Bakti Pendekar Binal Jilid 43

“Peduli Jinsom atau Kuisom (som setan), sekali kubilang tidak mau makan tetap tidak mau,” orang itu meraung pula.

Tapi So Ing malah tertawa dan berkata, “Ai, belum pernah kulihat orang seperti kau ini. Baik, baik, kau tidak mau makan, biar kubawa keluar.”

Bahwa gadis seperti So Ing manda menghadapi sikap kasar orang, hal ini benar-benar membuat Hoa Bu-koat keheranan. Diam-diam ia menerka siapa gerangan orang yang berani bersikap keras kepada So Ing itu, sesungguhnya tokoh macam apa dia?

Selang sejenak, tertampak So Ing muncul dengan tertunduk lesu.

Begitu masuk ke ruangan ini, segera si nona pulih lagi sikapnya yang angkuh dengan tidak tanduknya yang anggun. Cuma sekarang dia membawa semangkuk Jinsomtheng (kuah Jinsom atau Kolesom).

Diam-diam Bu-koat membatin, “Orang itu tidak mau minum air Jinsom ini, apakah sekarang hendak diberikannya padaku?”

Keadaan Bu-koat sekarang memang sangat memerlukan obat kuat seperti Jinsom dan sebagainya, tapi dalam hati ia sudah ambil keputusan, apabila si nona hendak menyuruhnya minum Jinsomtheng itu, maka dia juga pasti akan menolak.

Di luar dugaan So Ing langsung mendekati jendela, Jinsomtheng itu dibuang keluar, barang yang dibuatnya untuk “saudara” itu ternyata lebih suka dibuang dari pada diberikan pada orang lain.

Diam-diam Hoa Bu-koat menyengir sendiri.

Sementara itu So Ing telah mendekati tempat tidurnya, tanyanya dengan hambar, “Sekarang kau sudah merasa lebih baik bukan?”

Baru sekarang juga Bu-koat ingat pada penderitaannya waktu tertawa latah kemarin, kini benar-benar dirasakan bedanya seperti langit dan bumi. Mau tak mau ia menghela napas lega dan berucap, “Terima kasih nona!”

“Sekarang belum lagi waktunya kau berterima kasih padaku,” kata So Ing.

“Se... sebab apa?” tanya Bu-koat.

“Meski sekarang suara tertawamu sudah berhenti, tapi jarum itu masih ngendon di dalam Hiat-tomu, jarum itu terdesak oleh obatku hingga miring sedikit ke samping, tapi bila kau terlalu keras menggunakan tenaga, bukan mustahil penyakitmu akan kambuh lagi.”

“Lalu... lalu bagaimana baiknya?” tanya Bu-koat terkejut. Ia lebih suka mengorbankan segalanya dari pada menderita penyakit tertawa latah begitu.

“Bergantung pada dirimu sendiri, kau ingin mengeluarkan jarum itu tidak,” kata So Ing.

“Bergantung pada diriku sendiri?” Bu-koat menegas dengan melengak.

“Jarum ini sudah terlalu dalam menyusup ke Hiat-to, sekali pun disedot dengan benda sebangsa batu hitam (maksudnya, besi sembrani) juga sukar mengeluarkannya, jalan satu-satunya hanyalah menggunakan tanganmu sendiri, dengan tenaga dalam yang kuat mungkin kau dapat mendesaknya keluar.”

“Tapi... tapi saat ini sama sekali aku tak dapat mengerahkan tenaga sedikit pun,” kata Bu-koat.

“Dengan sendirinya saat ini kau tak bertenaga, kalau bertenaga tentunya kau tidak perlu mencari aku ke sini,” jengek So Ing.

“Apakah nona ada akal lain yang dapat membuat hawa murni di tubuhku berjalan lancar?”

“Sudah tentu ada, asalkan saja kau beritahukan padaku kunci Lwekang yang kau latih, nanti aku dapat membantu dari luar untuk melancarkan tenagamu dan mendesak keluar jarum berbisa itu.”

Cara bicara si nona sedemikian tenang dan hambar, seakan-akan hal ini adalah urusan biasa, seakan-akan Hoa Bu-koat pasti akan menuturkan rahasia Lwekangnya setelah mendengar ucapannya.

Dia sengaja bersikap demikian, sebab ia tahu hanya sikap dan cara bicara ketus beginilah baru tidak menimbulkan curiga Hoa Bu-koat, supaya pemuda itu tidak menyangka semua ini adalah perangkap yang sengaja diaturnya.

Hoa Bu-koat memang betul tidak berprasangka buruk. Namun Ih-hoa-ciap-giok adalah ilmu gaib yang paling hebat, rahasia paling besar dalam ilmu silat di dunia ini, jika dia disuruh menjelaskan begitu saja, mau tak mau ia menjadi ragu-ragu juga.

Setelah memandangnya sejenak, kemudian So Ing berkata pula dengan perlahan, “Barangkali kau khawatir aku mencuri belajar Lwekangmu?”

“O, Cayhe tiada maksud begitu, cuma....”

“Orang macam diriku ini, apabila mempunyai setitik pikiran suka pada ilmu silat, maka saat ini sekali pun belum terhitung jago nomor satu di dunia rasanya pasti juga sudah mendekati,” So Ing menghela napas, lalu menyambung pula dengan dingin, “Orang yang meyakinkan ilmu silat seperti kalian ini selalu anggap ilmu silat seperti benda mestika, padahal bagi pandanganku pada hakikatnya tidak laku sepeser pun.”

Habis berkata segera ia melangkah pergi.

“He, nanti dulu, nona,” seru Bu-koat.

So Ing menjengek tanpa menoleh, “Bicara atau tidak terserah padamu, aku mau mendengarkan atau tidak juga belum pasti.”

Bu-koat menghela napas, katanya, “Lwekang yang kulatih itu disebut ‘Ih-hoa-ciap-giok’, pada dasarnya ialah....”

********************

Waktu senja sudah tiba pula, Pek San-kun suami istri bersama Kang Giok-long dan Thi Peng-koh telah menunggu cukup lama di gardu kecil di mulut lembah sana. Dari air muka mereka jelas terlihat rasa gelisah dan tidak sabar menunggu lagi.

Kang Giok-long tidak tahan, ia berkata dengan tertawa, “Sungguh tak dapat kubayangkan orang macam apakah nona So itu? Mengapa kedua Cianpwe sedemikian kagum padanya.”

“Setan cilik,” jawab Pek-hujin dengan tertawa, “Supaya kau tahu, apabila kau bertemu dengan dia, mungkin bicara saja kau tidak sanggup.”

“Ah, tidakkah ucapan Cianpwe ini berlebihan? Masakan Cayhe begitu....” sampai di sini mendadak ia tak sanggup melanjutkan lagi dengan mulut ternganga.

Rupanya dilihatnya ada seorang bidadari bermantel bulu sedang melangkah tiba di bawah cahaya mentari senja, seekor bangau putih dengan jengger merah berjalan menegak di depannya, seekor menjangan jinak mengikut di belakangnya, angin meniup lembut mengusap rambutnya yang rada kusut, sebelah tangannya membelai perlahan... Hanya gaya belaian ini saja sudah cukup membuat setiap lelaki di dunia ini menahan napas, apabila adegan ini hendak dilukis, rasanya sukar dibayangkan oleh pelukis mana pun juga.

Mungkin dia tidak terlalu cantik, tapi keanggunannya, keluwesannya, sungguh tiada bandingannya.

Kang Giok-long melotot kesima seperti orang mabuk, mana dia sanggup bicara lagi.

Pek-hujin melirik sekejap, lalu memapak ke sana, sapanya sambil tertawa, “Adikku yang baik, kau benar-benar datang.”

“Apa yang sudah kukatakan bilakah pernah kuingkari?” jawab sang “bidadari” alias So Ing dengan acuh.

Pek San-kun juga maju menyambutnya, katanya dengan tertawa, “Sudah tentu, masa perlu disangsikan lagi. Tentang rahasia Ih-hoa-ciap-giok itu pasti adik sudah berhasil mengoreknya.”

“Betul, sudah berhasil kutanyai dia,” kata So Ing.

“Terima kasih, terima kasih,” seru Pek San-kun.

“Sekarang kau belum terburu-buru berterima kasih padaku,” jengek So Ing.

Cepat Pek-hujin menyambung pula, “Memangnya, kenapa kau tidak sabaran begitu. Kan lebih dulu kita harus menyilakan duduk adik baru nanti....”

“Aku takkan duduk dan segera akan pulang saja,” tukas So Ing ketus.

“Lantas... lantas... Ih-hoa-ciap-giok itu, apakah adik sudah mencatat dengan baik?” tanya Pek-hujin.

“Untuk apa dicatat, masakan aku tidak dapat mengingatnya di luar kepala?”

“Betul, betul,” seru Pek San-kun dengan tertawa. “Siapa pun tahu daya ingat adik luar biasa, cuma....”

“Cuma kami tidak mempunyai kemampuan seperti adik,” sambung Pek-hujin dengan tertawa. “Maka bagaimana pun juga engkau....”

“Kalian juga tidak memerlukan kepandaian demikian,” ujar So Ing.

“Ya, ya dengan sendirinya adik akan menulisnya untuk kita, kenapa kau mesti terburu-buru,” omel Pek San-kun pada bininya.

“Sekarang aku pun tidak mau menulisnya untuk kalian,” ucap So Ing tak acuh.

Pek San-kun melengak, tanyanya, “Jika begitu, jadi... maksudmu....”

“Umpama kalian sendiri, apabila kalian mendapatkan sesuatu permainan menarik, apakah kalian rela segera diberikan lagi kepada orang lain?”

“Tapi ini... ini....” Pek San-kun jadi gelagapan.

“Habis kapan baru adik akan memberitahukannya kepada kami?” tanya Pek-hujin dengan mengiring tawa.

“Bisa jadi tiga hari lagi atau lima hari lagi, mungkin juga setengah tahun atau setahun lagi, nanti kalau aku sudah bosan, dengan sendirinya akan kukatakan pada kalian.”

Pek San-kun suami istri hanya saling pandang dengan tercengang. Kata Pek-hujin kemudian, “O, adikku yang baik, jangan engkau bergurau, masa pakai tahunan segala, bisa bikin orang kelabakan setengah mati.”

“Kelabakan sampai mati pun urusan kalian sendiri, peduli apa dengan aku?”

“Tapi... tapi adik kan sudah berjanji....”

“Aku cuma berjanji padamu akan mengorek keterangan Ih-hoa-ciap-giok dari Hoa Bu-koat, kan tak berjanji akan kuberitahukan rahasia itu padamu?”

Seketika Pek San-kun suami istri melenggong dan tidak dapat bersuara lagi.

Perlahan So Ing membalik tubuh sambil berkata, “Di pegunungan sunyi ini tiada sesuatu yang dapat disuguhkan kepada tetamu, aku pun tidak menahan kalian, silakan kalian pulang saja.”

Pek-hujin menjadi gelisah, cepat ia berseru, “Tunggu dulu, adik!”

“Kalian tentunya tahu apa yang sudah kukatakan selamanya takkan berubah, mengapa kalian mesti banyak urusan pula?” seru So Ing.

“Aku... aku ingin tahu bagaimana keadaan bocah she Hoa itu sekarang?” ucap Pek-hujin dengan menyesal.

“Dia sudah masuk tempatku ini, mati atau hidupnya adalah urusanku, kalian tidak perlu memikirkannya lagi.”

“Tapi apakah dia takkan....”

“Huh, bilakah pernah kulakukan hal yang memalukan? Malah aku takut membikin kotor tanganku,” setelah merandek sejenak, lalu ia menyambung pula, “Tapi kalian pun jangan khawatir, pasti tidak akan kulepaskan dia. Selama hidupnya mungkin takkan bertemu dengan siapa-siapa lagi.”

Habis berkata, tanpa menoleh ia terus melangkah pergi.

Terpaksa Pek San-kun suami-istri menyaksikan kepergian nona jelita itu dengan melongo, tiada satu pun berani merintanginya.

Selang sejenak, Kang Giok-long menghela napas gegetun dan berkata, “Orang kasar begitu, sungguh jarang terlihat.”

Thi Peng-koh melototnya sekejap dan menjengek, “Setelah orangnya pergi kau baru bisa bersuara bukan?”

Giok-long anggap tidak mendengar, katanya, “Jika budak itu tidak tahu ilmu silat sama sekali, kenapa Cianpwe tidak membekuknya saja tadi?”

Pek San-kun menghela napas, jawabnya, “Lothaucu (si kakek) memandangnya seperti mestika, barang siapa berani menyentuh sebuah jarinya, mustahil kalau tidak dilabrak habis-habisan oleh Lothaucu. Karena kami suami istri sekarang tidak ingin merecoki Lothaucu itu, terpaksa memberi kelonggaran juga pada nona angkuh itu.”

“Apa lagi,” sambung Pek-hujin dengan menyengir, “jangan kau kira dia lemah ibarat tenaga menyembelih ayam saja tidak ada, namun tipu akalnya sungguh tidak terhitung banyaknya. Hanya kita beberapa orang ini belum pasti mampu mengatasi dia.”

Giok-long tersenyum dan tidak menanggapi.

Pek San-kun memandangnya sejenak, tiba-tiba matanya bercahaya, ucapnya, “Kau penasaran bukan?”

“Ya, memang agak penasaran,” jawab Giok-long dengan tertawa.

“Apakah kau ingin mencobanya?” tanya Pek San-kun.

Sambil melirik Thi Peng-koh, Kang Giok-long cuma tersenyum saja tanpa menjawab.

Mendadak Pek San-kun menggablok pundak Giok-long, katanya sambil ngakak, “Hahaha, sudah lama kutahu kau mempunyai kepandaian khas terhadap perempuan, memang tepat jika kau mau mencobanya. Tampaknya budak itu pun sedang berahi, bisa jadi dia akan terpelet olehmu dan menceritakan semuanya padamu.”

“Ah, kepandaian khas apa yang kumiliki, janganlah Cianpwe berkelakar,” ucap Giok-long dengan tertawa sambil melirik Thi Peng-koh.

Pek-hujin lantas merangkul Thi Peng-koh, katanya dengan tertawa genit, “Adik yang baik, biarkan saja dia pergi, kujamin dia pasti tidak berani mengkhianatimu, jika dia berani menyeleweng, kepalanya pasti akan kupenggal bagimu.”

Begitulah dengan berlenggang Kang Giok-long memasuki lembah pegunungan yang indah itu, angin senja meniup sejuk, bunga harum semerbak, badan terasa enteng seakan-akan tulangnya tiada setengah kati beratnya.

Terhadap perempuan, Kang Giok-long yakin dirinya adalah seorang ahli, sudah berpengalaman, apa lagi menghadapi nona kecil muda belia begini, asalkan dia maju, mustahil takkan menundukkannya dengan mudah.

Yang paling melegakan hatinya ialah nona kecil ini tidak mahir ilmu silat sedikit pun, seumpama usahanya nanti gagal, paling-paling cuma mundur teratur saja dan takkan rugi apa-apa.

Apa lagi dalam keadaan perlu, malahan dia dapat memakai kekerasan, diperkosa saja nona itu, kalau beras sudah menjadi nasi, mau apa lagi nona itu, selain tunduk dan menurut belaka?

Sembilan di antara sepuluh perempuan kebanyakan memang seperti kuda binal, tapi kalau sudah mau kau tunggangi, tentu dia akan jinak dan membiarkan kau memasangi pelana dan membedalnya, segi ini cukup dipahami Kang Giok-long dengan jelas.

Contohnya Thi Peng-koh, dahulu nona itu suci bersih, keras dan kereng. Tapi sekarang, bukankah nona itu sudah ditundukkan?

Apa lagi seumpama nona So itu berwatak keras, mati pun tidak mau menceritakan rahasia apa-apa, bila perlu juga dapat ditinggal pergi lagi, kalau dia sudah menarik keuntungan dari si nona, yang rugi kan orang lain dan pasti bukan Kang Giok-long.

Setelah membikin neraca dan menghitung untung ruginya, makin dipikir makin gembira Kang Giok-long sehingga hampir lupa daratan.

Pada saat itulah sekonyong-konyong terdengar seorang membentaknya, “Siapa kau? Mengapa berani sembarangan menerobos ke tempat orang?”

Rupanya Kang Giok-long terlalu gembira sehingga tidak mengetahui So Ing sudah sejak tadi melototinya dari jauh.

Melihat yang menegurnya adalah nona So yang hendak dicarinya, segera Giok-long bersikap memelas seperti pengemis minta sedekah. Ia tahu perempuan selalu bersimpati pada kaum yang lemah.

“Sesungguhnya untuk apa kau datang kemari?” tegur So Ing pula sambil berkerut kening.

Giok-long menunduk, dengan sikap minta dikasihani dia menjawab, “Cayhe masuk ke sini secara sembrono, sungguh tidak sopan....”

“Jika tahu tidak sopan, sekarang juga seharusnya lekas kau keluar saja,” kata So Ing.

Tadinya Kang Giok-long sudah menyiapkan macam-macam ocehan manis dan muluk-muluk, ia mengira cukup akan menembus hati setiap gadis. Siapa tahu nona So ini ternyata mirip sebuah dinding yang kukuh, satu lubang saja tidak ada.

Kata-kata yang sudah terkumpul memenuhi perutnya kini sepatah saja belum sempat dikeluarkan, tiba-tiba So Ing lantas membalik tubuh dan berjalan kembali ke sana. Tentu saja Kang Giok-long rada bingung. Tapi dia memang cukup cekatan menggunakan otaknya, segera ia mendapat akal. Mendadak ia berseru, “Tunggu dulu, nona! Betapa pun juga mohon nona sudi menyelamatkan jiwaku.”

“Menolong jiwamu?” tanya So Ing sambil menoleh dan berkerut kening.

“Cayhe mengidap penyakit berat, kedatanganku ini hanya ingin mohon nona menolong....”

“Jika sakit, carilah tabib, di sini bukan rumah obat dan juga bukan tempat praktik tabib, untuk apa kau datang kemari?” sela si nona.

“Apabila orang lain dapat menyembuhkan penyakit Cayhe, tentu Cayhe tak berani mengganggu nona,” ucap Giok-long dengan rawan. “Cuma sayang, di dunia ini meski banyak tabib, tapi kebanyakan adalah kaum penipu dan pembual saja, bila mana mereka mempunyai kepintaran setitik sebagai nona saja, tentu... ai, tentu Cayhe tidak perlu lagi jauh-jauh datang ke sini untuk mengganggu ketenangan nona.”

Di dunia ini, salah satu akal tak berwujud yang paling ampuh ialah menjilat pantat, untuk ini Kang Giok-long jauh lebih paham dari pada siapa pun juga. Bukti memang nyata, air muka So Ing segera berubah lebih ramah walau pun mulutnya berucap dengan dingin, “Dari mana pula kau tahu aku dapat menyembuhkan penyakitmu? Siapa yang bilang padamu?”

“O, dari... dari seorang sahabat orang tua yang tidak sampai hati menyaksikan penderitaanku, beliau yang memberi petunjuk dan menyuruhku datang ke sini,” jawab Giok-long dengan menunduk. Lalu ia menyambung dengan menyengir, “Cianpwe itu sebenarnya melarangku menyebut namanya, tapi di depan nona mana berani kudusta. Beliau yang memberi alamat nona di sini ialah Pek San-kun, Pek-locianpwe dan istrinya.”

Kang Giok-long benar-benar menguasai tekniknya berdusta, maka dia harus menyelinginya dengan beberapa patah kata yang tidak penting tapi benar. Kata-kata benar ini bila sebelumnya sudah diketahui lawannya, maka hasilnya akan lebih cespleng.

Maklum, apabila kata-kata bohong seseorang diucapkan terlalu banyak, tentu tiada seorang pun yang mau percaya. Tapi jika di antara kata-kata bohong itu ada sebagian adalah kata-kata benar serta ditambah lagi kalimat-kalimat sanjung puji pada sasarannya, maka usahanya pasti akan lancar dan hasilnya pasti memuaskan.

Benar juga, air muka So Ing bertambah ramah tamah lagi, katanya sambil menggeleng, “Kedua orang itu hanya suka membikin repot padaku saja.”

Dari sikap dan ucapan orang, Kang Giok-long merasakan urusan telah banyak memberi harapan. Dia memang pintar melihat gelagat, menyusul segera ia berlutut di depan si nona dan berkata, “Penyakitku ini jelas tak dapat ditolong orang lain, apabila sekarang nona tidak... tidak kasihan padaku, maka biarlah lebih baik kumati di depan nona saja.”

Sepasang mata nona yang bening itu memandangnya lekat-lekat, sejenak barulah ia menghela napas dan berkata, “Ai, kau ini juga suka merepotkan orang....” Sambil berkata, kembali ia membalik tubuh dan melangkah pergi pula.

“He, jangan pergi nona, apa pun juga hendaklah nona menyelamatkan jiwaku!” seru Giok-long gugup.

Tiba-tiba So Ing mengikik tawa, ucapnya, “Tolol, aku pergi, memangnya kau tak dapat ikut kemari?”

Suara tertawa si nona benar-benar membuat tulang Kang Giok-long menjadi lemas seluruhnya, sebutan ‘tolol’ itu bahkan menggelitik hulu hatinya sehingga kalau bisa si nona hendak ditubruknya sekarang juga.

Begitulah akhirnya So Ing membawa Giok-long ke ruangan yang luas itu, api lilin sudah menyala, tempat tidur pun masih di situ, namun Hoa Bu-koat yang tadinya berbaring di ranjang itu entah berada di mana sekarang?

Melihat pinggang si nona yang ramping dengan gayanya yang menggiurkan itu, sungguh kalau bisa Kang Giok-long ingin merangkulnya sekarang juga. Tapi ia pun tahu, kalau ingin memelet seorang perempuan, maka cara yang paling baik harus bersabar dan tidak boleh bertindak secara kasar.

“Nah, sekarang boleh kau katakan dulu apa penyakit yang kau derita? Bagian mana yang merasa tidak enak?” demikian So Ing mulai bertanya.

“Yang sakit... yang sakit adalah bagian... bagian perut,” jawab Giok-long agak gelagapan. Maklum, pada hakikatnya dia tidak sakit apa-apa, terpaksa ia omong sekenanya.

“Sakit perut masa kau anggap penyakit?” ujar So Ing dengan tertawa.

Melihat si nona cuma tertawa saja, hati Giok-long tambah mantap, segera ia menambahkan, “Bukan saja perut Cayhe sakit, sekujur badan juga terasa sakit....”

“Hebatkah sakitnya?”

“Wah setengah mati rasanya!”

Tapi mendadak So Ing menarik muka dan berkata dengan ketus, “Tapi keadaanmu tidak mirip orang kesakitan.”

Giok-long jadi melengak. Apabila orang lain, saat itu mungkin mukanya sudah merah padam. Tapi Kang Giok-long tidak malu sebagai ahli pendusta, bukan saja mukanya tidak merah, bahkan lantas menjawab dengan tenang, “Di depan nona mana Cayhe berani sembarangan. Apa lagi, siapa pun juga bila melihat orang cantik bak bidadari seperti nona, betapa pun pasti akan melupakan rasa sakitnya.”

Ucapan ini tampaknya mengenai sasarannya. Terlihat So Ing tertawa manis, katanya, “Jika sakitmu lantas hilang setelah melihat diriku, lalu apa yang perlu disembuhkan lagi?”

“Apabila aku dapat senantiasa berada di sisi nona, biar pun mati kesakitan juga mau,” ujar Giok-long dengan cengar-cengir. “Cuma... cuma....”

Karena Lwekangnya sudah cukup tinggi, kini diam-diam ia mengerahkan tenaga dan didesak, segera dahinya timbul butiran keringat sehingga mirip orang yang menahan sakit.

Tampaknya So Ing menjadi khawatir juga, katanya, “Wah, kau kesakitan begini, ayolah lekas berbaring.”

Diam-diam Giok-long bergirang dalam hati, tapi di mulut ia sengaja berkata dengan suara gemetar, “Cayhe... cayhe tidak....”

“Masa tenaga untuk berbaring di ranjang saja tidak ada lagi?” kata So Ing.

Berulang-ulang Giok-long mengangguk dan menjawab lemah, “Ehmm... ehmmm....”

So Ing menghela napas, ucapnya dengan tertawa, “Jika pasienku semua seperti kau bisa berabe.”

Perlahan dia tarik bahu Kang Giok-long. Tentu saja Kang Giok-long berlagak seperti lemas lunglai, dia terus menggelendot ke tubuh si nona dan berbisik di pinggir telinganya, “Terima kasih nona.”

So Ing juga tidak marah sehingga Giok-long tambah berani, segera ia hendak merangkul. Tapi sekali menggeliat So Ing memberosot ke sana, omelnya dengan kurang senang, “Jika kau tidak berbaring dengan baik-baik, aku takkan gubris kau lagi.”

Cepat Giok-long mengiakan, katanya, “Baiklah, aku menurut.”

“Anak baik harus menurut, nanti Taci memberi permen padamu,” ucap So Ing dengan tertawa.

Melihat si nona setengah mengomel dan juga tertawa, gayanya yang menggiurkan membuat hati Kang Giok-long seperti dikili-kili. Sambil memegang perutnya ia pura-pura merintih, “O, sakit... sakit sekali, lekas... lekas nona memeriksanya.”

“Mana yang sakit?” tanya So Ing sambil mendekat.

Giok-long pegang tangan si nona dan digosok-gosoknya pada perutnya, katanya, “Di sini... di sini!”

Tangan si nona yang putih halus mulus seperti tak bertulang itu lantas meraba-raba perlahan di perut Kang Giok-long, sejenak kemudian ia bertanya dengan suara lembut, “Apakah sekarang sudah baikan?”

Giok-long memejamkan mata dan menjawab, “Ya, ya, sudah rada baikan... tapi engkau jangan berhenti, sekali berhenti segera sakit lagi.”

Tangan So Ing benar-benar memijatnya terus-menerus tanpa berhenti.

Tentu saja hati Kang Giok-long sangat senang juga merasa geli, diam-diam ia membatin, “Orang lain sama bilang nona So Ing ini betapa pintar dan betapa lihai, tapi menurut pandanganku dia tidak lebih hanya seorang gadis hijau pelonco saja yang baru mulai berahi, asalkan kugunakan sedikit akal, mustahil takkan menjadi makananku yang empuk?”

Tiba-tiba hidungnya mengendus bau harum, sebelah tangan So Ing yang putih mulus itu mendekati mulutnya, tangannya memegang satu biji obat yang berbau harum. Dengan suara lembut si nona berkata, “Inilah pil mujarab pelenyap sakit yang kubuat sendiri, selain bisa menghilangkan rasa sakit juga merupakan obat kuat. Setelah telan pil ini segera sakitmu akan lenyap.”

“Tidak, aku tidak mau,” Giok-long menggeleng.

“Mengapa tidak mau?” So Ing berkerut kening.

“Setelah kuminum pil ini, perutku lantas tidak sakit lagi, apabila perutku tidak sakit, bukankah nona lantas... lantas takkan memijatku pula?”

“Kau memang brengsek....” omel So Ing. “Baiklah, setelah minum obat pil ini, tetap akan kupijat kau.”

Omelan dengan tersenyum manis itu membuat sukma Kang Giok-long hampir terbang meninggalkan raganya. Dia tambah aleman, ucapnya, “Pil ini pahit tidak?”

“Pil ini tidak pahit, bahkan sangat manis, seperti permen,” kata So Ing dengan tersenyum. “Ayolah buka mulutmu, akan kusuap kau.”

Kang Giok-long lantas memejamkan mata dan membuka mulut, hatinya senang sekali.

Pada saat itulah tiba-tiba terdengar seorang berteriak di tempat kejauhan, “Mana araknya? Arak sudah habis lagi! Hai, budak cilik she So, lekas bawakan arak!”

So Ing berkerut kening dan berhenti memijat, katanya, “Berbaringlah baik-baik di sini, kupergi dan segera kembali.”

Dia seperti rada gelisah, belum habis ucapannya dia terus melangkah pergi dengan terburu-buru, tapi dia sempat menoleh dan memberi pesan, “Jangan bangun dan sembarangan berkeliaran, kalau tidak menurut tentu takkan kugubris kau lagi.”

Dalam pada itu orang tadi sedang meraung pula di kejauhan, “Budak she So, apakah kau tuli? Mengapa tidak lekas kemari?!”

“Ini dia, aku segera datang, segera kubawakan araknya,” seru So Ing dengan tertawa.

Diam-diam Giok-long sangat heran, pikirnya, “Nona So ini sungguh aneh. Orang lain bersikap hormat padanya, dia justru membalas dengan kaku dan ketus. Sebaliknya orang itu berteriak-teriak menyebut dia budak dan seakan-akan menganggap dia sebagai babu, namun dia justru benar-benar menuruti segala kehendaknya. Entah saudara itu mempunyai kepandaian apa yang dapat membuat si nona tunduk begitu?”

Sungguh dia ingin merangkak bangun untuk mengintip, tapi segera terpikir bahwa usahanya sudah kelihatan ada harapan, akan lebih baik kalau tidak sembarang bergerak supaya tidak menggagalkan urusan.

Karena itu ia lantas memejamkan mata pula dan membayangkan sebentar lagi si cantik akan berada dalam pelukannya serta dikeloninya, tidak ketinggalan pula rahasia ilmu silat yang diidam-idamkan setiap orang Bu-lim itu pun akan dapat diperolehnya.

Saking senangnya hampir-hampir ia tertawa, ia bergumam sendiri, “Wahai Pek San-kun, memangnya kau kira setelah kuperoleh rahasia ini akan kuberitahukan pula padamu? Hah, jika kau sangka aku akan memberitahukan rahasia yang kuperoleh ini, maka kaulah orang goblok nomor satu di dunia ini.”

“Siapa yang kau maksudkan paling goblok nomor satu?” tiba-tiba seorang bertanya dengan tertawa.

Diam-diam Giok-long terkejut, tapi segera ia menjawab dengan tertawa, “O, kumaksudkan barang siapa yang menyebut nona adalah budak, maka dia itulah orang goblok nomor satu di dunia.”

“Ah, itu kan ucapan si linglung, dan si setan arak tua itu, kita jangan gubris dia,” ujar So Ing dengan tertawa.

Legalah hati Kang Giok-long setelah mengetahui orang yang berteriak-teriak itu disebut “tua,” apa lagi si nona memakai istilah “kita” pula, sungguh mesra sekali kata-kata ini, saking senangnya sampai Kang Giok-long tertawa gembira, katanya, “Ya, ya, kita tidak perlu gubris dia.”

“Sedemikian gembira tertawamu, apakah perutmu tidak sakit lagi?” tanya So Ing.

“O, sakit, masih sakit....” cepat Giok-long berlagak meringis lagi. “Tolonglah nona memijat pula perutku.”

So Ing tertawa, kembali ia mengurut perut anak muda itu. Sekujur badan Kang Giok-long merasa enteng seakan-akan hendak terbang ke langit.

Setelah memijat sekian lama, dengan perlahan So Ing berkata pula, “Kukira yang benar dalam hatimu menganggap aku ini orang goblok nomor satu di dunia, betul tidak?”

Giok-long melengak, cepat ia jawab dengan tertawa, “Ah, mana berani kupikir begitu, memangnya aku ini sudah keblinger?”

“Kau anggap aku ini muda belia, masih hijau pelonco, tidak pernah bergaul, apa lagi menghadapi lelaki, tentu akan sangat mudah tertipu oleh lelaki. Sebaliknya kau merasa mempunyai kemampuan untuk memikat perempuan, cukup dengan rayuan gombalmu akan dapat membuat aku jatuh dalam pelukanmu. Bahkan rahasia Ih-hoa-ciap-giok itu akan kuberitahukan padamu tanpa kau minta, begitu bukan?”

Baru sekarang Kang Giok-long benar-benar terperanjat, tapi sedapatnya dia bersikap tenang, jawabnya sambil menyengir, “Ah, mana... mana bisa begitu? Nona... nona sendiri yang terlalu....”

Dengan dingin So Ing memotong, “Lagi pula kau pun tahu aku tidak mahir ilmu silat, sekali pun kuketahui maksud tujuanmu yang busuk juga tak tak dapat bertindak apa-apa padamu, sebab itulah kau jadi tambah berani, betul tidak?”

Saking kejutnya segera Kang Giok-long bermaksud melompat bangun. Tapi apa lacur, entah mengapa, sekujur badan terasa lemah lunglai tiada tenaga sedikit pun. Keruan ia menjadi takut dan berseru, “Jangan... janganlah nona salah sangka terhadap orang baik, sama sekali Cayhe tidak bermaksud begitu.”

“Huh, bukan saja kau bermaksud demikian, bahkan bila mana perlu kau akan memakai kekerasan, makan dulu urusan belakang, kau pikir aku toh tidak mampu melawan, apabila beras sudah menjadi nasi, apa lagi kalau sampai menjadi bubur, lalu bisa berbuat apa aku ini? Aku hanya tunduk dan menurut saja padamu.”

Sungguh celaka, berapa ekor cacing pita di dalam perut Kang Giok-long sekonyong-konyong dapat dihitung dengan jelas oleh si nona. Keruan sambil mendengarkan keringat dingin pun membasahi tubuh Kang Giok-long. Dengan suara gemetar ia berkata, “O, tidak, tiada maksudku begitu. Nona jangan menuduhku tanpa berdasar. Apabila aku mempunyai maksud jahat begitu, biarlah aku mati disambar geledek.”

So Ing tersenyum manis, ucapnya, “Dalam keadaan begini memangnya kau bisa mati dengan enak?”

Giok-long tambah ketakutan, serunya, “Nona... nona... aku... aduuh!”

Sekonyong-konyong ia menjerit ketika tangan So Ing yang masih terus memijat perutnya itu tiba-tiba meremasnya. Saking kesakitan sehingga keringat dingin membasahi seluruh badan pula. Ia sendiri heran mengapa sekarang dirinya berubah menjadi sedemikian takut sakit.....
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar