Bakti Pendekar Binal Jilid 34

Kedua orang itu roboh telentang di lantai tanpa bergerak, tapi jiwa mereka belum melayang, Kang Giok-long hanya menutuk Hiat-to mereka.

Sebelum tahu jelas asal-usul kedua orang ini tidak mungkin Kang Giok-long membunuh mereka, dalam hal ini Kang Giok-long memang berbeda dari pada Toh Sat. Ingin membunuh orang, tentu Kang Giok-long memilih tempat dan waktu yang tepat.

Sementara itu Thi Peng-koh telah memberosot pula dari kursinya, di tempat yang remang-remang ini wajahnya kelihatan kemerah-merahan dan sangat menggiurkan.

Kang Giok-long memandang kedua orang yang menggeletak di lantai itu, lalu memandang pula Thi Peng-koh. Dengan sendirinya ia dapat membedakan urusan mana yang lebih penting, ia pun sangat paham urusan apa yang harus dikerjakan lebih dulu dan urusan apa pula yang dapat ditunda.

Menghadapi suatu kesempatan baik selamanya tidak pernah disia-siakan olehnya. Dia cukup paham bila mana kesempatan tersia-sia, maka kesempatan itu takkan kembali untuk selamanya.

Dengan suara keras ia lantas memanggil pelayan. Sudah tentu sebelumnya pelayan sudah dipesan apabila tidak dipanggil dilarang masuk, dengan sendirinya pesan ini disertai uang sogokan

Pesan yang tanpa disertai uang tip takkan mendatangkan daya guna sebaik ini.

Kini dia memberi pesan pula agar pelayan membawa kedua temannya yang “mabuk” ini ke kamar di sebelah, agar dibaringkan bersama si nona yang sedang “sakit” itu.

Walau pun kedua orang ini tiada sesuatu tanda mabuk, tapi kebanyakan pelayan adalah orang cerdik, mereka tahu bila mana mata mereka harus dipejamkan dan bila mana harus dipentang.

Malam sudah gelap, hotel kecil itu tenggelam di tengah kekelaman dan ketenangan. Cahaya lampu yang guram di hotel kecil ini tak dapat menahan kegelapan yang pekat itu. Apa lagi kebanyakan kamar di hotel ini tidak menyalakan lampu, atau kalau perlu diperinci selain ruangan “kantor,” pada hakikatnya keenam kamar yang dimiliki hotel ini sama sekali tiada menyalakan lampu.

Sudah tentu keempat kamar yang tiada penghuninya itu tidak perlu penerangan. Lalu bagaimana dengan kedua kamar yang ada tamunya?

Kamar yang sebelah timur, sudah sehari semalam si nona yang sakit itu tak pernah keluar, kini ditambah lagi dua lelaki yang “mabuk.” Pelayan yang cerdik itu dengan sendirinya tidak ingin mereka menghamburkan minyak yang tidak perlu.

Padahal, pelayan ini juga si pemilik hotel. Kalau hotel selalu kekurangan tamu, dengan sendirinya ia perlu berhemat dalam segala hal.

Sedangkan kamar yang di sebelah barat itu, mengapa juga tidak menyalakan lampu?

“Pelayan” telah meninggalkan kantornya yang berlampu dan berdiri di sudut halaman yang gelap. Dengan sendirinya bukan maksudnya ingin mengintip rahasia orang lain, tapi bila mana dari kamar ini terdengar sesuatu suara yang menarik, dengan sendirinya dia tidak perlu mendekap telinganya, dia memang tidak ingin menjadi seorang “Kuncu.”

Benar juga, dari kamar itu memang terdengar sesuatu suara yang menarik.

Semula adalah suara keluhan, lalu suara keluhan itu semakin keras. Bila kemudian suara keluhan itu berubah menjadi suara napas yang terengah-engah, maka tanpa terasa tangan si “pelayan” telah penuh berkeringat.

Kadang-kadang dia suka menyesali dirinya sendiri mengapa harus membuka hotel, perusahaan ini tidak banyak menguntungkan, malahan selalu menimbulkan semacam rasa penyesalan berdosa.

Biasanya dia cuma dapat menyaksikan berlangsungnya perbuatan berdosa itu tanpa berdaya sedikit pun, ini bukan saja membuatnya menyesal, tapi juga membuat dia merasa dirinya adalah seorang pengecut.

Kini, bila mana terdengar suara yang khas ini, perasaan yang menekan itu bertambah keras. Ai, betapa moleknya anak perempuan itu, sebaliknya lelaki itu....

Sekonyong-konyong didengarnya jeritan melengking, ia tidak tahu apa yang terjadi di dalam kamar, dengan hati kebat-kebit cepat ia lari kembali ke dunianya sendiri.

Tindakannya ini mirip seperti seekor kura-kura bila mana mengalami sesuatu kejadian, maka cepat kepalanya mengerut ke dalam batoknya, asalkan ia sendiri tidak melihat, maka aman tenteramlah rasanya.

Sementara itu Thi Peng-koh sudah siuman dari mabuknya. Dia merasa sekujur badan kesakitan, ruas tulang seakan-akan retak, kepala juga sakit. Lalu tiba-tiba ia merasa ada seseorang berbaring di sebelahnya, waktu ia berpaling, dilihatnya Kang Giok-long yang masih terengah-engah itu. Dia menjerit kaget sejadi-jadinya. Dia mendorong sekuatnya sehingga Kang Giok-long terperosok ke bawah tempat tidur.

Anak muda itu mendekam di lantai, dia tidak merangkak bangun, sebaliknya malah menangis sedih.

Sungguh luar biasa, yang menangis seharusnya orang lain, tapi dia malah mendahului.

Peng-koh membungkus tubuhnya dengan selimut, teriaknya dengan parau, “Kau... kau sungguh keji, tapi... kau malah menangis....”

“Aku tahu telah berbuat salah padamu, kumohon engkau sudi memaafkan aku....” demikian Giok-long meratap.

Sekujur badan Peng-koh gemetar saking geregetan, teriaknya, “Kubenci... ingin ku....”

“Jika kau benci padaku, boleh bunuhlah diriku, tadi aku benar-benar tidak mampu mengendalikan diriku, sebab aku pun mabuk, kita memang tidak pantas minum sebanyak itu,” sampai di sini mendadak ia menubruk ke atas tempat tidur pula dan berseru dengan menangis, “Kumohon kau bunuh saja diriku, bila kau bunuh aku, bisa jadi hatiku akan lebih tenteram.”

Sebenarnya saking geregetan Thi Peng-koh memang ingin membunuh anak muda itu, tapi sekarang... sekarang tangannya ternyata lemas tak bertenaga sedikit pun. Semula dia amat berduka dan penuh rasa benci, sangat murka. Akan tetapi Kang Giok-long telah mendahului menangis, begitu sedih tangisnya sehingga membuat Peng-koh kehilangan pegangan.

Sungguh tak tersangka olehnya Kang Giok-long bisa menangis. Apakah dia benar-benar menyesal, jangan-jangan ia memang terdorong oleh hasrat yang berkobar dan seketika itu tak dapat mengekang diri, jangan-jangan dia bukan orang busuk?

Hati perempuan pada umumnya memang mudah lunak, lebih-lebih dalam keadaan... keadaan “nasi sudah jadi bubur,” apa yang sudah kehilangan jangan harap akan diperolehnya kembali untuk selamanya.

Miliknya kini telah menjadi miliknya pula, kini anak muda itu kan sudah berubah menjadi orang yang mempunyai hubungan paling erat dengan dia?

Dari celah-celah jarinya Giok-long coba mengintip perubahan sikap si nona, tapi ia sengaja menangis semakin sedih, ia tahu air mata lelaki terkadang jauh lebih efektif dari pada tangisan perempuan.

Menangis, ini memang senjata utama perempuan, tapi sekali-kali bukan monopoli kaum perempuan. Bila mana kaum lelaki mau menggunakan senjata ini, kadang-kadang malah jauh lebih berdaya guna dari pada perempuan.

Akhirnya Peng-koh mendekap di tempat tidur dan menangis tergerung-gerung.

Selain menangis memang tiada jalan lain baginya.

Sorot mata Kang Giok-long memancarkan rasa senang, tapi dia masih tetap menangis, ratapnya pula, “Kutahu telah berbuat salah, tapi aku... aku sejak pertama kali melihatmu, pada saat itu juga aku lantas tahu selama hidupku ini tak boleh kehilangan kau, hidup bagimu, mati pun bagimu.”

Perlahan ia menggeser lebih dekat si nona, lalu berkata pula, “Meski salah perbuatanku, tapi hatiku benar-benar tulus, asalkan kau percaya padaku, tentu akan kubuktikan ketulusan ini, selama hidupku ini takkan membuat kecewa padamu.”

Dia telah menyentuh tubuh Peng-koh pula dan si nona tidak menghindar. Kalau seorang perempuan tidak menghindar, apa itu artinya?

Sudah tentu Kang Giok-long sangat paham urusan beginian. Mendadak ia memeluk erat-erat si nona dan berseru, “Hanya ada dua kemungkinan, maafkan aku atau boleh bunuhlah diriku. Tapi biar pun aku kau bunuh, kau tak dapat menyuruh aku jangan menyukaimu, biar pun mati tetap kusuka padamu....”

Peng-koh tetap tidak bergerak sama sekali. Kalau anak perempuan dipeluk oleh lelaki dan tidak melawan atau meronta, maka tiada suatu persoalan lagi yang tak dapat dimaafkan.

Giok-long tahu usahanya berhasil. Dia mendekap di tepi telinga Thi Peng-koh, dibisikkannya kata-kata yang halus dan paling manis di dunia ini, ia tahu inilah yang dibutuhkan si nona sekarang. Perempuan yang mampu melawan bujukan manis dan rayuan madu kaum lelaki sampai detik ini mungkin belum lahir.

Benarlah suara tangis Thi Peng-koh mulai lirih, memangnya dia sebatang kara, memangnya ia merasa bingung dan tiada punya sandaran apa-apa, kini tiba-tiba ia merasa tidak lagi terpencil sendirian.

Kang Giok-long tertawa senang, katanya dengan lembut, “Sekarang dapat kau maafkan daku?”

“Ehm,” terdengar suara si nona yang kepalanya terbenam di bawah bantal.

“Kau tidak benci lagi padaku?” tanya Giok-long pula sambil menyanggah telinga si nona di bawah bantal.

Dengan tabahkan hati mendadak Thi Peng-koh menongolkan kepalanya dan berkata sambil menggigit bibir, “Asalkan apa yang kau katakan adalah sungguh-sungguh dan setulusnya, asalkan engkau tidak melupakan ucapanmu sekarang ini, maka aku pun....”

Pada saat itulah tiba-tiba terdengar jeritan ngeri berkumandang dari kamar sebelah, jeritan ngeri itu sangat singkat, tapi cukup membuat orang merinding.

Dalam keadaan demikian Kang Giok-long benar-benar mahagesit, dengan kecepatan yang maksimal dapat dicapai oleh seseorang dia meringkasi segala sesuatu, lalu secepat anak panah dia melesat keluar, tindakannya ini seakan-akan sudah lupa sama sekali terhadap Thi Peng-koh.

Pada saat menghadapi bahaya, jangankan cuma Thi Peng-koh, biar pun bapaknya juga takkan dipikirkan lagi, yang dipikirkan hanya dia sendiri. Sedangkan dari suara jeritan ngeri itu dia telah mengendus adanya bau mara bahaya.

Suara jeritan ngeri itu benar-benar dapat membuat orang banyak merasa mual dan tumpah-tumpah, jika bukan orang yang mahaganas dan sangat membahayakan, tidak mungkin membuat orang menjerit begitu ngeri.

Begitu melompat keluar, Kang Giok-long tidak menerobos ke kamar sebelah yang menyuarakan jeritan tadi, tapi lebih dulu ia dobrak daun jendela kamar itu hingga terpentang. Lalu ia menyalakan sebuah lampu terus dilemparkan ke dalam kamar.

Lampu minyak itu jatuh berantakan di lantai, api lantas berkobar. Di bawah cahaya api yang berkedip-kedip, kamar yang sempit dan lembap itu tampaknya jadi lebih suram.

Dilihatnya Buyung Kiu masih tetap berbaring terbungkus selimut, ia menghela napas lega. Tapi segera diketahuinya pula bahwa kedua orang, yaitu si jangkung dan si pendek, sudah lenyap semua, mereka telah berubah menjadi dua genangan air darah.

Pemandangan ini membuat Kang Giok-long mengkirik, tapi hatinya lantas tenteram pula.

Kalau kedatangan orang yang mahaganas dan berbahaya itu hanya bermaksud membunuh kedua orang ini, kenapa dia harus tidak setuju? Kenapa dia harus khawatir dan takut?

Dan pada saat itu juga, di tengah berkelipnya cahaya api seorang telah muncul.

Sekilas pandang orang ini tampak gagah, jubahnya yang berwarna putih mulus itu bersulam bunga merah, kebanyakan wanita pasti akan tergila-gila pada kegagahannya.

Tapi bila dipandang lagi lebih cermat, maka kebanyakan perempuan pasti akan kaget dan jatuh semaput.

Mukanya, itulah yang luar biasa, di bawah sinar api mukanya itu seakan-akan tembus cahaya, begitu putih bening sehingga kelihatan tulangnya yang berwarna kehijau-hijauan.

Matanya, sepasang matanya juga tidak menyerupai mata manusia, tapi lebih mirip mata binatang buas yang kelaparan.

Jubahnya yang putih mulus itu sebenarnya juga bukan bersulam bunga merah segala, bunga merah itu adalah percikan darah segar yang baru saja menempel di jubahnya.

Kang Giok-long bukanlah pemuda yang hijau dan mudah digertak, tapi demi nampak orang ini, jantungnya serasa hendak berhenti berdenyut.

Dengan dingin orang itu pun sedang menatap Kang Giok-long, dengan sekata demi sekata, ia tanya, “Kaukah yang menutuk Hiat-to kedua orang tadi?”

Sedapatnya Kang Giok-long memperlihatkan senyuman wajar, jawabnya, “Betul, memang Cayhe lagi bingung entah bagaimana harus memperlakukan mereka, kini saudara sudah membereskan mereka, sungguh Cayhe merasa sangat berterima kasih.”

Diam-diam ia telah merasakan pendatang ini jauh lebih berbahaya dari pada apa yang diperkirakan, maka cepat-cepat ia menyuarakan persahabatan.

Namun orang itu telah melototnya dengan dingin, katanya pula, “Apakah kau tahu siapa diriku?”

“Itulah yang ingin kuketahui,” jawab Giok-long.

Tiba-tiba orang itu tertawa sehingga tertampak barisan giginya yang putih gilap, katanya dengan perlahan, “Aku adalah majikan mereka. Mereka adalah kaum budakku.”

“Tapi... tapi engkau yang membunuh mereka dan bukan aku,” ujar Giok-long dengan kebat-kebit.

“Kau sudah menghinakan mereka, terpaksa aku membunuh mereka agar tidak lagi membikin malu,” ucap orang itu.

“Alasanmu membunuh orang apa biasanya memang sederhana begini?” tanya Giok-long dengan menyengir.

“Terkadang malahan lebih sederhana lagi,” ujar orang itu.

“Kadang-kadang aku pun membunuh orang, tapi aku harus mempunyai suatu alasan yang tepat, misalnya....”

Pada saat itulah api yang menyala di lantai tiba-tiba padam, keadaan menjadi gelap gulita.

Tapi mata orang ini tampak berkelip-kelip dalam kegelapan. Terdengar dia menjengek, “Misalkan apa?”

“Misalnya, bila mana kutahu seorang hendak membunuhku, biasanya akan kubunuh dia lebih dulu,” mata Kang Giok-long juga berkedip-kedip dan setiap detik siap turun tangan.

Meski dia yakin orang ini pasti bukan lawan empuk, tapi ia pun percaya pada kemampuan sendiri yang pasti juga tidak empuk. Sebabnya dia belum mau turun tangan adalah karena dia merasa berada di posisi yang menguntungkan, dia tidak ingin sia-siakan posisi yang menguntungkan ini, dia hendak menunggu orang itu menerjang keluar lebih dulu.

Tak terduga orang itu mendadak tertawa. Suara tertawanya itu mirip seekor tikus yang sedang menggerogoti peti kayu, membuat orang merinding.

“Memangnya kau kira sekarang juga akan kubunuh kau?” kata orang itu dengan tergelak-gelak.

“Kau kan sudah mempunyai cukup alasan untuk membunuhku!” ujar Giok-long.

“Bila mana kuingin membunuh orang, tentu aku takkan banyak bicara dengan dia,” ujar orang itu.

“O, jadi maksudmu tak berniat membunuhku? Mengapa?” tanya Giok-long heran.

Mendadak orang itu berhenti tertawa dan berkata, “Kau harus membawaku pergi mencari tiga orang.”

“Ya, tahulah aku. Sebelum mereka kau bunuh tentunya engkau sudah tanya jelas semua kejadiannya.”

“Jika di dalam tujuh hari kau dapat membawaku menemukan Han-wan Sam-kong, Kang Siau-hi dan Hoa Bu-koat, maka kau takkan mati dengan segera, bahkan hidupmu masih bisa diperpanjang cukup lama.”

“Mereka kan juga musuhku?” ucap Giok-long sambil berpikir, “Jika kau mampu membunuh mereka, dengan sendirinya aku suka membawamu pergi mencari mereka. Cuma sayang, untuk membunuh mereka bukan pekerjaan yang gampang Sebaliknya terbunuh oleh mereka kukira akan lebih mudah. Nah, bila engkau tidak berhasil membunuh mereka, bukankah aku pun ikut susah?”

“Hehehehe?” orang itu terkekeh-kekeh. “Kau ini orang yang tidak mau rugi, justru aku suka pada orang semacam kau ini.”

“Orang yang tidak mau dirugikan biasanya tidak perlu disukai orang,” kata Giok-long.

“Lalu dengan cara bagaimana baru kau percaya aku mampu membunuh mereka? Coba katakan!” bentak orang itu dengan bengis.

“Ini perlu kau perlihatkan dengan cara apa kau dapat menarik kepercayaanku,” jawab Giok-long.

“Hm, untuk membuatmu percaya kukira bisa lebih dari seribu cara,” jengek orang itu. “Jika kau ingin belajar kenal ilmu sakti perguruan Bu-geh, biarlah lebih dulu kuperlihatkan sesuatu padamu....” mendadak tangannya seperti bergerak, segera semacam lelatu hijau menyambar ke depan dan nempel di dinding, lelatu api itu tidak keras, ketika nempel di dinding juga lantas padam, hakikatnya tidak berkobar.

Begitu lelatu api itu padam, segera pula orang itu melayang keluar halaman. Padahal jelas kelihatan dia tidak melayang keluar melalui jendela. Lalu dari manakah dia menerobos keluar?

Tentu saja Giok-long kaget, waktu dia mengamat-amati barulah diketahui di dinding sana telah bertambah sebuah lubang besar. Kiranya orang ini melayang keluar melalui lubang itu.

Padahal lelatu hijau tadi hanya seperti percikan api saja, tanpa suara dan tanpa berisik, tahu-tahu dinding yang tebal itu telah terbakar sebuah lubang besar.

Baru sekarang Kang Giok-long melongo terkejut, Ginkang orang memang cukup lihai dan tidak sampai mengejutkan dia, tapi api yang tidak berkobar itu dapat menghancurkan dinding, ini benar-benar belum pernah dilihatnya.

Sementara itu orang tadi sudah berada di sebelahnya, dengan sorot mata tajam ia tatap Kang Giok-long dan bertanya, “Apakah kau ingin belajar kenal ilmu sakti lainnya?”

“Aku... aku....” Giok-long menjadi ragu-ragu.

“Hehehe!” orang itu terkekek-kekek. “Ilmu sakti perguruan Bu-geh....”

“Ilmu sakti perguruan Bu-geh bagiku tampaknya tiada sesuatu yang istimewa!” demikian tiba-tiba seorang menukas dengan bergelak tertawa. Di tengah gelak tertawanya itu sesosok bayangan orang tahu-tahu melayang tiba.

Selama hidup Kang Giok-long tak pernah mendengar suara tertawa yang menggetar sukma seperti ini, melulu suara tertawa yang hebat ini sudah cukup membuat kuncup nyali musuh.

Menyusul lantas dilihatnya perawakan pendatang ini, meski perawakan orang ini tidak terhitung tinggi besar, tapi tampaknya sekukuh gunung dan sekuat baja.

Anak murid perguruan Bu-geh itu juga menyurut mundur oleh perbawa orang, bentaknya segera dengan bengis, “Siapa itu berani bersikap kasar terhadap anak murid Bu-geh?”

“Aku Yan Lam-thian adanya!”

Nama ini seperti cahaya bintang kemukus yang dapat menerangi jagat raya ini.

“Kau murid Bu-geh? Di mana dia sekarang?” terdengar Yan Lam-thian membentak pula.

Meski nyali orang itu sudah kuncup, tapi dia masih tergelak-gelak dan menjawab, “Kau tidak perlu mencari guruku, keempat murid utama perguruan Bu-geh sudah lama ingin mencari Yan Lam-thian untuk mengukur tenaga, tak terduga aku Gui Pek-ih (Gui si baju putih) ternyata lebih beruntung dari pada ketiga saudaraku....”

“Kau ini kutu macam apa, berani kurang ajar terhadap Yan Lam-thian?” mendadak Kang Giok-long membentak gusar sebelum habis ucapan orang. Di tengah bentakannya segera ia pun menubruk maju, dan melancarkan tiga kali pukulan secepat kilat. Pukulan tiga kali ini ternyata ilmu pukulan Bu-tong-pay tulen.

Maklumlah, dia dan Siau-hi-ji mempelajari bersama ilmu silat yang tercantum di kitab pusaka yang mereka temukan di istana bawah tanah itu, ilmu silat itu mencakup semua intisari silat berbagai perguruan dan aliran, dengan kecerdasannya tentulah sangat mudah pula untuk belajar ilmu pukulan dari perguruan lain.

Sedangkan ilmu pukulan Bu-tong-pay pada masa itu justru sangat digemari, yang belajar sangat banyak walau pun yang mahir terlalu sedikit. Diam-diam Kang Giok-long juga telah mencuri belajar ilmu pukulan Bu-tong-pay, sudah tentu dengan maksud tujuan yang tidak baik.

“Hm, kau juga berani bergebrak dengan aku?” jengek Gui Pek-ih.

Ia menyangka cukup dengan dua-tiga kali gebrak saja pasti dapat menjatuhkan lawannya. Tak terduga meskipun Kang Giok-long ini seorang pengecut, tapi bukan orang bodoh. Ia telah salah menilai kepandaian Kang Giok-long.

Karena itulah dia telah kena didahului oleh Kang Giok-long, sekaligus diberondong dengan beberapa kali serangan maut sehingga membuatnya rada kerepotan.

Giok-long tahu Yan Lam-thian pasti takkan membiarkan dia dikalahkan, kalau Yan Lam-thian jelas berada di pihaknya, lalu apa pula yang ditakutinya? Karena hatinya tabah, semangatnya lantas berkobar, serangannya tambah gencar.

Dalam keadaan demikian, sekali pun kepandaian Gui Pek-ih cukup tinggi dan keji juga tidak dapat mengapa-apakan Kang Giok-long.

Yan Lam-thian hanya menonton saja dengan penuh perhatian, lambat-laun terunjuk senyuman pada wajahnya, berulang-ulang ia mengangguk dan berkata, “Ya, bagus, jurus ini biar pun dimainkan sendiri oleh si tua Ci-si juga tak lebih hebat dari pada ini.”

Nyata Yan Lam-thian menyangka Kang Giok-long adalah anak murid Bu-tong-pay, murid Ci-si Totiang, ketua Bu Tong-pay.

Tiba-tiba dilihatnya Gui Pek-ih mulai berputar-putar dengan cepat, sekonyong-konyong beberapa jalur api hijau terpencar keluar, kurang jelas terpancar dari mana. Di bawah cahaya api itu air muka Kang Giok-long juga berubah hebat.

Untunglah Yan Lam-thian membentak disertai serangkum angin pukulan yang dahsyat, tubuh Kang Giok-long didorong ke samping, angin pukulan itu masih terus menerjang ke tengah kobaran api hijau sehingga Gui Pek-ih tergetar mundur sempoyongan.

Menyusul suara bentakan Yan Lam-thian lantas berubah menjadi siulan panjang, bayangan tubuh laksana burung raksasa telah melayang maju dan berputar di atas.

Gui Pek-ih mendongak ke atas, nyalinya serasa pecah. Ia mau menghindar, namun sudah terlambat. Terpaksa ia sambut tubrukan lawan dengan kedua tangannya, segera terdengar suara “krak-krek,” empat tangan saling bentur, kedua tangan Gui Pek-ih kontan patah tulang pergelangannya. Menyusul darah segar lantas tersembur dari mulutnya dan roboh terjengkang.

Yan Lam-thian jambret leher baju Gui Pek-ih, bentaknya dengan bengis, “Coba katakan, di mana Gui Bu-geh?”

Gui Pek-ih membuka matanya, dipandangnya Yan Lam-thian sejenak, lalu menjawab dengan menyeringai, “Hm, apakah kau berani mencarinya? Dia berada di Ku-san.”

“Sekarang juga kau harus membawaku ke sana!” bentak Yan Lam-thian dengan gusar.

“Silakan mengantar kematianmu ke sana, aku takkan mengiringimu,” seru Gui Pek-ih dengan tertawa. Mendadak ia menggereget dan berteriak dengan parau, “Anak murid Bu-geh, boleh dibunuh tidak boleh dihina....”

Menyusul dari mulutnya lantas merembes keluar cairan hijau yang berbau busuk, lalu tidak bergerak lagi untuk selamanya.

Yan Lam-thian melepaskan tubuh yang sudah tak bernyawa itu, katanya dengan gegetun, “Tak tersangka anak murid Gui Bu-geh terdapat orang gila sebanyak ini....” mendadak ia berpaling ke arah Kang Giok-long, tanyanya dengan tertawa, “Apakah kau anak murid Bu-tong?”

Baru sekarang Giok-long sempat menenangkan diri, cepat ia memberi hormat dan menjawab, “Anak murid Bu-tong, Kang Giok-long menyampaikan sembah hormat kepada Yan-locianpwe.”

“Sudahlah,” kata Yan Lam-thian dengan tertawa. “Jika dari golongan Cing-pay (aliran baik) banyak terdapat anak murid pilihan seperti dirimu, biar pun golongan Gui Bu-geh lebih banyak menerima murid gila juga tak perlu kukhawatirkan lagi.”

Dengan sikap penuh hormat Giok-long berkata pula, “Jika Locianpwe tidak kebetulan datang, tentu jiwa Tecu sudah melayang sejak tadi.”

“Kebetulan,” kata-kata ini diucapkannya dengan penuh arti. Bayangkan, bila mana Yan Lam-thian datang lebih dini sedikit dan sempat mendengar beberapa patah ucapannya, saat ini mungkin dia sudah menggeletak sejajar dengan Gui Pek-ih.

“Ya, sungguh sangat kebetulan,” ucap Yan Lam-thian. “Bila mana aku tidak berjanji akan bertemu dengan seorang kawan kecil di sini, tentu juga aku takkan datang ke sini.” Dia tepuk-tepuk pundak Kang Giok-long, dengan tertawa ia menambahkan pula, “Kau dan kawan kecilku itu sama-sama jago muda yang berbakat dan sukar dicari di dunia Kangouw, bolehlah kau berdiam di sini untuk menunggunya bersamaku. Jika kalian bertemu, bukan mustahil kalian akan menjadi sahabat baik dalam waktu singkat.”

“Pesan Locianpwe sudah tentu kuturut saja, apa lagi orang yang bisa mendapatkan pujian Locianpwe pastilah pemuda gagah pilihan, Wanpwe jadi ingin pula berkenalan.”

“Dia bernama Hoa Bu-koat, bila akhir-akhir ini kau sering berkelana di dunia Kangouw tentu pernah mendengar namanya ini.”

Giok-long tenang-tenang saja, jawabnya dengan tersenyum, “Wanpwe belum lama turun gunung sehingga masih asing terhadap urusan dunia Kangouw.”

Sejak tadi dia memperhatikan keadaan di dalam kamar, tapi selama itu tiada terlihat sesuatu gerak-gerik Thi Peng-koh, hal ini membuatnya merasa lega. Segera ia berkata pula, “Tadi waktu Tecu sampai di sini, Gui Pek-ih sedang berbuat tidak senonoh terhadap nona Buyung, kini nona ini masih berbaring di dalam, apakah Cianpwe mau melihatnya?”

“Nona Buyung?” Yan Lam-thian menegas, “Apakah anggota keluarga Buyung Yong?”

Sambil bicara ia terus melayang masuk ke dalam kamar.

Sudah tentu Buyung Kiu masih meringkuk di dalam kemul.

Di dalam kamar gelap gulita, Yan Lam-thian hanya memandang sekejap saja, lalu berkata, “Anak ini telah tertutuk Hiat-to bisunya, meski Hiat-to ini tidak begitu penting, tapi lantaran tutukannya terlalu berat dan sedikitnya juga sudah berlangsung hampir setengah hari.”

“Masa sudah setengah hari lamanya dia tertutuk?” Kang Giok-long pura-pura kaget. “Wah, jika begitu, tentu kesehatan nona ini akan banyak terganggu.”

“Betul,” kata Yan Lam-thian, “Kalau sekarang kubuka Hiat-tonya yang tertutuk, mungkin diperlukan tiga bulan baru kesehatannya dapat pulih.”

“Wah, lantas bagaimana baiknya?”

“Sebab itu, sebelum kubuka Hiat-tonya, paling baik kalau kubantu melancarkan darahnya dengan tenaga dalamku,” dengan tertawa Yan Lam-thian menuding si nona dan melanjutkan, “Untung juga dia, selain ketemu kau juga ketemu aku pula. Bila mana tiada kau, bisa jadi dia harus menderita sedikit.”

“Sesungguhnya Wanpwe tidak paham apa maksud Locianpwe,” tanya Giok-long

“Begini soalnya, mana kala aku sedang mengerahkan tenaga dalam untuk menolong dia, tentunya pantang diganggu orang, bila mana terganggu, selain dia akan celaka, aku sendiri pun bisa cedera. Tapi bila kau mau berjaga di samping, tentu aku tidak perlu khawatir lagi.”

Giok-long menjawab dengan mengiring tawa, “Cianpwe tidak perlu khawatir, biar pun Tecu tidak becus, urusan kecil begini rasanya masih sanggup kulakukan.”

“Bila mana aku khawatir, masa aku mau menyerempet bahaya ini?” ujar Yan Lam-thian tertawa. “Kalau murid si tua Ci-si tak dapat kupercayai, lalu kepada siapa lagi harus kupercayai?”

Begitulah ia lantas duduk bersila di atas ranjang, kedua tangannya menahan punggung Buyung Kiu. Meski dalam kamar gelap gulita, tapi dapat dibayangkan pula betapa prihatinnya pendekar besar ini.

Kang Giok-long berdiri di belakangnya, tanpa terasa tersembul senyuman licik pada ujung mulutnya.

Dan mengapa sebegitu jauh tidak tampak sesuatu gerak-gerik Thi Peng-koh?

Rupanya sejak tadi nona itu sudah pergi, sukar untuk dibayangkan ketika perginya itu betapa rasa derita pertentangan batinnya.

Bujuk rayu Kang Giok-long yang manis itu meski telah meredakan kekalapannya, tapi telah membuatnya merasa lebih malu dan terhina pula. Setelah sadar kembali, dia merasa seakan-akan dirinya telah menjual dirinya sendiri.

Dia benci pada dirinya sendiri, mengapa tadi tidak membunuh anak muda bergajul itu? Ia menyesal mengapa dirinya tidak tega turun tangan membunuhnya? Ia tahu kalau tadi tidak turun tangan, maka untuk seterusnya juga tak mungkin dilakukannya pula.

Ia benci pada dirinya sendiri, mengapa mestika yang paling berharga selama hidupnya ini begitu mudah dirampas orang? Lebih celaka lagi dirinya seakan-akan telah menyukai bandit yang jahat ini.

Ia pun takut, takut dipandang rendah Kang Giok-long. Karena itulah dia ya benci, ya takut, ya suka, hatinya seperti sudah tersayat-sayat menjadi beribu-ribu keping.

Lantaran pergolakan perasaannya yang kusut dan bertentangan itu, sekaligus ia terus menerjang keluar. Sudah tentu ke arah yang tidak dilihat oleh Kang Giok-long.

Ia terombang-ambing dalam kegelapan, ia merasa dunia ini sedemikian asing dan menakutkan, tiba-tiba ia menyesal pula mengapa meninggalkan anak muda itu?

Akan tetapi sekarang ia merasa malu untuk kembali ke sana.

Hotel kecil itu memang terletak di ujung kota kecil itu, maka sekeluarnya dia lantas terbenam dalam kegelapan yang sukar membedakan arah.

Ia tidak tahu apa yang harus dilakukannya dan ke mana harus pergi. Ia merasa pepohonan yang tak bernyawa itu pun punya teman dan punya sandaran, tapi bagaimana dengan dia? Ia benar-benar sebatang kara.

Mendadak ia menjatuhkan diri di bawah pohon, lengan bajunya sudah basah oleh air mata.

Entah berselang berapa lama lagi, mungkin air matanya sudah kering, ia hanya membentang matanya lebar-lebar, memandang jauh ke sana dengan rasa hampa.

Tiba-tiba dalam kegelapan itu tamak muncul dua sosok bayangan orang. Bayangan kedua orang ini hampir sama besar dan sama tingginya, sungguh mirip barang dari satu cetakan.

Kedua bayangan itu berhenti di kejauhan, dengan sendirinya Thi Peng-koh tidak dapat melihat jelas wajah dan perawakan mereka, tapi di tengah malam sunyi demikian, biar pun bisikan yang paling lirih juga dapat terdengar dengan jelas.....
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar