Bakti Pendekar Binal Jilid 36

Kejut dan gusar tidak Thi Sim-lan, serunya dengan suara parau, “Masa nona tidak... tidak mengizinkan orang bicara?”

Gadis cilik itu memandangnya dengan tertawa tanpa menjawabnya, tapi malah berkata, “Kami tidak peduli apa yang hendak kau katakan, yang jelas kami harus berterima kasih padamu.”

“Berterima kasih padaku?” Thi Sim-lan mengulang ucapan ini dengan melenggong.

“Ya, tahukah kau bahwa selama di sini kami tak pernah bergembira, waktu bergembira satu-satunya ialah bila mana ada orang menerobos masuk ke sini,” kata gadis cilik tadi.

“Tapi... tapi kedatanganku hanya ingin menemui Kiongcu untuk bicara satu kalimat saja,” seru Sim-lan.

“Apakah kau tahu cara bagaimana Kiongcu telah memberi pesan pada kami?” tanya gadis tadi dengan tertawa.

Sim-lan menggeleng kepala.

“Pesan Kiongcu pada kami, barang siapa berani menerobos ke Ih-hoa-kiong sini, tak peduli siapa dia kami diperbolehkan membunuhnya, bahkan terserah kepada kami cara bagaimana akan membunuhnya.”

Sekujur badan Thi Sim-lan serasa merinding. Sudah tentu ia paham apa artinya ucapan “diperbolehkan membunuhnya dengan cara bagaimana pun.”

Ia juga perempuan, dengan sendirinya juga lebih paham bila seorang perempuan hendak memperlakukan sesuatu pada sesama perempuan, caranya bisa jauh lebih keji dan mengerikan dari pada cara lelaki memperlakukan perempuan.

Sementara itu keempat gadis cilik tadi telah merubung maju dan makin maju sehingga Thi Sim-lan terkepung di tengah. Dengan sorot mata yang liar mereka mengincar tubuh Thi Sim-lan, napas mereka mulai memburu, ujung hidung mereka pun mulai merembeskan butiran keringat.

Sim-lan gemetar, teriaknya parau, “Seumpama kalian harus membunuhku, berilah kesempatan padaku untuk menemui Kiongcu.”

Si gadis tadi tertawa nyekikik, katanya, “Selama hidupmu ini jangan harap akan dapat menemui beliau.”

Wajah si gadis makin mendekat, Thi Sim-lan sudah dapat melihat biji mata orang yang berkembang besar laksana mata kucing di waktu malam, hidungnya tampak berkembang-kempis, sambil menjilat-jilat bibir terkadang juga menyeringai, sehingga kelihatan barisan giginya yang putih.

Mendadak gadis itu mengulurkan tangannya untuk menarik baju Thi Sim-lan.

Dengan mati-matian Thi Sim-lan meronta dan membela diri, seumpama menghadapi seorang pemuda bangor di tengah malam rasanya juga tidak setakut seperti sekarang ini.

Beberapa gadis ini seakan-akan sudah berubah menjadi serigala betina yang sedang berahi, mereka seolah-olah lupa bahwa Thi Sim-lan juga anak perempuan seperti mereka sendiri.

Yang mereka inginkan hanya pelampiasan... tanpa peduli siapa sasarannya. Empat pasang tangan mereka yang halus itu seakan-akan sudah berubah menjadi delapan buah cakar yang tajam. Sekujur badan Thi Sim-lan terasa digerayangi, terutama bagian dada, pinggul, bahkan bawah perut.

Dengan segenap tenaganya Thi Sim-lan berusaha mempertahankan diri, tapi sukar untuk melawan, terasa cakar yang tajam telah menggores kulit badannya, hanya terasa darah sedang mengalir keluar dari tubuhnya. Ia pun dapat merasakan suara tertawa mereka yang semakin menggila.

Ini benar-benar pemandangan yang gila, busuk dan memalukan, pemandangan yang sukar dibayangkan. Bila mana nafsu seseorang terkekang terlalu lama, sungguh bisa meledak menjadi sesuatu yang lebih menakutkan dari pada apa pun.

Lambat-laun Thi Sim-lan kehabisan tenaga dan tidak sanggup melawan lagi. Perlahan ia tidak merasakan apa-apa pula.

Dalam keadaan putus asa dan antara sadar tak sadar, samar-samar seperti didengarnya seorang membentak, “Lepaskan dia... lepaskan dia...!”

Habis itu ia benar-benar tidak ingat sesuatu lagi, ia mengira dirinya takkan siuman untuk selamanya.

Tapi akhirnya dia toh siuman.

Setelah sadar, ia merasa dirinya berbaring di suatu ranjang yang lunak dan berbau harum, cahaya mentari sudah tidak kelihatan, tapi sinar lampu seakan-akan lebih cemerlang dari pada sinar matahari.

Benderang sinar lampu membuatnya silau dan sukar membentangkan matanya, ia pejamkan mata pula, waktu dia membuka lagi matanya, segera dilihatnya Hoa Bu-koat.

Anak muda itu pun sedang memandangnya dengan lembut, di bawah cahaya yang benderang ini tampaknya dia lebih menyerupai seorang pangeran dalam dongeng, begitu gagah, begitu cakap dan begitu agung.

Thi Sim-lan berkeluh perlahan, ucapnya, “Hoa Bu-koat, benarkah engkau Hoa Bu-koat.”

Dengan lembut Bu-koat tertawa, jawabnya dengan suara halus, “Betul, memang akulah, jangan takut, aku berada di sampingmu.”

Thi Sim-lan memejamkan pula matanya, ucapnya dengan lirih dan gegetun, “Hoa Bu-koat, bila mana aku menghadapi bahaya, mengapa engkau selalu muncul menolong diriku!”

Dalam hati Bu-koat juga merasa gegetun, tapi di mulut dia berkata dengan tertawa, “Jangan lupa, inilah Ih-hoa-kiong, di sinilah rumahku. Kau mengalami cedera di sini, sungguh aku sangat menyesal!”

Mendadak Thi Sim-lan meronta ingin bangun serunya dengan parau, “Kumohon dengan sangat bawalah diriku menemui Kiongcu? Tanpa menghiraukan bahaya apa pun juga kudatang ke sini hanya ingin menemui beliau.”

“Kepulanganku ini juga ingin menemui beliau,” ujar Bu-koat dengan tersenyum pahit. “Cuma sayang, beliau sudah lama keluar.”

Thi Sim-lan menjatuhkan diri pula di ranjang serunya, “Mereka keluar semuanya?”

“Ya, kedua Kiongcu sama keluar istana, hal ini memang jarang terjadi,” kata Bu-koat.

“O, mengapa nasibku selalu begitu buruk,” keluh Sim-lan dengan sedih. “Aku... aku....” ia tidak sanggup melanjutkan pula karena tenggorokannya serasa tersumbat, ia menutupi kepalanya dengan selimut dan tersedu-sedan.

Bu-koat melengong sejenak, katanya kemudian, “Kukira... kutahu maksud kedatanganmu justru untuk urusan yang sama kupulang untuk menanyai beliau, tak tersangka kedua beliau sudah cukup lama meninggalkan istana.”

Thi Sim-lan menangis terguguk-guguk di dalam selimut, tiba-tiba ia bertanya pula, “Selama ini, apakah engkau pernah melihat dia?”

Tanpa menyebut namanya, orang lain juga tahu siapa si “dia” yang dimaksudnya.

Dengan suara lembut Bu-koat menjawab dengan tertawa, “Dia sangat baik sekarang, kau tidak perlu khawatir baginya.” Walau pun sedapatnya dia berlagak acuh, tapi di antara tertawanya terkandung juga rasa getir.

Akhirnya Thi Sim-lan menongolkan kepalanya dari dalam selimut, tanyanya pula dengan bimbang, “Apakah kau tahu, sekarang dia berada di mana?”

Sebisanya Bu-koat tertawa riang, jawabnya lembut, “Kutahu, asalkan kau sehat kembali segera dapat kubawamu pergi mencarinya.”

Si nona menatapnya dengan tajam, tanpa terasa air matanya bercucuran, ucapnya dengan gemetar, “Mengapa... mengapa engkau senantiasa begini baik padaku, engkau... engkau....”

Cepat Bu-koat mengalihkan pokok pembicaraan, katanya, “Sungguh aku sangat menyesal kejadian tadi, cuma mereka... mereka sesungguhnya juga anak-anak perempuan yang harus dikasihani, lantaran kesepian, makanya mereka berubah menjadi begini. Kuharap engkau dapat memaafkan mereka.”

Thi Sim-lan menutupi mukanya dengan tangan, jawabnya sambil mengangguk, “Ya, kutahu, bila mana seorang anak perempuan berubah seperti mereka, di balik ini pasti ada sebab musababnya yang pahit getir, hidup mereka mungkin sekali jauh lebih malang dari padaku.”

Pada saat itulah tiba-tiba di luar berkumandang semacam suara yang aneh, suara itu tidak tajam dan juga tidak seram, tapi membuat orang merinding tanpa terasa.

Suara itu kalau didengarkan dengan cermat rasanya mirip suara gergaji, jika didengarkan lebih lanjut rasanya juga mirip suara pergesekan logam yang membuat orang ngilu dan risi.

Menyusul lantas terdengar jerit kaget para anak perempuan.

Kejut dan heran Thi Sim-lan, tanyanya, “Suara apakah itu? Mengapa begitu aneh?”

Air muka Hoa Bu-koat juga berubah, jawabnya cepat, “Biar kuperiksa keluar.”

Dia tahu, meskipun anak murid Ih-hoa-kiong hampir seluruhnya adalah anak gadis, tapi sama sekali tiada seorang pun yang mudah ketakutan. Jika ada sesuatu yang dapat membuat mereka menjerit kaget, maka persoalannya pasti tidak sederhana.

Thi Sim-lan melihat pakaian sendiri sudah berganti dengan cukup rapi, cepat ia pun melompat turun dari tempat tidur dan berseru, “Aku pun ikut keluar.”

“Tapi lukamu belum....”

“Berada di sampingmu, apa yang perlu kutakuti?” belum habis ucapannya muka si nona lantas merah.

Diam-diam Bu-koat gegetun pula di dalam hati, tapi sementara itu suara yang berisik aneh tadi makin ramai sehingga membuatnya tidak sempat memikirkan urusan lain.

Cepat kedua orang memburu keluar, tertampak para gadis sama sembunyi di serambi depan, semuanya pucat ketakutan, bahkan ada yang gemetar.

Waktu mereka memandang ke sana, terlihat di tengah lautan bunga sana banyak sekali makhluk hidup yang sedang berloncatan.

“He, tikus!” seru Sim-lan. “Dari mana datangnya tikus sebanyak ini?”

Betul, gerombolan makhluk hidup itu memang betul tikus. Beratus-ratus bahkan beribu-ribu ekor tikus wirok sebesar kucing sedang berlari kian kemari di tengah kebun bunga, sebagian besar sedang menggerogoti tangkai pohon dan ada pula yang sedang makan daun bunga yang bernilai tinggi itu.

Meski anak murid Ih-hoa-kiong rata-rata memiliki kepandaian tinggi, namun sayang, mereka hampir semuanya adalah wanita. Harimau mungkin tak membuat mereka takut, tapi tikus, apa lagi tikus sebanyak ini, tentu saja mengerikan mereka, sampai-sampai kaki pun terasa lemas.

Cepat Bu-koat melompat ke sana sambil membentak, “Apakah yang datang adalah anak murid Gui Bu-geh?!”

Suasana sunyi senyap dan tiada bayangan seorang pun. Yang ada cuma beribu-beribu ekor tikus yang sedang berpesta-pora di kebun bunga itu, kebun bunga yang indah itu dalam sekejap saja telah rusak porak-poranda.

Kejut dan gusar pula Hoa Bu-koat, tapi menghadapi kawanan tikus sebanyak ini, betapa ia pun tidak berdaya.

Di Ih-hoa-kiong, sudah tentu ia tak dapat membakar kawanan tikus itu dengan api dan juga tak dapat membenamnya dengan air, bila diusir, hakikatnya kawanan tikus itu tidak takut manusia. Jika dibunuh satu per satu, tikus sebanyak ini akan habis terbunuh sampai kapan? Apa lagi makhluk yang berbulu dengan mata yang melotot itu berlarian kian kemari, siapa yang tidak ngeri?

Sungguh tak terpikir olehnya bahwa Ih-hoa-kiong yang disegani oleh siapa pun juga ternyata tak berdaya menghadapi kawanan tikus yang kotor dan menjijikkan itu.

Sementara itu kebun bunga telah morat-marit, keadaannya tak lagi berwujud kebun bunga yang indah.

Pada saat itulah dari tempat gelap barulah berkumandang suara tertawa keras. Seorang dengan suara tajam melengking berseru, “Manusia di seluruh dunia ini kebanyakan memandang rendah tikus, sekarang mereka seharusnya tahu bahwa makhluk yang paling menakutkan di dunia ini adalah tikus.”

Seorang lagi menyambung dengan tertawa, “Cuma sayang Ih-hoa-kiongcu tidak berada di rumah, kalau tidak, menyaksikan bunga kesayangan mereka telah menjadi isi perut tikus kita, bisa jadi mereka akan ganas dan tumpah darah.”

Perasaan Bu-koat sekarang malah tenang saja, ia tidak gugup dan cemas lagi dan juga tidak marah seakan-akan seekor tikus pun tidak dilihatnya. Dengan tersenyum simpul ia berseru, “Jika anak murid Bu-geh sudah datang, mengapa tidak tampil untuk bertemu?”

Terdengar orang pertama tadi bergelak tertawa dan berkata kepada kawannya, “Sabar juga bocah ini, apakah kau tahu siapa dia?”

Kawannya menjawab, “Konon penghuni Ih-hoa-kiong adalah kaum betina seluruhnya, mengapa bisa muncul seekor jantan?”

Bu-koat tetap tenang-tenang saja, ucapnya dengan hambar, “Cayhe Hoa Bu-koat, anak murid Ih-hoa-kiong tulen!”

“Hoa Bu-koat!” ulang orang itu. “Nama ini seperti pernah kudengar.”

“Jika begitu marilah kita keluar menemuinya,” ajak kawannya.

Belum habis ucapannya, dari tempat gelap di sudut sana mendadak kelihatan bintik-bintik hijau kemilau menyusul dua sosok bayangan orang lantas muncul.

Kedua orang ini sama-sama tinggi dan kurus kering laksana sebatang bambu. Yang satu memakai baju hijau dan yang lain berjubah kuning. Wajah mereka sama-sama gilap kehijau-hijauan seperti memakai topeng.

Usia kedua orang ini belum tua, bentuk mereka juga tidak terlalu jelek, tapi entah mengapa, setiap orang yang melihatnya tentu akan merinding dan mual.

Kawanan tikus tadi agaknya juga sudah melihat bintik-bintik hijau kemilau itu, semuanya lantas berkerumun ke sana, berlapis-lapis dan berjubel-jubel mengelilingi kaki kedua orang itu.

Dengan sorot matanya yang kehijau-hijauan si baju hijau memandang Hoa Bu-koat beberapa kejap, lalu berkata dengan terkekeh-kekeh, “Kau tahu kami ini anak murid perguruan Bu-geh, agaknya luas juga pengalamanmu. Kami jadi merasa sayang bila mana usia semuda kau ini sekarang harus mati.”

Si jubah kuning lantas menyambung dengan tertawa, “Dia bernama Gui Jing-ih (Gui si baju hijau) dan aku Gui Wi-ih (Gui si baju kuning). Sebenarnya kami tidak bermaksud membunuhmu, tapi lantaran kemunculan guru kami sekali ini tujuannya yang pertama ialah menghancurkan Ih-hoa-kiong, maka kami pun terpaksa bertindak menurut perintah.”

Meski lagaknya dia tertawa, tapi sorot matanya sama sekali tiada tanda-tanda tertawa, sebabnya mereka sengaja berlagak tertawa begini hanya ingin orang lain merasa risi sehingga kehilangan semangat tempur.

Maksud tujuan mereka memang benar tercapai. Demi mendengar suara tertawa mereka yang buruk dan seram itu serta menyaksikan mereka dikerumuni kawanan tikus sebanyak itu, ternyata tiada seorang pun di antara gadis-gadis cantik murid Ih-hoa-kiong berani bertindak terhadap mereka.

Hanya Hoa Bu-koat, biar pun menghadapi bahaya dia tetap tenang saja, walau pun mulutnya tidak bersuara, tapi matanya tidak pernah meninggalkan gerak-gerik kedua orang itu. Begitu dilihatnya bahu Gui Jing-ih sedikit bergerak, serentak Bu-koat mendahului menjulang ke atas laksana terbang, hampir berbareng dengan itu dari tangan Gui Jing-ih lantas menyambar keluar selarik sinar hijau.

Akan tetapi pada saat itu juga Bu-koat sudah menubruk ke depan, sinar hijau menyambar lewat di bawah kaki Bu-koat dan seorang gadis cantik lantas menjerit serta terkapar.

Bu-koat tidak menoleh lagi, kedua telapak tangan terus menghantam kepala Gui Jing-ih.

Gui Jing-ih tak menduga bahwa serangan lawan bisa datang begitu cepat, segera ia menggeser ke samping, sebelah tangan menangkis. Berbareng itu Gui Wi-ih juga menghantam dari samping.

Tak tahunya serangan mengapung Hoa Bu-koat ini hanya pancingan belaka, baru setengah jalan mendadak ia tarik tangannya sehingga tidak sampai beradu tangan dengan Gui Jing-ih, sebaliknya terus memutar suatu lingkaran. Seketika tangan Gui Jing-ih terasa seperti dibetot.

Selagi Gui Jing-ih terkejut dan tidak tahu apa yang terjadi, tenaga betotan itu telah menarik tangannya ke samping dan entah cara bagaimana tahu-tahu serangan Gui Wi-ih dari samping itu tertangkis olehnya.

“Prak,” begitulah kedua tangan beradu, menyusul lantas “krek” satu kali, tangan Gui Jing-ih yang terlepas dari kendali itu tergetar patah oleh pukulan Gui Wi-ih yang dahsyat.

Hoa Bu-koat telah menggunakan ilmu sakti “Ih-hoa-ciap-giok” yang tiada taranya itu, dengan cepat luar biasa ia berbalik mengadu pukulan antara kedua lawan dan sekaligus berada di atas angin.

Tentu saja Gui Jing-ih dan Gui Wi-ih terperanjat. Meski Wi-ih tidak terluka, tapi ia menjadi kelabakan ketika diketahui pukulannya melukai kawannya sendiri. Saking gugupnya langkahnya menjadi kacau dan beberapa ekor tikus terinjak mampus, keruan kawanan tikus menjadi ketakutan dan lari serabutan.

Gui Jing-ih sendiri menjadi kesakitan hingga berkeringat dingin, tapi tubuhnya tidak sampai ambruk, bahkan juga pantang mundur, dengan menahan sakit ia menyisipkan lengan baju tangan yang patah tulang itu pada ikat pinggangnya, lalu hendak menerjang maju lagi.

Setelah serangannya berhasil memuaskan, Bu-koat tidak menyusuli serangan lain lagi, ia hanya berdiri saja di sana dengan mengulum senyum. Maklumlah, hanya satu kali gebrak saja ia sudah dapat menjajal kekuatan kedua lawan yang sesungguhnya tidak boleh dibuat main-main, ia tahu serangannya beruntung berhasil, namun ia tidak terburu-buru untuk menyerang lagi, ia ingin menunggu kedua seterunya masuk jaring sendiri.

Di sinilah letak perbedaan Kungfu sakti Ih-hoa-kiong dengan ilmu silat aliran lain.

Pada umumnya orang tentu mengutamakan menyerang lebih dulu dan menduduki posisi yang menguntungkan. Tapi Ih-hoa-kiong justru mengutamakan “tembak belakang kena duluan,” dengan ketenangan mengatasi kecepatan, kelihaian Kungfu Ih-hoa-kiong ialah menggunakan kepandaian lawan untuk menghantam lawan sendiri.

Sementara itu kawanan tikus sudah tersebar dan lari serabutan tanpa terkendali lagi.

Mendadak Thi Sim-lan tabahkan hati, dia patahkan sepotong kayu ruji jendela, meski badan masih terasa sakit, tapi pentung darurat itu segera berputar, kontan seekor tikus dihantamnya hingga hancur.

Sebenarnya untuk memukul tikus memang tidak memerlukan Kungfu yang tinggi, yang diperlukan cuma keberanian.

Namun kawanan tikus ini seakan-akan sudah terlatih, tidak takut manusia dan juga tidak takut mati. Kawanan tikus yang tadinya lari serabutan itu kini berbalik merubung ke arah Thi Sim-lan. Keruan si nona menjadi ngeri, tangan terasa lemas, tapi sekuatnya dia tetap ayun pentungannya pantang mundur.

Para gadis yang sembunyi di serambi sana akhirnya menjadi berani juga, salah satu di antaranya mendadak melompat maju dan ikut membunuh tikus.

Asalkan ada satu orang yang mulai dulu, segera yang lain-lain akan ikut maju. Dan asalkan seekor tikus terpukul mati, maka nyali mereka pun tambah besar.

Kawanan tikus itu pun sangat ganas, yang di depan mati, yang di belakang segera menerjang maju lagi tanpa mengenal takut. Pentung di tangan para gadis itu pun bekerja terus-menerus dan dengan sendirinya banyak pula bangkai tikus yang berserakan. Ada sementara gadis itu mulai muntah-muntah, tapi sambil muntah pentungnya tetap menghantam dan menyabet terlebih keras. Ada yang tangannya linu pegal, segera kaki digunakan untuk mendepak dan menginjak.

Sungguh suatu adegan pertempuran yang lucu dan aneh, suatu pertarungan yang memualkan pula. Belasan gadis cantik molek dengan mandi berkeringat dan napas terengah-engah sedang bertempur sengit melawan segerombolan tikus.

Rasanya jarang ada orang di dunia ini yang sempat menyaksikan pemandangan aneh ini.

Kini para gadis itu sudah lupa takut dan juga lupa akan ilmu silatnya, mereka bunuh kawanan tikus itu menurut kemampuan mereka yang asli. Singkatnya, pertempuran aneh dan memualkan itu kemudian berakhir, kawanan tikus kalah habis-habisan, sebagian besar mati terbunuh, sebagian kecil kabur.

Sambil memandangi bangkai tikus yang berserakan, para gadis memandangi pula tangan sendiri, mereka hampir-hampir tidak percaya kawanan tikus itu mati dibunuh mereka. Benar-benar seperti impian buruk.

Kemudian, pentung mereka buang, banyak yang mulai muntah-muntah pulas, ada lagi yang berteriak dan tertawa, ada juga yang saling rangkul dan menangis.

Suasana ini biasanya tidak mungkin terjadi di Ih-hoa-kiong, tapi kini semua itu telah terjadi, sebabnya setelah terjadi pertarungan sengit tadi, para gadis itu merasa lega dan impas.

Hanya Thi Sim-lan saja, begitu pertempuran berhenti, segera dia pergi mencari Hoa Bu-koat.

Hoa Bu-koat ternyata tidak kelihatan lagi. Gui Jing-ih dan Gui Wi-ih juga menghilang.

Dengan langkah tergopoh-gopoh Thi Sim-lan mencari kian kemari, hatinya cemas, khawatir dan takut pula. Tadi karena perhatiannya dicurahkan untuk menghadapi kawanan tikus sehingga dia lupa mengikuti pertarungan di sebelah sini.

Meski ilmu silat Hoa Bu-koat sangat tinggi, tapi kedua penyatron yang berani menerobos ke Ih-hoa-kiong masakah kaum lemah? Dengan satu lawan dua rasanya Hoa Bu-koat sukar menghadapi mereka. Apa lagi sekujur badan kedua orang itu seakan-akan membawa perbawa yang seram, bukan mustahil mereka memiliki ilmu gaib dan dapatkah Bu-koat melawan mereka?

Hampir gila Thi Sim-lan saking cemasnya karena sebegitu jauh belum lagi Bu-koat ditemukan.

Sekonyong-konyong dilihatnya sesosok mayat membujur di semak-semak bunga sana.

Syukurlah orang ini bukan Hoa Bu-koat melainkan Gui Jing-ih adanya. Lengan kanannya tampak kutung sebatas siku, dada berlubang dan berlumur darah, wajahnya yang hijau seram itu pun sudah bengkak sehingga tampak sangat menakutkan.

Lekas Thi Sim-lan mengalihkan pandangannya, dilihatnya lagi tangan kiri Gui Jing-ih, tangan yang mirip cakar setan ini juga berlepotan darah, antara jari tengah dan jari telunjuknya itu masih lengket dua biji bola mata berdarah. Jelas biji mata orang yang kena dicolok mentah-mentah olehnya.

Thi Sim-lan menjerit dan roboh terkulai.

Jelas Bu-koat telah mengalami malapetaka, sepasang mata anak muda itu kini sudah... Ia tidak berani berpikir lagi, dengan gemetar ia cukit kedua bola mata itu dari jari Gui Jing-ih, dipandangnya bola mata yang berlumur darah itu. Tanpa terasa air matanya bercucuran.

Tiba-tiba didengarnya suara orang bernapas berat dan memburu, seperti pernapasan binatang buas yang terluka parah, suara ini datang dari bawah tebing sana.

Sekuatnya ia memburu ke sana dengan setengah merangkak. Terlihatlah seorang dengan muka berlumuran darah dan kedua tangan terpentang sedang berjongkok di bawah pohon sana dengan napas terengah-engah, kedua lekuk matanya tampak bolong berujud lubang berdarah.

Tapi orang ini bukan Hoa Bu-koat melainkan Gui Wi-ih adanya.

Jelas di bawah kesaktian Kungfu Ih-hoa-kiong yang khas, yaitu “Ih-hoa-ciap-giok,” yang dimainkan oleh Hoa Bu-koat, maka biji matanya tercolok oleh kawannya sendiri.

Namun begitu murid perguruan “Tanpa Gigi” itu belum lagi roboh.

Thi Sim-lan merasa lega setelah melihat yang mukanya berlumuran darah itu bukan Hoa Bu-koat, tapi demi melihat muka berlumuran darah itu, tanpa terasa ia menggigil ketakutan. Syukur segera dilihatnya pula Hoa Bu-koat.

Saat itu Bu-koat berdiri di bawah pohon di depan Gui Wi-ih. Rambutnya yang biasanya teratur rapi itu tampak kusut, pakaiannya yang rajin telah terkoyak-koyak, wajahnya yang senantiasa tenang pun penuh berkeringat.

Jelas kelihatan ketegangan pemuda itu, dengan mata tanpa berkedip dia menatap sepasang tangan Gui Wi-ih.

Meski kedua orang sama-sama berdiri tidak bergerak, tapi suasana terasa sangat tegang, sampai-sampai Thi Sim-lan yang berdiri jauh di atas tebing juga menahan napas.

Sekonyong-konyong Gui Wi-ih menggerung keras-keras terus menubruk ke arah Bu-koat, walau pun matanya sudah buta, tapi ia masih dapat mendengarkan dengan jelas. Tubrukan ini sangat dahsyat, bahkan sangat jitu arahnya.

Sekarang Gui Wi-ih bukan lagi manusia, tapi lebih mirip seekor binatang buas yang gila, tubrukannya ini menyerupai singa lapar, pada hakikatnya sukar ditahan oleh tenaga manusia.

Saking tak tahan Thi Sim-lan menjerit.

Tapi pada detik itu juga, kedua tangan Hoa Bu-koat bergerak, dua biji batu kecil terselentik ke depan, ia sendiri terus menerobos lewat di bawah ketiak Gui Wi-ih dengan gerakan secepat kilat.

Gerakan yang berbahaya ini sungguh sukar untuk dilukiskan. Maka terdengarlah suara “krak-krek,” pohon sebesar paha di belakang Hoa Bu-koat, itu telah di tumbuk patah oleh tubuh Gui Wi-ih.

Gu Win-ih sendiri bahkan tidak roboh, sekali loncat, segera ia membalik tubuh, kepalanya menoleh kian kemari, teriaknya dengan menyeringai, “Hoa Bu-koat, kutahu kau berada di mana, kau takkan dapat kabur. Pendek kata hari ini kau dan aku tiada satu pun yang dapat lolos, aku harus mati bersamamu di sini.”

Padahal dia tidak tahu Hoa Bu-koat berada di mana, Bu-koat sudah berada pula di depannya, sedangkan kepala Gui Wi-ih masih terus berpaling ke sana dan ke sini. Maklumlah, indera pendengarannya telah dikacaukan oleh dengingan kedua biji batu yang diselentikkan oleh Hoa Bu-koat tadi.

Melihat keadaan Gui Wi-ih yang mengerikan itu, Thi Sim-lan merasa takut dan juga kasihan, bila mana Hoa Bu-koat tidak dalam keadaan bahaya. Sungguh ia tidak tega melihatnya lagi.

Jelas Bu-koat juga tidak sampai hati, tanpa terasa ia menghela napas menyesal, ucapnya dengan terharu, “Kuhormati kau sebagai lelaki perkasa, di sinilah aku berada, jika kau ingin mengadu jiwa, silakan maju saja!”

Sekujur badan Gui Wi-ih tampak mengejang, mukanya yang berlumuran darah itu berkedut-kedut, teriaknya dengan parau dan tertawa latah, “Orang she Hoa, kau tahu aku tidak dapat membinasakanmu, makanya kau berlagak kasihan padaku bukan?”

Dengan menyesal Bu-koat menjawab, “Sesungguhnya aku tidak tega bergebrak lagi denganmu, kukira lebih baik kau....”

Sekonyong-konyong Gui Wi-ih berjingkrak murka, teriaknya, “Aku tidak memerlukan belas kasihanmu... seumpama aku tidak dapat menemukanmu juga tidak perlu kau....”

Suaranya kedengaran serak dan juga semakin lemah, tapi masih terus merintih, meski bukan menangis, namun jauh lebih memilukan dari pada menangis.

Saking tak tahan Thi Sim-lan ikut mencucurkan air mata, biar pun Gui Wi-ih adalah manusia yang paling kejam di dunia ini juga tidak tega menyaksikan penderitaannya itu. Ia tahu penderitaan lahiriah Gui Wi-ih benar-benar sukar bertahan pula, tapi penderitaan batinnya jelas terlebih hebat dari pada siksaan lahiriahnya.

Tanpa terasa ia berseru, “Lekas kau pergi saja, kutahu Hoa-kongcu pasti takkan... takkan merintangimu.”

“Pergi?” teriak Gui Wi-ih dengan parau. “Hahaha, masa kau tidak tahu bahwa anak murid Bu-geh boleh dibunuh tapi tidak boleh dihina....”

Di tengah gelak tertawa latahnya itu, sekonyong-konyong ia gunakan sepenuh tenaganya yang masih tersisa untuk meloncat tinggi ke atas tebing, menubruk ke arah Thi Sim-lan sambil menyeringai, “Tidak seharusnya kau ikut bicara, walau pun aku tidak dapat membunuh Hoa Bu-koat tapi dapat membunuh kau!”

Thi Sim-lan jadi terkesima kaget melihat bentuk Gui Wi-ih yang kalap itu sehingga lupa menghindar. Tahu-tahu Gui-Wi-ih sudah menubruk tiba, kedua lengannya sekuat belenggu lantas mengempit Thi Sim-lan dengan keras, berbareng ia berteriak sambil tertawa, “Haha, andaikan harus mati juga ingin kucari seorang teman seperjalanan. Hahahaha!”

Seketika Thi Sim-lan merasa sekujur badannya mengencang dan seakan-akan retak, wajah orang yang berlumuran darah dengan dua lubang berdarah itu tepat berada di depan hidungnya, keruan takutnya tidak kepalang sehingga tidak dapat bersuara pula.

Syukur segera terdengar “bluk” satu kali, suara tertawa latah Gui Wi-ih itu mendadak putus, kedua lengannya yang memeluk erat-erat itu pun mendadak kendur, lalu menyurut mundur dua-tiga tindak terus terjungkal ke bawah tebing.

Dalam pada itu Hoa Bu-koat sudah berdiri di depan Thi Sim-lan. Tanpa terasa si nona menubruk ke dalam rangkulan Hoa Bu-koat dan menangis keras-keras.

Perlahan Bu-koat membelai rambut si nona, ucapnya dengan terharu, “Sebenarnya aku tidak tega membunuh dia, tapi....”

“Aku yang salah,” ucap Sim-lan sambil menangis, “tidak seharusnya aku ikut bicara, kalau tidak, tentu engkau tidak akan terpaksa membunuh seorang yang sudah buta. O, aku... mengapa aku selalu membikin kacau urusan.”

“Kau kira kau yang salah? Kau cuma berhati lemah, tapi tidak salah. Maksudmu ingin membikin baik setiap persoalan dan telah berusaha sekuat tenagamu.”

“O, engkau selalu begini baik padaku, sebaliknya aku... aku....” dengan terguguk-guguk mendadak Thi Sim-lan mendorong pergi Hoa Bu-koat dan menunduk, .”.. aku selalu bersalah padamu.”

Bu-koat tidak berani memandang si nona lagi, ia berpaling ke sana dan menatap mayat Gui Wi-ih yang menggeletak kaku itu, gumamnya sambil menghela napas panjang, “Anak murid perguruan Bu-geh, betapa lihainya murid Gui Bu-geh. Wahai Kang Siau-hi, dapatkah kau menghadapi mereka?”

Hanya sepatah kata saja persoalannya lantas dialihkannya pada diri Kang Siau-hi.

Benar juga, tubuh Thi Sim-lan tergetar, rasa terima kasih dan cintanya kepada Hoa Bu-koat ternyata segera berubah menjadi perhatiannya terhadap Siau-hi-ji.

Dengan gegetun Bu-koat berucap pula, “Anak murid Gui Bu-geh saja sudah begitu lihai, apa lagi Gui Bu-geh sendiri? Wahai Kang Siau-hi, betapa pun aku ikut berkhawatir bagimu.”

Thi Sim-lan tidak tahan lagi, segera ia bertanya, “Kang Siau-hi, apakah dia telah....”

Baru sekarang Bu-koat menoleh dan menjawab dengan suara berat, “Saat ini mungkin dia sudah sampai di Ku-san dan mungkin sudah hampir berhadapan dengan Gui Bu-geh.”
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar