Bakti Pendekar Binal Jilid 44

“Kau minta kupijat perutmu, dan aku lantas pijat bagimu, apakah kau tahu mengapa aku menuruti keinginanmu?” tanya So Ing dengan tertawa.

Dengan gemetar Giok-long menjawab, “Cayhe tidak... tidak tahu, mohon... mohon nona jangan mengurut lagi.”

“Sekarang terasa sakit, lantas kau minta jangan dipijat lagi,” ucap So Ing dengan tertawa. “Tapi setelah kutahu perutmu kesakitan, penyakitku tambah berat, masa hatiku tega tidak mengurutmu lagi.”

“Tapi... tapi aku tidak... tidak sakit, sama... sama sekali tidak ada penyakit apa-apa,” teriak Giok-long.

“O, jadi kau tidak sakit?” mendadak So Ing menarik muka, “Jika begitu sebab apa kau dusta padaku?”

Habis berkata, tangan si nona lantas memegang perut Giok-long lagi. Cepat anak muda itu berteriak, “Oya, sakit... aku memang sakit....”

“Betul, bukan saja sakit, bahkan sangat berat penyakitmu, makin lama makin parah sampai akhirnya nanti biar pun cuma disentuh oleh sehelai kertas jatuh saja kau akan kesakitan seperti disayat pisau.”

Keruan Kang Giok-long tambah ketakutan, serunya, “O, jangan... mohon... mohon nona menolong... menolong diriku....”

Tangan So Ing masih mengurutnya perlahan, namun sedikit pun Kang Giok-long tidak lagi merasakan enaknya, sebaliknya ruas tulang sekujur badan terasa terurut lepas seakan-akan mereteli.

Didengarnya So Ing berkata pula dengan menyesal, “Saat ini aku pun tak dapat menolongmu lagi, sebab tadi aku salah ambil obat, yang kuberi minum padamu itu bukan obat pelenyap sakit sebaliknya adalah pil ‘Pek-tong-jui-sing-wan’ (pil membuat sakit dan pengurang hidup).”

“Wah, Pek-tong-jui-sing-wan? Obat macam apa itu?” tanya Giok-long ketakutan setengah mati. Sungguh, selama hidupnya tak pernah mendengar nama obat demikian.

“Obat ini kalau dimakan orang yang memang sakit akan bertambah parah sepuluh kali lipat, kalau tidak sakit dan minum obat ini, segera timbul juga macam-macam penyakit padanya, bahkan seluruh badan kesakitan setengah mati.”

“O, nona... selamanya Cayhe tiada permusuhan apa-apa dengan nona, mengapa nona membikin celaka diriku?” ratap Giok-long dengan suara parau.

“Kan kau sendiri yang mengaku sakit berat?!” jawab So Ing dengan tertawa. “Karena aku tidak mau menganggap kau ini pendusta yang tidak tahu malu, maka dengan maksud baik kuberi minum obat ini, kalau sekarang kau sakit benar-benar kan berarti kau tidak berdusta... Apa lagi, lantaran khawatir sakitmu kurang cepat timbulnya, maka dengan maksud baik kupijat pula perutmu untuk membantu daya kerja obat itu.” Setelah menghela napas gegetun, ia menyambung pula, “Nah, sedemikian baik kulayanimu, masa kau tidak berterima kasih padaku?”

Ya kejut, ya takut, ya sakit, butiran keringat bertetes-tetes dari dahi Kang Giok-long seperti air hujan. Dengan suara gemetar ia berkata, “O, nona So, So-cianpwe, aku... baru sekarang hamba tahu kelihaianmu, kumohon... Mengingat Pek San-kun suami istri, sudilah engkau mengampuni diriku.”

“Ai, aku kok lupa bahwa kau adalah sahabat Pek San-kun suami-istri,” kata So Ing.

“Ya, ya, jangan sampai nona lupa.”

“Betul juga, lantaran kau adalah sahabat mereka, tidak boleh kusaksikan kau mati sakit di sini, betapa pun harus kutolong kau... Cuma sayang obat ini bukan racun, maka tiada obat penawarnya. Padahal obat sudah kau minum, wah, bagaimana baiknya ini?”

“To... tolong nona, eng... engkau pasti bisa.”

“Aha, kuingat satu jalan,” seru So Ing tiba-tiba sambil berkeplok.

“Bagaimana caranya?” tanya Giok-long girang.

“Dengan cara operasi,” jawab So Ing. “Perutmu dibedah untuk mengeluarkan pil itu.”

“Perut dibedah?” Giok-long menegas dengan ternganga takut.

“Ya,” jawab So Ing. “Tapi kau tidak perlu khawatir, aku pasti memotongnya dengan perlahan dan mengeluarkan obat itu dengan hati-hati, kau pasti takkan merasakan apa-apa.”

“Jika perut dibedah, orangnya mati, tentu saja tidak merasakan apa-apa lagi,” ucap Giok-long dengan meringis.

“Hah, kau memang pintar,” kata So Ing dengan tertawa. “Beginilah resep menghilangkan rasa sakit dari keluarga kami. Tangan sakit potong tangan, kaki sakit potong kaki, kepala sakit potong kepala, perut sakit perut dibedah. Tanggung mujarab, tanggung ces-pleng!”

Sambil bicara ia terus menyingkir ke sana sembari bergumam, “Mana pisaunya... di mana kutaruh pisauku....?”

Keruan Kang Giok-long ketakutan, cepat ia berteriak, “Nona... jangan nona....”

“O, kau tidak memerlukan penyembuhanku lagi?” tanya So Ing.

“Ya, tidak... tidak perlu lagi,” seru Giok-long dengan suara serak.

So Ing menghela napas gegetun, katanya, “Jika kau tidak mau disembuhkan, ya apa boleh buat, ini keputusanmu sendiri, jangan kau salahkan aku, betul tidak?”

“Ya, be... betul, betul, betul sekali.”

“Dan sekarang tentunya kau tahu siapa orang goblok nomor satu di dunia, bukan?” tanya So Ing.

“Ya, ya, tahu, ialah aku ini... aku inilah orang paling goblok di dunia, orang paling brengsek, paling busuk, dan....” akhirnya Kang Giok-long menangis tergerung-gerung tanpa kenal malu lagi.

“Buset! Sudah gede begini juga suka menangis, sungguh menyebalkan....” ucap So Ing dengan tertawa, kembali tangannya menekan perlahan pada sandaran tangan kursi tadi, mendadak tempat tidur itu menjeplak sehingga tubuh Giok-long terpental.

Tapi pada saat itu juga di belakang tempat tidur muncul sebuah lubang, di tengah jerit kaget Kang Giok-long terus terperosot ke dalam lubang itu dan merosot ke bawah seperti naik tangga luncur.

So Ing tersenyum dan bergumam, “Yang satu menangis, yang lain tertawa, kedua orang ini benar-benar satu pasangan, maka biar kalian menjadi teman saja di situ....”

Sementara itu ranjang tadi telah anjlok lagi ke bawah, lubang gua itu pun merapat kembali.

Terdengar di kejauhan sana orang itu berteriak-teriak pula, “Minum arak sendirian tiada artinya, he, budak she So, kenapa kau tidak kemari mengiringi aku minum?!”

So Ing menghela napas, gumamnya dengan tersenyum getir, “Hanya dia, dia benar-benar bintang penggoda dalam hidupku ini. Sungguh aneh, aku pun tidak habis mengerti, apabila melihat dia, maka aku lantas kehilangan akal....”

********************

Di belakang rumah ini ternyata masih ada dunia lain, di mana-mana bunga mekar menyelimuti bumi, pepohonan menghijau permai mengelilingi bukit kecil, di bawah bukit ini ada sebuah gua. Cahaya lampu tampak terang benderang di dalam gua yang luas dan terpajang mewah melebihi kamar anak perawan keluarga hartawan.

Cuma aneh, kamar gua sebagus itu justru pintu guanya ditutup oleh sebuah pagar besi, terali besinya besar-besar, lebih besar dari pada lengan anak kecil.

Di dalam gua mewah itulah kini seorang duduk menyanding meja dan sedang asyik minum arak.

Tampaknya sudah tidak terhitung banyaknya arak yang telah diminumnya, air arak berceceran di atas meja, secawan demi secawan orang itu masih terus menenggak tanpa berhenti.

Rambutnya tampak kusut masai, berkaki telanjang, pakaiannya juga aneh, sebuah jubah putih yang longgar dan besar sehingga kelihatannya sangat lucu.

Orang itu duduk menghadap ke dalam sehingga wajahnya tidak jelas kelihatan. Terdengar dia sedang berteriak-teriak, “Budak she So, kenapa kau tidak lekas datang? Jika kau tidak segera datang, aku akan....”

Pada saat itulah So Ing baru muncul, jawabnya dengan suara lembut, “Ini dia, sudah datang. Ai, jarang ada orang tidak sabaran seperti engkau ini.”

“Persetan!” orang itu meraung gusar sambil mengebrak meja. “Kau anggap aku tidak sabar? Memang beginilah watak pembawaanku, peduli apa denganmu? Jika tidak suka tidak perlu kau memandangku.”

So Ing menunduk sedih, air mata hampir saja menetes.

Tapi orang itu mendadak tertawa dan berkata pula, “Tapi aneh juga, bila mana aku terkenang padamu, mengapa buru-buru kuteriaki kau supaya lekas kemari. Orang lain suka bilang sehari tidak bertemu seolah-olah berpisah selama tiga tahun. Bagiku, pada hakikatnya sebentar saja sudah terasa rindu jika ditinggal pergi olehmu.”

Karena ucapan ini, dari menangis So Ing lantas tertawa, dengan menggigit bibir ia berucap, “Kutahu jiwaku ini cepat atau lambat pasti akan amblas dibikin gemas olehmu.”

“Eeh, jangan, sekali-kali kau jangan mati,” teriak orang itu dengan tertawa. “Jika kau mati, lalu siapa lagi yang akan mengiringi aku minum arak?”

Sembari bergelak tertawa ia lantas berpaling, cahaya lampu menyinari mukanya dengan terang.

Tertampak mukanya corang-coreng penuh garis-garis bekas luka, kalau dipandang sepintas lalu terasa sangat jelek dan menakutkan. Tapi kalau dipandang lagi lebih cermat, rasanya wajahnya cerah dan halus tiada sesuatu codet apa pun, matanya yang besar dan mencorong terang, hidungnya mancung, bibirnya yang tipis dengan senyumnya yang kemalas-malasan....

Sungguh di dunia sukar dicari orang lain yang mempunyai daya tarik lebih kuat dari pada orang ini.

Inilah dia yang senantiasa dirindukan orang siang dan malam, anak muda yang tak dapat terlupakan, ya dicinta, ya dibenci, ya menggeregetkan.

Siapa lagi dia kalau bukan Kang Siau-hi alias Siau-hi-ji.

Wahai Siau-hi-ji!!

Ke manakah kau selama ini, mengapa kau bisa muncul di sini?

Mengapa pula kau terkurung di gua ini dan apa pula hubunganmu dengan si nona jelita cendikia So Ing?

Perbuatan aneh dan kegemparan apa lagi yang telah kau lakukan?

Melihat Siau-hi-ji mau berpaling ke arahnya, mata So Ing bercahaya, ucapnya dengan tersenyum lembut, “Sejak tadi kau berteriak-teriak meminta aku mengiringimu minum, sekarang aku sudah datang, mengapa tidak kau berikan cawan araknya?”

Siau-hi-ji berkedip-kedip, katanya dengan tertawa, “Jika betul kau hendak mengiringi aku minum, mengapa kau tidak masuk kemari?”

Tapi So Ing lantas menggeleng, jawabnya, “Biar kuminum di luar sini, kan sama saja?”

“Mana bisa sama?” kata Siau-hi-ji dengan sungguh-sungguh. “Jika mau, kau harus duduk di sampingku, mengajak bicara padaku, dengan demikian barulah aku dapat minum dengan baik. Bukankah tadi sudah kukatakan, betapa kurindukan dikau?”

Sinar mata So Ing tampak berkilau-kilau, wajahnya bersemu merah, jawabnya dengan tertawa dan menunduk, “Meski aku berada di luar sini, kau tetap dapat melihat aku.”

“Tapi akan lebih baik jika kau masuk ke sini.”

“Tidak, lebih baik aku tidak masuk ke situ.”

Sekonyong-konyong Siau-hi-ji melonjak bangun dan mendamprat, “Kau budak busuk, budak mampus! Siapa yang ingin kau mengiringi kuminum? Lekas kau enyah dari sini!”

Namun So Ing tidak marah sama sekali, sebaliknya ia menjawab dengan tertawa, “Pokoknya aku tidak ambil pusing, biar kau rayu juga aku takkan masuk ke situ, kau mencaci maki tetap juga aku tidak mau masuk ke situ.”

“Mengapa kau tidak mau masuk kemari!” Siau-hi-ji meraung murka. “Memangnya kau takut kumakan kau? Aku kan bukan Li Toa-jui?”

“Kutahu engkau tidak makan manusia,” ucap So Ing dengan tertawa. “Tapi aku pun tahu, apabila kubuka pintu dan masuk ke situ, kesempatan mana akan kau gunakan untuk kabur, betul tidak?”

Siau-hi-ji mencibir, jengeknya, “Hm, kau bukan cacing pita di dalam perutku, dari mana kau tahu isi hatiku?”

So Ing hanya tersenyum saja dan tidak menanggapi.

Siau-hi-ji berputar-putar beberapa kali di dalam, tiba-tiba ia berhenti pula di depan si nona, katanya dengan tertawa, “Kutahu kau ini orang bajik, bahkan sangat baik padaku, kumaki kau, sama sekali kau tidak marah. Tapi mengapa kau sengaja mengurung aku di sini? Untuk apa?”

So Ing menghela napas, jawabnya, “Masa kau tidak tahu maksudku?”

“Aku justru ingin mendengarnya darimu?” kata Siau-hi-ji.

“Kutahu engkau ini orang suka bergerak, watakmu juga pemberang, jika tidak kukurung di sini, sejak kemarin-kemarin engkau sudah pergi. Padahal sampai saat ini lukamu belum lagi sembuh, bila mana engkau bergerak, tentu bisa tambah parah.”

“O, jadi kau ini bermaksud baik?” tukas Siau-hi-ji dengan tertawa.

So Ing hanya tersenyum saja tanpa menjawab.

Siapa tahu mendadak Siau-hi-ji berjingkrak gusar pula, teriaknya, “Tapi aku tidak sudi menerima kebaikanmu ini. Aku akan mati atau tetap hidup adalah urusanku dan tiada sangkut-pautnya denganmu. Jangan kau sangka setelah menyelamatkan aku, lalu aku harus menuruti segala kehendakmu dan berterima kasih padamu dan....”

“Aku... aku kan tidak minta engkau berterima kasih padaku, bukan?” ucap So Ing sambil menunduk.

Siau-hi-ji berputar kayun beberapa kali pula di dalam ruangan, tiba-tiba ia berkata dengan tertawa, “Bicara terus terang, untuk apakah kau menolong aku, sungguh aku tidak mengerti.”

So Ing terdiam sejenak, jawabnya kemudian dengan perlahan, “Hari itu kebetulan kudatang ke Thian-gua-thian (surga di langit)....”

Baru satu dua kalimat ia bicara, mendadak Siau-hi-ji melonjak murka pula dan meraung, “Huh, Thian-gua-thian apa? Di sana tiada lain cuma sebuah liang tikus belaka.”

So Ing tertawa dan berkata, “Baiklah, anggap saja liang tikus, engkau kan tidak perlu marah toh?”

“Kenapa aku tidak marah,” teriak Siau-hi-ji. “Bila mendengar kata-kata ‘tikus’ langsung kepalaku sakit.”

“Tapi kata-kata ini kan kau sendiri yang mengucapkannya dan bukan aku,” ujar So Ing.

“Kepalaku sakit bila mendengar ucapan orang, apa lagi aku sendiri yang mengatakannya, kepalaku jadi tambah sakit,” omel Siau-hi-ji.

“Jika begitu kan tidak perlu kau katakan, toh tiada orang yang memaksa kau bicara,” ujar So Ing dengan tertawa.

“Tapi mulutku terasa gatal bila tidak bicara, apa lagi aku....” sampai di sini Siau-hi-ji geli sendiri, ia pun merasa dirinya terlalu kepala batu dan ingin menang sendiri. Ia berpaling ke sana sambil menahan tawa, katanya, “Kenapa tidak teruskan ceritamu?”

“Oya, hari itu kebetulan kudatangi Thian.... O, liang ti....” mendadak So Ing serba salah, sebab Siau-hi-ji melarang dia bilang “Thian-gua-thian” dan juga tidak boleh berkata tentang “tikus.” Diam-diam ia merasa geli, terpaksa ia menggigit bibir dan berganti kalimat, “Hari itu kudatang ke sana, maksudku hendak mengambil bahan obat-obatan yang mereka kumpulkan bagiku itu. Tak tersangka di sanalah kulihat engkau kebetulan juga berada di sana.”

“Akulah yang sial bisa datang ke tempat setan sana, kau pun sial karena bertemu dengan aku,” kata Siau-hi-ji.

“Tapi waktu berjumpa denganmu tempo hari, sedikit tanda sial saja tak kulihat pada dirimu. Meski baju yang kau pakai waktu itu compang-camping, namun sikapmu dan lagakmu seperti pangeran yang memakai baju yang paling indah dan paling mewah di dunia ini.”

Siau-hi-ji duduk sambil melipat kakinya, katanya, “Lalu? Bukan saja lagakku menarik, memang potonganku kan juga tidak jelek.”

“Betul,” tukas So Ing sambil tersenyum, “engkau memang tidak jelek, lebih-lebih sepasang matamu....”

“Dan alisku, hidungku, mulutku, apakah semua ini kurang baik?” seru Siau-hi-ji.

“Ya, ya, dari kepala sampai kakimu, tiada satu pun yang jelek, semuanya bagus... nah, cukup?” So Ing tertawa nyekikik.

Siau-hi-ji menenggak araknya seceguk, jawabnya dengan tertawa, “Ehm, boleh juga....”

So Ing tertawa terpingkal-pingkal, dengan napas terengah-engah, ia berkata pula, “Sungguh aneh kau ini, sengaja memaksa orang lain bilang kau ini bagus, cakap, ganteng. Orang seperti engkau ini sungguh belum pernah kulihat.”

“Orang seperti diriku ini memang tidak bisa sering-sering terlihat,” ucap Siau-hi-ji sambil mencibir.

“Sebenarnya aku bukan orang yang mudah terkejut, tapi ketika kulihat kau, aku menjadi....”

Dengan tertawa Siau-hi-ji menukas, “Waktu melihat diriku, matamu terbelalak terkesima, mulutmu ternganga seakan-akan melihat hantu, sungguh ketika itu ingin kujejal mulutmu dengan sebutir telur.”

So Ing mengikik tawa, katanya, “Soalnya aku memang merasa heran.”

“Apa yang kau herankan?” tanya Siau-hi-ji.

“Yang kuherankan pertama adalah mengapa... mengapa engkau bisa berada di sana.”

Siau-hi-ji terdiam sejenak, katanya kemudian sambil berkerut kening, “Sudah tentu ada sebabnya, cuma... cuma kau pun tidak perlu tahu, karena untuk apa dan cara bagaimana kudatang ke tempat setan itu, semuanya tiada sangkut-pautnya dengan kau.”

“Ada lagi yang membuatku heran, yakni, sama sekali tiada tanda-tanda merasa takut pada dirimu meski berada di tempat begitu,” ucap So Ing dengan gegetun.

“Apa yang perlu kutakuti?” jengek Siau-hi-ji. “Tempat yang lebih seram dan lebih mengerikan juga sudah banyak kulihat.”

“Tapi pernahkah kau lihat orang yang... yang lebih menakutkan dari pada Gui Bu-geh?” tanya So Ing.

Seketika Siau-hi-ji tak dapat menjawab lagi, tangannya yang memegang cawan arak seperti rada gemetar sehingga arak di dalamnya hampir tercecer keluar.

Dengan menghela napas So Ing menyambung lagi, “Semenjak berumur tujuh atau delapan tahun hampir setiap dua-tiga hari satu kali pasti aku menemui dia, tapi sampai saat ini, apabila kulihat wajahnya, rasanya aku tetap menggigil ketakutan padanya.”

Mendadak Siau-hi-ji gabrukkan cawannya di atas meja dan berteriak, “Tapi aku tidak takut padanya, aku cuma merasa mual, ingin muntah bila melihat cecongornya itu. Wajahnya, tampangnya itu pada hakikatnya bukan manusia, dia... dia hakikatnya adalah hantu yang diciptakan secara gado-gado dari seekor tikus, seekor rase, seekor serigala dan dibumbui dengan sebotol racun dan sebotol karbol....”

Hampir So Ing tertawa geli pula, ucapnya, “Apa pun juga, berhadapan dengan Gui Bu-geh, engkau tetap gagah dan angkuh. Padahal orang lain pasti ketakutan setengah mati bila bertemu dengan dia.”

Siau-hi-ji mendengus, tapi tiba-tiba ia pun tertawa dan berkata, “Bicara terus terang, waktu kulihat kalian, dalam hatiku juga merasa geli. Bila mana kalian duduk bersanding, mirip benar satu porsi Ang-sio-bak berjajar dengan satu porsi tahi kerbau. Sungguh di dunia ini sukar dicari keadaan yang tidak serasi seperti kalian.”

So Ing menunduk dan terdiam sejenak, katanya kemudian dengan rawan, “Meski dia bukan orang baik, tapi terhadapku... terhadap diriku dia selalu amat baik, selama sepuluh tahun ini, boleh dikatakan tidak pernah mengecewakan aku, apa pun yang kuinginkan selalu dipenuhi olehnya.”

“Hm, siluman ingin menjilat si cantik, adalah pantas kalau dia bersikap baik padamu.”

Kembali So Ing terdiam sejenak, lalu berkata dengan tertawa, “Waktu engkau mendadak menerobos masuk ke tempatnya dan berani pula melotot dan meraung padanya, mau tak mau ia pun kaget. Selama ini belum pernah kulihat seseorang dapat membuat air mukanya berubah, tapi ketika dia melihatmu, sorot matanya seakan-akan menghijau.”

“Semula mungkin mereka mengira besi tua yang dia pasang di mulut gua itu dapat merintangi aku, tak tahunya benda-benda itu bagiku tidak lebih hanya seperti permainan anak kecil saka,” kata Siau-hi-ji sambil tergelak-gelak.

“Kau anggap benda-benda itu besi tua dan permainan anak kecil, tapi tahukah alat-alat perangkap itu telah banyak mengambil korban?”

“Brak,” mendadak Siau-hi-ji menggebrak meja, teriaknya, “Hah, tahu begitu, permainan itu tentu sudah kubakar ludes.”

“Justru lantaran kau mampu menerobos melalui kedelapan belas pesawat rahasia yang dia pasang itu maka dia rada jeri padamu,” tutur So Ing. “Makanya meski engkau bersikap garang dan meraung padanya, dia tetap diam saja....”

“Jika dia sudah tahu kelihaianku, mengapa dia menyuruh beberapa orang tolol itu mengantarkan kematiannya?” tukas Siau-hi-ji.

“Dia sendiri tidak turun tangan melainkan menyuruh anak muridnya saja, tujuannya ingin menjajal sampai di mana dan asal usul ilmu silatmu. Sudah tentu ia pun tahu anak buahnya itu pasti bukan tandinganmu.”

“Haha, memangnya kau kira aku tidak tahu jalan pikirannya? Makanya aku justru menyembunyikan gaya asal usul ilmu silatku.”

“Ya, aku pun heran ketika melihat gaya permainanmu,” ujar So Ing dengan tertawa.

“Kau heran? Memangnya kau mengerti apa?”

“Meski aku malas belajar silat, tapi sedikit banyak aku pun tahu banyak gaya dan gerakan ilmu silat dari berbagai aliran dan golongan di dunia ini. Hihi, ilmu silatmu ternyata....” So Ing tertawa dan menyambung pula. “Ilmu silatmu ternyata lebih aneh dari pada dirimu, sekali tempo jurus yang kau mainkan tampaknya seperti gaya silat Bu-tong-pay, tapi kalau dilihat lebih teliti, ternyata bukan. Terkadang....”

“Terkadang kau sangka itu satu porsi pecal lele, setelah didekati ternyata satu porsi gado-gado, begitu bukan?” tukas Siau-hi-ji dengan gegetun.

“Betul, seakan-akan seluruh ilmu silat di dunia ini semuanya kau pelajari walau pun cuma sedikit-sedikit, tapi gaya yang kau mainkan justru berlainan.”

“Ilmu silatku memang terdiri dari satu porsi cap-cay, campur-aduk seperti gado-gado,” seru Siau-hi-ji sambil tertawa. “Tapi lantaran cap-cay ini hasil buatan dari belasan koki termasyhur, meski tampaknya tak keruan, tapi rasanya lumayan juga.”

Seperti diketahui, guru yang mengajarnya mula-mula memang tidak cuma seorang saja, apa lagi ilmu silat Ha-ha-ji, To Kiau-kiau, Im Kiu-yu, Li Toa-jui, Toh Sat dan lain-lain memang juga campur aduk. Sebab itulah sebelum meninggalkan Ok-jin-kok, sudah berpuluh macam ilmu silat yang dipelajarinya.

Setelah dia meninggalkan sarang penjahat itu, setiap jago silat yang pernah dijumpainya, sedikit banyak ia pun berhasil mencuri beberapa jurus dari mereka. Akhirnya ditambah lagi kitab pusaka ilmu silat yang diketemukannya di istana bawah tanah itu, bahkan ilmu silat yang tercantum dalam kitab itu adalah intisari ilmu silat hasil karya tokoh-tokoh terkemuka dari berbagai aliran dan golongan.

Jika Siau-hi-ji dibandingkan dengan Hoa Bu-koat, maka ilmu silat Hoa Bu-koat boleh diibaratkan satu porsi nasi rawon yang dibuat oleh seorang koki pandai dari bahan-bahan pilihan. Sedangkan ilmu silat Siau-hi-ji benar-benar satu porsi gado-gado yang masih segar. Nasi rawon memang enak, tapi gado-gado juga tidak kurang lezatnya.

Begitulah dengan tertawa So Ing lantas berkata pula, “Sesungguhnya Cui Bu-geh juga tidak menyangka bahwa dia sendiri pun tidak dapat mengenali gaya ilmu silatmu.”

“Sebab itulah sejak mula dia hanya duduk saja tanpa turun tangan, begitu bukan?”

“Ehm,” So Ing tersenyum.

“Memangnya dia dapat menyaksikan anak buahnya kubinasakan begitu saja?”

“Walau pun orang-orang itu adalah muridnya, tapi semuanya belum termasuk hitungan dan bukan murid kesayangannya, apa lagi mati hidup orang lain pada hakikatnya tidak pernah dipusingkan olehnya, asalkan menguntungkan dia, sekali pun kepala anaknya sendiri harus dipenggal juga dia tidak keberatan.”

“Hm, memang sejak mula kutahu dia bukan manusia!” teriak Siau-hi-ji dengan gusar. “Nyatanya dia bahkan lebih rendah dari pada binatang.”

“Dan demikian setelah kau bereskan beberapa orang itu, lalu dia menyilakan kau duduk dan kau pun benar-benar duduk... Ai, kau kan orang pintar, masa tidak tahu tindakannya itu pasti tidak bermaksud baik?”

“Justru lantaran kau anggap diriku ini mahapintar, kuyakin apa pun permainan yang akan dia keluarkan pasti takkan mampu terlepas dari genggamanku.”

“Tapi akhirnya kau toh tertangkap juga,” ucap So Ing dengan gegetun.

Siau-hi-ji melotot, jengeknya, “Hm, kau tahu apa? Jika adu akal, masih jauh dia ketinggalan.”

“Tapi... tapi kau tetap....”

“Adu akal dia tak dapat melawanku, tapi mengadu tenaga aku pun tak dapat melawannya,” kata Siau-hi-ji menyesal. “Terus terang, sesungguhnya aku pun tidak menyangka ilmu silat binatang itu ternyata begitu lihai.”

“Konon pada dua puluh tahun yang lalu ilmu silatnya sudah tergolong top di antara beberapa tokoh terkemuka yang dapat dihitung dengan jari,” tutur So Ing. “Sebabnya Cap-ji-she-shio bisa malang melintang di dunia Kangouw boleh dikatakan adalah berkat pengaruhnya melulu.”

“Hal ini memang betul dan bukan bualan,” tukas Siau-hi-ji. “Tokoh-tokoh Cap-ji-she-shio yang lain juga sudah pernah kujumpai, kalau dibandingkan dia, ilmu silat mereka boleh dikatakan tidak ada artinya.”

“Pada dua puluh tahun yang lalu,” tutur So Ing pula, “Dia mengira ilmu silatnya sudah tiada tandingannya di kolong langit ini. Tapi kemudian dia kebentrok dengan Ih-hoa-kiongcu dan mungkin kecundang, maka dia lantas cuci tangan dan mengasingkan diri ke sini. Selama dua puluh tahun ini siang dan malam dia tekun meyakinkan ilmu. Menurut ceritanya, sekarang biar pun Ih-hoa-kiongcu kakak beradik maju sekaligus juga bukan tandingannya.”

“Hahaha!” Siau-hi-ji bergelak tertawa. “Ini jelas membual belaka. Tidak perlu Ih-hoa-kiongcu sendiri, cukup muridnya saja pasti akan membuatnya keok dan minta ampun.”

Berkilau sorot mata So Ing, tanyanya, “Ada berapa orang murid Ih-hoa-kiongcu?”

“Yang perempuan entahlah, yang lelaki hanya ada satu.”

“Dan kau... kau sahabat muridnya itu?” tanya So Ing dengan pandangan lekat-lekat.

Siau-hi-ji menghela napas menyesal, jawabnya, “Mestinya kami dapat bersahabat, tapi sekarang... sekarang seakan-akan harus menjadi musuh.”

“O, bagus, bagus sekali!” kata So Ing dengan tersenyum.

“Apa? Bagus?” Siau-hi-ji melotot.

So Ing menunduk dengan mengulum senyum dan tidak menjawabnya.

Sudah tentu Siau-hi-ji tidak paham maksud ucapan si nona, lebih-lebih tidak tahu bahwa pada saat itu Hoa Bu-koat sudah mendekati ajalnya. Dia memandang si nona dengan terbelalak, sejenak kemudian baru berkata pula, “Waktu dia menyilakan aku duduk, sudah tentu aku pun menyadari dia pasti akan menjebak aku dengan tipu muslihatnya, tapi yang kutakutkan cuma mengadu kekuatan dengan dia dan tidak gentar untuk mengadu akal, makanya aku lantas duduk tanpa sungkan.”

“Sebenarnya kursi itu terpasang pesawat rahasia,” tutur So Ing dengan tertawa. “Asalkan jarinya menekan sedikit, segera orang yang duduk di kursi itu akan terjerumus ke dalam liang bergolok, betapa pun tinggi ilmu silatnya juga pasti akan binasa.”

“Betulkah begitu lihai?” tanya Siau-hi-ji.

“Bukan cuma ilmu silatnya saja yang tinggi, dia juga mahir macam-macam ilmu pengetahuan yang lain,” tutur So Ing, “Ia yakin asalkan menggerakkan alat rahasianya, maka kau pasti akan binasa, makanya dia tidak ingin membuang tenaga untuk bergebrak dengan kau.”

“Mungkin dia tidak menyangka bahwa setelah dia menggerakkan alat rahasianya dan aku masih tetap duduk saja dengan bergeming,” kata Siau-hi-ji dengan tertawa.

“Ya, bukan saja dia terheran-heran, bahkan aku pun sangat heran,” kata si nona.

“Hahaha!” Siau-hi-ji terbahak-bahak. “Terus terang, sebelumnya sudah kulihat kursi itu tidak beres. Sebab itulah tampaknya aku duduk, tapi sebenarnya pantatku tidak pernah menyentuh kursi.”

“Hihi, kau benar-benar setan cerdik,” So Ing mengikik.

“Kemudian aku memaki dia, tak tersangka binatang tua itu terlebih keras dari padaku, dia terus melabrak diriku. Melihat dia mulai pakai kekerasan, segera aku menyadari urusan bisa runyam.”

“Tapi kau tetap sempat bergebrak cukup lama dengan dia. Pertarungan sengit itu sungguh tak pernah kulihat sebelumnya.”

“Binatang tua itu memang lihai, ilmu silatnya tinggi, jurus serangannya keji, caranya juga licin, seumpama ilmu silatku lebih tinggi dari pada dia juga sukar mengalahkan dia.”

“Dia sendiri juga bilang begitu, sekali pun ilmu silat orang lain lebih tinggi juga belum tentu bisa mengalahkan dia, sebab setiap jurus serangan yang dimainkannya selalu diperhitungkan dan dia lebih dulu menduduki tempat yang tak terkalahkan.”

“Justru lantaran dia selalu menyisihkan sebagian tenaganya sebagai cadangan, makanya aku sanggup berkutek sekian lama dengan dia. Tapi aku pun tahu, apabila aku meleng sedikit saja pasti akan binasa di tangannya.”

“Ya, di bawah tangannya memang tidak pernah ada lawan yang lolos dengan hidup,” ucap So Ing dengan gegetun.

“Tapi aku lantas berpikir, andaikan aku harus mati juga tidak sudi mati di tangan orang macam begitu,” ujar Siau-hi-ji.

“Maka... maka kau lantas... lantas....”

“Lantas mundur setindak demi setindak, mundur ke pojok sana.”

“Di pojok ruangan itu pun ada pesawat rahasianya, bila kau menginjak bagian sana, segera akan menyambar pisau terbang.”

“Memangnya kau kira aku tidak tahu?”

“Kau tahu? Jika tahu mengapa mundur ke sana?”

“Justru lantaran kutahu di pojok sana ada alat rahasia dan kutahu dia hendak memancing diriku ke sana, makanya aku sengaja pura-pura terdesak dan menginjak alat rahasianya, begitu pisau menyambar keluar, aku pun pura-pura tak sempat menghindar dan membiarkan diriku terkena pisau.”
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar