Bakti Pendekar Binal Jilid 26

Sebab itulah ucapan Siau-hi-ji itu membuat Tong-siansing melengak juga. Selang sejenak barulah ia membentak pula dengan bengis, “Tapi dia juga telah berebut gadis yang kau cintai, masa kau tidak dendam padanya?”

“Hati perempuan kalau sudah mau berubah, tenaga apa pun tidak mungkin dapat menahannya, dalam hal ini mana dapat kusalahkan Hoa Bu-koat. Apa lagi seorang perempuan kalau hatinya harus berubah dan berubah hatinya itu disebabkan Hoa Bu-koat, maka kukira akan jauh lebih baik dari pada perubahan hatinya itu disebabkan orang lain.”

Kembali Tong-siansing tercengang sejenak, kemudian ia membentak pula dengan gusar, “Dendam membunuh orang tua dan sakit hati merebut pacar, hal-hal ini bagi orang lain pasti akan dituntut dengan taruhan nyawa, tapi kau malahan menganggap sepi saja, apakah kau ini bisa dianggap sebagai manusia lagi?”

Siau-hi-ji menatap orang dengan terbelalak, tiba-tiba ia tertawa dan berucap “Ingin kutanyakan padamu, sebab apakah engkau menghendaki aku dendam dan benci padanya?”

“Kau dendam atau tidak padanya memangnya ada sangkut-paut ada dengan diriku?” jawab Tong-siansing gusar.

“Itulah dia, kalau tiada sangkut-pautnya dengan engkau, mengapa dengan susah payah engkau menaruh perhatian sebesar ini?” kata Siau-hi-ji.

Tong-siansing menjadi bungkam.

“Kutahu maksud tujuanmu hanya satu, yakni ingin aku mengadu jiwa dengan dia, engkau terus mengawasi diriku lantaran kau khawatir dalam tiga bulan ini persahabatan kami terpupuk semakin erat, kau khawatir dia tidak mau lagi membunuhku, betul tidak?”

“Masa bodoh jika kau sok pintar dengan macam-macam rekaanmu,” bentak Ton-siansing.

“Bahwa dia harus membunuhku dengan tangannya sendiri dan dia tidak tahu apa sebabnya, semula aku sudah merasa heran, sekarang aku jadi tambah heran,” ucap Siau-hi-ji dengan tersenyum.

“Meski kau tidak benci padanya, tapi dia benci padamu, makanya ingin membunuhmu, apanya yang perlu diherankan?”

“Kau kira dia benar-benar benci padaku?”

Tubuh Tong-siansing seperti tergetar, hardiknya dengan bengis, “Mau tak mau dia harus benci padamu!”

“Inilah yang kuherankan,” ucap Siau-hi-ji dengan gegetun. “Engkau dan gurunya bisa membunuhku dengan sangat mudah, tapi kalian tidak mau turun tangan sendiri, sebab itulah aku merasa kalian sebenarnya tidak benar-benar menghendaki kematianku, melainkan cuma ingin kumati di tangan Hoa Bu-koat saja, rasanya kalian merasa puas bila mana menyaksikan dia membunuhku dengan tangan sendiri.”

“Menghendaki dia membunuhmu berarti menghendaki kematianmu, kan tidak ada bedanya?”

“Ada, ada bedanya, bahkan sangat menarik. Kutahu di dalam hal ini tentu ada sesuatu sebab yang aneh, cuma sayang saat ini belum dapat kupecahkan.”

Tong-siansing berdiam sejenak pula, jengeknya kemudian, “Seumpama di dalam hal ini ada sebabnya juga takkan kau ketahui selamanya.”

“Oya? Apa betul?” Siau-hi-ji tersenyum.

“Di dunia ini hanya ada dua orang yang tahu rahasia ini dan mereka tidak mungkin memberitahukannya padamu.”

Gemerdep mata Siau-hi-ji, ia merenung dan berkata, “Dengan sendirinya Ih-hoa-kiongcu mengetahui....”

“Ya, sudah tentu,” ucap Tong-siansing.

“Padahal Ih-hoa-kiongcu terdiri dari kakak beradik berdua,” teriak Siau-hi-ji, “Jika engkau mengatakan di dunia ini hanya dua orang saja yang mengetahui rahasia ini, lalu dari mana pula engkau mengetahuinya?”

Tubuh Tong-siansing seperti bergetar, bentaknya gusar, “Kau sudah terlalu banyak bicara, sekarang tutup saja mulutmu!”

Mendadak ia tutuk Hiat-to anak muda itu. Siau-hi-ji hanya merasakan bayangan putih berkelebat, sampai bentuk tangan orang saja tak terlihat jelas dan tahu-tahu dirinya sudah tak bisa berkutik dan bersuara.

Nyata “Tong-siansing” yang penuh rahasia ini bukan saja wajah aslinya disembunyikan, bahkan tangannya juga tak suka diperlihatkan kepada orang.....

********************

Sementara Hoa Bu-koat telah berada di kamarnya, dalam benaknya juga penuh diliputi berbagai tanda tanya, cuma isi hatinya tidak dapat dibeberkan kepada orang lain, ia sendiri pun tidak suka berbincang dengan siapa pun.

Esok paginya, dalam keadaan layap-layap karena semalam banyak minum arak, tiba-tiba ia terjaga bangun oleh berisik di halaman luar. Ia mengenakan baju dan membuka pintu kamar, baru saja ia melongok keluar lantas dilihatnya Kang Piat-ho berdiri di bawah pohon sana, begitu melihat Hoa Bu-koat sudah bangun, dengan tersenyum ia lantas mendekatinya dan menyapa, “Semalam kakak ada janji dengan orang, terpaksa pergi keluar, pulangnya baru tahu adik sendirian telah banyak minum arak sehingga mabuk.”

Sama sekali dia tidak mengungkap kejadian di restoran itu semalam, bahkan sebutannya juga telah berubah menjadi ‘kakak’ dan ‘adik’ seakan-akan semua kejadian timbul karena hasutan adu domba orang lain sehingga tiada harganya untuk disebut-sebut lagi.

Bu-koat juga lantas tertawa dan berkata, “Baru sekarang Siaute mengetahui penyakit mabuk sesungguhnya jauh lebih tersiksa dari pada penyakit apa pun di dunia ini.”

Ia memandang sekitar sana, tertampak kaum budak keluarga Toan lebih sibuk dari pada biasanya, keluar masuk bergantian tanpa berhenti dan air muka setiap orang tampak cemas dan berduka.

Ia menjadi heran apakah keluarga hartawan ini mengalami sesuatu kejadian apa-apa. Maka ia lantas bertanya, “Ada urusan apakah ini?”

Dengan perlahan Kang Piat-ho menghela napas, ucapnya, “Putri Toan Hap-pui telah bunuh diri.”

“Hah, orang yang berpikiran terbuka begitu juga bisa bunuh diri?!” seru Bu-koat terkejut.

“Hiante jangan lupa, betapa pun dia adalah perempuan” ujar Kang Piat-ho dengan menyengir, “Kebanyakan perempuan memang anggap bunuh diri adalah jalan paling baik untuk memecahkan sesuatu kesulitan.”

“Sebab apakah dia membunuh diri?” tanya Bu-koat.

“Tiada seorang pun yang tahu sebab-sebabnya,” tutur Kang Piat-ho, “Hanya terdengar dia mengigau dalam keadaan tidak sadar, katanya, ‘Aku bersalah padanya, dia tidak mengubris diriku lagi’....”

“Dia? Siapa maksudnya?” tanya Bu-koat.

“Rahasia hati kaum gadis, siapa yang tahu?”

“Jika nona Toan masih dapat bicara, tentunya dia tidak sampai meninggal.”

“Membunuh orang sulit, membunuh diri juga tidak gampang. Setahuku, perempuan yang benar-benar berhasil membunuh diri jumlahnya sangat sedikit.”

Tersenyum juga Hoa Bu-koat, katanya, “Lelaki yang berhasil membunuh diri memangnya berjumlah banyak?”

“Hahaha!” Kang Piat-ho tergelak-gelak, “Hiante benar-benar pelindung kaum wanita di dunia ini, di mana dan kapan pun engkau selalu bicara membela mereka.”

Tiba-tiba Bu-koat bertanya, “Eh, tampaknya hari sudah siang.”

“Sudah lewat lohor,” ucap Kang Piat-ho.

“Ai, rupanya aku bangun terlalu lambat....” seru Bu-koat, cepat-cepat ia masuk kamar untuk cuci muka.

Kang Piat-ho juga ikut masuk dan berusaha memancing sesuatu keterangan, “Tidur akibat mabuk minum memang rada sukar mendusin, jalan paling baik harus disadarkan dengan arak pula, apakah adik suka kalau kakak mengiringi minum barang dua cawan?”

Selesai membersihkan mukanya, Bu-koat berkata dengan tertawa, “Jangankan minum arak, mendengar kata-kata ‘arak’ saja kepalaku lantas pusing sekarang.”

“Wah, jika begitu bagaimana kalau... kalau kakak mengiringi adik pesiar keluar?”

“Siaute sudah tinggal sekian lama di kota ini, memangnya Kang-heng masih khawatir diriku akan kesasar?”

Setelah berdiri tertegun sejenak di dekat pintu, akhirnya Kang Piat-ho berkata, “Baiklah, jika demikian biar kutengok nona Toan di depan sana.”

Dia seperti sudah tahu Hoa Bu-koat merahasiakan sesuatu padanya, walau pun mulut tidak menyinggungnya, tapi di dalam hati sudah waswas. Maka setiba di pekarangan sana ia lantas bisik-bisik memberi pesan kepada dua anak buahnya.

Kedua lelaki itu mengiakan dengan hormat kalau berlari keluar.

Sesudah anak buahnya pergi, tersembul senyuman sinis pada ujung mulut Kang Piat-ho, gumamnya, “Hoa Bu-koat, wahai Hoa Bu-koat, meski dengan sesungguh hati ingin bersahabat denganmu, tapi kalau kau berbuat sesuatu yang tidak baik padaku, maka janganlah kau menyalahkan aku jika aku pun melakukan sesuatu tindakan padamu.”

Dia seakan-akan tidak mau tahu bahwa setiap orang tentu mempunyai sesuatu yang tak dapat diceritakan kepada orang lain, dia menghendaki setiap orang harus berterus terang padanya tanpa menyembunyikan sesuatu, kalau tidak lantas dianggapnya berdosa padanya.

Memang begitulah sejak dulu kala hingga kini, setiap tokoh penguasa yang lalim memang suka memiliki penyakit ‘rasa curiga’ yang jauh melebihi orang biasa, dan ciri ini terkadang juga merupakan penyakit fatal baginya.....

********************

Pada setiap ujung kota ini sudah terpasang jaring pengintai yang ketat, orang-orang ini ada yang pura-pura sedang minum, ada yang belanja dan ada pula yang sedang jalan-jalan iseng.

Hoa Bu-koat sendiri juga sedang iseng saja. Dia berhenti di depan sebuah toko penjual burung, di situ dia berhenti cukup lama untuk mendengarkan kicauan bermacam jenis burung yang menarik. Kemudian dia masuk ke sebuah warung makan, dia minum dua cangkir teh dan satu potong kue.

Segera ada pengintai berlari pulang memberi lapor kepada Kang Piat-ho.

“Minum teh....?” Kang Piat-ho merasa heran. “Untuk apa dia minum di sana? Apakah dia menemui seseorang di situ?”

Tapi pengintai itu menjawab, “Hoa-kongcu duduk cukup lama di warung minum itu dan tiada nampak bicara dengan siapa pun juga.”

“Oo....?” Kang Piat-ho tetap tidak mengerti.

Selang tak lama, kembali seorang pulang melapor, “Hoa-kongcu sudah meninggalkan warung minum itu.” Menyusul datang lagi laporan, “Hoa-kongcu kini sedang menonton akrobat Ong Thi-pi di pojok jalan sana.”

“Buset!” Kang Piat-ho mengernyitkan dahi, “Permainan anak kecil begitu masa juga ditonton... Apakah kalian tidak melihat di antara kerumunan orang ramai itu ada yang bicara dengan dia?”

“Tidak,” jawab pelapor.

“Siapa yang mengawasi dia sekarang?” tanya Kang Piat-ho.

“Jalan itu adalah bagian Song Sam dan Li Acu....” belum habis si pelapor menutur, tiba-tiba Song Sam yang disebut itu tampak muncul dengan gelisah, dia menyembah di depan Kang Piat-ho dan melapor, “Hoa-kongcu mendadak menghilang!”

Kang Piat-ho menjadi murka, bentaknya dengan menggebrak meja, “Keparat! Memangnya kalian ini orang buta semua? Siang bolong dan terang benderang begitu, di tengah jalanan yang ramai tidak mungkin dia kabur dengan menggunakan Ginkangnya, mengapa mendadak bisa menghilang?”

“Waktu itu giliran anak gadis Ong Thi-pi bermain Liu-sing-tui (senjata dengan kedua ujung berbola besi dan diberi bertali), mendadak rantai Liu-sing-tui putus, bola besi sebesar semangka kecil itu mencelat ke udara, tentu saja para penonton menjadi khawatir kepalanya ketiban bola besi itu dan sama berlari simpang-siur, arena pertunjukan seketika menjadi kacau....”

“Kau sendiri pun lari bukan?” tanya Kang Piat-ho.

“Hamba... hamba sebenarnya berdiri di kejauhan, begitu keadaan kacau, hamba lantas mengawasi dengan lebih teliti,” tutur si Song Sam dengan takut-takut. “Tapi ketika bola besi itu jatuh kembali ke bawah dan Ong Thi-pi menabuh tambur dan mengulang pertunjukan lagi, namun Hoa-kongcu sudah tidak kelihatan.”

“Mengapa rantai Liu-sing-tui bisa putus mendadak?” tanya Kang Piat-ho.

“Hamba tidak tahu,” jawab Song Sam.

“Hm, kukira matamu menjadi kabur dan lupa daratan menyaksikan permainan anak gadis Ong Thi-pi itu,” jengek Kang Piat-ho.

“Ham... hamba tidak berani,” berulang-ulang Song Sam menyembah.

“Jika kedua matamu toh tiada gunanya, lalu untuk apa dibiarkan begini?” bentak Kang Piat-ho dengan bengis.

Baru habis ucapannya, serentak dua lelaki kekar melangkah maju dan menyeret keluar Song Sam. Wajah Song Sam tampak pucat, saking ketakutan sehingga tidak sanggup minta ampun sama sekali.

Selang tak lama, dari belakang berkumandang suara jeritan ngeri.

Tapi Kang Piat-ho seakan-akan tidak mendengarnya, ia bergumam sendiri, “Ke mana perginya Hoa Bu-koat? Mengapa dia menghindari aku? Jangan-jangan mereka ada janji dengan Kang Siau-hi untuk merancang sesuatu terhadap diriku? Apabila kedua anak muda itu berserikat, lalu apa yang harus kulakukan?”

Dia bergumam dengan sangat lirih, sorot matanya tampak beringas, kemudian ia mendengus, “Hm, lebih baik aku mengingkari semua orang dan jagat ini dari pada ada seorang di dunia ini mengkhianati aku... O, Kang Piat-ho, hendaklah camkan benar-benar kata-kata ini!”

********************

Sementara itu Hoa Bu-koat sudah berada di luar kota dengan tersenyum puas. Kalau sekarang ada orang bertanya padanya apa sebabnya Liu-sing-tui mendadak putus rantainya tentu dia akan tertawa terbahak-bahak. Rantai Liu-sing-tui itu dapat ditimpuk putus dengan sebutir batu kecil, betapa pun ia merasa bangga pada tenaga jarinya sendiri.

Dan kalau sekarang ada orang bertanya, padanya, “Mengapa kau berbuat begitu?” Maka pasti dia akan menjawabnya dengan tertawa, “Selama ini aku pun berhasil belajar cara bagaimana menggunakan otak dan memakai akal serta mengenal sedikit kelicikan orang hidup. Akhirnya aku pun mulai merasakan bahwa setiap orang di dunia tidak selalu dapat dipercaya sebagaimana kubayangkan dahulu.”

Setiba di hutan bunga sana, terlihat pemandangan yang indah itu sudah hampir seluruhnya rusak oleh pertarungan pedang kemarin. Sinar matahari teraling awan tebal, terasa tiupan angin rada dingin.

Teringat harus berhadapan pula dengan Yan Lam-thian, senyuman yang selalu menghiasi bibirnya seketika tak tertampak lagi. Tapi meski tahu perjalanan ini cukup berbahaya baginya, namun mau tak mau ia harus datang sesuai janjinya kepada Siau-hi-ji.

Bu-koat masuk ke hutan itu dengan menyusur daun bunga yang rontok. Yan Lam-thian tidak ada di situ, hanya terlihat seorang perempuan berbaju putih mulus dengan kepala tertunduk bersandar di pohon sana.

Karena orang berdiri membelakangi Bu-koat, maka anak muda ini hanya dapat melihat potongan tubuhnya yang ramping serta rambutnya hitam panjang terurai di pundak.

Meski tidak nampak wajahnya, tapi sekali pandang saja Bu-koat tahu siapa dia, yaitu Thi Sim-lan. sungguh aneh, mengapa Thi Sim-lan berada di sini?

Di bawah bunga yang bertaburan, Bu-koat berdiri melenggong di situ. Sama sekali tak terduga olehnya akan bertemu dengan Thi Sim-lan di sini. Ia pun tidak tahu apakah dirinya harus menegurnya? Yang jelas hatinya terasa pedih dan getir.

Thi Sim-lan juga tidak menoleh dan tidak bergerak! Pikiran si nona seperti sedang melayang sehingga sama sekali tidak tahu datangnya Hoa Bu-koat. Angin meniup sejuk mengusap rambutnya yang halus itu.

Lama dan lama sekali baru terdengar nona itu menghela napas panjang dan bergumam, “Bunga mekar bunga rontok, kemudian menjadi tanah dalam waktu singkat, bukanlah kehidupan manusia juga demikian?”

Suara yang hampa itu penuh rasa kesal dan mencela dirinya sendiri, gadis yang biasa berhati riang itu mengapa bisa berubah gundah-gulana?

Sebenarnya Bu-koat tidak ingin mengejutkan si nona, mestinya ia ingin mengeluyur pergi secara diam-diam, tapi kini tanpa terasa ia pun menghela napas perlahan.

Seperti terkejut dan seperti girang, sekonyong-konyong Thi Sim-lan menoleh dan berseru “Kau....” tapi cuma satu kata ini saja, dilihatnya yang berada di depannya ialah Hoa Bu-koat, seketika ia melengak.

Biar pun pikirannya diliputi berbagai persoalan, tapi air muka Hoa Bu-koat tetap tenang-tenang saja, katanya dengan tertawa, “Baik-baikkah engkau?”

Sekejap itu sesungguhnya ia tidak tahu apa yang harus diucapkannya. Begitu pula Thi Sim-lan seakan-akan juga tidak tahu cara bagaimana harus menjawabnya. Ia hanya mengangguk perlahan.

Selang sejenak baru Bu-koat berkata pula dengan tersenyum, “Tentunya kau tidak menyangka kedatanganku, bukan?”

Sim-lan menunduk, katanya dengan lirih, “Kau tidak terluka apa-apa, aku sangat senang.”

Suara si nona hampir tak terdengar sendiri, tapi Hoa Bu-koat dapat mendengar dengan jelas, hatinya terasa sakit, tanpa terasa ia menunduk dan berkata, “Terima kasih.”

“Kemarin... kemarin kulari pergi begitu saja, engkau tidak marah padaku?” tanya Thi Sim-lan dengan menggigit bibir.

“Kenapa kumarah padamu?” ujar Bu-koat dengan tertawa. Sedapatnya ia ingin memperlihatkan tertawa yang wajar, tapi jelas dia telah gagal. Untung Thi Sim-lan tidak memperhatikan wajah tertawanya.

Thi Sim-lan seperti tidak berani memandangnya.

Selang sejenak pula, sambil menghela napas perlahan baru si nona berkata, “Sebenarnya banyak omongan ingin kukatakan padamu, tapi tak tahu cara bagaimana harus kuucapkan.”

“Tanpa kau ucapkan juga aku sudah tahu?”

“Kau... kau tahu?”

Tambah sepat dan getir senyuman Bu-koat, katanya dengan suara halus, “Ada sementara orang sangat sulit dilupakan orang, terkadang meski engkau sendiri mengira sudah melupakan dia, tapi bila melihatnya, maka setiap senyumannya, setiap suaranya, semuanya seakan-akan bersarang pula di lubuk hatimu....”

“Dapatkah engkau memaafkan aku?” tanya Thi Sim-lan. Mendadak ia tatap Bu-koat, air matanya ternyata berlinang-linang.

Bu-koat tidak berani memandangnya, ia menunduk dan berkata dengan tertawa, “Hakikatnya tiada persoalan yang perlu kau mintakan maaf, jika aku menjadi dirimu mungkin juga akan bertindak demikian.”

“Tapi... tapi sungguh aku bersalah padamu, mengapa... mengapa engkau tidak marah padaku, tidak mencaci diriku? Dengan begitu hatiku akan merasa lega malah, tapi rasa simpatimu, kebesaran jiwamu, hanya akan menambah penderitanku.” Makin bicara makin terangsang perasaannya sehingga akhirnya ia pun menangis.

Bu-koat diam saja, tiba-tiba ia menengadah dan menghela napas, katanya, “Sama sekali aku tidak marah padamu, takkan dendam padamu, selamanya takkan dendam padamu, sekali pun aku tidak dapat... tidak dapat berada bersamamu, tapi selama hidupku ini akan kuanggap kau sebagai adikku.”

Sekonyong-konyong Thi Sim-lan berhenti menangis, ia mendongak dan menegas, “Sungguh?”

“Bilakah pernah kudustaimu?” jawab Bu-koat. Ia tertawa, lalu menyambung pula, “Selain itu, ingin kukatakan padamu bahwa bukan saja aku tidak dendam padamu, tapi ia pun sahabatku yang sejati selama hidupku ini. Engkau dapat... dapat berada bersama dia, sungguh aku pun sangat gembira... sangat bahagia.”

Sekonyong-konyong Thi Sim-lan menjerit, “O, Toako... Betapa terima kasihku padamu, sungguh aku sangat berterima kasih,” Dia bicara dengan tertawa dan juga mengalirkan air mata, entah suka entah duka.

Bu-koat sendiri juga tidak tahu apakah suka atau duka. Katanya, “Banyak persoalan di dunia ini terjadi secara terpaksa, maka kau tak dapat disalahkan dan juga tak dapat menyalahkan siapa pun juga, untuk apa pula engkau mesti menyiksa dirinya sendiri?”

“Tapi... tapi engkau... masa engkau tidak....” kata Thi Sim-lan dengan tersendat-sendat.

“Di dunia ini tiada penderitaan yang tak dapat disembuhkan, lama-lama, apa pun juga, tentu akan terlupakan dengan perlahan-lahan, maka kau tidak perlu khawatir bagiku.”

“O, mengapa engkau begini... begini baik hati? Mengapa engkau tidak... tidak seperti orang lain dan berubah sedikit kejam?” ratap Thi Sim-lan, ia menangis, tiba-tiba ia berkata pula, “Tapi kutahu meski di mulut kau bilang begitu, tapi di dalam hati engkau tetap benci padaku, ini... inilah yang tak dapat kutahan.”

Bu-koat tahu setelah Thi Sim-lan memanggil ‘Toako’ padanya, maka lenyaplah harapannya yang dipupuk selama dua tahun ini. Walau pun panggilan ‘Toako’ ini masih terasa sangat hangat dan dekat, tapi juga terasa sedemikian jauh.

Sambil menengadah Bu-koat menghela napas panjang, akhirnya ia berkata, “Semoga dia tidak mengingkari kau....”

Itu hanya semacam doa dan harapan saja, tapi juga semacam sumpah setia, semacam pengimpasan perasaan sendiri. Sudah tentu betapa ruwet perasaan yang terkandung dalam ucapannya itu sukar dipahami oleh orang lain.

Namun apa pun juga perasaan mereka sekarang sudah jauh lebih lapang, sebutan ‘Toako’ itu merupakan suatu penghalang sehingga membuat perasaan mereka tidak sampai meluap.

Akhirnya Thi Sim-lan tersenyum dan berkata, “Toako, mengapa engkau datang pula ke sini?”

“Atas permintaan orang kudatang ke sini untuk mencari orang lain,” jawab Bu-koat setelah berpikir sejenak. Ia ragu-ragu apakah mesti memberitahukan jejak Siau-hi-ji kepada Thi Sim-lan atau tidak, dengan sendirinya karena tidak ingin si nona berkhawatir bagi anak muda itu.

Segera Thi Sim-lan bertanya pula, “Jangan-jangan engkau hendak mencari Yan-tayhiap?”

Terpaksa Bu-koat mengiakan dan mengangguk.

Terbelik mata Thi Sim-lan, ucapnya, “Jangan-jangan dia yang minta kau datang ke sini?”

Kembali Bu-koat mengiakan.

“Mengapa dia tidak datang sendiri saja?”

Bu-koat tidak menjawab, sebaliknya ia balas tanya, “Mengapa Yan-tayhiap tidak kelihatan dan kau malah berada di sini?”

Sim-lan tertunduk, katanya, “Semalam Yan-tayhiap telah bertemu denganku dan telah banyak bicara padaku, aku disuruh menunggunya di sini. Kau tahu, apa yang dikatakan Yan-tayhiap tidak mungkin ditolak oleh siapa pun juga.”

“Apa yang dia bicarakan denganmu?”

Muka Sim-lan menjadi merah, ia menggigit bibir, lalu menjawab, “Kata Yan-tayhiap, aku disuruh meng... mengobrol dulu dengan beliau, kemudian....”

Pada saat itulah sekonyong-konyong seorang berseru dengan tertawa di luar hutan sana, “Haha, kalian berdua bocah ini bicara dengan asyik benar, kedatanganku ini mungkin terlalu dini!”

Cepat Bu-koat berpaling, dilihatnya Yan Lam-thian sedang mendatang dengan langkah lebar.

Melihat Bu-koat, seketika suara tertawa Yan Lam-thian berhenti, sambil menarik muka ia membentak bengis, “Mengapa kau berada di sini? Untuk apa kau datang kemari?”

Belum lagi Hoa Bu-koat menjawab, sorot matanya yang tajam melirik ke arah Thi Sim-lan dan bertanya pula, “Mana Siau-hi-ji?”

Kembali si nona menunduk dan menjawab, “Entahlah, katanya....”

Segera Bu-koat menyambung, “Siau-hi-ji minta kusampaikan kepada Yan-tayhiap, katanya mungkin dia tidak dapat datang menepati janji.”

“Mengapa dia tidak dapat datang?” bentak Yan Lam-thian gusar.

Bu-koat menghela napas, katanya “Dia telah ditahan seseorang, melangkah saja mungkin sulit....” Ia tahu keterangannya ini pasti akan menimbulkan akibat yang sukar dibayangkan.

Benar juga, belum habis ucapannya, tertampak Thi Sim-lan menjadi pucat, Yan Lam-thian juga lantas membentak, “Siapa yang berani menahan dia?”

Bu-koat ragu-ragu, akhirnya ia menjawab, “Seorang Bu-lim-cianpwe (angkatan tua dunia persilatan) yang disebut Tong-siansing!”

“Tong-siansing?” Yan Lam-thian menegas dengan murka, “Selama berpuluh tahun aku malang melintang di dunia Kangouw dan tidak pernah mendengar di dunia Kangouw ada seorang Tong-siansing, jangan-jangan kau sendiri yang membuat-buat nama palsu ini.” Ia melompat ke depan Hoa Bu-koat dan membentak pula, “Bisa jadi kau telah mencelakai Siau-hi-ji dan sekarang pura-pura menjadi orang baik untuk mengelabui aku?!”

“Cayhe diminta menyampaikan berita ini, aku harus melakukan tugasku dengan baik, sebab itu setiap pertanyaan Yan-tayhiap akan kujawab dengan jelas, tapi kalah Yan-tayhiap mencurigai kepribadianku, betapa pun aku....”

“Memangnya kau berani apa?”

“Biar pun Cayhe bukan tandingan Yan-tayhiap, betapa pun aku hendak mengukur kepandaian pula denganmu,” jawab Bu-koat tegas.

Yan Lam-thian tergelak-gelak, katanya, “Kau masih berani berkata demikian? Sungguh besar nyalimu.”

“Biar pun nyaliku tidak besar, tapi aku pun bukannya pengecut yang tamak hidup dan takut mati.”

“Jika tidak takut mati baiklah sekarang juga kupenuhi kehendakmu!” bentak Yan Lam-thian.

Mendadak Thi Sim-lan menerjang maju, serunya, “Yan-tayhiap, aku cukup kenal dia, betapa pun dia bukanlah orang yang suka berdusta.”

“Siau-hi-ji sudah jatuh di tangan orang, kau masih bicara baginya?” bentak Yan Lam-thian bengis. “Pantas Siau-hi-ji tidak mau gubris padamu lagi, kiranya kau ini perempuan yang cepat berubah pikiran.”

Air mata Thi Sim-lan bercucuran, ucapnya dengan setengah meratap, “Bila mana Kang Siau-hi mengalami bahaya, biar pun mengadu jiwa juga Wanpwe akan menyelamatkan dia. Tapi Yan-tayhiap menuduh Hoa... Hoa-kongcu berdusta, mati pun Wanpwe tidak percaya.”

“Hm, sungguh aneh,” jengek Yan Lam-thian, “Kau berani mengadu jiwa demi Siau-hi-ji dan juga bersedia mati baginya, memangnya jiwamu rangkap berapa biji?”

“Cara bagaimana Yan-tayhiap akan memaki diriku boleh terserahlah,” ucap Thi Sim-lan dengan menangis. “Sekali pun Yan-tayhiap menganggap diriku ini perempuan yang bejat juga takkan kubantah....” mendadak ia menubruk ke bawah kaki Yan Lam-thian dan meratap pula, “Wanpwe cuma memohon Yan-tayhiap suka melepaskan Hoa Bu-koat, bila mana kelak Yan-tayhiap membuktikan dia memang berdusta, maka tubuh Wanpwe rela dihancurleburkan.”

“Bagus, kau ternyata berani menjamin dia dengan jiwamu,” teriak Yan Lam-thian. “Namun perempuan yang tak beriman seperti kau ini, memangnya jiwamu berharga berapa duit?”

Watak pendekar besar ini memang sangat keras, kini karena mengkhawatirkan keselamatan Siau-hi-ji, saking gusarnya cara bicaranya menjadi sukar ditahan.

Bu-koat menjadi penasaran, serunya, “Yan Lam-thian, kuhormati dirimu sebagai seorang Enghiong (ksatria) sejati dan selama ini aku suka mengalah padamu, sungguh tidak nyana kau sampai hati bicara sekasar ini terhadap seorang anak perempuan yang tak berdaya. Hehe, Enghiong macam begini bernilai berapa duit pula satu kati?”

“Engkau pun jangan bicara seperti ini,” seru Thi Sim-lan. “Yan-tayhiap pasti tiada maksud menghina diriku, dia cuma tidak memahami aku, pula dia merasa cemas bagi keselamatan Siau-hi-ji....”

Meski dia berteriak dengan suara serak, namun tiada yang mendengarkan lagi seruannya, dengan murka Yan Lam-thian melontarkan satu pukulan dahsyat, tanpa pikir Hoa Bu-koat juga menyambut serangan itu.

Thi Sim-lan tahu bila mana kedua orang itu sudah mulai bergebrak, mungkin di dunia ini tiada orang yang mampu melerai mereka.

Teringat tiada seorang pun yang dapat memahami pengorbanannya bagi Siau-hi-ji dan Hoa Bu-koat, teringat jerih payahnya itu akhirnya malah dicaci-maki orang sebagai perempuan yang tak beriman...Saking pedih dan tak tahan, akhirnya Thi Sim-lan menangis tergerung-gerung.

Apakah Hoa Bu-koat tidak mendengar suara tangis Thi Sim-lan?

Angin pukulan yang dahsyat membuat bunga layu rontok bertebaran.

Inilah duel antara dua jago tertinggi dari angkatan tua dan angkatan muda dunia Kangouw, benar-benar pertarungan yang paling mendebarkan hati yang hampir tidak pernah terjadi di dunia persilatan.

Kalau pertempuran sebelumnya mereka menggunakan pedang, sekali ini mereka mengadu pukulan, namun dahsyatnya dan tegangnya boleh dikatakan melebihi yang dahulu.

Seperti juga ilmu pedangnya, pukulan Yan Lam-thian juga kuat dan dahsyat dan jarang ada bandingannya.

Ilmu silat Ih-hoa-kiong sebenarnya mengutamakan ‘kelunakan mengatasi kekerasan’, watak Hoa Bu-koat yang pendiam dan sabar itu memang juga ada sangkut-pautnya dengan dasar ilmu silat yang dilatihnya sejak kecil. Tapi kini gaya permainan silatnya ternyata sudah berubah sama sekali. Dia juga telah mengeluarkan permainan yang keras dan berebut menyerang lebih dulu. Rasanya kalau tidak menggunakan permainan keras demikian tidak cukup untuk melampiaskan perasaan pedih dan gusarnya.

Pertempuran maut ini bukan lagi demi jiwanya sendiri melainkan demi membela kehormatan orang yang paling dikasihinya.

Meski dia sebenarnya adalah anak muda yang berbudi halus dan tenang, tapi suara tangis Thi Sim-lan yang penuh duka merana itu telah menimbulkan semangat jantan yang mengalir di darahnya.

Sebenarnya dia sangat menyayangi jiwanya sendiri, tapi kini pergolakan darahnya telah membuatnya lupa daratan, ia merasa jiwanya tidak perlu disayangkan lagi, mati pun tidak perlu ditakuti.

Jiwanya yang nekat diperoleh dari keturunan ibunya. Ibunda yang dihormatinya itu pernah menghadapi maut dengan mengulum senyum tanpa gentar sedikit pun demi cinta.

Tanpa cadangan sang ibunda telah menurunkan jiwanya yang nekat dan darah panas serta demi cinta itu kepada kedua putranya. Meski pendidikan Ih-hoa-kiong yang serba dingin dan kaku itu telah membuat darah Hoa Bu-koat lambat-laun membeku, tapi kini api asmara telah membuatnya mendidih kembali. Tiba-tiba ia merasakan soal mati dan hidup tidak begitu penting lagi baginya. Yang penting, dia harus bertempur mati-matian dengan Yan Lam-thian, dengan darahnya ia ingin mencuci bersih fitnah terhadap dirinya.

Begitulah angin pukulan yang dahsyatnya seakan-akan mengguncang langit dan bumi. Cuaca tambah gelap dan seakan-akan turun hujan.

Hoa Bu-koat tidak manda diserang, ia justru berebut menyerang mati-matian, namun angin pukulan Yan Lam-thian justru menyerupai dinding besi, sejauh ini pukulan Hoa Bu-koat sama sekali tak dapat menembus pertahanan lawan.....

Halo Cianpwee semuanya, kali ini siawte Akan open donasi kembali untuk operasi pencakokan sumsum tulang belakang salah satu admin cerita silat IndoMandarin (Fauzan) yang menderita Kanker Darah

Sebelumnya saya mewakili keluarga dan selaku rekan beliau sangat berterima kasih atas donasinya beberapa bulan yang lalu untuk biaya kemoterapi beliau

Dalam kesempatan ini saya juga minta maaf karena ada beberapa cersil yang terhide karena ketidakmampuan saya maintenance web ini, sebelumnya yang bertugas untuk maintenance web dan server adalah saudara fauzan, saya sendiri jujur kurang ahli dalam hal itu, ditambah lagi saya sementara kerja jadi saya kurang bisa fokus untuk update web cerita silat indomandarin🙏.

Bagi Cianpwee Yang ingin donasi bisa melalui rekening berikut: (7891767327 | BCA A.n Nur Ichsan) / (1740006632558 | Mandiri A.n Nur Ichsan) / (489801022888538 | BRI A.n Nur Ichsan), mari kita doakan sama-sama agar operasi beliau lancar. Atas perhatian dan bantuannya saya mewakili Cerita Silat IndoMandarin mengucapkan Terima Kasih🙏🙏

DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar