Bakti Pendekar Binal Jilid 29

Ia menjadi heran apakah ada orang masuk ke rumah ini?

Tiba-tiba terdengar Tong-siansing mendengus, “Kenapa baru sekarang kau datang?”

Dalam kegelapan terdengar suara seorang perempuan menjawab, “Untuk mencari suatu tempat yang dapat memuaskan dirimu bukanlah pekerjaan yang mudah, makanya kudatang terlambat.”

Suaranya sudah tentu jauh lebih halus dari pada suara Tong-siansing yang kasar dan kaku, tapi nadanya sama dinginnya.

Heran Siau-hi-ji bahwa Tong-siansing juga punya kawan perempuan dengan nada ucapan yang sama anehnya, keduanya benar-benar pasangan yang setimpal. Cepat ia meraba ketikan api dan menyalakan lampu.

Setelah lampu menyala barulah terlihat dengan jelas seorang perempuan berjubah hitam dengan rambut panjang terurai berdiri di situ, dandanan dan wajahnya seperti badan halus yang baru timbul dari alam lain.

Muka perempuan ini juga memakai topeng setan, cuma terbuat dari kayu cendana. Meski di bawah cahaya lampu cukup terang, tidak urung kaget juga Siau-hi-ji melihat orang bertopeng aneh ini.

Perempuan jubah hitam ini juga sedang menatap Siau-hi-ji, tiba-tiba ia bertanya, “Kau inikah Kang Siau-hi-ji?”

Siau-hi-ji meraba hidung dan menjawab dengan tertawa, “Betul, aku inilah Kang Siau-hi-ji, mengapa engkau kenal diriku?”

“Sudah lama kukenal kau,” jengek perempuan itu.

Mata Siau-hi-ji jadi terbelalak, ucapnya, “Sudah lama kau kenal aku, mengapa... mengapa aku tidak kenal engkau?”

“Jika kau tahu di dunia ini ada Tong-siansing, mengapa tidak tahu akan Bok-hujin?”

“Bok-hujin?” Siau-hi-ji menegas, “Ah, benar, rasanya nama ini pernah kudengar.”

Teringat olehnya waktu Oh-ti-tu bercerita tentang Tong-siansing, pernah juga nama Bok-hujin atau nyonya topeng kayu disinggung, katanya kedua orang ini adalah makhluk yang sama anehnya.

Bok-hujin memandang Siau-hi-ji lalu memandang Tong-siansing, katanya kemudian,” Sejak tadi aku sudah datang kemari, tapi kalian berdua....”

“Kami pergi minum arak sehingga membuat Hujin lama menunggu, harap dimaafkan,” ucap Siau-hi-ji.

“Kalian pergi minum arak?” Bok-hujin menegas dengan terheran-heran.

“Tong-siansing teramat baik padaku,” tutur Siau-hi-ji dengan tertawa, “Beliau khawatir aku kelaparan, maka membawaku pergi minum arak dan makan enak, bahkan memilih restoran yang menghidangkan makanan yang paling cocok dengan seleraku. Orang baik seperti beliau sungguh belum pernah kulihat.”

Bok-hujin kelihatan heran, kejut dan juga agak geli, semua ini tertampak jelas dari sorot matanya di balik topeng kayu itu.

Baru sekarang Siau-hi-ji melihat sepasang mata Bok-hujin itu ternyata jauh lebih lincah dan simpati dari pada Tong-siansing, walau pun nada bicara mereka sama kaku dan dinginnya.

Tergerak hatinya, segera ia menghela napas dan berkata pula, “Cuma Tong-siansing juga teramat memperhatikan diriku, selalu mengawasi diriku sehingga beliau sendiri lupa makan dan lupa tidur. Aku menjadi khawatir membuat lelah dia. Makanya, bila Hujin sahabat baik Tong-siansing, harap engkau menggantikan beliau menjaga diriku agar dia dapat istirahat.”

“Oo, jika Toa... Toako lelah, bolehlah serahkan pada diriku,” ucap Bok-hujin. Meski kelihatan senyum girangnya dari sinar matanya, tapi nadanya tetap dingin.

Mendadak Tong-siansing melompat maju, ‘plak’, dengan tepat muka Siau-hi-ji kena ditamparnya. Pukulannya tidak keras tapi tempat yang dihantamnya sangat jitu. Sedikit pun Siau-hi-ji tidak merasa sakit, hanya kepala menjadi pusing dan tidak sanggup berdiri lagi, ia terhuyung-huyung mundur dan akhirnya roboh.

Dalam keadaan samar-samar terdengar suara dingin Tong-siansing lagi berkata, “Sekali ini siapa pun jangan harap akan membawanya pergi dari tanganku. Pada waktu hidupnya akan kujaga dia, sekali pun dia sudah mati juga tetap akan kuawasi dia, sampai mayatnya membusuk sekali pun.”

“Tapi aku kan....”

“Kau juga,” jengek Tong-siansing sebelum lanjut ucapan Bok-hujin. “Kau pun belum tentu lebih setia padaku dari pada orang lain.”

“Jadi... jadi aku pun tidak kau percaya?”

“Sejak Goat-loh membawa lari Kang Hong, mulai saat itulah aku tidak lagi percaya kepada siapa pun juga,” kata Tong-siansing dengan tegas.

Bok-hujin terdiam sejenak dan menunduk perlahan, katanya kemudian, “Ya, kutahu engkau tidak pernah melupakan kejadian itu, engkau selalu menganggap aku hendak berebut Kang Hong denganmu....”

“Kau pun mencintai dia, kau sendiri yang bilang demikian, betul tidak?” seru Tong-siansing bengis.

“Betul, aku memang mencintai dia,” jawab Bok-hujin dengan suara keras sambil mendongak. “Tapi aku tidak ingin mendapatkan dia, lebih-lebih tiada niatku berebut dia denganmu, selama hidupku ini aku tidak pernah berebut barang apa pun denganmu, betul tidak?”

Suara Bok-hujin yang dingin itu tiba-tiba agak gemetar, sambungnya dengan suara serak, “Sejak kecil setiap ada barang baik, senantiasa aku mengalah padamu. Sejak kita berebut memetik sebuah Tho dan engkau mendorongku dari atas pohon hingga jatuh dan sebelah kakiku patah, mulai saat itu pula aku tidak berani berebut barang apa pun denganmu, engkau ingat tidak?”

Sorot mata Tong-siansing setajam pisau menatap Bok-hujin sampai lama dan lama sekali, akhirnya ia menghela napas panjang dan perlahan-lahan menunduk, katanya dengan pedih, “Ya, lupakanlah hal ini, apa pun juga, akhirnya kita kan tidak mendapatkan dia?”

Bok-hujin juga terdiam sejenak dan menghela napas, ucapnya dengan rawan. “Maaf, Toaci, tidak seharusnya aku mengungkit kejadian-kejadian itu, padahal sudah lama kita melupakan hal-hal itu.”

Memang tidak seharusnya ia membicarakan kejadian dahulu itu, sebab itu rahasia hidup mereka. Cuma sayang Siau-hi-ji sudah pingsan, hakikatnya dia tidak mendengar apa yang dibicarakan mereka.

Sebelum Siau-hi-ji sadar seluruhnya, sayup-sayup ia sudah mengendus bau harum yang memabukkan itu, ia mengira dirinya masih berada di kamar hotel itu, tapi waktu dia membuka mata segera diketahui dugaannya itu sama sekali keliru.

Di dunia ini tidak mungkin ada hotel yang memiliki kamar semewah ini, juga tiada hotel yang menyediakan tempat tidur selunak ini dengan bau harum semerbak begini.

Menyusul lantas dilihatnya dua anak perempuan yang berdiri di ujung tempat tidurnya. Keduanya memakai baju sutera yang halus dan memakai kopiah dengan kembang goyang yang indah. Wajah mereka pun cantik, cuma di antara wajah cantik itu sama sekali tidak kelihatan sesuatu perasaan dan juga tiada warna darah sedikit pun, putih mulus laksana ukiran es.

Siau-hi-ji kucek-kucek matanya sambil bergumam, “Apakah aku ini sudah meninggal, jangan-jangan aku sudah berada di surga?”

Kedua anak perempuan ini tetap berdiri tanpa bergerak, sorot mata mereka menerawang jauh ke sana, seakan-akan tidak mendengar ucapan Siau-hi-ji, bahkan seperti sama sekali tidak melihat anak muda itu.

Biji mata Siau-hi-ji mengerling, katanya pula dengan menyengir, “Ya, sudah tentu aku tidak meninggal, sebab kalau aku meninggal pasti tidak terdapat anak dara secantik bidadari seperti kalian ini.”

Ia mengira kedua anak perempuan itu pasti akan tertawa, tak tahunya memandang sekejap padanya saja tidak.

Siau-hi-ji raba-raba hidung sendiri, katanya pula, “O, barangkali kalian meremehkan diriku? Atau... Ah, bisa jadi mendadak aku mahir ilmu menghilang sehingga kalian tidak melihat diriku?”

Tapi biar pun anak muda itu mengoceh sampai mulutnya capai, kedua anak perempuan itu tetap tidak menggubrisnya.

Akhirnya Siau-hi-ji menghela napas, katanya, “Sesungguhnya aku ingin kalian tertawa, sebab waktu tertawa tentu kalian bertambah cantik. Tapi sekarang terpaksa aku mengaku gagal, harap kalian panggilkan Tong-siansing yang konyol itu.”

Namun kedua anak dara itu tetap tidak peduli.

Siau-hi-ji melonjak bangun dan berteriak, “Ayo bicaralah! Mengapa kalian diam saja. Apakah kalian bisu, tuli atau buta?”

Ia melompat turun ke lantai, dengan kaki telanjang ia mendekati kedua anak dara itu dan mengamat-amati mereka sejenak, lalu mengitari mereka satu putaran, ia mengernyitkan kening dan bergumam, “Ah, mungkin mereka bukan manusia melainkan patung ukiran dari batu es.”

Sebelah tangannya segera bermaksud mencolek hidung salah seorang anak dara itu. Tapi mendadak tangan anak perempuan itu mengipas perlahan, jari-jemarinya yang lentik dengan cat kuku yang merah itu laksana pisau kecil terus menusuk tenggorokan Siau-hi-ji.

Keruan Siau-hi-ji kaget dan cepat menjatuhkan diri ke tempat tidur, serunya dengan tertawa, “Aha, meski kalian tidak dapat bicara, tapi ternyata bisa bergerak.”

Namun cepat anak dara itu berdiri mematung pula.

“Seumpama kalian tidak suka bicara denganku, seharusnya kalian bisa tertawa kan” kata Siau-hi-ji. “Kalau senantiasa merengut begitu, kalian akan lekas tua.”

Lalu dia melompat turun pula, didapatinya sepasang sandal kain yang halus, segera dipakainya, katanya pula dengan perlahan, “Dahulu ada seorang, cara bekerjanya selalu acuh tak acuh, pada suatu hari ia keluar rumah, jalannya serasa kurang leluasa, ia tidak menyadari sepatunya salah pakai, setiba di rumah kawannya barulah diberitahu sang kawan tentang kekeliruannya itu, cepat ia suruh jongos pulang ke rumah untuk mengambilkan sepatu yang salah pakai itu. Sampai setengah harian si jongos baru kembali dengan tangan kosong. Coba terka, apa sebabnya?”

Sampai di sini Siau-hi-ji hampir tertawa sendiri, dengan menahan tawa ia menyambung pula, “Orang itu pun aneh, ia marah dan menegur jongosnya mengapa tidak jadi mengambil sepatu penggatinya. Tapi jongosnya memandangnya dan menjawab, “Juragan tidak perlu ganti sepatu lagi, sepasang sepatu di rumah itu juga terdiri dari satu sisi saja, yaitu sisi kanan.”

Belum habis ceritanya ia sendiri tertawa terpingkal-pingkal.

Akan tetapi kedua anak dara itu tetap tidak menggubrisnya, bahkan tidak berkedip sedikit pun.

Siau-hi-ji kikuk sendiri, ia menghela napas, katanya, “Baiklah, aku mengaku tak berdaya membuat kalian tertawa, tapi ada seorang kawanku bernama Thio Sam, dia paling pandai memancing orang tertawa. Suatu hari, dia bersama dua temannya pergi tamasya, setiba di pojok jalan, dilihatnya seorang nona cantik berdiri di bawah pohon dengan kaku dan dingin, persis seperti kalian sekarang. Thio Sam mengatakan dia sanggup memancing tertawa si nona, dengan sendirinya kedua temannya tidak percaya. Kata Thio Sam, dia mampu memancing tertawa si nona itu hanya dengan satu kata saja, kemudian dengan satu kata pula dia sanggup membuat nona itu marah. Untuk itu dia berani bertaruh makan gratis di restoran. Tentu saja kedua temannya menyetujui pertaruhan itu.”

Dasar Siau-hi-ji memang pintar bicara, ocehannya sekarang bahkan sangat hidup dan menarik. Meski kedua anak dara itu tetap tidak memandang ke arahnya, namun dalam hati sudah timbul rasa ingin tahu cara bagaimana si Thio Sam dapat memancing tertawa orang banyak hanya dengan satu kata saja dan dengan satu kata pula dapat membuat orang marah.

Maka didengarnya Siau-hi-ji telah menyambung, “Lalu Thio Sam mendekati nona itu, tiba-tiba ia bertekuk lutut pada seekor anjing yang mendekam di samping si nona sambil memanggil, ‘Ayah!’

“Melihat si Thio Sam menganggap seekor anjing sebagai bapaknya, tentu saja si nona merasa geli dan mengikik tawa. Tak tahunya si Thio Sam lantas berlutut pula kepada si nona dan memanggilnya: ‘Ibu’.

“Keruan wajah si nona seketika merah padam, dengan menggereget ia terus melenggang dan melangkah pergi. Dan karena itu Thio Sam telah memenangkan taruhannya....”

Belum habis cerita Siau-hi-ji, anak dara yang bermuka bulat telur di sebelah kiri mendadak mengikik geli.

Maka bersoraklah Siau-hi-ji, “Aha, tertawa, akhirnya kau tertawa!”

Dilihatnya baru saja anak dara itu berseri tawa, mendadak air mukanya berubah pucat pula.

Kiranya entah sejak kapan Tong-siansing telah muncul di situ dan sedang menatap anak dara itu dengan dingin, “Apakah kau merasa dia sangat lucu?” jengeknya.

Sekujur badan anak dara itu gemetar, segera ia berlutut dan meratap, “Hamba... hamba tidak mengajak bi... bicara padanya....”

“Tapi kau telah tertawa baginya bukan?” bentak Tong-siansing bengis.

“Hamba... hamba....” Karena ketakutan sehingga gadis kecil itu tidak sanggup bicara, mendadak ia mendekap mukanya dan menangis.

“Kau boleh keluar saja,” ucap Tong-siansing.

“Mo... mohon... sudilah engkau mengampuni jiwa hamba,” ratap anak dara itu dengan suara parau, “Hamba berjanji takkan berbuat lagi.”

“Mengampuni jiwanya?” Siau-hi-ji mengulang dengan terkejut. “He, apakah engkau akan... akan membunuhnya?”

“Membunuhnya?” jengek Tong-siansing. “Kukira tidak perlu, cukup potong lidahnya saja agar selanjutnya dia tidak mampu tertawa lagi.”

“Potong lidahnya? Hanya lantaran tertawa begitu saja hendak kau potong lidahnya?” tanya Siau-hi-ji dengan kejut tak terperikan.

“Ini pun salahmu, mestinya jangan kau pancing dia tertawa,” kata Tong-siansing.

“Aku cuma mendongeng suatu lelucon baginya, mengapa... mengapa engkau cemburu!” teriak Siau-hi-ji.

“Plak,” mendadak Tong-siansing menamparnya, sama sekali Siau-hi-ji tidak dapat berbelit sehingga tergampar dengan tepat, kontan ia jatuh terlentang. Tapi mulutnya tetap berteriak gusar, “Boleh kau pukul diriku, tapi tidak boleh sekali-kali menghukum dia.”

Sorot mata Tong-siansing seakan-akan memancarkan bara, bentaknya, “Kau malah... malah membela dia?”

Rupanya karena gemasnya hingga tubuhnya tampak agak gemetar.

Dengan suara keras Siau-hi-ji menjawab, “Persoalan ini tak dapat menyalahkan dia, kalau ada yang salah, salahkan saja diriku.”

“Bagus... bagus! Jadi kau lebih suka dipukul olehku dari pada kuhukum dia, kau... kau ternyata serupa dengan ayahmu, sama-sama petualang cinta.”

Begitu habis ucapannya, sekonyong-konyong ia menggeram, sebelah tangannya membalik ke sana, kontan anak dara bermuka bulat telur tadi terhantam hingga terpelanting keluar pintu, lalu jatuh terkulai tak dapat bergerak lagi untuk selamanya.

Keruan kaget Siau-hi-ji, ia melompat bangun dan berteriak, “Kau... kau membunuh dia?”

Gemetar badan Tong-siansing, mendadak ia menengadah dan bergelak tertawa, katanya, “Betul, aku telah membunuh dia, supaya dia tak bisa pergi bersamamu!”

Kejut dan gusar Siau-hi-ji, tanyanya, “Apakah kau sudah gila? Bilakah dia ingin pergi bersamaku?”

“Hm, bila mana kalian sudah pergi baru kubunuh dia, tentu akan terlambat segalanya!” jengek Tong-siansing.

Siau-hi-ji terbelalak, serunya parau, “Gila, kau benar-benar sudah gila... Tadinya kukira hanya watakmu saja dingin dan bukan orang yang berhati kejam, siapa tahu engkau tega bertindak sekeji ini terhadap seorang anak perempuan.”

Makin bicara makin gusar, tanpa pikir mendadak ia menubruk maju, kedua tangannya memukul dengan cepat.

Dengan ilmu silat Siau-hi-ji sekarang tingkatannya sudah sebanding dengan tokoh-tokoh Bu-lim terkemuka, dalam gusarnya, pukulan yang dilontarkan ini sekaligus mencakup ilmu pukulan sakti dari Bu-tong-pay dan Kun-lun-pay. Dengan sendirinya ilmu pukulan ini berasal dari beberapa tokoh dunia persilatan yang diciptakan secara gabungan di istana bawah tanah itu. Kini Siau-hi-ji sudah dapat memainkannya dengan leluasa, bahkan mengerahkan segenap daya serangannya.

Siapa tahu, pukulan yang cukup membuat keder setiap tokoh Bu-lim ini bagi Tong-siansing tidak lebih hanya menggeliat, tubuhnya seakan-akan patah menjadi dua. Pada saat itu pukulan balasannya juga lantas dilontarkan, kalau tidak menyaksikan sendiri, siapa pun takkan percaya seorang dapat melancarkan serangan dalam posisi yang aneh begitu.

Seketika Siau-hi-ji merasa tubuhnya tergetar, kontan ia jatuh terguling pula, meski tidak terluka, tapi ia benar-benar takut dan terkesima oleh ilmu silat yang aneh dan lihai ini.

Sambil memandangi anak muda itu, Tong-siansing menjengek, “Ilmu silatmu ini paling-paling hanya mampu menahan lima jurus serangan Hoa Bu-koat. Tadinya kukira kau sanggup mengadu jiwa dengan dia, tak tahunya, kau sangat mengecewakan harapanku.”

“Aku mampu menahan berapa jurus serangannya, peduli apa denganmu?” damprat Siau-hi-ji gemas.

“Memangnya kau tidak ingin mengalahkan dia?” jengek Tong-siansing.

“Aku ingin mengalahkan dia atau tidak memangnya kau mau apa?” jawab Siau-hi-ji.

Tong-siansing tidak marah lagi, dia malah mengeluarkan satu lipatan kain kuning, katanya, “Di sini ada pelajaran tiga jurus serangan yang dapat mematahkan ilmu silat Ih-hoa-kiong, bila mana kau dapat memahaminya di dalam tiga bulan ini, andaikan kau tidak dapat mengalahkan Hoa Bu-koat sedikitnya mampu tertahan lebih lama.”

Ternyata dia hendak mengajarkan ilmu silat kepada Siau-hi-ji, sungguh hal yang sukar dipercaya oleh siapa pun duga. Keruan Siau-hi-ji melenggong heran, tanyanya dengan tergagap, “Apa... apa maksudmu ini?”

Tong-siansing lantas melemparkan lipatan kain itu ke depan Siau-hi-ji sambil mendengus, lalu melangkah pergi.

“Sebenarnya kau ingin Hoa Bu-koat membunuh diriku atau ingin kubunuh Hoa Bu-koat?” teriak Siau-hi-ji. “Hm, sebenarnya kau ini dihinggapi penyakit apa?”

Sekonyong-konyong Tong-siansing membalik tujuh, jengeknya, “Hm, selama hidupmu ini sudah ditakdirkan akan berakhir dengan tragis. Tak peduli kau yang membunuh Hoa Bu-koat atau dia yang membunuhmu, semuanya sama saja.”

“Tapi jelas ini tidak sama. Mana bisa sama?” geram Siau-hi-ji “Kau... sebenarnya....”

Namun Tong-siansing sudah melangkah keluar tanpa menoleh, “blang,” pintu digebrak hingga tertutup.

Siau-hi-ji termenung sejenak, waktu berpaling, dilihatnya anak dara yang masih berada di situ sedang mengucurkan air mata. Tapi sekarang ia tidak berani lagi mengajaknya bicara, sungguh ia tidak tega menyaksikan anak dara yang cantik itu mati pula akibat tingkah lakunya.

Anak dara itu berdiri termenung di situ dan membiarkan air matanya meleleh di pipi tanpa mengusapnya. Siau-hi-ji jadi terharu, ia menghela napas, kemudian ia coba membentang kain sutera pemberian Tong-siansing tadi.

Memang benar, kain tadi melukiskan tiga jurus ilmu silat yang mahahebat, sederhana, tapi tajam, benar-benar merupakan jurus serangan mematikan bagi ilmu silat Hoa Bu-koat yang ruwet itu.

Ketiga jurus itu selain dilukiskan dengan gambar secara jelas, bahkan diberi keterangan pula dengan tulisan. Kalau bukan orang yang sangat memahami ilmu silat Ih-hoa-kiong, rasanya tidak mungkin menciptakan ketiga jurus serangan yang hebat ini, sungguh aneh bin ajaib.

Namun Siau-hi-ji tidak memikirkan hal ini, pada hakikatnya sekarang ia tidak ingin memikirkan apa pun, ia hanya memandangi gambar itu dengan termangu-mangu.

Tidak lama kemudian datanglah orang mengantarkan santapan, ternyata terdiri dari masakan Sujwan kegemaran Siau-hi-ji, bahkan ada sebotol arak pilihan.

Tanpa sungkan-sungkan lagi Siau-hi-ji terus makan sekenyang-kenyangnya, tapi ia sengaja menyisihkan sepotong bebek rebus dan satu porsi Ang-sio buntut, lalu seperti bicara pada dirinya sendiri ia bergumam, “Kedua macam makanan ini tidak pedas, makan atau tidak terserah padamu.”

Sejak tadi anak dara itu berdiri saja, satu ujung jari saja tidak bergerak. Tapi sekarang mendadak ia memutar tubuh dan mendekati meja, tanpa permisi lagi ia ambil sepotong bebek rebus itu terus dimakan dengan lahapnya.

Bila dia tidak mau makan, tentu Siau-hi-ji tidak perlu heran, kini dia justru makan dengan lahapnya, hal ini malah membuat Siau-hi-ji terbelalak heran.

Setelah menghabiskan sepotong bebek rebus, tampaknya nona ini sudah tidak sanggup makan lebih banyak lagi, tapi sedapatnya ia menghabiskan pula seporsi Ang-sio buntut. Sambil makan tanpa berkedip ia pun mengawasi sebuah saringan pasir pengukur waktu, setitik demi setitik butiran pasir menerobos saringan dan sang waktu pun ikut berlalu.

Yang keluar dari saringan sekarang rasanya bukan lagi butiran pasir melainkan jiwa manusia.

Siau-hi-ji tersenyum kecut, waktu, baginya kini terasa terlalu mahal, namun dia cuma dapat menyaksikan sang waktu berlalu begitu saja tanpa berdaya sedikit pun.

Tiba-tiba anak dara itu mendekatinya, lalu mendesis perlahan, “Apakah engkau cukup kenyang?

Bahwa anak perempuan itu mendadak mau bicara. Siau-hi-ji jadi kaget.

Segera nona itu berkata pula, “Tak menjadi soal bicara sekarang, tak ada orang lain yang akan datang.”

Dengan tertawa Siau-hi-ji lantas menjawab, “Perutku serasa mau pecah karena kenyangnya, mungkin seekor semut saja tak sanggup kutelan lagi.”

“Sebaiknya kau makan lebih banyak, selama dua hari nanti mungkin kita tak dapat makan apa-apa,” ucap si nona.

Siau-hi-ji terkejut, “Sebab apa?” tanyanya.

Terpancar sinar tajam dari biji mata si nona yang hitam itu, katanya dengan tegas, “Sebab sekarang juga kita akan mulai kabur, dalam pelarian ini pasti kita takkan makan apa pun juga, bahkan air minum pun sukar diperoleh.”

“Lari?” Siau-hi-ji menegas dengan melenggong. “Maksudmu melarikan diri?”

“Ya, sebabnya aku makan dengan lahap tadi ialah supaya aku mempunyai tenaga untuk melarikan diri?”

“Tapi... tapi Tong-siansing...."

“Saat ini dia sedang bersemadi, sedikitnya dalam dua jam dia takkan ke sini.”

“Kau yakin?” tanya Siau-hi-ji.

“Ya, kebiasaan ini sudah berlangsung selama berpuluh tahun dan tidak pernah berubah, konon belasan tahun yang lalu juga ada seorang anak perempuan yang berkedudukan seperti diriku melarikan diri dengan membawa kabur seorang pada saat dia sedang semadi seperti sekarang ini.”

“Ah, pantas dia begitu murka tadi, kiranya dia khawatir sejarah akan berulang pula,” ucap Siau-hi-ji, baru sekarang ia paham.

Tiba-tiba mata anak dara itu berkilau-kilau mengembang air mata, katanya, “Tahukah engkau siapa anak perempuan yang dibunuhnya tadi?”

Siau-hi-ji jadi tertarik, jawabnya, “Jangan-jangan... jangan-jangan dia....”

“Adikku, adik kandungku,” tukas si nona dengan suara gemetar, akhirnya air mata pun bercucuran.

Siau-hi-ji melenggong sejenak, ucapnya kemudian dengan menyesal, “Maaf, tadi seharusnya aku tidak boleh memancing dia tertawa.”

“Sudah tujuh tahun adikku ikut dia, tapi cuma persoalan sekecil itu ia pun tega membunuhnya, sebaliknya engkau tak pernah kenal adikku, namun engkau malah membelanya, bahkan tidak sayang mengadu jiwa baginya....”

“Lantaran inikah kau menolong aku dengan menyerempet bahaya?” tanya Siau-hi-ji.

“Hakikatnya dia bukan manusia, ia pun tidak menganggap kami sebagai manusia, hidupku di sini biar pun cukup sandang pangan, namun rasanya seperti hidup di dalam kuburan, sedikit pun tiada gairah hidup....”

“Jika begitu mengapa ketika itu kau mau datang ke sini?”

“Kami kakak beradik sebenarnya yatim piatu dan sejak kecil sudah kenyang siksa derita, kami mengira setelah masuk perguruannya dapatlah kami menanjak ke atas dan hidup bahagia. Siapa tahu meski kami berhasil belajar ilmu silatnya, tapi kami pun dijadikan budak olehnya, terkadang sepanjang hari kami dilarang buka suara sama sekali.”

“Kesepian, ya, kesepian sedemikian lama memang lebih banyak menyiksa dari pada penderitaan orang lain....” ucap Siau-hi-ji dengan gegetun. Tiba-tiba ia pegang tangan si nona yang dingin ini dan berkata pula dengan suara berat, “Tapi setelah peristiwa belasan tahun yang lampau itu, penjagaannya pasti bertambah ketat, apakah kita dapat kabur tanpa diketahuinya?”

“Jika berada di istananya memang sama sekali tiada harapan bagi kita untuk lari, tapi di sini, tempat ini hanya pondoknya untuk sementara saja.” Untuk pertama kalinya si nona menampilkan senyum getir, lalu menyambung pula, “Apa lagi akulah yang menemukan tempat ini, bahkan aku yang mengatur tempat ini, walau pun kita belum pasti dapat lolos, tapi apa pun juga harus kita coba dari pada menunggu ajal di sini.”

Siau-hi-ji memandang sekelilingnya, lalu bertanya, “Sebenarnya tempat apakah ini?”

“Sebuah biara,” tutur si nona.

“Biara?” Siau-hi-ji menegas dengan heran. Yang terlihat olehnya sekarang adalah perabotan yang mewah, yang terendus adalah bau harum semerbak, sungguh sukar dipercaya kalau tempat ini adalah sebuah biara.

“Tempat ini semula adalah sebuah biara tua. Setelah kami atur seharian barulah berubah bentuk begini,” tutur si nona.

“Kepandaian kalian sungguh luar biasa,” kata Siau-hi-ji dengan gegetun. Sambil tertawa tiba-tiba ia menyambung pula, “Waktu sangat berharga, kenapa kita tidak lekas berangkat. Jika ingin mengobrol, setelah lolos kukira masih mempunyai waktu banyak.”

“Tunggu sebentar, kita harus menunggu setelah peralatan makan ini di bersihkan orang barulah berangkat, kalau tidak kaburnya kita akan segera ketahuan.”

“Ya, dalam hal-hal kecil aku memang suka teledor, rasanya setiap anak perempuan sepertimu jauh lebih cermat dari padaku,” kata Siau-hi-ji tertawa.

Nona itu menatapnya sejenak, katanya kemudian, “Tentunya sangat banyak anak perempuan yang kau kenal?”

“Ah, sungguh kuharap jangan banyak-banyak anak perempuan yang kukenal... Dan kau? Anak lelaki yang kau kenal....”

“Satu pun tidak ada,” jawab anak dara itu dengan dingin.

“Tapi sekarang sedikitnya kau sudah kenal diriku,” ucap Siau-hi-ji dengan tertawa. “Aku she Kang bernama Siau-hi, dan kau?”

Nona itu terdiam sejenak, jawabnya kemudian, “Boleh kau panggil aku ini Thi Peng-koh”

Siau-hi-ji seperti melengak, ucapnya dengan menyengir, “Kau pun she Thi? Aneh, mengapa anak perempuan she Thi sedemikian banyak....”

Belum habis ucapannya, mendadak Thi Peng-koh mendesis dan memberi tanda agar jangan bersuara.

Segera terdengar langkah perlahan di luar pintu, cepat Siau-hi-ji merebahkan diri di tempat tidur. Habis itu masuklah seorang anak perempuan berbaju ungu dan berwajah dingin bersama seorang perempuan setengah umur berbaju hijau.

Thi Peng-koh tetap berdiri di tempatnya tanpa menghiraukan kedua pendatang itu.

Nona baju ungu lantas mendekatinya, dengan dingin ia menegur, “Adikmu sudah meninggal.”

“Aku tahu,” jawab Peng-koh dengan sikap sama dinginnya.

“Kau berduka tidak?”

“Jika aku berduka apakah kau gembira?”

Cepat si baju ungu melengos dongkol, sorot matanya yang penuh rasa gusar itu kebetulan menghadapi Siau-hi-ji. Tapi anak muda itu malah mencibir padanya dengan menjulurkan lidah segala.

Sementara itu perempuan baju hijau tadi sudah selesai mengukuti mangkuk piring dan membawanya pergi.

Tiba-tiba si nona baju ungu berkata, “Kau pun boleh keluar sana!”

Siau-hi-ji melengak, ucapnya dengan menyengir, “Maksudmu aku sudah boleh keluar?”

Tapi di baju ungu lantas memutar balik ke sana dan menatap Thi Peng-koh jengeknya, “Tentunya kau tahu yang kumaksudkan ialah kau. Mengapa kau tidak lekas pergi?”

Siau-hi-ji terperanjat, denyut jantungnya hampir saja berhenti. Thi Peng-koh disuruh pergi, itu berarti rencana akan kabur mereka gagal total.

Tapi Thi Peng-koh lantas menjawab, “Siapa yang suruh aku pergi?”

“Sekarang sudah waktunya giliran jaga, kau dapat istirahat, memangnya kurang enak bagimu?” jengek si baju ungu.

Thi Peng-koh tidak bicara pula, segera ia membalik tubuh dan melangkah pergi.

Dengan terbelalak Siau-hi-ji menyaksikan Thi Peng-koh melangkah keluar, meski gelisah, tapi tak berdaya.

Dalam pada itu si nona baju ungu sedang menatapnya pula dengan tajam dan bertanya, “Kau tidak ingin dia pergi?”

“Haha!” Siau-hi-ji sengaja latah, “Lebih baik kalau dia pergi. Mukanya yang senantiasa merengut itu membuat jemu saja. Meski kau belum tentu lebih enak dipandang dari pada dia, tapi ganti yang baru tentu lebih baik dari pada yang lama. Memangnya watakku juga suka pada yang baru dan bosan pada yang lama.”

“Hm, jika kau menatap diriku, segera kucolok biji matamu,” ancam si baju ungu.

Siau-hi-ji dapat melihat Thi Peng-koh yang telah keluar itu diam-diam telah menyelinap masuk kembali. Maka ia sengaja bergelak tertawa dan berolokolok. “Hahaha! Di mulut kau bilang tidak mau dipandang, tapi dalam hati tentu kau ingin sekali. Bisa jadi kau harap aku akan mendekapmu dan menciummu, kalau tidak mengapa kau segera menyuruh dia pergi dan kau sendiri malah tinggal di sini?”

Tampaknya si baju ungu menjadi gusar, dengan suara gemetar ia membentak, “Kau... kau berani bicara begini padaku?”

Siau-hi-ji melelet lidah, ucapnya dengan tertawa, “Kau kan bukan macan betina, mengapa aku tidak berani? Malahan kuingin menggigit bibirmu!”

Dilihatnya Thi Peng-koh sudah dekat di belakang si baju ungu, maka dia sengaja membuatnya marah-marah dan lupa daratan.

Benarlah, dengan murka si baju ungu membentak pula, “Jangan kau kira aku tak dapat membunuhmu, sedikitnya dapat kupatahkan....”

Belum habis ucapannya, tahu-tahu kepalanya telah menjulai ke bawah, disusul tubuhnya lantas roboh terjungkal tanpa bersuara sedikit pun. Ternyata telapak tangan Thi Peng-koh dengan tepat telah menebas kuduk si baju ungu.....
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar