Bakti Pendekar Binal Jilid 42

Bu-koat dan Pek-hujin telah pergi, ruangan pendopo menjadi hening dan lebih seram. Cahaya matahari menyinari mayat yang berlumuran darah itu, darah segar itu seakan-akan bersemu kehijau-hijauan.

Pada saat demikianlah tiba-tiba Kang Giok-long muncul pula di situ, serunya sambil berkeplok tertawa, “Tipu daya Cianpwe benar-benar hebat, sungguh Tecu kagum dan tunduk sepenuhnya.”

“Mayat” yang tergantung di belandar itu mendadak tertawa ngekek, katanya, “Meski bagus juga akal ini, tapi hanya manusia macam orang she Hoa saja yang dapat tertipu. Bila mana kau atau aku mungkin tidak begitu mudah percaya kepada ocehan perempuan.”

“Ya, jika Cianpwe, tentunya si perempuan yang akan ditipu,” seru Giok-long sambil tertawa.

“Di dunia ini ada lelaki macam Hoa Bu-koat, tentunya juga ada lelaki seperti kau dan aku,” ucap si ‘mayat hidup’ alias Pek San-kun dengan terkekeh-kekeh, “Lelaki seperti kita ini memang dilahirkan untuk membela kaum lelaki.”

“Jika demikian, dilahirkannya Pek-hujin bukankah juga untuk membela kaum perempuan?” ujar Kang Giok-long dengan tertawa.

“Betul juga,” jawab Pek San-kun. “Apabila lelaki di dunia ini semuanya seperti kau dan aku kan kasihan kaum perempuan.”

“Mayat” itu sekarang sudah melompat turun, gagang belati di dadanya dicabut, tangan lain menarik ujung belati yang menembus punggung. Kiranya belati ini terdiri dari dua potong dan ditempelkan di tubuh Pek San-kun.

Karena ia tergantung menjungkir dengan berlumuran darah, ditambah lagi waktu itu masih remang-remang, Hoa Bu-koat sendiri sedang dirundung kesedihan dan penderitaan yang sangat sehingga tanpa sadar tertipu oleh Pek-hujin.

Padahal kalau Hoa Bu-koat pasti akan mati, lalu apa pula Pek-hujin menipunya? Kini dia membawa Bu-koat pergi mencari seorang penolong, siapa pula gerangan penolong yang dimaksudkan itu?

Dalam keadaan sadar tak sadar Bu-koat duduk di dalam kereta, Pek-hujin telah memberinya minum semacam obat penenang yang sangat keras dan membuatnya mengantuk. Tapi dia tidak dapat tidur pulas, begitu tidur lantas terjaga bangun oleh hasrat tertawanya sendiri. Kini dia sudah lemas lunglai karena terlalu banyak tertawa.

Baru sekarang Bu-koat tahu, tertawa tidak cuma mendatangkan kegembiraan terkadang juga semacam alat siksa yang sangat keji.

Untung kabin kereta kuda ini cukup relaks, entah dari mana Pek-hujin mendatangkan kereta kuda yang mewah ini, ia pun tidak tahu siapa saisnya, lebih-lebih tidak tahu kereta ini dilarikan ke mana?

Seorang sudah dekat ajalnya, kenapa mesti tidak percaya lagi kepada orang lain?

Begitulah selama tiga hari mereka dalam perjalanan. Selama tiga hari Pek-hujin menjaga dan merawat Bu-koat dengan penuh perhatian. Meski tidak berucap, tapi dalam hati Bu-koat merasa berterima kasih.

Menjelang senja hari ketiga, kereta menanjak ke suatu perbukitan, lalu berhenti. Di luar sana pemandangan indah permai laksana lukisan. Sejauh mata memandang, sungai memanjang seperti pita, bola matahari membara hampir terbenam di balik bukit sana, di bawah pancaran cahaya senja tertampak air sungai bertambah kemilauan.

Diam-diam Bu-koat membatin, “Sekali pun aku harus mati tanpa sebab, tapi dapat mati di tempat begini, rasanya juga tidak sia-sia perjalanan ini.”

Terdengar Pek-hujin menghela napas panjang, katanya dengan rawan, “Di sinilah orang itu bertempat tinggal, di sini juga kita harus berpisah.”

“Kau akan pergi?” tanya Bu-koat.

“Setiba di sini, mau tak mau aku harus pergi?”

“Sebab apa?”

“Watak orang itu sangat aneh, aku... aku tidak ingin bertemu dengan dia,” kata Pek-hujin sambil membuka pintu kereta dan memayang Bu-koat turun. Ia menuding jauh ke sana dan berkata pula, “Dapatkah kau lihat gardu di sana?”

Tertampak di antara pepohonan yang menghijau dan bunga mekar beraneka warna. Di sana ada sebuah gardu, sejalur air terjun menuangkan airnya ke bawah dari tebing di sebelah gardu, air muncrat memantulkan sinar berwarna-warni tersorot oleh cahaya matahari senja.

Bu-koat terpesona menghadapi keindahan alam ini, hampir-hampir ia mengira dirinya sudah berada di surga. Angin meniup sejuk membawa harum bunga semerbak, ia termangu-mangu sejenak, kemudian baru menjawab, “Ya, hahaha... kulihat.”

Suasana pegunungan sunyi senyap, hanya terkadang terdengar kicau burung dan bau harum bunga, suara tertawa Bu-koat yang sudah serak itu memecahkan keheningan.

“Setelah melintasi gardu kecil itu, kau akan melihat sebuah pintu batu bersembunyi di balik akar-akaran tetumbuhan di lereng tebing sana, pintu batu itu selalu terbuka sepanjang tahun, kau boleh langsung masuk ke sana,” demikian pesan Pek-hujin.

Diam-diam Bu-koat membatin dengan gegetun, “Orang yang tinggal di tempat luar biasa ini tentu bukanlah sembarang orang, sungguh menyenangkan aku dapat berjumpa dengan orang kosen, cuma sayang beginilah keadaanku sekarang.”

Terdengar Pek-hujin berucap pula, “Setelah kau masuk pintu batu itu, dengan sendirinya kau akan bertemu dengan orang itu. Asalkan sudah bertemu dengan dia, kalian pasti akan segera menjadi sahabat baik, sebab kalian berdua sama-sama orang yang luar biasa.”

“Hahaha, beginilah keadaanku, mana dapat aku disejajarkan dengan orang, hahaha...” kata Bu-koat sambil bergelak parau.

“Kau pun tidak perlu meremehkan dan menyiksa diri sendiri, biar pun orang itu sangat pintar, bahkan mahir segala macam ilmu pengetahuan, tapi dia juga belum tentu lebih unggul dari padamu.”

“Siapa namanya?”

“Namanya So Ing,” jawab Pek-hujin.

Bu-koat menghela napas menyesal, pikirnya, “Wahai So Ing, selamanya kita belum kenal, tapi aku akan minta engkau menolong jiwaku, apakah engkau tidak merasa geli?”

Didengarnya Pek-hujin berkata pula, “Setelah bertemu dengan dia, tentu akan dia tanya siapa yang membawamu ke sini, maka boleh kau sebut namaku saja... Oya, aslinya aku bernama Be Ek-hua.”

“Baiklah, kuingat,” kata Bu-koat.

Setelah termenung sejenak, kemudian Pek-hujin berkata pula, “Sekarang bolehlah kau masuk ke sana. Aku memang perempuan yang bernasib jelek dan bodoh, betapa pun tidak berani kuharapkan engkau akan mengenangkan diriku, asalkan engkau tidak takut lagi padaku, mati pun aku tidak penasaran.”

Bu-koat melengak, tanyanya, “Mati?... Masa... kau akan....”

Pek-hujin tersenyum sedih, ucapnya, “Selanjutnya hidupku tiada ubahnya sudah mati, engkau pun tidak perlu memperhatikan aku lagi, seterusnya di dunia ini tiada lagi perempuan bernasib malang seperti diriku....” tiba-tiba ia berhenti berucap lebih lanjut, ia membalik tubuh terus berlari ke keretanya dan dilarikan cepat ke sana.

Bu-koat melenggong sejenak, entak bagaimana perasaannya sukarlah dilukiskan.

Perempuan itu telah membikin susah dia sedemikian rupa, tapi sekarang dia malah berterima kasih, percaya penuh padanya, sedikit pun tidak merasa sangsi apa lagi dendam.

Setelah kereta kuda itu melintasi beberapa belokan bukit, mendadak kereta berhenti di kaki tebing sana, dari balik pepohonan muncul tiga orang. Mereka ialah Thi Peng-koh, Kang Giok-long dan Pek San-kun.

“Apakah bocah itu sudah kau antar ke sana?” tanya Pek San-kun dengan tertawa.

“Apa yang telah kukerjakan masa perlu diragukan?” jawab Pek-hujin dengan tertawa genit.

“Hujin benar-benar jantannya kaum perempuan, Tecu dapat mendampingi engkau selalu, sungguh beruntung sekali,” segera Kang Giok-long ikut mengumpak.

“Buset, setan cilik, manis juga mulutmu,” ucap Pek-hujin sambil nyekikik.

Pek San-kun menengadah dan bergelak tertawa, katanya, “Setelah Hoa Bu-koat bertemu dengan dia, tidak sampai tiga hari pasti dia akan menguraikan seluruh rahasia ilmu Ih-hoa-ciap-giok padanya. Maka kedua perempuan siluman Ih-hoa-kiong itu pun tidak panjang lagi umurnya.”

Kang Giok-long tampak berkedip-kedip, katanya kemudian, “Apakah orang itu benar-benar memiliki kepandaian sehebat itu?”

“Setan cilik,” omel Pek-hujin sambil tertawa, “jangan kau kira banyak sekali corak permainanmu, bila mana kau kebentur dia, biar pun kau mengeluarkan segenap kemahiranmu juga jangan harap akan mampu lolos dari tangannya.”

“Wah, masa ilmu silat orang ini begitu tinggi?” Giok-long menegas.

“Dia justru sama sekali tidak mahir ilmu silat,” tutur Pek-hujin.

“Hah, tidak mahir ilmu silat?” Giok-long mengulang ucapan itu dengan melengak, lalu ia tertawa, “Haha, masa orang tidak mahir ilmu silat bisa begini lihai?”

“Memangnya kau kira orang yang tinggi ilmu silatnya pasti lebih unggul dari pada orang lain?” kata Pek-hujin. “Supaya kau tahu, jika adu kekuatan, jelas dia kalah, tapi kalau adu akal, sepuluh Kang Giok-long juga tak dapat menandingi dia.”

“Ooo,” Giok-long tertawa. Dia sengaja menarik panjang suara “O” ini, suatu tanda dia tidak setuju.

“Kau tidak percaya?” tanya Pek-hujin. “Baik, coba jawab, aku ini bagaimana menurut pandanganmu?”

“Hujin mahahebat dan tiada taranya, mana ada bandingannya di dunia ini,” ucap Giok-long dengan khidmat.

“Hah, jangan menjilat pantat,” kata Pek-hujin dengan tertawa. “Kau bilang aku tiada bandingannya di dunia ini, tapi kalau dibandingkan dia aku ini belum masuk hitungan.”

“Nah, kau dengar tidak? Hahaha!” Pek San-kun bergelak tawa. “Biniku juga mengaku kalah pada orang lain, sungguh bukan urusan mudah.”

“Aku memang tidak tunduk pada siapa-siapa, hanya tunduk padanya,” kata Pek-hujin.

Kang Giok-long juga tertawa, katanya, “Dengan kepandaian Hujin saja Hoa Bu-koat telah dibikin kelabakan setengah mati, bila mana bocah she Hoa itu ketemu dia, bukankah setitik sinar harapan untuk hidup saja tidak ada lagi?”

“Memang,” kata Pek-hujin, “lelaki mana pun juga hanya ada jalan kematian saja bila mana berhadapan dengan dia, apa lagi Hoa Bu-koat yang masih hijau pelonco itu.”

“Sampai saat ini Tecu belum lagi mengetahui siapa namanya?” tanya Giok-long sambil menyengir.

“Setan cilik, apakah kau akan mengincarnya juga? Awas, gentong cuka di sebelahmu bisa berontak lagi,” kata Pek-hujin dengan tertawa sambil melirik Thi Peng-koh.

Thi Peng-koh tersenyum hambar, ucapnya, “Sesungguhnya Tecu juga ingin tahu siapa nama orang itu?”

“Dia bernama So Ing,” jawab Pek-hujin. “Ing dari Ing-toh, belimbing, tapi ingat, meski belimbing ini cantik dan manis, namun berbisa.”

********************

Sementara itu Hoa Bu-koat sudah memasuki pintu batu yang berwarna hijau gelap karena penuh lumut itu. Di balik pintu adalah gua sangat luas dan sunyi senyap, Bu-koat sendiri bingung entah dirinya berada di mana sekarang?

Dia masih tertawa dan tertawa terus, ia benci pada suara tertawanya sendiri yang mengganggu ketenangan tempat yang indah ini. Sedapatnya ia menutup mulut, tapi suara tertawa tetap tidak terbendung.

Berjalan sebentar lagi, gua ini semakin dalam diapit dinding batu di kanan kiri, makin jauh makin menyempit. Tapi tak jauh kemudian mendadak membentang lebar lagi, bahkan lantas terang benderang.

Kiranya di depan sana ada sebuah lembah sunyi, awan berarak di langit, bunga mekar di mana-mana, terdengar gemerciknya mata air, batu aneh berserakan di sana-sini, tertampak gedung berloteng yang megah di balik pepohonan sana.

Di kejauhan ada beberapa ekor bangau putih dan beberapa ekor menjangan sedang berkeliaran kian kemari, sama sekali binatang-binatang itu tidak takut pada manusia, bahkan mendekat seperti menyambut kedatangan tamu.

Selagi pikiran Bu-koat melayang-layang kesima, seekor bangau putih menggigit bajunya serta membawanya ke suatu jalan berbatu menuju semak-semak sana. Tampaklah kemudian di tepi sebuah sungai kecil berduduk sesosok bayangan perempuan.

Perempuan itu duduk menunduk seolah-olah sedang ngelamun, seakan-akan lagi bercengkerama dengan ikan yang berenang di sungai mengenang masa mudanya yang cepat berlalu dan tentang hidupnya yang kesepian.

Rambut _yang panjang gompiok terurai di atas pundak, bajunya yang tipis putih sebersih salju. Tanpa kuasa Bu-koat ikut bangau penyambut tamu tadi ke tepi sungai ini, ia menjadi kesima pula melihat bayangan di tepi sungai bersaing dengan bayangan orang di dalam air sungai.

Si gadis baju putih mendadak menoleh dan memandang Bu-koat sekejap.

Mendingan kalau gadis itu tidak menoleh, sekali menoleh, seketika bunga di lembah ini seakan-akan layu seluruhnya. Mata alis si gadis seperti lukisan, pipi dekik memesona, bibirnya yang merah itu agak besaran dan dahinya terasa agak lebar, namun sepasang matanya yang jeli dan terang cukup mengatasi semua kekurangan itu.

Mungkin gadis ini tidak secerah Thi Sim-lan, tidak selembut Buyung Kiu, tidak segenit Siau-sian-li, mungkin dia tidak tergolong sangat cantik. Akan tetapi keanggunannya yang tiada taranya membuat setiap orang merasa rendah diri dan tidak berani memandangnya lama-lama.

Kini sorot matanya mengunjuk rasa heran dan kurang senang seakan-akan sedang bertanya tamu yang tak diundang ini mengapa tertawa ngakak seaneh ini.

Muka Bu-koat menjadi merah, katanya kemudian dengan tergagap, “Cayhe Hoa... Hoa Bu-koat, ingin bertemu dengan So Ing, So-losiansing.”

Si gadis baju putih memandangnya sejenak, tiba-tiba ia tertawa, jawabnya “Di sini memang ada seorang So Ing, tapi bukan Losiansing (tuan tua).”

“Oo!” Bu-koat jadi melengak.

Dengan perlahan si gadis baju putih berkata pula, “Aku inilah So Ing.”

Bu-koat jadi benar-benar melenggong. Tadinya ia mengira “So Ing” yang dikatakan dapat menyembuhkan penyakit tertawanya itu tentu seorang tokoh tua Kangouw atau tabib ternama di dunia persilatan yang mengasingkan diri. Sama sekali tak terpikir olehnya bahwa So Ing yang dimaksud adalah seorang gadis cantik belum genap 20 tahun.

Si gadis So Ing bertanya pula dengan tersenyum, “Tempat terpencil di pegunungan sunyi ini, entah siapa gerangan yang mengantar Tuan ke sini?”

“Ini... ini....” Bu-koat menjadi gelagapan. Sungguh tak tersangka olehnya bahwa Pek-hujin menyuruhnya memohon pertolongan jiwa kepada seorang gadis jelita. Kini menghadapi senyuman yang hambar dan pandangan yang dingin ini, ia menjadi lebih tidak enak mengucapkan kata-kata memohon.

“Jauh-jauh Tuan telah datang kemari, masa sepatah kata saja tak dapat berucap?” kata So Ing pula. Meski cukup ramah ucapannya, namun sudah timbul rasa hina terhadap tamu asing yang terus tertawa keras ini. Sambil bicara pandangannya beralih pula ke arah sungai.

Tiba-tiba Bu-koat berkata, “Cayhe salah masuk ke sini sehingga mengganggu ketenangan nona, harap dimaafkan....” Setelah sedikit membungkuk badan, lalu ia membalik tubuh dan melangkah pergi.

So Ing juga tidak berpaling lagi, ketika bayangan Bu-koat hampir menghilang di balik semak-semak bunga sana, mendadak ia berseru, “Kongcu itu hendaklah berhenti dulu!”

Terpaksa Bu-koat berhenti dan menjawab, “Nona ada petunjuk apa?”

“Coba kembali sini!” seru So Ing.

Meski kata-kata ini kedengaran kurang sopan, namun nadanya telah berubah sangat lembut, rasanya tiada seorang lelaki di dunia ini yang tidak terpengaruh oleh suara ini.

Tanpa kuasa Bu-koat lantas melangkah balik.

So Ing tetap tidak menoleh, katanya dengan acuh tak acuh. “Kukira kau tidak salah masuk ke sini, tapi memang khusus datang kemari. Cuma setelah engkau melihat So Ing yang kau cari hanya seorang gadis belia, hatimu menjadi kecewa, begitu bukan?”

Tentu saja Bu-koat tercengang, jawabnya, “Cayhe... Cayhe....”

“Apa yang kukatakan tidak memerlukan jawabanmu,” kata So Ing, “sebab pertanyaanku ini jelas kikuk untuk kau jawab, sedangkan kau justru orang yang tidak dapat berdusta, apa lagi dusta pada seorang perempuan.”

Bu-koat benar-benar tidak dapat berkata apa-apa.

Maka So Ing menyambung pula, “Lantaran kau adalah orang demikian, merasa malu apabila mengucapkan sesuatu permohonan kepada seorang gadis, maka meski kau khusus sengaja datang ke sini, namun dengan suatu dan lain alasan segera kau pergi lagi. Begitu bukan?”

Kembali Bu-koat melenggong, padahal gadis itu hanya memandangnya sekejap saja, tapi pandangan sekejap itu seakan-akan telah menembus dalam-dalam ke lubuk hatinya, apa pun yang terpikir dalam benaknya seakan-akan tak dapat mengelabui pandangan mata yang jeli itu.

Dengan perlahan So Ing menghela napas dan berkata pula, “Jika kau hendak pergi, tentunya aku tak dapat merintangimu. Tapi ingin kuberitahukan padamu bahwa kau sekali-kali tidak mungkin melangkah keluar pintu batu itu.”

Tergetar tubuh Bu-koat, belum sampai ia buka suara So Ing sudah menyambung pula, “Saat ini urat nadimu sudah hampir tergetar putus oleh tertawamu, air mukamu sudah menampilkan warna kematian, di dunia ini hanya ada tiga orang yang mampu menolongmu, apabila sama sekali kau tidak sayang pada jiwanya sendiri, sungguh hal ini membuat orang kecewa.”

********************

Rumah ini sangat besar dan luas dengan daun jendela di sekelilingnya. Hari sudah mulai gelap, api lilin belum lagi dinyalakan, bau harum bunga yang memenuhi lembah di luar sana terbawa angin memenuhi ruangan ini, kelihatan juga bintang berkelip-kelip bertaburan di langit.

So Ing merapatkan daun jendela yang terakhir, sepasang tangannya yang putih halus itu seakan akan tembus cahaya.

Di bagian yang tak berdaun jendela penuh rak kitab, jarak antara rak tidak tertentu, semuanya penuh kitab beraneka ragam diseling pot-pot dan benda antik lainnya, ada yang terbuat dari jade, ada pula ukiran dari batu dan kayu serta macam-macam lagi.

Namun di dalam ramah ini ada sesuatu yang aneh, yaitu ruangan seluas ini hanya ada sebuah kursi melulu, lain tidak ada.

Kursi ini pun sangat aneh, tampaknya tidak mirip kursi malas umumnya dan juga tidak seperti kursi yang sering terdapat di kamar anak perempuan.

Kursi ini tampaknya lebih mirip sebuah peti yang besar, cuma di bagian tengah mendekuk sehingga orang yang duduk di situ seakan-akan terjepit saja tampaknya.

Di ruangan inilah Hoa Bu-koat disilakan masuk. Ia merasa cara bicara si nona meski kedengaran ramah tamah tapi terasa sukar dibantah. Walau pun kedengaran dingin kaku ucapannya, tapi terasa pula sukar ditolak.

Aneh juga tuan rumah ini, tanpa menyilakan duduk tamunya, sebaliknya So Ing lantas duduk sendiri pada satu-satunya kursi di ruangan ini.

Terpaksa Bu-koat berdiri saja di dekat pintu dengan perasaan serba salah.

Dengan tersenyum hambar kemudian So Ing berkata, “Tempatku ini jarang sekali kedatangan tamu, andaikan ada tamu juga kebanyakan tamu yang sudah sakit parah sehingga duduk saja tidak bisa, maka aku pun tidak perlu menyediakan kursi lagi.”

Bu-koat masih terus tertawa latah, cuma dalam hati ia berpikir, “Apabila orang yang datang kemari tidak dapat duduk lagi, memangnya hanya disuruh berdiri saja begini?”

Segera terdengar So Ing berkata pula, “Tentunya kau akan berpikir apabila orang yang datang ke sini tidak dapat duduk lagi, dengan sendirinya juga tidak dapat disuruh berdiri, lalu apakah mereka dibaringkan di lantai? Begitu bukan?”

Diam-diam Bu-koat terkejut. Ia merasa anak perempuan ini sungguh menakutkan. Apa pun yang kupikirkan, segera dapat diterkanya. Sebaliknya apa yang telah dipikirkan olehnya justru tiada seorang pun yang tahu.

Terdengar So Ing berkata pula dengan tertawa, “Kenapa khawatir, bukan maksudku selalu ingin menerka isi hati orang, aku pun tidak akan menyuruh orang berbaring di lantai....”

Kursi mirip peti yang diduduki So Ing itu mempunyai sandaran tangan yang lebar sehingga mirip juga sebuah peti kecil dan dapat dibuka. Sambil bicara ia lantas membuka tutup bagian sandaran tangan, perlahan jarinya menyontek sesuatu di dalamnya, terdengar “klik” perlahan satu kali.

Mendadak lantai di depan Bu-koat berdiri itu merekah dan terlihatlah sebuah lubang menyusul sebuah ranjang lantas timbul perlahan dari bawah.

“Sekarang tersedia tempat tidur, silakan berbaring di situ,” ucap So Ing dengan acuh. “Apa lagi yang kau inginkan?”

“Aku... aku ingin minum teh,” jawab Bu-koat.

Permintaan ini sebenarnya tidak sengaja diucapkannya, tapi tanpa terasa tercetus dari mulut. Sesungguhnya ia cuma ingin mencoba sampai di mana kelihaian anak perempuan ini.

Didengarnya So Ing menjawab, “Oya, aku lupa, ada tamu, andaikan tiada arak, satu cangkir teh adalah pantas disuguhkan.” Sambil bicara kembali tangannya menyontek sekali lagi di dalam peti.

Terdengar dinding di balik rak buku sana ada suara gemerciknya air, menyusul rak buku itu menggeser perlahan secara otomatis, seorang boneka kayu kecil meluncur keluar dari balik rak itu.

Kacung robot ini benar-benar membawa sebuah nampan dengan dua cangkir kemala berisi air minum berwarna susu.

Dengan tersenyum So Ing berkata, “Maaf, di sini tidak ada teh, harap sudi minum sekadarnya air bening ini.”

“Haha, tampaknya robot kerbau dan kuda ciptaan Kong Beng di jaman Sam-kok juga tidak lebih dari pada ini,” seru Bu-koat dengan tertawa.

“Untuk digunakan di medan perang memang robot kerbau dan kuda Cukat Liang itu sangat bagus, tapi kalau dipakai di rumah tangga untuk melayani tamu, rasanya kan kurang pantas,” kata So Ing dengan dingin. Di balik ucapannya ini seakan-akan kepandaian Cukat Liang dengan robotnya itu pun dipandang enteng olehnya.

Sementara itu malam gelap, sinar bintang berkedip-kedip, pada rak buku sana ada sebuah lampu minyak, tapi tidak dinyalakan.

Segera Bu-koat berkata pula, “Apakah tanpa bergerak nona juga dapat menyalakan lampu?”

“Aku ini pemalas, karena itu sering kali kuciptakan macam-macam akal malas....” Kembali tangannya menyontek perlahan, rak buku di sebelah lampu minyak sana segera timbul batu api dan pisau ketikan. “Crik,” lelatu api lantas muncrat dan lampu itu pun benar menyala.

So Ing tersenyum, katanya, “Lihatlah, biar pun aku cuma duduk saja di sini kan juga dapat melakukan banyak pekerjaan.”

Bu-koat bergelak tertawa, bergelak sungguh-sungguh, serunya, “Menurut pandanganku, sekali pun menyalakan lampu dan menuang minuman sendiri juga jauh lebih mudah dari pada membuat peralatan rahasia, mengapa pemalas seperti engkau ini sengaja menciptakan cara-cara yang merepotkan ini?”

Entah mengapa, selalu dia berusaha hendak mematahkan keangkuhan So Ing, padahal mestinya dia bukan orang macam demikian, mungkin karena tertawa latahnya telah membuatnya kehilangan akal.

Segera terdengar So Ing mengejek, “Hm, orang seperti diriku ini apakah juga sudi menuangkan teh bagimu?”

“Mengapa kau tidak memakai budak atau pelayan, cara demikian kan jauh lebih mudah?”

“Aku justru takut ketularan tingkah laku orang-orang begitu,” jawab So Ing memandangnya dengan lekat-lekat, sambungnya kemudian, “Kau bicara begini, sebab kau merasa aku terlalu unggul dan kau ingin menjatuhkan aku, betul tidak? Biar kukatakan terus terang, di dunia ini tiada yang dapat menjatuhkan aku dan aku akan selalu paling atas, tidak perlu kau berusaha secara sia-sia.”

“Hahaha, padahal kau cuma seorang anak perempuan yang lemah tak tahan tiupan angin, sekali dorong saja setiap orang dapat merobohkan kau,” seru Bu-koat sambil tertawa.

“Tajam juga pandanganmu, kau ternyata dapat melihat aku ini tidak bisa ilmu silat.”

“Terima kasih,” jawab Bu-koat.

“Ilmu silatmu sangat hebat, bukan?”

“Ya, lumayan!”

“Tapi sekarang yang minta tolong padaku adalah kau, dari sini jelas kelihatan bahwa urusan di dunia ini tidak dapat diselesaikan dengan ilmu silat. Sebabnya manusia disebut makhluk paling cerdas di jagat ini adalah karena otaknya dan bukan tenaganya, kalau cuma bicara tenaga, maka keledai kan jauh lebih kuat dari pada manusia.”

Seketika Bu-koat menjadi gusar pula, segera ia bermaksud tinggal pergi lagi. Tapi pada saat inilah tiba-tiba So Ing melangkah maju dengan tersenyum manis, katanya dengan suara lembut, “Sekarang silakan kau berbaring saja dengan baik, akan kuberi minum sebotol obat, habis itu suara tertawamu yang menyebalkan ini akan berhenti.”

Menghadapi senyuman yang menarik, suara selembut ini, lelaki mana di dunia ini yang dapat naik pitam pula? Apa lagi ucapan si nona juga mengenai kepentingan Hoa Bu-koat.

Bu-koat tidaklah takut mati, namun tertawanya... tertawanya yang sialan ini... baginya sekarang rasanya tiada sesuatu di dunia yang lebih menakutkan dari pada “tertawa.”

Suara tertawanya akhirnya berhenti juga. Setelah minum obat, Bu-koat lantas tertidur pulas.

Sekonyong-konyong terdengar seorang tertawa genit dan berseru, “Adik yang baik, sungguh hebat kau. Lelaki yang liar bagaimana pun juga, setelah berhadapan denganmu pasti akan berubah menjadi jinak seperti seekor anjing kecil....” yang masuk menyusul suara tertawa itu adalah Pek-hujin.

So Ing tidak berpaling sama sekali, dengan hambar dia menjawab, “Mengapa kau datang sekarang? Memangnya kau sangsi padaku?”

“Dengan kepintaran dan kecerdikan adik, mana aku perlu sangsi lagi,” cepat Pek-hujin menjawab dengan tertawa. “Aku cuma....”

“Cuma apa?” tanya So Ing.

“Cuma kita tahu watak adik yang angkuh dan tinggi hati, maka kudatang kemari untuk memohon agar adik suka bersabar sedikit, asalkan bocah ini sudah menceritakan rahasia ilmu Ih-hoa-ciap-giok, habis itu segera kita membunuh bocah ini untuk melampiaskan rasa dongkol adik.”

Sampai di sini barulah So Ing meliriknya dengan dingin, tanyanya, “Apa kau rasa caraku ini tidak baik?”

“Bukan tidak baik, cuma... tujuan kita sekarang hendak memancing dia menguraikan rahasia Ih-hoa-kiong, maka....”

“Maka kau anggap sikapku terlalu garang, terlalu kaku begitu?”

“Adik adalah orang pintar, tentunya tahu kebanyakan lelaki....”

“Kau kira aku harus bersikap lebih lembut padanya, harus menjilat dan mengumpak dia, harus merayu dan bila mana perlu harus membuka baju dan menjatuhkan diri ke pangkuannya. Begitu?”

“Bocah ini toh pasti akan mati, diberi sedikit kemurahan kan tidak menjadi soal?”

“Untuk cara-cara demikian kau lebih mahir dari padaku, mengapa kau sendiri tidak mampu memancing rahasianya?” jengek So Ing.

Pek-hujin melengak sejenak, katanya kemudian dengan tertawa, “Tacimu ini kan sudah keriput, tubuh pun tinggal kulit membungkus tulang, kalau bugil masa menarik?”

“Hm, sekali pun kau lebih muda dua puluh tahun juga tiada gunanya,” jengek So Ing.

Sekali ini Pek-hujin benar-benar rada kikuk dan tidak dapat tertawa lagi.

Dengan dingin So Ing lantas menyambung pula, “Terus terang, apabila aku menggunakan caramu ini terhadap dia, jelas dia pasti tidak mau membuka mulut. Bila mana caramu ini digunakan terhadap suamimu kukira masih boleh juga.”

“Tapi... tapi....”

“Pokoknya, terhadap orang macam dia harus menggunakan caraku barulah dapat menundukkan dia,” sela So Ing. “Dengan caraku ini, tentu dia takkan menyangka aku mengharapkan sesuatu dari dia dan dia juga pasti tidak curiga padaku, kalau tidak, masa aku sengaja membiarkan dia mengetahui aku ini tidak mahir ilmu silat? Tentunya kau tahu, meski aku tidak sudi belajar permainan yang menjemukan seperti kalian ini, tapi bila mana aku mau berlagak seorang jagoan tentunya setiap orang juga akan percaya.”

“Ya, ya, baru sekarang kupaham,” ucap Pek-hujin dengan berseri. “Cara adik memang hebat dan sukar ditandingi orang lain.”

So Ing tersenyum kemalas-malasan, ucapnya, “Asal kau tahu saja. Nah, sekarang lekas kalian menyingkir agak jauh, besok pada waktu yang sama seperti sekarang ini kutanggung sudah dapat membuat dia membeberkan rahasia Ih-hoa-kiong secara lengkap.”

Esoknya waktu Bu-koat siuman, benar juga suara tertawanya telah berhenti sama sekali, cuma sekujur badan terasa lemas lunglai tanpa tenaga sedikit pun, berbaring di tempat tidur itu rasanya hendak berbangkit duduk saja sukar.

Di dalam rumah tiada seorang pun, seputar sunyi senyap, hanya terdengar burung berkicau dan bau harum bunga semerbak.

Pada saat itulah, tiba-tiba terdengar seorang bertindak aneh di belakang rumah sana, “Keluar, keluar sana! Sudah kukatakan aku tidak mau makan akar rumput dan kulit pohon beginian, mengapa kau selalu memaksa aku menelannya?”

Lalu terdengar suara So Ing berkata dengan lembut, “Ini bukan akar rumput dan kulit pohon segala, tapi Jinsom (ginseng).”
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar