Bakti Pendekar Binal Jilid 41

Setiap kali dia melangkah, segera ia merasa seperti sebatang jarum menusuk pada bagian tubuhnya yang paling lunak dan paling lemah, segera timbul semacam perasaan aneh, ya sakit ya geli, langsung menggelitik hulu hati. Karena itu ia terus-menerus bergelak tertawa, ia tidak mampu mengatasi hasrat tertawa itu. Sebaliknya tenaga dalam yang tadinya macet itu sekonyong-konyong lancar kembali.

Dalam keadaan heran dan khawatir, mendadak Kang Giok-long menghamburkan segenggam jarum yang telah disiapkannya.

“Kau... hahaha, kau berani!” bentak Bu-koat sambil tertawa latah. Berbareng sebelah tangannya terus menggores suatu lingkaran di udara, hujan senjata rahasia itu seketika lenyap seperti nyemplung ke laut, tanpa menimbulkan suara dan tanpa bekas.

“Sungguh Ih-hoa-ciap-giok yang hebat!” teriak Oh-ti-tu saking kagumnya.

Sedangkan Kang Giok-long menjadi pucat ketakutan, teriaknya, “Jadi... jadi tadi kau cuma... cuma pura-pura saja?”

“Betul, haha... hahahaha... Nah, tidak lekas kau lepaskan dia?” bentak Bu-koat disertai tertawa keras.

“Setelah kulepaskan dia kau... kau juga akan melepaskan aku?” tanya Giok-long dengan suara keder.

“Ya, akan ku... hahaha, akan kulepaskan....” dengan tertawa Bu-koat menjawab.

Kang Giok-long yakin apa yang sudah diucapkan Hoa Bu-koat pasti dapat dipercaya, maka ia tidak berani banyak cincong lagi, begitu Thi Sim-lan diturunkan segera ia angkat langkah seribu, hanya sekejap saja lantas menghilang.

Bu-koat masih terus tertawa seperti orang gila, namun dalam hati dia sudah terang bagaimana jadinya sebentar. Terngiang ucapan Pek San-kun di telinganya, “Asalkan kau melangkah lebih 50 tindak, segera jarum berbisa itu akan menyusup ke Jiau-yau-hiatmu dan tak dapat dikeluarkan lagi untuk selamanya. Kau akan tertawa terus sampai seharian dan akhirnya binasa.”

Apa yang diucapkan Pek San-kun itu tampaknya bukan cuma gertakan belaka. Sebisanya Bu-koat menutup mulutnya, namun tak dapat menahan hasrat tertawanya.

Terpaksa untuk sementara ia tidak memikirkan persoalan ini, ia membuka dulu hiat-to Thi Sim-lan yang tertutuk.

Nona itu terbelalak heran melihat kelakuan Hoa Bu-koat yang tidak normal itu, tanyanya, “Apa yang kau tertawakan?”

“Hahaha, aku... hahaha... aku....” tetap Bu-koat tak dapat menahan hasrat tertawanya.

Thi Sim-lan menggigit bibir, ucapnya, “Apa kau merasa geli lantaran berhasil mengelabui kami sehingga tadi kami kelabakan setengah mati berkhawatir bagimu, begitu?”

“Aku... hahaha... aku... Bu-koat tahu si nona salah paham pula, tapi sukar untuk memberi penjelasan. Malahan ia pun khawatir bila mana Thi Sim-lan mengetahui duduk perkara yang sebenarnya, tentu si nona akan berduka baginya. Terpaksa ia berpaling ke sana dan membuka hiat-to Oh-ti-tu.

Dengan gusar Oh-ti-tu juga lantas membentak, “Apakah kau merasa kelakar ini sangat menggelikan, begitu?”

Diam-diam Bu-koat menghela napas gegetun, akan tetapi siapakah yang dapat menyelami penderitaan batinnya? Orang lain hanya dapat melihat lahiriahnya sedang tertawa gembira.

Mendadak Bu-koat tarik Thi Sim-lan terus diajak lari keluar seperti dikejar setan.

Betapa pun pengalaman Kangouw Oh-ti-tu alias si labah-labah hitam lebih luas, akhirnya ia pun merasakan sikap Hoa Bu-koat itu rada-rada tidak beres, ia mengerut kening dan berpikir. Tiba-tiba dilihatnya pula Buyung Kiu sedang memandangnya dengan terkesima.

Segera ia pun menyampingkan segala urusan, Buyung Kiu diseretnya terus dibawa lari keluar.....

********************

Thi Sim-lan masuk dari lorong ini, dengan sendirinya ia tahu rahasia jalan ke luar ini.

Setelah berlari-lari, akhirnya mereka sampai di ruang pendopo semula, ruangan ini masih tetap seram dan sunyi tiada bayangan seorang pun. Agaknya Pek San-kun suami-istri yakin Hoa Bu-koat pasti mati, maka mereka tidak perlu pusing lagi sehingga sepanjang jalan tiada sesuatu rintangan, mereka terus lari keluar menjelajah ladang belukar.

Bintang-bintang yang bertaburan di langit makin menipis dan lenyap, suasana di kaki gunung berhutan sunyi senyap, tapi Hoa Bu-koat masih terus tertawa keras dan kedengaran sangat menusuk telinga menjelang fajar menyingsing ini.

“Dapatkah kau tidak tertawa?” ucap Thi Sim-lan tak tahan.

Langkah Bu-koat sudah makin lambat, tapi suara tertawanya semakin keras, jawabnya, “Aku... aku tidak....”

“Apakah kau kira caramu membohongi orang sedemikian menggelikan sehingga perlu tertawa terus-menerus?” omel Thi Sim-lan dengan mendelik dongkol.

Remuk redam hati Hoa Bu-koat, hampir saja ia menceritakan duduk perkara yang sebenarnya.

Tapi tiba-tiba terpikir dari pada Thi Sim-lan menyaksikan kematiannya dengan mengenaskan, akan lebih baik biarkan si nona tetap salah sangka saja. Toh dia sudah hampir mati, buat apa mesti membuat orang lain ikut berduka.

Thi Sim-lan membanting kaki dan berkata pula, “Jika kau masih terus tertawa, aku akan segera pergi.”

Diam-diam Bu-koat menyesal, tapi dia tetap tertawa dan menjawab, “Baiklah, silakan kau pergi saja! Hahaha, toh sudah kuketahui kau tak suka padaku... hahaha, boleh pergi saja kau!”

Tergetar tubuh Thi Sim-lan, tanyanya dengan suara gemetar, “Kau menghendaki aku benar-benar pergi?”

“Ya, hahaha, ya....” jawab Bu-koat sambil ngakak.

Thi Sim-lan menatapnya dengan melenggong sambil melangkah mundur setindak demi setindak. Sebaliknya Hoa Bu-koat lantas menengadah dan terbahak-bahak pula tanpa memandang sekejap pada si nona.

Akhirnya Thi Sim-lan jadi geregetan, teriaknya, “Baik, pergi ya pergi, baru... baru sekarang kutahu kau adalah orang macam begini.” Segera ia membalik tubuh dan berlari pergi, air mata pun bercucuran.

Tapi Hoa Bu-koat masih terus tertawa latah tanpa berhenti. Dia tahu pasti akan mati, ia menyaksikan orang yang paling dicintainya telah meninggalkannya, bahkan orang yang diselamatkannya dengan mati-matian juga tidak dapat memahami dia, namun dia sendiri... dia masih terus tertawa dan tertawa tanpa berhenti....

Di pegunungan sunyi itu hanya penuh bergema suara tertawanya yang keras menyeramkan itu, bintang semakin jarang, cuaca tampak buram. Langit dan bumi ini seakan-akan juga tidak kenal kasihan lagi kepada pemuda yang malang ini.

Air mata Hoa Bu-koat akhirnya juga bercucuran.

Sejak kecil ia dibesarkan di dunianya sendiri di suatu lingkungan yang dingin dan tidak kenal citarasa, selama ini belum dikenalnya bagaimana rasanya mencucurkan air mata. Tapi sekarang... di tengah gelak tertawa latahnya sekarang ia meneteskan air mata.

Sekonyong-konyong Thi Sim-lan muncul pula di depannya dan memandangnya dengan termangu-mangu.

Cepat Bu-koat mengusap air mata di pipinya, sambil ngakak ia berkata, “Untuk... hahaha, untuk apa kau kembali lagi ke sini?”

Air muka Thi Sim-lan menampilkan perasaan heran dan khawatir, jawabnya dengan gemetar, “Katakan padaku, sesungguhnya apa yang terjadi pada dirimu?”

“Apa yang terjadi? Hahaha... aku merasa kau sangat lucu, hahaha... masa diusir saja kau tidak mau pergi?”

“Tidak, aku takkan pergi,” jawab Thi Sim-lan. “Kutahu, kau bukanlah orang berhati demikian.”

“Kau tidak mau pergi? Hahahaha, baik, aku saja yang pergi,” teriak Bu-koat.

Tapi sebelum dia membalik tubuh, mendadak Thi Sim-lan merangkulnya sambil menjerit dengan suara parau, “O, katakan padaku, katakan... apakah... apakah engkau menderita sesuatu luka yang sangat aneh?”

“Aku... hahaha... mana aku dapat terluka?” jawab Hoa Bu-koat dengan tertawa.

“Jika tidak, maka kumohon janganlah engkau tertawa lagi.”

“Hahaha! Kenapa... kenapa aku tidak boleh tertawa? Haha, untuk apa kau memelukku? Lepas... hahaha, lepaskan! Hahaha... pergilah mencari Kang Siau-hi-ji saja.”

Lambat-laun ucapan Bu-koat juga mulai tidak jelas. Thi Sim-lan merasakan tangan Bu-koat sedingin es, ia menjadi khawatir dan berseru pula, “Kenapa engkau tidak mau bicara terus terang padaku?”

Tapi Bu-koat tetap tertawa, katanya, “Lepaskan... hahaha... lepaskan....”

Thi Sim-lan jadi geregetan, tiba-tiba ia berteriak, “Baik, akan kulepaskan, mungkin kau merasa aku tidak pantas memelukmu, tapi asalkan kau bicara terus terang bahwa aku adalah perempuan hina dan kejam, habis itu segera akan kulepaskan.”

“Kau... hahaha... kau....”

Thi Sim-lan menatapnya lekat-lekat, katanya kemudian dengan pedih, “Ya, tahulah aku, engkau tak dapat mendustai aku. Kutahu dalam keadaan apa pun engkau tidak tega mengucapkan sepatah kata yang dapat menyinggung perasaanku.”

Hati Bu-koat seperti disayat-sayat, tapi dia hanya bisa tertawa saja, tertawa terus-menerus.

Kembali Thi Sim-lan mencucurkan air mata, ucapnya, “Kutahu, lantaran diriku, maka kau berubah menjadi begini. Kau... kau....”

“Lantaran dirimu? Hahaha... lekaslah kau pergi mencari Kang Siau-hi-ji saja! Le... lekas, lekas!”

“Tidak, aku tidak mau pergi!” teriak Thi Sim-lan dengan suara parau. “Aku takkan mencari siapa-siapa, aku akan tetap mendampingimu, siapa pun tak dapat menyuruh aku pergi.”

“Dan Kang Siau-hi?” tanya Bu-koat.

“Siau-hi-ji…? Sudah lama aku melupakan dia!” teriak Sim-lan dengan suara gemetar dan menangis.

“Kau sudah melupakan dia…? Hahaha, kau benar-benar dapat melupakan dia? Haha....”

“Mengapa tidak? Kebaikan apa yang pernah dia lakukan terhadap diriku? Bila mana aku menghadapi bahaya, dapatkah dia menolongku dengan mati-matian seperti kau? Huh, bisa jadi tanpa berpaling akan ditinggal pergi olehnya.”

“Tapi kau tetap tak dapat melupakan dia. Hahaha... cinta... cinta tidak mungkin dijadikan barang tukar-menukar... hahaha... bila mana kau mencintai seseorang, betapa pun dia berbuat atas dirimu tetap kau mencintai dia.”

“Tapi aku... aku....” mendadak Thi Sim-lan terkulai di tanah dan menangis tergerung-gerung.

Hoa Bu-koat... Kang Siau-hi... sungguh kalau bisa Thi Sim-lan ingin dibelah menjadi dua.

Dengan tertawa Bu-koat berkata pula, “Pergilah kau mencari dia saja, jagalah dia... hahaha, semoga... semoga kalian hidup senang dan bahagia....” suara tertawanya semakin jauh dan akhirnya tidak terdengar lagi.

Waktu Thi Sim-lan mengangkat kepalanya, namun Hoa Bu-koat tidak nampak pula. Ia tahu selamanya takkan dapat menyusulnya lagi. Ia hanya menangis sedih dan berteriak dengan suara parau, “Hoa Bu-koat... O, Hoa Bu-koat, jika kau mati cara begini, dapatkah aku menikahi Siau-hi-ji? Bila mana kau mati cara begini, apakah hidup kami selanjutnya akan bahagia?” Sekuatnya ia berteriak pula, “Hoa Bu-koat, kem... kembalilah!”

Aku tetapi tiada suatu jawaban apa pun. Yang ada cuma angin meniup dingin menimbulkan suara seperti keluhan yang menyayat hati.

Sementara itu fajar sudah menyingsing.

Apabila fajar tiba, maka hidup Hoa Bu-koat juga akan tamat. Ia tahu jiwa sendiri pada hakikatnya lebih pendek dari pada umur laron di malam hujan.

Tapi apakah dia harus menanti ajal begini saja?

Semula Hoa Bu-koat telah duduk putus asa, mendadak ia melompat bangun, ia menengadah dan tertawa keras, teriaknya, “Hoa Bu-koat, wahai Hoa Bu-koat, paling tidak saat ini kau kan masih hidup. Paling sedikit kau masih dapat berbuat sesuatu sebelum ajalmu tiba. Seumpama harus mati, tidak boleh kau mati tanpa suara dan tanpa pergulatan!”

Bumi ini seakan-akan bergetar mengumandangkan suara tertawanya yang nyaring. Segera ia membalik tubuh dan lari ke kelenteng sana.

Ruangan pendopo kelenteng itu masih gelap dan seram. Tanpa pikir Hoa Bu-koat melayang ke dalam, sekali depak ia jungkalkan patung malaikat gunung yang dipuja itu. Teriaknya sambil tertawa latah, “Ayo, Pek San-kun, keluarlah kau!”

Suara tertawanya yang keras lantang itu berkumandang jauh, tapi Pek San-kun belum lagi menampakkan batang hidungnya. Mustahil dia tidak mendengar, jika mendengar mengapa dia tidak keluar?

Dengan tertawa ngakak Bu-koat lalu angkat meja sembahyang dan dibanting sekerasnya di halaman sana. Teriaknya sambil tertawa, “Pek San-kun... hahaha... dengarkan… Meski aku akan mati, sedikitnya aku juga akan membinasakan manusia-manusia keji macam kalian ini untuk... hahaha... untuk keselamatan umum.”

Pada saat itulah sekonyong-konyong terdengar suara auman, tahu-tahu harimau loreng itu menerobos tiba.

Dengan tertawa Bu-koat memapak binatang buas itu, sekali mengegos ia hindarkan terkaman yang sukar ditahan itu, berbareng sebelah tangannya terus memotong ke belakang dan tepat mengenai kuduk harimau.

Raja hutan yang ganas itu jatuh mendekam kena tebasan telapak tangannya itu. Mendadak harimau itu meraung kalap dan kembali menerkam.

Hoa Bu-koat bergelak tertawa, suara tertawanya berpadu dengan raungan harimau sehingga ruangan pendopo seakan-akan bergetar roboh. Tapi Pek San-kun suami istri seperti orang tuli, sampai saat ini tetap belum muncul.

Dengan gesit Hoa Bu-koat terus berputar kian kemari, mana bisa harimau itu menyentuhnya, setelah menubruk tiga kali, kegarangan raja hutan itu pun mulai surut. Ketika Hoa Bu-koat menabas pula satu kali, kontan harimau itu terkapar dan tak bisa bergerak lagi.

Di tengah ruangan kini tinggal suara latah Hoa Bu-koat, suara tertawa yang pedih mengharukan. Sambil terbahak-bahak Bu-koat mendepak daun jendela hingga terpentang, ia terus menerobos ke halaman belakang, tapi di situ juga sepi tiada bayangan seorang pun.

Dada Hoa Bu-koat diliputi rasa pedih dan dendam yang tak terlampiaskan, sekali tendang ia bikin daun pintu terpentang, sebuah meja diangkatnya dan dilemparkan keluar hingga berantakan.

Tapi apa gunanya biar pun seluruh isi rumah ini dihancurkan olehnya, sebab Pek San-kun suami istri tetap tidak memperlihatkan batang hidungnya.

“Pek San-kun, ayo, Pek San-kun!” Bu-koat berteriak-teriak dengan tertawa latah. “Di mana kau, Pek San-kun! Mengapa kau tidak keluar untuk perang tanding?”

Yang diharapkannya sekarang hanya suatu pertarungan saja, sekali pun tidak mampu melawan dan mati juga rela baginya.

Namun sia-sia belaka dia berteriak, suara tertawanya yang berkumandang balik itu seakan-akan sedang mencemoohkan dia sendiri. Sekeliling tetap tiada bayangan seorang pun, yang ada cuma gambar malaikat gunung yang sedang memandang padanya dengan dingin seakan-akan lagi berkata, “Hoa Bu-koat, lebih baik kau mati dengan tenang-tenang saja, untuk apa kau umbar gila di sini, biar pun tenggorokanmu sampai bejat berteriak juga tidak digubris orang. Kalau orang sudah jelas tahu kau pasti akan mati, untuk apa dia bertempur mengadu jiwa lagi denganmu?”

Sambil berteriak mendadak Hoa Bu-koat menubruk maju, sekali tarik ia robek lukisan itu hingga berkeping-keping, terasa darah bergolak dan muncrat keluar bersama tertawanya, bintik-bintik darah menghiasi bajunya laksana ceplok bunga sulaman. Ia merasa tenaganya sudah hampir ludes, tubuh pun mulai sempoyongan.

Subuh telah tiba, hari sudah mulai terang, bumi penuh diliputi rasa dingin memilukan.

Mati sebenarnya tidaklah menakutkan dan juga tidak perlu dirisaukan, yang dirisaukan adalah mati dengan murka tanpa terlampiaskan, yang ditakutkan adalah menjelang ajal terasa sesunyi ini.

Tiba-tiba Bu-koat merasakan bila mana sekarang ada seorang berada di sampingnya, siapa pun boleh, betapa pun ia tidak ingin mati kesepian.

Selama hidupnya ini meski penuh sanjung puji, tapi selama itu sebenarnya hidup terpencil dan kesepian, dia dilahirkan di tempat terpencil, sungguh ia tidak ingin mati kesepian pula.

Dia berharap mati dalam pertempuran, tapi tiada seorang pun mau menggubrisnya. Dia berharap mati di tengah-tengah kerumunan orang, tapi rasanya dia tidak dapat berjalan keluar lagi.

Dengan sempoyongan akhirnya Bu-koat jatuh terduduk di kursi, dengan sorot mata guram ia memandangi tibanya cahaya subuh, ia berharap ajal akan datang menyusul tibanya subuh.

Sesungguhnya ia sudah putus asa, ia sedang menantikan ajalnya.

Tapi apa pun juga dia tetap tertawa tanpa henti, tertawa latah, tertawa yang mengantarkan ajalnya, tertawa yang tak dapat mengeluarkan rasa duka dan dendamnya.

Suara tertawanya ini pada hakikatnya hampir membuatnya menjadi gila.

Kini dia malah tidak sayang mengorbankan segalanya, yang diharap hanya berhentinya suara tertawa sialan ini. Ia coba mendekap telinganya, tapi mana bisa membendung suara tertawanya sendiri.

Ia tahu, untuk bisa menghentikan suara tertawanya hanya ada satu jalan, yakni mati!

Supaya tertawanya bisa berhenti, Bu-koat sudah siap menamatkan hidupnya sendiri.

Pada saat remang-remang tibanya subuh itulah, tahu-tahu muncul sesosok bayangan orang. Jubah orang ini memanjang menyentuh tanah, rambut panjang semampir di pundak, langkahnya halus dan enteng sehingga tampaknya seperti bayangan kematian yang menyongsong keberangkatan Hoa Bu-koat.

Akhirnya Bu-koat dapat melihat jelas wajah orang, wajah yang cantik itu seolah-olah menampilkan rasa putus asa.

Pek-hujin! Orang ini ternyata Pek-hujin adanya. Akhirnya muncul juga dia!

Bu-koat mengira dirinya pasti akan menerjang maju dan melabraknya apabila melihat Pek San-kun atau istrinya, siapa tahu sekarang dia hanya duduk terpukau saja dan memandangnya dengan kesima.

Maklumlah, tenaga untuk hidup saja sudah lenyap, apa lagi tenaga untuk melabrak orang?

Seperti badan halus saja Pek-hujin melangkah maju dengan enteng. Bu-koat mengira kedatangan orang pasti untuk membunuhnya, tak terduga Pek-hujin hanya berdiri diam di depannya dan memandangnya dengan tenang.

“Tepat sekali kedatanganmu ini. Hahaha, mengapa kau tidak lekas turun tangan?” mendadak Bu-koat berseru sambil tertawa.

Pek-hujin tetap memandangnya dengan lekat tanpa bicara.

“Kiranya kau cuma ingin menyaksikan kematianku saja?” kata Bu-koat pula, dan Pek-hujin masih tetap tidak bersuara.

“Bagus,” teriak Bu-koat sambil tertawa. “Tidak peduli apa maksud kadatanganmu tetap aku berterima kasih padamu. Aku memang lagi kesepian di sini.”

Mendadak Pek-hujin menghela napas panjang, ucapnya dengan terharu, “O, orang yang harus dikasihani, masa setitik keberanianmu mencari hidup saja sudah tiada lagi.”

Hati Bu-koat seperti dipuntir-puntir, teriaknya dengan tertawa parau, “Hahahaha! Bukankah kalian menghendaki kematianku secepatnya, mengapa sekarang malah menyuruh aku berusaha mencari hidup? Memangnya kau anggap penderitaanku ini belum cukup?”

Pek-hujin menjawab dengan sedih, “Ya, aku telah melukaimu, kutahu kau pasti sangat benci padaku, tapi kuharap engkau juga dapat memaklumi kesukaranku.”

“Kesukaranmu? Hahaha, kau juga mempunyai kesukaran?”

“Seorang perempuan, demi suaminya terkadang bisa juga melakukan sesuatu yang bodoh dan kejam,” jawab Pek-hujin dengan perlahan. “Pek San-kun adalah suamiku, mana... mana boleh kusaksikan dia dibunuh olehmu?”

Bicara sampai di sini, tiba-tiba air matanya berlinang-linang, sambungnya pula dengan pedih, “Tapi aku pun tahu aku berdosa padamu, kumohon engkau suka memaafkan diriku.”

“Hahaha! Aku tidak tahu untuk apa kau mesti menipu seorang yang sudah dekat ajalnya. Hahaha, tapi apa pun juga sekarang ini aku tak dapat kau tipu lagi.”

Pek-hujin menunduk sedih, ucapnya, “Ya, aku pun sudah menduga kau pasti tak percaya lagi padaku. Tapi... tapi sudikah kau ikut pergi melihat sesuatu?”

Bu-koat duduk saja tanpa bergerak, suara tertawanya sudah tambah lemah dan berubah menjadi parau.

Pek-hujin menatapnya lekat-lekat, katanya pula dengan nada gemetar, “Hanya satu kali ini saja kumohon, apa pun juga ini takkan membikin susah padamu lagi, betul tidak?”

“Betul, hahaha, sudah hampir mati, memangnya siapa yang hendak mencelakai aku pula?” teriak Bu-koat dengan serak. Akhirnya ia ikut keluar juga bersama Pek-hujin.

Setelah menyusuri beberapa rumah, sekonyong-konyong Bu-koat melihat seorang tergantung jungkir pada suatu belandar, seluruh badan berlumuran darah, sebilah belati menembus dadanya.

Belum lagi Bu-koat melihat jelas siapa orang itu, Pek-hujin telah berhenti di situ dan berkata, “Yang hendak kuperlihatkan padamu, ialah dia!”

“Sia... siapa dia?” tanya Bu-koat.

“Masa kau tak kenal?” kata Pek-hujin. Segera ia merobek sepotong ujung bajunya untuk mengusap muka orang berlumuran darah yang mengalir dari dada itu sehingga tertampak jelas wajah aslinya.

Ternyata orang yang mati tergantung menjungkir ini bukan lain ialah suaminya.

Keruan Bu-koat terkejut, teriaknya, “He, Pek San-kun sudah mati?!”

Tapi suara tertawa latahnya lantas melenyapkan nada kejut ucapannya. Malahan nadanya rada-rada kecewa dan sama sekali tiada rasa gembira.

Meski ia ingin bertarung melawan Pek San-kun dan bertekad akan membunuhnya, tapi mendadak melihat orang mati cara begini, mau tak mau timbul juga rasa simpatinya.

Dengan perlahan Pek-hujin lantas berkata, “Aku ingin kau lihat jenazahnya, sebab aku merasa bersalah padamu....”

“Kau yang membunuhnya?” tanya Bu-koat.

Pek-hujin menghela napas panjang dan menjawab dengan sedih, “Ya, betul, aku yang membunuhnya.”

Bu-koat tersurut mundur dengan melongo, satu patah kata pun tidak sanggup bersuara.

“Tentunya kau sangat heran aku yang telah membunuh dia, begitu bukan?” tanya Pek-hujin.

Padahal mana Hoa Bu-koat cuma “heran” saja, pada hakikatnya ia tidak percaya.

“Tapi kau pun perlu tahu, sebab apakah kubunuh dia?!” kata Pek-hujin pula. “Sungguh aku mempunyai seribu alasan untuk membunuhnya, memang sudah lama seharusnya kubunuh dia.”

Bu-koat tertawa latah, teriaknya dengan gusar, “Setiap orang di dunia ini memang boleh membunuhnya, hanya kau adalah istrinya, kau tidak dapat membunuhnya. Memangnya dalam hal apa dia berbuat tidak baik padamu?”

“Kutahu dia pasti telah banyak omong bohong padamu,” ucap Pek-hujin dengan rawan. “Tentu dia bercerita mengenai kebusukanku, diriku pasti dilukiskannya sebagai iblis atau siluman, tapi... tapi apakah kau pun percaya pada obrolannya?”

“Mengapa aku tidak percaya?” teriak Bu-koat. Meski demikian, namun hatinya sudah mulai goyah.

“Bila mana aku benar-benar perempuan semacam perkataannya, cara bagaimana dia dapat berkumpul denganku selama berpuluh tahun? Orang bertabiat seperti dia pasti sudah sejak dulu-dulu tidak tahan, tentu aku sudah dibunuh olehnya,” Pek-hujin melirik Bu-koat sejenak, lalu menyambung pula, “Apa yang kulakukan terhadap dirimu adalah karena sebisanya aku ingin merebut kembali hatinya, demi dia aku tidak sayang berbuat apa pun, tidak sayang untuk mencelakai siapa pun juga....”

Air matanya lantas bercucuran pula, ia menangis dengan terguguk-guguk.

Bicaranya sedemikian sungguh-sungguh, menangisnya sedemikian sedih, sebaliknya apa yang pernah diceritakan Pek San-kun rasanya teramat janggal dan sukar dipercaya. Apabila ada orang yang lebih percaya pada cerita Pek San-kun itu dan tidak percaya pada keterangan Pek-hujin, maka orang itu benar-benar mahaaneh.

Maka Bu-koat lantas berkata, “Tapi mengapa kau membunuhnya jika betul segala tindak tandukmu itu demi sang suami?”

Pek-hujin menangis tersedu-sedu, jawabnya, “Aku adalah perempuan, betapa jelek nasibku sebenarnya harus kuterima, namun meski aku sudah berusaha sepenuh tenaga agar dia sudi kembali ke sampingku, siapa tahu... siapa tahu....” mendadak ia jatuhkan diri ke pangkuan Hoa Bu-koat dan menangis tergerung-gerung, lalu menyambung dengan terputus-putus, “Siapa tahu dia tidak... tidak memikirkan sama sekali cinta kasih suami istri, dia bahkan hendak... hendak membunuh diriku.”

Bu-koat ternyata tidak mendorongnya pergi. Dalam keadaan demikian ia merasa tidak tega mendorong pergi perempuan yang menangis sedih dalam pelukannya.

Seorang perempuan menangis sedih dalam pelukan seorang lelaki yang sedang tertawa latah, di sebelah mereka bergantung mayat yang berlumuran darah, suasana ini benar-benar aneh dan lucu, rasanya siapa pun sukar melukiskan adegan ganjil ini.

“Makanya... makanya kau lantas membunuhnya?” tukas Bu-koat kemudian.

“Sebenarnya aku tidak sayang mati baginya, tapi ketika dia benar-benar hendak membunuhku, betapa pun aku tidak tahan lagi, siksa derita selama lebih 20 tahun seketika meledak dalam sekejap, tanpa pikir kucabut belati dan menikamnya,” sampai di sini Pek-hujin terguguk-guguk sedih, lalu menyambung, “Tadinya kuharap tikamanku ini takkan mencelakai dia, di luar dugaan, dia sama sekali tidak pernah membayangkan perlawananku sehingga sama sekali dia tidak berjaga-jaga, tikamanku itu benar... benar-benar telah menewaskan dia.”

Bukti memang nyata begitu, apa yang dapat diucapkan Hoa Bu-koat?

Sambil menarik leher baju Bu-koat, Pek-hujin menengadah memandangnya dan berkata dengan mengalirkan air mata, “Coba katakan, apakah tidak pantas kubunuh dia? Masa aku salah membunuhnya?”

“Kau tidak salah, bagimu hanya ada satu jalan, yaitu membunuhnya, dalam keadaan begitu, siapa pun pasti akan membunuhnya dan tiada pilihan lain,” kata-kata demikian ini tidak sampai diucapkan Hoa Bu-koat, tapi kentara sekali terpancar dari sorot matanya, suara tertawanya sudah makin lemah dan parau, kaki pun lambat-laun menjadi lemas.

Pek-hujin memandangnya sejenak, kemudian menunduk dengan sedih, katanya, “Kutahu engkau pasti menaruh simpati padaku, sebab itulah aku berbicara sebanyak ini padamu. Sekali pun di dunia ini tiada orang lain yang bersimpati padaku, hanya engkau yang bersimpati padaku, sebab... sebab....” dia tersenyum pedih, lalu melanjutkan, “Walau pun tidak sedikit lelaki yang pernah kujumpai, tapi cuma kau saja paling lemah lembut, hanya engkau saja paling memahami perasaan perempuan. Bila mana lelaki di seluruh dunia ini serupa dirimu, maka bahagialah kaum perempuan.”

Justru lantaran sifat Hoa Bu-koat inilah, makanya dia mudah ditipu oleh perempuan. Sebenarnya dia bukan orang bodoh, hanya hatinya yang terlalu lemah. Bila mana semua lelaki di dunia ini seperti dia, maka dunia ini mungkin akan menjadi dunianya kaum perempuan. Sembilan di antara sepuluh lelaki mungkin harus bunuh diri.

Begitulah tiba-tiba Hoa Bu-koat berkata, “Urusan yang sudah lalu tidak perlu disebut pula, sekali-kali aku tidak... tidak dendam padamu.”

“Jadi kau memaafkan aku?” tanya Pek-hujin.

Bu-koat mengangguk. Lalu berkata, “Apakah bicaramu sudah habis?”

“Yang perlu kukatakan telah habis kukatakan, apakah... apakah kau sendiri tiada sesuatu yang ingin dikatakan padaku?”

“Ak... aku cuma ber... berharap kau....” dengan sendirinya Bu-koat berharap Pek-hujin dapat menghentikan suara tertawanya yang sialan itu, tapi sampai detik gawat demikian dia tetap tidak sanggup mengucapkan sesuatu permohonan kepada seorang perempuan.

Biar pun dia tertipu seribu kali oleh perempuan, meski dia akan mati karena tipuan perempuan, betapa pun dia tidak sudi minta balas kasihan di depan seorang perempuan.

Di dunia justru ada orang macam begini, lebih suka ditipu perempuan dari pada dibenci perempuan.

Pek-hujin memandangnya dengan termenung, sejenak kemudian baru berkata pula, “Sebenarnya tanpa kau minta juga seharusnya kukeluarkan jarum yang menyusup di Jiau-yau-hiatmu ini, tapi tadi kau terlalu banyak mengeluarkan tenaga, jarum itu sudah masuk sangat dalam, kini aku pun tidak mampu mengeluarkannya.”

Bu-koat kesakitan seperti diiris-iris, mendadak ia mendorong Pek-hujin terus melangkah pergi. Ia tahu nasibnya sudah ditakdirkan begini, mati tertawa. Tapi ia pun tidak ingin mati di depan perempuan, ia harus menyingkir pergi jauh-jauh, biar pun mati juga tidak boleh meninggalkan kesan menggelikan dan harus dikasihani oleh orang lain.

Siapa tahu Pek-hujin justru mengadangnya pula dan berkata, “Sekarang kau belum boleh pergi.”

Bu-koat tak dapat lagi menahan rasa gusarnya, tapi sedapatnya ia menekan perasaannya, katanya, “Urusan sudah begini, mengapa kau masih menahanku di sini?”

“Meski aku tak dapat menolongmu, tapi kutahu di dunia ini masih ada seorang yang dapat menyelamatkan kau,” jawab Pek-hujin.

Bu-koat menengadah dan terbahak-bahak, katanya, “Keadaanku sudah begini masa aku masih perlu pula memohon pertolongan orang?”

Pek-hujin menatapnya dengan tajam dan berkata tegas, “Semula kukira engkau ini seorang pemberani, tapi sekarang keberanianmu untuk hidup saja ternyata tidak ada.”

Bu-koat menunduk dengan sedih.

“Walau pun aku tidak mampu menolongmu, tapi aku dapat berusaha memperpanjang umurmu selama tiga hari, dalam tiga hari ini dapat kubawa kau pergi mencari orang itu. Jika kau mempunyai keberanian untuk hidup, maka kau pun harus mempunyai keberanian untuk memohon pertolongannya. Usiamu masih muda, minta bantuan orang bukan sesuatu yang memalukan, yang memalukan ialah apabila tidak berani hidup.”

Bu-koat tertawa dengan suara serak, katanya, “Sekali pun kuminta pertolongannya juga belum tentu dia sudi menolong aku, lalu untuk apa....”

“Aku cukup kenal watak orang itu,” sela Pek-hujin. “Asalkan kau mau pergi ke sana, dia pasti akan menolongmu. Apa lagi, kepergianmu ke sana juga bukan untuk mohon pertolongan melainkan untuk berobat, orang sakit tidak mau berobat pada tabib kan aneh.”

Setelah dibujuk berulang-ulang akhirnya goyah pula hati Bu-koat. Betapa pun seseorang tidak takut mati, bila masih ada setitik harapan untuk hidup tentu juga akan berusaha agar tidak mati.

Dengan suara lembut Pek-hujin berkata pula, “Kumohon dengan sangat, terimalah usulku. Demi aku kau pun harus hidup, jika kau mati, kepada siapa aku harus... Pokoknya, asalkan engkau mengangguk dan aku akan sangat berterima kasih padamu.”

Akhirnya Bu-koat mengangguk juga. Terhadap sesuatu permohonan yang merengek-rengek begini betapa pun dia tidak dapat menolaknya.....
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar