Jejak Dibalik Kabut Jilid 03

Orang yang disebut Jaran Demung itu memandang pengemis itu dengan tajamnya. Sementara itu, Paksi seakan-akan diluar sadar telah menggenggam tongkat kayu yang berwarna kehitam-hitaman itu.

Baru kemudian Paksi sadar ketika orang yang menyebut dirinya pengemis dengan mengenakan caping yang besar agak menutup wajahnya itu berkata, “Nah, anak-muda. Hidup matimu tergantung kepada kemampuanmu mempertahankan diri. Lawanmu benar-benar berniat membunuhmu, karena ia adalah Jaran Demung. Seorang yang terbiasa bertualang. Tidak ada orang yang berani menolak keinginannya. Jika ia ingin membunuh, maka ia, akan membunuh.”

Paksi memegang tongkat kayu itu dengan eratnya. Ia tahu bagaimana harus mempergunakannya, karena ia pernah ditempa oleh gurunya.

Tetapi Paksi memang agak merasa heran. Tongkat kayu itu terasa agak lebih berat dari kayu kebanyakan dari jenis apa pun yang pernah dikenalnya. Apalagi setelah menjadi kering.

Namun Paksi tidak mempunyai banyak kesempatan untuk mengenali tongkatnya itu. Orang yang disebut Jaran Demung itu telah melangkah mendekatinya sambil berkata, “Aku akan membantainya, pengemis tua. Setelah anak ini, maka aku akan membuat perhitungan dengan kau sendiri, karena aku tidak percaya, bahwa kau benar-benar pengemis. Atau jika kau memang mengemis, maka itu adalah karena kau seorang pemalas atau pengecut, karena kau tentu memiliki kemampuan.”

Orang yang mengaku pengemis itu tidak menjawab. Yang terdengar adalah suara tertawanya yang panjang.

Dalam pada itu, ketika Jaran Demung menjulurkan ujung pedangnya, maka Paksi mulai memutar tongkatnya. Ia memang memerlukan waktu sekejap untuk mengenali senjatanya itu. Paksi berharap bahwa tongkat itu tidak segera patah terkena sabetan pedang lawannya yang tajam itu. Tetapi lebih dari itu, pedang itu berada ditangan orang yang berilmu tinggi.

Dengan tongkat kayunya, maka Paksi sadar, bahwa ia tidak dapat menangkis serangan lawannya dengan langsung membentur ayunan pedangnya. Tetapi ia harus berusaha untuk mengelak dan menepis senjata lawannya agar tongkatnya tidak segera patah.

Jaran Demung yang marah itu pun segera mulai menyerang. Dengan ujung pedangnya ia mulai menggapai tubuh Paksi. Tetapi dengan tangkasnya Paksi bergeser. Bahkan kemudian Paksi pun mulai menyentuh pedang lawannya dengan tongkatnya.

Paksi merasakan getar yang keras di telapak tangannya. Sentuhan tongkatnya rasa-rasanya bagaikan sentuhan logam yang keras. Bukan sekedar sentuhan kayu.

Sentuhan itu juga mengejutkan Jaran Demung. Tangannya merasa seakan-akan pedangnya tidak sekedar menyentuh sepotong kayu kering. Tetapi pedangnya seakan-akan telah menyentuh sepotong besi.

Karena itu, maka dugaannya bahwa orang yang menyebut dirinya pengemis itu sebenarnya adalah seorang yang berilmu.

Jaran Demung memang berniat untuk menyelesaikan pengemis itu setelah anak muda yang telah berani menentang kemauannya itu.

Meskipun jalan didepan kedai itu menjadi sepi, tetapi sebenarnya beberapa pasang mata tengah memandangi perkelahian antara seorang yang bertubuh tinggi, besar dan berwajah garang melawan seorang yang masih sangat muda.

Sejenak kemudian, rnaka perkelahian itu menjadi semakin seru. Jaran Demung benar-benar telah mengerahkan kemampuannya untuk mengalahkan Paksi. Bagi Jaran Demung, membunuh orang bukan lagi satu masalah. Seandainya hal itu diketahui oleh para bebahu padukuhan, ia sama sekali tidak menghiraukannya. Ia yakin bahwa tidak seorang pun bebahu padukuhan yang akan berani menangkapnya. Bahkan sekelompok bebahu tidak akan berani mengerahkan orang-orang padukuhan. Seandainya mereka dapat mengalahnya karena ia hanya seorang diri, namun padukuhan itu dalam waktu kurang dari sepekan akan menjadi abu.

Tetapi tongkat kayu yang berwarna kehitam-hitaman di tangan anak muda itu menjadi garang. Paksi bukan saja berusaha menangkis dengan menepis pedang lawannya, tetapi tongkat itu sudah mulai menyerangnya pula. Tongkat yang baru saja terayun mendatar menghalau serangan pedangnya, dengan cepat telah berputar dan mematuk ke-arah dadanya.

“Anak iblis” geram Jaran Demung.

Umpatan itu justru merupakan isyarat bagi Paksi, bahwa lawannya mulai mengalami kesulitan.

Karena itu, maka Paksi pun menjadi semakin mantap. Anak muda itu telah mengerahkan kemampuannya. Tongkatnya berputaran semakin cepat.

Paksi justru terkejut, ketika serangan lawannya yang datang dengan cepat dan tiba-tiba tidak dapat dihindarinya. Ia tidak pula mendapat kesempatan untuk menepis serangan itu menyamping, sehingga memaksa Paksi untuk membentur ayunan pedang lawannya itu.

Paksi memang menjadi berdebar-debar. Jika tongkat itu patah, maka pengemis itu akan marah kepadanya. Bahkan mungkin perlawanannya atas ilmu pedang lawannya menjadi kacau meskipun seandainya ia masih tetap dapat mempergunakan kedua potongan tongkat itu sebagai senjatanya.

Tetapi ternyata dalam benturan yang terjadi, tongkat itu tidak patah. Bahkan dalam benturan itu, Jaran Demung telah terdorong selangkah surut, meskipun Paksi sendiri terdorong surut pula.

Sejenak Paksi sempat memperhatikan tongkat kayunya yang nampaknya tidak lebih dari sebuah dahan yang dipotong langsung dari batangnya dan kemudian dikeringkannya. Tetapi ternyata tongkat itu memiliki kekuatan yang besar.

Namun dalam kesempatan yang pendek itu, Paksi tidak sempat mengamati tongkatnya lebih lama. Ia tidak sempat mengetahui, apakah yang menyebabkan tongkat yang dipinjamnya itu demikian kokohnya.

Dalam pada itu, Jaran Demung telah meloncat menyerangnya pula. Namun Paksi pun telah siap untuk mempertahankan dirinya. Bahkan Paksi menjadi lebih mantap, karena ia tidak perlu ragu-ragu membenturkan senjatanya dengan senjata lawannya.


Pengemis yang mempunyai tongkat kayu itu tertawa. Dengan lantang ia berkata, “Bagus, anak muda. Kau memiliki ilmu yang bagus. Kau tidak berada dibawah tingkat kemampuan Jaran Demung.”

“Setan kau pengemis buruk” geram Jaran Demung.

“Kau akan kalah, Jaran Demung” berkata pengemis itu, “jika anak itu hatinya buram, maka nasibmu akan menjadi sangat buruk. Dengan tongkatku itu, dadamu akan dilubangi. Tentu lebih baik dilubangi dengan ujung pedang yang runcing, daripada dengan ujung tongkat yang tumpul. Tetapi jika hati anak itu baik, maka kau akan diampuni.”

Jaran Demung menggeram. Tetapi ia memang tidak mempunyai banyak kesempatan. Ujung tongkat anak muda itu telah mulai menyentuh tubuhnya.

Jaran Demung mengumpat kasar. Ia sungguh-sungguh tidak menduga, bahwa ia harus berkelahi dengan anak muda itu. Justru ia semakin lama menjadi semakin terdesak.

Jaran Demung memang sedikit menyesal, bahwa ia telah berselisih dengan anak muda yang berilmu tinggi. Tetapi sikap anak muda itu seharusnya dapat dimengertinya. Tidak seorang pun hatinya rela memberikan ikat kepalanya untuk mengusap tangan yang kotor berminyak.

Ternyata anak muda itu tidak sekedar tidak rela didalam hatinya. Tetapi ia benar-benar telah melawan.

“Pengemis itu tentu akan menyesal, karena ia telah berani membantu anak muda itu.” geram Jaran Demung.

Tetapi apakah yang akan dapat dilakukan terhadap pengemis itu jika anak muda itu kemudian berhasil membunuhnya?

“Tidak” Jaran Demung itu menggeram didalam hatinya, “Tidak. Akulah yang akan membunuhnya. Tidak seorang pun yang akan dapat menghalangi aku dan tidak seorang pun yang akan berani menuntut aku.”

Tetapi ia tidak dapat menghindar dari kenyataan. Anak muda yang bersenjata tongkat itu mendesaknya terus. Tongkatnya semakin sering mengenai tubuhnya. Sementara itu, sangat sulit bagi Jaran Demung untuk dapat menyentuh lawannya dengan ujung pedangnya.

Karena itu, maka Jaran Demung itu semakin lama menjadi semakin terdesak. Pengemis yang mengenakan caping lebar itu pun mengikuti perkelahian dengan saksama. Sekali-sekali terdengar suara tertawanya menghentak, menghambur dan kemudian suara tertawa itu meledak berkepanjangan.

“Bagus anak muda. Kau ternyata mempunyai kelebihan dari Jaran Demung. Jaran Demung hanya mengandalkan kekuatan dan kedunguannya. Mungkin sedikit pengalaman yang berarti. Tetapi kau memiliki pengetahuan dasar yang mapan. Nah, sebentar lagi kau akan mengakhiri perkelahian.”

“Diam kau pengemis gila” teriak Jaran Demung, “jika kau tidak mau diam, aku akan mengoyak mulutmu.”

Suara tertawa pengemis tua itu justru semakin meledak-ledak. Katanya, “Kau mengalami kesulitan menghadapi anak muda itu. Bagaimana mungkin kau akan mengoyak mulutku.”

Jaran Demung memang hanya dapat menggeraiti. Ia memang tidak dapat melakukannya, sementara Paksi mendesaknya terus.

Ketika ujung tongkat Paksi mengenai lambung Jaran Demung, maka terdengar keluhan tertahan. Jaran Demung meloncat beberapa langkah surut untuk mengambil jarak. Tetapi Paksi tidak membiarkannya. Dengan cepat pula ia meloncat. Tongkatnya terayun dengan derasnya ke arah kening.

Jaran Demung masih sempat menangkis serangan itu. Dengan tergesa-gesa Jaran Demung memutar pedangnya melindungi keningnya dari sambaran tongkat Paksi.

Tetapi dengan cepat, tongkat Paksi berputar. Pangkalnyalah yang dengan derasnya terayun ke arah pundaknya.

Jaran Demung, harus meloncat semakin cepat menjauh untuk mengambil jarak. Tetapi Paksi tetap memburunya. Tongkatnya itu terjulur lurus mengarah ke dada Jaran Demung.

Jaran Demung tidak mempunyai banyak kesempatan. Karena itu, maka ia pun justru menjatuhkan dirinya, berguling dengan cepat dan kemudian meloncat bangkit berdiri.

Paksi tertegun. Ternyata Jaran Demung masih sempat menghindar. Ketika Paksi berusaha memburunya, maka Jaran Demung telah siap menunggunya dengan ujung pedang terjulur.

Paksi berhenti sejenak. Dipandanginya mata Jaran Demung itu dengan tajamnya, seakan-akan Paksi ingin melihat apa yang tersembunyi ditatapan matanya itu.

Jaran Demung masih berdiri tegak. Namun Jaran Demung itu seakan-akan sudah menjadi yakin, bahwa ia tidak akan dapat mengalahkan anak muda itu. Karena itu, Jaran Demung harus mengambil sikap sebelum tongkat anak muda itu menghancurkan kepalanya.

Paksi tidak tahu apa yang bergejolak didalam dada lawannya itu. Ia pun tidak ingin berteka-teki lebih jauh. Karena itu, maka Paksi pun kemudian telah meloncat menyerangnya dengan garangnya.

Jaran Demung masih memberikan perlawanan dengan hentakan-hentakan ilmu pedangnya. Namun justru tongkat Paksi lah yang sering menyentuh tubuhnya.

Karena itu, maka Jaran Demung yang ditakuti itu telah memilih untuk meninggalkan lawannya yang masih muda itu.

Ketika ia mendapat kesempatan maka Jaran Demung itu pun meloncat menjauh dan kemudian berlari meninggalkan arena.

Paksi sama sekali tidak mengejarnya. Sementara pengemis yang meminjaminya tongkat itu tertawa berkepanjangan.

“Orang itu lari anak muda. Kau telah menang.” pengemis itu hampir berteriak.

Paksi berdiri termangu-mangu.

“Kenapa orang itu tidak kau kejar dan kau pukul punggungnya dengan tongkatku itu? Kemudian kau pukul ia sekali lagi di tengkuknya. Maka ia tentu akan mati.”

“Aku tidak ingin membunuhnya. Bukan karena ingin kau memuji aku sebagai orang yang baik karena aku tidak membunuh lawanku. Tetapi aku memang tidak ingin membunuh.”

“Bagus” berkata pengemis itu, “sebaiknya orang memang tidak membunuh sesamanya dengan alasan apa pun.”

Paksi pun kemudian mengembalikan tongkat pengemis itu sambii berkata, “Aku mengembalikan tongkatmu, Ki Sanak. Aku mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya. Dengan meminjamkan tongkat itu, Ki Sanak telah menyelamatkan nyawaku.”

“Bukankah aku hanya meminjamkan tongkatku? Kaulah yang telah menolong nyawamu sendiri.”

“Tanpa tongkat itu, aku tidak akan mampu melawan ilmu pedang orang itu.”

“Nampaknya kau sesuai dengan jenis senjata seperti itu. Karena itu ambillah tongkatku. Senjata itu tidak begitu menarik perhatian. Berbeda dengan seandainya sebilah pedang tergantung di lambungmu.

Paksi termangu-mangu sejenak. Namun kemudian dengan nada dalam ia berkata, “Aku sangat berterima kasih dengan pemberianmu yang sangat berharga ini Ki Sanak. Tetapi bagaimana dengan kau sendiri?”

Pengemis itu tertawa. Katanya, “Bukankah aku dapat mencari lagi. Jika nanti aku sampai di pategalan, aku dapat memotong lagi sepotong dahan kayu. Bukankah tidak terlalu sulit bagiku.”

“Tetapi tongkat ini bukan sekedar sepotong dahan kayu” jawab Paksi.

“Lalu kau kira tongkat itu apa?”

“Tongkat ini lebih berat dari sekedar sepotong kayu.”

“Kebetulan tongkat itu adalah sepotong dahan kayu berlian. Itu saja.”

“Aku tidak percaya, Ki Sanak. Kau tentu membuat tongkat ini secara khusus, meskipun aku tidak tahu, bagaimana caramu melakukannya.”

“Sudahlah. Kau jangan aneh-aneh seperti itu. Aku relakan tongkat itu untuk kau miliki.”

“Aku tidak hanya sekedar ingin memiliki sebuah tongkat seperti ini, tetapi aku ingin mengetahui, caramu membuatnya. Jika kau ajari aku membuat tongkat seperti ini, aku tidak akan mengambil milikmu.”

“Kenapa tiba-tiba saja kau ingin berbuat aneh-aneh. Aku sudah memberikan tongkat itu kepadamu. Itu sudah cukup.”

“Tongkat ini sudah berada ditanganku. Senjata yang sesuai bagiku. Nah, dengan senjata ini aku ingin memaksamu, agar kau mau memberitahukan kepadaku, bagaimana caramu membuat tongkat seperti ini.”

“Anak muda” berkata pengemis itu, “kau ternyata mempunyai watak yang aneh. Seharusnya kau ucapkan terima kasih, bahwa aku telah memberimu senjata yang sesuai bagimu.”

“Bukankah aku sudah mengucapkannya. Bahkan sangat berterima kasih.”

“Lalu kenapa kau ingin memaksamu melakukan sesuatu yang tidak aku mengerti.”

“Jangan berpura-pura, Ki Sanak.” sahut Paksi yang tiba-tiba saja telah memutar tongkatnya.


“He” pengemis itu meloncat surut, “kau ini orang apa? Aku sudah menolongmu. Aku sudah memberikan senjataku kepadamu.”

“Kau sendiri mengatakan bahwa aku telah menolong diriku sendiri. Sedangkan untuk tongkat ini aku sudah mengucapkan terima kasih. Sekarang, beritahu aku, dimana kau dapatkan dahan kayu ini dan bagaimana kau membuatnya menjadi senjata yang sangat baik ini.”

“Aku tidak mau” tiba-tiba orang itu menjawab dengan tegas.

“Aku akan memaksamu.” geram Paksi.

“Kemenanganmu atas Jaran Demung, membuatmu mabuk dan merasa dirimu berilmu sangat tinggi.”

“Sudahlah. Jangan banyak bicara. Sekarang, antarkan aku dan tunjukkan kepadaku, bagaimana kau membuat tongkat ini.”

Tetapi pengemis itu menggeleng. Katanya, “Tidak. Aku tidak mau.”

Tiba-tiba saja Paksi memutar tongkatnya. Ia benar-benar telah menyerang pengemis yang memakai caping yang lebar diatas kepalanya itu.

Tetapi pengemis itu sudah bersiap. Dengan sigapnya ia meloncat menghindar.

Paksi tidak melepaskannya. Dengan cepat ia memburunya, tongkatnya berputaran dan menyerang beruntun seperti arus banjir bandang.

Orang-orang yang menyaksikan menjadi heran. Semua orang melihat, bagaimana pengemis tua itu memberikan tongkatnya. Mereka juga melihat, dengan tongkat itu Paksi mampu mengusir lawannya. Namun tiba-tiba saja mereka melihat, anak muda itu justru telah menyerang orang yang telah menolongnya itu.

Perkelahian pun berlangsung semakin sengit. Ternyata pengemis itu memiliki ilmu yang sangat tinggi. Tongkat di tangan Paksi sama sekali tidak mampu menyentuhnya.

Bahkan beberapa kali, tongkat itu membentur kaki dan tangan pengemis itu. Yang mengherankan Paksi, pengemis itu menangkis serangan tongkat ditangannya itu dengan benturan-benturan yang keras tanpa merasa sakit.

Tetapi perkelahian itu tidak berlangsung terlalu lama, Selagi orang-orang yang menyaksikan masih terheran” heran, Paksi telah meloncat mundur untuk mengambil jarak.

Tiba-tiba saja Paksi berlutut sambil berkata, “Aku mohon maaf, Kiai.”

Pengemis itu tidak memburunya. Sambil tersenyum ia pun berkata, “Aku tahu, bahwa kau tentu hanya sekedar bermain-main. Tetapi apa alasanmu?”

“Hanya sekedar ingin tahu, Kiai.”

“Tidak. Tentu bukan sekedar ingin tahu. Apakah kau sedang berusaha untuk mengenali seseorang?”

Paksi tidak dapat ingkar. Katanya, “Ya, Kiai.”

“Berdirilah. Aku hanya seorang pengemis. Nah, sekarang, yakinkah dirimu, apakah kau sudah dapat mengenalinya?”

“Kiai. Aku mencurigai seseorang yang pernah menyerangku. Tidak hanya sekali.”

“Apakah kau tidak dapat mengenali wajahnya?” bertanya pengemis itu.

“Tidak Kiai. Wajahnya cacat. Aku tidak tahu, apakah itu wajah aslinya atau bukan, karena setiap kali ia menyerangku, tentu terjadi di malam hari.”

Pengemis itu tertawa. Katanya, “Ketika kau melihat wajahku, kau telah mencurigainya. Tetapi bukankah orang itu datang untuk menyerangmu? Apakah kau tidak mengetahui alasannya atau apa saja yang dipergunakannya sebagai alasan?”

“Semuanya nampaknya telah dibuat-buat. Yang mengherankan, ilmunya dan ilmuku memiliki banyak persamaan.”

Pengemis itu tertawa semakin panjang. Katanya, “Kau cerdik. Kau mempunyai cara yang menarik untuk meyakinkan, apakah aku yang berwajah cacat ini juga orang yang pernah datang menyerangmu itu. Tetapi bukankah kau yakin, bahwa ilmuku dan ilmu orang itu berbeda?”

“Ya.” jawab Paksi.

“Nah, sekarang pergilah. Bawa tongkatku. Kau memerlukannya.” berkata pengemis itu, “Jaran Demung tentu mendendammu. Tanpa tongkat itu, maka kau akan mengalami kesulitan. Mudah-mudahan tongkat itu berarti bagimu.”

“Terima kasih, Kiai.” jawab Paksi. Nampak Paksi itu masih juga bertanya, “Tetapi apakah aku boleh mengetahui nama Kiai, atau sebutan yang Kiai pergunakan?”

“Panggil aku Tenong. Namaku Tenong.”

Dahi Paksi berkerut. Pengemis itu tertawa sambil berkata, “Kau tidak percaya? Sudahlah. Namaku tidak penting. Jika kau akan melanjutkan perjalananmu, pergilah. Mudah-mudahan kau selalu mendapat perlindungan dari yang Maha Agung.”

“Sekali lagi aku mengucapkan terima kasih, Kiai.”

“Namaku Tenong.” orang itu tertawa sambil melangkah pergi.

Paksi berdiri termangu-mangu. Ditangannya digenggamnya tongkat pemberian pengemis itu. tiba-tiba saja ia merasa sangat sesuai dengan tongkat itu. Ia sadar, bahwa tongkat itu tidak sekedar sebatang dahan kayu yang dipotong dari batangnya.

Tetapi Paksi tidak segera pergi, Ia masih sempat menemui pemilik kedai untuk menghitung, berapa ia harus membayar.

“Aku akan mengganti ambenmu yang rusak.”

“Tidak, anak muda. Lincak bambu itu tidak rusak. Hanya terguling saja.”

Semula pemilik kedai itu memang berkeberatan menerima uang Paksi. Tetapi akhirnya diterimanya juga karena Paksi agak memaksanya.

“Kau akan banyak kehilangan, jika aku tidak membayar.” berkata Paksi, “bukankah Jaran Demung itu juga tidak membayar sementara kedua orang yang dipaksanya untuk membayar sudah melarikan diri. Tentu bukan karena ingkar. Tetapi karena ketakutan.”

Demikianlah, maka Paksi pun kemudian meninggalkan kedai itu. Ia sudah tidak melihat lagi pengemis yang telah memberinya sebatang tongkat yang dapat menemaninya sepanjang perjalanannya yang tidak diketahuinya, kapan berakhir.

Beberapa saat kemudian, maka Paksi pun telah meninggalkan padukuhan yang cukup besar dan yang telah memberikan kesan tersendiri itu. Di padukuhan itu ia telah bertemu dengan Jaran Demung. Seorang yang akan dapat membayanginya sepanjang perjalanannya. Jaran Demung tentu mendendamnya. Apalagi, Jaran Demung mempunyai hubungan khusus dengan Kebo Lorog.

Paksi pun sempat membayangkan wajah laki-laki yang pernah menyerangnya dengan tiba-tiba dan menuduhnya telah mengetahui rahasia Kebo Lorog dan para pengikutnya. Orang itu pun datang menyerangnya pula ketika terjadi pertempuran di kuburan. Tetapi dugaan Paksi menjadi semakin keras, bahwa orang itu justru bukan pengikut Kebo Lorog.

Terik matahari serasa membakar tubuh, justru saat matahari mulai menurun. Angin terasa semilir mengusap tubuh Paksi yang basah oleh keringat. Perkelahiannya memang telah memeras keringatnya. Apalagi panasnya sinar matahari.

Paksi berjalan diatas jalan berdebu. Tetapi air hening yang mengalir di parit di sebelah jalan yang dilaluinya itu memberikan kesegaran tersendiri.

Di langit burung pipit terbang dalam kelompok-kelompok yang besar, perputar-putar diatas bulak persawahan. Namun kemudian menghilang terbang ke Utara.

Paksi mengayun-ayunkan tongkat barunya. Sekali-sekali Paksi mengamati tongkatnya itu sambil berkata di-dalam dirinya, “Tongkat ini telah melengkapi perjalananku sebagai seorang pengembara.”

Paksi melangkah menepi ketika ia berpapasan dengan tiga orang berkuda. Nampaknya ketiganya juga sedang menempuh perjalanan yang panjang.

Tetapi, ketiganya tidak memperhatikan Paksi sama sekali. Anak muda yang berjalan diteriknya matahari menjelang sore hari dengan membawa tongkat sebatang kayu yang nampaknya sudah kering dan berwarna kehitam-hitaman itu sama sekali tidak menarik perhatian.

Paksi mengusap debu yang menghambur di pakaiannya. Sekilas Paksi melihat wajah-wajah yang bersih dari para penunggang kuda itu.

“Pantasnya, mereka adalah saudagar-saudagar yang sudah berhasil” berkata Paksi didalam hatinya.

Namun paksi pun kemudian telah melanjutkan perjalannya pula.

Dilangit matahari bergerak semakin rendah. Sementara Paksi masih berjalan terus menyusuri jalan panjang. Sekali-sekali ia menyusup melalui jalan padukuhan.

Tidak ada hambatan di perjalanannya. Beberapa padukuhan telah dilampaunya.

Ketika matahari menjadi semakin rendah, maka panasnya pun mulai menyusup pula. Tetapi haus dikerongkongannya bagaikan mencekiknya.

Ketika Paksi berjalan di depan sebuah rumah yang besar dan berhalaman luas di sebuah padukuhan, dilihatnya sebuah gentong berisi air. Sebuah siwur tersangkut di sebelahnya.

Paksi tahu, bahwa gentong seperti itu memang diletakkan di sebelah regol halaman di pinggir jalan untuk menyediakan air bersih bagi yang membutuhkan. Bagi mereka yang kehausan di pejalanan.

Ketika Paksi membuka tutup gentong itu, maka ia menjadi ragu. Air di gentong itu tinggal sedikit, sehingga endapan-endapannya akan dapat tersenduk jika ia mengambil air dengan siwur.

Tetapi Paksi terkejut ketika ia melihat seorang gadis yang membawa kelenting dilambungnya berisi air keluar dari pintu regol halaman.

Gadis itu tertegun. Namun kemudian katanya, “Maaf, Ki Sanak. Mungkin air di gentong itu tinggal sedikit. Hari ini panasnya bukan main, sehingga banyak orang lewat yang kehausan. Biarlah aku mengisinya dahulu.”

Paksi pun tergagap. Katanya, “Silahkan, silahkan.”

“Atau lebih baik Ki Sanak mengambil langsung dari kelentingku ini sebelum aku tuang kedalam gentong. Jika Ki Sanak akan menyenduknya dari gentong, maka Ki Sanak masih harus menunggu airnya mengendap lebih dahulu.”

Sebelum Paksi menyahut, gadis itu telah meletakkan kelentingnya dan mengambil siwur dari tangan Paksi.

Paksi justru menjadi seperti orang yang kebingungan. Demikian gadis itu menyerahkan siwur yang telah berisi air jernih, maka Paksi pun menerimanya tanpa sesadarnya

“Minumlah” gadis itu tersenyum.

Paksi yang seakan-akan terbius itu telah meletakkan siwur itu dibibirnya serta menuang air kedalam mulutnya.


Betapa sejuknya. Tetapi bukan saja air itu yang membuat bibir Paksi segar. Senyum gadis itu pun rasa-rasanya telah menyejukkan jantung Paksi yang panas.

Tetapi Paksi tidak dapat terlalu lama menatap wajah gadis itu. Sejenak kemudian, gadis itu telah membawa kelentingnya kembali memasuki pintu regol halaman setelah menuang isinya kedalam gentong.

Paksi yakin bahwa gadis itu masih akan menuang air dari kelentingnya dua tiga kali lagi. Tetapi ia justru merasa sangat segan untuk tetap berada di tempat itu.

Karena itu, maka Paksi pun kemudian telah beringsut meninggalkan gentong yang sedang diisi oleh gadis yang manis itu.

Paksi pun kemudian melangkah kembali menyusuri jalan berdebu. Sejenak masih membayang wajah gadis yang mengisi gentong itu. Namun kemudian ia mulai melihat kedalam dirinya sendiri.

Paksi itu berjalan tanpa tujuan. Ia mencari sesuatu yang belum pernah dilihatnya.

“Perjalanan ini akan sia-sia seandainya benda yang aku cari itu justru berada diarah yang lain. Jika cincin itu sudah dibawa orang ke Surabaya atau justru ke Blambangan atau bahkan menyeberang ke Bali.” berkata Paksi didalam hatinya.

“Sama saja” desisnya, “seandainya aku berjalan ke Timur sementara benda itu dilarikan ke Barat, maka perjalananku juga sia-sia.”

Tetapi Paksi tidak sekedar mengeluh bahwa perjalanannya sia-sia. Tetapi ia tidak dapat mengambil manfaat dari pengembaraannya itu. Pengalamannya telah membuat ilmunya semakin matang dan berkembang.

Bahkan akhirnya Paksi itu pun berkata, “Aku tidak peduli, apakah aku akan menemukan cincin itu atau tidak. Ayah tentu dapat memaklumi kesulitan yang aku hadapi jika aku tidak dapat menemukannya. Ayah sendiri sama sekali tidak dapat memberikan petunjuk tentang cincin yang harus aku cari itu. Namun dalam pengembaraan ini aku mendapatkan pengalaman. Aku merasa menjadi semakin akrab dengan kehidupan.”

Dengan demikian, maka kegelisahan hati Paksi Pamekas itu menjadi semakin menyusut. Ia tidak lagi merasa memikul beban yang sangat berat.

Sambil berjalan Paksi menimang-nimang tongkatnya. Tongkat pemberian pengemis itu. Ia yakin, bahwa pengemis itu bukan pengemis kebanyakan.

Ketika matahari menjadi semakin rendah, maka Paksi mulai memikirkan tentang perjalanannya. Paksi dapat saja berhenti dan bermalam di gubug, sebagaimana pernah dilakukan. Bermalam di sebuah gubug di tengah-tengah bulak. Paksi juga dapat mencoba minta ijin untuk bermalam di sebuah banjar. Atau bahkan di rumah seseorang.

Tetapi rasa-rasanya Paksi lebih senang berada di tempat yang terbuka, luas menjangkau cakrawala, Ia merasa dirinya bebas dan dadanya akan terasa lapang.

Paksi memang merasa sedikit lapar. Tetapi ia akan dapat menahannya sampai esok.

“Besok, pagi-pagi aku dapat pergi ke sebuah pasar atau kedai tau apa pun tempat orang menjual nasi.”

Karena itu, maka ketika ia melihat sebuah gubug di tengah-tengah bulak, ia pun melangkah mendekatinya.

Senja sudah mulai turun. Langit menjadi merah kehitam-hitaman. Angin senja yang lemah menggoyang batang padi yang digelar memenuhi bulak yang luas itu.

Paksi memandang gelombang daun padi yang seakan-akan mengalir perlahan-lahan menerjang gubug ditengah bulak itu. Tetapi gubug itu tidak bergetar.

Gubug itu kosong. Agaknya sudah dua tiga hari tidak dipergunakan. Agaknya padi yang tumbuh subur itu tidak perlu ditunggui di malam hari. Apalagi air di kotak-kotak sawah telah penuh berlimpah.

Karena itu Paksi merasa akan dapat beristirahat dengan baik di gubug itu.

Ketika malam turun, maka Paksi pun segera membaringkan tubuhnya. Ia tidak begitu letih, tetapi ia merasa perlu untuk beristirahat karena ia masih harus menempuh pengembaraan yang panjang dihari-hari yang akan datang.

Karena Paksi tidak memikirkan apa-apa lagi, ia pun dengan cepat telah tertidur dengan nyenyaknya. Semilirnya angin telah membelainya sehingga Paksi menjadi semakin dalam terbenam dalam tidurnya.

Tetapi di tengah malam Paksi terbangun. Kakinya terasa gatal oleh gigitan nyamuk yang ganas.

Paksi pun kemudian bangkit dan duduk dibibir gubug itu. Dari tempatnya, Paksi memandang langit yang hitam. Bintang-bintang bergayutan seperti ribuan permata yang ditaburkan diatas permadani yang berwarna pekat.

Paksi menggeliat. Tetapi ia terkejut. Tiba-tiba malam menjadi terang seolah-olah tiba-tiba saja bulan tersembul dilangit.

Dengan cepat Paksi meloncat turun dari gubug itu sambil menengadahkan wajahnya.

Paksi menjadi berdebar-debar. Ia melihat seleret cahaya yang melintas dilangit. Meluncur dan seakan-akan jatuh tidak terlalu jauh dari gubug itu.

Demikian benda langit itu tenggelam dibalik pepohonan, maka langit pun menjadi gelap kembali.

Paksi menjadi berdebar-debar. Malam terasa justru menjadi semakin sepi. Suara cengkerik dan bilalang terdengar menggelitik ditelinganya.

Paksi pernah melihat bintang beralih beberapa kali. Paksi juga pernah melihat bintang berekor yang memancar dilangit. Beberapa orang telah membicarakannya, seakan-akan bintang berekor itu membawa bencana bagi bumi. Penyakit atau peceklik yang panjang.

Tetapi Paksi belum pernah melihat bintang yang seakan-akan telah jatuh dibumi.

Ada dorongan yang kuat bagi Paksi untuk pergi ke tempat bintang itu menghilang. Tetapi nalarnya telah mencegahnya. Seandainya benar bintang itu jatuh, maka bumi tentu akan bergetar. Atau, bintang itu jatuh di tempat yang sangat jauh.

Karena itu, Paksi mengurungkan niatnya untuk melacak cahaya yang menerangi malam seperti terangnya bulan itu.

Namun Paksi terkejut ketika ia mendengar seseorang menyapanya, “Kau lihat bintang yang terbang dilangit itu anak muda.”

Dengan cepat Paksi berpaling. Dilihatnya seorang laki-laki membawa cangkul di pundaknya berdiri beberapa langkah di belakangnya.

Paksi bergeser selangkah surut. Ia mencoba untuk melihat wajah orang itu. Tetapi di keremangan malam, ia tidak dapat melihat dengan jelas. Meskipun demikian ia dapat melihat bahwa orang itu berjambang berkumis dan berjanggut. Meskipun tidak panjang, tetapi nampak lebat dan menutup hampir seluruh wajahnya.

“Siapakah kau anak muda? Dan kenapa kau berada disini?”

“Aku seorang pengembara Ki Sanak. Aku menjelajahi padukuhan demi padukuhan. Malam ini aku berada disini dan bermalam di gubug kecil ini.”

Orang itu mengangguk-angguk. Sebelum Paksi bertanya, orang itu berkata, “Aku pemilik gubug ini. Aku memang terbiasa melihat sawahku di malam hari. Bulan ini aku mendapat bagian air di malam hari.”

“Maaf, Ki Sanak. Aku telah tidur di gubug ini sebelum aku mendapat ijin.”

Orang itu tertawa. Ia pun kemudian meletakkan cangkulnya dan duduk dibibir gubugnya.

“Duduklah. Nampaknya kau letih.”

“Ya, Ki Sanak.”

“Tetapi kau tidak tidur anak muda. Kau sempat melihat bintang yang jatuh itu.”

“Aku tertidur sejak malam turun. Aku justru sedang terbangun ketika dilangit nampak cahaya terang.

“Kau termasuk seorang anak muda yang beruntung, bahwa kau sempat melihat ndaru yang jatuh dari langit?

“Ndaru?” ulang Paksi.

“Ya. Bintang yang berwarna kehijau-hijauan itu disebut ndaru. Orang yang melihatnya akan mendapatkan sesuatu yang berharga bagi dirinya. Jika bintang yang jatuh itu berwarna kemerah-merahan, maka bintang yang demikian itu disebut teluh-braja. Orang yang melihat teluh-braja, sengaja atau tidak sengaja, akan mengalami kesulitan.”

“Ki Sanak juga melihat ndaru itu. Ki Sanak tentu juga akan mendapatkan keberuntungan.”

Orang itu tertawa. Katanya, “Bagiku, tidak ada keberuntungan yang lebih besar daripada hasil panenanku ini nanti akan berlimpah. Jika lumbungku yang tidak besar itu penuh dengan padi. Anakku tidak akan kelaparan setidak-tidaknya untuk semusim.

“Bukankah sawah Ki Sanak cukup luas? Melihat kotak-kotak sawah di sekitar gubug ini, rasa-rasanya padi yang akan Ki Sanak bawa pulang cukup banyak.”

“Sawah ini bukan sawahku sendiri, anak muda. Aku mengerjakannya bagi orang lain. Jika kemudian padi di sawah ini dituai, aku mendapatkan separo dan pemilik sawah ini separo.”

Paksi mengerutkan keningnya. Ia melihat sawah yang terbentang sangat luas. Tetapi ada juga petani yang tidak memiliki sawah sendiri.

Tetapi sebelum Paksi bertanya, orang itu berkata, “Aku sendiri juga mempunyai sebidang tanah. Tetapi tidak terlalu luas. Anakku lah yang mengerjakan sawah itu, sementara aku dan adikku mengerjakan sawah ini. Sawah milik seorang yang kaya raya.”

Paksi mengangguk-angguk. Namun tiba-tiba saja orang itu bertanya, “Namamu siapa anak muda?”

Paksi termangu-mangu sejenak. Tetapi sejak semula ia tidak menyembunyikan namanya. Karena itu jawabnya, “Namaku Paksi. Apakah aku boleh mengetahui nama Ki Sanak?”

Orang itu tertawa. Katanya, “Namamu baik anak muda. Tetapi namaku tidak sebaik namamu. Tetangga-tetanggaku memanggilku, Marta Brewok.”


Paksi mengangguk-angguk. Sementara orang itu bertanya, “Sebenarnya kau akan pergi kemana, Paksi.”

“Aku pengembara, Ki Marta. Aku tidak mempunyai tujuan.”

“Kau masih terlalu muda untuk mengembara. Apa yang sebenarnya kau cari dalam pengembaraanmu. Bukankah lebih baik bagimu untuk tetap berada di antara keluargamu?”

“Aku tidak mempunyai keluarga lagi” desis Paksi. Tetapi orang yang mengaku bernama Marta Brewok itu tertawa pula. Katanya, “Hampir setiap pengembara berkata, bahwa ia tidak mempunyai keluarga lagi, meskipun ayah dan ibunya masih lengkap. Kekecewaan di lingkungan rumah tangganya, kegelisahan, sikap orang tua yang kurang wajar atau hal-hal lain yang terjadi di rumah, dapat mendorong seseorang untuk pergi mengembara.”

Paksi menundukkan kepalanya. Petani itu seakan-akan mengetahui bahwa ia telah berbohong. Seolah-olah petani itu tahu, bahwa di rumah masih ada ibu dan ayahnya.

“Tetapi ayah memerintahkan aku untuk pergi” berkata Paksi didalam hatinya. Namun kemudian terngiang kata-kata ibunya, “Kau sengaja mengusirnya.”

Paksi menarik nafas dalam-dalam.

“Sudahlah” berkata orang itu, “jika kau ingin tidur lagi, tidurlah. Aku akan melihat air di parit itu.”

Paksi tergagap. Dengan serta-merta ia menyahut “Kotak-kotak sawah ini telah penuh dengan air.”

“Ya. Didaerah ini air termasuk tidak terlalu sulit. Tetapi kadang-kadang terjadi juga kelupaan. Jika satu kotak sawah tidak terbuka, maka kotak itu akan tetap kering, meskipun di sekitarnya digenangi air setinggi pematang.”

“Baik, Ki Marta” jawab Paksi, “jika aku masih dapat tidur, aku akan tidur.”

Petani itu kemudian telah turun dari gubugnya, memanggul cangkulnya dan siap untuk melangkah pergi.

Namun ia masih sempat berkata, “Anak muda. Jika kau sempat, tengoklah arah bintang yang jatuh itu. Memang mungkin bintang itu tidak jatuh. Tetapi melintasi cakrawala. Atau jatuh di tempat yang sangat jauh. Namun di arah bintang jatuh itu mungkin ada sesuatu yang dapat menarik perhatianmu. Arah bintang itu jatuh adalah arah keberuntunganmu.”

Paksi termangu-mangu sejenak. Sementara petani itu mulai melangkah meninggalkannya sambil berkata, “Tetapi jika kau sudah menentukan arah tujuanmu, lupakanlah. Yang kau lihat memang tidak lebih dari sebuah lintang-alihan yang besar dan barangkali jaraknya lebih dekat dengan bumi.”

Paksi termangu-mangu. Tetapi petani itu telah melangkah menyusuri pematang sambil memanggul cangkul di pundaknya.

Paksi memandanginya dengan kerut dikening. Tetapi ia tidak bertanya lagi. Bahkan kemudian Paksi pun memandang ke arah benda langit itu seakan-akan jatuh dibelakang padukuhan.

Paksi termangu-mangu sejenak. Sementara malam bertambah malam.

Paksi memang masih belum ingin beranjak dari gubug itu. Ia masih ingin berbaring sampai menjelang fajar. Paksi masih juga ingin bertemu dan berbicara lagi dengan petani yang menggarap sawah diseputar gubug itu. Mungkin ia mau menjelaskan, kenapa arah bintang jatuh itu adalah arah keberuntungannya.

“Apakah karena aku melihat bintang yang disebut ndaru itu?” bertanya Paksi didalam hatinya.

Namun Paksi itu masih saja berbaring. Ia menunggu petani itu datang lagi ke gubugnya.

Tetapi petani yang membawa cangkul itu tidak segera kembali. Bahkan Paksi yang merasa sudah terlalu lama menunggu itu, menjadi kehilangan kesabaran. Paksi lah yang kemudian berjalan menyusuri pematang sambil menjinjing tongkatnya menyusul petani yang menyebut dirinya Marta Brewok itu.

Tetapi sudah sekian jauh Paksi meniti pematang, ia tidak melihat seorang pun di sawah itu. Ia tidak melihat orang yang berdiri atau berjongkok di bendungan menunggui aliran air dari parit. Ia juga tidak melihat seseorang yang berjalan diatas pematang sambil memanggul cangkul.

Akhirnya Paksi melangkah kembali ke gubug kecil itu. Tetapi gubug itu pun masih tetap kosong.

Ketika langit menjadi merah, maka Paksi pun telah mencuci wajahnya dengan air parit yang jernih. Kemudian membenahi dirinya sambil menunggu. Paksi masih ingin bertemu dan berbicara dengan pemilik gubug itu.

Paksi justru menjadi penasaran ketika langit menjadi terang. Orang yang menyebut dirinya Marta Brewok itu tidak kembali ke gubugnya.

Meskipun kesabaran Paksi sebenarnya telah habis, namun Paksi justru memaksa diri untuk menunggu. Ketika langit menjadi terang dan matahari pun terbit, Paksi masih tetap berada di gubug itu. Ia berharap seseorang datang ke gubug itu meskipun bukan Marta Brewok sendiri.

Dipagi hari Paksi melihat titik-titik embun diujung daun padi. Berkilat-kilat disentuh sinar matahari yang condong.

“Merta Brewok itu tentu mengelilingi sawahnya dan melingkar lewat pematang yang menyilang itu langsung pulang kerumahnya. Bulak ini terlalu luas” berkata Paksi didalam hatinya.

Ketika matahari menjadi semakin tinggi, maka Paksi melihat beberapa orang telah turun kesawah untuk melihat tanamannya. Ada di antara mereka yang menganggap bahwa rumput yang tumbuh di antara batang-batang padi telah pantas untuk dibersihkan sehingga ia telah mengajak dua orang yang diupahnya untuk membersihkan dan mencabuti rerumputan yang liar itu.....\

Paksi menjadi berdebar-debar ketika ia melihat seorang laki-laki yang sudah separo baya berjalan menuju ke gubug ditengah bulak itu. Seorang laki-laki yang tinggi kekurus-kurusan, memanggul cangkul di pundaknya serta mengenakan caping yang lebar di kepalanya.

Orang itu tertegun melihat Paksi yang masih duduk di bibir gubug itu. Namun yang kemudian telah meloncat turun.

“Kau siapa anak muda?” bertanya laki-laki itu.

“Namaku Paksi. Aku bermalam di gubug ini semalam.”

“O. Kenapa kau tidak pergi saja ke padukuhan?, kau dapat bermalam di banjar yang tentu lebih hangat daripada bermalam digubug ini.”

“Semalam aku berada disini bersama Ki Marta Brewok” sahut Paksi.

Orang itu mengerutkan dahinya. Kemudian ia pun bertanya, “Siapakah yang kau maksud dengan Ki Marta Brewok?”

“Pemilik gubug ini. Ia yang menggarap sawah ini meskipun bukan miliknya sendiri.”

Orang yang bertubuh tinggi kekurus-kurusan itu nampak semakin bingung. Katanya dengan nada ragu, “Akulah pemilik gubug ini. Sawah ini sawahku pula. Aku garap sendiri sawahku bersama dengan dua orang anakku laki-laki yang nanti juga akan turun kesawah.”

Paksi menjadi heran mendengar jawaban itu. Kemudian ia mencoba untuk menjelaskan, ujud dan wajah orang yang mengaku bernama Marta Brewok itu.

“Anak muda. Di padukuhanku tidak ada seorang pun yang bernama Marta Brewok. Juga tidak ada orang yang brewok, yang jambang, kumis dan janggutnya tumbuh menutupi wajahnya.”

“Tetapi semalam kami duduk-duduk bersama di gubug ini.” jawab Paksi.

“Anak muda” berkata orang itu, “namaku Ponang. Orang se Kademangan dapat mengenali aku. Mereka dapat mengatakan bahwa sawah ini sawahku dan aku pulalah yang menggarapnya. Tidak ada orang bernama Marta Brewok itu.”

Paksi menarik nafas dalam-dalam. Ia memang menjadi agak bingung.

“Jangan-jangan kau bermimpi anak muda.”

“Tidak Ki Ponang. Aku tidak bermimpi. Aku sadar sepenuhnya akan kehadiran orang yang mengaku bernama Marta Brewok itu.”

Tetapi orang yang bertubuh kekurus-kurusan itu menggeleng. Katanya, “Aku tidak mengenal Marta Brewok. Jika kau bertanya, maka orang se kademangan ini tentu juga tidak ada yang pernah mengenal Marta Brewok. Bahkan ceritera di dunia lelembut pun di sekitar tempat ini tidak ada yang berujud sebagaimana kau katakan. Jika kau percaya, di randu alas yang besar itu tinggal sesosok peri. Tetapi sudah tentu ujudnya sebagai seorang perempuan. Sedangkan di sendang, di segerumbul pohon-pohon raksasa yang nampak itu, tinggal sesosok hantu dalam ujudnya sebagai seorang anak muda yang tampan berkumis tipis dengan ikat kepala kuning menyala. Sedangkan di jembatan itu tinggal gendruwo yang ujudnya seperti seorang tua yang berjanggut dan berkumis putih. Janggutnya panjang sampai ke dadanya. Matanya bercahaya. Tetapi gendruwo itu tidak pernah mengganggu orang.”

Tidak ada lagi yang dapat membuat Paksi ketakutan. Ia sudah menjelajahi malam-malam yang gelap dan seram. Bahkan kuburan yang berhantu keranda.

Namun Ki Ponang itu kemudian berkata, “Atau mungkin salah satu sosok itu telah memilih ujud yang berbeda untuk menemuimu.”

Paksi hanya mengangguk-angguk saja. Ia memang tidak membantah agar Ki Ponang itu tidak menjadi kecewa. Tetapi menurut pendapatnya, orang yang menyebut dirinya Marta Brewok itu tentu bukan hantu.

“Tetapi siapa dan apa maksudnya?” pertanyaan itu terasa bergejolak didalam dadanya

Namun karena itu, maka Paksi merasa tidak ada gunanya lagi untuk menunggu orang yang menyebut dirinya Marta Brewok. Karena itu, maka Paksi pun kemudian telah minta diri.

“Anak muda” berkata Ki Ponang, “aku ingin mempersilahkan kau singgah di rumahku. Aku lihat kau letih. Mungkin karena itu, maka mimpimu seakan-akan peristiwa yang sebenarnya terjadi.”

“Terima kasih, Ki Ponang. Aku adalah pengembara yang menempuh jalan tanpa akhir. Itulah sebabnya, maka aku selalu nampak letih. Tetapi keletihan itu memberikan kepuasan Ki Ponang.”

Ki Ponang mengangguk-angguk. Katanya, “Aku mengerti. Aku memang pernah mendengar orang yang sedang menjalani laku. Jika kau juga sedang menjalani laku, maka aku tidak akan mngganggumu. Orang berjambang, berkumis dan berjanggut lebat itu ada didalam dunia pengembaraanmu. Karena di saat wadagmu berhenti dan beristirahat, jiwamu menjadi lebih leluasa untuk melakukan pengembaraannya sendiri, sehingga apa yang tidak dapat ditemui olah wadagmu akan dapat ditemui oleh jiwamu.

Paksi mengerutkan dahinya. Yang berdiri di hadapannya itu menurut ujudnya tidak lebih dari seorang petani kebanyakan. Tetapi apa yang dikatakannya menunjukkan bahwa orang itu juga memiliki pengalaman jiwani yang luas.

Paksi pun kemudian mengangguk hormat. Katanya, “Ki Ponang, aku mohon diri. Mudah-mudahan yang aku hadapi sekarang bukan sosok sebagaimana aku temui semalam disini.”


Ki Ponang tertawa. Katanya, “Lihat orang-orang yang sedang berada di sawah itu. Mereka melihat aku sebagai tetangga mereka dalam ujud dan jiwa. Aku kau temui didalam kenyataan kewadagan.”

Paksi memang memandang berkeliling. Orang-orang yang bekerja disawah telah mulai dengan kerja mereka. Seorang laki-laki yang berjalan tidak jauh dari gubug kecil itu menyapa Ki Ponang dengan ramahnya.

“Kau percaya bahwa aku ini mawujud?” bertanya Ki Ponang.

“Ya, Ki Ponang.”

“Nah, pergilah. Jika tadi aku berceritera tentang sosok-sosok yang hidup didunia yang lain, maka kau tidak usah menghiraukannya.”

“Ya, Ki Ponang.”

“Kau yakini dirimu dan sandaran hidupmu, Yang Maha Agung.”

Paksi menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian ia pun mengangguk hormat sambil berkata, “Aku mohon diri.”

“Silahkan anak muda. Tetapi jika kau ingin singgah, mungkin lain kali, aku tinggal di padukuhan itu. Seisi padukuhan itu saling mengenal satu dengan yang lain. Jika kau tanyakan kepada siapa pun rumah Ki Ponang, maka siapa pun akan dapat menunjukkannya.”

“Aku akan berusaha untuk dapat singgah lain kali, Ki Ponang.” jawab Paksi.

Demikianlah, Paksi telah meninggalkan gubug kecil ditengah bulak itu.

Ketika ia meloncati parit dan berdiri di jalan yang membujur di bulak panjang itu, hatinya menjadi ragu.

Apakah ia akan mengikuti petunjuk orang yang berkumis, berjambang dan berjanggut lebat dan menamakan dirinya Marta Brewok itu?

Diluar sadarnya, Paksi berpaling. Ia melihat Ki Ponang telah turun ke sawah untuk membersihkan rumput-rumput liar yang tumbuh disela-sela tanaman padinya.

Ketika seorang laki-laki yang terhitung masih muda lewat mendahuluinya, maka Paksi pun mempercepat langkahnya. Dengan ragu-ragu ia pun bertanya, “Maaf, Ki Sanak. Apakah aku boleh bertanya?”

“Tentang apa Ki Sanak?”

“Apakah sawah Ki Ponang itu digarap sendiri atau ada orang lain yang membantu mengerjakannya? Maksudku, ikut menggarap sawahnya?”

Laki-laki itu mengerutkan dahinya. Sambil berjalan orang itu bertanya, “Kenapa?”

“Aku semalam bertemu dengan orang yang menyebut dirinya Marta Brewok. Jambang, kumis dan janggutnya memang lebat. Ia mengaku ikut menggarap sawah Ki Ponang.”

Laki-laki itu memandang Paksi sekilas. Kemudian katanya, “Aku tidak mengenal orang yang bernama Marta Brewok. Sepengetahuanku, Ki Ponang itu mengerjakan sawahnya sendiri bersama dengan anak-anaknya. Tidak dengan orang lain.”

Paksi menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Ya. Ki Ponang juga mengatakan demikian. Tetapi siapakah laki-laki yang semalam duduk-duduk bersamaku di gubug itu?”

“Kau bermimpi” berkata laki-laki itu.

“Tidak. Aku tidak bermimpi.”

“Dimana kau tidur semalam?”

“Di gubug Ki Ponang.”

“Seharusnya kau tidak akan diganggu oleh apa pun. Ki Ponang adalah orang yag sangat disegani. Bukan saja oleh tetangga-tetangga dan orang-orang se Kademangan. Bahkan yang tidak kasat mata pun nampaknya segan kepadanya. Ki Ponang adalah seorang yang berilmu. Kasar maupun halus. Ia mempunyai banyak sekali pengalaman. Tetapi ia tidak sombong. Ia bekerja sebagaimana para petani yang lain.”

Paksi mengangguk-angguk. Ia percaya bahwa Ki Ponang adalah seorang yang memiliki pengalaman yang banyak sekali serta pengetahuan yang luas.

Paksi mengangguk-angguk. Kemudian katanya, “Terima kasih Ki Sanak.”

“Kau siapa? Apa kepentinganmu dengan Ki Ponang?” bertanya laki-laki itu.

“Tidak ada Ki Sanak. Selain semalam aku tidur di gubugnya.” jawab Paksi, “tetapi aku tidak minta ijin sebelumnya.”

“Tentu tidak apa-apa. Ki Ponang tidak akan marah? Bukankah begitu?”

“Ya. Ki Ponang memang tidak marah kepadaku.”

“Ia orang yang baik, Ki Sanak.”

Paksi mengangguk-angguk. Sementara laki-laki itu- pun bertanya, “Kau akan pergi kemana Ki Sanak?”

“Aku pengembara. Aku berjalan tanpa tujuan.” jawab Paksi.

Laki-laki itu memandang Paksi sejenak. Ia melihat wajah Paksi yang nampak masih sangat muda. Katanya, “Apa sebabnya kau mengembara di umurmu yang masih sangat muda itu? Apakah ada sesuatu yang telah mendorongmu untuk melakukannya?”

“Bukankah pengembaraan untuk mendapatkan pengetahuan dan pengalaman hidup itu lebih baik dimulai seawal mungkin? Sementara itu tidak ada yang mendorongku untuk mengembara selain kemauan.”

“Itu adalah ciri anak-anak muda. Sebenarnya kemauan saja tidak cukup. Harus ada tujuan. Bukan hanya sekedar untuk menambah pengetahuan dan pengalaman. Harus ada tujuan yang lebih pasti. Barulah pengembaraan itu mempunyai nilai yang wajar. Jika seseorang meninggalkan rumahnya karena dibelit hutang, maka pengembaraan yang demikian tidak lebih dari satu pelarian. Atau karena putus asa, malu atau persoalan-persoalan serupa.

Paksi menundukkan wajahnya, seakan-akan sedang mengamati ujung-ujung jari kakinya yang sedang melangkah itu.

“Kau benar, Ki Sanak.” jawab Paksi.

“Nah, jika kau tidak mempunyai tujuan pasti, karena kepergianmu hanyalah sekedar didorong oleh kemauan saja, maka pulanglah kepada ayah dan ibumu yang tentu selalu mengharapkan kau pulang.”

“Ayah dan ibuku sudah tidak ada” Paksi berbohong sebagaimana sudah beberapa kali dilakukannya.

“O” orang itu mengangguk-angguk, “jadi kau benar-benar sedang melarikan diri dari kepahitan hidup keluargamu? Jangan lakukan itu. Kau seharusnya tinggal pada seseorang. Bekerja padanya sehingga kau benar-benar akan mendapatkan pengalaman hidup yang sebenarnya. Bukan sekedar melihat-lihat gunung, lembah, ngarai, hutan. Lalu kau berniat kembali ke kampung halaman yang bagimu menjadi sangat sepi. Atau bahkan kau terlibat dalam sikap dan tingkah laku yang buruk karena pengaruh orang-orang yang kau kenal di sepanjang perjalananmu.”

Paksi menarik nafas dalam-dalam. Laki-laki itu masih muda. Tetapi Paksi setuju dengan kata-katanya.

Namun sebenarnyalah pengembaraan Paksi bukannya tidak mempunyai tujuan yang pasti. Ia pergi dari rumahnya karena ia harus menemukan sebuah cincin. Karena itu, jika ia pergi dari rumahnya, bukan karena ia melarikan diri.

Tetapi Paksi tidak mengatakan kepada laki-laki itu.

Namun beberapa langkah kemudian, laki-laki muda itu berkata, “Sudahlah anak muda. Sawah ini adalah sawahku. Aku harus turun hari ini untuk membersihkan rerumputan liar di antara batang-batang padi itu.”

Paksi menjadi gagap. Katanya, “Silahkan, Ki Sanak. Aku minta diri untuk meneruskan pengembaraanku.”

Orang itu berhenti. Tiba-tiba saja diluar sadarnya, Paksi pun berhenti pula. Laki-laki yang masih terhitung muda itu menepuk bahu Paksi sambil berkata, “Kenapa kau tidak pergi ke Kotaraja. Kau dapat mengabdikan diri kepada para priyagung di Pajang. Kau akan mendapat tuntunan yang sangat bermanfaat bagi dirimu. Jauh lebih bermanfaat dari pengalaman yang kau dapat dengan mengembara seperti ini.”

“Aku akan mempertimbangkannya, Ki Sanak. Aku berterimakasih atas petunjuk-petunjukmu.”

Laki-laki itu tersenyum. Namun kemudian orang itu pun telah meloncati parit dan turun ke sawah. Meskipun demikian ia sempat berkata, “Aku murid Ki Ponang.”

Paksi Pamekas kemudian melangkah meninggalkan tempat itu. Sepanjang perjalanannya ia merenungi kata-kata laki-laki itu. Ia setuju, bahwa ia akan mendapat pengetahuan lebih banyak jika ia berada di rumah. Memperdalam ilmu. Bukan saja ilmu kanuragan. Tetapi juga pengetahuan yang luas tentang banyak hal sebagaimana pernah dipelajarinya.

Tetapi ia tidak dapat melakukannya. Ia harus pergi meninggalkan rumahnya, karena menurut ayahnya, ia harus melakukan sesuatu karena ia sudah dewasa. Sudah berumur tujuhbelas tahun. Menurut ayahnya, ia sudah menjadi seorang laki-laki dewasa. Ia tidak boleh berpangku tangan saja di rumah, sementara keluarganya terancam bencana.

“Bencana apa?” pertanyaan itu setiap kali bergetar didalam dadanya.

Paksi memang tidak pernah menemukan jawaban lain kecuali bahwa kedudukan ayahnya terancam jika ayahnya tidak dapat menemukan cincin itu. Paksi pun merasa bahwa kedudukan bagi ayahnya lebih bernilai daripada anaknya.

Paksi mengangkat wajahnya. Dipandanginya jalan yang membujur panjang dihadapannya. Ia bertekad untuk pergi ke arah bintang yang jatuh semalam, yang oleh orang yang menyebut dirinya Marta Brewok itu disebut ndaru.

Paksi sendiri yakin, bahwa bintang itu memang tidak jatuh dibelakang padukuhan itu. Tetapi kehadiran Marta Brewok yang aneh itu, seakan-akan mendesaknya untuk memenuhi pesannya.

Paksi sekali-sekali menimang tongkat yang dibawanya. Ujudnya memang tidak menarik perhatian. Namun ternyata tongkat itu adalah tongkat yang jarang ada duanya.

Ada beberapa orang aneh yang dijumpai Paksi selama pengembaraannya. Orang yang mengaku pengikut Kebo Lorog yang memiliki ilmu dari sumber yang sama dengan ilmu Paksi sendiri. Pengemis yang memberinya tongkat itu dan terakhir orang yang mengaku bernama Marta Brewok. Seorang yang berjambang, berkumis dan berjanggut lebat, yang semalam duduk bersamanya di gubug Ki Ponang.

Panas matahari mulai terasa menggatalkan kulit. Bahkan perasaan lapar mulai mengganggunya.

Paksi memang berniat untuk singgah di kedai atau di pasar atau dimana saja ia dapat membeli minuman dan makanan. Kemarin ia hanya makan disiang hari. Itu pun tidak dapat dinikmatinya seutuhnya, karena tingkah laku orang yang disebut Jaran Demung.

“Tetapi tanpa peristiwa itu, aku tidak akan mempunyai tongkat ini” berkata Paksi didalam hatinya.

Beberapa saat kemudian, ketika Paksi memasuki sebuah padukuhan, ditemuinya bukan saja kedai nasi, tetapi pasar yang cukup ramai. Meskipun pasar itu bukan pasar yang besar.

Uang Paksi yang diberikan orang tuanya kepadanya masih cukup banyak, sehingga Paksi tidak merasa cemas untuk masuk kedalam kedai jika ia merasa lapar dan haus.

Tetapi saat itu, Paksi tidak ingin masuk ke sebuah kedai. Paksi ingin membeli nasi didalam pasar.

Karena itu, maka Paksi pun kemudian telah duduk di-sebuah dingklik rendah, dihadapan penjual wedang jae dan nasi bungkus di sudut pasar itu. Paksi yang merasa dirinya orang yang tidak dikenal di tempat itu sama sekali tidak merasa segan untuk duduk sambil membuka bungkusan-bungkusan nasi serta menghirup wedang jae yang hangat.

Paksi yang menghabiskan dua bungkus nasi dan semangkuk wedang jae itu pun kemudian telah membayar harganya yang jauh lebih murah daripada jika ia makan disebuah kedai.

Tetapi Paksi tidak segera berdiri. Tidak jauh dari tempatnya duduk, dua orang perempuan sedang bertengkar. Semakin lama semakin keras. Mereka mulai mengucapkan kata-kata kasar.

Beberapa orang mulai merubungnya. Ada di antara mereka yang mencoba melerainya.

Tetapi penjual wedang jae itu sama sekali tidak beranjak dari tempatnya.

“Kenapa mereka itu?” bertanya Paksi.

“Itulah yang mereka lakukan sehari-hari.” jawab penjual wedang jae itu.

Paksi mengerutkan dahinya. Tetapi ia tidak segera mengerti maksudnya.

Penjual wedang jae itu seakan-akan mengerti perasaan Paksi. Karena itu, tanpa diminta ia pun berceritera, “Penjual tampah itu memang galak. Ia selalu marah-marah jika dagangannya ditawar orang. Padahal ia selalu memberi harga yang tinggi. Jika calon pembeli itu tidak berani menawar, ia pun marah-marah pula.”

Paksi mengangguk-angguk. Katanya, “Ia telah mempersulit hidupnya sendiri. Dengan demikian ia tidak pernah merasa tenang. Apapun yang dilakukan oleh calon pembelinya, selalu membuatnya marah.”

“Ada orang yang merasa lebih baik pergi jika ia mulai marah-marah. Tetapi ada yang menjadi marah pula seperti orang itu, sehingga akhirnya mereka bertengkar.”

“Apakah pertengkaran itu sering terjadi?” bertanya Paksi.

“Ya. Memang sering terjadi.” jawab penjual wedang jae itu.

Paksi menarik nafas dalam-dalam. Nampaknya beberapa orang itu masih belum berhasil melerainya.

Paksi pun kemudian telah bangkit berdiri dan minta diri kepada penjual wedang jae itu. Perasaan ingin tahunya telah membawanya mendekati kerumunan orang di sekitar kedua orang perempuan yang sedang bertengkar itu.

Tetapi penjual wedang jae itu masih sempat berdesis, “Anak muda, jangan terlalu mencampuri persoalannya. Suami penjual tampah itu juga garang. Jika isterinya bertengkar dan suaminya mengetahuinya, maka ia akan mencampurinya.”

“Aku hanya akan melihat” sahut Paksi.

“Anak muda selalu ingin tahu” desis penjual wedang jahe itu. Paksi masih mendengarnya. Karena itu, maka ia pun berpaling sambil tersenyum. Tetapi ia tidak menjawab.

Paksi sempat memperhatikan beberapa orang yang berjualan di sekitar tempat itu. Mereka tidak banyak yang berteriak pada pertengkaran itu. Hanya beberapa orang sajalah yang mendekat dan berusaha melerainya. Sebagian dari mereka berusaha untuk menenangkan pembelinya. Tidak ada di antara mereka yang mencoba menahan kemarahan penjual tampah itu.

Dua orang perempuan menarik tangan pembeli yang marah itu sambil berkata, “Sudahlah, mbokayu. Jangan dilayani. Tinggalkan saja tempat ini.”

“Tetapi perempuan itulah yang mulai” teriak perempuan yang marah itu.

Sementara itu penjual tampah itu pun berteriak, “Lepaskan perempuan itu. Aku ingin mencakar mulutnya, menyobek bibirnya yang tipis itu.”

“Kau kira aku tidak berani” pembeli yang gagal itu pun berteriak pula.

Tetapi beberapa orang masih berusaha menariknya dan membawanya menjauh. Tetapi perempuan itu masih meronta-ronta.

“Tinggalkan penjual tampah itu, mbokayu” minta yang masih muda, “jika suaminya mengetahui perselisihan ini, ia akan ikut campur.”

“Aku tidak takut.” teriak perempuan itu.

“Jangan begitu. Suaminya laki-laki yang garang. Suaminya memang ditakuti oleh orang sepasar ini.”

Belum lagi perempuan itu sempat diajak menjauh, tiba-tiba saja terdengar suara laki-laki menggeram, “Ada apa. Ada apa?”

Beberapa orang perempuan yang mengerumuninya-pun bergeser menjauh. Dua orang perempuan masih memegangi perempuan yang marah itu.

“Sudahlah. Tenanglah.”

“Bukan aku yang memulai” perempuan itu justru berteriak. Sementara penjual tampah itu masih mengumpat-umpat.

“Ada apa?” bertanya laki-laki yang garang itu.

“Perempuan itu tidak tahu diri. Ia sama sekali tidak menghargai orang lain. Ia menawar daganganku semena-mena. Jika memang tidak punya uang, kenapa bertanya-tanya harga.”

Seperti biasanya suaminya pun menjadi marah. Dengan garang ia berteriak, “He, perempuan dungu. Diam kau. Jika kau tidak mau diam, aku sumbat mulutmu.”

Tetapi perempuan yang marah itu berteriak, “Perempuanmu itu yang tidak tahu diri.”

“Diam” laki-laki itu berteriak.

Dua orang perempuan yang memegangi perempuan yang marah itu mencoba menariknya menjauh. Tetapi perempuan itu meronta dan justru karena itu ia terlepas.

Perempuan yang marah itu justru berlari mendekati laki-laki yang membentaknya, “Kau mau apa he? Kau jangan ikut campur. Ini urusan perempuan.”

Tetapi yang dicemaskan itu telah terjadi. Laki-laki itu tiba-tiba saja telah menampar wajah perempuan itu sambil berteriak, “Diam kau perempuan bawel. Sayang kau perempuan. Jika tidak, aku patahkan lehermu. Panggil suamimu kemari. Aku lumatkan kepalanya.”

Wajah perempuan itu seakan-akan telah terputar. Terhuyung-huyung ia terdorong surut. Tubuhnya tidak lagi mampu mempertahankan keseimbangannya.

Tidak seorang pun berani mencampurinya, karena mereka mengenal laki-laki yang garang itu.

Namun seorang anak muda yang belum mengenal laki-laki itu telah meloncat menahan perempuan yang akan terjatuh itu.

Kepala perempuan itu menjadi sangat pening. Matanya menjadi kabur, sementara mulutnya telah berdarah.

Perlahan-lahan Paksi meletakkan perempuan itu di-sebuah amben bambu tempat seorang penjual jamu yang selalu banyak dikunjungi pembeli.

“Duduklah bibi. Tenanglah.”

Perempuan itu menjadi gemetar. Ia mengusap mulutnya yang berdarah dengan selendangnya. Perempuan itu mencoba menahan rasa sakit dan pening dikepalanya. Tetapi matanya mulai berair.

“Aku akan panggil suamiku” perempuan itu masih berteriak.

“Cepat, panggil suamimu. Aku akan membunuhnya dihadapanmu” teriak laki-laki yang garang itu.

Tetapi anak muda yang menahan perempuan itu berkata, “Sudahlah bibi. Bibi tidak usah memanggil suami bibi. Nanti persoalannya akan berkepanjangan.”

“Kau tidak usah ikut campur anak muda.” teriak laki-laki itu.

“Aku justru mencegah agar persoalan ini tidak berlarut-larut dan berkepanjangan.”

“Diam kau. Jika kau tidak mau diam, mulutmu pun akan berdarah seperti perempuan itu.”

“Aku sedang menenangkan perempuan ini” jawab anak muda yang membawa tongkat itu.

“Sudahlah, anak muda” seorang perempuan berbisik, “kaulah nanti yang akan mengalami kesulitan.”

Tetapi Paksi itu justru menjawab, “Aku ingin peristiwa seperti ini tidak terulang.”

“Setan kau, apa hakmu mengatakan seperti itu?”

Paksi menarik nafas dalam-dalam. Tiba-tiba saja ia sudah terlibat kedalam persoalan diluar kehendaknya. Tetapi Paksi memang tidak dapat membiarkan perbuatan sewenang-wenang itu terjadi. Karena itu, maka katanya, “Adalah hak setiap orang untuk menghentikan perbuatan yang kasar itu.”

“Apa?” laki-laki yang bertubuh kekar dan berkumis lebat itu berteriak, ”Ayo, katakan sekali lagi.”


Seorang perempuan dengan cepat berdesis, “Sudahlah anak muda. Sudahlah.”

Tetapi Paksi justru berdiri tegak menghadap ke arah laki-laki itu sambil berkata, “Baiklah. Aku katakan sekali lagi. Dengarlah baik-baik jika pendengaranmu memang tidak terganggu. Adalah hak setiap orang untuk menghentikan perbuatan yang kasar itu.”

Laki-laki itu tidak dapat menahan dirinya lagi. Dengan garang laki-laki itu meloncat sambil mengayunkan tangannya. Ia telah menampar mulut Paksi sebagaimana telah dilakukan terhadap perempuan yang bertengkar dengan isterinya itu.

Tetapi laki-laki yang garang itu terkejut, ternyata tangannya yang terayun deras itu telah mengenai tongkat yang sengaja digeser oleh Paksi.

Akibatnya memang tidak terduga. Laki-laki yang garang itu telah berteriak kesakitan. Tongkat kayu anak muda itu rasa-rasanya bagaikan meretakkan tulang-tulangnya.

“Setan kau anak muda” laki-laki itu menjadi semakin marah, sehingga orang-orang yang berada di sekitarnya bergeser menjauh. Lebih-lebih perempuan dan anak-anak. Bahkan orang-orang yang berjualan di sekitar tempat itu pun telah bergeser pula.

“Ternyata kau benar-benar tidak tahu diri. Buka matamu. Dengan siapa kau berhadapan.”

Paksi tidak segera menjawab. Diamatinya laki-laki yang garang itu dengan tajamnya.

“Cepat berlutut dan mohon maaf kepadaku” geram laki-laki yang marah itu, “kesempatan ini adalah kesempatan terakhir bagimu. Jika kesempatan ini tidak kau pergunakan, maka kau akan menyesal untuk selama-lamanya.”

Ternyata Paksi sama sekali tidak tergetar hatinya melihat laki-laki yang marah itu wajahnya menjadi merah membara. Bahkan dengan tenang Paksi berkata, “Ki Sanak. Hentikan tingkah lakumu yang kasar itu. Seharusnya kau melerai pertengkaran yang terjadi. Bertanyalah kepada orang-orang di sekitarmu, siapakah yang bersalah. Adalah wajar jika kau membantu isterimu. Tetapi kau pun harus menempatkan dirimu sehingga tidak berkesan sewenang-wenang sebagaimana telah kau lakukan itu.”

“Diam kau cucurut” teriak laki-laki itu. Suaranya menggelegar memenuhi pasar. Seakan-akan semua orang yang ada di pasar itu telah terdiam, sehingga yang terdengar hanyalah suara laki-laki itu saja, “Berjongkok kau, kecoak.”

“Jangan harapkan aku berjongkok dan minta maaf, karena aku tidak merasa bersalah. Justru kau yang harus berjongkok dan minta maaf kepada orang sepasar ini, karena tingkah lakumu itu.”

Laki-laki itu tidak dapat menahan diri lagi. Selangkah demi selangkah ia bergeser mendekati Paksi yang sudah siap menghadapinya.

Orang-orang pun bergeser semakin jauh.

Demikianlah, maka sejenak kemudian, orang yang garang itu sudah meloncat menyerangnya

Tetapi Paksi sudah siap. Karena itu, maka serangan itu sama sekali tidak menyentuhnya. Bahkan tongkat Paksi pun dengan cepat telah bergetar. Ujungnya sempat menyentuh lengan laki-laki yang garang itu.

Laki-laki itu mengaduh kesakitan. Kemarahannya telah memuncak sampai ke ubun-ubunnya. Karena itu, maka dengan tidak ragu-ragu lagi, orang itu mencabut goloknya yang besar.

Orang-orang yang ada di sekitarnya menjadi semakin cemas. Penjual wedang jae yang semula tidak menghiraukan sikap perempuan penjual tampah itu menjadi sangat cemas. Anak muda yang baru saja membeli makan dan minum itu menurut pendapatnya adalah anak muda yang baik. Jika laki-laki itu benar-benar tidak dapat mengendalikan dirinya, maka goloknya itu akan dapat membunuh anak muda itu.

Tetapi tidak seorang pun yang berani mencegahnya. Lurah pasar yang sudah diberitahu akan peristiwa itu berlari-lari mendekat. Namun melihat laki-laki yang garang itu, hatinya telah menciut.

Meskipun demikian, Lurah pasar itu mencoba untuk melerainya.

“Berhenti, berhenti” Lurah pasar itu berteriak. Tetapi laki-laki yang garang itu membentaknya, “Jangan ikut campur.”

“Tetapi jangan berkelahi di dalam pasar.”

“Diam” teriak laki-laki yang garang itu. Ternyata Lurah pasar itu terdiam. Tetapi betapa tegangnya wajahnya menyaksikan perkelahian yang berlanjut itu.

Sejenak kemudian laki-laki yang garang itu telah memutar goloknya sambil berjalan mendekati anak muda yang membawa tongkat sepotong dahan kayu yang berwarna kehitam-hitaman itu.

Laki-laki itu memang tidak mengendalikan dirinya lagi. Sejenak kemudian, goloknya telah terayun-ayun mengerikan.

“Jangan melawan anak muda. Berjongkoklah untuk minta ampun.” Lurah pasar itu berteriak.

Tetapi Paksi justru menjawab, “Laki-laki seperti ini harus mendapat peringatan.”

Tetapi Paksi harus bergeser surut ketika golok yang terayun-ayun itu menebas ke arah lehernya.

Laki-laki garang itu menjadi semakin marah ketika goloknya terayun tanpa menyentuh sasaran. Tetapi tongkat anak muda itu justru telah terjulur lurus. Sambil mengelakkan serangan lawannya Paksi sempat menyentuh perut laki-laki itu dengan ujung tongkat.

Laki-laki itu mengumpat kasar. Perutnya memang terasa sakit oleh sodokan tongkat anak muda itu. Karena itu, maka ia pun telah bergeser surut.

Tetapi Paksi benar-benar ingin membuatnya jera. Karena itu, maka ia segera memburunya. Sebelum orang itu sempat memperbaiki kedudukannya, Paksi telah menyerangnya pula. Sekali lagi tongkatnya mengenai laki-laki yang garang itu. Paksi telah mendorong laki-laki itu pada pundaknya. Lebih kuat dari sebelumnya.

Ternyata bahwa bagi Paksi yang telah menempa dirinya, laki-laki yang ujudnya garang itu bukan apa-apa. Tanpa harus mengerahkan tenaganya, Paksi telah mendorong laki-laki itu sehingga kehilangan keseimbangan.

Laki-laki yang garang itu jatuh terlentang. Hampir saja goloknya melukai tubuhnya sendiri.

Ternyata laki-laki yang garang itu hanya mengandalkan kekuatannya saja. Ia tidak memiliki dasar-dasar olah kanuragan yang baik. Karena itulah, maka Paksi sama sekali tidak mengalami kesulitan untuk mengalahkannya.

Ketika laki-laki yang garang, yang jatuh terlentang itu berusaha untuk bangkit, maka ujung tongkat Paksi telah menekan lehernya, sehingga laki-laki itu harus mengurungkan niatnya.

“Aku dapat melubangi lehermu dengan tongkatku ini” ancam Paksi.

Wajah laki-laki itu menjadi tegang. Ketika ujung tongkat itu semakin menekan lehernya, maka orang itu menjadi tersengal-sengal.

“Aku tidak berniat membunuhmu” berkata Paksi, “meskipun jika aku berniat, aku dapat melakukannya dengan mudah.”

Orang itu memandang Paksi dengan mata yang bagaikan membara. Tetapi ia benar-benar tidak dapat berbuat sesuatu.

“Kau harus minta ampun kepada orang-orang sepasar. Terutama kepada perempuan yang telah kau sakiti.”

Laki-laki itu tidak segera menjawab. Matanya menjadi semakin menyala. Tetapi ujung tongkat Paksi menekan leher itu lebih keras lagi sehingga nafas orang itu rasa-rasanya hampir terputus karenanya.

“Katakan, kau bersedia atau tidak?”

Orang itu masih merasa ragu. Baru ketika nafasnya benar-benar tersumbat, ia berkata dengan gagap dan kata-katanya menjadi tidak jelas, “Baik. Baik. Aku akan minta maaf.”

Tongkat Paksi pun kemudian mulai merenggang dari lehernya. Tetapi sekali lagi Paksi masih berkata, “berjanjilah.”

“Ya. Aku berjanji” sahut laki-laki itu. Paksi pun kemudian mengangkat tongkatnya.

Laki-laki yang garang itu seakan-akan menjadi tidak berdaya lagi di hadapan anak muda yang bersenjata tongkat itu.

“Cepat. Kau harus minta maaf. Perempuan yang kau sakiti itu masih duduk disana.”

Laki-laki itu termangu-mangu sejenak. Ketika ia memandang berkeliling, dilihatnya berpasang-pasang mata sedang menatapnya. Laki-laki, perempuan dan bahkan anak-anak. Sementara itu isterinya sendiri berdiri sambil menggigil seperti orang kedinginan. Ia tidak pernah memikirkan bahwa pada suatu saat suaminya dikalahkan oleh seseorang. Apalagi seorang anak yang masih terlalu muda.

Tetapi adalah satu kenyataan, bahwa suaminya sama sekali sudah tidak berdaya. Bahkan anak muda itu telah memaksa suaminya untuk minta maaf kepada perempuan yang tadi bertengkar dengannya, karena perempuan itu menawar dagangannya.

Tetapi laki-laki yang garang itu tidak dapat berbuat lain. Ia sadar, bahwa anak muda yang dengan cepat dapat mengalahkannya itu adalah anak muda yang berilmu tinggi. Apa pun yang dilakukannya, ia tidak akan dapat mengalahkannya.

Betapa pun berat perasaannya, tetapi laki-laki itu tidak mengelak ketika ia digiring oleh Paksi melangkah mendekati perempuan yang mulutnya berdarah itu.

“Aku minta maaf, mbokayu” desis laki-laki itu.

Ternyata perempuan itu bukan pendendam. Katanya

“Baiklah. Tetapi aku minta kau tanyakan kepada isterimu, apa yang telah terjadi. Jika isterimu masih bersikap seperti itu, maka pertengkaran-pertengkaran masih akan terjadi.”

Laki-laki itu mengangguk kecil. Sementara Paksi berkata, “Rumahku tidak terlalu jauh dari pasar ini. Aku akan dapat melihat setiap kali, apakah suami isteri ini sudah berubah atau tidak.”

“Aku berjanji” desis laki-iaki itu.

Isterinya sama sekali tidak berkata apa pun selain menggigil. Tetapi kekalahan suaminya itu merupakan pengalaman batin yang sangat berarti baginya. Ia kemudian menyadari, bahwa suaminya bukannya orang yang tidak terkalahkan. Pada suatu saat ada orang lain yang ilmunya melampaui ilmu suaminya itu.

Dalam pada itu, orang-orang yang berdiri dengan tegang di sekitar arena perkelahian itu menarik nafas lega. Mereka melihat anak muda yang membawa tongkat itu tidak mengalami kesulitan apa pun, sementara laki-laki yang garang itu nampaknya memang sudah jera.

Dalam pada itu, Paksi masih belum beranjak dari tempatnya. Ketika ia melihat orang-orang yang ada di sekitar arena itu satu-satu kembali ke tempatnya, maka Paksi pun berkata kepada perempuan yang mulutnya berdarah itu, “Sudahlah. Tinggalkan tempat ini. Aku akan mengantar bibi pulang jika bibi menghendaki.”

Tetapi perempuan itu menggeleng. Katanya, “Terima kasih anak muda. Biarlah aku pulang sendiri.”

Paksi menarik nafas dalam-dalam. Perempuan itu nampaknya memang seorang yang berani. Tetapi ia pun agaknya yakin, bahwa laki-laki yang garang itu benar-benar akan berubah.

“Jika demikian, baiklah. Aku minta diri” berkata Paksi kemudian.

Ketika Paksi meninggalkan tempat itu, maka anak muda itu telah menjadi pusat perhatian. Tetapi Paksi sendiri tidak begitu menghiraukannya. Ia berjalan saja sambil menjinjing tongkat kayunya menuju ke pintu gerbang.

“Anak siapakah ia?” bertanya seseorang.

“Darimana aku tahu” sahut kawannya yang berjualan didekatnya.

“Alangkah bangganya orang tuanya. Anak muda yang tampan, lembut tetapi juga dapat menjadi sekeras batu hitam. Penolong dan nampaknya juga rendah hati.

“Ya” sahut penjual wedang jae, “baru saja ia minum dan makan nasi bungkus diwarungku.”

“Mungkin ia tidak mempunyai cukup uang untuk membeli makan dan minuman di kedai-kedai yang lebih mahal.”

Penjual wedang jae itu mengangguk-angguk. Nasi bungkus yang dibeli oleh Paksi memang nasi bungkus dengan lauk yang sederhana saja. Oseng-oseng kangkung.

Dalam pada itu, Paksi telah berjalan semakin jauh. Ia telah berada di bulak panjang. Ditatapnya sebuah padukuhan di hadapannya. Tidak ada yang menarik perhatian. Padukuhan itu ujudnya sama saja dengan padukuhan-padukuhan yang lain.

Tetapi di belakang padukuhan itu Paksi melihat gunung yang menjulang. Dari puncaknya mengepul asap yang membubung tinggi. Gunung Merapi.

Paksi memang tidak memperkirakan bahwa bintang itu telah jatuh di lereng Gunung Merapi. Tetapi karena orang yang mengaku bernama Marta Brewok itu, maka ia telah terdorong untuk menyusuri jalan-jalan di kaki Gunung Merapi.

Paksi memandang puncak Gunung Merapi yang biru. Meskipun gunung itu seakan-akan sudah berdiri didepan hidungnya, namun Paksi menyadari, bahwa gunung itu masih jauh.

Kaki Paksi sudah merasakan bahwa jalan mulai condong. Sedikit demi sedikit Paksi berada di tempat yang semakin tinggi.

Ketika ia melewati padukuhan di hadapannya, maka ia tidak melihat sesuatu yang lain pada padukuhan itu. Jalan induk. Dinding halaman dan rumah-rumah seperti rumah kebanyakan di padukuhan-padukuhan yang lain.

Karena itu, maka Paksi tidak banyak menaruh perhatian terhadap padukuhan itu. Namun ketika ia merasa haus, maka ia telah berhenti di depan sebuah rumah yang kecil dan condong, berdinding bambu dan beratap ilalang. Namun di sebelah regol halaman rumahnya tersedia sebuah gentong yang besar berisi air bersih, yang. disediakan bagi orang-orang yang kehausan di perjalanan.

Paksi menarik nafas dalam-dalam. Di Pajang, jarang sekali orang menyediakan gentong berisi air bersih di depan rumahnya, meskipun ada juga satu dua. Tetapi di padesaan-padesaan yang jauh dan dihuni oleh orang-orang yang sederhana, maka ditemuinya lebih banyak persediaan air minum bagi orang-orang yang kehausan di perjalanan.

Ketika Paksi meneguk air yang dingin .itu, terasa tubuhnya menjadi segar. Sekilas teringat seorang gadis yang membawa kelenting dilambungnya mengisi gentong yang isinya tinggal sedikit.

Paksi sempat melihat ke halaman rumah itu lewat pintu regol dari bambu yang terbuka. Halaman itu nampak sepi meskipun pintu rumah bambu itu terbuka. Yang nampak di halaman hanyalah beberapa ekor ayam yang berkeliaran.

Sejenak kemudian, maka Paksi pun telah meneruskan perjalanannya. Ketika ia sampai di mulut jalan padukuhan, maka kembali ia berada di ujung sebuah bulak yang panjang. Jalan di hadapannya menjadi semakin nampak menanjak naik. Namun di sebelah menyebelah jalan terdapat parit yang mengalirkan air yang jernih. Sawah di bulak yang bertingkat-tingkat seperti sebuah tangga raksasa itu nampak hijau oleh tanaman batang padi yang subur. Di pematang ditanam batang kacang panjang yang tersangkut pada lanjaran carang bambu yang ditanam rapat.

Langkah Paksi pun terasa menjadi semakin berat. Tetapi ia berjalan terus.....

Padukuhan demi padukuhan telah dilaluinya. Jalan menjadi semakin memanjat naik, di sana-sini mulai nampak gumuk-gumuk kecil yang ditumbuhi batang-batang perdu yang rimbun.Bahkan kemudian pohon-pohon yang lebih besar tumbuh rapat di hutan lereng pegunungan.

Paksi akhirnya tertegun. Ia menjadi ragu. Jika ia berjalan terus, maka ia akan sampai ke tebing pegunungan yang lebih curam. Jalan akan semakin menanjak, sehingga akhirnya ia harus memanjat tebing Gunung Merapi.

“Apa yang aku cari disana?” pertanyaan itu pun timbul dihati Paksi.

Namun sebuah keinginan telah mendorongnya untuk sampai ke sebuah gumuk kecil yang berada tidak jauh dari jalan yang dilaluinya. Jalan yang semakin lama menjadi semakin sempit, sehingga akhirnya menjadi tidak lebih dari jalan setapak yang rumpil karena batu-batu padas.

Paksi pun akhirnya sampai ke sebuah gumuk yang tidak begitu besar. Diatas gumuk itu tumbuh pohon perdu yang rapat seakan-akan tidak dapat disibak. Beberapa batang pohon raksasa tumbuh pula di antara pohon perdu yang menghutan itu.

Ditubuh gumuk itu merembes air dari sela-sela batu padas yang sebongkoh-sebongkoh mencuat keatas permukaan tanah, di sela-sela hutan perdu yang rimbun itu. Air itu pun mengalir masuk kedalam sebuah parit kecil yang mengantarnya masuk kedalam parit yang lebih besar.

Paksi pun kemudian berdiri termangu-mangu. Ditatapnya gumuk yang kecil itu. Namun betapa pun kecilnya, gumuk itu bagaikan sebuah tempurung raksasa yang menelungkup.

Tetapi pada gumuk itu tidak terdapat apa pun yang menarik perhatian Paksi.

Meskipun demikian, Paksi tidak segera pergi. Ia sudah berjalan jauh. Karena itu, maka Paksi pun kemudian telah duduk di dekat gumuk kecil itu untuk melepaskan lelahnya.

Sambil memandangi gumuk kecil itu, Paksi duduk bersandar sebatang pohon. Tongkat kayunya terletak di pangkuannya.

Sambil mengamati pepohonan yang ada di gumuk itu, Paksi mulai merenung. Bahkan kemudian ia mulai menyesal, kenapa ia telah menuruti dorongan perasaannya untuk melangkah ke arah bintang yang semalam seakan-akan jatuh, meskipun ia sadar sepenuhnya bahwa hal itu tidak mungkin terjadi.

Beberapa saat kemudian, maka Paksi pun menyadari bahwa ia tidak akan dapat berada di tempat itu terlalu lama. Jika malam turun, hendaknya ia sudah berada di sebuah padukuhan. Jika diperkenankan, maka ia akan dapat bermalam di sebuah banjar padukuhan itu.

Ketika perasaan letihnya sudah berkurang, maka Paksi pun segera bangkit berdiri. Niatnya sudah bulat untuk meninggalkan gumuk itu dan kembali ke padukuhan.

“Aku masih harus berusaha menyelesaikan tugasku” berkata Paksi. Namun Paksi tidak lagi menganggap bebannya terlalu berat. Jika ia gagal, biarlah ia berkata gagal kepada ayahnya, karena segala sesuatunya tidak jelas baginya.

Namun kemudian, pengembaraan itu sendiri mulai menarik baginya. Meskipun demikian ia tidak dapat melupakan pendapat beberapa orang, bahwa pengembaraan bukan pilihan terbaik baginya. Masih banyak kesempatan lain yang dapat membantu meningkatkan pengalaman dan pengetahuannya.

Paksi berdiri tegak memandangi gumuk dikaki Gunung Merapi itu. Kemudian ia pun mulai melangkah turun.

Tetapi langkah Paksi tertegun. Tiba-tiba saja ia mendengar suara tertawa. Semakin lama semakin keras.

Paksi termangu-mangu sejenak. Diedarkannya pandangan matanya ke sekelilingnya untuk mencari sumber suara tertawa itu. Tetapi ia tidak segera menemukannya.

Sementara itu suara tertawa itu bergulung-gulung berputaran. Gemanya yang mengumandang membuat Paksi semakin sulit untuk menemukan, siapakah yang telah tertawa demikian kerasnya. Bahkan semakin lama suara tertawa itu rasa-rasanya semakin menusuk telinganya, menyusup dan mengguncang isi dadanya.

Paksi mencoba bertahan.

Tetapi suara tertawa itu semakin menyakiti jantungnya. Bahkan akhirnya Paksi tidak tahan lagi, sehingga ia pun telah berjongkok sambil menutup kedua belah telinganya.

Paksi menyadari, bahwa tenaga dalam orang yang tertawa itu demikian besarnya, sehingga Paksi tidak dapat mengatasinya dengan tenaga dalamnya. Karena itu, maka suara tertawa itu telah menyakitinya. Gema yang memantul di lereng gunung itu pun masih juga memuat getar tenaga dalam yang sangat kuat, sehingga karena itu, maka dada Paksi terasa menjadi semakin sakit dan sesak.

Tetapi suara tertawa itu pun mulai surut. Getaran tenaga dalam itu tidak lagi menggoncang isi dada Paksi.

Karena itu, maka Paksi pun mulai melepaskan telinganya. Dengan hati-hati ia mulai bangkit berdiri bertelekan pada tongkat kayunya.

Demikian ia berdiri, maka didengarnya suara memanggil namanya, “Paksi, Paksi Pamekas.”

Paksi memandang berkeliling. Ketika ia mendengar lag| namanya dipanggil, maka Paksi pun mulai mengetahui arah dari suara itu.

Ketika Paksi memandang ke arah gumuk kecil itu, maka ia pun terkejut. Ia melihat seseorang berdiri diatas dahan sebatang pohon yang besar. Orang itu melambaikan tangannya sambil memanggilnya, “Paksi, aku disini.” Wajah Paksi menjadi tegang. Ia tidak dapat memandang wajah orang itu dengan jelas. Kecuali orang itu berdiri di jarak yang agak jauh, apalagi diatas dahan sebatang pohon yang besar, orang itu juga mengenakan sebuah caping petani yang lebar diatas ikat kepalanya. Meskipun demikian, Paksi dapat mengenali bahwa orang itu berjambang, berkumis dan berjanggut lebat.

“Ki Marta Brewok” desis Paksi, “kenapa tiba-tiba saja ia berada disini?”

Dalam pada itu, orang yang berdiri diatas dahan sebatang pohon yang besar itu pun berteriak lantang, “Paksi. Jangan pergi. Kau sudah sampai di tempat tujuan, arah bintang yang bercahaya kebiruan itu jatuh. Paksi kau telah melihat ndaru. Karena itu, kau termasuk seorang anak muda yang beruntung.”

Paksi memandang orang itu dengan tajamnya. Sementara itu, langit pun mulai menjadi suram. Cahaya senja yang kemerah-merahan mewarnai uncak Gunung Merapi, seakan-akan puncak itu telah membara.

Paksi tidak beranjak dari tempatnya. Orang yang berada diatas dahan itu menjadi semakin kabur. Paksi tidak dapat melihat dengan jelas, baaimana orang itu kemudian seakan-akan meluncur turun.

Paksi berdiri termangu-mangu. Orang yang memanggil namanya itu seolah-olah telah hilang ditelan gerumbul-gerumbul perdu dibawah pohon raksasa itu.

Namun kemudian orang itu telah muncul di sisi gumuk kecil itu sambil memanggilnya, “Paksi. Aku ingin mempersilahkan kau singgah.”

Paksi termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Apakah aku berbicara dengan Ki Marta Brewok?”

“Ya. Kau benar” sahut orang itu.

“Kenapa Ki Marta Brewok telah menipuku?”

Orang itu tertawa. Katanya, “Bukan maksudku. Tetapi ketika aku melihat ndaru dilangit dan kemudian melihatmu berdiri di depan gubug itu. Aku menjadi tertarik kepadamu. Seakan-akan kau memang dipersiapkan untuk datang kepadaku seperti sekarang ini. Karena itu, maka kau tidak akan dapat lari lagi dari tanganku.”

“Untuk apa Ki Marta Brewok mengharapkan kehadiranku disini sekarang ini?”

Orang yang menyebut dirinya Marta Brewok itu tertawa. Katanya, “Aku memang memerlukan seorang anak muda. Aku adalah utusan dari seorang Resi yang mumpuni, yang sedang membangun sebuah padepokan yang paling besar di tanah ini. Tetapi di bawah bangunan utama dari padepokan itu harus ditanam korban. Seorang anak muda yang memiliki keberuntungan. Dan aku telah menemukan kau Paksi. Kau adalah anak muda yang mempunyai keberuntungan yang besar. Tetapi sekaligus kau adalah anak muda yang malang, karena kau harus menjadi korban. Tubuhmu akan ditanam dibawah bangunan utama padepokan yang terbesar itu sebagai tumbal.”

Paksi memandang orang yang wajahnya hampir tertutup oleh jambang, kumis dan janggutnya itu dengan tajamnya. Tiba-tiba saja Paksi telah menimang tongkatnya. Dengan nada dalam ia menjawab, “Ki Marta Brewok. Kau kira seseorang itu akan demikian saja menyerahkan nyawanya?”

Tetapi Marta Brewok itu tertawa. Katanya, “Apa yang akan kau lakukan? Melawan? Kau kira tongkat kayumu itu berarti bagimu.”

“Ki Marta Brewok. Aku tidak merasa mempunyai persoalan denganmu. Tetapi sudah tentu bahwa aku akan mempertahankan diriku jika kau berniat buruk atasku.”

Marta Brewok itu melangkah mendekat. Langit menjadi semakin muram. Senja pun menjadi semakin gelap.

“Aku nasehatkan kepadamu, agar kau tidak berusaha melawan, karena yang akan kau lakukan itu tentu akan sia-sia. Bahkan aku akan menjadi semakin garang, sehingga sebelum kau menjadi tumbal dan tubuhmu ditanam dibawah bangunan utama padepokan itu, kau akan mengalami kesulitan.”

Paksi mencoba untuk mengamati wajah orang yang mengaku bernama Marta Brewok itu. Namun apa yang dapat dilihatnya adalah wajah yang hampir tertutup oleh jambang, kumis dan janggutnya. Capingnya yang lebar itu juga telah membayangi wajah yang gelap itu.

“Ki Marta Brewok” berkata Paksi, “ketika Ki Marta Brewok menganjurkan aku menuju ke arah bintang itu menghilang, aku tidak mengira bahwa niat Ki Marta Brewok itu jahat. Bahkan ketika aku berbicara dengan Ki Ponang, pemilik sawah itu, aku masih belum menduga apa yang akan Ki Marta Brewok lakukan. Aku hanya merasa bahwa Ki Marta Brewok telah berbohong. Tetapi ternyata bahwa Ki Marta Brewok mempunyai niat yang jahat.”

“Terserahlah, apa yang akan kau katakan tentang aku” berkata orang itu, “yang penting aku dapat melaksanakan tugasku dengan baik. Tugas yang diberikan oleh Resi Jamur Akik.”

Wajah Paksi menjadi semakin tegang. Sementara itu Ki Marta Brewok pun berkata, “Sudahlah. Menyerahlah. Tidak ada gunanya kau melawan. Dengan Aji Gelap Ngamparku itu, kau sudah tidak berdaya. Apalagi jika aku mempergunakan beberapa jenis ilmuku yang lain. Dengan Aji Rog-rog Asem, jantungmu akan runtuh didalam dadamu. Dengan Aji Lebur Seketi, tubuhmu akan menjadi debu. Tetapi tentu aku tidak akan mempergunakannya, karena aku memang memerlukan tubuhmu.”

“Aku tidak peduli, Aji apa pun yang akan kau pergunakan. Kematian seseorang tidak ditentukan oleh jenis-enis Aji apa pun. Jika saat itu datang, apa pun yang terjadi, akan terjadi. Kalau aku harus mati disini, biarlah itu terjadi.”

“Kau sangat menjengkelkan” berkata Ki Marta Brewok, “kau tidak nampak takut dan cemas. Sikap itu akan dapat berakibat buruk bagimu.”

Tetapi Paksi tidak menghiraukannya. Paksi justru mempersiapkan dirinya menghadapi segala kemungkinan.

Orang yang menyebut dirinya Marta Brewok itu pun melangkah semakin dekat. Dengan geram ia berdesis, “Baiklah Paksi. Jika kau memang ingin melawan, melawanlah. Aku memang ingin melihat, apa yang dapat kau lakukan untuk melindungi dirimu sendiri.”

Paksi tidak menjawab. Tetapi ketika orang berjambang, berkumis dan berjanggut lebat itu mendekatinya, maka Paksi mulai memutar tongkatnya.

Marta Brewok itu bergeser setapak surut. Namun kemudian ia mulai menyerang dengan cepat, menyusup di antara putaran tongkat Paksi.

Beberapa saat keduanya bertempur. Tongkat Paksi berputaran dengan cepatnya. Sekali-sekali terayun menebas. Namun kemudian mematuk dengan cepat ke arah dada.

Meskipun demikian, tongkat Paksi tidak segera dapat menyentuh lawannya. Marta Brewok mampu bergerak lebih cepat dari ayunan tongkat Paksi, sehingga serangan-serangan Paksi sama sekali tidak dapat menyentuhnya.

Tetapi Paksi tidak cepat berputus-asa. Selapis demi selapis, Paksi meningkatkan ilmu yang pernah diterimanya selama ia berguru di Pajang.

Namun lawannya pun telah meningkatkan ilmunya pula. Ketika tongkat Paksi bergerak semakin cepat, maka orang itu berloncatan semakin cepat pula. Bahkan tubuhnya seolah-olah menjadi semakin ringan. Loncatan-loncatan yang cepat dan kadang-kadang membingungkan kadang-kadang membuat Paksi tertegun.

Sementara itu, ujung malam telah menyelimuti kaki Gunung Merapi itu. Gumuk kecil itu pun telah disaput oleh warna kelam. Marta Brewok semakin lama menjadi semakin garang. Tenaganya seakan-akan menjadi semakin bertambah-tambah.

Dengan tidak ragu-ragu Marta Brewok itu telah menangkis dan bahkan kadang-kadang membentur tongkat Paksi dengan tangannya tanpa mengalami kesakitan.

“Apakah tangannya terbuat dari besi?” pertanyaan itu tumbuh didalam hati Paksi.

Pertempuran itu semakin lama menjadi semakin sengit. Paksi kadang-kadang menjadi kebingungan karena kehilangan lawannya. Loncatannya menjadi semakin tinggi dan cepat. Sekali-sekali orang itu melenting tinggi, namun kemudian menjatuhkan diri dan berguling dengan cepat, berputar dan kemudian melenting bangkit ditempat yang jauh.

Pertempuran itu berlangsung terus. Ketika malam menjadi semakin malam, maka serangan-serangan Marta Brewok rasa-rasanya justru menjadi semakin cepat dan semakin kuat. Tenaga Marta Brewok seolah-olah justru menjadi semakin besar saat keringat Paksi sudah membasahi seluruh tubuhnya.

Ketika kemudian Paksi sampai pada puncak kemampuannya, maka pertempuran itu menjadi semakin sengit. Tongkat Paksi berputaran dengan cepatnya, seakan-akan menjadi segumpal kabut hitam yang bergulung-gulung di-sekitar tubuhnya. Setiap kali kabut itu melibat ke arah lawannya. Namun dengan tangkas pula, Marta Brewok selalu berhasil menghindar atau justru membentur serangan-serangan Paksi. Bahkan kemudian serangan-serangan Marta Brewok itulah yang mulai menembus pertahanan Paksi, justru saat Paksi berusaha menghentakkan kemampuannya sampai ke puncak.

Paksi berdesah tertahan ketika kaki Marta Brewok mengenai lambungnya. Serangan itu demikian kuatnya, sehingga Paksi telah terdorong beberapa langkah surut. Dengan mengerahkan daya tahan tubuhnya, Paksi berusaha mengatasi rasa sakitnya. Bahkan tongkatnya telah berputar kembali dengan cepatnya.?

Tetapi serangan Marta Brewok itu datang susul menyusul. Ketika Paksi gagal menyerang ke arah lambung lawannya, Paksi berusaha memutar tongkatnya mengayunkannya menebas ke arah kening. Tetapi lawannya dengan cepat merendah. Bukan sekedar menghindari serangan Paksi, tetapi sambil menjatuhkan dirinya, Marta Brewok telah menggunting kaki Paksi. Demikian cepatnya, maka Paksi tidak sempat mengelakkannya.

Tubuh Paksi bagaikan dilibat oleh kekuatan yang sangat besar sehingga Paksi itu pun terpelanting oleh putaran kaki lawannya.

Tetapi Paksi tetap menyadari apa yang telah terjadi. Paksi yang terbanting itu justru berguling beberapa kali. Namun tongkatnya masih tetap didalam genggamannya.

Sekejap kemudian Paksi sudah bangkit dan melenting berdiri. Pada saat yang bersamaan Marta Brewok tengah meloncat menyerang dadanya dengan juluran kakinya.

Tetapi Paksi dengan cepat meloncat kesamping. Demikian kakinya menyentuh tanah, maka tongkatnya-pun telah terayun dengan derasnya, mengarah ke lutut sebelah kaki lawannya yang dipergunakannya untuk bertumpu.

Tetapi Paksi terkejut. Tongkatnya sama sekali tidak menyentuh kaki lawannya. Dengan tangkasnya Marta Brewok meloncat tinggi-tinggi, kemudian berputar di udara dan jatuh tegak pada kedua kakinya.

Paksi menggeram marah. Tetapi lawannya justru berdiri tegak dengan tangan bertolak pinggang. Terdengar Marta Brewok itu tertawa. Katanya disela-sela suara tertawanya, “Aku belum mempergunakan jenis-jenis ilmuku yang akan dapat melumatkan jantungmu. Karena itu, hentikan saja perlawananmu yang sia-sia.

Paksi tidak menghiraukannya. Ia justru meloncat menyerang sambil memutar tongkat kayunya.

Dengan demikian, maka pertempuran pun telah berlangsung lagi. Semakin lama menjadi semakin sengit.

Dalam pada itu, Paksi yang telah mengerahkan segenap tenaga, kekuatan dan kemampuannya itu, mulai merasa betapa tenaganya mulai menyusut. Putaran tongkatnya mulai mengendor. Kecepatan gerakannya pun mulai menurun. sementara itu, lawannya masih tetap segar sebagaimana pertempuran itu dimulai.

Paksi mulai merasa bahwa ia sudah melewati puncak kemampuannya.

Marta Brewok itu seakan-akan mengetahui kegelisahan yang mulai mencengkam jantung Paksi. Karena itu, maka Marta Brewok itu berkata, “Nah, anak muda. Apakah kau masih akan melawan?”

Tetapi jawaban Paksi tegas, “Aku tidak akan pernah menyerah apa pun yang terjadi. Kematian adalah batas akhir dari sebuah perjuangan untuk mempertahankan diri. Dan itu sama sekali tidak menakutkan aku.”

“Anak iblis kau. Kau terlalu sombong Paksi. Kau akan menyesali kesombonganmu itu.”

“Aku tidak pernah berniat untuk menyombongkan diri. Tetapi itu adalah sikapku.”

“Bagus, bersiaplah. Aku sudah memberikan kesempatan yang terakhir. Jika kesempatan itu kau sia-siakan, maka aku akan benar-benar menghancurkan kesombonganmu sebelum tubuhmu ditanam sebagai tumbal dibawah bangunan induk padepokan yang akan didirikan oleh Resi Jamur Akik.”

Paksi sama sekali tidak menjawab. Tetapi Paksi telah mempersiapkan diri sebaik-baiknya.

Sesaat kemudian, maka perterripuran pun telah kembali menyala. Paksi telah mengerahkan kemampuannya yang tersisa. Namun bagaimanapun juga, serangan-serangannya tetap tidak dapat menembus pertahanan lawannya. Bahkan serangan-serangan Marta Brewok itu semakin sering menyentuh tubuhnya.

Semakin lama tenaga Paksi pun menjadi semakin menyusut, sementara lawannya menjadi semakin garang. Karena itu, maka perlawanan Paksi pun semakin lama menjadi semakin tidak berarti. Beberapa kali serangan lawannya sempat melemparkan Paksi beberapa langkah surut. Bahkan ketika tangan Marta Brewok mengenai keningnya, Paksi telah terbanting jatuh. Meskipun demikian, Paksi yang berguling mengambil jarak itu pundengancepat bangkit. Tongkatnya masih tetap didalam genggamannya.

Tetapi demikian ia berdiri, maka lawannya telah meloncat menyerangnya. Tangannya terjulur lurus ke arah dadanya.

Dalam keadaan yang semakin lemah, Paksi masih mencoba untuk tetap bertahan. Demikian Marta Brewok meloncat menyerang, maka Paksi pun berdiri tegak sambil mengacukan tongkatnya tepat ke arah dada lawannya yang bergerak maju. Paksi berdiri diatas kedua kakinya yang sedikit merendah pada lututnya dengan sedikit menarik kaki kanannya kebelakang.

Marta Brewok yang menyangka bahwa Paksi sudah menjadi semakin lemah justru terkejut. Tubuhnya yang meluncur deras itu menggeliat. Namun ujung tongkat Paksi masih juga mengenai lambungnya.

Serangan Marta Brewok memang terhenti. Bagaimanapun juga, patukan ujung tongkat Paksi di lambungnya itu terasa sakit.

Tetapi dalam pada itu, Paksi telah terdorong beberapa langkah surut. Namun Paksi masih mampu mempertahankan keseimbangannya.

Marta Brewok yang kesakitan itu menggeram. Dengan kemarahan- yang menyala ia berkata dengan suara bergetar, “Setan kecil. Kau menyakiti lambungku. Karena itu, aku akan segera mengakhiri pertempuran ini.”

Paksi pun segera mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Tetapi Paksi tidak dapat mengingkari kenyataan, bahwa tenaganya sudah semakin menyusut.

“Bangkitlah” geram Marta Brewok, “jangan cengeng. Kau baru bertempur seujung malam. Belum sampai tengah malam. Ketika aku masih semuda kau, aku dapat bertempur sehari semalam tanpa berhenti. Sekarang, diumurku yang semakin tua, aku justru sanggup bertempur tiga hari tiga malam.”

Paksi menggeram. Tetapi tenaganya memang sudah benar-benar menyusut.

Marta Brewok tidak menyambung kata-katanya, tetapi ia mulai menyerang kembali dengan garangnya.

Ketika serangan Marta Brewok menembus pertahanan Paksi dan langsung mengenai pundaknya, maka tubuh Paksi itu seakan-akan telah diputar sekali. Paksi terhuyung-huyung. Ia mencoba untuk mempertahankan keseimbangannya.

Tetapi Marta Brewok telah meloncat lagi. Ketika tubuhnya berputar dengan satu ayunan kaki yang keras tepat mengenai dada Paksi, maka Paksi benar-benar terlempar dan jatuh terbanting ditanah.

Ketika Paksi mencoba untuk bangkit, maka tubuhnya yang lemah itu terhuyung-huyung. Paksi masih mencoba bertelekan pada tongkatnya. Namun serangan yang berikut, telah menghantam kening Paksi dengan kerasnya.

Paksi benar-benar terpelanting jatuh. Hanya karena keliatan tubuhnya sajalah yang menghindarkan kepalanya membentur batu-batu padas.

Tetapi ketika Paksi berusaha untuk bangkit, maka matanya menjadi berkunang-kunang. Kepalanya terasa sangat pening sementara perutnya menjadi mual.

Tetapi Paksi masih juga memaksa dirinya untuk berdiri. Tongkatnya ikut pula menyangga tubuhnya yang mulai gontai.

Marta Brewok berdiri beberapa langkah dihadapan-nya. Suara tertawanya meledak mengoyak sepinya malam.

“Nah, apa katamu sekarang? Kau menyerah?”

Tetapi jawaban Paksi tegas, “Tidak. Aku tidak akan pernah menyerah.”

“Kenapa? Bukankah kau sudah tidak berdaya untuk melawan? Atau kau masih mempunyai Aji Pamungkas yang akan dapat menolong jiwamu?”

“Aku tidak menyerah kepada tindak sewenang-wenang. Aku yakini kebenaran perjuanganku mempertahankan diriku. Karena itu, aku tidak akan pernah bergeser dari sikapku. Aku akan melawan kesewenang-wenanganmu apa pun yang akan terjadi.”

“Apa yang akan kau pergunakan untuk melawan? Seandainya aku sentuh kau dengan jari-jariku, kau tentu sudah roboh.”

“Aku tidak peduli.”

“Kau tidak akan dapat membebaskan dirimu. Kau akan mati. Tubuhmu akan ditimbun dengan tanah dibawah bangunan utama padepokan Resi Jamur Akik.”

“Kau dapat membunuhku. Kau dapat mengubur tubuhku dimana pun kau mau. Tetapi kau tidak dapat membunuh keyakinanku, bahwa kesewenang-wenangan harus dilawan.”

“Gila kau. Dalam keadaan seperti itu kau masih berani berbicara tentang keyakinan. Kau harus melihat kenyataan. Kau tidak dapat mempertahankan keyakinanmu itu.”

“Menurut gelar kewadagan, benar. Tetapi keyakinan adalah satu sikap jiwani. Kau tidak dapat membunuh jiwaku.”

Marta Brewok menggeram. Katanya, “Bersiaplah untuk menjadi korban. Tubuhmu akan menjadi tumbal. Tanpa tumbal tubuh seorang anak muda yang memiliki keberuntungan tetapi juga kemalangan seperti kau, maka bangunan itu tidak akan dapat terwujud dan tidak pula akan dapat mempunyai arti.”

“Aku tidak akan pernah melakukannya” jawab Paksi.

“Diam” bentak Marta Brewok, “jika kau masih menjawab lagi, aku koyakkan mulutmu.”

“Lakukan. Tetapi kau tidak akan memakai tumbal yang cacat.”

Marta Brewok itu menggeram. Tetapi tiba-tiba saja ia bertanya, “Darimana kau tahu?”

“Tidak ada korban yang cacat.”

“Aku dapat mencari tumbal lain yang lebih baik.”

“Terserah kepadamu” geram Paksi.

“Kenapa kau tidak bertanya, tumbal apakah yang lebih baik itu?”

“Aku sudah tahu. Maksudmu tentu korban yang tidak cacat.”

“Kau salah anak muda. Untuk membuat padepokan itu ada tumbal yang jauh lebih baik. Tetapi mencarinya juga jauh lebih sulit.”

Paksi tidak menyahut. Ia tidak bertanya, apakah tumbal yang lebih baik itu.

Tetapi Marta Brewok itulah yang memberitahukan kepadanya, “Anak muda. Tumbal yang lebih baik itu adalah sebuah cincin.”

“Cincin?” Paksi terkejut. Diluar sadarnya ia bertanya, “Cincin apa?”

“Cincin bermata tiga butir batu akik.”

Jantung Paksi berdebar semakin cepat. Sementara Marta Brewok itu berkata, “Nilai cincin bermata tiga butir batu akik itu sama dengan tiga kali lipat korban yang lain. Tetapi sampai saat ini kami masih belum menemukan cincin itu.”

Dada Paksi masih berdebaran. Sementara itu, Marta Brewok pun bertanya, “Apakah kau mengetahui sebuah cincin yang bermata tiga butir batu akik. Memang tidak biasa, karena pada umumnya cincin hanya bermata sebutir batu akik saja.”

Paksi menggeleng. Dengan nada rendah ia menjawab, “Tidak. Aku tidak tahu.”

Marta Brewok mengangguk-angguk kecil. Tetapi ia pun kemudian berkata, “Paksi. Aku akan memberikan satu pilihan kepadamu. Jika kau ingin membebaskan dirimu agar kau tidak menjadi tumbal pembuatan padepokan itu, maka kau harus dapat menemukan sebuah cincin yang bermata tiga butir batu akik itu.”

Sejenak Paksi tercenung. Ia menjadi bingung. Seandainya ia dapat menemukan cincin itu, maka ia harus menyerahkannya kepada ayahnya. Tidak kepada Marta Brewok yang akan memakai cincin itu sebagai tumbal. Tetapi jika ia tidak menyanggupinya, maka tubuhnyalah yang akan menjadi tumbal.

“Kenapa kau diam? Kau harus memilih. Tubuhmu yang akan menjadi tumbal atau kau berusaha menemukan sebuah cincin yang bermata tiga butir batu akik.”

Paksi termangu-mangu sejenak. Ia menjadi bingung. Ia dapat saja berbohong untuk sekedar menyelamatkan diri, setidak-tidaknya menghindar dari Marta Brewok. Tetapi harga diri Paksi telah mencegahnya. Itu perbuatan yang licik. Untuk menyelamatkan diri Paksi yang harus berbohong dan berpura-pura.

Karena itu, maka Paksi itu pun menjawab, “Ki Marta Brewok. Seandainya aku menemukan cincin yang bermata tiga butir batu akik, aku tidak akan memberikan kepadamu untuk tumbal pembuatan padepokan itu.”

“Kenapa?” bertanya Marta Brewok, “apakah kau akan mempergunakannya sendiri?”

“Tidak” jawab Paksi, “aku akan menyerahkan kepada orang yang lebih berhak dari Resi yang akan membuat padepokan itu.”

“Siapa yang lebih berhak itu?” bertanya Marta Brewok.

“Kau tidak perlu mengetahuinya.”

Marta Brewok menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Kau memang luar biasa Paksi. Hatimu keras seperti baja. Kenapa kau tidak mengiakannya sementara kau mempunyai kesempatan untuk menghindari kematian. Setidak-tidaknya selama kau berusaha mencarinya.”

“Aku bukan orang yang licik, yang berlindung dibalik kebohongan dan kepura-puraan untuk mencari keselamatan.”

“Paksi” berkata Marta Brewok, “aku tidak berkeberatan jika cincin itu nanti kau serahkan kepada yang lebih berhak, kerena aku tidak memerlukan cincin itu untuk seterusnya.”

“Jadi bagaimana dengan tumbal itu?” bertanya Paksi.

“Aku hanya memerlukan cincin itu selama tiga hari tiga malam. Aku akan merendamnya didalam air kembang setaman. Nah, airnya itulah yang kami butuhkan untuk menyiram alas dan bebatur pendapa bangunan utama padepokan itu. Selanjutnya kau dapat membawa cincin itu kepada yang kau anggap lebih berhak itu.”

Dahi Paksi pun berkerut. Ia tidak mengerti, apa yang sebenarnya sedang dihadapinya. Ia juga tidak mengerti, kenapa tiba-tiba Marta Brewok memberinya kesempatan untuk menemukan sebuah cincin bermata tiga butir batu akik. Cincin yang harus dicarinya dalam pengembaraannya itu.

“Paksi” suara Marta Brewok merendah, “aku condong untuk memberi kesempatan kepadamu untuk mencari cincin itu, daripada harus menanam tubuhmu dibawah bangunan utama padepokan itu.”

Paksi termangu-mangu sejanak. Dengan ragu ia berkata, “Tetapi sudah aku katakan bahwa aku akan menyerahkan batu akik itu kepada yang berhak.”

“Aku juga sudah mengatakan bahwa aku hanya memerlukan tiga hari saja. Setelah itu, terserah kepadamu.”

Paksi masih bimbang. Ia masih merasa sakit diseluruh tubuhnya. Tiba-tiba saja ia mendapat tawaran yang rasa-rasanya tidak masuk akal.

Karena Paksi tidak segera menjawab, maka Marta Brewok itu pun berkata, “Pikirkan. Apakah kau ingin mati dan dikubur dibawah bangunan utama padepokan yang akan dibangun itu, atau kelak kau meminjamkan cincin itu selama tiga hari.”

“Apakah kau dapat aku percaya?” bertanya Paksi.

Marta Brewok justru tertawa. Katanya, “Kau aneh anak muda. Seharusnya akulah yang bertanya seandainya kau memilih untuk mencari cincin itu dan kemudian meminjamkan kepadaku tiga hari tiga malam.”

Paksi berpikir sejenak. Tawaran yang tidak diduganya itu telah membuat jantungnya berdebar semakin cepat.

Namun kemudian Paksi itu menjawab, “Baiklah. Aku akan mencari cincin dengan mata tiga butir batu akik itu.”

“Bagus” jawab Marta Brewok, “jika kau berhasil, maka padepokan itu benar-benar akan menjadi padepokan yang terbesar di tanah ini.”

“Tetapi bukankah kau tidak memberikan batas waktu kepadaku?” bertanya Paksi.

“Tidak. Tetapi sudah tentu secepatnya. Demikian kau mendapatkannya, maka kau harus menyerahkannya kepadaku untuk tiga hari tiga malam.”

“Dimana aku hurus menemuimu?” bertanya Paksi.

Marta Brewok lah yang termangu-mangu. Namun kemudian jawabnya, “Kau harus berada di alun-alun Pajang. Aku akan menemuimu.”

“Kenapa alun-alun Pajang?” bertanya Paksi.

“Tidak akan ada orang yang memperhatikan kita di tempat yang ramai.”

“Tetapi bagaimana kau tahu bahwa aku sudah berhasil mendapatkan cincin itu sehingga kau mencariku ke alun-alun itu?”

“Aku beri ancar-ancar waktu. Enam bulan lagi aku akan pergi ke alun-alun Pajang. Jika kau belum berhasil, maka aku akan datang ke alun-alun itu setiap setengah bulan sekali. Sekali di saat bulan purnama, dan sekali disaat bulan tanggal pertama. Demikian kau berhasil, maka kau harus berada di alun-alun itu pada malam-malam yang aku sebutkan itu.”

“Aku sama sekali tidak dapat mengatakan, berapa lama aku akan berhasil.”

“Jika dalam setahun kau belum berhasil, aku akan mencarimu. Mungkin kau memerlukan bantuan.”

Paksi menjadi semakin bingung menghadapi Marta Brewok. Sikapnya sama sekali tidak dimengertinya.

Namun Paksi itu pun menjawab, “Baiklah. Aku akan berusaha menemukan cincin itu.”

Tetapi yang dikatakan Marta Brewok kemudian semakin membingungkan Paksi. Katanya “Paksi. Jika kau akan mencari cincin itu, maka bekalmu tentu masih belum cukup.”

“Maksud Ki Marta?” bertanya Paksi.

“Kau harus mempersiapkan dirimu sebaik-baiknya, syarat untuk mendirikan padepokan terbaik harus terpenuhi.”

“Jika demikian, aku bersedia, Ki Marta.”

“Bagus. Kau harus menempa diri dengan menjalani laku. Kau harus tetap berada disini. Di malam hari kau akan berlatih. Di siang hari terserah kepadamu, apa yang akan kau lakukan. Atau barangkali kau akan pergi kemana saja. Tetapi sebelum senja, kau harus sudah berada disini lagi.”

“Berapa lama aku tinggal disini?”

“Tergantung kepadamu. Kepada niatmu dan kepada kemampuanmu untuk menyadap ilmu itu.”

Paksi menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya orang berjambang, berkumis dan berjanggut lebat itu dengan tajamnya. Namun Paksi mulai menyesali kebodohannya. Orang yang dihadapinya itu tentu merupakan salah satu dari orang-orang aneh yang pernah dan barangkali masih akan dijumpainya lagi sebagaimana pengemis yang telah memberikan tongkatnya itu, atau orang yang pernah menyerangnya namun orang itu telah membuka kemungkinan-kemungkinan baru bagi ilmunya.

“Nah, jika kau bersedia, maka mulai besok kau harus membuat sebuah gubug di sekitar tempat ini. Kau akan tinggal digubug itu selama kau menjalani laku. Aku tidak tahu, bagaimana kau akan makan dan minum. Aku tidak mau tahu bagaimana kau mendapatkan pakaian jika pakaianmu koyak, Yang penting bagiku, kau harus memiliki bekal ilmu yang cukup untuk memasuki satu dunia yang keras. Cincin itu diperebutkan oleh orang-orang yang mempunyai berbagai kepentingan.”

Kau harus menempa diri untuk mematangkan dan mengembangkan ilmumu. Lebih dari itu, kau harus mempunyai ilmu andalan yang dalam keadaan yang sulit, dapat kau pergunakan.”

“Aku tidak mengerti. Jadi apa yang harus aku lakukan?” bertanya Paksi.

“Sebelum kau berangkat mencari cincin itu, kau harus membuat dirimu layak untuk mencarinya. Barangkali kau juga sudah tahu, bahwa banyak orang yang menginginkan cincin itu. Di antara mereka adalah orang-orang berilmu tinggi. Karena itu, jika pada satu saat kau memasuki pusaran perebutan cincin itu, maka kau harus menambah bekalmu. Maksudku, ilmumu harus meningkat.

Paksi mengerutkan dahinya. Hampir diluar sadarnya ia berkata, “Apakah Ki Marta dapat menunjukkan cara yang dapat aku tempuh, agar ilmuku meningkat?”

“Aku dapat memberi jalan jika kau mau.”

“Jika Ki Marta Brewok bersungguh-sungguh, tentu aku bersedia.” jawab Paksi. Namun pada nada suaranya masih terasa betapa hatinya bimbang.

“Kau masih bimbang.” desis Marta Brewok.

“Aku sama sekali tidak bimbang, seandainya aku harus menjalani laku apa pun juga. Yang aku bimbangkan adalah kesungguhan Ki Marta Brewok. Mungkin Ki Marta Brewok sekedar main-main sebelum aku benar-benar dibenamkan dibawah bangunan utama padepokan itu.”

“Aku bersungguh-sungguh, Paksi. Padepokan itu tidak tergesa-gesa. Tetapi harus benar-benar sebuah padepokan yang terbaik. Seandainya padepokan itu dimulai setahun lagi, tidak menjadi soal. Yang penting, ….. (kalimat terputus dari buku aslinya)

Paksi mengangguk-angguk sambil menjawab, “Aku bersedia Ki Marta.”

“Bagus. Besok malam kita akan mulai. Kita tidak akan berlatih disini setiap malam. Tetapi dibalik gumuk ini ada tempat yang lebih baik dan lebih tersembunyi dari tempat ini. Kau dapat menyesuaikan dirimu, dimana kau akan membuat gubug. Disini tersedia kayu.dan bambu menurut kebutuhan. Kau dapat membuat tali dari serat daun pandan atau serat kulit kayu yang lain.”

“Baik Ki Marta. Besok aku akan mulai.”

“Sekarang, ikut aku. Aku akan menunjukkan tempat itu.”

Paksi tidak menyahut. Tetapi ia pun kemudian melangkah mengiringi Ki Marta Brewok yang melangkah menuju ke lekuk yang tidak terlalu dalam di sebelah gumuk kecil itu.

Meskipun malam gelap, tetapi mata Paksi yang tajam dapat melihat bayangan Ki Marta Brewok sehingga Paksi dapat mengikutinya sampai ke balik gumuk kecil itu.

Dibalik gumuk kecil itu memang terdapat sebidang tanah yang agak lapang. Meskipun di sana-sini juga ditumbuhi pohon-pohon perdu, namun diatas tanah itu tidak terdapat sebatang pun pohon yang besar sebagaimana terdapat di atas gumuk kecil itu atau di hutan yang lebat dilereng Gunung Merapi.

“Inilah sanggar kita” berkata Marta Brewok, “tanah ini datar dan agak lapang. Besok kita dapat membersihkan dan mempersiapkan segala-galanya.”

“Baik, Ki Marta” sahut Paksi.

“Sebelumnya aku ingin memberitahukan kepadamu, Paksi, bahwa di sekitar tempat ini banyak terdapat ular dari berbagai macam jenis. Ada yang bisanya sangat tajam dari jenis bandotan, weling, welang, kendang dan beberapa jenis lain, tetapi juga ada yang bisanya tidak terlalu tajam, seperti ular sawa dan sejenisnya. Tetapi ada bahaya lain pada ular sawa yang sudah tumbuh menjadi besar. Jika mulutnya menganga, maka sosok tubuh seseorang dapat ditelannya.”

Paksi mengangguk-angguk kecil. Namun baginya, justru ular-ular kecil yang bisanya tajam itulah yang berbahaya baginya, karena tanpa disadari ular-ular yang terhitung lebih kecil itu dapat terinjak kakinya dan mematuk tumitnya.

Adalah juga diluar dugaan, ketika Ki Marta Brewok itu kemudian berkata selanjutnya, “Karena itu Paksi, aku ingin memberimu obat penawar racun. Obat itu berujud butir-butir reramuan yang aku buat. Jika kau menelan sebutir, maka obat itu akan menawarkan racun yang masuk kedalam tubuhmu dengan cara apa pun juga, termasuk gigitan ular, selama satu hari satu malam. Karena itu, selama kau berada di tempat ini, maka setiap hari kau harus menelan butir-butir reramuan obat itu.”

“Baik, Ki Marta” jawab Paksi, “aku akan melakukannya.”

“Nah, karena malam ini kau sudah berada di tempat ini, maka sejak sekarang sebaiknya kau mulai menelannya.”

Paksi tidak menolak. Ia tidak lagi mencurigai Ki Marta Brewok. Jika orang itu berniat buruk, maka ia tidak perlu mempergunakan akal yang licik, karena dengan mudah orang itu dapat mengalahkannya.

Ternyata Paksi merasakan tubuhnya menjadi agak panas ketika sebutir obat itu mulai bekerja didalam tubuhnya. Namun hanya beberapa saat. Kemudian ia tidak merasakan sesuatu lagi.

Di sisa malam itu Paksi tidur disebongkah batu yang besar. Sebelum anak muda itu tertidur, maka Marta Brewok telah memberikan beberapa pesan kepada Paksi. Ia pun memberikan beberapa petunjuk pula bagaimana Paksi membuat gubug yang akan dihuni.

“Disini kau tidak akan kekurangan air.” berkata Marta Brewok, “tetapi kau pun harus ingat, bahwa di hutan itu terdapat binatang buas. Kau harus bersiap untuk mempertahankan hidupmu jika pada suatu saat kau bertemu dengan seekor harimau atau sekelompok anjing liar. Pepohonan itu akan dapat memberikan perlindungan bagimu, karena harimau dan anjing-aning liar tidak akan mengejarmu memanjat batang-batang pepohonan itu.”

Paksi mendengarkannya dengan bersungguh-sungguh. Sambil mengangguk-angguk ia menyahut, “Ya, Ki Marta.”

“Nah, sekarang tidurlah di malam yang masih tersisa.”

Paksi tidak menyahut. Tetapi perasaan letihnya telah membuat matanya terpejam. Sesaat Paksi melupakan rasa sakit yang menggigit sampai ketulang.

Tetapi Paksi tidak dapat tidur terlalu lama. Beberapa saat kemudian ia pun telah terbangun oleh burung yang berkicau di pepohonan.

Ketika Paksi menggeliat, maka terasa sakit diseluruh tubuhnya. Tulang-tulangnya serasa menjadi retak, sedangkan persendiannya bagaikan terlepas.

Paksi pun kemudian bangkit dan duduk sambil menyeringai. Langit nampak menjadi merah.

Tetapi ia tidak melihat Marta Brewok di tempat itu.

“Mungkin Ki Marta Brewok baru pergi ke parit sebelah” berkata Paksi didalam hatinya.

Namun Paksi terkejut. Ketika turun dari atas batu, ia melihat beberapa jenis peralatan teronggok dibawah batu itu. Di antaranya adalah kapak besar dan kecil, parang, linggis dan beberapa jenis alat yang lain.

Paksi menarik nafas dalam-dalam, Ia tahu bahwa Marta Brewok minta kepadanya agar ia membuat gubug sebagaimana dikatakannya itu segera.....
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar