Bakti Pendekar Binal Jilid 39

Semakin dia berlaku hati-hati, tangannya justru menyentuh leher orang dan suara tertawa Pek-hujin pun bertambah keras sehingga sekujur badan seakan-akan ikut berguncang.

Diam-diam Bu-koat gegetun, batinnya, “Mengapa perempuan tidak tahan geli?”

Entah mengapa, bila mana melihat Pek-hujin gemetar saking gelinya, tanpa terasa hatinya juga rada-rada guncang.

Pemuda seusia Bu-koat ini dengan sendirinya belum tahu bahwa “takut geli” juga merupakan semacam senjata merayu kaum wanita. Hanya perempuan yang bermaksud memikat seorang lelaki barulah bisa merasa geli. Bila perempuan itu tiada maksud memikat si lelaki, biar dikerjai bagaimana pun oleh lelaki juga dia takkan geli. “Pengetahuan umum” ini cukup dipahami oleh kaum lelaki yang sudah cukup berpengalaman.

Setelah berkutak-kutek sekian lamanya, akhirnya gembok rantai itu dapatlah dibuka, Hoa Bu-koat sudah mandi keringat seolah-olah habis perang tanding mati-matian.

“Sekarang Hujin dapat berdiri bukan?” kata Bu-koat sambil menghela napas lega.

Tapi Pek-hujin masih terkulai lemas di atas onggokan jerami, ucapnya dengan terengah-engah, “Mana aku sanggup berdiri sekarang?”

Keruan Bu-koat melengak bingung, tanyanya, “Ken... kenapa tidak sanggup berdiri?”

“Masa... masa kau tidak tahu?” ucap Pek-hujin dengan lirikan genit.

“Tidak, aku tidak paham,” jawab Bu-koat.

“Tolol, masa tak dapat kau lihat? Saat ini pada hakikatnya aku tidak bertenaga sedikit pun,” ujar Pek-hujin sambil menghela napas gegetun. Sebutannya kepada Bu-koat dari “Kongcu” kini telah berubah menjadi “tolol.”

Bu-koat berdehem kikuk, katanya sambil menyengir, “Tadi... tadi Hujin bilang waktunya sudah mendesak, mengapa sekarang malah tidak terburu-buru lagi.”

“Aku kan tidak sengaja,” ucap Pek-hujin. “Jika kau yang terburu-buru, bolehlah memayang bangun aku.”

Terpaksa Bu-koat menjulurkan tangannya untuk menyanggah bahu si nyonya.

Tapi Pek-hujin seperti orang lumpuh saja, mana dia sanggup menariknya bangun. Malahan kalau dia tidak berdiri kuat-kuat, mungkin dia sendiri yang terseret jatuh ngusruk ke onggokan jerami.

Terpaksa Bu-koat memegang pinggang Pek-hujin.

Tapi sekujur badan Pek-hujin lantas menggeliat sambil tertawa nyekikik dan berseru, “O, ge...geli! Ai, rupanya kau pun tidak beres, sudah tahu aku takut geli, tapi kau sengaja menggelitik aku.”

“Aku... aku tidak sengaja,” kembali muka Bu-koat merah jengah.

Pek-hujin mengerling genit dan mengomel, “Siapa tahu kau sengaja atau tidak.”

Bu-koat tidak berani memandangnya, ia berpaling ke arah lain dan berkata, “Jika Hujin tidak lekas bangun, Cayhe akan....”

“Kau akan apa? Memangnya kau cuma menolong orang setengah-setengah lantas hendak pergi begitu saja?” ucap Pek-hujin dengan tertawa genit.

“Tapi aku... aku....” Bu-koat benar-benar tak berdaya sehingga tidak tahu apa yang harus diucapkan.

“Tolol,” omel Pek-hujin pula, “lelaki segagah kau masakah bingung menghadapi urusan sekecil ini?”

“Habis bagaimana harus kulakukan menurut Hujin?” tanya Bu-koat.

“Jika tidak kuat memayang diriku, kenapa tidak kau pondong saja?” kata Pek-hujin dengan wajah bersemu merah dan dada yang montok itu berombak.

Jika Kang Giok-long yang menghadapi adegan seperti sekarang ini, mustahil kalau Pek-hujin tidak ditubruknya dan dirangkul. Apabila Siau-hi-ji bisa jadi kontan Pek-hujin akan dipersen suatu tamparan, lalu ditanya apa maksudnya.

Akan tetapi Hoa Bu-koat bukanlah Kang Giok-long dan juga bukan Siau-hi-ji, pada hakikatnya dia anti seluruh perempuan di dunia ini, tapi ia pun tidak bersikap kasar terhadap perempuan, juga tidak mungkin marah kepada mereka. Bahkan sampai detik ini dia belum merasakan bahwa perempuan yang genit dan lunglai ini sesungguhnya berpuluh kali lebih berbahaya dari pada macan loreng yang mendekam di samping itu.

Dia cuma mengganggap sikap Pek-hujin itu hanya karena bergeloranya nafsu berahi seorang perempuan saja. Ia merasa dirinya sekali pun tidak boleh menerima godaannya itu, tapi juga tidak boleh terlalu kejam padanya, sebab ia selalu merasa perempuan begini harus dikasihani.

Di Ih-hoa-kiong sendiri juga banyak terdapat perempuan yang begini. Sebegitu jauh ia bersimpatik kepada mereka, apa lagi ia pun merasakan, betapa pun orang kan juga “bermaksud baik” padanya?

Bila mana Siau-hi-ji mengetahui jalan pikiran Hoa Bu-koat, mustahil kalau gigi Siau-hi-ji tidak rontok karena tertawa terpingkal-pingkal. Akan tetapi, apabila Siau-hi-ji juga dibesarkan di lingkungan seperti Hoa Bu-koat, jalan pikirannya tentu juga akan sama.

Begitulah Bu-koat terdiam sejenak dengan ragu-ragu, ia menghela napas, katanya kemudian dengan suara halus, “Jika Hujin belum sanggup berdiri, biarlah Cayhe menunggu saja sebentar lagi.”

Pek-hujin memandangi anak muda yang aneh ini dari atas ke bawah dan dari bawah ke atas pula, diam-diam ia sangat heran. akhirnya ia tanya, “Apakah benar kau tak bisa apa-apa dan cuma bisa menunggu saja?”

“Ya,” jawab Bu-koat.

“Jika sehari suntuk aku tak dapat berdiri?” tanya Pek-hujin sambil mengerling genit.

“Akan kutunggu juga satu hari.”

“Kau dapat menunggu sekian lama?”

“Biasanya Cayhe cukup sabar.”

Pek-hujin mengikik tawa, katanya, “Bila mana tiga hari tiga malam aku tak dapat berdiri, apakah kau pun akan menunggu sekian lama?”

Hoa Bu-koat tetap tenang saja dan menjawab dengan tersenyum, “Kuyakin Hujin pasti takkan membiarkan kutunggu sebegitu lama.”

Pek-hujin menatapnya lekat-lekat, ucapnya sambil menggeleng, “Sungguh tak kusangka bahwa kau ternyata orang seaneh ini....” sampai di sini, mendadak ia menjerit tertahan terus menubruk ke pangkuan Hoa Bu-koat.

Keruan Bu-koat kaget, serunya, “Hujin....”

“Wah celaka!” seru Pek-hujin gemetar. “Sua... suamiku pulang.”

Mau tak mau berubah pucat juga Bu-koat, serunya khawatir, “Di... di mana?”

“Itu... itu....” suara Pek-hujin tergagap dan badan gemetar.

Maka terdengarlah suara seorang meraung di luar, “Di sini!”

“Blang,” daun jendela sebelah kiri mendadak tergetar pecah berkeping-keping, seorang lelaki kekar tahu-tahu menerobos masuk melalui jendela yang sudah jebol itu. Perawakan lelaki ini tidak terlalu tinggi, tapi pundak lebar dan punggung tebal, gagah perkasa tampaknya, otot dagingnya kencang dan kekar sehingga memberi kesan orang yang memandangnya bahwa perawakannya jauh lebih tinggi besar.

Dia memakai baju loreng pancawarna, muka hitam penuh cambang yang kaku, sorot matanya mencorong tajam.

Sejak tadi Hoa Bu-koat berniat mendorong pergi Pek-hujin, tapi celakanya, nyonya itu justru merangkul lehernya dengan lebih erat, mati pun tidak mau lepas, tampaknya ketakutan setengah mati. Dalam keadaan demikian, mana Bu-koat tega mendorongnya pergi?

Dengan sendirinya lelaki kekar itu mendelik menyaksikan adegan yang memanaskan hati itu. Bentaknya murka, “Sundel, bagus sekali perbuatanmu!”

Ketika orang itu sudah berada di dalam, harimau loreng tadi lantas mendekatinya dengan menggoyang-goyang ekor seperti anjing piaraan.

Akan tetapi dengan sekali jotos lelaki itu telah membuat harimau yang bobotnya beratus kali itu hampir mencelat keluar, paling sedikit terpental dua-tiga meter jauhnya. Berbareng ia berjingkrak dan memaki binatang itu, “Keparat yang tak berguna, kusuruh kau awasi perempuan busuk ini, tapi kau hanya tidur melulu.”

Harimau itu sedikit pun tidak punya kegarangan sebagai raja hutan lagi, setelah menggeliat bangun, dengan munduk-munduk dia mendekam di sana. Melihat keadaannya yang lesu dan takut-takut itu, sungguh tidak lebih menarik dari pada seekor anjing.

Terkesima Hoa Bu-koat menyaksikan kejadian itu, ia berkata, “Harap Tuan jangan gusar dulu, dengarkanlah keteranganku....”

Mendingan kalau dia diam saja, lantaran bicara lelaki itu jadi semakin murka, teriaknya, “Keterangan apa? Keterangan kentut anjing! Baru saja kakiku melangkah keluar, kalian berdua anjing laki perempuan ini lantas main pat-gulipat. Memang sudah lama kutahu sundel ini adalah perempuan hina-dina, cuma tidak kusangka dia bisa penujui muka putih macam kau ini.”

Bu-koat tidak tahan lagi, dengan mendongkol dia menjawab, “Cara bicaramu hendaklah kira-kira sedikit....”

“Kira-kira sedikit apa? Istriku berada dalam pelukanmu, apakah kau tahu kira-kira segala?” damprat lelaki itu.

Melenggong juga Bu-koat, memang betul Pek-hujin masih didekap olehnya, terpaksa ia tidak dapat umbar rasa amarahnya, ucapnya dengan menyengir, “Ah, ini... ini salah paham belaka....”

“Salah paham kentut anjing!” bentak lelaki itu. “Dengan mata sendiri kulihat perbuatan kalian, bukti nyata tertangkap basah, kau masih berani mungkir?”

“Menyaksikan sendiri belum tentu terjadi sungguh-sungguh,” ucap Bu-koat dengan menyesal. “Sesungguhnya Cayhe bukanlah... bukanlah manusia sebagaimana kau kira. Jika Tuan tidak percaya, mengapa tidak tanya langsung kepada istrimu?”

Sebenarnya hati Bu-koat juga sangat gusar, tapi sebelum persoalannya dibikin jelas terpaksa ia harus bersabar dan tak dapat bertindak.

Segera lelaki itu membentak, “Baik! Nah, katakan, sundel, siapa bocah ini? Apa yang telah kalian lakukan tadi?”

Pek-hujin menghela napas panjang, jawabnya perlahan, “Urusan sudah kadung begini, kukira juga tidak perlu membohongimu lagi. Dia... dia ialah gen... gendakku.”

Sekali ini Bu-koat benar-benar melonjak kaget, sekuatnya dia mendorong nyonya itu, teriaknya, “Apa katamu, Hujin?”

Jawab Pek-hujin dengan menunduk, “Urusan kita cepat atau lambat toh harus diberitahukan padanya, ditutup lagi juga tiada gunanya.”

Tidak kepalang terperanjat Hoa Bu-koat, teriaknya, “Hujin, mengapa kau... kau....”

“Nah, masih berani mungkir lagi?” si lelaki tadi meraung murka. “Anak jadah, apa abamu sekarang?”

Bu-koat jadi pucat, jawabnya, “Tapi aku dan istrimu sebenarnya belum... belum kenal....”

“Belum kenal?! Kentut makmu busuk! Belum kenal mana bisa saling peluk segala...?” lelaki itu meraung murka pula. “Ayo, mengakulah terus terang. Semenjak kapan kau bergendakan dengan biniku?”

“Bahkan baru malam ini....”

Belum lanjut ucapan Bu-koat, dengan suara lantang Pek-hujin lantas menyela, “Mengaku ya mengaku, kita takut apa....?” lalu ia melotot ke arah suaminya sambil menjengek, “Terus terang kuberitahukan padamu, gendakan kami sudah berlangsung dua tahun lebih, bahkan sudah hampir tiga tahun. Nah, kau mau apa?”

Kembali lelaki itu meraung-raung kalap sambil memukul dada sendiri, teriaknya murka, “O, mati aku!”

Akan tetapi Bu-koat sedikitnya sepuluh kali lebih murka dari pada dia, dengan terputus-putus ia berteriak, “Pek-hujin, selamanya kita... kita tiada permusuhan apa-apa, kenapa... kenapa kau bicara begini....?”

“O, permata hatiku, apa yang kita takuti?” jawab Pek-hujin dengan suara lembut, “Urusan toh sudah kadung begini, akan lebih baik kalau kita membuka kartu dan bicara blak-blakan saja dengan dia.”

Saking dongkol dan gusarnya hingga tangan Bu-koat terasa gemetar, “Kau... kau....” ia tidak sanggup bicara lagi.

“Bicara terus terang juga tiada gunanya,” teriak lelaki itu dengan bengis. “Bila kalian sepasang anjing buduk ini menghendaki mataku merem dan melek, huh, jangan kalian harapkan.”

Sambil meraung, mendadak ia menerjang maju terus menghantamnya. Pukulan yang dahsyat sehingga sumbu lampu tergoncang dan sinar bergoyang-goyang. Kain baju Hoa Bu-koat sampai berkibar tersampuk oleh angin pukulannya.

Tak terduga oleh Bu-koat bahwa orang yang dogol dan tidak tahu aturan ini juga memiliki tenaga pukulan sedahsyat ini. Sesungguhnya ia tidak ingin berkelahi untuk persoalan yang membuatnya penasaran ini, cepat ia mengegos, dengan mudah pukulan orang dapat dihindarkannya.

Lelaki itu tambah marah, bentaknya, “Keparat, pantas kau berani mengerjai bini orang, kiranya kau memang punya sejurus dua!” Di tengah bentakannya dua-tiga kali pukulannya dilontarkan pula.

Dengan gesit Bu-koat berkelit ke sana kemari, kalau bisa sungguh dia tidak ingin balas menyerang.

Akan tetapi pukulan lelaki ini sudah lihai lagi dahsyat, bahkan gayanya sangat ganas, betapa tinggi Kungfunya ternyata jauh di luar dugaan Bu-koat.

“Ayolah, balas serang dia!” demikian Pek-hujin berteriak-teriak di samping. “Untuk apa mengalah padanya? Jika kau tidak membunuh dia, sebentar kau yang akan dibunuhnya.”

Sesungguhnya Hoa Bu-koat juga sudah kepepet sehingga terpaksa harus balas menyerang. Segera telapak tangan kiri menepuk ke depan, dengan gaya indah tangan kanan lantas memutar setengah lingkaran ke samping.

Inilah ilmu sakti “Ih-hoa-ciap-giok” yang termasyhur. Tak peduli siapa pun juga bila kena ditarik oleh tenaga putaran yang aneh ini, maka serangan yang dilancarkan akan seluruhnya berbalik menghantam pada tubuh sendiri.

Tak terduga, mendadak lelaki itu meraung keras-keras seperti auman harimau, tubuhnya mendoyong mentah-mentah ke belakang, daya pukulannya yang dilontarkan tadi dihentikannya di tengah jalan.

Padahal tenaga pukulannya telah dilontarkan sedemikian dahsyat, tentu pertahanan bagian belakang sudah kosong. Kalau tenaga pukulannya sampai menghantam balik, maka pasti tidak tahan. Namun lelaki ini benar-benar sangat lihai, dia mampu mengelakkan dengan gaya yang sukar dibayangkan.

Sama sekali Bu-koat tidak menyangka orang ini mampu mematahkan ilmu sakti Ih-hoa-ciap-giok yang hebat itu. Kecuali “Yan Lam-thian,” lelaki inilah orang kedua yang mampu melawannya. Tentu saja ia terkejut.

Lelaki itu menatapnya dengan menyeringai, katanya, “Kiranya kau berasal dari Ih-hoa-kiong, pantas kau begini aneh... Tetapi melulu sedikit kemampuan ini masa kau dapat melawan aku Pek San-kun. Jika ibu gurumu disuruh menghadapi aku masih boleh juga.”

Pukulannya lantas dilancarkannya pula, tenaganya lebih kuat dan tambah buas seakan-akan ilmu silat Ih-hoa-kiong yang mahasakti itu sama sekali tidak dihiraukan olehnya.

Setelah serangan pertama tak dapat menundukkan lawan, Bu-koat juga tidak berani sembarangan mengeluarkan lagi ilmu sakti Ih-hoa-ciap-giok, sebab ilmu ini tampaknya ringan saja permainannya, tapi sebenarnya sangat makan tenaga.

Akan tetapi kini mau tak mau dia harus balas menyerang. Ilmu silat Pek San-kun yang lihai ini telah merangsang hasrat pertarungannya, mendadak bisa ketemu lawan tangguh, timbul juga keinginannya untuk menentukan kalah menang dengan lawan.

Pek-hujin lantas bersorak di samping, “Betul, jangan takut padanya, demi membela diriku, pantas juga kau labrak dia!”

Seruan ini meski terasa tidak enak di telinga Hoa Bu-koat, tapi ibarat sudah berada di atas punggung macan, ingin turun juga tidak bisa lagi, sungguh dia tidak paham sebenarnya apa maksud tujuan Pek-hujin itu?

Sementara itu serangan Pek San-kun semakin dahsyat. Lwekangnya cukup kuat, gaya serangannya berbahaya, semua ini belum menakutkan, yang paling hebat adalah perbawanya yang galak dan buas itu benar-benar seperti harimau hendak menerkam mangsanya dan membuat orang ngeri.

Akan tetapi Bu-koat juga melayani dengan tidak kurang lihainya, gerakannya gesit, gayanya indah, dia terus berputar kian kemari di seluruh ruangan, betapa pun dahsyat pukulan Pek San-kun tetap tak dapat menyenggolnya.

“Kekasihku, baru sekarang kutahu kau memiliki kepandaian sebagus ini,” seru Pek-hujin dengan tertawa genit. “Punya pacar seperti kau ini, apa lagi yang kutakuti? Lekas kau binasakan tua bangka ini dan kita akan menjadi suami-istri abadi dan hidup dengan aman tenteram.”

Makin omong makin menusuk telinga, tapi Hoa Bu-koat tidak dapat menutup kuping, mau tidak mau ia harus mendengarkannya. Meski ia cukup tenang, tidak urung juga rada terganggu konsentrasi pikirannya. Sedangkan pukulan Pek San-kun yang mahadahsyat itu justru tidak mengizinkan dia lengah sedikit pun.

Mendadak Pek-hujin menjerit khawatir, “He, awas, serangan berikutnya dengan cakar harimaunya akan mencengkeram hulu hatimu!”

Benar juga, di tengah raungannya yang keras, tangan Pek San-kun yang mirip cakar harimau itu betul-betul mencengkeram ke dada Hoa Bu-koat.

Serangan ini tidak kelihatan lihai, Bu-koat hanya menyurut mundur selangkah saja dan serangan itu pun terhindar. Diam-diam ia merasa heran, ia tidak tahu mengapa Pek-hujin mesti menjerit mendadak. Ia tahu di balik semua ini pasti tersembunyi suatu permainan.

Namun keadaan tidak memberi kesempatan baginya untuk merenungkan hal itu, baru saja kakinya melangkah mundur, antara belakang dengkul kanan-kiri masing-masing telah terkena satu titik Am-gi atau senjata rahasia. Rasanya seperti digigit nyamuk, tapi orangnya lantas roboh terjungkal.

Senjata gelap itu ternyata sudah memperhitungkan dengan jitu ke mana dia akan mundur dan seakan-akan sudah menantikannya di situ. Suara sambaran senjata rahasia itu sangat lirih, ditambah lagi jeritan ngeri Pek-hujin dan raungan Pek San-kun, tentu saja Hoa Bu-koat tidak tahu.

Bahkan setelah roboh dia masih tidak tahu bahwa yang menyambitkan senjata rahasia itu ialah Pek-hujin sendiri.

Sementara itu Pek-hujin telah menubruk maju dan merangkul leher Pek San-kun sambil berseru dengan terengah-engah, “Tadinya kusangka telah jatuh cinta pada orang lain, tapi setelah kalian berkelahi baru kuyakin yang benar-benar kucintai tetaplah engkau. Aku dapat membunuh seluruh lelaki di dunia ini, tapi tidak dapat menyaksikan orang lain mengusik sebuah jarimu.”

Bu-koat menghela napas, ia memejamkan mata dan diam-diam mengeluh, “O, perempuan....”

Baru sekarang ia mengerti sebab apa Siau-hi-ji merasa sakit kepala terhadap perempuan.

Didengarnya suara “plok” yang keras, suara muka digampar, terdengar Pek-hujin menjerit perlahan. Jelas dia kena ditempeleng dengan keras oleh Pek San-kun.

Menyusul terdengar Pek San-kun mengumpat dengan gusar, “Kau perempuan hina-dina, perempuan busuk! Memangnya baru sekarang kau sadar yang kau cintai adalah diriku?!” Setiap bicara satu kalimat, berbareng ditampar lagi satu kali dan Pek-hujin pun lantas menjerit ngeri.

Diam-diam Bu-koat mengeleng kepala. Ia merasa makian Pek San-kun itu memang tidak salah, betapa pun “Pek-hujin” itu memang perempuan murahan. Meski dia tidak setuju lelaki memukul perempuan, tapi ia pun merasa nyonya ini memang perlu dihajar secara setimpal, cuma ia sendiri tidak sudi memandangnya lagi.

Padahal kalau sekarang dia mau membuka mata dan memandang ke sana, maka pasti dia akan terheran-heran.

Suara napas Pek-hujin seperti sangat menderita, tubuhnya meringkuk menjadi satu, namun air mukanya tiada sedikit pun mengunjuk rasa sakit, malahan sorot matanya memancarkan cahaya aneh, cahaya kepuasan. Setiap digampar oleh tangan Pek San-kun, sama sekali dia tidak menghindar, bahkan seakan-akan sengaja memapak pukulan itu.

Semakin ganas cara menghajar Pek San-kun, semakin terang pula sinar mata Pek-hujin. Tubuhnya yang meringkuk itu mulai menggeliat-liat.

Sambil memukul Pek San-kun masih terus mencaci-maki, “Kau perempuan sundel, perempuan pecomberan, selanjutnya kau berani lagi mengkhianati aku atau tidak?!”

“Tidak, tidak berani lagi!” teriak Pek-hujin dengan gemetar. “Sungguh tidak berani lagi. Selain engkau, aku tidak menghendaki lelaki lain pula.”

“Apakah kau sudah puas dihajar?” damprat Pek San kun.

“O, kekasih, tega... tega amat engkau! Biarlah kau pukul mati aku saja!” demikian keluh Pek-hujin. Mendadak ia menubruk maju, kaki Pek San-kun dipeluknya erat-erat.

Tapi sekali Pek San-kun mendepak, kontan tubuh Pek-hujin mencelat ke sana dan menubruk dinding, setelah terguling pula, akhirnya terkapar tak bergerak lagi. Hanya mulutnya saja masih mengeluarkan rintihan lirih.

Diam-diam Hoa Bu-koat menghela napas gegetun. Didengarnya Pek San-kun tertawa keras pula, makin lama makin dekat dan akhirnya berada di sebelahnya. Tapi mata Bu-koat terpejam lebih rapat, ia tidak ingin bicara, tidak ingin mendengar dan juga tidak ingin melihat.

Dengan tertawa latah Pek San-kun berkata, “Nah, sekarang tentunya kau tahu betapa lihainya biniku, barang siapa menyentuh dia pasti celaka, usiamu masih muda belia dan tidak mirip orang tolol, mengapa kau sampai berbuat tidak senonoh begini?”

Bu-koat hanya menggereget dan tidak memberi bantahan apa pun. Dalam keadaan demikian, ia tahu biar pun membantah dan berdebat cara bagaimana pun juga tiada gunanya.

Pek San-kun lantas menjambret bajunya terus diseret pergi.

Maka bicaralah Bu-koat, “Pek San-kun, jika kau seorang lelaki sejati, bila sekali bacok kau bunuh diriku, tentu aku malah berterima kasih padamu, tapi kalau kau bermaksud menghina aku, cara demikian bukanlah perbuatan seorang ksatria tulen.”

“Hah, kau ingin mati?” tanya Pek San-kun dengan tertawa.

“Urusan sudah begini, paling-paling juga cuma mati saja,” jawab Bu-koat.

“Lalu bagaimana bila aku tidak mematikan kau?” kata Pek San-kun.

Bu-koat menghela napas, ia memejamkan mata dan tidak mau berucap pula.

Ia merasa tubuhnya ditaruh di atas sebuah dipan oleh Pek San-kun, lalu dibalik sehingga bertiarap, menyusul celananya lantas dipelorotkan.

Keruan Bu-koat kaget dan berteriak, “He, apa... apa kehendakmu?” Sebisanya ia berusaha mendongak dan membuka matanya.

Tertampak Pek San-kun berdiri di samping dipan sambil cengar-cengir, air mukanya tidak menampilkan maksud jahat, tangannya memegang sepotong besi tapal kuda, katanya, “Racun senjata rahasia biniku ini sangat keji, sampai-sampai Yan Lam-thian dulu juga pusing kepala menghadapinya. Sekarang kedua kakimu masing-masing terkena sebuah senjata rahasianya, jika tidak kusedot keluar dengan besi sembrani ini, maka selama hidupmu ini jangan harap akan dapat berjalan pula.”

Kejut dan sangsi Bu-koat, tanyanya, “Meng... mengapa kau menolong aku?”

Pek San-kun mendelik, ia balas bertanya, “Mengapa aku tidak boleh menolongmu?”

“Tapi... tapi....” Bu-koat tergegap.

“Hahaha! Memangnya kau kira aku mau percaya kepada ocehan biniku?” tiba-tiba Pek San-kun bergelak tertawa pula.

Dalam pada itu dua buah jarum kecil selembut bulu kerbau telah disedotnya keluar dengan besi sembraninya dari belakang dengkul Hoa Bu-koat, meski lembut sekali jarum itu, namun ketika menancap di siku dengkul Bu-koat telah membuat tenaganya hilang sama sekali, bahkan satu jari pun tak dapat bergerak. Kini setelah jarum itu dikeluarkan, secara ajaib tenaga Bu-koat lantas pulih seketika, segera ia melompat bangun.

“Jika kau tidak percaya ucapan istrimu, mengapa... mengapa kau tadi marah-marah dan memukuli dia?” tanya Bu-koat dengan terbelalak.

Pek San-kun angkat pundak, jawabnya dengan tertawa, “Aku sengaja berbuat begitu baginya.”

“Kau sengaja?” seru Bu-koat terheran-heran.

“Ya, masa kau heran?”

Bu-koat menghela napas, ucapnya, “Terus terang, selama hidupku belum pernah kulihat kejadian yang lebih aneh dari pada kejadian tadi.”

Bahwa Pek-hujin dirantai oleh suaminya sendiri seperti hewan sehingga perlu minta pertolongannya, hal ini sudah luar biasa. Setelah Pek-hujin dibebaskan dari belenggu, nyonya ini malahan memfitnah dan menyerangnya dengan jarum berbisa, ini pun sama sekali tak terduga. Dan sekarang Pek San-kun berbalik menolongnya dengan mengeluarkan jarum beracun itu serta memberitahukan apa yang terjadi sesungguhnya. Semua ini membuatnya tidak habis mengerti dan bingung.

Pek San-kun lantas tepuk-tepuk pundaknya dan berkata, “Anak muda, aku pun tahu kau telah dibuat bingung, duduk dan biarlah kuceritakan lebih jelas.”

“Ya, Cayhe memang ingin mohon penjelasan,” Bu-koat tersenyum pahit.

Pek San-kun lantas menghela napas gegetun dan juga tersenyum getir, tuturnya, “Kau tahu, di dunia ini ada setengah orang yang berwatak aneh, bila mana orang menghormat dan mencintai dia, maka dia akan menderita malah. Sebaliknya kalau dia diperlakukan secara kasar, secara sadis, dia justru malah merasa senang dan nikmat.”

Tentu saja Bu-koat heran juga geli, katanya, “Masa di dunia ini ada orang macam begini?”

“Sudah tentu ada,” Pek San-kun menyengir. “Istriku itulah salah satu di antaranya.”

“Oo!” baru sekarang Bu-koat paham.

“Sungguh sukar dipercaya bila kuceritakan,” tutur Pek San-kun pula, “Hidup istriku ini tiada mempunyai kesukaan lain, hobinya cuma minta dipukuli. Bila kupukul dia, makin keras makin senang dia. Bahkan esoknya semangatnya akan berkobar-kobar dan wajah berseri-seri. Sebaliknya kalau beberapa hari tidak dipukul, maka dia akan, lesu, malas, makan minum rasanya tidak enak, bahkan bicara pun sungkan.”

Bu-koat melongo kesima mendengarkan cerita yang aneh ini. “Masa... masa dia bisa begitu?” tanyanya kemudian.

“Konon sejak kecil dia sudah begitu. Sejak kecil dia suka orang lain memperlakukan dia dengan sadis, bahkan ia sendiri pun berbuat kasar atas dirinya sendiri. Sampai usia sudah lanjut sifatnya ini tidak berubah, bahkan bertambah menjadi-jadi, sampai-sampai tempat tinggal bisa juga tidak betah dan sengaja mengatur tempat tinggalnya serupa kandang kuda, malahan minta aku membelenggu dia dengan rantai.”

“O, kiranya ia sendiri yang minta diperlakukan begitu, tadinya Cayhe mengira....”

“Memangnya kau kira aku ini orang yang tak berperikemanusiaan?”

“Soalnya Cayhe tidak pernah membayangkan di dunia ini ada orang yang sukarela diperlakukan sebagai hewan,” ujar Bu-koat dengan gegetun.

“Nah, meski kutahu penyakitnya itu, terkadang aku toh tidak tega turun tangan menyiksanya, maka dia lantas sengaja membuat marah padaku, tujuannya agar aku memukul dia.”

“Apa yang terjadi tadi tentunya juga lantaran kebiasaannya itulah,” ujar Bu-koat dengan gegetun.

“Dalam hal ini masih ada suatu sebab lainnya,” kata Pek San-kun.

“O? Ada sebab lain?” Bu-koat heran.

“Lantaran usianya makin menanjak, dia selalu khawatir aku akan semakin bosan padanya dan menyukai perempuan lain, maka sering kali dia sengaja membuat aku cemburu....”

“Padahal perbuatan Pek-hujin ini hanya berlebihan belaka,” tiba-tiba Bu-koat menyela dengan tertawa, “Cintamu kepada istri, dari awal hingga akhir, tentunya tidak pernah berubah, betul tidak?”

“Dia sendiri tidak tahu, dari mana kau malah tahu?” tanya Pek San-kun.

“Sebab kalau engkau tidak mencintai dia hingga merasuk tulang sumsum, tentu takkan timbul kejadian seperti tadi.”

“Hahahaha!” Pek San-kun menengadah dan bergelak tertawa. “Memang betul, demi kepuasannya ternyata sahabat yang harus kena getahnya. Kejadian ini betapa pun adalah kesalahan kami suami istri, hukuman apa yang kiranya setimpal boleh silakan sahabat menyebutkannya.”

Bu-koat membetulkan pakaiannya, ucapnya dengan tersenyum, “Bicara terus terang, terhadap kejadian tadi Cayhe memang rada mendongkol, tapi setelah mendengar penjelasanmu barusan, betapa pun aku menaruh simpatik atas keadaanmu dan sangat kuhormati pula kesetiaanmu dalam hubungan antara suami dan istri. Apa lagi sekarang aku sudah menjadi tawanan kalian, yang harus pasrah nasib adalah diriku ini.”

“Ah, ucapan sahabat teramat gawat,” ujar Pek San-kun dengan tertawa.

Bu-koat memberi hormat, lalu berkata pula, “Apa pun juga, kejadian tadi pasti takkan kuungkap lagi, kuharap semoga kalian suami istri hidup bahagia hingga tua....” mendadak dia tidak melanjutkan ucapannya, sebab baru dua-tiga tindak dia melangkah, tiba-tiba dirasakan langkah kakinya ada sesuatu pula yang tidak beres. Walau pun kaki dapat bergerak, namun tenaga terasa sukar dikerahkan, hanya sebatas pinggang, lalu macet.

Tapi Pek San-kun masih memandangnya dengan tertawa, ia membalas hormat dan menjawab, “Apakah sahabat hendak berangkat sekarang?”

Bu-koat menarik napas panjang-panjang, jawabnya kemudian, “Barangkali engkau ada pesan lain pula?”

“Apa pun juga aku merasa tidak enak terhadapmu, mana berani kubikin repot padamu lagi?” jawab Pek San-kun.

“Jika begitu, mengapa diam-diam kau mengerjakan sesuatu di bagian pinggangku?” tanya Bu-koat.

Pek San-kun seperti terkejut dan berseru, “He, apa betul? Ah, mungkin tadi waktu kusedot jarum itu, karena kurang hati-hati sehingga jarum itu kembali menancap di sesuatu Hiat-tomu lagi.”

“Ya, rasanya seperti di bagian Jiau-yau-hiat,” kata Bu-koat dengan tenang.

Pek San-kun tampak merasa khawatir, ucapnya sambil menggosok-gosok tangan, “Wah, repot jika berada di dekat Jiau-yau-hiat, sungguh aku menjadi takut untuk mencabut pula jarum itu, bila kurang hati-hati, bisa jadi jarum itu tambah menyusup lebih dalam ke tubuhmu, maka malaikat dewata sekali pun tidak sanggup menolongmu, terpaksa engkau harus tersiksa tertawa latah selama tiga hari dan akhirnya akan binasa.”

Bu-koat terdiam sejenak, katanya kemudian, “Jika demikian, terpaksa kumohon diri untuk mencari jalan lain saja.”

“Tapi kalau kau terus bergerak, jarum lembut itu pun akan bergerak mengikuti jalan darahmu dan langsung masuk Jiau-yau-hiatmu, biar pun kau akan bertindak dengan hati-hati juga takkan melangkah lebih jauh dari pada lima puluh tindak.”

Bu-koat berhenti dan balik tubuh perlahan, dengan tenang ia tatap orang, sampai lama sekali barulah ia menghela napas panjang, ucapnya dengan tersenyum getir sambil menggeleng kepala, “Tindak tanduk kalian suami istri sungguh sukar dimengerti. Bahwa istrimu tidak suka jadi kuda, sedangkan engkau....”

“Bila mana sahabat merasakan ada sesuatu yang sukar dimengerti atas diriku, silakan bicara terus terang, pasti akan kujelaskan,” ucap Pek San-kun dengan tertawa.....
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar