Bakti Pendekar Binal Jilid 22

Tanpa menunggu habis ucapan si nona, kembali orang itu bergelak tertawa dan berkata, “Jika bukannya tidak suka, itu artinya suka. Dan kalau kalian sama-sama suka maka biarlah aku yang ‘Coem-lang’ (perantara) dan sekarang juga kalian boleh menikah di sini.”

Sudah tentu ucapan ini membuat Hoa Bu-koat dan Thi Sim-lan terkejut.

“He, apakah tuan ini berkelakar?” seru Hoa Bu-koat dengan muka merah.

Tapi orang itu jadi mendelik, teriaknya, “Masa urusan begini boleh dibuat berkelakar? Lihatlah tempat seindah ini, burung berkicau merdu dan bunga mekar semerbak, angin meniup sejuk dan cuaca cerah, jika kalian kawin sekarang juga di sini bukankah jauh lebih baik dari pada di tempat lain?”

Makin omong makin gembira orang itu, kembali ia terbahak-bahak, lalu menyambung pula, “Cahaya lilin mana bisa menandingi gemilangnya sinar sang surya, permadani apa pun di dunia ini masa dapat melebihi rumput halus menghijau begini, kalian boleh segera menyembah kepada langit dan bumi di bawah cahaya matahari dan di atas tanah berumput ini, sungguh merupakan peristiwa bahagia bagi orang hidup, bahkan aku pun ikut merasa sangat gembira.”

Bu-koat hanya mendengarkan ocehan orang itu, ia sendiri menjadi bimbang dan entah harus girang atau mesti marah. Thi Sim-lan juga berdiri melenggong dan serba kikuk. Meski dia hendak menolak, tapi merasa tidak tega melukai hati Hoa Bu-koat.

Melihat sikap si nona, tiba-tiba Bu-koat berkata, “Walau pun Tuan bermaksud baik, namun sayang kami tidak dapat menurut.”

Mendadak orang itu berhenti tertawa, katanya dengan melotot, “Kau tidak mau menurut?”

“Ya,” jawab Bu-koat sambil menarik napas panjang.

Orang itu menjadi marah, dampratnya, “Jika kau suka padanya, mengapa kau tidak mau menikahi dia?”

“Soalnya... Cayhe....”

“Aha, tahulah aku,” mendadak orang itu bergelak tertawa pula, “Yang benar bukan tidak mau, soalnya kau khawatir dia yang tidak mau. Tapi dia kan tidak berkata apa-apa, mengapa kau khawatir?”

Hoa Bu-koat berpikir sejenak, katanya kemudian dengan perlahan, “Ada juga kata-kata yang tidak perlu kuutarakan.”

Orang itu menghela napas, katanya, “Sudah jelas kau sangat suka padanya, tapi demi dia, kau lebih suka keraskan hatimu dan tidak mau menurut usulku. Lelaki yang berperasaan begini sungguh tiada malu sebagai putranya ayahmu.”

Bu-koat tidak paham apa arti ucapannya ini, sedangkan orang itu lantas melototi Thi Sim-lan dan berkata pula, “Lelaki seperti dia tidak kau nikahi memangnya kau pilih lelaki mana?”

Sim-lan menunduk, jawabnya, “Aku... bukan... cuma....”

“Kalian masih muda belia, mengapa cara kerja kalian sekonyol ini dan membuat kumarah saja,” bentak orang itu dengan gusar. “Pokoknya kau harus menurut, aku tak peduli bagaimana pikiran kalian, yang pasti lekas kalian berlutut dan menikah di hadapanku, jika ada yang berani ‘tidak mau’ segera kubunuh kalian berdua agar kelak kalian tidak perlu hidup tersiksa.”

Walau pun tahu sikap kasar orang itu timbul dari maksud baiknya, tapi Hoa Bu-koat menjadi gusar juga, jengeknya, “Hm, sudah banyak orang aneh yang kujumpai, tapi belum pernah ada yang memaksa orang menikah cara begini.”

“Kau berkata demikian, mungkin kau kira aku tidak mampu membunuhmu bukan?” tanya orang itu.

Baru saja habis ucapannya, sekonyong-konyong ia lolos pedang di pinggang terus membabat ke batang pohon di sebelahnya. Pedangnya kelihatan karatan dan lebih mirip besi rongsokan, jangankan buat menabas pohon, buat memotong sayur saja rasanya kurang tajam.

Siapa tahu, begitu pedangnya menyambar lewat, “cret,” tahu-tahu batang pohon sepelukan manusia itu putus menjadi dua dan roboh bergemuruh.

Meski sudah tahu ilmu silat orang ini pasti sangat tinggi, tapi sama sekali tak terpikir oleh Thi Sim-lan dan Hoa Bu-koat bahwa kekuatan pedang orang itu bisa sedahsyat ini.

“Nah, kalian sudah lihat,” jengek orang itu sambil melirik hina. “Pedang ini meski berkarat, tapi untuk membunuh dua bocah yang tidak menurut kata kiranya tidaklah sukar. Nah, sekarang kalian mau menurut tidak?”

Thi Sim-lan menjadi khawatir kalau-kalau Hoa Bu-koat mengucapkan kata yang menyinggung perasaan orang pula, maklumlah ilmu silat orang aneh ini sukar diukur, betapa pun Hoa Bu-koat pasti juga bukan tandingannya.

Pada dasarnya hati Thi Sim-lan memang bajik dan mulia, meski dia tidak ingin Siau-hi-ji dilukai Hoa Bu-koat, tapi ia pun tidak suka melihat orang lain melukai Hoa Bu-koat. Maka sebelum Bu-koat buka suara, cepat ia mendahului berkata, “Baiklah, aku menurut.”

Orang aneh itu terbahak-bahak, katanya, “Hahaha, memang seharusnya demikian. Kalian yang satu cakap dan yang lain ayu, memang satu pasangan yang setimpal. Biar pun sekarang kalian habis bertengkar, tapi setelah kawin tentu kalian akan saling cinta-mencintai, tatkala mana kalian pasti akan berterima kasih padaku.”

“Tapi aku tidak mau,” tiba-tiba Bu-koat berucap.

“Aneh, dia sendiri sudah menurut, kenapa kau malah tidak mau?” tanya orang itu heran.

Bu-koat tahu kemauan Thi Sim-lan tidak sukarela, karena itu semakin merasuk cintanya terhadap Thi Sim-lan, dia tidak mau memaksa kehendak si nona.

Tapi selamanya dia tidak suka mengucapkan kata-kata yang menyinggung perasaan, makin berpikir di dalam hati, makin dingin pula lahirnya, padahal di dalam darahnya tersembunyi cinta yang membara, tapi setitik pun tak diperlihatkannya.

Maklumlah, soalnya dia adalah keturunan orang yang berperasaan paling hangat di dunia ini, tapi dibesarkan di samping manusia yang berperasaan paling dingin di dunia ini.

Begitulah Hoa Bu-koat lantas menjawab pula dengan dingin, “Kalau aku tidak mau ya tetap tidak mau, jika engkau ingin membunuhku boleh silakan turun tangan saja.”

“Apakah... apakah kau tidak suka padaku?” tiba-tiba Thi Sim-lan berseru.

Hoa Bu-koat tidak mau memandang lagi pada si nona biar pun sekejap saja. Tampaknya dia tiada persamaan sedikit pun dengan Siau-hi-ji, tapi kalau sudah gondok, nyatanya kedua anak muda itu serupa benar.

Dengan melotot orang itu bertanya pula, “Jadi kau lebih suka menderita selama hidup dan tetap tidak mau menurut.”

“Ya, pasti tidak,” jawab Hoa Bu-koat tegas.

“Baik!” bentak orang itu. “Dari pada hidupmu kelak merana, lebih baik sekarang juga kubunuh kau.” Begitu pedang berkelebat, kontan dia tusuk dada Hoa Bu-koat.

Dengan sendirinya serangannya tidak menggunakan seluruh tenaganya, tapi betapa cepat dan kuatnya, rasanya tiada seorang pun di dunia persilatan ini sanggup memadainya.

Thi Sim-lan berdiri jauh di sebelah sana, tapi merasakan napas sesak oleh getaran hawa pedang yang kuat itu, apa lagi Hoa Bu-koat yang harus menghadapi serangannya.

Terdengarlah suara “cret” sekali, meski Bu-koat sempat mengelakkan serangan itu, namun kopiah yang mengikat rambutnya itu telah putus tergetar oleh hawa pedang, seketika rambutnya terurai serabutan.

Betapa hebat daya tusukan pedang itu, sungguh tak terperikan. Keruan Thi Sim-lan menjerit kaget, “He, berhenti dulu, Cianpwe. Sebabnya dia tidak mau menurut adalah demi diriku karena dalam batin sesungguhnya aku memang tidak mau. Jika Cianpwe hendak membunuh, harap aku saja yang kau bunuh!”

Dalam kaget dan khawatirnya tanpa terasa Thi Sim-lan telah membeberkan isi hatinya yang sesungguhnya. Seketika hati Hoa Bu-koat terasa sakit, sekonyong-konyong ia melancarkan tiga kali serangan, tanpa pikir akibatnya dia terus menerjang ke tengah sinar pedang lawan.

Tak terduga orang itu berbalik menarik kembali pedangnya, katanya dengan tertawa, “Orang she Kang memang rata-rata berwatak seperti kerbau, cuma kau terlebih bodoh dari pada ayahmu. Coba pikir, bila mana dia tidak mau menurut dan memang tidak suka padamu, masa dia sudi mati bagimu?”

Hoa Bu-koat melengak dan menegas, “Siapa yang she Kang?”

“Kau tidak she Kang?” orang itu pun melenggong.

Thi Sim-lan juga tercengang, katanya, “Dengan sendirinya dia tidak she Kang, dia bernama Hoa Bu-koat.”

Orang itu garuk-garuk kepala dengan penuh rasa heran, gumamnya, “Jadi kau tidak she Kang? Ini benar-benar sangat aneh, pada hakikatnya dari kepala sampai kaki kau mirip benar seorang she Kang, sungguh kau dan dia seperti pinang dibelah menjadi dua.”

Hoa Bu-koat jadi lupa menyerang lagi, ia merasa orang aneh ini barangkali berpenyakit syaraf.

Tiba-tiba orang itu menghela napas, katanya sambil menyengir, “Karena kau tidak she Kang, maka kalian mau menikah atau tidak bukan urusanku lagi, bila kalian mau pergi juga bolehlah silakan.”

Habis berkata ia benar-benar tidak ikut campur apa-apa lagi terus membalik ke sana sambil menggerutu.

Bu-koat saling pandang dengan Thi Sim-lan, mereka menjadi bingung.

Terdengar orang aneh itu sedang mengomel sendirian, “Anak muda itu ternyata bukan Kang Siau-hi, sungguh aneh bin heran....”

Kejut dan girang Thi Sim-lan, tanpa terasa ia berseru, “He, apakah Cianpwe mengira dia ini Kang Siau-hi, maka engkau memaksa kami menikah?”

Orang itu menjawab dengan acuh tak acuh, “Walau pun aku tidak tega melihat kalian tersiksa karena urusan cinta, tapi kalau bukan lantaran kusangka dia ini Siau-hi-ji, sesungguhnya aku pun tidak mau ikut campur urusan orang lain.”

Thi Sim-lan jadi tertawa geli, sebenarnya ia ingin berkata, “Tahukah bahwa justru lantaran Kang Siau-hi, makanya aku tidak mau menikah dengan dia.” Tapi dia pandang Hoa Bu-koat sekejap, dan kata-kata itu tidak jadi diucapkannya.

Hoa Bu-koat berdiri mematung dan entah bagaimana perasaannya.

Tiba-tiba orang tadi menoleh, ia pandang Thi Sim-lan, lalu pandang Hoa Bu-koat pula, mendadak ia tertawa dan berkata, “Haha, tahulah aku, ya tahulah aku sekarang. Kiranya orang paling busuk yang kusebut itu ialah Kang Siau-hi. Sebenarnya kalian berdua bisa jadi suami istri, tapi lantaran Kang Siau-hi, urusan jadinya begini.”

Thi Sim-lan menghela napas perlahan dan menunduk.

Orang itu ketuk-ketuk kepala sendiri dengan perlahan, ucapnya dengan tertawa, “Sebenarnya maksudku hanya ingin membantu, siapa tahu berbalik membikin urusan ini tambah runyam....”

Maklumlah, selama hidupnya cuma tekun meyakinkan ilmu pedang, ditambah lagi sepanjang tahun terus-menerus berkecimpung kian kemari di dunia Kangouw, selamanya tak pernah memahami bagaimana rasanya cinta kasih antar muda-mudi.

Dia pernah malang melintang di dunia ini, betapa hebat dan tinggi ilmu silat apa pun bila berada di depannya akan berubah menjadi sangat sederhana, sekali pandang saja segera ia sanggup memecahkannya. Tapi ia tidak tahu tentang “cinta” yang jauh lebih ruwet dari pada ilmu pedang yang paling tinggi di dunia ini dan tidak mungkin dipecahkannya dengan sekali pandang saja.

Hoa Bu-koat menjadi gusar dan pedih demi mendengar suara tertawa orang aneh itu, mendadak ia berteriak, “Memangnya kau ingin pergi begitu saja?”

“Kalau tidak pergi, lalu aku bisa berbuat apa?” kata orang itu gegetun.

“Aku masih ingin belajar kenal silatmu,” kata Bu-koat ketus.

“Ya, kutahu perasaanmu tidak enak, biarlah kau pukul dua kali diriku supaya rasa marahmu terlampias,” ujar orang itu dengan tertawa.

“Sekali pun ilmu silatmu tiada tandingannya di kolong langit ini juga tidak mungkin dapat menahan pukulanku, jika engkau tidak menangkis, itu berarti engkau mencari mati sendiri!” jengek Bu-koat sambil melontarkan pukulannya.

Meski pukulannya ini tampaknya halus, tapi tempat yang diarah ternyata sangat keji, mending tenaga pukulannya tidak dikerahkan, tapi sekali dikerahkan terasa sukar ditahan lagi.

Tajam juga pandangan orang itu, serunya tertarik, “Hebat, benar-benar pukulan lihai!”

Pembawaan orang aneh itu memang gemar ilmu silat, kini mendadak ketemu jago muda sehebat ini, mau tak mau timbul hasratnya untuk menjajal kekuatan pihak lawan, maka tangan kirinya lantas memapak ke depan.

Di luar dugaan, sekonyong-konyong gaya pukulan Hoa Bu-koat berubah, pukulan yang lurus ke depan tadi mendadak berputar ke kanan dengan cara yang sangat menakjubkan dan sukar dibayangkan.

Gerakan pukulan itu adalah ‘Ih-hoa-ciap-giok’, ilmu pukulan khas dari Ih-hoa-kiong yang termasyhur. Dengan gerakan ini Hoa Bu-koat yakin tangan lawan pasti akan memukul pada badan sendiri.

Tak terduga orang itu mendadak berputar dengan cepat sehingga ilmu pukulan Ih-hoa-ciap-giok yang tidak pernah ditandingi orang itu kini dapat dipatahkannya dengan enteng.

Baru sekarang Hoa Bu-koat benar-benar terkejut, serunya, “Siapa engkau sebenarnya?”

Untuk sekali lagi orang itu berhadapan dengan Hoa Bu-koat, air mukanya juga berubah, bentaknya, “Jadi kau ini anak murid Ih-hoa-kiong?”

“Betul!” jawab Bu-koat.

Sekonyong-konyong orang itu menengadah dan terbahak-bahak, katanya, “Selama hidupku terasa menyesal karena belum sempat menjajal ilmu silat dari Ih-hoa-kiong, tak tersangka sekarang dapat bertemu dengan murid Ih-hoa-kiong di sini....” suara tertawanya yang nyaring itu menggema di angkasa sehingga daun pohon dan kelopak bunga sama rontok tergetar.

“Jangan-jangan Cianpwe ada sengketa apa-apa dengan Ih-hoa-kiong?” tanya Thi Sim-lan dengan khawatir.

Mendadak orang tadi berhenti tertawa dan membentak, “Permusuhanku dengan Ih-hoa-kiong memang sedalam lautan, berpuluh tahun kuyakinkan ilmu pedang justru bertujuan hendak membunuh habis setiap orang Ih-hoa-kiong.”

Tanpa terasa Thi Sim-lan merinding oleh nada ucapan orang.

Tiba-tiba Bu-koat berseru, “Yan Lam-thian! He, engkau Yan Lam-thian!”

Musuh Ih-hoa-kiong yang paling besar ialah Yan Lam-thian, di kolong langit ini kecuali Yan Lam-thian memang tiada orang lain yang berani bermusuhan dengan Ih-hoa-kiong. Hal ini teringat oleh Hoa Bu-koat, Thi Sim-lan juga lantas ingat.

Selagi kedua muda-mudi itu melenggong bingung, terlihat sinar mata orang itu mencorong terang dan berkata, “Betul, aku memang Yan Lam-thian!”

Telinga Thi Sim-lan serasa mendenging, darah sekujur badan serasa membanjir ke kepalanya, sama sekali tak terpikir olehnya bahwa nama seseorang ternyata mempunyai pengaruh sebesar ini.

Sejenak Hoa Bu-koat terdiam, tiba-tiba ia menanggalkan pakaian luar dengan perlahan, dengan cermat ia melipatnya, lalu mendekati Thi Sim-lan dan menyodorkan bajunya kepada si nona.

Caranya membuka pakaian dan melipatnya, setiap gerakannya sedemikian hati-hati dan lambat seakan-akan baju itu adalah benda mestika yang sangat berharga. Padahal dengan gerakan lambat itu dia sengaja hendak menenangkan perasannya yang bergolak itu. Maklumlah, menghadapi pedang sakti Yan Lam-thian jarang ada orang yang mampu bersikap tenang dan wajar.

Dengan sendirinya Thi Sim-lan juga paham meski yang diserahkan Hoa Bu-koat kepadanya itu cuma sepotong baju, tapi di dalamnya entah mengandung arti betapa berat dan ruwetnya persoalan.

Terdengar Bu-koat berkata, “Kumohon engkau suka menjaga baik-baik pakaian ini, atau kalau bisa tolong antarkan ke Ih-hoa-kiong!”

Dari ucapan ini Thi Sim-lan tahu Hoa Bu-koat telah bertekad bila perlu akan korbankan jiwanya. Tanpa terasa air matanya terus meleleh, katanya, “Apakah engkau ben... benar-benar hendak menempurnya?”

“Dapat bertempur melawan Yan Lam-thian adalah cita-cita setiap insan yang belajar ilmu silat, sekali pun anak murid Ih-hoa-kiong juga merasa bangga dapat perang tanding dengan Yan Lam-thian,” kata Bu-koat. Walau pun dia bicara dengan tenang, namun mukanya yang pucat tampak menampilkan semu merah karena bersemangat, napasnya juga kelihatan rada memburu.

Dengan suara tertahan Thi Sim-lan berkata, “Apakah... apakah engkau tak dapat pergi saja? Biar kutahan dia, kuyakin dia pasti takkan membunuhku.”

Bu-koat tersenyum, ucapnya, “Pertarungan ini bukanlah demi diriku, tapi demi Ih-hoa-kiong....” mendadak ia berhenti berucap sehingga terasa betapa berat kata-kata yang belum lagi diutarakannya itu.

Perlahan ia berputar ke sana, tiba-tiba ia menoleh dan menambahkan, “Perlu kau ketahui pula, sebabnya aku ingin membunuh Kang Siau-hi juga bukan demi diriku, tapi demi Ih-hoa-kiong. Tiga bulan lagi bila berjumpa dengan dia bolehlah kau beritahukan padanya bahwa meski aku berniat hendak membunuhnya, tapi terhadap pribadinya sejak awal hingga akhir tak pernah aku merasa dendam dan benci, maka kuharap ia pun jangan... jangan dendam padaku.”

Air mata Thi Sim-lan bercucuran, jawabnya dengan parau, “Mengapa engkau selalu berbuat bagi orang lain? Memangnya hidupmu ini melulu demi orang lain saja? Apakah engkau tak dapat berbuat... berbuat sesuatu bagi dirimu sendiri?”

Hoa Bu-koat telah membalik ke sana lagi, ia mendongak dan mendadak tertawa, katanya, “Demi diriku...? Tapi siapakah diriku ini....?”

Untuk pertama kalinya inilah dia memperlihatkan rasa sedihnya di depan umum, meski ucapannya itu cuma dua kalimat yang sederhana, tapi kepedihan di dalam kata itu tak terperikan beratnya.

Thi Sim-lan memandang, lantas berkata sambil meneteskan air mata, “Orang lain sama bilang bahwa engkau adalah pemuda yang paling sempurna, paling beruntung dan paling mengagumkan, tapi siapa yang tahu akan rasa dukamu? Orang lain sama mengatakan engkau sangat tenang, sangat pendiam, tapi siapa yang tahu bahwa engkau ternyata kehilangan dirinya sendiri. Orang lain sama ingin hidup bahagia seperti dirimu, tapi siapa pula yang tahu engkau hanya hidup bagi orang lain?”

Yan Lam-thian berdiri diam memandangi kedua muda-mudi itu, tiba-tiba dia bergelak tertawa dan berkata, “Hoa Bu-koat, kau memang tidak malu sebagai murid Ih-hoa-kiong. Tak peduli pertarungan ini akan berakhir dengan menang atau kalah bagimu, yang pasti nama Ih-hoa-kiong akan tetap terjunjung tinggi abadi.”

“Terima kasih,” jawab Bu-koat.

“Tapi aku pun ingin kau tahu bahwa selain kau, di dunia ini juga masih banyak orang yang berbuat sesuatu juga tidak untuk dirinya sendiri. Manusia yang cuma hidup bagi dirinya sendiri itu belum tentu hidup bahagia, bahkan bisa jadi hidupnya jauh lebih sedih dan merana dari padamu.”

Bu-koat menatap tajam orang itu, tanyanya kemudian dengan perlahan, “Sebabnya engkau hendak membunuhku apakah juga demi orang lain?”

Yan Lam-thian terdiam sejenak, mendadak ia menengadah dan bersiul panjang, suara siulan melengking tajam seakan-akan penuh mengandung rasa pedih dan penasaran yang tak terlampiaskan dan sukar dibeberkan kepada orang lain.

Bu-koat menghela napas, tiba-tiba ia keluarkan sebatang pedang perak, katanya, “Umpama sebentar berhasil kubunuh engkau juga bukan untuk kepentinganku sendiri.”

Thi Sim-lan sudah beberapa kali melihat Hoa Bu-koat bergebrak dengan orang, tetapi tak pernah melihat dia menggunakan senjata sehingga dia hampir berkesimpulan anak murid Ih-hoa-kiong memang tiada yang memakai senjata.

Dilihatnya pedang perak yang dipegang Hoa Bu-koat itu berbadan sempit, tampaknya cuma selebar jari kelingking, tapi panjangnya lebih satu meter, dari ujung sampai pangkal tampak mengkilat seakan-akan setiap saat bisa terbang terlepas dari cekalan.

Senjata ini meski namanya pedang, tapi bisa keras dan bisa lemas, tampaknya keras seperti lembing, tapi juga lemas seperti ruyung, nyata semacam senjata dapat digunakan dan dimainkan berbagai gerakan senjata. Yang menakutkan justru senjata ini dapat mengeluarkan beberapa macam jurus serangan aneh? Inilah yang tidak diketahui siapa pun juga dan di dunia ini memang tiada yang tahu, bahkan tiada seorang pun yang pernah melihatnya.

Sinar mata Yan Lam-thian tampak gemerlap, secara acuh dia cuma pandang sekejap senjata dia tangan Hoa Bu-koat itu, lalu membentak, “Setelah mengeluarkan senjata mengapa kau tidak lekas turun tangan?”

Perlahan Hoa Bu-koat menjentik batang pedangnya dengan jari kiri sehingga menerbitkan suara mendering nyaring. Belum lenyap suara mendering itu, segera pedangnya juga menyerang.

Mata Thi Sim-lan hampir tak dapat terpentang karena silau oleh sinar pedang yang kemilau, baginya mungkin akan kalah sebelum bertempur bila bertemu senjata seaneh ini. Sebab dia sama sekali tidak jelas dari mana datangnya serangan dan cara bagaimana pula harus menghindar atau menangkis.

Akan tetapi Yan Lam-thian ternyata tenang-tenang saja, ia berdiri tegak kuat dengan pedang terhunus, ketika pedang Hoa Bu-koat menyambar tiba, dia tetap tidak bergerak sama sekali, hanya kelihatan sinar pedang berputar dan serangan pedang Hoa Bu-koat mendadak berganti arah.

Kiranya serangan Bu-koat itu hanya pancingan belaka, di luar dugaannya lawan tenyata dapat menghadapinya dengan tenang dan tak mau terpancing.

Meski Thi Sim-lan tidak dapat melihat jelas perubahan serangan itu, tapi dari suaranya dapatlah ia mendengar tujuh kali serangan Hoa Bu-koat telah dilontarkan, namun Yan Lam-thian masih tetap tanpa menggeser sedikit pun.

Berturut-turut Hoa Bu-koat melontarkan tujuh kali serangan pancingan, asalkan lawan bergerak sedikit saja segera daya serangannya akan terpencar dengan dahsyat sehingga segenap jalan mundur lawan akan tertutup.

Dengan gerakan pancingan untuk mengatasi lawan, inilah intisari ilmu silat Ih-hoa-kiong, sama sekali berbeda dengan ilmu pedang dari aliran-aliran ternama lainnya. Namun Yan Lam-thian ternyata tidak terpengaruh sedikit pun oleh sinar pedang yang kemilau, kemukjizatan ketujuh kali serangan pancingan Hoa Bu-koat itu ternyata tiada berguna sama sekali di hadapan Yan Lam-thian.

Dan begitu serangan ketujuh kalinya baru dilontarkan Hoa Bu-koat, segera pula pedang karatan Yan Lam-thian menusuk lurus ke depan menembus cahaya pedang lawan dan mengincar dada Hoa Bu-koat.

Serangan yang lugu dan biasa, tanpa sesuatu variasi apa-apa, namun gerakannya cepat dan tenaganya dahsyat, inilah kegaiban dan kenaifan, kehebatan dan kekuatan asli.

Betapa pun banyak gerak perubahan ilmu pedang Hoa Bu-koat mau tak mau ia harus juga mengelakkan dulu serangan Yan Lam-thian ini, terdengar suara pedang menyambar, sekaligus orang sudah menusuk tiga kali.

Setiap serangan Yan Lam-thian adalah serangan sungguh-sungguh dan bukan pura-pura atau pancingan, ilmu pedang ini sebenarnya tidak luar biasa, tapi di tangan Yan Lam-thian telah berubah menjadi serangan maut.

Cepat Hoa Bu-koat berkelit, beruntun dia harus menghindar tiga kali baru sempat balas menyerang satu kali.

Ilmu pedang kedua orang sebenarnya saling berlawanan, yang satu halus dan yang lain keras, yang satu enteng dan banyak variasinya, yang lain kuat dan mantap.

Seyogianya ilmu pedang Ih-hoa-kiong ini adalah lawan mati bagi ilmu pedang Yan Lam-thian, sebab itulah meski Yan Lam-thian termasyhur sebagai jago pedang nomor satu di dunia, tapi bagi pandangan orang-orang Bu-lim tetap tidak mengungguli Ih-hoa-kiong.

Akan tetapi latihan Yan Lam-thian lebih matang, lebih ulet, pengalaman lebih banyak, semua ini tak dapat ditandingi oleh Hoa Bu-koat.

Tampaknya Hoa Bu-koat berada di pihak penggerak, tapi sebenarnya berada di pihak tergerak dan terdesak di bawah angin.

Thi Sim-lan sampai bingung mengikuti pertarungan dahsyat itu dan lupa dirinya entah berada di mana.

Di luar hutan sana pepohonan dengan bunga mekar semerbak, hawa sejuk dan pemandangan indah, tempat yang sunyi senyap jarang didatangi manusia ini seakan-akan tiada yang mengetahui bahwa di sini kini sedang berlangsung suatu pertarungan maut yang jarang terjadi....

********************

Sementara itu Siau-hi-ji telah mendapatkan sebuah hotel, niatnya ingin tidur sekenyang-kenyangnya. Tetapi meski sudah gulang-guling tetap tak dapat pulas akhirnya terbangun dan pesiar keluar.

Hotel itu semula merupakan tempat menginap Cin Kiam dan Lamkiong Liu. Rombongan mereka menyewa hampir sebagian besar hotel itu, maka sesudah rombongan besar itu berangkat, kini hotel ini menjadi terasa sepi dan luang. Halaman seluas itu hanya sebuah kamar saja ada penghuninya kecuali kamar yang disewa Siau-hi-ji, dan tampaknya tamu itu pun baru datang. Dari dalam kamar terdengar suara orang berbicara, tetapi pintu dan jendela tertutup rapat.

Hawa sepanas ini orang-orang itu ternyata betah bicara di dalam kamar dengan pintu dan jendela tertutup, yang dibicarakan rasanya pasti bukan urusan baik-baik. Maka Siau-hi-ji jadi tertarik dan ingin mengintip.

Pada saat itulah tiba-tiba seorang lelaki berbaju hijau menerobos masuk ke halaman dalam, tangan memegang cambuk, agaknya seorang sais kereta. Begitu masuk halaman orang itu lantas berteriak-teriak, “Kang Piat-ho, Kang-tayhiap apakah tinggal di sini?”

Siau-hi-ji terkejut, “Masa Kang Piat-ho juga berada di sini? Untuk apakah dia datang kemari?”

Karena tidak sempat berpikir banyak, cepat Siau-hi-ji sembunyi di balik pilar sana.

Maka tertampaklah pintu kamar yang tertutup tadi dibuka separo, seorang bertanya dari dalam, “Siapa itu?”

Sais itu menjawab, “Hamba Toan Kui, yang tadi mengantarkan Hoa-kongcu pesiar keluar kota itu....”

Belum habis ucapannya tertampaklah Kang Piat-ho melangkah keluar dan daun pintu segera dirapatkan pula.

“Apakah Hoa-kongcu sudah pulang?” tanya Kang Piat-ho.

Sais yang bernama Toan Kui itu menjawab, “Belum....”

“Dan mengapa kau pulang dan mencari ke sini?” tanya Kang Piat-ho sambil mengerut kening.

“Hoa-kongcu seperti mengalami kesukaran di luar kota sana,” tutur Toan Kui. “Maka hamba buru-buru pulang kemari untuk melapor, di tengah jalan kebetulan ketemu dengan Toan Hui yang mengantar Kang-tayhiap ke sini, dari itu hamba mengetahui Kang-tayhiap lagi menyambangi tamu di sini.”

“Meski Hoa-kongcu mengalami sesuatu kesulitan, tentu dia bisa membereskannya sendiri, masa kau ikut cemas?” ujar Kang Piat-ho dengan tersenyum.

“Tapi orang itu tampaknya rada... rada ganjil, nona Thi Sim-lan tampaknya juga gelisah, maka hamba pikir bila nona Thi yang cukup kenal kepandaian Hoa-kongcu juga merasa khawatir, maka kesulitan yang dihadapi Hoa-kongcu pasti bukan main-main.”

Kang Piat-ho termenung sejenak, katanya kemudian, “Jika demikian, baiklah kupergi melihatnya.”

Pada saat itulah mendadak seorang berseru di dalam kamar dengan suara tertahan, “Biarlah Siaute menunggu di sini, silakan pergi saja.”

“Paling lambat malam nanti tentu Siaute akan datang lagi,” kata Kang Piat-ho sambil ikut keluar bersama Toan Kui.

Sebenarnya Siau-hi-ji ingin tahu siapakah yang berada di dalam kamar itu, mengapa jejaknya begitu dirahasiakan? Tapi mengingat orang ini toh akan tetap tinggal di sini untuk menunggu datangnya Kang Piat-ho, kiranya tidak perlu terburu-buru menyelidiki dia. Maklumlah, sesungguhnya ia pun ingin tahu siapakah gerangan yang dapat mendatangkan kesukaran sebesar ini bagi Hoa Bu-koat.

Siau-hi-ji dan Hoa Bu-koat tiada hubungan baik apa-apa, bahkan boleh dikatakan musuh, tapi entah mengapa, setiap persoalan yang menyangkut Hoa Bu-koat pasti menarik perhatian Siau-hi-ji.

Terdengar sebuah kereta kuda baru saja berangkat di luar hotel, tentunya Kang Piat-ho telah berangkat dengan menumpang kereta itu.

Segera Siau-hi-ji membuntuti kereta itu, cuma di dalam kota, tidak leluasa untuk menggunakan Ginkang, betapa pun dua kaki tidak secepat empat kaki, maka setiba di luar kota kereta kuda tadi sudah tidak kelihatan lagi.

Setelah kereta kuda itu berada di luar kota, dari dalam kereta Kang Piat-ho bertanya dengan suara keras, “Apakah Hoa-kongcu telah bergebrak dengan orang itu?”

“Ya, seperti sudah bergebrak satu kali,” jawab Toan Kui.

“Hanya satu kali saja! Lalu bagaimana, siapa yang lebih unggul?”

“Tampaknya belum jelas siapa yang lebih unggul atau asor,” jawab Toan Kui.

“Orang itu mampu menyambut satu kali pukulan Hoa-kongcu, agaknya juga rada berisi. Entah bagaimana bentuk orang itu?” tanya Kang Piat-ho.

“Tinggi besar perawakan orang itu, bajunya lebih jelek dari pada pakaian hamba, tapi sikapnya gagah dan angkuh.”

Dahi Kang Piat-ho terkerut lebih kencang, tanyanya pula, “Berapa umur orang itu?”

“Tampaknya baru empat puluhan tapi juga seperti lebih lima puluhan, namun kalau diperhatikan rasanya juga baru tiga puluhan, pendek kata, berapa usianya menurut penglihatan seseorang, maka setua itu pula usianya. Sungguh hamba tidak pernah melihat manusia seaneh dia.”

Kang Piat-ho termenung-menung sambil berkerut kening, air mukanya tampak semakin kelam.

Tiba-tiba Toan Kui menambahkan pula, “Oya, pada pinggang orang itu terselip sebatang pedang yang kelihatan sudah karatan....”
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar