Jejak Dibalik Kabut Jilid 11

Wijang mengangguk-angguk. Sementara itu Ki Pananggungan pun berkata, “Baiklah, Ngger. Sekarang biarlah aku tidak mengganggu Angger berdua.”

Wijang tertawa. Tetapi perutnya sudah mulai terasa kenyang, justru karena ia makan sambil berbincang, maka rasa-rasanya Wijang dan Paksi tidak sempat lagi memperhatikan seberapa banyak nasi sudah masuk ke dalam perut mereka.

Ketika mereka sudah selesai makan, maka Kemuning pun segera membenahi mangkuk-mangkuknya dan kemudian membawanya ke dapur untuk dicuci. Sementara itu minuman yang hangat pun telah dihidangkan lagi.

Seperti yang dikatakan Paksi, maka mereka berdua akan berada di rumah itu untuk dua tiga hari. Kecuali jika Ki Repak Rembulung dan Nyi Pupus Rembulung datang ke rumah itu untuk menemui Kemuning.

Setelah makan dan beristirahat sambil berbincang tentang keadaan Padukuhan Kembang Arum beberapa saat, maka Ki Pananggungan pun telah mempersilahkan kedua orang tamunya untuk beristirahat di bilik yang telah disediakan bagi mereka, di gandok sebelah kanan.

“Kemuning telah membersihkan gandok itu,” berkata Ki Pananggungan

Ketika keduanya sudah berada di gandok, maka Wijang pun berdesis, “Kau tentu kerasan tinggal disini.”

“Kenapa?” bertanya Paksi.

“Gadis itu memang cantik.”

“Aku tidak berada disini karena gadis itu.”

Wijang tertawa. Katanya, “Jadi karena apa kau betah tinggal disini kalau tidak karena gadis itu?”

Paksi mengerutkan dahinya. Namun kemudian ia menjawab, “Ki Pananggungan adalah seorang yang sangat menarik. Ia banyak memberikan petunjuk kepadaku.”

Wijang tertawa berkepanjangan.

“Kau tidak percaya?”

“Siapa yang mengatakan bahwa aku tidak percaya?”

Paksi terdiam.

Wijang pun kemudian berbaring di pembaringan sambil berkata, “Tiba-tiba aku jadi mengantuk.”

“Kau makan terlalu banyak,” sahut Paksi sambil melangkah ke luar bilik di gandok itu.

“He, kau pergi kemana?” bertanya Wijang.

“Aku ingin duduk di serambi. Jika kau ingin tidur, tidurlah.”

Tetapi Wijang justru bangkit dan mengikuti Paksi melangkah keluar bilik yang udaranya terasa agak panas itu. Keduanya pun kemudian duduk di sebuah lincak panjang di serambi gandok.

Angin sore berhembus menggoyang pepohonan. Daun-daunnya yang kuning terlepas dari tangkainya yang melayang jatuh di plataran.

Paksi tiba-tiba saja bangkit ketika ia melihat Kemuning keluar dari pintu seketeng sambil membawa sapu lidi.

Sambil melangkah mendekat, maka Paksi itu pun berkata, “Biarlah aku saja yang menyapunya.”

Kemuning termangu-mangu. Tetapi Paksi telah mengambil sapu lidi itu dari tangan Kemuning.

“Biarlah aku saja menyapunya,” berkata Kemuning.

Tetapi Paksi pun menjawab, “Kau dapat membantu Nyi Pananggungan di dapur.”

“Apakah kau terbiasa menyapu halaman dengan sapu lidi?” bertanya Kemuning.

“Ya. Aku sudah terbiasa melakukannya.”

Kemuning menjadi ragu-ragu. Namun kemudian ia pun berdesis, “Baiklah. Tetapi jika kau merasa letih, tinggalkan saja. Nanti aku akan menyelesaikannya.”

“Aku sudah terbiasa menyapu halaman yang lebih luas dari halaman ini,” jawab Paksi.

Kemuning memandang Paksi sekilas. Namun kemudian ia pun segera menunduk sambil berkata, “Baiklah. Aku akan membantu Bibi di dapur.”

Sepeninggal Kemuning, maka Wijang pun datang mendekatinya. Katanya, “Biarlah aku saja yang menyapunya. Kau dapat membantu Kemuning di dapur.”

Tetapi jawaban Paksi tidak diduga oleh Wijang. Katanya, “Marilah, silahkan. Nanti, biarlah aku yang mengaku telah menyapu halaman ini.”

“Tidak mau,” berkata Wijang kemudian. “Jika kau yang menyapu, biarlah aku yang mendapat pujian.”

“Seharusnya kau memang belajar menyapu. Halaman dalam istana Pajang setiap pagi dan sore harus disapu pula.”

“Dengan satu lambaian tangan, halaman itu sudah akan bersih,” berkata Wijang.

“Tentu, karena dengan lambaian tanganmu, empat lima orang abdi istana akan berlari-larian mendatangimu. Jika kau perintahkan mereka semua menyapu halaman, maka pekerjaan itu akan segera selesai.”

Wijang tertawa. Katanya, “Kau memang seorang yang pandai menyusun dongeng-dongeng ajaib. Tetapi katakan, apa yang dapat aku kerjakan sekarang.”

“Jika kau ingin membantu aku, ambil air. Sirami halaman ini agar debunya tidak berterbangan jika aku nanti menyapunya.”

“Agaknya, biasanya juga tidak disiram. Biar saja debunya berhamburan.”

“Bukankah kau yang bertanya, apa yang dapat kau lakukan sekarang?”

Wijang menarik nafas panjang. Namun kemudian ia pun pergi ke halaman samping. Diambilnya sebuah kelenting. Kemudian ditariknya senggot timba.

Dengan kelenting Wijang membawa air ke halaman. Namun demikian ia menjinjing kelenting itu, kemudian berlari-lari mendekati Paksi, maka Paksi pun berkata, “Jangan dijinjing begitu. Kelenting itu akan patah lehernya.”

“Jadi bagaimana?” bertanya Wijang.

“Memang biasanya perempuan yang mengambil air dengan kelenting. Kelenting itu diletakkan di lambung.”

Ketika kemudian Kemuning memberi contoh cara membawa kelenting, maka Wijang menjadi canggung. Yang kemudian dilakukan adalah mengangkat kelenting itu dan ditaruhnya di atas kepalanya.

Kemuning tertawa. Tetapi dengan cara itu, kelenting itu memang tidak akan pecah.

Beberapa kali Wijang hilir mudik ke sumur untuk mengambil air. Disiraminya halaman depan rumah Ki Pananggungan itu sehingga ketika Paksi menyapunya, tidak sebutir debu pun yang terbang di udara.

Ki Pananggungan yang melihat Pangeran Benawa membawa kelenting di kepalanya itu pun tergopoh-gopoh mendekatinya sambil berdesis, “Jangan lakukan itu, Pangeran.”

“Sst. Nanti kemenakan Paman itu mendengarnya.”

“Ia berada di belakang. Tetapi aku mohon.”

Wijang tertawa. Katanya, “Tidak apa-apa. Aku senang melakukannya, Paman.”

Ki Pananggungan tidak dapat mencegahnya. Apalagi ketika kemudian Kemuning pun telah berdiri di halaman itu pula.

Dalam pada itu, seorang anak muda yang memasuki regol halaman rumah Ki Pananggungan terkejut ketika ia melihat Paksi dan Wijang berada di halaman itu. Seorang menyiram halaman yang lain menyapu.

Ki Pananggungan yang melihat anak muda itu pun menyapanya, “Gangsar, marilah. Masuklah.”

Gangsar termangu-mangu sejenak. Dipandanginya Paksi dan Wijang berganti-ganti.

“Marilah,” berkata Ki Pananggungan, “aku perkenalkan kau dengan kedua orang kemenakanku. Yang menyapu itu namanya Paksi sedang yang menyirami itu namanya Wijang.”

Anak muda yang disebut Gangsar itu mengangguk-angguk hormat. Dengan ragu-ragu ia pun kemudian berkata, “Aku ingin minta kesediaan Kemuning untuk membantu ibuku, Paman.”

“Membantu apa?” bertanya Ki Pananggungan.

“Menjelang senja, ibuku akan mengadakan upacara wiwit. Ibu akan minta Kemuning bersedia menggendong padi pengantinnya.”

“O, kenapa harus Kemuning?” bertanya Ki Pananggungan.

Gangsar menjadi bingung. Tetapi kemudian ia pun berkata, “Aku tidak tahu. Tetapi pilihan ibu memang jatuh pada Kemuning.”

Ki Pananggungan tersenyum. Ia tahu, bahwa tentu Gangsar yang telah mengusulkan, agar Kemuning sajalah yang akan menggendong padi pengantin dalam upacara wiwit itu. Meskipun upacara wiwit biasanya hanya diselenggarakan secara sederhana dan kecil-kecilan, tetapi pilihan itu akan sangat berarti bagi Gangsar sendiri.

Karena Kemuning ada juga di halaman, maka Ki Pananggungan pun kemudian bertanya kepada Kemuning, “Kau dengar sendiri permintaan Gangsar atas nama ibunya, Kemuning.”

“Tetapi aku belum mandi, Paman.”

“Kau dapat mandi dahulu, Kemuning,” sahut Gangsar.

“Senja sudah hampir turun. Jika aku mandi dahulu, nanti terlambat.”

Gangsar memang menjadi ragu-ragu. Namun Ki Pananggunganlah yang menengahi, “Kalau begitu kau tidak usah mandi dahulu. Sebaiknya kau pergi saja ke upacara itu.”

“Dengan pakaian seperti ini?”

“Kau dapat berganti pakaian dan berbenah diri sebentar. Jangan membuat orang lain kecewa jika kau dapat membantunya.”

Kemuning pun segera berlari ke dalam. Dengan cepat ia berganti pakaian dan membenahi rambutnya. Kemudian dengan tergesa-gesa ia pun minta diri kepada bibinya dan pemomongnya.

Tetapi di halaman Kemuning itu pun bertanya kepada Gangsar, “Apakah kedua orang saudaraku boleh ikut serta?”

Gangsar termangu-mangu. Namun akhirnya ia mengangguk. “Boleh saja. Tetapi upacara wiwit biasanya diperuntukkan bagi anak-anak dan remaja.”

“Kedua saudaraku masih juga remaja,” berkata Kemuning sambil tersenyum.

Wijang dan Paksi pun tertawa. Tetapi Gangsar justru mengerutkan dahinya. Namun kemudian ia pun berkata, “Baiklah. Biarlah mereka ikut ke sawah.”

Wijang dan Paksi berlari-larian mencuci kaki dan tangannya di pakiwan.

Namun ketika mereka berlari-lari menyusul Kemuning, Paksi akan singgah sebentar di biliknya.

“Kau mau apa?” bertanya Wijang.

“Tongkatku?”

“Kau akan ikut upacara wiwit atau mau menemui Melaya Werdi dan Megar Permati?”

“Bukan itu. Tetapi kalau tongkat itu dikira barang yang tidak berarti.”

“Bukankah tongkat itu ada di dalam bilik?”

“Ya.”

“Sudahlah. Kalau hilang aku carikan gantinya. Pohon jambu keluthuk di belakang rumah itu mempunyai beberapa cabang yang mirip dengan tongkatmu.”

Paksi memang tidak jadi singgah di dalam biliknya. Namun keduanya pun segera menyusul Kemuning.

Di luar regol, Gangsar pun bertanya kepada Kemuning, “Kenapa kedua saudaramu itu kau ajak? Bukankah mereka sudah dewasa, sehingga tidak pantas untuk ikut upacara wiwit di sawah?”

“Upacara wiwit itu sebenarnya tidak hanya untuk anak-anak dan remaja. Tetapi karena biasanya anak-anak muda dan gadis-gadis yang sudah dewasa segan pergi ke sawah hanya untuk mendapatkan sepincuk nasi gudangan dengan telur yang hanya seperdelapan itu, maka yang datang biasanya memang hanya anak-anak,” jawab Kemuning. Namun katanya kemudian, “Kedua saudaraku itu tentu hanya ingin melihat saja.”

Gangsar tidak menjawab. Sebenarnya Gangsar tidak mempunyai keberatan apa-apa tentang sepincuk nasi gudangan jika hanya ditambah dua orang peserta. Bahkan sepuluh sekalipun, karena ibunya membuat cukup banyak. Tetapi justru karena keduanya adalah anak-anak muda.

Tetapi Gangsar tidak dapat mencegahnya.

Beberapa saat kemudian, maka sebuah iring-iringan keluarga Gangsar telah menuju ke sawah. Matahari sudah terlalu rendah. Karena itu, maka mereka menjadi agak tergesa-gesa.

Sekelompok anak-anak dan remaja telah mengikuti pula. Sementara itu, seperti yang dikatakan oleh Gangsar, bahwa tidak ada anak-anak muda dan gadis-gadis dewasa yang ikut. Kecuali mereka yang akan terlibat dalam upacara.

Kemuning ikut berjalan di antara keluarga Gangsar. Kemuning membawa selendang, yang nantinya akan dipergunakan untuk menggendong padi penganten setelah dipetik, sebelum nasi gudangan dibagikan.

Agak jauh di belakang iring-iringan itu, Wijang dan Paksi melangkah mengikutinya.

Ternyata upacara wiwit itu cukup meriah. Ibu Gangsar telah memetik sepasang padi yang kemudian diikat menjadi satu. Kemuninglah yang kemudian menggendong padi penganten itu.

Setelah dibacakan doa, maka nasi gudangan yang dibawa dari rumah Gangsar itu pun segera dibagikan.

Namun yang tidak mereka sadari, bahwa seseorang yang melihat Kemuning ikut dalam iring-iringan keluarga Gangsar itu telah dengan tergesa-gesa memberitahukan kepada kawan-kawannya.

“Kemuning ikut dalam upacara wiwit di bulak itu?” bertanya seorang anak muda yang berwajah licin dan setiap saat selalu tersenyum.

“Ya,” jawab anak muda yang melihat Kemuning dalam iring-iringan itu.

Kemudian seorang yang berwajah persegi dengan gigi yang besar-besar dan tersembul di sela-sela bibirnya berdesis, “Kita pernah dibuatnya menjadi malu.”

“Satu kesempatan. Kita akan tetap mengaku anak-anak dari Sawahan. Pada saat seperti ini tentu sudah tidak banyak orang berada di sawahnya. Jika ia mengancam akan berteriak kita akan menertawakannya.”

“Tetapi orang-orang yang ikut upacara wiwit itu?”

“Mereka hanya anak-anak. Mereka akan menjadi ketakutan,” jawab orang yang berwajah licin.

“Yang ikut dalam penyelenggaraan upacara itu?”

“Hanya satu dua orang. Mereka tidak akan berani berbuat apa-apa. Mereka pun tidak mengenal kita.”

Sementara seorang yang berwajah kasar pun berkata, “Kita tidak hanya bertiga. Kita akan pergi menjemput Kemuning bersama sepuluh orang.”

Orang yang berwajah licin itu mengerutkan dahinya. Katanya, “Jangan terlalu banyak.”

“Apa bedanya? Bukankah kita akan membawanya pulang?”

Beberapa orang di antara mereka menjadi ragu-ragu. Namun akhirnya orang yang berwajah persegi itu berkata, “Marilah. Kita akan menjemput Kemuning dan membawanya pulang. Tetapi kita tidak akan membunuhnya. Kita akan menyekapnya sampai kita menjadi jemu. Meskipun gadis itu sangat cantik, tetapi pada suatu saat kita tidak akan membutuhkannya lagi.”

“Lalu apa yang kita lakukan terhadap gadis itu kemudian?”

“Kita akan menilainya kembali setelah sebulan atau lebih.”

“Marilah,” berkata orang yang berwajah kasar, “kita nanti terlambat. Upacara wiwit adalah upacara kecil, sehingga tidak akan berlangsung terlalu lama. Jika senja turun, maka upacara itu tentu sudah selesai.”

Beberapa orang anak muda yang kasar itu pun kemudian berlari-lari pergi ke bulak.

Dalam pada itu, maka upacara wiwit itu memang sudah selesai setelah senja turun. Anak-anak serta remaja yang ikut dalam upacara itu pun segera berlari-larian pulang sambil membawa pincuk nasi gudangan. Sepotong kecil telur itik yang direbus, pisang raja yang dibagi dua, terdapat dalam pincuk itu pula.

Sementara itu, Kemuning yang diminta ikut dalam upacara itu, menggendong sepasang padi pengantin untuk dibawa pulang dan akan diletakkan di dalam lumbung.

Tetapi kelompok orang yang menyelenggarakan upacara wiwit, yang sebagian besar terdiri dari perempuan itu terkejut. Beberapa orang anak muda yang kasar berlari-lari mendekati mereka.

“Bukankah nasi dan gudangannya masih cukup?” bertanya ibu Gangsar.

“Masih, Bibi,” jawab perempuan yang membawa bakul nasi. Bahkan katanya kemudian, “Telurnya juga masih ada.”

Meskipun demikian perempuan-perempuan itu menjadi tegang. Gangsar pun menjadi tegang pula.

Tidak terbiasa anak-anak muda berlari-larian untuk ikut dalam upacara wiwit. Bahkan dua orang anak muda yang diaku sebagai saudara oleh Kemuning yang ikut pergi ke sawah itu pun tidak mau mendekati upacara. Mereka hanya melihat dari kejauhan saja.

Sejenak kemudian, sekelompok anak muda yang berlari-larian itu telah menjadi semakin dekat. Mereka tidak menghiraukan batang-batang padi di sawah. Dengan menginjak-injak batang padi yang sudah saatnya dituai itu, mereka mengepung orang-orang yang baru saja selesai menyelenggarakan wiwit.

Gangsar menjadi bingung. Sekelompok laki-laki yang kasar berdiri di sekitarnya.

“Apakah kalian ingin mengikuti upacara wiwit?” bertanya ibu Gangsar dengan jantung yang berdegupan. “Masih ada nasi, telur dan pisang.”

Gadis yang menggendong bakul nasi itu pun menunjukkan kepada anak-anak muda itu, bahwa masih tersisa nasi cukup bagi mereka.

Tetapi gadis itu terkejut. Dengan kasar seorang di antara anak-anak muda itu telah menendang bakul itu sehingga terlempar dan tumpah di pematang.

Kemuning pun terkejut sekali melihat orang itu. Ia pun segera dapat mengenali anak muda yang berwajah licin tetapi bermata liar menakutkan. Apalagi ketika anak muda itu tersenyum.

“Aku tidak butuh nasi, telur dan pisang,” geram anak muda itu. “Aku datang untuk mengambil Kemuning.”

“Siapakah kalian itu?” bertanya ibu Gangsar itu pula.

“Kami anak-anak muda dari Sawahan. Kami akan mengambil Kemuning. Kemuning baru akan kami kembalikan jika seorang gadis Sawahan yang diambil oleh anak-anak muda Kembang Arum sudah dikembalikan.”

“Anak-anak muda Kembang Arum tidak mengambil gadis dari Sawahan,” sahut Gangsar.

Tetapi seorang yang berwajah kasar telah mendekati Gangsar sambil bertanya, “Apa katamu?”

Gangsar menjadi ragu-ragu. Tetapi ia pun kemudian menjawab, “Tidak ada yang mengambil gadis dari Sawahan.”

Gangsar terkejut ketika tiba-tiba tangan orang berwajah kasar itu menampar mulutnya.

“Katakan sekali lagi,” bentak orang yang berwajah kasar itu. “Katakan.”

Gangsar justru terdiam.

“Kenapa kau diam? Kenapa?” Orang yang berwajah kasar itu tiba-tiba menarik rambut Gangsar. Gangsar menjadi ketakutan.

“Sekarang katakan, bahwa anak-anak muda Kembang Arum telah mengambil seorang gadis dari Sawahan yang sampai hari ini belum dikembalikan.”

Gangsar itu masih tetap diam.

“Katakan, cepat,” bentak orang itu yang mengguncang rambut Gangsar sambil menginjak ikat kepalanya yang dibenamkannya ke dalam tanah yang basah dengan kakinya.

Gangsar masih tetap diam. Namun sekali lagi tangan orang berwajah kasar itu yang lain, telah menampar mulut Gangsar sehingga berdarah.

“Katakan bahwa anak-anak muda Kembang Arum telah membawa gadis Sawahan hingga sekarang.”

Tubuh Gangsar menjadi gemetar. Ketika orang itu mengguncang lagi rambut Gangsar, maka Gangsar pun berkata gagap, “Ya, ya. Kau benar.”

“Kau yang harus mengatakannya,” teriak orang berwajah kasar itu.

Perempuan-perempuan yang ikut dalam upacara wiwit itu menjadi ketakutan sekali. Seorang laki-laki yang sudah separo baya yang ikut dalam upacara itu sama sekali tidak berani berbuat sesuatu.

Sementara itu, orang berwajah kasar itu membentak keras,

“Cepat katakan, sebelum gigimu rontok semuanya.”

“Ya, ya. Anak-anak Kembang Arum telah mengambil gadis Sawahan.”

“Nah,” orang berwajah kasar itu melepaskan rambut Gangsar.

Kepada perempuan-perempuan yang ikut dalam upacara kecil itu, ia berkata, “Kalian dengar. Anak-anak muda Kembang Arum telah mengambil seorang gadis dari Sawahan. Itu adalah pengakuan salah seorang anak muda Kembang Arum. Sekarang, aku akan membawa Kemuning ke Sawahan. Kemuning akan dikembalikan setelah gadis Sawahan itu pulang.”

Orang-orang kasar itu tidak membuang waktu lagi. Beberapa orang telah meloncat maju untuk menangkap Kemuning.

Tetapi menangkap Kemuning tidak semudah menangkap Gangsar. Seorang anak muda yang menyentuhnya, tiba-tiba telah terlempar jatuh menimpa kawannya.


Tetapi perlawanan Kemuning yang masih baru mulai menyadap ilmu kanuragan itu tidak berlangsung lama. Sepuluh orang laki-laki yang garang mengeroyoknya, sehingga akhirnya, Kemuning itu pun telah dapat ditangkap meskipun gadis itu meronta-ronta.

“Nah. Katakan kepada anak-anak muda Kembang Arum. Kemuning akan dikembalikan, jika gadis Sawahan itu sudah kembali.”

Tiga orang kemudian telah menyeret Kemuning. Namun dua orang anak muda yang lain tiba-tiba berkata, “Aku akan membawa dua orang gadis yang lain. Semakin banyak, gadis Sawahan itu tentu akan semakin cepat kembali.”

Tidak ada jawaban. Kemuning telah dibawa pergi dengan cepat oleh ketiga orang yang pernah mencegatnya. Sementara itu dua orang gadis yang lain berteriak-teriak ketika anak-anak muda itu menyeretnya.

Gangsar serta laki-laki separo baya yang ikut dalam upacara kecil itu tidak dapat berbuat apa-apa. Mereka hanya dapat memandangi dengan jantung yang hampir berhenti berdetak, Kemuning dengan dua orang gadis yang lain dibawa dengan paksa oleh orang-orang kasar itu.

“Kita harus segera pulang. Kita lapor kepada Ki Bekel,” berkata laki-laki yang sudah separo baya itu.

“Paman Kemuning tentu akan sangat marah,” desis Gangsar yang mulutnya berdarah.

Namun mereka pun dengan tergesa-gesa pulang ke padukuhan. Bahkan Gangsar pun berlari-lari kecil mendahului tanpa ingat lagi bahwa ikat kepalanya tertinggal di sawah.

Ketika hal itu kemudian didengar oleh orang-orang Padukuhan Kembang Arum, maka padukuhan itu pun menjadi gempar. Ki Pananggungan pun terkejut. Kepada Gangsar Ki Pananggungan itu pun bertanya, “Dimana kedua orang kemenakanku yang ikut pergi ke sawah itu?”

Gangsar termangu-mangu sejenak. Dengan nada tinggi ia berkata, “Aku tidak melihat mereka. Sejak upacara dimulai, mereka tidak kelihatan lagi.”

Ki Pananggungan termangu-mangu sejenak. Adalah aneh jika Paksi dan Wijang tidak membantu membebaskan Kemuning dari orang-orang liar itu.

“Mungkin mereka meninggalkan upacara itu karena mereka tertarik untuk melihat sesuatu, sehingga mereka tidak tahu apa yang telah terjadi.”

Nyi Permati dan Nyi Pananggungan pun menjadi sangat gelisah.

“Aku akan mencarinya,” berkata Ki Pananggungan.

“Kakang akan pergi ke Sawahan?” bertanya istrinya.

“Mereka tentu bukan anak-anak Sawahan.”

“Jadi kemana Kakang akan mencarinya?”

“Aku harus melihat jejak kepergian mereka. Memang agak sulit di malam hari. Tetapi mudah-mudahan aku dapat menemukan mereka. Aku juga ingin tahu, dimana Angger Paksi dan Angger Wijang ketika peristiwa itu terjadi.”

Ki Pananggungan ternyata telah mengambil jalan sendiri. Ia tidak pergi dengan Ki Bekel dan bersama-sama dengan beberapa orang laki-laki yang bersedia ikut mencari Kemuning dan kedua orang gadis yang lain.

Tetapi Ki Pananggungan sempat memperingatkan, bahwa mereka tentu bukan anak-anak muda Sawahan.

“Aku memang sudah pernah mendengar, bahwa ada sekelompok anak-anak gila yang melakukan perbuatan terkutuk itu.”

“Sebaiknya Ki Bekel menghubungi Ki Bekel di Sawahan untuk memberitahukan persoalan ini, agar anak-anak muda Sawahan menjadi lebih berhati-hati.”

“Baiklah Ki Pananggungan.”

“Sekarang aku minta ijin Ki Bekel, untuk mencari Kemuning dan kedua orang kawannya itu dengan caraku. Tetapi bukan maksudku untuk menghambat usaha Ki Bekel dan saudara-saudaraku yang lain.”

“Apakah mereka kawan-kawan kedua orang Ki Pananggungan itu sendiri?” tiba-tiba Gangsar menyela.

Ki Pananggungan memandang mata anak itu dengan tajamnya sehingga anak muda itu memalingkan wajahnya. Dengan nada berat Ki Pananggungan berkata, “Tentu tidak. Hanya jika keduanya sudah gila, maka hal seperti itu akan dilakukannya.”

Demikianlah, maka Ki Pananggungan pun telah pergi seorang diri ke sawah, ke tempat upacara itu dilangsungkan. Dari tempat upacara itu Ki Pananggungan berusaha menelusuri jejak sekelompok orang yang telah mengambil Kemuning dan dua orang gadis yang lain.

Dalam pada itu, sekelompok orang-orang kasar itu telah menyeret Kemuning dan dua orang gadis yang lain menyusuri pematang, tanggul parit dan kemudian lorong kecil menuju ke pinggir hutan.

Ternyata anak muda yang liar ini mempunyai gubuk-gubuk yang mereka buat di pinggir sebuah hutan di samping tempat tinggal mereka bersama-sama dengan orang tua mereka di padukuhan.

Dengan kasar Kemuning dan kedua orang gadis yang lain itu telah mereka dorong masuk ke dalam gubuk yang terbesar di antara gubuk-gubuk yang ada.

Ketiga orang gadis itu terhenyak di atas sebuah amben bambu yang besar. Sementara itu lampu minyak yang redup menerangi ruangan yang agak luas itu. Ternyata gubuk itu sama sekali tidak mempunyai sekat-sekat di dalamnya.

“Kalian bukan anak-anak muda Sawahan,” Berkata Kemuning dengan lantang, sementara kedua orang gadis yang lain hanya dapat menangis ketakutan.

Orang yang berwajah licin itu tersenyum sambil menjawab, “Apa bedanya. Apakah kami anak-anak muda dari Sawahan atau bukan. Bagi kami yang penting kau sudah berada di dalam sarang kami.”

“Kalian pengecut,” bentak Kemuning. “Aku tantang orang yang kalian anggap terkuat di antara kalian untuk berkelahi.”

Orang yang berwajah licin itu menyahut sambil tertawa, “Aku senang menghadapi gadis-gadis garang seperti kau.”

“Kaulah yang aku tantang.”

“Baik. Aku memang orang yang pertama yang akan melawanmu. Biarlah kedua orang kawanku yang terdekat ini mengikat tanganmu. Jika tanganmu tidak diikat, maka kukumu akan dapat melukai wajah tampanku.”

Adalah di luar dugaan, bahwa tiba-tiba saja Kemuning telah menyerang. Tangannya dengan cepat telah terjulur menghantam dada orang yang berwajah licin itu.

Orang itu tidak mengira bahwa hal itu bakal terjadi. Karena itu, ia tidak sempat menangkis atau mengelak. Serangan Kemuning itu telah mendorongnya beberapa langkah surut. Bahkan orang itu telah kehilangan keseimbangannya, sehingga jatuh terlentang.

Dengan cepat orang itu bangkit berdiri. Beberapa orang serentak maju menangkap Kemuning. Tidak hanya dua orang. Tetapi empat orang. Meskipun Kemuning sempat memukul mereka sehingga seorang di antara mereka mengaduh kesakitan, namun akhirnya Kemuning dapat ditangkap.

Orang yang berwajah licin itu tidak tersenyum lagi. Matanya yang memandangi tubuh Kemuning bagaikan membara. Gejolak di dalam dadanya terasa berdentangan.

“Ikat tangan gadis yang liar ini. Kemudian bawa gadis yang lain pergi.”

Beberapa orang mulai sibuk. Ketika seorang di antara mereka melangkah ke arah pintu, orang yang berwajah licin itu bertanya, “Kau akan pergi kemana?”

“Mencari tali,” jawab orang itu.

“Pakai ikat kepalamu,” bentak orang berwajah licin itu.

Orang itu melangkah kembali. Dilepasnya ikat kepalanya untuk mengikat tangan Kemuning.

Tetapi sebelum tangan itu diikat, tiba-tiba saja pintu gubuk itu terbuka. Derak suaranya mengejutkan orang-orang yang ada di dalam gubuk itu.

Ketika mereka berpaling, maka mereka melihat dua orang berdiri di pintu yang sudah terbuka itu.

Nyala lampu yang redup menggapai wajah kedua orang itu. Hampir di luar sadarnya Kemuning berdiri, “Kakang Paksi.”

Paksi dan Wijang itu melangkah masuk. Dengan nada datar Paksi berkata, “Kami sengaja tidak mencegah kalian di tempat upacara wiwit itu, karena kami ingin mengikuti kalian sampai ke sarang kalian.”

“Siapa kau?” bertanya orang yang berwajah licin itu.

“Kami berdua adalah kakak Kemuning.”

“O,” orang yang berwajah licin itu melangkah mendekati keduanya diikuti oleh beberapa orang kawannya, “kebetulan sekali kau datang ke rumahku. Aku minta relamu, bahwa aku menginginkan adikmu.”

Tetapi Paksi justru tertawa. Katanya, “Nampaknya kau sudah sering melakukan hal seperti ini. Jika kau mengaku anak muda dari Sawahan dan mengatakan ada gadis Sawahan yang hilang, maka tentu kalian juga yang mengambilnya.”

“Persetan. Kalian akan menyesal, bahwa kalian telah memasuki sarang kami.”

“Jika kami menyesal, maka kami tentu akan segera pergi.”

“Kau tidak akan pernah dapat pergi meninggalkan tempat ini. Sebentar lagi tubuhmu akan berkubur di hutan itu.”

Tetapi Paksi seakan-akan tidak mendengarnya. Ia masih saja tertawa sambil berkata, “Jangan main-main. Kau akan dapat terjerat sendiri oleh lidahmu.”

“Cukup,” bentak orang berwajah licin itu. Lalu ia pun berkata

kepada kawan-kawannya, “Jangan beri kesempatan kedua orang ini lolos. Mulut mereka akan sangat berbahaya bagi kita semua disini.”

Tetapi tanpa menghiraukan kata-kata itu, Wijang justru melangkah ke tengah-tengah gubuk itu. Dipandanginya keadaan sekelilingnya sambil berkata, “Aku kira, tempat ini cukup luas untuk membantai orang-orang liar yang buas ini. Kita akan membaringkan mayat-mayat mereka di amben itu. Tetapi kemudian kita akan sedikit bingung, apakah kita akan membakar gubuk ini atau membiarkan mayat-mayat itu dikoyak-koyak oleh binatang buas.”

Paksi mengangguk-angguk. Namun kemudian ia pun berkata, “Kemuning, bersiaplah. Aku akan membunuh orang-orang yang telah menyeretmu ke tempat terkutuk ini.”

Orang berwajah licin itu pun segera mempersiapkan diri. Selangkah ia bergeser surut, sementara kawan-kawannya pun telah bersiap pula.

Dalam pada itu, ketika semua perhatian tertuju kepada Wijang dan Paksi, maka Kemuning telah mempergunakan kesempatan itu. Dengan tangkasnya ia menghentakkan tangannya yang sudah hampir diikat itu. Satu pukulan yang keras menghantam dada salah seorang yang berdiri di dekatnya.

Orang yang dikenai dadanya itu terkejut. Dadanya terasa sesak. Sambil mengumpat ia berkata, “Jangan lepaskan gadis itu.”

Pada saat yang bersamaan, maka Wijang dan Paksi pun telah meloncat menyerang orang-orang yang berdiri paling dekat dengan mereka, sehingga sejenak kemudian, pertempuran pun telah terjadi.


Orang-orang yang ada di dalam barak itu bukan orang-orang yang memiliki bekal ilmu yang cukup. Karena itu, ketika Paksi dan Wijang berloncatan, maka beberapa orang telah terlempar jatuh.

Meskipun mereka berusaha untuk segera bangkit, tetapi mereka tidak banyak mendapat kesempatan. Dalam waktu yang dekat, maka orang-orang liar itu sudah mengalami banyak kesulitan.

Ternyata yang kemudian melibatkan diri bukan hanya orang-orang yang berada di dalam gubuk itu. Dari gubuk yang lain beberapa orang telah berdatangan pula. Tetapi mereka tidak banyak mempunyai arti bagi Paksi dan Wijang.

Karena itu, dalam waktu dekat, orang-orang itu sudah terkapar bertimbun di dalam gubuk itu.

Bahkan Kemuning pun sempat membuat seorang laki-laki yang bertubuh tinggi kekurus-kurusan menjadi tidak berdaya.

Orang yang berwajah licin itu masih mencoba bertahan. Tetapi Paksi memang bukan lawannya.

Meskipun demikian, Paksi dengan sengaja tidak segera menghancurkannya. Ketika beberapa orang sudah tidak berdaya, maka Paksi membiarkan orang berwajah licin itu masih dapat memberikan perlawanan.

“Nah. Cobalah sekarang kau berkata, bahwa tidak ada kesempatan bagi kami untuk meninggalkan tempat ini.”

Wajah orang yang licin itu tampak menjadi tegang. Sekali-sekali ia memandang berkeliling. Tidak ada lagi seorang pun di antara kawan-kawannya yang masih mampu bertahan. Beberapa orang yang menggeliat terdengar mengerang kesakitan. Seorang yang merangkak berusaha bersandar di dinding. Yang lain mencoba untuk menguak dua orang yang menindihnya sehingga nafasnya menjadi semakin sesak. Sedangkan beberapa orang yang lain menjadi pingsan, terkapar di lantai gubuk itu.

Kedua gadis kawan Kemuning itu tidak mengerti apa yang telah terjadi. Namun yang kemudian mereka saksikan, beberapa orang sudah terkapar dan tidak berdaya untuk bangkit berdiri.

Lampu minyak di ruang itu masih tetap menyala. Untunglah bahwa tidak seorang pun yang terjatuh menimpa kaki ajug-ajug, sehingga lampu minyak itu tidak terjatuh dan tumpah. Jika lampu itu terjatuh dan tumpah, maka kemungkinan yang lebih buruk akan dapat terjadi, gubuk itu akan dapat terbakar. Apinya akan dapat menjilat gubuk yang lain atau yang paling buruk adalah, kebakaran hutan.

Orang berwajah licin itu sudah kehilangan harapan. Dengan lantang Paksi pun berkata, “Nah, siapa di antara kita yang tidak akan pernah dapat pergi dari tempat ini.”

Orang berwajah licin itu sama sekali tidak menjawab.

Sementara itu Paksi pun berkata, “Kemuning, ajak kedua orang kawanmu itu keluar dari gubuk ini. Kau tidak akan dapat melihat apa yang akan aku lakukan terhadap orang ini. Orang yang telah memerintahkan mengikat tanganmu dan berniat untuk menghancurkan hidup dan masa depanmu.”

“Apa yang akan kau lakukan?” di luar sadarnya orang berwajah licin itu bertanya dengan suara gemetar.

“Kau bagiku tidak lebih dari barang mainan yang dapat aku perlakukan sekehendak hatiku.”

Orang itu menjadi semakin gemetar. Namun ia masih berusaha untuk menggertak, “Ki Sanak. Jangan perlakukan aku dengan semena-mena. Jika pemimpinku mengetahuinya, maka nasibmu akan menjadi sangat buruk.”

Kata-kata itu ternyata sangat menarik perhatian. Dengan nada berat Paksi bertanya, “Siapa pemimpinmu?”

“Kami mulai bergabung dengan sebuah kelompok yang besar yang akan dapat bukan saja menghancurkan kalian, tetapi menghancurkan seluruh Padukuhan Kembang Arum.”

“Kau bergabung dengan kelompok siapa?”

Orang berwajah licin itu melihat kerut di dahi Paksi. Tiba-tiba saja timbul harapannya, bahwa nama yang akan disebutnya dapat menakut-nakuti anak muda yang berilmu tinggi itu. Karena itu, maka orang berwajah licin itu pun berkata, “Kami sudah menyatakan diri untuk bergabung dengan perguruan yang dipimpin oleh Ki Wira Bangga.”

“He,” Paksi dan Wijang memang tertarik. Dengan serta-merta

Wijang pun bertanya. “Apakah kau sedang mengigau?”

“Aku berkata sebenarnya.”

“Kau kira orang-orang seperti kalian ini akan dapat menyatukan diri dalam kelompok Wira Bangga. Orang-orang yang bergabung dalam perguruannya adalah orang-orang yang mempunyai bekal ilmu kanuragan.”

“Itu bukan soal.”

“Tentu saja itu merupakan soal yang sangat berarti bagi Ki Wira Bangga.”

“He, kau kenal dengan Ki Wira Bangga?” bertanya orang yang berwajah licin itu.

“Justru aku mengenalnya, maka aku tidak percaya akan ceritamu itu.”

“Kami telah menyatakan diri untuk bergabung dalam gerombolannya. Bagi Ki Wira Bangga, kemampuan bukan merupakan sarat utama. Tetapi yang penting adalah kemauan kami. Niat kami. Ki Wira Bangga akan membentuk kami menjadi orang-orang berilmu.”

“Jika demikian, kalian benar-benar harus dimusnahkan,” geram Wijang.

Orang berwajah licin itu terkejut. Ia mengira bahwa kedua orang anak muda itu akan menjadi ketakutan. Tetapi akibatnya justru sebaliknya. Bahkan Wijang itu pun bertanya, “Dimana Wira Bangga sekarang?”

“Ia sudah berada disini sejak kemarin. Ki Wira Bangga ternyata dapat menerima kami dengan senang hati.”

“Sekarang, dimana orang itu?” bentak Wijang.

“Sebentar lagi ia akan datang kemari.”

“Omong kosong,” bentak Wijang.

“Ya. Tadi Ki Wira Bangga mengatakan, bahwa ia hanya akan pergi sebentar. Sebelum malam menjadi semakin dalam, ia tentu sudah akan tiba kemari.”

Ternyata pernyataan Wijang itu mengejutkan orang itu lagi, “Kita akan menunggu Wira Bangga.”

Paksi termangu-mangu sejenak. Katanya kemudian, “Kita singkirkan dulu Kemuning dan kedua orang kawannya.”

Namun terdengar suara di pintu, “Biarlah aku membawa mereka pulang.”

Orang-orang yang berada di dalam gubuk itu pun berpaling. Di pintu gubuk yang terhitung besar itu berdiri seorang laki-laki sambil tersenyum.

“Ki Pananggungan,” desis Paksi dan Wijang hampir berbareng.

“Mataku terasa panas mengikuti jejak anak-anak yang disebut oleh orang-orang yang liar itu di dalam gelap. Aku harus mengamati setiap lembar rumput dan dedaunan. Ranting-ranting, gerumbul dan tanah yang lembab. Untunglah, orang-orang liar itu demikian dungunya sehingga mereka tidak memperhitungkan jejak. Bahwa jejak itu akan dapat ditelusuri sampai ke sarang mereka. Beberapa orang yang menyeret tiga orang gadis yang meronta-ronta sepanjang jalan akan dapat membawa pencari jejak sampai kepada mereka. Apalagi Kemuning agaknya sengaja melepas selendang yang dipergunakan untuk menggendong sepasang padi penganten. Karena aku tahu bahwa Kemuning lah yang menggendong padi penganten, maka aku yakin, bahwa jejak yang aku ikuti itu benar.”

Wijang dan Paksi mengangguk-angguk.

“Sejak semula aku sudah yakin, bahwa kalian berdua tidak akan membiarkan Kemuning dan kawan-kawannya dijadikan tumbal kegilaan anak-anak liar itu.”

“Mereka adalah anak buah Wira Bangga.”

“Wira Bangga,” dahi Ki Pananggungan berkerut.

“Salah seorang pemimpin perguruan yang memburu benda istana yang hilang itu.”

Ki Pananggungan mengangguk-angguk. Sementara Wijang pun berkata, “Kami akan menunggu.”

“Apakah ia akan datang malam ini?”

“Menurut tikus kecil ini, ia akan datang tidak lama lagi,” jawab Paksi.

Ki Pananggungan pun tersenyum. Katanya, “Satu cara untuk menakut-nakutimu. Marilah, kita tinggalkan saja mereka. Orang yang disebutnya Wira Bangga itu tidak akan datang.”

“Silahkan Paman dahulu bersama Kemuning dan dua orang kawannya,” berkata Paksi. “Aku akan menunggu orang yang bernama Wira Bangga itu.”

Ki Pananggungan pun mengangguk-angguk. Lalu katanya, “Kemuning. Marilah kita pulang.”

Tubuh Kemuning masih gemetar. Lebih-lebih lagi kedua orang kawannya. Namun mereka berhasil bangkit dan melangkah ke pintu.

“Marilah. Jangan takut,” berkata Ki Pananggungan.

Sejenak kemudian, maka Ki Pananggungan itu pun telah membawa Kemuning dan kedua orang gadis yang lain meninggalkan lingkungan itu. Namun Ki Pananggungan juga memperhitungkan kemungkinan kedatangan orang yang disebut Wira Bangga itu sebagaimana dikatakan oleh Wijang dan Paksi.

Karena itu, maka Ki Pananggungan telah mengajak Kemuning dan kedua orang kawannya berjalan melalui jalan pintas yang memang lebih rumit dilalui. Kemuning yang serba sedikit sudah berlatih menguasai tubuhnya, tidak terlalu banyak mengalami kesulitan. Tetapi kedua orang kawannya setiap kali harus ditolong jika mereka meniti jalan sempit di antara lekuk tanah yang lembab dan agak licin. Bahkan kaki mereka terasa menjadi luka oleh ujung batu-batu kerikil yang tajam. Apalagi berjalan di dalam gelapnya malam.

Namun dorongan ketakutan dan kecemasan di hati mereka, telah memaksa mereka untuk berjalan terus menjauhi neraka yang hampir saja membakar tubuh mereka itu.

Di dalam gubuk yang besar dan bahkan yang terbesar di antara gubuk-gubuk yang lain, Wijang dan Paksi memang menunggu kedatangan Wira Bangga. Ketika keduanya kemudian duduk di amben, maka orang yang berwajah licin itu masih berdiri termangu-mangu.


Sementara itu, beberapa orang kawannya masih berserakan di lantai. Beberapa orang telah bergerak dan menggapai-gapai. Yang lain merangkak mencari tempat untuk bersandar.

Ketika Wijang melihat gendi yang diletakkan di atas geledeg kecil, maka ia pun berkata kepada orang berwajah licin itu, “Ambil gendi itu. Biar kawan-kawanmu itu minum. Dahulukan mereka yang masih pingsan agar sempat terbangun sebelum aku membantai kalian semuanya. Jika Wira Bangga tidak datang, maka kalian semua akan aku pukuli sampai pingsan. Kemudian gubuk bambu beratap ilalang ini akan aku bakar. Aku harap kalian semuanya mati sebagai pengganti Wira Bangga. Karena menurut pendapatku, harga Wira Bangga itu sama dengan harga kalian semuanya. Bahkan agaknya Wira Bangga masih lebih mahal.”

Orang berwajah licin itu menjadi semakin berdebar-debar. Ia terkejut sekali ketika Paksi membentak, “Cepat, ambil gendi itu.”

Orang itu pun segera bergerak mengambil gendi di atas geledeg kecil di sudut ruang.....

“Bukankah isinya air minum?” Wijang sempat bertanya.

Orang itu mengangguk.

“Jika isinya racun dan semua kawanmu mati, kaulah yang bertanggung jawab. Aku tidak mau mereka mati, karena aku ingin membunuh mereka.”

Jantung orang berwajah licin itu menjadi berdentangan. Tetapi ia pun kemudian beranjak dari tempatnya mengambil gendi di atas geledeg itu.

Sejenak orang berwajah licin itu termangu-mangu. Namun Wijang pun membentaknya lagi, “Cepat. Lakukan.”

Orang berwajah licin itu pun segera melakukannya. Dituangnya air gendi itu di mulut kawan-kawannya yang pingsan. Satu dua di antara mereka segera mulai membuka matanya dan menggerakkan tangannya. Namun yang lain masih tetap terbaring diam.

Wijang dan Paksi pun memandangi mereka dengan jantung yang berdebaran. Mereka sama sekali tidak ingin membunuh orang-orang yang telah membawa Kemuning itu. Ia hanya ingin membuat mereka menjadi jera.

“Tetapi jika mereka pengikut Wira Bangga, apakah mereka dapat menjadi jera?” pertanyaan itu timbul di dada Wijang dan Paksi.

Namun keduanya memang bukan pembunuh, sehingga mereka memang tidak ingin benar-benar membantai mereka sebagaimana dikatakannya. Namun keduanya berniat untuk dapat langsung berhadapan dengan Wira Bangga sendiri.

Beberapa saat lamanya Wijang dan Paksi menunggu. Tetapi Wira Bangga masih belum datang. Karena itu, maka keduanya pun akhirnya juga berpendapat, bahwa Wira Bangga tidak akan datang malam itu. Orang berwajah licin itu tentu hanya sekedar menakut-nakuti mereka agar mereka segera pergi.

Semakin lama orang berwajah licin itu menjadi semakin gelisah. Ia benar-benar mengharap Wira Bangga itu segera datang. Orang itu yakin bahwa Wira Bangga benar-benar akan dapat membunuh kedua orang anak muda itu.

Akhirnya Wijang dan Paksi menjadi tidak telaten. Dengan garangnya Paksi pun membentak, “Dimana Wira Bangga, he? Kenapa ia tidak segera datang?”

Orang berwajah licin itu menjadi gemetar. Ia masih saja berdiri di antara kawan-kawannya yang terbaring kesakitan. Beberapa di antara mereka mengerang dan mengaduh. Ada yang punggungnya bagaikan patah. Ada yang lehernya tidak dapat bergerak, ada yang perutnya menjadi sangat mual, sementara ada yang tidak dapat bernafas dengan baik.

Yang bersandar pada dinding dan melihat kedua orang anak muda itu masih berada di dalam gubuknya, justru pura-pura memejamkan matanya dan tidak bergerak-gerak.

Akhirnya Paksi tidak sabar menunggu. Tiba-tiba saja ia berkata sambil melangkah mendekati orang berwajah licin itu, “Aku sudah jenuh menunggu. Aku akan membunuh kalian semua.”

“Jangan, jangan.”

“Ayo, suruh kawan-kawanmu bangkit. Lawan aku. Biarlah kalian mati sebagai laki-laki.”

“Kami mohon ampun,” berkata orang berwajah licin itu.

“Pantaskah orang seperti kau ini diampuni?” geram Paksi.

“Kami berjanji untuk tidak melakukannya lagi,” berkata orang itu sambil berjongkok di hadapan Paksi.

“Bangkit,” bentak Paksi. “Melawan atau tidak melawan, aku akan membunuhmu.”

Tiba-tiba saja Paksi itu berteriak, “Dimana gadis Sawahan itu?”

“Maksudmu?”

“Jika kau tahu bahwa gadis Sawahan itu hilang, maka tentu kau pulalah yang telah mengambilnya.”

“Tidak. Sungguh. Bukan aku.”

“Siapa?”

“Kakang Sato.”

“Dimana ia sekarang?”

“Pergi. Bersama Ki Wira Bangga.”

“Bohong. Kau sebut orang yang sekarang tidak ada di sarangmu. Tentu kau sendiri yang mengambilnya.”

“Aku bersumpah. Karena aku melihat Kakang Sato melakukannya, maka aku mencoba menirunya. Tetapi kalian tiba-tiba telah datang.”

Paksi memandang Wijang sejenak. Dengan ragu ia bertanya, “Apakah kita masih akan menunggu?”

“Kita akan pulang,” berkata Wijang. Namun kemudian ia pun berkata kepada orang berwajah licin itu, “Katakan kepada Sato dan kepada Wira Bangga, jika mereka memang laki-laki, kami menunggu mereka.”

“Dimana?” bertanya orang berwajah licin itu.

Tiba-tiba saja Wijang menampar pipinya, sehingga mulut orang itu berdarah. “Kau berani menanyakan dimana kami akan menunggu, he?”

“Tetapi, tetapi….,” orang itu menjadi bingung.

Wijang pun kemudian memberi isyarat kepada Paksi untuk meninggalkan tempat itu tanpa menjawab pertanyaan orang berwajah licin itu.

Demikianlah, maka sejenak kemudian kedua anak muda itu pun telah meninggalkan sarang orang-orang yang mengaku para pengikut Wira Bangga itu. Dengan tergesa-gesa mereka menuju ke Padukuhan Kembang Arum.

Keduanya menjadi gelisah ketika mereka sampai di padukuhan, ternyata Ki Pananggungan yang membawa Kemuning dan kedua orang gadis yang lain masih belum kembali. Sementara itu, Ki Bekel dan sekelompok laki-laki termasuk anak-anak muda dari Kembang Arum itu pun telah berkumpul di rumah Ki Pananggungan.

Demikian Wijang dan Paksi datang, maka Nyi Permati dan Nyi Pananggungan pun segera berlari mendapatkan mereka. Dengan suara yang bergetar Nyi Permati pun bertanya, “Bagaimana dengan Kemuning dan kedua orang gadis yang lain itu?”

“Jadi mereka belum pulang, Bibi.”

“Belum, Ngger,” jawab Nyi Permati. Sementara Nyi Pananggungan berkata, “Pamanmu telah mencarinya.”

Ki Bekel yang berdiri di dekat mereka pun berkata, “Beberapa orang anak muda juga sudah mencari mereka. Tetapi anak-anak muda itu agaknya belum menemukannya.”

“Kami sudah menemukan Kemuning dan kedua kawannya,” berkata Paksi kemudian.

“Jadi, dimana mereka sekarang?” bertanya Nyi Permati.

“Kami pun telah bertemu dengan Ki Pananggungan. Kemuning dan kedua orang kawannya telah dibawa pulang lebih dahulu oleh Paman Pananggungan.”

“Tetapi mereka belum sampai di padukuhan,” sahut Ki Bekel.

Paksi dan Wijang saling berpandangan sejenak. Dengan nada rendah Wijang pun berkata, “Marilah. Kita mencarinya.”

Tetapi sebelum mereka beranjak dari tempatnya, terdengar beberapa orang anak muda berteriak, “Kemuning sudah kembali bersama Ki Pananggungan.” Sementara orang lain berteriak pula,

“Bersama kedua orang kawannya.”

Sejenak kemudian, mereka pun melihat Ki Pananggungan berjalan bersama Kemuning dan dua orang gadis yang lain. Agaknya perjalanan mereka menjadi lambat sekali. Kemuning harus membantu seorang kawannya, sedangkan Ki Pananggungan mendukung gadis yang lain pada kedua tangannya.

“Kemuning,” Nyi Permati pun berlari memeluk gadis itu.

Sementara itu, seorang perempuan berlari-lari mendapatkan Ki Pananggungan sambil bertanya dengan cemas, “Bagaimana dengan anakku?”

“Tidak apa-apa, Nyi. Ia hanya terlalu letih lahir dan batinnya. Ketakutan yang sangat membuatnya tidak berdaya lagi untuk melangkahkan kakinya. Sementara itu, jalan pun licin dan berbatu-batu padas. Agaknya ia tidak dapat menahan sakit karena luka-luka di telapak kakinya.”

Ki Pananggungan kemudian meletakkan gadis itu di amben panjang di serambi gandok. Demikian gadis itu melihat ibunya, maka ia pun segera menangis.

Dalam pada itu, Nyi Permati telah menggandeng Kemuning naik ke pendapa, sementara kawannya yang dibantunya berjalan telah dipapah oleh ayahnya naik ke pendapa pula.

Ki Pananggungan yang masih berada di serambi gandok berkata kepada orang-orang yang berkerumun, “Tolong, jangan berdesakan di sekitar anak ini. Biarlah ia dapat bernafas dengan leluasa. Udaranya pun tidak menjadi panas karenanya.”

Mereka pun kemudian telah bergerak mundur dan turun kembali ke halaman. Sementara itu, kepada ayah gadis itu Ki Pananggungan berkata, “Tunggui anakmu. Jaga agar udara tetap segar.”

“Baik, Ki Pananggungan.”

“Sudahlah, jangan tangisi anakmu,” berkata Ki Pananggungan kepada ibu gadis yang masih sangat lemah itu. “Anakmu tidak apa-apa. Ia hanya merasa takut dan letih lahir dan batinnya. Biarlah ia beristirahat. Ia sudah aman disini.”

Perempuan itu mengusap matanya yang basah. Tetapi ia masih terisak.

Dalam pada itu, Ki Pananggungan pun kemudian telah pergi ke pendapa. Kepada Ki Bekel, Ki Pananggungan itu pun bertanya, “Apakah Ki Bekel sudah menghubungi orang-orang Sawahan?”

“Sudah, Ki Pananggungan. Seorang bebahu dan dua orang anak muda telah pergi ke Sawahan berkuda.”

“Apakah mereka sudah kembali?”

“Sudah. Menurut mereka, seorang gadis Sawahan beberapa hari yang lalu memang hilang. Sampai hari ini gadis itu belum diketemukan.”

“Apakah bebahu itu sudah memberitahukan apa yang terjadi dan bahwa orang-orang yang mengambil Kemuning itu mengaku anak-anak muda dari Sawahan dengan alasan bahwa seorang gadis Sawahan telah hilang diambil oleh anak-anak muda Kembang Arum? Besok kita harus menghubungi mereka kembali. Kita harus memberikan keterangan tentang semua yang telah terjadi atas Kemuning dan kedua orang kawannya itu.”

“Baik, Ki Pananggungan.”

Namun dalam pada itu Paksi pun kemudian berkata, “Ki Pananggungan. Ternyata Ki Wira Bangga masih belum datang.

Aku menjadi jemu menunggu. Kami pun kemudian meninggalkan sarang mereka. Namun kami telah mencoba memancing, agar Ki Wira Bangga datang kemari.”

Ki Pananggungan termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun bertanya, “Jadi, kau libatkan padukuhan ini?”

“Bahwa kami membebaskan Kemuning itu sudah merupakan keterlibatan padukuhan ini menentang kuasa Wira Bangga,” jawab Paksi.

“Kau benar, Ngger. Bagaimanapun juga, memang kita harus berurusan dengan orang-orang yang ada di sarang itu siapa pun mereka. Jika akhirnya nama itu adalah Wira Bangga, maka kita memang harus berurusan dengan orang itu.”

“Dengan demikian, maka kita harus bersiap, Paman. Mungkin Wira Bangga akan datang dengan orang-orangnya. Sebenarnya itulah yang kami harapkan.”

Ki Pananggungan mengangguk-angguk. Namun Wijang kemudian berdesis, “Tetapi apakah Ki Bekel dan orang-orang padukuhan ini benar-benar bersiap menghadapi mereka? Meskipun seandainya kitalah yang akan menghadapi para pemimpinnya, tetapi jika mereka datang dengan beberapa pengikutnya, maka kita harus bersiap-siap.”

Ki Pananggungan mengangguk-angguk. Kemudian katanya kepada Ki Bekel, “Sebaiknya Ki Bekel mengumpulkan para bebahu, orang-orang yang memiliki bekal kemampuan untuk menghadapi orang-orang yang telah menculik Kemuning dan kedua kawannya itu. Mereka harus menjadi inti kekuatan padukuhan ini. Kemudian anak-anak muda dan laki-laki yang lain akan membantu. Meskipun mereka bukan orang-orang yang memiliki pengalaman berkelahi, tetapi jika jumlah mereka cukup banyak, maka mereka akan mampu mempertahankan diri meskipun mereka harus berkelahi berpasangan atau bahkan dalam kelompok-kelompok yang lebih besar.”

“Baiklah,” berkata Ki Bekel, “para bebahu pada umumnya memang orang pilihan di padukuhan ini yang memiliki serba sedikit bekal olah kanuragan. Aku harap anak-anak muda juga mempunyai keberanian untuk itu. Gadis-gadis kita adalah lambang dari milik kita yang paling berharga. Karena itu, kita harus mempertahankannya dengan kemampuan yang ada.”

Ki Pananggungan mengangguk-angguk. Katanya, “Terima kasih, Ki Bekel. Mudah-mudahan kita berhasil.”

Ki Bekel pun kemudian telah memanggil para bebahu, orangorang yang berpengaruh di padukuhan itu termasuk beberapa anak muda. Dengan jelas Ki Bekel menguraikan kemungkinan yang dapat terjadi. Tetapi Kembang Arum tidak mempunyai pilihan lain.

“Kita harus mempertahankan milik kita. Jangankan gadis-gadis kita, sedangkan harta benda dan hasil bumi kita pun akan kita pertahankan pula,” berkata Ki Jagabaya.

Sejenak kemudian, maka hampir setiap laki-laki di padukuhan itu pun telah mempersiapkan diri dengan senjata seadanya. Ada yang membawa tombak, ada yang membawa pedang, keris, parang atau golok yang panjang. Bahkan ada yang membawa potongan-potongan besi, linggis dan bahkan srumbat kelapa.

Paksi pun telah menggenggam tongkatnya pula, sementara di pergelangan tangan Wijang telah melingkar gelang kulitnya yang lebar, yang dapat dipergunakan sebagai perisai.


Sementara itu, malam pun menjadi semakin malam. Paksi dan Wijang telah memberitahukan kepada Ki Pananggungan, bahwa mereka akan mengamati jalan yang menuju ke gerbang padukuhan.

“Kami membawa kentongan kecil. Jika kami melihat mereka benar-benar datang, maka kami akan memukul kentongan kecil ini,” berkata Paksi.

Demikianlah, kedua orang anak muda itu telah pergi keluar padukuhan. Mereka duduk di dalam sebuah gubuk kecil yang dipergunakan untuk menunggui burung yang sering mengganggu padi yang sudah siap dipetik. Wijang duduk memeluk lututnya, sementara Paksi menjulurkan kakinya sambil memeluk kentongan kecil.

Orang-orang yang berada di padukuhan menunggu dengan jantung yang berdebaran. Bahkan sebagian dari mereka sudah menjadi gelisah. Sedangkan yang lain mulai mengantuk. Beberapa orang yang ada di serambi sudah ada yang tertidur sambil bersandar di dinding.

Namun ia pun kemudian dikejutkan oleh suara kentongan. Ternyata yang mereka tunggu-tunggu itu telah datang. Beberapa orang beriring-iringan menuju ke pintu gerbang Padukuhan Kembang Arum. Seorang di antara mereka adalah Ki Wira Bangga.

Ki Wira Bangga benar-benar merasa terhina. Sebenarnya ia tidak menginginkan orang-orangnya mengambil gadis dari padukuhan, karena itu akan dapat mengacaukan sarang mereka, meskipun bagi Wira Bangga, sarang itu hanyalah sarang untuk sementara. Di tempat yang lain, Wira Bangga mempunyai sebuah padepokan yang sudah mapan, meskipun dengan watak yang kusam.

Sarang yang dihuni untuk sementara itu dipergunakannya untuk menjaring pengikut lebih banyak lagi. Beberapa orang pengikutnya telah terbunuh dan bahkan ada yang tertangkap ketika terjadi perang di kaki Gunung Merapi melawan prajurit yang berpihak kepada Harya Wisaka. Karena itu, maka ia memerlukan orang-orang baru. Justru orang-orang yang masih mudah dibentuk menurut selera Wira Bangga. Namun selagi mereka masih berada di sarang yang masih sementara itu, mereka sudah membuat persoalan.

Namun bagaimanapun juga Wira Bangga merasa tersinggung bahwa dua anak muda telah memporak-porandakan sarangnya.

Ketika terdengar suara kentongan di gubuk kecil tempat para petani menunggui burung yang sering mengganggu tanamannya, Wira Bangga memang berhenti. Demikian pula beberapa orang yang mengikutinya. Namun kemudian katanya, “Jangan hiraukan suara kentongan itu. Kita memang datang dengan dada tengadah. Tidak dengan sembunyi-sembunyi. Karena itu, kita tidak berkeberatan jika orang-orang Kembang Arum mengetahui kedatangan kita saat ini.”

Dengan demikian, maka Wira Bangga dan orang-orangnya itu pun segera meneruskan langkah mereka menuju ke pintu gerbang Padukuhan Kembang Arum.

Sementara itu, Paksi dan Wijang pun telah turun dari gubuk kecil itu setelah mereka yakin bahwa isyarat yang mereka berikan itu sudah didengar oleh orang-orang yang berada di padukuhan. Tetapi mereka tidak memasuki padukuhan lewat pintu gerbang. Keduanya pun telah meloncati dinding dan langsung berlari-lari ke rumah Ki Pananggungan.

Ternyata isyarat benar-benar sudah diterima. Orang-orang yang ada di halaman rumah Ki Pananggungan dan sekitarnya sudah siap menghadapi segala kemungkinan.

“Menyebarlah,” berkata Ki Pananggungan. “Aku dan kedua kemenakanku, Ki Bekel dan beberapa orang bebahu akan menyongsong mereka ke gerbang.”

Kepada Ki Jagabaya, Ki Pananggungan berpesan, “Sebaiknya Ki Jagabaya tinggal bersama mereka. Harus ada yang memimpin mereka, memberi aba-aba dan memperhitungkan saat-saat yang tepat.”

“Baiklah,” jawab Ki Jagabaya, “aku akan berada di antara mereka yang akan menunggu perkembangan keadaan.”

Demikianlah, Ki Pananggungan, Wijang dan Paksi bersama Ki Bekel dan para bebahu telah menyongsong orang-orang yang datang ke Padukuhan Kembang Arum itu.

Ki Wira Bangga langkahnya berhenti di luar pintu gerbang. Sementara itu, beberapa orang telah muncul dari pintu gerbang itu.

Ki Pananggungan yang berdiri paling depan memberi isyarat, agar orang-orang yang bersamanya keluar dari pintu gerbang itu juga berhenti.

“Siapakah kalian dan apakah maksud kalian datang ke padukuhan ini?” bertanya Ki Pananggungan.

Ki Wira Bangga mengerutkan dahinya. Dalam keremangan malam, Ki Wira Bangga tidak melihat dengan jelas orang yang dihadapinya. Meskipun penglihatannya cukup tajam, tetapi karena Ki Pananggungan dan orang-orang Padukuhan Kembang Arum yang datang kepadanya membelakangi cahaya oncor di regol, sedangkan Ki Wira Bangga menjadi silau karenanya, maka sulit bagi Ki Wira Bangga untuk dapat langsung mengenali wajah-wajah orang-orang yang berdiri di regol menghalangi jalannya itu.

Namun demikian, Ki Wira Bangga itu pun menjawab, “Akulah orang yang disebut Wira Bangga.”

“O, jadi kaulah yang bernama Wira Bangga itu? Lalu apa maksudmu datang kemari?”

“Jangan berpura-pura, Ki Sanak. Kalianlah yang telah mengundang aku kemari. Ada dua orang dari Kembang Arum yang dengan sombong telah mengganggu ketenangan orang-orangku.”

“O, jadi orang-orang yang telah menculik tiga orang gadis dari Kembang Arum itu adalah orang-orangmu.”

“Persetan dengan gadis-gadis Kembang Arum. Adalah salah mereka, bahwa mereka tertarik kepada orang-orangku dan bersedia datang memenuhi ajakan mereka. Jika kemudian terjadi sesuatu atas mereka, adalah kesalahan mereka sendiri.”

“Gila,” geram Ki Pananggungan, “siapakah yang mengatakan bahwa gadis-gadis kami dengan suka rela memenuhi ajakan orang-orangmu?”

“Bertanyalah kepada mereka?” jawab Ki Wira Bangga.

“Ya,” seorang dari orang-orang yang mengikuti Ki Wira Bangga menyahut, “mereka dengan senang hati mengikuti ajakan kami. Bahkan mereka tidak menolak untuk berada di barak kami barang satu malam.”

“Kau percaya kepada mereka, Wira Bangga?” bertanya Ki Pananggungan.

“Aku percaya kepada orang-orangku. Mereka tidak pernah berbohong. Mereka selalu berkata jujur kepadaku.”

“Juga gadis dari Sawahan itu?”

“Ya,” jawab orang yang bertubuh tinggi kekar.

“Kau yang bernama Sato? Jadi kau yang mencuri gadis Sawahan itu?”

“Sudah aku katakan, ia sengaja mengikuti aku, karena aku berjanji untuk memberikan tusuk konde emas bermata berlian.”

“Dan kau benar-benar memberinya?”

“Kepada siapa aku memberikannya, jika gadis itu kemudian mati.”

“Mati kenapa?”

“Aku tidak tahu. Ia mati begitu saja. Nafasnya berhenti.”

“Itulah orang-orangmu, Ki Wira Bangga.”

“Sudah aku katakan, jangan salahkan mereka. Salahkan gadis-gadismu sendiri. Kenapa mereka demikian cepat percaya kepada orang-orang yang yang belum dikenalnya? Akibat itu terjadi karena ketamakan gadis-gadis itu sendiri.”

Wijang lah yang kemudian menggamit Paksi dan berkata, “Bukankah kau memang menunggu orang yang bernama Wira Bangga itu?”

“Ya,” Paksi mengangguk. Sambil melangkah maju ia pun berkata kepada Ki Pananggungan, “Sudah lama aku tadi menunggu orang ini di gubuk itu, Ki Pananggungan. Sekarang orang itulah yang datang ke padukuhan. Karena itu, biarlah aku yang menyambutnya.”

Ki Pananggungan termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun mengangguk dan bergeser selangkah. Ia sudah mengetahui tataran kemampuan Paksi. Agaknya Paksi memang ingin membuat perbandingan ilmu setelah ia membenturkan ilmunya melawan Melaya Werdi dan Megar Permati. Agaknya untuk selanjutnya Paksi tidak ingin lagi untuk menyembunyikan diri. Mau tidak mau ia akan banyak terlibat dalam benturan-benturan kekerasan jika ia ingin mengamalkan ilmunya.

“Setan kecil,” geram Wira Bangga, “kau mau apa?”

“Wira Bangga, aku sudah terlalu lama menunggumu di gubukmu. Jika tidak percaya bertanyalah kepada orang-orangmu. Karena itu, sekarang akulah yang akan melawanmu. Bersiaplah. Kita tidak akan berbicara saja tanpa berbuat sesuatu.”

“Apakah kau memang sedang membunuh diri?”

Paksi tidak menjawab. Tetapi ia pun segera bersiap untuk menyerang. Tongkatnya mulai bergetar di tangannya.

“Serahkan kelinci itu kepadaku,” geram orang yang bertubuh raksasa sambil melangkah maju.

Tetapi langkahnya terhalang oleh Wijang yang bergeser sambil berkata, “Aku akan menyelesaikanmu atas nama orang-orang Sawahan. Ternyata gadis Sawahan itu sudah kau bunuh. Kau harus menebusnya dengan nyawamu.”

Sato tidak menjawab. Tiba-tiba saja ia meloncat sambil mengayunkan tangannya ke arah kening Wijang.

Namun Wijang dengan cepat merendahkan tubuhnya. Sambil sedikit berputar, kakinya pun terjulur lurus mengenai lambung orang bertubuh raksasa itu.

Serangan Wijang cukup keras, sehingga orang bertubuh raksasa itu telah terguncang. Bahkan kemudian ia telah kehilangan keseimbangannya sehingga orang itu terhuyung-huyung dan jatuh pada lututnya.

Jantungnya bagaikan meledak oleh kemarahan yang menghentak di dadanya. Ia tidak mengira bahwa lawannya mampu bergerak demikian cepatnya, sehingga mampu menjatuhkannya.

Sambil bangkit berdiri orang itu mengumpat. Namun Wijang telah bergeser menjauh, mencari tempat yang lebih lapang untuk bertempur.

Wira Bangga sendiri merasa terhina oleh sikap Paksi. Karena itu, maka ia ingin dengan cepat menyelesaikan anak itu. Kemudian menghukum orang-orang Kembang Arum yang sudah berani merusak tempat tinggalnya meskipun hanya sementara.

Tetapi menurut laporan orang-orang yang akan memperkuat perguruan itu, dua orang anak mudalah yang dengan sombongnya telah memporak-porandakan orang-orangnya.

Seorang di antara kedua anak muda itu tentu anak muda yang menempatkan diri untuk melawannya itu, yang mengaku telah menunggunya di gubuk itu. Karena itu, maka kemarahan Wira Bangga seakan-akan tidak terkekang lagi. Demikian ia mulai meloncat menyerang, maka serangan-serangannya datang seperti badai.

Tetapi Paksi benar-benar telah bersiap untuk menghadapinya. Karena itu, maka Paksi tidak menjadi berkecil hati. Semakin sengit serangan-serangan Wira Bangga, maka Paksi pun nampak menjadi semakin perkasa pula. Tongkatnya berputaran semakin cepat. Sekali-sekali terayun dengan derasnya. Namun kemudian mematuk seperti seekor ular bandotan.

Wira Bangga yang mengalami kesulitan karena tongkat Paksi itu pun kemudian telah menarik senjatanya pula. Sebilah pedang yang besar dan panjang.

Dengan demikian, maka pertempuran itu pun menjadi semakin sengit. Wira Bangga menjadi semakin garang, sementara Paksi pun bergerak semakin cepat pula.

Dalam pada itu, Sato, kepercayaan Wira Bangga itu masih bertempur dengan serunya. Di tangannya telah tergenggam sebuah kapak yang tajamnya berkilat-kilat memantulkan cahaya bintang. Demikian tajamnya, setiap sentuhan akan dapat mengoyak kulit daging sampai ke tulang.

Sementara itu, senjata Wijang tidak lebih dari sepasang pisau belati serta perisai dengan pergelangan tangannya. Namun Wijang tidak berani dengan serta-merta menangkis ayunan kapak Sato yang mendebarkan itu. Mula-mula Wijang telah menjajagi ketajaman kapak lawannya dengan sentuhan-sentuhan pada perisainya. Namun akhirnya Wijang pun yakin, bahwa perisai di pergelangan tangannya, yang bukan sekedar kulit kebanyakan itu, mampu menahan ayunan kapak lawannya langsung dalam benturan yang keras.

Ketika benturan itu terjadi, maka kapak Sato ternyata tidak dapat melukai perisai di pergelangan tangan Wijang itu, sehingga Sato pun menjadi heran. Ia tidak tahu, apa yang telah membentur kapaknya. Mungkin kepingan baja yang melingkar di pergelangan tangan lawannya. Tetapi seandainya benar sekeping baja melingkar di pergelangan tangan, maka benturan kepingan baja dengan kapaknya itu akan mengelupas kulit pergelangan tangannya.

Tetapi tampaknya tidak terjadi apa-apa dengan pergelangan tangan lawannya itu.

Dalam pada itu, para pengikut Wira Bangga pun segera bergerak pula. Namun Ki Bekel dan para bebahu pun telah bersiap menghadapi mereka. Sementara itu, orang yang diam-diam menyusup ke padukuhan, harus berhadapan dengan anak-anak muda yang telah siap dipimpin oleh Ki Jagabaya.

Orang berwajah licin itu memang benar-benar licin. Ternyata orang itu mengetahui dimana rumah Kemuning. Karena itu, maka ia telah menyelinap menghindari setiap orang yang berjaga-jaga, mengendap-endap di belakang gerumbul-gerumbul perdu, meloncati dinding-dinding halaman, sehingga akhirnya ia berhasil memasuki kebun belakang rumah Ki Pananggungan.

“Ini tentu rumah Kemuning,” berkata orang berwajah licin itu di dalam hatinya. Sebelum ia berusaha mengambil Kemuning, agaknya ia sudah mengamati gadis itu beberapa lama, sehingga orang itu mengetahui rumah paman Kemuning.

Ternyata bagian belakang rumah itu memang sepi. Beberapa orang semula berkumpul di halaman depan. Tetapi ketika pertempuran terjadi, maka orang-orang itu seakan-akan telah tumpah di medan. Hanya satu dua orang saja yang masih berada di halaman depan rumah Ki Pananggungan itu.

Menurut pendapat orang berwajah licin itu, jika ia berhasil menangkap Kemuning, maka Kemuning akan dapat menjadi perisai sehingga orang-orang padukuhan itu akan berhenti melakukan perlawanan.

Dalam pada itu, pertempuran di luar pintu gerbang padukuhan itu berlangsung semakin sengit. Wira Bangga yang marah dan merasa terhina itu berusaha untuk dengan cepat mengakhiri pertempuran dengan memenggal kepala anak muda yang sombong itu.

Tetapi ternyata Wira Bangga tidak mampu melakukannya. Orang yang bersenjata tongkat itu mampu bergerak dengan cepat. Tubuhnya seakan-akan tidak lebih berat dari selembar kapas kering. Pedang Wira Bangga yang besar dan berat itu di setiap ayunan, bagaikan menebas bayang-bayang.

Tidak terlalu jauh dari Wira Bangga, Sato yang bertempur melawan Wijang segera mengalami kesulitan. Sato, pembantu terpercaya Wira Bangga itu tidak mampu menahan serangan-serangan Wijang. Kapaknya yang besar berputaran dengan cepat di seputar tubuhnya. Tetapi ujung-ujung belati yang tangkainya jauh lebih pendek dari tangkai kapak Sato itu justru mampu menembus pertahanannya.

Sato mengumpat kasar ketika segores luka mengoyak lengannya. Darah yang merah segar mengalir dari luka yang menganga itu.

“Aku lumatkan kepalamu,” teriak Sato.

Wijang tertawa sambil melompat menjulurkan pisau belatinya. Ternyata ujung pisau itu berhasil mematuk lambung Sato yang terbuka saat ia mengangkat kapaknya.

Sato meloncat surut. Namun Wijang tidak memberi kesempatan. Dengan cepat ia memburunya. Sebelum Sato berhasil memperbaiki keadaannya, satu tebasan menyilang telah menggores dada orang bertubuh raksasa itu. Goresan tipis. Namun darah telah mengalir dari luka di dada itu pula.

Sato terhuyung surut. Matanya bagaikan menyala. Dari mulutnya tersembur ungkapan-ungkapan kasar dan kotor. Namun tenaga justru mulai menyusut. Darah mengalir dari beberapa luka di tubuhnya. Semakin banyak ia bergerak dan berteriak, maka semakin banyak pula darah terperas.

Ki Pananggungan sendiri kemudian berada di antara para bebahu Kembang Arum. Sentuhan-sentuhan tangannya telah melemparkan lawan-lawannya dari arena. Namun Ki Pananggungan masih sempat mengekang diri. Yang dilakukan kemudian adalah lebih banyak melindungi para bebahu jika salah seorang di antara mereka mendapatkan lawan yang berbahaya.

Dalam pada itu, orang-orang yang menyelinap masuk ke padukuhan telah terdesak keluar pula. Mereka tidak mengira bahwa di belakang dinding padukuhan itu, anak-anak muda dan sekelompok laki-laki yang sudah lebih tua sudah menunggu mereka dengan marah. Karena itu, maka di bawah pimpinan Ki Jagabaya, mereka pun segera menyerang orang-orang yang memasuki padukuhan itu dengan garangnya.

Namun Ki Jagabaya sudah berpesan kepada mereka, agar mereka tetap berhati-hati. Jangan coba melawan para penyerang itu seorang melawan seorang.

“Kalian harus bertempur berpasangan. Sedikitnya dua orang.”

Tetapi orang-orang baru Wira Bangga itu ternyata masih belum berbahaya. Sedangkan orang-orangnya yang lama harus berhadapan dengan para bebahu di pintu gerbang.

Wira Bangga memang tidak mengira bahwa di Padukuhan Kembang Arum ia akan menjumpai orang-orang berilmu tinggi. Ia tidak mengira bahwa seorang anak muda memiliki kemampuan yang dapat mengimbanginya. Bahkan ketika Wira Bangga itu sampai ke puncak ilmunya.

Paksi memang terkejut ketika tiba-tiba saja ia mendengar suara gemerasak seperti suara angin pusaran yang menerjang sebuah rumpun bambu yang lebat. Namun ia pun segera menyadari bahwa suara itu bersumber dari dalam diri Wira Bangga.

Pada saat-saat Wira Bangga mulai terdesak oleh tongkat Paksi yang ternyata mampu menembus pertahanan, maka darah Wira Bangga bagaikan mendidih.

Ketika pundaknya mulai merasa sakit oleh hentakan tongkat lawannya, bahkan kemudian perutnya, lambungnya dan dadanya, maka ia tidak mengekang diri lagi. Rasa-rasanya memang tidak mungkin untuk mengalahkan lawannya tanpa ilmu pamungkasnya.

Karena itu, maka Wira Bangga itu pun berusaha memancing lawannya beberapa langkah dari pintu gerbang. Wira Bangga ingin menunjukkan, bagaimana ia menghancurkan anak muda yang sombong itu.

Pada saat yang bersamaan, maka orang yang berwajah licin itu berhasil mencapai pintu belakang rumah Ki Pananggungan.

Orang itu mengira bahwa Kemuning tentu sudah berada di dalam rumah, sehingga ia akan dapat menangkapnya dan membawanya ke pintu gerbang.

Sebenarnyalah Kemuning memang masuk ke ruang dalam untuk mengambil minuman bagi kawannya yang masih lemah yang berada di pendapa. Sementara kawannya yang seorang lagi, yang semula berbaring di serambi gandok pun telah dibawa ke pendapa pula. Ayah gadis itu bersama dua orang anak muda berjaga-jaga di pendapa rumah itu. Di luar pintu regol halaman, beberapa orang anak muda bersiap untuk menghadapi segala kemungkinan.

Sementara itu, Nyi Pananggungan dan Nyi Permati juga masih berada di pendapa untuk ikut merawat dua orang gadis yang masih saja merasa ketakutan itu.

Orang yang berwajah licin itu berhasil masuk ke ruang dalam tanpa diketahui oleh pembantu di rumah Ki Pananggungan itu. Dengan sangat berhati-hati orang itu mengendap-endap dan menunggu kesempatan.

Ketika ia melihat Kemuning mengambil mangkuk minuman di dapur, maka orang berwajah licin itu tersenyum. Katanya di dalam hati, “Aku akan dapat membalas dendam penghinaan yang aku alami. Dengan perisai gadis itu, maka anak-anak muda yang gila itu tidak dapat menggertak aku lagi.”

Karena itu, maka dengan hati-hati orang itu mengikuti Kemuning ke dapur. Kemudian dengan serta-merta ia meloncat memeluk Kemuning dari belakang sambil mengancam.

“Jangan mencoba melawan.”

Kemuning bagaikan membeku. Sebilah pisau yang tajam melekat di lehernya.

“Berjalanlah seperti biasa. Tetapi kau harus tetap tunduk kepada perintahku.”

Kemuning melangkah ke pintu pringgitan. Ia masih membawa semangkuk minuman yang akan diberikannya kepada kawannya. Ketika Kemuning membuka pintu pringgitan, orang-orang yang berada di pendapa terkejut. Mereka melihat Kemuning telah dikuasai oleh seorang yang tidak mereka kenal.

“Jangan melakukan sesuatu yang dapat membahayakan nyawa Kemuning,” berkata orang itu.

Orang-orang yang berada di pendapa itu bangkit berdiri. Tetapi mereka tidak dapat berbuat apa-apa. Mereka melihat sebilah pisau belati yang melekat di leher Kemuning. Setiap saat pisau itu akan dapat menggores lehernya dan mencabut nyawanya. Karena itu, maka mereka pun berdiri tegak seperti patung.

“Mundur. Semua mundur,” perintah orang itu.

Orang-orang yang berada di pendapa itu pun melangkah mundur. Bahkan dua orang gadis kawan Kemuning yang masih lemah itu pun harus melangkah mundur pula.

Kepada seorang laki-laki yang berdiri di pendapa, orang berwajah licin itu berkata, “Berjalanlah di depan. Kau harus meneriakkan kepada orang-orang yang sedang bertempur untuk mengakhiri pertempuran. Orang-orang Kembang Arum harus meletakkan senjata mereka. Jika tidak, maka Kemuning akan menjadi bangkai.”

Orang itu nampak ragu-ragu. Tetapi orang berwajah licin itu menekankan pisaunya sambil menggeram, “Lakukan perintahku.” Laki-laki itu tidak dapat membantah. Ia pun kemudian melangkah menuruni pendapa.

Namun sebelum Kemuning turun dari pendapa, ia pun berkata, “Aku akan menyerahkan minuman ini kepada kedua orang kawanku. Aku memang mengambil minuman ini bagi mereka.”

“Tidak perlu,” geram orang itu. “Kau tidak usah memberikan minuman itu. Mereka akan dapat mengambil sendiri nanti.”

“Lalu, buat apa minuman di dalam mangkuk ini?”

“Letakkan saja disitu,” geram orang itu.

Kemuning pun kemudian telah membongkok untuk meletakkan mangkuk minuman itu di lantai.

Pada saat itulah ia merasa mendapat kesempatan. Pisau itu tidak terlalu rapat dengan lehernya. Karena itu, tiba-tiba saja Kemuning menjatuhkan dirinya dan berguling ke samping, sementara kakinya sempat menyapu kaki orang berwajah licin itu.

Orang itu terkejut. Ia tidak mengira bahwa Kemuning mampu mempergunakan kesempatan yang kecil itu. Karena itu, maka sapuan kaki Kemuning mampu menggoyahkan keseimbangannya, sehingga orang itu terjatuh pula.

Namun dengan tangkasnya orang itu meloncat bangkit. Dalam waktu sekejap ia sudah berdiri tegak sambil menggenggam pisau belatinya.

Tetapi dalam waktu yang sama Kemuning pun telah berdiri tegak pula serta bersiap menghadapi segala kemungkinan.

“Iblis betina,” geram orang yang berwajah licin itu. Ternyata memang ia agak lengah. Seharusnya ia sudah memperhitungkan kemungkinan seperti itu, karena sejak awal ia bertemu dengan Kemuning, gadis itu sudah menunjukkan keberaniannya untuk melawan.

“Menyerahlah,” ancam Kemuning kemudian, “kau tidak akan dapat melepaskan diri dari tangan kami.”

Orang itu termangu-mangu sejenak. Ketika ia memandang ke sekelilingnya, maka ia melihat tiga orang laki-laki berdiri tegak mematung. Sementara Kemuning justru melangkah mendekatinya.

“Pisaumu tidak akan berarti apa-apa,” berkata Kemuning.

Ketika orang itu mengacukan pisaunya, maka Kemuning pun tertawa. Sementara itu, ketiga orang yang semula bagaikan kehilangan akal itu telah mengacukan senjata-senjata mereka pula.

Dengan tenang Kemuning melangkah mendekati seorang yang membawa sebatang tombak pendek. Katanya, “Maaf Paman, aku pinjam tombakmu sebentar.”

Orang itu seakan-akan telah terbius oleh sikap Kemuning. Karena itu, seakan-akan di luar sadarnya, orang itu telah menyerahkan tombaknya.

Ternyata orang berwajah licin itu melihat satu kesempatan. Selagi Kemuning menerima tombak itu, maka orang yang berwajah licin itu pun telah meloncat menyerang.

Kemuning memang agak terkejut juga. Tetapi ia sempat meloncat menghindar sambil mendorong orang yang memberikan tombak kepadanya. Demikian cepat Kemuning bergerak, sehingga ujung tombak itu teracu kepada orang berwajah licin itu, demikian ia memutar tubuhnya dan siap meloncat menyerang Kemuning yang telah berhasil menghindar itu.

Orang itu tertegun. Ketika Kemuning dengan tombak teracu melangkah maju, orang itu justru telah melangkah surut.

“Kau harus menyerah, karena kau tidak mempunyai kesempatan lain,” berkata Kemuning.

“Jangan sombong. Kau kira tombakmu dapat menggetarkan jantungku?”

Kemuning tersenyum. Katanya, “Apa yang dapat kau lakukan?”

Orang itu tidak menjawab. Tetapi dari pandangan matanya Kemuning mengetahui, bahwa orang itu akan berusaha melarikan diri. Karena itu, maka ia pun berkata kepada orang-orang yang ada di pendapa, “Jangan beri kesempatan orang itu melarikan diri.”

Namun orang-orang yang di pendapa itu terlambat bergerak. Sebelum mereka sempat bergerak, orang yang berwajah licin itu telah meloncat berlari meninggalkan Kemuning dan orang-orang yang berada di pendapa.

Kemuning yang terkejut, tidak mau kehilangan orang itu. Orang itulah yang telah berusaha menghinakannya bersama beberapa orang kawannya. Tetapi orang yang berwajah licin itulah agaknya yang telah memimpin kawan-kawannya itu.

Karena itu, dalam kesempatan yang sangat pendek, Kemuning tidak dapat berbuat lain. Yang dilakukannya kemudian adalah melemparkan tombak pendek yang ada di tangannya.

Pada saat orang yang berwajah licin itu menuruni tangga, maka terdengar ia menjerit. Ujung tombak yang memburunya itu telah hinggap di punggungnya.

Orang berwajah licin itu terdorong beberapa langkah. Namun kemudian ia pun jatuh terjerembab. Sekali ia menggeliat. Namun kemudian orang yang berwajah licin itu pun terdiam untuk selama-lamanya.

Kemuning sendiri terkejut melihat ujung tombaknya itu menghujam di punggung orang yang berwajah licin yang kemudian jatuh terjerembab itu.

Tetapi itu sudah terjadi. Orang berwajah licin itu terbunuh di depan pendapa.

Sejenak kemudian, Kemuning telah berdiri termangu-mangu di sebelah tubuh yang berlumur darah itu.

Nyi Permati pun kemudian telah memeluknya. Kemudian membimbingnya naik ke pendapa.

“Bukan salahmu, Kemuning. Kau memang tidak mempunyai kesempatan untuk memperhitungkan apa yang sebaiknya kau lakukan.”

Kemuning tidak menolak. Ia pun melangkah naik ke pendapa dibimbing oleh Nyi Permati.

Dalam pada itu, Wijang sudah mulai jemu bertempur melawan Sato. Menurut pendapat Wijang, Sato adalah orang yang sangat bengis, yang menculik gadis Sawahan dan bahkan kemudian membunuhnya. Karena itu, maka Wijang tidak dapat memaafkannya.

Karena itu, maka Wijang pun berniat untuk mengakhiri, bukan saja perlawanan Sato, tetapi juga mengakhiri kesempatan untuk berbuat serupa.

Karena itu, maka serangan Wijang pun semakin lama menjadi semakin deras. Luka-luka di tubuh Sato menjadi semakin banyak. Darah pun mengalir bersama dengan keringatnya.

Ketika dengan garangnya Sato mengerahkan sisa-sisa tenaganya mengayunkan kapaknya yang besar, Wijang sempat mengelak. Demikian kapak itu terayun di samping tubuhnya, maka Wijang pun meloncat menyerang. Sebilah pisaunya terayun menghujam ke perut lawannya.


Sato berteriak keras sekali. Kemarahan, kebencian dan segala macam sifatnya yang liar, seakan-akan telah meledak. Ia tidak mau mengakui kenyataannya yang terjadi atas dirinya, bahwa ia telah dikalahkan oleh seorang anak muda yang tidak dikenal itu.

Namun Sejenak kemudian, Sato tidak lagi dapat bertahan berdiri di atas kedua kakinya. Perlahan-lahan ia terjatuh pada lututnya. Namun kemudian Sato itu pun terguling di tanah.

Sato masih sempat mengumpat kasar. Namun kemudian keadaannya dengan cepat memburuk. Darah terlalu banyak mengalir dari luka-lukanya. Terutama luka di perutnya itu.....

Wira Bangga pun mengumpat pula. Ia sempat meloncat mengambil jarak di saat Sato itu berteriak. Wira Bangga sempat melihat Sato itu terjatuh pada lututnya, kemudian berguling di tanah.

Namun hati Wira Bangga pun merasa disakiti pula ketika ia mendengar lawannya itu bertanya, “Apakah kau sudah siap?”

“Anak iblis, kau.”

Pada saat yang demikian itulah, Wira Bangga telah memusatkan nalar budinya. Terdengar suara gemerasak seperti suara angin pusaran yang memutar rumpun-rum pun bambu di hutan.

Paksi termangu-mangu sejenak. Ia sadar bahwa lawannya telah mengetrapkan ilmu pamungkasnya. Karena itu, maka Paksi pun segera mempersiapkan diri pula.

Pada saat bersamaan, Wijang pun telah mempersiapkan diri pula jika Paksi terdesak oleh kemampuan ilmu Wira Bangga, maka Wijang tidak dapat berdiam diri saja.

Selain Wijang, ternyata Ki Pananggungan pun telah bersiap pula. Suara yang gemerasak itu telah menarik perhatiannya. Seperti Wijang, maka ia pun telah bersiap untuk membantu Paksi jika keadaannya mendesak.

Dalam pada itu, maka Paksi pun mulai melihat bayangan pusaran angin di seputar tubuh Wira Bangga. Semakin lama semakin cepat, sehingga kemudian benar-benar telah timbul angin pusaran yang sangat deras. Sejenak kemudian angin pusaran itu seakan-akan telah lepas dari tubuh Wira Bangga dan menjalar ke arah Paksi berdiri.

Paksi pun telah memusatkan nalar budinya. Dikerahkannya puncak ilmunya dan disalurkannya pada tangannya yang menggenggam tongkatnya.

Demikian angin pusaran itu mendekatinya, maka Paksi pun telah mengerahkan kemampuannya. Dilambari dengan tenaga dalamnya serta puncak ilmunya, maka Paksi pun telah mengayunkan tongkatnya, menghantam angin pusaran yang datang untuk menghisapnya dan melontarkannya ke udara.

Akibat hentakan tongkat Paksi itu sangat mengejutkan. Benturan ilmu itu telah memancarkan cahaya api yang menyilaukan. Disusul oleh ledakan yang keras sehingga menggetarkan udara. Paksi yang berdiri dekat dengan pusaran ledakan itu, telah terdorong beberapa langkah surut. Namun Paksi tidak dapat mempertahankan keseimbangannya, sehingga ia pun kemudian jatuh terguling di tanah.

Ketika Paksi bangkit berdiri bersandar pada tongkatnya, maka dadanya terasa sakit. Seakan-akan kekuatan yang besar telah menghimpitnya.

Namun Paksi tidak ingin jadi sasaran yang tidak berdaya menghadapi Wira Bangga. Karena itu, maka ia pun telah bersiap menghadapi segala kemungkinan.

Asap yang kelabu mengepul semakin tinggi. Cahaya oncor di pintu regol itu pun tiba-tiba telah padam oleh getaran udara di saat benturan terjadi.

Ki Pananggungan dan Wijang segera meloncat mendekati Paksi. Mereka belum tahu akibat benturan kekuatan itu pada Wira Bangga. Jika Wira Bangga itu tidak mengalami akibat apapun, maka kedudukan Paksi menjadi berbahaya.

Tetapi untuk beberapa saat mereka tidak melihat Wira Bangga. Bahkan pertempuran di depan pintu gerbang padukuhan itu pun seakan-akan telah berhenti.

Sepeninggal Sato, maka orang-orang Wira Bangga mulai menjadi gelisah. Karena itu, maka ketika terjadi benturan ilmu yang dahsyat itu, para pengikut Wira Bangga telah mempergunakan saat yang terbaik itu. Getar udara yang menggetarkan tempat itu seakan-akan telah menghentikan pertempuran. Oncor yang tiba-tiba padam dan isyarat yang hanya dimengerti oleh para pengikut Wira Bangga.

Baru sejenak kemudian, orang-orang Padukuhan Kembang Arum itu menyadari, bahwa Wira Bangga dan orang-orangnya sudah tidak ada di arena pertempuran itu lagi. Yang tertinggal hanyalah orang-orang baru yang mendapat kesempatan untuk bergabung dengan perguruan Wira Bangga. Orang-orang yang tidak mempunyai kekuatan apa-apa untuk melawan orang-orang Padukuhan Kembang Arum.

Karena itu, beberapa orang di antara mereka juga berusaha untuk melarikan diri. Tetapi yang lain tidak mempunyai kesempatan, sehingga mereka harus menyerahkan tangan dan kaki mereka diikat.

Demikian pula orang-orang yang mencoba menyusup masuk ke dalam padukuhan. Ledakan yang terdengar di pintu gerbang merupakan isyarat kegagalan ilmu Wira Bangga. Jika Wira Bangga berhasil dengan ilmunya maka tidak pernah terdengar ledakan itu.

Tetapi gemerasak angin pusaran akan melontarkan lawannya ke udara dan membantingnya ke tanah sampai lumat.

Demikianlah, maka pertempuran itu pun benar-benar sudah selesai. Namun ketika orang-orang itu kembali ke rumah Ki Pananggungan sambil membawa beberapa orang yang terikat, mereka terkejut melihat sesosok tubuh yang tubuhnya dilubangi ujung tombak.

Wijang dan Paksi saling berpandangan sejenak. Ternyata bahwa Kemuning sendiri telah mengakhiri hidup orang yang berwajah licin itu. Dari orang yang menyaksikan, mereka mendengar bahwa Kemuning lah yang telah melemparkan tombak ke punggung orang yang terbunuh itu.

Dalam pada itu, maka orang-orang padukuhan itu telah membawa kawan-kawan mereka yang terluka ke rumah Ki Bekel untuk mendapat perawatan yang sebaik-baiknya. Beruntunglah orang-orang Kembang Arum. Tidak ada seorang pun di antara mereka yang gugur. Namun tiga orang terluka cukup berat. Lebih dari sepuluh orang tergores senjata lawan. Sedangkan Ki Jagabaya yang memimpin anak-anak muda yang bertahan di dalam padukuhan itu pun telah terluka pula di samping tiga orang bebahu yang bertempur bersama Ki Bekel di luar pintu gerbang. Tetapi luka mereka tidak membahayakan jiwa mereka.

Sementara itu, kedua orang gadis kawan Kemuning yang masih lemah dan dibayangi oleh ketakutan, malam itu bermalam di rumah Ki Pananggungan. Kecuali gadis-gadis itu sendiri masih selalu ketakutan, orang tua mereka pun merasa aman jika anak-anaknya berada di rumah Ki Pananggungan, karena di rumah itu masih terdapat beberapa orang yang berjaga-jaga.

Malam itu, bukan hanya rumah Ki Pananggungan saja yang dijaga oleh anak-anak muda, tetapi setiap mulut jalan dan lorong yang memasuki padukuhan itu juga dijaga. Bahkan kelompok-kelompok anak muda selalu meronda berkeliling sambil membawa kentongan kecil yang dapat mereka pergunakan untuk mengirimkan isyarat jika diperlukan.

Tetapi Wira Bangga dan orang-orangnya sudah pergi jauh.

Sebenarnyalah Wira Bangga sendiri merasakan betapa dadanya diguncang oleh benturan ilmu yang terjadi. Jantungnya merasa sangat nyeri sementara nafasnya menjadi sesak.

“Kakang Sato terbunuh, Ki Wira Bangga,” desis seseorang.

“Aku tahu,” jawab Wira Bangga. “Biar saja ia mampus. Ialah yang baru saja mencuri gadis-gadis padukuhan. Ternyata ada orang yang berilmu tinggi di Kembang Arum.”

“Kita harus mengetahui, siapakah orang-orang yang ada di Kembang Arum itu,” berkata seorang pengikutnya.

“Hanya membuang-buang waktu saja. Aku tidak berurusan dengan mereka. Sementara orang lain sudah berhasil menemukan Pangeran Benawa, kita masih saja diganggu oleh persoalan-persoalan yang tidak ada artinya itu.”

“Jadi kita membiarkan saja beberapa kematian di Kembang Arum?”

“Persoalannya tidak mendukung kerja besar kita. Aku tidak mau terlibat lebih parah lagi dalam persoalan yang gila itu. Jika terjadi lagi seseorang menculik gadis-gadis padukuhan, aku sendiri yang akan membunuhnya.”

Pengikutnya itu tidak bertanya lagi. Ia dapat mengerti, bahwa Wira Bangga menjadi sangat marah. Karena persoalannya tidak mendukung kerja besarnya, Wira Bangga telah membentur kekuatan yang tidak dapat ditembusnya.

Dalam pada itu, maka keadaan Kembang Arum mulai terasa terang menjelang fajar. Korban yang terbunuh di antara para pengikut Wira Bangga sudah disiapkan untuk dikubur setelah matahari terbit.

Tetapi ketika matahari terbit, maka Padukuhan Kembang Arum memang harus berkabung. Seorang di antara mereka yang terluka berat, tidak dapat tertolong lagi jiwanya. Betapapun tabib yang menanganinya berusaha, namun orang itu meninggal saat sebelum matahari muncul di timur.

“Sebuah pengorbanan yang tidak sia-sia,” berkata Ki Bekel di hadapan orang-orang padukuhan yang datang untuk mengantarkan tubuh orang itu ke makam.

Berbeda dengan para pengikut Wira Bangga yang terbunuh, maka pemakaman orang Kembang Arum itu dilakukan dengan upacara penuh. Hampir semua orang penghuni Padukuhan Kembang Arum datang untuk memberikan penghormatan terakhir.

“Untuk selanjutnya, maka beban itu akan tetap kita pikul bersama,” berkata Ki Bekel. “Kita tidak akan pernah merelakan seorang pun di antara gadis-gadis kita mengalami nasib yang buruk seperti gadis Sawahan itu. Kasihan orang tuanya. Kasihan keluarganya. Kasihan penghuni Padukuhan Sawahan. Tetapi orang yang melakukannya sudah terbunuh disini. Kita akan memberitahukan hal itu kepada saudara-saudara kita di Sawahan.”

Orang-orang Kembang Arum melepas salah seorang keluarganya dengan titik-titik air mata. Kemuning sendiri sempat hadir pada upacara pemberangkatannya ke makam.

Sementara itu, para tabib berusaha untuk mengobati orang-orang yang terluka dengan sungguh-sungguh. Mereka tidak mau kehilangan lagi. Satu orang sudah cukup mereka berikan sebagai korban untuk menyelamatkan gadis-gadis mereka.

Di hari-hari berikutnya, orang-orang Kembang Arum tetap berhati-hati terhadap kemungkinan buruk yang dapat terjadi. Bahkan yang pergi ke sawah pun orang-orang Kembang Arum tetap membawa senjata dan tidak seorang diri. Di pagi hari beberapa orang pergi ke sawah bersama-sama. Di sore hari mereka telah pulang bersama-sama pula. Sementara itu, di tengah hari, mereka yang membawa kiriman ke sawah pun tidak hanya seorang diri.

Namun ternyata Wira Bangga dan orang-orangnya tidak pernah kembali lagi.

Wijang dan Paksi pun tinggal beberapa hari pula di rumah Ki Pananggungan. Repak Rembulung dan Pupus Rembulung ternyata tidak segera datang untuk mencari Kemuning. Jika saja mereka tahu, bahwa para pengikut Wira Bangga telah menculik anaknya, maka akan dapat terjadi benturan kekerasan antara kedua kelompok kekuatan yang cukup besar itu, karena Repak Rembulung dan Pupus Rembulung akan merasa sangat terhina oleh perbuatan itu.

Tetapi agaknya Ki Pananggungan dan Nyi Permati tidak ingin mengadu kedua kelompok itu, sehingga Ki Pananggungan pun berkata, “Sebaiknya kita tidak usah mengatakan kepada kedua orang tua Kemuning jika ia datang kemari.”

“Bagaimana dengan Kemuning sendiri?” Bertanya Nyi Permati.

“Kemuning harus diberi peringatan bahwa ia tidak perlu mengadukan hal ini kepada ayah dan ibunya, supaya ayah dan ibunya tidak terlibat dalam permusuhan dengan Wira Bangga.”

“Tetapi bukankah Kemuning tahu bahwa ayah dan ibunya termasuk orang yang berilmu tinggi?” bertanya Wijang.

Nyi Permati menggelengkan kepalanya. Katanya, “Kedua orang tua angkat Kemuning itu tidak pernah menunjukkan kemampuannya itu kepada Kemuning di rumah. Meskipun mungkin karena kebanggaan Kemuning terhadap orang tuanya memberikan kesan bahwa orang tuanya, setidak-tidaknya ayahnya juga berilmu.”

Wijang dan Paksi mengangguk-angguk. Dengan nada dalam Paksi berkata, “Jika demikian, memang sebaiknya Kemuning diberi pesan saja agar tidak usah mengatakan kepada ayah dan ibunya jika mereka datang mencarinya. Permusuhan dengan Wira Bangga akan dapat mendatangkan kesulitan yang berkepanjangan.”

“Aku akan berbicara dengan Kemuning,” berkata Ki Pananggungan. “Ia mengakui aku bukan saja sebagai pamannya, tetapi juga sebagai gurunya. Nampaknya Kemuning bersungguh-sungguh ingin menguasai ilmu kanuragan, apalagi setelah terjadi penculikan atas dirinya itu.”

Namun ternyata Repak Rembulung dan Pupus Rembulung tidak juga segera datang. Menurut Ki Pananggungan dan Nyi Permati, agaknya Repak Rembulung dan Pupus Rembulung justru belum pulang ke rumahnya sehingga belum tahu bahwa anaknya telah pergi meninggalkan rumahnya dan bahkan hampir terperosok ke dalam mulut buaya yang buas.

Dalam pada itu, Wijang dan Paksi ternyata tidak hanya dua atau tiga hari saja berada di rumah Ki Pananggungan. Karena Repak Rembulung dan Pupus Rembulung masih belum datang menyusul Kemuning, maka mereka merasa tenang berada di rumah itu.

Sementara itu, hubungan antara Paksi dengan Kemuning nampaknya menjadi semakin akrab. Ki Pananggungan, Nyi Pananggungan dan Nyi Permati agaknya telah mengetahuinya pula. Namun mereka belum tahu pasti, alur keturunannya serta latar belakang kehidupannya yang sebenarnya, namun menilik sifatnya ia termasuk anak muda yang baik. Apalagi bahwa Paksi itu ternyata bersahabat dengan anak muda yang bernama Wijang, yang dikenal oleh Ki Pananggungan sebagai Pangeran Benawa, maka Ki Pananggungan semakin yakin, bahwa Paksi pun bukan orang kebanyakan.

Meskipun demikian, Ki Pananggungan itu pun kadang-kadang merasa gelisah, bahwa pada suatu saat, hubungan itu akan mengalami kesulitan jika Repak Rembulung dan Pupus Rembulung datang mencari dan bahkan mengambil anak gadisnya itu. Padahal Paksi tahu benar, siapakah Repak Rembulung dan Pupus Rembulung.

Namun Ki Pananggungan merasa bersyukur bahwa ia pernah mengatakan siapakah sebenarnya Kemuning itu. Sehingga sejak semula Paksi telah mengetahui serba sedikit tentang gadis itu.

Jika hal itu dikatakan kemudian, maka Paksi akan dapat mengira bahwa hal itu sekedar dibuat-buat untuk melindungi nama baik Kemuning.

Wijang yang juga melihat hubungan yang semakin akrab antara Paksi dan Kemuning, hanya tersenyum-senyum saja. Sekali-sekali justru ia sempat menggoda Paksi. Namun kemudian Wijang pun berpura-pura tidak menghiraukannya.

Dalam kesempatan-kesempatan tertentu, maka Paksi pun tidak berkeberatan untuk menemani Kemuning berlatih. Bahkan Paksi kadang-kadang merasa kagum akan kesungguhan gadis itu berlatih. Agaknya karena gadis itu terbiasa bekerja keras, maka daya tahan tubuhnya pun secara alamiah sudah cukup tinggi.

Kemuning dapat berlatih untuk waktu yang panjang tanpa beristirahat.

Karena itu, maka kemajuan yang dicapai Kemuning agaknya menjadi semakin cepat.

Namun yang terjadi itu ternyata sangat menggelisahkan anak muda yang bernama Gangsar, anak muda yang sebelumnya sering menemui Kemuning. Jika Kemuning menyapu halaman, Gangsar sering berhenti di regol. Berbicara tentang pepohonan di halaman. Tentang angin dan daun kuning yang berguguran. Tentang kuncup yang mekar dan yang kemudian layu runtuh di tanah.

Jika pagi-pagi Kemuning pergi ke pasar, Gangsar menemuinya di simpang tiga. Menyapanya dan sekedar berjalan bersama beberapa langkah sampai ke regol padukuhan.

Tetapi sejak kedua orang kemenakan laki-laki Ki Pananggungan ada di rumah itu pula, maka Gangsar jarang sekali bertemu dengan Kemuning. Yang sering menyapu halaman bukan lagi Kemuning. Tetapi kemenakan laki-laki Ki Pananggungan itu. Yang seorang lagi mengambil air di sumur untuk menyiram agar halaman yang disapu itu tidak berdebu.

Jika Kemuning pergi ke pasar, maka langkahnya nampak tergesa-gesa. Gadis itu tidak sempat lagi berhenti sejenak. Berbicara sambil tersenyum. Kemudian berjalan bersama beberapa puluh langkah sampai ke regol padukuhan.

Gangsar memang tidak dapat berbuat apa-apa. Ia tahu bahwa kemenakan Ki Pananggungan itu adalah anak-anak muda yang berilmu tinggi, sehingga jika terjadi perselisihan, maka Gangsar tidak akan lebih dari mentimun yang harus melawan durian.

Karena itu, maka dari hari ke hari, Gangsar semakin sering merenung. Ia masih sering menemui Kemuning di simpang tiga. Tetapi menurut pendapatnya, senyum Kemuning telah menjadi hambar. Senyumnya tidak lepas seperti dahulu. Senyumnya kini rasa-rasanya hanya sekedar dibuat-buat.

Karena itu, Gangsar tidak lagi berusaha menemuinya dan berbincang tentang jalur pedati yang semakin dalam di jalan yang menuju ke pasar. Tetapi Gangsar lebih senang memandang wajah Kemuning dari kejauhan.

Kemuning yang sejak semula tidak mempunyai perasaan apa pun terhadap Gangsar, selain sebagai kawan seperti juga kawan-kawan yang lain, sama sekali tidak mengerti apa yang bergejolak di hati Gangsar. Sehari dua hari Kemuning memang merasa ada perubahan pada sikap anak muda itu. Tetapi Kemuning tidak tahu, kenapa Gangsar berubah.

Paksi terlebih-lebih tidak tahu sama sekali gejolak di dada Gangsar. Karena itu, maka Paksi tidak pernah menghiraukan perasaan anak muda itu.

Dengan demikian, maka sikapnya terhadap Kemuning tidak berubah. Bahkan perasaan mereka pun rasa-rasanya menjadi semakin dekat meskipun keduanya masih dibatasi oleh jarak yang pantas dalam pergaulan anak muda dengan seorang gadis.

Namun yang terjadi di luar pengetahuan mereka, kekecewaan di hati Gangsar itu telah mendorongnya untuk melakukan perbuatan yang tidak seharusnya. Gangsar yang merasa tidak akan mampu merebut perhatian Kemuning dengan cara apa pun selagi kemenakan Ki Pananggungan masih ada di rumah, telah berusaha meminjam tangan orang lain yang tiba-tiba saja datang menghampirinya.

Gangsar tidak pernah merencanakan untuk melakukannya. Tetapi ketika kesempatan itu datang, maka Gangsar pun mencoba untuk memanfaatkannya.

Ketika Gangsar sedang berada di sawahnya, maka telah lewat di jalan bulak dua orang yang menarik perhatian. Dua orang yang nampak garang. Wajahnya yang gelap, langkahnya yang berat dan pakaian yang dipakainya, menunjukkan bahwa keduanya bukan petani sebagaimana dikenalnya. Keduanya tidak nampak seperti tetangga-tetangganya. Tidak pula seperti seorang saudagar kaya. Di Kembang Arum ada dua tiga orang saudagar yang berhasil. Kedua orang itu tidak pula sebagai blantik sapi dan kerbau yang kadang-kadang memang nampak agak kasar. Tetapi mereka tidak nampak segarang kedua orang itu.

Gangsar menjadi gemetar ketika kedua orang itu berhenti sambil memandanginya. Kemudian melambaikan tangan memanggilnya.

Rasa-rasanya dunia akan menjadi kiamat. Tetapi ia tidak dapat ingkar. Meskipun dengan kaki gemetar, Gangsar melangkah menyusur pematang mendekati kedua orang yang berdiri di tanggul parit di pinggir jalan.

Demikian Gangsar mendekat, maka seorang di antara keduanya itu bertanya. Kata-kata yang terlontar ternyata tidak sekasar dan sekeras ujud kedua orang itu. Bahkan seorang di antara mereka mencoba untuk tersenyum.

“He, apakah kau tinggal di padukuhan itu?”

“Ya, Paman,” jawab Gangsar.

“Apakah nama padukuhan itu?” bertanya yang lan.

“Kembang Arum, Paman.”

“Nama yang bagus. Apakah kau memang tinggal di padukuhan itu?”

Ya, Paman.”

Kedua orang itu mengangguk-angguk. Seorang di antara mereka bertanya pula, “Siapa namamu anak muda?”

“Namaku Gangsar.”

“Nama yang bagus. Mudah-mudahan semua usahamu juga menjadi gangsar seperti namamu.”

“Ya, Paman.”

Orang itu mengangguk-angguk. Namun seorang di antara

mereka masih bertanya lagi, “Gangsar. Bukankah kau sejak bayi tinggal di Kembang Arum?”

“Ya, Paman.”

“Nah, katakan, apakah akhir-akhir ini ada orang baru yang tinggal di padukuhanmu. Maksudku anak muda yang sebaya dengan kau atau sedikit lebih tua? Wajahnya nampak bersih. Kulitnya kuning dan matanya bersinar.”

Gangsar termangu-mangu sejenak. Tiba-tiba saja ia teringat dua orang anak muda yang tinggal di rumah Ki Pananggungan. Anak muda yang menurut pendapatnya sesuai dengan keterangan orang itu.

Gangsar memang menjadi ragu-ragu. Ia tidak tahu, apakah maksud sebenarnya kedua orang itu. Apakah mereka bermaksud buruk atau baik. Namun akhirnya Gangsar itu berkata di dalam dirinya, “Mungkin keduanya ingin menjemput kedua orang kemenakan Ki Pananggungan untuk diajak pulang. Mungkin keduanya bermaksud baik. Tetapi kalau mereka bermaksud buruk?”

Gangsar menjadi ragu-ragu.

Namun akhirnya wajah Kemuninglah yang mulai melayang. Apa pun maksud kedua orang itu, asal mereka membawa kedua kemenakan Ki Pananggungan itu untuk pergi.

Karena Gangsar nampak ragu-ragu, orang itu mencoba untuk menjelaskan, “Gangsar, anak muda yang aku cari tentu ujudnya agak lain dengan anak-anak muda dari padukuhanmu. Anak muda yang aku cari itu adalah anak muda yang bukan berasal dari tataran pedesaan. Mungkin dapat saja ia berpakaian seperti anak-anak petani. Tetapi ujudnya yang sebenarnya agak berbeda.”

Hampir di luar sadarnya Gangsar mengangguk. Di sela-sela bibirnya meluncur jawaban, “Ya, Paman. Memang ada dua orang anak muda yang baru-baru ini tinggal di rumah pamannya di Padukuhan Kembang Arum.”

Kedua orang itu saling berpandangan sejenak. Seorang di antara mereka itu berdesis, “Dua orang anak muda?”

“Ya, Paman.”

Orang itu berpaling kepada kawannya. Katanya, “Kenapa dua?”

“Mungkin yang seorang itu kawannya atau pengiringnya atau pengawalnya.”

“Anak muda itu tidak terbiasa membawa pengiring atau pengawal dalam pengembaraan yang bukan hanya sekali ini saja dilakukan menurut keterangan orang-orang yang pernah mengenalnya.”

“Itu hanya kata orang. Dari mulut ke mulut keterangan seperti itu dapat saja berubah. Mungkin yang dimaksud, ia tidak pernah membawa banyak pengawal.”

“Siapa pun mereka, kita dapat mencoba melihatnya,” berkata yang seorang.

“Tetapi kita bersama-sama belum pernah mengenal anak muda itu.”

“Kita dapat berbicara. Memancing keterangan dari mulutnya.”

Kawannya mengangguk-angguk.

Kepada Gangsar keduanya pun kemudian telah menanyakan dimana kedua orang anak muda itu tinggal.

Dengan ancar-ancar yang diberikan oleh Gangsar, maka keduanya pun memasuki Padukuhan Kembang Arum.

Rumah Ki Pananggungan memang tidak sulit untuk dicari.

Karenanya maka keduanya pun segera menemukan rumah itu.

Dengan agak ragu keduanya memasuki halaman rumah Ki Pananggungan.

Adalah kebetulan bahwa Wijang sedang berada di halaman rumah Ki Pananggungan. Ketika kedua orang itu melangkah memasuki halaman, Wijang pun menyongsongnya.

“Marilah, Ki Sanak,” jantung Wijang berdebaran.

Kedua orang itu memandang Wijang dengan kerut di dahi. Seorang di antara mereka pun bertanya, “Apakah rumah ini rumah Ki Pananggungan?”

“Ya, Ki Sanak. Rumah ini rumah Paman Ki Pananggungan.”

“Apakah kau kemenakannya?”

“Ya, Ki Sanak.”

Kedua orang itu mengangguk-angguk. Sementara Wijang pun bertanya, “Apakah Ki Sanak mencari Paman?”

“Ya. Jika Ki Pananggungan ada, biarlah aku menemuinya.”

Wijang mengangguk kecil. Katanya, “Baiklah. Aku akan menyampaikannya. Silahkan Ki Sanak berdua untuk naik.”

Kedua orang itu pun telah naik dan duduk di pendapa, sementara Wijang telah pergi ke belakang lewat pintu seketeng.

Sebenarnyalah Wijang menjadi gelisah melihat ujud kedua orang itu. Meskipun keduanya berusaha untuk bersikap wajar, tetapi Wijang segera mengenalinya, bahwa keduanya adalah orang-orang kasar dan keras. Sementara itu, keduanya sama sekali tidak menunjukkan ciri dan pertanda, siapakah kedua orang itu.

Sejenak kemudian Wijang pun telah menemui Paksi yang sedang sibuk membelah kayu bakar. Diajaknya Paksi menemui Ki Pananggungan untuk memberitahukan kehadiran dua orang tamu yang agak mencurigakan.

Ketika hal itu disampaikan kepada Ki Pananggungan, maka Ki Pananggungan itu pun mengangguk-angguk sambil berkata, “Baiklah. Aku akan menemui mereka.”

Sejenak kemudian, maka Ki Pananggungan pun telah duduk bersama kedua orang tamunya. Ia sependapat dengan Wijang, bahwa sebaiknya ia berhati-hati menghadapi kedua orang tamu itu.

Ki Pananggungan pun kemudian telah memperkenalkan dirinya. Kemudian ia pun bertanya, “Siapakah Ki Sanak berdua ini?”

“Kami adalah orang-orang yang mendapat kepercayaan dari Harya Wisaka untuk menjemput Pangeran Benawa.”

Ki Pananggungan terkejut. Tetapi dengan serta-merta ia berusaha untuk menghilangkan kesan perasaannya itu dari wajahnya. Dengan dahi yang berkerut ia pun bertanya, “Maaf, Ki Sanak. Apakah Ki Sanak menyebut nama Pangeran Benawa?”

”Ya. Bukankah Pangeran Benawa ada disini?”

Ki Pananggungan termangu-mangu sejenak. Ketika kedua orang itu datang, yang menerima adalah Wijang, seandainya benar mereka adalah utusan Harya Wisaka, agaknya kedua orang itu tentu belum pernah melihat orang yang bernama Pangeran Benawa itu.

Dengan nada tinggi Ki Pananggungan itu pun berkata, “Ki Sanak. Semalam aku tidak bermimpi melihat rembulan.”

“Apa maksudmu, Ki Pananggungan?”

“Alangkah bahagianya aku jika seorang pangeran berkenan mengunjungi rumahku dan apalagi tinggal di rumahku ini. Aku seorang petani yang tidak pernah meninggalkan padukuhan ini sejak kanak-kanak, tiba-tiba saja mendengar bahwa seorang pangeran berada di rumahku. Ki Sanak, bukankah pangeran itu anak seorang raja?”

“Ya. Pangeran adalah anak seorang raja. Anak raja itu melarikan diri dari istana. Ia telah mencuri benda yang paling berharga milik ayahandanya. Karena itu, maka pangeran itu pun mengembara sampai kemana-mana. Nah, dalam pengembaraan itulah, agaknya ia sampai ke rumah ini.”

“Tolong, Ki Sanak. Jangan membuat aku bingung.”

“Ki Pananggungan, menurut pendengaranku, ada dua orang anak muda di rumah ini. Anak muda yang baru beberapa hari berada disini.”

Ki Pananggungan memang menjadi berdebar-debar. Tetapi ia menjawab, “Ya. Kedua orang kemenakanku memang ada disini.”

“Nah. Aku ingin berbicara dengan mereka.”

“O, jadi Ki Sanak curiga, bahwa salah seorang dari kedua orang kemenakanku itu seorang pangeran?”

“Kami memang mencurigai semua orang. Termasuk kau, Ki Pananggungan.”

“Baiklah, Ki Sanak. Aku akan memanggil mereka. Tetapi Ki Sanak belum menjawab pertanyaanku, siapakah Ki Sanak berdua ini. Apakah Ki Sanak berdua juga keluarga istana sebagaimana Pangeran Benawa?”

“Kami bukan keluarga istana, Ki Pananggungan. Kami berdua adalah dua orang saudara seperguruan yang ditugaskan oleh Harya Wisaka untuk menjemput Pangeran Benawa. Harya Wisaka itulah yang masih terhitung keluarga istana Pajang.”

“Nama Ki Sanak berdua?” Bertanya Ki Pananggungan yang sengaja mengulur waktu. Ia yakin bahwa Wijang dan Paksi berusaha mendengarkan pembicaraan mereka di pendapa itu. Ki Pananggungan berharap agar Paksi dan Wijang sempat bersiap-siap untuk menemui kedua orang itu.

“Namaku Ki Sanggakaya dan ini adik seperguruanku, namanya Ki Suratapa.”

“Baiklah Ki Sanggakaya dan Ki Suratapa, aku akan memanggil kedua orang kemenakanku. Tetapi seperti aku katakan, mereka adalah kemenakanku. Aku tahu benar sejak mereka dilahirkan dan dibesarkan. Jangankan seorang pangeran, melihat Pajang pun mereka belum pernah.”

“Sudahlah,” sikap orang yang bernama Ki Sanggakaya itu mulai menjadi kasar, “bawa keduanya kemari.”

Ki Pananggungan pun kemudian telah bergeser justru turun ke samping pendapa. Ia masuk ke dalam tidak lewat pintu pringgitan tetapi lewat pintu seketeng.

Sebenarnyalah bahwa kedua orang anak muda itu mendengarkan pembicaraan Ki Pananggungan di pendapa. Karena itu, maka keduanya sempat menyusun jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang mungkin akan diajukan oleh kedua orang itu.

“Jawaban kita harus sama,” berkata Wijang.

Sejenak kemudian, Wijang dan Paksi itu pun telah duduk pula di pendapa. Ki Pananggungan itulah yang justru bertanya lebih dahulu, “Nah, jika salah seorang kemenakanku ini seorang pangeran, yang manakah yang bernama Pangeran Benawa. Karena keduanya adalah saudara kandung, maka jika salah seorang di antara mereka pangeran, maka yang lain pun tentu pangeran pula.”

Kedua orang itu memang menjadi bimbang, justru karena ada dua orang anak muda yang dihadapkan kepadanya. Namun rasa-rasanya kedua orang anak muda itu memang tidak pantas jika mereka anak-anak petani kebanyakan. Ujudnya berbeda. Dan sikapnya pun berbeda.

Dalam pada itu, Wijang pun bertanya, “Apakah maksudmu, Paman?”

“Kedua tamu kita ini mencari seorang pangeran yang meninggalkan istana. Mereka menduga bahwa pangeran yang mereka cari itu berada di rumah ini. Karena mereka mendengar bahwa di rumah ini telah tinggal dua orang anak muda yang belum lama berada di Kembang Arum. Karena itu, maka aku bawa kalian berdua menemui mereka agar mereka menunjuk, siapakah di antara mereka yang bernama Pangeran Benawa.”

“Pangeran?” desis Wijang. “Bukankah pangeran itu anak seorang raja?”

“Itulah sebabnya, maka biarlah mereka memilih di antara kalian berdua.”

Wijang dan Paksi memandang kedua orang itu berganti-ganti. Sambil tersenyum Paksi pun berkata, “Alangkah senangnya menjadi anak seorang raja.”

“Cukup,” bentak salah seorang dari kedua orang itu. Agaknya orang itu benar-benar kebingungan untuk memilih. Sudah tentu bahwa bukan kedua-duanya adalah Pangeran Benawa.

Sementara itu, Ki Pananggungan berkata, “Ki Sanggakaya, keduanya adalah kemenakanku yang lahir dari adik kandungku. Bagaimana aku dapat menunjukkan bahwa salah seorang dari mereka adalah seorang pangeran.”

Wajah kedua orang itu menjadi tegang. Seorang di antara mereka tiba-tiba berkata, “Kita bawa kedua-duanya. Kita tunjukkan kepada Ki Rangga Sumawerdi, apakah salah seorang dari keduanya adalah Pangeran Benawa.”

“Ki Sanak,” berkata Ki Pananggungan, “bukankah itu sia-sia?”

“Ki Rangga Sumawerdi akan dapat mengenali Pangeran Benawa. Di Istana Pajang, Ki Rangga Sumawerdi bukan saja pernah melihat Pangeran Benawa, tetapi ia dapat mengenal dengan baik pangeran itu, bahkan pernah melayaninya di saat-saat tertentu.”

Jantung Wijang memang berdebaran. Ia pun mengenal orang yang bernama Sumawerdi. Seorang yang mengenal benar watak dan sifat seekor kuda. Sejak muda Ki Rangga Sumawerdi sudah bergelut dengan kuda. Di istana Pajang, sekali-sekali Pangeran Benawa memang berhubungan dengan Ki Rangga Sumawerdi khususnya dalam hubungannya dengan kuda, karena Pangeran Benawa juga seorang penggemar kuda.

Namun dalam pada itu, Ki Pananggungan pun bertanya, “Dimanakah Ki Rangga Sumawerdi itu sekarang?”

“Untuk apa kau bertanya?”

“Bukan untuk apa-apa. Tetapi jika kalian membawa kemenakanku kepadanya, maka sebaiknya aku tahu, dimanakah Ki Rangga itu tinggal.”

“Aku minta kau diam, Ki Pananggungan,” geram Ki Suratapa yang mulai menunjukkan wataknya yang sebenarnya. “Apa pun yang akan kami lakukan, biarlah kami lakukan.”

“Tetapi jika hal itu menyangkut kedua orang kemenakanku, bukankah wajar jika aku ingin mengetahuinya.”

“Aku minta kau diam, kau dengar? Aku akan membawa kedua orang kemenakanmu.”

“Ayah dan ibunya tentu akan menjadi bingung. Mereka akan menuntut tanggung jawabku, karena kedua anaknya sedang berada di rumahku.”

“Aku tidak peduli,” Ki Sanggakaya berteriak. “Aku akan membawa kedua kemenakanmu. Biarlah Ki Rangga Sumawerdi memilihnya.”

“Jika ternyata kedua-duanya bukan yang dimaksud?” bertanya Ki Pananggungan.

“Kau terlalu banyak bertanya,” bentak Ki Suratapa.

Ki Pananggungan memandang Wijang dan Paksi sekilas. Wijanglah yang kemudian menjawab, “Baiklah. Biarlah kami berdua dibawa oleh keduanya. Setelah orang yang bernama Ki Rangga Sumawerdi itu melihat kami, maka kami akan segera dilepaskan, Paman. Kami akan segera pulang.”

“Belum tentu,” teriak Sanggakaya.

“Kenapa belum tentu?” bertanya Wijang.

“Jika Ki Rangga Sumawerdi memerlukan budak seperti kalian berdua, maka kalian berdua akan dijadikan budaknya.”

“Tetapi kami tidak ingin menjadi budak,” sahut Wijang.

“Kami tidak peduli. Ingin atau tidak ingin, jika kalian dibutuhkan, maka kalian harus melakukannya. Mungkin Ki Rangga Sumawerdi membutuhkan kalian. Tetapi mungkin juga Harya Wisaka sendiri.”

“Kami tidak berkeberatan untuk menghadap Ki Rangga jika itu sekedar untuk melihat apakah salah seorang dari kami seorang anak raja.” Lalu katanya selanjutnya, “Tetapi kami tidak ingin menjadi budak.”

“Jika kau sekali lagi mengatakannya, aku akan menampar mulutmu,” geram Ki Sanggakaya. “Sekarang kita akan pergi.”

“Tetapi aku minta, setelah Ki Rangga Sumawerdi melihatnya, keduanya akan pulang dengan selamat.”

“Tutup mulutmu, atau aku yang akan menutupnya.”

Ki Pananggungan pun terdiam. Sementara Ki Sanggakaya itu pun berkata, “Kita akan pergi sekarang.”

“Biarlah mereka berganti pakaian dahulu, Ki Sanak,” berkata Ki Pananggungan. “Tidak pantas untuk menghadap Ki Rangga Sumawerdi dengan pakaian seperti itu.”

Ki Sanggakaya itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Cepat. Aku tidak mempunyai banyak waktu. Tetapi jika kalian melarikan diri, pamanmu akan aku bunuh disini.”

“Ah, jangan menakut-nakuti, Ki Sanak,” desis Ki Pananggungan.

“Aku tidak menakut-nakuti. Aku benar-benar akan melakukannya.”

“Maksudku, kau membuat aku menjadi ngeri. Membunuh adalah memisahkan nyawa dari tubuhnya, sehingga untuk selama-lamanya tidak akan dapat menyatu kembali. Bukankah itu mengerikan sekali.”

“Tetapi jika kemenakanmu atau salah seorang daripadanya melarikan diri, maka aku benar-benar akan membunuhmu.”

“Kemenakanku tidak akan lari, Ki Sanak.”

“Jangan hanya berbicara saja. Biarlah kedua kemenakanmu itu cepat berganti pakaian.”

Wijang dan Paksi pun kemudian beringsut meninggalkan kedua orang tamu yang mendebarkan itu. Di gandok Wijang berdesis, “Jika aku benar-benar bertemu dengan Ki Rangga Sumawerdi, maka petualangan ini akan segera berakhir. Atau kita harus menjadi orang-orang buruan.”

“Kita sudah menjadi orang buruan sekarang,” sahut Paksi.

“Jika aku bertemu dengan Ki Rangga, maka hanya ada dua kemungkinan, membunuh atau dibunuh.”

“Kecuali jika kita menyerah.”

“Ya. Bukankah sudah aku katakan, menyerah adalah salah satu kemungkinan. Tetapi dengan demikian, kita akan jatuh ke tangan Harya Wisaka. Nah, kau tahu akibatnya. Cincin yang aku bawa itu akan diambilnya.”

Paksi mengangguk-angguk. Katanya, “Jadi?”

“Aku belum tahu apa yang akan terjadi. Tetapi sebaiknya kau minta diri kepada Kemuning. Mungkin kita pergi untuk beberapa lama. Atau seandainya kita dapat lepas dari tangan mereka, kita sudah harus meninggalkan tempat ini. Benturan kekuatan dengan Wira Bangga juga akan dapat mengundang perhatian lingkungan mereka.”

“Tetapi apakah kita tidak meninggalkan persoalan bagi Ki Pananggungan?”

“Itu juga harus kita pikirkan. Jangan terjadi, sepeninggal kita, Ki Pananggungan akan mengalami kesulitan. Apalagi Ki Pananggungan tinggal bersama keluarganya.”

Namun mereka tidak dapat berbicara lebih panjang. Tiba-tiba saja terdengar Ki Suratapa berteriak, “He, cepat. Jangan main-main.”

Ki Pananggungan beringsut sambil berdesis, “Biarlah aku memanggilnya.”

“Jangan pergi. Jika mereka lari, kaulah yang akan dibantai disini.”

Ki Pananggungan mengurungkan niatnya. Sambil menarik nafas panjang, ia duduk kembali.

Sebenarnyalah, Paksi memang menemui Kemuning di belakang. Seperti yang dikatakan oleh Wijang, maka Paksi pun telah menyampaikan persoalan yang dihadapinya bersama Wijang.

“Kedua orang itu akan membawa kami.”

“Kenapa?”

“Persoalannya tidak jelas. Tetapi kami akan pergi. Mudah-mudahan kami akan segera kembali. Tetapi jika persoalannya berkembang, mungkin kami akan pergi untuk beberapa lama.”

“Tetapi bukankah Kakang akan kembali, kapanpun?”

“Aku akan kembali, Kemuning. Kita akan berdoa.”

“Kakang akan minta diri kepada Bibi?”

“Tolong, kau sajalah yang menyampaikannya. Kedua orang itu agaknya sudah tidak sabar. Mereka mulai berteriak-teriak. Nanti jika Paman Pananggungan kehabisan kesabaran, persoalannya akan menjadi lain.”

Kemuning tidak dapat menahannya. Dilepaskannya Paksi pergi. Tetapi Kemuning tidak kehilangan harapan. Ia tahu, Paksi berilmu tinggi. Demikian pula Wijang, sehingga keduanya akan dapat menjaga diri.

Sejenak kemudian, Paksi dan Wijang telah berada di pendapa. Paksi tidak lupa membawa tongkatnya. Sementara itu, Wijang telah mengenakan perisainya di bawah lengan bajunya.

“Kami bawa kemenakanmu berdua,” berkata Ki Sanggakaya.

“Aku harap agar mereka segera kembali,” desis Ki Pananggungan.

“Kau tidak dapat menuntut apa-apa, kau dengar?” bentak Ki Suratapa.

Ki Pananggungan tidak menjawab. Tetapi ia pun berpesan kepada Wijang dan Paksi, “Berhati-hatilah.”

Tetapi pesan itu pun membuat Sanggakaya membentak,

“Untuk apa kau pesan hal itu kepada kemenakanmu? Hati-hati atau tidak hati-hati akibatnya akan sama saja bagi keduanya. Jika mereka memang pantas kembali, mereka akan kembali. Jika tidak, kau mau apa?”

“Tolong, Ki Sanak. Kedua orang tuanya akan sangat bersedih.”

“Apa peduliku. Jika orang tuanya mau bunuh diri, biarlah mereka melakukannya. Aku tidak akan kehilangan apa-apa.”

“Tetapi bukankah kita dapat sedikit bertenggang rasa.”

“Hanya orang yang cengeng sajalah yang harus bertenggang rasa.”

Telinga Ki Pananggungan menjadi semakin panas. Tetapi ia tidak ingin kehilangan kendali penalarannya. Karena itu, maka Ki Pananggungan itu masih menahan diri.

Demikianlah, maka kedua orang itu pun meninggalkan rumah Ki Pananggungan dengan membawa Wijang dan Paksi. Di regol halaman, Ki Suratapa sempat membentak, “Buat apa kau membawa tongkat seperti seorang kakek-kakek?”

“Tongkat ini pemberian kakekku, Ki Suratapa. Aku sangat mengasihi kakekku.”

“Kau contoh seorang yang cengeng itu,” geram Ki Suratapa. Tetapi Ki Suratapa itu membiarkan Paksi membawa tongkatnya.

Sejenak kemudian, maka mereka pun telah menyusuri jalan padukuhan. Sejenak kemudian, mereka telah keluar dari mulut jalan, memasuki bulak yang panjang.

Gangsar melihat mereka berempat dari kejauhan. Kepergian kedua kemenakan Ki Pananggungan itu sedikit lapang dadanya, meskipun ia tahu, bahwa untuk mulai kembali hubungannya dengan Kemuning ia memerlukan waktu.

“Aku harap mereka tidak akan pernah kembali,” berkata Gangsar dalam hatinya.

Dalam pada itu, Wijang dan Paksi berjalan di depan, sementara itu Ki Sanggakaya dan Ki Suratapa berjalan beberapa langkah di belakangnya. Namun Ki Suratapa itu sudah memberi peringatan, “Jangan berbuat aneh-aneh. Ingat, kami dapat membunuhmu tanpa sebab dan tanpa akibat apa pun bagi kami.”

“Jika kalian membunuh kami, sementara salah seorang dari kami benar-benar Pangeran Benawa, maka kalian akan digantung oleh Ki Rangga Sumawerdi.”

“Iblis kau,” geram Suratapa. “Meskipun salah seorang di antara kalian adalah Pangeran Benawa, jika kalian sudah mati, maka tidak ada seorang pun yang menjadi saksi.”

“Kalian akan dapat saling menjadi saksi.”

“Gila. Itu berarti kami menjerat leher kami sendiri.”

“Sekarang kalian dapat berkata seperti itu. Tetapi jika pada suatu saat kalian berebut kepentingan, maka kalian akan saling mengkhianati.”

“Diam kau, monyet kecil,” bentak Ki Suratapa.

Wijang memang terdiam. Sementara itu Paksi pun tidak menyahut sama sekali.....
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar