ketiga kawannya pun menyadari, bahwa anak muda yang memiliki kampil yang membawa tongkat itu adalah anak muda yang memiliki ilmu kanuragan.

Namun mereka adalah orang-orang yang berpengalaman melakukan kekerasan. Karena itu, seorang di antara mereka itu menggeram, “Kau jangan coba-coba untuk menyombongkan dirimu. Apa yang kau lakukan adalah satu kebetulan saja. Kawanku memang lengah. Ia tidak mengira bahwa kau akan menyerangnya dengan licik dan tiba-tiba. Tetapi kau tidak akan dapat mengulanginya.”

Paksi tidak menjawab. Ia masih berdiri tegak sambil memegangi tongkatnya.

Orang yang marah itu melangkah maju. Kedua orang yang lain pun telah bersiap-siap pula. Sementara orang yang kesakitan berangsur mengatasi rasa sakitnya yang perlahan-lahan mulai berkurang.

“Sekarang, serahkan kampil itu. Aku hanya akan menghitung sampai tiga.”

“Tunggu, Ki Sanak,” potong Paksi.

Tetapi orang itu tidak menghiraukannya. Ia mulai menghitung, “Satu, dua… “

Namun seperti orang yang terdahulu, hitungannya patah. Orang itu tidak sempat mengucapkan hitungan ketiga. Ia mengalami sebagaimana dialami oleh kawannya. Ujung tongkat Paksi terjulur mengenai perut dan dadanya.

Orang itu bukan saja mengeluh tertahan. Tetapi orang itu berteriak kesakitan. Rasa-rasanya perut dan dadanya bagaikan telah berlubang.

“Kalian sangat memuakkan,” geram Paksi kemudian. “Jika masih ada yang ingin mencoba, aku benar-benar akan melubangi perut kalian. Atau mematahkan leher kalian dengan tongkatku ini.”

Wajah keempat orang itu menjadi tegang. Sementara Paksi berkata selanjutnya, “Akulah yang akan menghitung sampai tiga.”

Orang-orang itu termangu-mangu sejenak. Sementara yang perut dan dadanya kesakitan, masih membungkuk-bungkuk menahan sakit.

Tetapi kawan-kawannya tidak menunggu lebih lama lagi. Bahkan sebelum Paksi mulai menghitung, orang-orang itu telah tergeser menjauh. Yang masih kesakitan itu berjalan tertatih-tatih dibantu oleh kawan-kawannya dengan tergesa-gesa menjauh. Mereka harus melihat kenyataan, bahwa anak muda yang membawa tongkat itu memiliki kemampuan yang sangat tinggi. Bahkan menurut perhitungan mereka, anak muda yang seorang lagi tentu juga memiliki kemampuan yang setidak-tidaknya sama.

“Kita hanya membuang-buang waktu saja,” desis salah seorang dari mereka.

Ternyata Paksi membiarkan saja mereka pergi. Wijang yang sejak semula hanya berdiri mengamati tingkah laku Paksi itu pun tersenyum. Katanya, “Kau biarkan mereka pergi?”

“Lalu apa yang harus aku lakukan?”

“Beri mereka peringatan.”

Paksi mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia pun berteriak memanggil, “He, Ki Sanak yang akan merampas kampilku, berhentilah sebentar.”

Orang itu terkejut. Dengan jantung yang berdebaran mereka berhenti, karena mereka menyadari, bahwa mereka tidak akan dapat melepaskan diri.

“Aku akan berkeliaran disini. Jika aku masih mendengar apalagi melihat kalian merampok, maka kami benar-benar akan membunuh kalian.”

Keempat orang itu termangu-mangu sejenak. Sementara itu Paksi membentak, “Apa kata kalian? Kenapa kalian berdiam diri? Apakah aku harus memaksa kalian membuka mulut?”

“Baik, baik, Ki Sanak. Aku berjanji bahwa aku tidak akan melakukannya lagi.”

“Hanya kau yang berjanji? Bagaimana dengan yang lain?”

“Yang lain juga berjanji.”

“Diam kau. Biar mereka menjawab sendiri-sendiri.” Ketiga orang yang lain pun hampir berbareng menjawab. “Baik, baik, Ki Sanak. Kami berjanji.”

“Berjanji apa?”

“Tidak merampok lagi.”

Paksi memandang mereka bertiga dengan tajamnya. Katanya, “Ki Sanak. Aku tidak bermain-main. Aku bersungguh-sungguh. Aku dapat mengenali wajahmu kapan pun kita akan bertemu lagi. Kali ini kami berdua tidak akan menghukum kalian. Pergilah. Tetapi kami tidak akan melupakan wajah-wajah buruk kalian itu.”

Keempat orang itu pun segera meninggalkan Paksi. Mereka berusaha secepat mungkin. Kawannya yang masih saja kesakitan itu dibantu agar dapat berjalan lebih cepat. Mereka menyadari bahwa sikap anak-anak muda itu masih dapat berubah lagi. Jika saja tiba-tiba mereka ingin mematahkan leher mereka, maka nasib mereka menjadi sangat buruk.

Ketika keempat orang itu menjadi semakin jauh, maka terdengar Wijang pun tertawa. Katanya, “Sikapmu sudah cukup meyakinkan sehingga orang-orang itu benar-benar menjadi ketakutan.”

“He?”

“Seperti orang bebahu padukuhan mengusir anak-anak yang ketahuan sedang mencuri telur di kandang ayam.”

“Jadi?”

“Ya, begitulah.”

“Jika kau yang melakukannya?”

“Juga seperti yang kau lakukan.”

Wajah Paksi menjadi muram. Katanya, “Seharusnya kau yang melakukannya.”

Wijang tertawa. Tetapi katanya kemudian, “Sudahlah, kita melanjutkan perjalanan. Orang-orang itu telah menghambat perjalanan kita ke selatan.”

“Kita akan kembali turun ke jalan yang tadi kita lalui?”

“Tidak usah. Kita tempuh saja jalan kecil ini. Kita tahu ke arah mana kita harus berjalan. Puncak Gunung Merapi itu harus selalu berada di belakang kita sambil berkiblat pada jalur perjalanan matahari yang sedikit ada di utara.” Paksi mengangguk.

Demikianlah, maka keduanya pun melanjutkan perjalanan. Tetapi keduanya kemudian tidak lagi melalui jalan yang lebih besar dan lebih banyak dilalui orang. Mereka melangkah menyusuri jalan setapak di tengah-tengah pategalan yang sepi. Bahkan kemudian memasuki padang perdu, yang ditumbuhi gerumbul-gerumbul perdu yang terbentang sampai ke pinggir sebuah hutan yang membujur panjang.

Namun langkah mereka pun kemudian tertegun ketika mereka sampai di pinggir sebuah tebing yang menuruni sebuah sungai yang mengalir dengan derasnya. Di kejauhan, di seberang sungai membentang sebuah dataran yang agak luas berbatu-batu. Beberapa batang pohon besar tumbuh di antara pohon perdu dan semak-semak.

Mereka melihat bintik-bintik yang bergerak di antara semak-semak dan bebatuan.

“Kau lihat itu?” bertanya Wijang.

Paksi telah mengenakan Aji Sapta Pandulu untuk dapat melihat lebih jelas.

“Apa yang terjadi?” desis Paksi.

Wijang mengerutkan keningnya. Dengan nada berat ia berkata, “Satu benturan kekerasan.”

“Aku melihat Repak Rembulung dan Pupus Rembulung.”

“Ya. Mereka harus menghadapi sekelompok orang,” desis Wijang kemudian.

“Kita akan mendekat.”

Keduanya pun segera bergerak. Dengan tongkatnya Paksi menopang tubuhnya ketika keduanya menuruni tebing. Sementara Wijang berpegangan pada beberapa batang pohon yang tumbuh di tebing itu. Namun sekali-sekali Wijang meluncur turun dan berhenti di balik gerumbul-gerumbul liar.

“Repak Rembulung dan Pupus Rembulung menghadapi beberapa orang pengikut Harya Wisaka.”

“Darimana kau tahu bahwa mereka adalah pengikut Harya Wisaka?”

“Aku kenali pakaian satu dua orang di antara mereka. Mereka tentu bukan orang-orang padepokan atau perguruan-perguruan yang sedang saling berpacu mencari Pangeran Benawa. Meskipun orang yang lain nampaknya memang berasal dari perguruan-perguruan atau padepokan-padepokan atau dari manapun, namun beberapa orang adalah orang-orang dari Pajang atau bahkan Demak.”

“Satu kerjasama.”

“Bukan. Orang-orang Pajang atau orang-orang Demak itu memang kaki tangan Paman Harya Wisaka, seperti Ki Rangga Sumawerdi. Sedangkan yang lain mungkin orang-orang upahan atau orang-orang yang termakan oleh janji-janji dan harapan-harapan.”

“Atau pengikut-pengikutnya juga, tetapi mereka mengenakan pakaian yang berbeda.”

Wijang mengangguk-angguk sambil bergumam, “Mungkin. Ada banyak kemungkinan terjadi. Marilah, kita berusaha mendekat.”

Kemudian keduanya telah merayap di balik gerumbul-gerumbul yang banyak berserakan di antara batu-batu yang besar, yang nampaknya pada suatu saat sudah dimuntahkan dari perut Gunung Merapi......

Semakin lama keduanya pun menjadi semakin dekat dengan arena pertempuran tanpa diketahui oleh orang-orang yang sedang sibuk bertempur itu. Perhatian mereka tertuju sepenuhnya kepada lawan-lawannya, sehingga mereka sama sekali tidak menduga, bahwa ada dua orang anak muda yang memperhatikan mereka dan merayap mendekat.


Dalam hiruk-pikuk pertempuran itu terdengar seseorang berkata lantang, “Jika kau serahkan Pangeran Benawa, maka kami tidak akan mengganggumu.”

“Persetan dengan Pangeran Benawa,” bentak Repak Rembulung. “Sudah seribu kali aku katakan, bahwa aku tidak tahu-menahu dengan Pangeran Benawa.”

“Para petugas sandi mengatakan, bahwa Pangeran Benawa ada di tanganmu.”

“Petugas-petugas sandi yang dungu. Seharusnya petugas-petugas sandi yang demikian itu kalian singkirkan saja. Mereka dapat menjerumuskan kalian ke dalam kesulitan.”

“Jangan ingkar. Kami bertugas untuk membawa Pangeran Benawa kembali ke istana. Tugas-tugas penting telah menunggunya.”

“Omong kosong,” sahut Pupus Rembulung. “Kau kira kami tidak tahu, bahwa Harya Wisaka sedang memburu Pangeran Benawa. Bukan karena Harya Wisaka ingin membawa kembali Pangeran Benawa ke istana untuk segera menjalankan tugas-tugas kepangeranannya, tetapi Harya Wisaka ingin menangkap Pangeran Benawa untuk mengambil cincin yang dibawanya, kemudian menyingkirkan Pangeran Benawa untuk selama-lamanya.”

“Apakah kau juga melakukan sebagaimana kau katakan? Kau tangkap Pangeran Benawa, kau ambil cincinnya, lalu Pangeran Benawa itu kau singkirkan untuk selama-lamanya?”

“Kau gila. Kami tidak tahu-menahu tentang Pangeran Benawa.”

Orang-orang yang memburu Pangeran Benawa itu tidak bertanya lagi. Mereka bertempur semakin garang. Repak Rembulung dan Pupus Rembulung yang hanya berdua itu menjadi agak mengalami kesulitan. Apalagi di antara orang-orang yang mengaku mencari Pangeran Benawa untuk dikembalikan ke istana itu terdapat orang-orang berilmu tinggi. Nampaknya mereka adalah para pemimpin perguruan atau para pertapa atau orang-orang upahan yang memiliki bekal yang cukup.

“Seandainya mereka orang-orang upahan, mereka bukan orang-orang yang menerima upah untuk menyingkirkan saingannya berebut tempat berjualan di pasar. Bukan pula orang-orang upahan untuk menakut-nakuti anak muda yang jatuh cinta tetapi tidak disetujui oleh orang tua gadis yang dicintainya. Tetapi mereka adalah orang-orang upahan dari tataran yang tinggi. Perebutan jabatan di kalangan para pemimpin pemerintahan atau saling berebut puteri yang sedang mekar di taman istana. Atau berebut pengaruh di antara para bangsawan untuk mendapatkan kepercayaan dari Kanjeng Sultan,” berkata Wijang.

Paksi menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Apakah kehidupan di lingkungan dan di sekitar istana demikian garangnya?”

“Ya. Mereka mempergunakan segala macam cara. Orang-orang upahan yang berilmu tinggi, jebakan-jebakan dan umpan-umpan, fitnah, benda-benda yang dianggap bertuah dan ilmu hitam.”

“Aku tidak dapat membayangkannya.”

“Kau tidak usah mencoba membayangkannya.”

Paksi tidak bertanya lagi. Tetapi perhatian keduanya pun kemudian tertuju kepada pertempuran yang sedang berlangsung.

Repak Rembulung dan Pupus Rembulung benar-benar berada dalam kesulitan. Beberapa kali mereka harus berloncatan mundur. Sekali-sekali Repak Rembulung bertempur berpasangan, namun kemudian mereka telah berloncatan mengambil jarak. Namun demikian, serangan-serangan lawan-lawan mereka datang memburu seperti banjir bandang.

“Tujuh orang,” desis Wijang.

“Ya. Tujuh orang. Di antara mereka terdapat orang berilmu tinggi. Kau lihat orang yang berkepala botak tanpa mengenakan ikat kepala?”

“Yang mengalungkan ikat kepalanya di lehernya?”

“Ya.”

“Ilmunya cukup tinggi. Orang itu agaknya berniat untuk membunuh Repak Rembulung.”

Paksi menjadi gelisah. Ia sadar, bahwa sebaiknya ia tidak mencampuri persoalan itu. Tetapi bagaimanapun juga Paksi tidak dapat melupakan, bahwa Repak Rembulung dan Pupus Rembulung adalah orang tua angkat Kemuning.

“Tetapi mereka adalah termasuk orang-orang yang tamak, yang hidup di dalam bayangan yang hitam,” berkata Paksi di dalam hatinya.

Tetapi setiap kali terdengar ia berdesah. Apalagi ketika Repak Rembulung dan Pupus Rembulung berada dalam keadaan yang gawat.

Selagi Paksi dicengkam oleh keragu-raguan, tiba-tiba saja Wijang berkata, “Satu pertarungan yang tidak adil.”

Paksi yang mendengarnya dengan serta-merta menyahut, “Maksudmu?”

“Bukankah lawan Repak Rembulung dan Pupus Rembulung itu berjumlah tujuh orang?”

“Ya.”

“Sedangkan Repak Rembulung dan Pupus Rembulung hanya berdua saja.”

“Mereka tentu tidak memikirkan, adil atau tidak adil.”

“Ya. Mereka menganggap justru mendapat kesempatan untuk mengurangi jumlah lawan yang harus mereka hadapi.”

“Tetapi mereka adalah orang-orang yang jahat. Perguruan-perguruan yang berusaha memburu cincin itu adalah perguruan-perguruan yang hitam.”

“Ya. Para pemimpin perguruan yang baik tidak akan tergerak hatinya untuk memburu sesuatu yang bukan hak mereka meskipun sesuatu itu menjanjikan harapan bagi masa datang.”

“Mereka pun akhirnya berusaha untuk saling membinasakan. Jika para pemimpin perguruan itu berusaha untuk mencegah benturan kekuatan di antara mereka, namun Harya Wisaka hadir dengan sikapnya sendiri.”

“Ya.”

“Bukankah pada akhirnya mereka akan menyelesaikan persoalan mereka sendiri? Justru dengan demikian orang-orang yang memburu Pangeran Benawa itu menjadi jauh berkurang?”

“Ya. Tetapi melihat ketidakadilan seperti ini, rasa-rasanya hatiku tergelitik. Apalagi bagiku, Paman Harya Wisaka tidak kalah berbahayanya dari Repak Rembulung dan Pupus Rembulung.”

“Maksudmu?”

“Aku ingin ikut campur dalam pertempuran itu.”

“Kita akan berada di pihak yang mana?” bertanya Paksi.

“Jangan bodoh atau berpura-pura bodoh. Marilah. Jika kita terlambat, salah seorang di antara Repak Rembulung dan Pupus Rembulung itu akan segera mereka lumpuhkan.”

Paksi tidak menunggu Wijang mengulangi. Sikap Wijang itu melenyapkan keragu-raguannya. Paksi itu akan melibatkan diri dalam pertempuran yang menjadi semakin tidak seimbang.

Dalam pada itu, sepasang pedang Pupus Rembulung berputaran dengan cepatnya, sehingga menyerupai gumpalan asap di sebelah-menyebelah tubuhnya. Namun ujung-ujung senjata lawannya telah berhasil menyusup di sela-sela pertahanannya. Lengan Pupus Rembulung telah tergores pedang meskipun tidak terlalu dalam. Tetapi yang segores tipis itu telah menitikkan darahnya membasahi lengan bajunya.

Pupus Rembulung berteriak marah. Pedangnya berputar semakin cepat. Namun Pupus Rembulung harus bertempur melawan tiga orang yang berilmu tinggi, masih juga membentur kenyataan.

Pupus Rembulung tidak dapat mengharapkan bantuan Repak Rembulung yang harus bertempur melawan empat orang yang juga berilmu tinggi. Apalagi orang berkepala botak yang mengalungkan ikat kepalanya di lehernya itu.

Ketika keadaan Pupus Rembulung menjadi semakin sulit serta Repak Rembulung yang sengaja didesak menjauhi isterinya, maka Wijang dan Paksi pun telah bangkit berdiri.

Sambil melangkah mendekati, Wijang itu pun tertawa. Suaranya keras menghentak-hentak. Bahkan Paksi telah terkejut karenanya. Seakan-akan Wijang adalah seorang anak muda yang sangat keras dan kasar.

Kehadiran keduanya memang mengejutkan. Repak Rembulung dan Pupus Rembulung terkejut. Ketujuh orang yang bertempur melawan keduanya itu pun terkejut pula.

Paksi terkejut lagi ketika tiba-tiba saja ia mendengar Wijang mengumpat kasar. Kemudian sambil berteriak Wijang itu pun meloncat di atas sebuah batu besar sambil berkata, “Pertempuran ini tidak adil. Ki Repak Rembulung dan Nyi Pupus Rembulung hanya berdua, sedangkan para pengikut atau orang-orang yang diupah oleh Harya Wisaka terdiri dari tujuh orang.”

“Kau siapa?” bertanya orang yang berkepala botak.

“He, berapa kau menerima upah untuk membunuh Ki Repak Rembulung dan Nyi Pupus Rembulung, botak?”

“Anak iblis. Siapa kau?”

“Kau yang iblis, setan, gendruwo, botak.”

Hampir saja Paksi menutup telinganya dengan jari-jarinya. Wijang tidak pernah berbicara dan bersikap sekasar itu. Namun akhirnya Paksi pun menyadari, bahwa Wijang tentu sedang menyembunyikan pribadinya. Pribadi Pangeran Benawa. Jika ia bersikap wajar, maka orang yang melihat sikapnya itu akan menghubungkan kehadirannya dengan kepergian Pangeran Benawa dari istana.

Sikap Wijang itu memang memberikan kesan yang lain. Seakan-akan Wijang itu termasuk golongan orang-orang kasar yang tamak, yang juga berusaha memburu Pangeran Benawa.

Tetapi ternyata Repak Rembulung pun bertanya, “Siapa kau, anak muda?”

“Apakah Ki Repak Rembulung tidak mengenali aku lagi. Kita pernah bertemu dan berbicara di lereng Gunung Merapi. Pertemuan itu juga terganggu oleh kehadiran Harya Wisaka dengan orang-orangnya, sehingga pertemuan itu menjadi gagal. Bahkan beberapa orang di antara kita berhasil ditangkap oleh para pengikut Harya Wisaka.”

“Kalian berasal dari perguruan mana?” bertanya Repak Rembulung.

“Kami berdua adalah orang-orang Goa Lampin.”

“Omong kosong,” bentak orang yang berkepala botak. “Goa itu hanya berisi perempuan. Laki-laki yang ada di dalam goa itu seakan-akan hidup dalam kerangkeng.”

“Kami berdua adalah orang-orang yang bertugas menjaga kerangkeng itu.”

Ketujuh orang pengikut Harya Wisaka serta Repak Rembulung dan Pupus Rembulung nampak ragu-ragu. Namun Wijang tidak menghiraukannya, apakah mereka percaya atau tidak. Yang penting baginya adalah ikut campur dalam pertempuran yang tidak adil itu.

Repak Rembulung dan Pupus Rembulung memang tidak mempercayainya. Tetapi mereka tidak mengatakannya. Mereka ingin tahu, apa yang akan dilakukan oleh kedua orang yang dianggapnya masih terlalu muda itu.

Sementara itu, orang yang berkepala botak itu menjadi sangat marah atas campur tangan kedua orang anak muda itu, siapa pun mereka. Ketujuh orang pengikut Harya Wisaka itu juga tidak segera percaya bahwa kedua orang itu adalah orang-orang dari Goa Lampin, karena tidak ada ciri-ciri yang nampak pada kedua orang anak muda itu.

“Anak muda,” berkata orang berkepala botak itu, “aku tidak percaya bahwa kalian berasal dari Perguruan Goa Lampin. Tetapi aku tidak peduli siapa kalian. Tetapi jika kalian berniat mencampuri pertempuran ini, maka kalian akan mati paling awal. Repak Rembulung dan Pupus Rembulung pun tidak akan dapat lepas dari tangan kami.”

“Tikus sombong,” geram Wijang dengan kata-kata yang kasar, “jaga mulutmu itu. Kau akan menyesal jika kau tidak mau mendengar kata-kataku. Aku minta kalian bertujuh meninggalkan tempat ini.”

Orang berkepala botak itu tertawa. Bahkan kawan-kawannya pun tertawa pula.

“Cukup, orang-orang buruk,” geram Wijang. “Wajah-wajah kalian sangat memuakkan. Katakan kepada Harya Wisaka, bahwa ia tidak akan dapat menghentikan kami. Pada suatu saat kami tentu akan dapat menangkap Pangeran Benawa lebih dahulu dari Harya Wisaka. Kami akan mendapatkan cincin itu.”

“Diam,” bentak orang berkepala botak itu. “Aku akan mengoyak mulutmu itu.”

Wijang tertawa. Suara tertawanya sangat menyakitkan telinga. Katanya, “Bersiaplah untuk mati. Kesempatan kalian untuk melarikan diri adalah sekarang, sebelum pertempuran dimulai. Jika kami sudah terlanjur bertempur, maka kalian tidak akan pernah menemukan jalan kembali.”

Seorang yang bertubuh tinggi, berdada bidang yang menggenggam golok yang besar, melangkah maju sambil menggeram, “Aku tidak telaten mendengar igauan anak ini.”

Orang berkepala botak itu tidak mencegah ketika orang itu langsung menyerang Wijang dengan garangnya.

Wijang berloncatan surut. Namun kemudian, ia pun telah berkata lantang, “Jadi kaukah yang ingin mati paling awal?”

Orang bertubuh tinggi dan bersenjata golok yang besar itu tidak menyahut. Namun goloknyalah yang kemudian terayun-ayun mengerikan.

Tetapi Wijang pun telah bersiap menghadapinya. Wijang pun segera berloncatan pula. Sekali menghindar, sekali menyerang.

Paksi menjadi tercengang-cengang melihat sikap Wijang. Garang, keras dan bahkan kasar. Gerakan-gerakan yang aneh yang sebelumnya belum pernah dilihatnya. Tetapi Paksi pun mengerti, bahwa semuanya itu dilakukan agar yang tersembunyi di belakang sosok Wijang itu tidak mudah terungkap.

Dalam pada itu, orang yang berkepala botak itu pun kemudian berteriak, “Kita selesaikan yang lain. Jika Repak Rembulung dan Pupus Rembulung berkeras untuk tidak mau menyerahkan Pangeran Benawa, maka keduanya akan mati di sini.”

Repak Rembulung dan Pupus Rembulung seakan-akan tersadar dari sebuah mimpi. Bahkan dengan nada rendah Pupus Rembulung pun bertanya kepada Paksi yang masih berdiri termangu-mangu, “Kenapa kalian melibatkan diri, anak-anak muda?”

Paksi menjadi gagap. Sulit baginya untuk tiba-tiba saja menjadi sekasar Wijang. Namun akhirnya ia mencoba mengaburkan suaranya dan menjawab, “Kami hanya ingin mencegah penyelesaian yang tidak adil dari pertempuran ini.”

“Kalian menganggap bahwa kami tidak mampu mengatasi mereka bertujuh?”

Paksi tercenung sejenak. Namun kemudian ia pun menjawab,

“Itu tidak penting. Yang penting, aku benci melihat kelicikan ini.”

Orang berkepala botak itu pun kemudian melangkah mendekati Paksi sambil berkata, “Jadi nasibmulah yang ternyata paling buruk. Kau akan mati lebih dahulu dari Repak Rembulung dan Pupus Rembulung. Justru karena kau terlalu bernafsu untuk ikut campur dalam persoalan orang lain. Bahkan kau akan mati lebih dahulu dari kawanmu itu.”

Tetapi Paksi yang berusaha menyesuaikan diri dengan sikap Wijang itu pun tertawa. Kemudian menghentakkan tongkatnya di tanah sambil berkata lantang, “Ayo, botak. Tongkatku akan meretakkan tulang tenggorokanmu. He, kenapa tidak kau pakai ikat kepalamu itu?”

Orang berkepala botak itu tidak tahan lagi mendengar kata-kata Paksi itu. Ia pun kemudian memutar tongkat besinya sambil berkata, “Apa arti tongkatmu itu, anak iblis.”

Paksi tidak menjawab. Tetapi ia pun segera bersiap menghadapi segala kemungkinan.

Repak Rembulung dan Pupus Rembulung masih saja berdiri termangu-mangu. Berbagai pertanyaan telah membelit jantung. Tiba-tiba saja dua orang anak muda telah melibatkan diri dalam pertempuran yang memang kurang seimbang, karena Repak Rembulung dan Pupus Rembulung memang mengalami kesulitan untuk melawan tujuh orang yang berilmu tinggi.

“Tetapi apakah tujuan mereka sebenarnya?”

Repak Rembulung dan Pupus Rembulung yang terbiasa hidup di dunia yang hitam itu memang tidak dapat cepat mempercayai seseorang. Dalam satu usaha untuk bekerja bersama pun mereka selalu saling curiga.

Tetapi untuk sementara kehadiran kedua orang anak muda itu menguntungkan mereka. Setidak-tidaknya lawan mereka berkurang. Jika Pupus Rembulung melawan empat orang, maka lawan mereka masing-masing akan berkurang satu orang, orang yang bertubuh tinggi dan berdada bidang, yang semula ikut bertempur melawan Pupus Rembulung telah terikat dalam pertempuran melawan salah seorang dari anak muda itu. Sementara itu, orang yang berkepala botak itu akan bertempur melawan anak muda yang bersenjata tongkat.

Namun orang yang berkepala botak itu pun kemudian berteriak, “Jangan biarkan Repak Rembulung dan Pupus Rembulung memanfaatkan kesempatan ini untuk melarikan diri.”

Orang-orang yang lain pun segera menyadari. Karena itu, maka serentak mereka pun bergerak. Dua orang berhadapan dengan Pupus Rembulung, sedangkan yang tiga orang mengurung Repak Rembulung.

Dengan demikian, maka keseimbangan pertempuran itu pun berubah. Repak Rembulung dan Pupus Rembulung tidak lagi mendapat tekanan terlampau berat. Meskipun mereka masih harus memeras kemampuan mereka untuk melindungi diri, namun Repak Rembulung dan Pupus Rembulung masih mempunyai kesempatan untuk sekali-sekali menyerang lawannya. Namun lawan-lawan mereka pun berilmu tinggi, sehingga sulit bagi Repak Rembulung dan Pupus Rembulung untuk mampu menembus pertahanan mereka.

Sementara itu, orang bertubuh tinggi, berdada bidang dan bersenjata golok itu pun terkejut ketika mulai terjadi benturan-benturan dengan anak muda yang bertingkah laku kasar itu. Orang itu memang sudah mengira bahwa anak muda itu tentu merasa memiliki ilmu yang tinggi, sehingga ia berani memasuki lingkaran pertempuran yang rumit itu. Namun ternyata tenaga Wijang di luar perhitungannya. Demikian pula ketangkasannya bergerak. Meskipun dengan kasar, namun anak muda itu mampu bergerak dengan cepat.

Orang bersenjata golok itu harus menghadapi kenyataan. Anak muda yang semula akan dapat diselesaikan dengan cepat itu, justru mulai mendesaknya. Serangan-serangannya datang seperti hentakan-hentakan hujan rog-rog asem. Demikian datang beruntun dengan derasnya, namun dengan tiba-tiba saja berhenti, seakan-akan ia menunggu serangan-serangan lawannya.

Sementara itu orang yang berkepala botak, yang bertempur dengan tongkat besi, juga terkejut ketika terjadi sebuah benturan yang keras. Tongkat anak muda itu tidak patah.

Orang berkepala botak itu menyadari, bahwa kecuali tongkat itu bukan tongkat kayu kebanyakan, namun agaknya kemampuan anak muda itu mempergunakan tongkatnya juga berpengaruh, sehingga benturan yang terjadi itu tidak mematahkan tongkat kayunya.

Orang berkepala botak itu harus menjadi semakin berhati-hati. Di setiap benturan rasa-rasanya tongkat kayu orang itu telah menghisap tongkat besinya, sehingga orang berkepala botak itu harus memeganginya dengan eratnya.

Dengan demikian pertempuran itu semakin lama menjadi semakin sengit. Meskipun Repak Rembulung telah kehilangan seorang lawannya yang berilmu tinggi, tetapi Repak Rembulung tidak menguasai lawan-lawannya. Ketiga orang lawannya telah berusaha menebar dan menyerang Repak Rembulung dari arah yang berbeda-beda.

Sementara itu Pupus Rembulung memang tidak banyak lagi mengalami kesulitan. Lawan-lawannya tidak lagi mampu menembus pertahanannya. Tetapi kemampuan kedua lawannya bertempur berpasangan membuat Pupus Rembulung kadang-kadang masih harus berloncatan surut.

Yang kemudian telah terdesak adalah orang yang bersenjata golok. Ternyata goloknya yang besar, sulit sekali mengimbangi kecepatan gerak sepasang pisau belati di tangan anak muda yang bertempur dengan keras dan kasar itu.

Bahkan orang yang bersenjata golok itu merasa heran, bahwa ayunan golok yang kuat, ternyata mampu ditangkisnya dengan perisai yang melingkar di pergelangan tangannya.

“Anak ini benar-benar anak iblis,” geram orang bertubuh tinggi yang berdada bidang dengan golok di tangannya itu.

Dengan demikian, maka orang bertubuh tinggi itu pun harus mengerahkan segenap kemampuannya untuk mengatasi kemampuan gerak serta kegarangan anak muda yang bersenjata sepasang pisau belati itu.

Namun Wijang pun semakin mendesaknya. Pisaunya bergerak menyambar-nyambar, sementara ayunan golok yang besar itu seakan-akan tidak mampu menghambatnya.

Karena itu, maka orang itu harus berloncatan mundur. Sekali-sekali meloncat beberapa langkah untuk mengambil jarak serta memperbaiki keadaannya.

Tetapi Wijang tidak memberikan banyak kesempatan. Setiap kali lawannya berloncatan mundur, Wijang pun segera meloncat memburunya. Sepasang belatinya berputaran dengan cepat menyambar-nyambar.

Orang bersenjata golok itu pun semakin mengalami kesulitan.

Ia adalah seorang yang terhitung garang dan kasar. Tetapi lawannya yang muda itu seakan-akan telah menjadi buas dan liar.

Paksi sekali-sekali sempat melihat bagaimana Wijang mendesak lawannya. Loncatan-loncatan panjang, ayunan tangannya yang menggenggam pisau-pisau belati. Bahkan sekali-sekali Wijang itu menerkam lawannya seperti seekor harimau lapar. Namun kemudian menyerang dengan kakinya mendatar.

Ketika lawannya berteriak nyaring sambil mengayunkan goloknya, maka Wijang pun berteriak pula. Lebih keras dan bahkan melengking. Demikian ketika lawannya mengumpat, maka Wijang pun mengumpat lebih kasar.

Sementara itu, Paksi yang mencoba menyesuaikan diri, ternyata banyak mengalami hambatan dari dalam dirinya sendiri. Sekali-sekali Paksi pun mencoba berteriak. Tetapi tidak dapat sekasar Wijang. Paksi memang sering berteriak untuk menghentakkan kekuatannya. Tetapi terdengar wajar. Tidak seperti aum seekor harimau lapar atau seperti jerit serigala di terang bulan.

Meskipun demikian, Paksi pun sudah banyak berubah. Ia tidak mencerminkan dirinya sendiri.

Orang berkepala botak itu pun kemudian harus menghadapi kenyataan. Lawannya yang masih muda, bersenjata tongkat ternyata tidak dapat ditundukkannya. Bahkan semakin lama orang itu justru menjadi semakin terdesak.

Namun satu hal yang membingungkan orang itu adalah, bahwa sulit sekali baginya untuk mengenali ilmu dan sifat lawannya. Sekali-sekali Paksi memang bertempur dengan ilmunya yang mapan. Tetapi kemudian tata geraknya menjadi kacau. Tetapi satu hal yang membuatnya pening. Tongkat anak muda itu seakan-akan dapat menggeliat. Benturan yang keras pun terasa menjadi lunak, sehingga tongkat kayu itu tidak patah oleh tongkat besinya.

Namun ujung tongkat itu mulai mematuknya. Semakin lama semakin sering. Ketika pundak orang berkepala botak itu terdorong oleh ujung tongkat Paksi, maka orang itu hampir saja kehilangan keseimbangan.

Namun orang berkepala botak itu terkejut ketika kawannya yang bertubuh tinggi dan berdada bidang berteriak marah. Ujung belati Wijang telah menggores dadanya.

Repak Rembulung dan Pupus Rembulung masih harus mengerahkan kemampuannya yang mengimbangi lawan-lawannya. Namun nafas mereka tidak lagi terasa berdesakan di lubang hidung. Bukan saja karena mereka memaksakan diri mengerahkan kemampuannya untuk melindungi diri dari lawan-lawan mereka, tetapi juga karena kegelisahan yang mencengkam.

Dalam pada itu, tiga orang yang bertempur melawan Repak Rembulung itu menyadari kesulitan yang dialami oleh kawannya yang bertubuh tinggi, berdada bidang dan bersenjata golok itu.

Karena itu seorang di antara mereka telah memberi isyarat untuk meninggalkan Repak Rembulung untuk melibatkan diri, bertempur melawan anak muda yang bersenjata sepasang pisau belati itu. Anak muda yang bertempur dengan keras dan kasar.

Bahkan kadang-kadang menjadi liar.

Dengan demikian keadaan Repak Rembulung menjadi semakin baik. Ia tidak lagi mengalami terlalu banyak kesulitan.

Meskipun kedua orang itu bertempur dengan garang, tetapi sulit bagi keduanya untuk menembus pertahanan Repak Rembulung. Wijang lah yang kemudian harus bertempur melawan dua orang lawan. Tetapi ternyata ilmu Wijang benar-benar tinggi.

Kedua orang lawan Wijang menjadi bingung. Mereka bertempur dengan keras dan kasar. Tetapi Wijang bertempur dengan cara yang lebih kasar lagi. Kedua pisaunya berputaran. Namun kedua kaki Wijang pun bergerak dengan cepat menyambar-nyambar. Adalah di luar perhitungan lawannya, bahwa kaki Wijang juga membaurkan debu. Melontarkan batu dan serangan-serangan yang liar lainnya.

“Dari iblis gila manakah kau sadap ilmumu, he?” teriak salah seorang lawan Wijang itu.

Wijang meloncat menyerang sambil menjawab, “Kau yang berguru pada iblis.”

Lawannya tidak menyahut lagi. Tetapi kedua-duanya menyerang hampir bersamaan. Seorang di antaranya berteriak keras sambil mengayunkan golok, yang seorang mencoba memotong gerak Wijang yang diperhitungkan akan menghindari ayunan golok itu.

Tetapi perhitungan orang itu salah. Wijang tidak menghindar. Tetapi Wijang bergeser sambil menangkis ayunan golok yang keras itu dengan menyilangkan sepasang pisau belatinya.

Demikian benturan yang keras terjadi, maka terasa tubuh lawannya terguncang. Kekuatan yang terayun pada senjatanya yang berat seakan-akan telah memantul menyusuri goloknya yang besar itu, menggetarkan tangannya.

Terasa sendi-sendi tangan orang itu bagaikan berpatahan. Sementara itu kawannya pun telah meloncat menyerang pula. Ketika ia melihat bahwa gerak Wijang tidak sebagaimana diperhitungkan, maka ia pun merubah arah serangannya. Senjata pun berputar dan menebas mendatar ke arah lambung.

Tetapi Wijang sempat meloncat. Terdengar teriakan melengking dari mulutnya. Dengan satu putaran Wijang bagaikan melenting. Kakinya yang berputar terayun mendatar menyambar wajah lawannya itu.

Serangan kaki itu demikian derasnya, sehingga lawannya itu terlempar beberapa langkah surut. Sementara lawannya yang bersenjata golok itu masih belum dapat memperbaiki keadaannya. Tangannya terasa sakit dan bahkan rasa sakit itu telah menjalar ke dadanya.

Tetapi ia tidak mempunyai waktu untuk merenungi keadaannya. Anak muda yang bersenjata sepasang pisau itu seakan-akan meloncat menerkamnya.

Orang itu berusaha menghindar. Tetapi ia tidak dapat keluar dari jangkauan serangan Wijang. Pisau belatinya telah mengoyak pundaknya.

Orang itu berteriak marah dan mengumpat kasar. Tetapi Wijang berteriak lebih keras. Ia mengumpat lebih kasar.

Telinga Paksi menjadi panas mendengar kata-kata kasar yang meluncur dari sela-sela bibir Pangeran Benawa itu. Sama sekali memang tidak mencerminkan pribadi seorang bangsawan tertinggi di Pajang, sementara Paksi sendiri tidak dapat melakukannya.

Repak Rembulung dan Pupus Rembulung sangat tertarik kepada sikap Wijang. Kekasarannya, ketegarannya dan tataran ilmu iblisnya yang tinggi.

Pertempuran pun semakin lama menjadi semakin sengit. Kedua belah pihak telah meningkatkan kemampuan mereka. Orang yang berkepala botak itu pun telah berusaha dengan segenap kemampuannya untuk mengatasi lawannya yang bersenjata tongkat. Tetapi setiap kali ia harus mengalami kenyataan yang pahit. Tongkat kayu yang buruk itu mematuknya dengan kerasnya. Bahkan kemudian satu ayunan yang deras tidak dapat dihindarinya, sehingga tongkat itu telah memukul punggungnya.

Orang berkepala botak itu menjadi sangat marah. Anak itu memukulnya seperti memukul pencuri ayam yang ketahuan sedang merunduk di kandang, sementara ia tidak berhasil menghindar.

Tetapi kemarahan orang itu tidak berarti apa-apa bagi Paksi. Serangan-serangan tongkatnya semakin lama justru menjadi semakin berbahaya.

Tulang-tulangnya bagaikan berpatahan ketika beberapa kali tongkat itu mengenai tubuhnya. Mengenai punggungnya, lambungnya, pundak dan lengannya. Ketika ujung tombak itu mematuk perutnya, rasa-rasanya perutnya itu telah berlubang.

Orang yang berkepala botak, yang nampaknya memimpin kawan-kawannya yang berniat untuk memaksa Repak Rembulung dan Pupus Rembulung mengakui keberadaan Pangeran Benawa di sarangnya, harus melihat kenyataan.

Semula ia meninggalkan lawannya sejenak untuk membunuh anak muda yang bersenjata tongkat itu, sebelum menyelesaikan Repak Rembulung dan Pupus Rembulung. Tetapi ternyata yang terjadi tidak sebagaimana dikehendaki. Ia tidak berhasil membunuh anak muda yang bersenjata tongkat itu dalam waktu sepenginang. Tetapi justru orang itu sendiri yang cedera oleh ilmu anak muda yang bersenjata tongkat itu.

Namun dalam pada itu, selagi kedua lawan Wijang mengalami kesulitan sementara lawan Paksi semakin terdesak, terdengar teriakan kesakitan. Justru seorang lawan Repak Rembulung lah yang terlempar dari arena pertempuran, terbanting jatuh dan kemudian berguling-guling. Sebuah luka yang panjang tergores di dadanya.

Seorang lawannya yang lain tidak berhasil menghentikan serangan itu. Bahkan orang itu telah terdesak beberapa langkah surut.

“Gila. Terkutuklah kau, anak iblis,” teriak orang berkepala botak. Kemudian katanya kepada Paksi, “Kau dan kawanmu merusak semua rencanaku, karena itu maka kau pantas untuk dipancung.”

Tetapi jawab Paksi menyakitkan hatinya, “Senjatamu tidak akan dapat kau pergunakan untuk memancung kepalaku.”

“Persetan kau, anak setan,” sahut orang itu.

Paksi tertawa. Sangat menyakitkan hati. Tetapi ketika Paksi mencoba untuk mengumpat, suaranya hanya dapat didengarnya sendiri.

Paksi tidak dapat mengumpat seperti Wijang, meskipun Paksi tahu, yang nampak pada Wijang itu bukan pribadi Wijang yang sebenarnya.

Dalam pada itu, keseimbangan pertempuran pun sudah berubah sama sekali. Lawan Wijang yang seorang sudah menjadi semakin lemah. Darah yang mengalir dari lukanya, menjadi semakin banyak pula.

Kawannya yang seorang, menjadi semakin sulit. Serangan-serangan Wijang datang semakin cepat. Ia harus berjuang sendiri untuk melindungi dirinya.

Lawan Repak Rembulung pun tinggal seorang lagi. Karena itu orang itu pun menjadi semakin gelisah.

Yang masih harus bertempur dengan sengitnya adalah Pupus Rembulung. Meskipun demikian, keringat kedua orang lawan Pupus Rembulung menjadi semakin banyak mengalir. Sepasang pedang Pupus Rembulung mulai menyentuh tubuh mereka.

Meskipun Pupus Rembulung juga sudah terluka, namun luka Pupus Rembulung itu tidak mengganggunya sama sekali.

Orang yang berkepala botak itu pun semakin mengalami kesulitan. Tongkat Paksi semakin sering mengenai tubuhnya. Bahkan Paksi telah menyentuh kepala lawannya itu dengan tongkatnya sehingga orang itu menjadi pening.

Dalam keadaan yang rumit, orang yang berkepala botak itu tidak mempunyai pilihan lain. Ia merasa bahwa ia dan kawan-kawannya tidak akan mampu memenangkan pertempuran itu. Apalagi setelah dua orang di antara mereka tidak berdaya lagi

Karena itu, maka orang berkepala botak itu tidak mempunyai pilihan lain. Ketika Paksi semakin mendesaknya, maka orang yang berkepala botak dan bersenjata tongkat besi itu telah bersuit nyaring.

Satu isyarat bagi kawan-kawannya. Mereka pun menyadari kesulitan yang sedang mereka hadapi.

Sejenak kemudian, maka orang yang berkepala botak itu pun telah meloncat meninggalkan arena pertempuran. Demikian pula kedua lawan Pupus Rembulung yang tersisa.

Paksi yang sudah bersiap untuk meloncat mengejar orang-orang yang melarikan diri itu tertegun karena Wijang memberi isyarat kepadanya agar orang-orang itu dibiarkan saja pergi. Repak Rembulung dan Pupus Rembulung pun tidak mengejar lawan-lawannya pula.

“Tidak ada gunanya,” berkata Repak Rembulung. “Mereka akan berpencar dan kita akan kehilangan waktu saja.”

Pupus Rembulung pun mengangguk-angguk. Dipandanginya dua orang di antara lawan-lawan mereka yang terluka agak parah. Mereka ditinggalkan saja di arena pertempuran. Kawan-kawan mereka yang melarikan diri itu tidak peduli, apakah kedua orang yang terluka itu akan mati atau tidak.

Wijang pun berdiri termangu-mangu. Dua orang yang terluka parah itu terbaring sambil merintih kesakitan. Seorang di antara mereka terluka oleh senjata Wijang, sedang seorang lagi dilukai oleh Repak Rembulung.

Pupus Rembulung melangkah mendekati orang yang dilukai oleh suaminya. Dengan nada dalam ia berkata, “Apa yang akan kita lakukan atas orang ini? Ia akan mati kehabisan darah.”

Repak Rembulung kemudian berjongkok di sebelah orang itu sambil mengguncang tubuh orang yang sudah terluka parah itu. “Kenapa kalian akan membunuh kami?”

Orang itu tidak menjawab. Yang terdengar adalah erang kesakitan.

Sekali lagi Repak Rembulung mengguncang tubuh orang itu sambil bertanya lebih keras, “Kenapa kalian akan membunuh kami berdua, he?”

Orang itu berhenti mengerang. Tetapi mulutnya menyeringai menahan sakit. Dengan suara bergetar ia menjawab, “Kami tidak akan membunuh kalian.”

“Jadi apa yang kalian lakukan?”

“Kami mencari Pangeran Benawa. Ada di antara kami yang menduga, bahwa Pangeran Benawa ada di tangan kalian atau di tangan orang-orang Goa Lampin.”

“Tetapi kalian benar-benar akan membunuh kami dalam pertempuran ini.”

“Itu buka tujuan kami. Tujuan kami adalah menemukan Pangeran Benawa.”

Repak Rembulung memandang istrinya sejenak. Sementara itu Pupus Rembulung berdesis, “Tahan darah orang itu agar ia tidak mati karena kehabisan. Biarlah ia sembuh. Kita akan menantangnya pada kesempatan lain.”

Wijang dan Paksi terkejut. Ternyata Repak Rembulung dan Pupus Rembulung itu tidak sebuas yang mereka duga.

Repak Rembulung kemudian mengambil kantong kecil dari ikat pinggang kulitnya yang besar, ia pun segera menaburkan serbuk itu di luka lawannya yang menganga di dadanya

Kemudian kepada Wijang, Repak Rembulung itu pun berkata, “Pampatkan darah lawanmu itu.”

Sebelum Wijang menjawabnya, Repak Rembulung telah mengikat tali kantongnya dan melemparkan kantong yang berisi serbuk itu kepada Wijang.

Wijang tidak dapat berbuat lain. Ia pun menangkap kantong kecil itu. Kemudian ia pun menaburkan serbuk ramuan obat pada luka-luka lawannya yang berdesah menahan sakit. Tetapi pada tubuh itu tidak hanya terdapat sebuah luka. Tetapi beberapa.

Beberapa saat kemudian, kedua orang itu pun justru menggeliat-geliat menahan pedih yang bagaikan menghunjam sampai ke tulang sungsum. Namun Repak Rembulung itu pun berkata, “Sentuhan obat itu memang terasa pedih. Tetapi darahmu akan pampat. Apakah kemudian kalian akan sembuh atau tidak, itu tergantung kalian dan kawan-kawan kalian. Apakah mereka menaruh perhatian kepada kalian atau tidak. Jika nanti aku pergi, kawan-kawan kalian tidak kembali, nasib kalianlah yang agaknya memang buruk sekali.”

Orang-orang yang terluka itu tidak menyahut. Mereka berjuang untuk mengatasi rasa sakit mereka.

Perhatian Repak Rembulung dan Pupus Rembulung pun beralih kepada Wijang dan Paksi. Dengan nada berat Repak Rembulung itu pun bertanya, “Siapa sebenarnya kalian, anak-anak muda?”

Wijanglah yang menjawab dengan kasar, “Apakah kalian tidak mendengar? Kami adalah orang-orang dari Goa Lampin.”

Repak Rembulung tertawa. Katanya, “Jangan membual.”

“Cukup,” bentak Wijang. “Percaya atau tidak percaya, itu bukan urusanku. Aku tidak peduli.”

“Tetapi apa kepentingan kalian sehingga kalian melibatkan diri dalam pertempuran ini?”

“Apakah kau juga tidak mendengar? Aku tidak mau melihat pertempuran yang tidak adil. Hanya itu.”

“Orang-orang Goa Lampin tidak akan berbuat seperti itu.”

Wijang tertawa. Katanya, “Aku pun tidak mengira, bahwa kau tidak akan membunuh orang yang terluka itu, bahkan mengobatinya. Bukankah itu pertanda, bahwa kita masing-masing tidak mengetahui dengan pasti sifat dan watak orang lain? Kadang-kadang kita mempunyai prasangka jauh lebih buruk tentang orang lain dari sifat dan wataknya yang sebenarnya.”

Repak Rembulung tertawa pula. Katanya, “Aku mengerti, anak muda. Tetapi aku pun mengerti dengan pasti, bahwa kalimat itu tidak akan diucapkan oleh orang-orang dari Goa Lampin. Aku pun tahu pasti, bahwa Goa Lampin tidak ada anak-anak muda yang sempat keluar dari padepokan mereka.”

Wijang tertawa semakin keras. Suara tertawanya seperti iblis yang meringkik di malam terang bulan. Katanya, “Ternyata pengetahuanmu tentang Goa Lampin hanyalah dangkal sekali. Kau hanya sempat melihat permukaannya saja. Tetapi tidak ke kedalaman.”

“Sudahlah,” Potong Pupus Rembulung. “Kau betah sekali bicara tentang Goa Lampin.”

Repak Rembulung berpaling, sementara Pupus Rembulung pun bertanya kepada Wijang dan Paksi, “Anak-anak muda, siapa pun kalian, serta apa pun tujuan kalian, aku ingin tahu, apa yang akan kalian lakukan sekarang?”

“Aku ingin kalian menjawab dengan jujur,” geram Wijang,

“Apakah Pangeran Benawa ada di tanganmu?”

“Untuk siapa kalian mencarinya?” bertanya Pupus Rembulung.

“Tidak ada gunanya aku menjawab pertanyaan ini, karena kalian tidak akan percaya.”

“Kau aneh, anak muda,” berkata Pupus Rembulung. “Kau minta kami menjawab dengan jujur. Tetapi kalian tidak melakukan hal yang sama.”

“Aku sudah menjawab dengan jujur. Kami mencari Pangeran Benawa.”

“Baiklah. Kami pun akan menjawab dengan jujur, Pangeran Benawa tidak ada di tangan kami.”

Wijang menggeram. Katanya, “Adalah satu pertanyaan yang bodoh. Seharusnya kami tahu, bahwa jawaban itulah yang akan kami dengar.”

“Kami menjawab dengan jujur.....”
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar