Bakti Pendekar Binal Jilid 21

Auyang Ting menatapnya dengan tajam, lalu katanya, “Jika engkau suka menyelamatkan kami, tentu... tentu kami akan membalas budi kebaikanmu ini secara setimpal.”

“Asalkan kalian dapat hidup, tentu akan kutolong tanpa mengharapkan balas jasa apa pun,” ucap Siau-hi-ji dengan tertawa.

Auyang Ting memandangnya dengan sorot mata heran seolah-olah tidak pernah kenal anak muda ini. Mendadak ia berkata, “Harta karun itu sebenarnya tidak tersimpan di Ku-san.”

Ucapan yang tiba-tiba ini membuat Siau-hi-ji tercengang, ia menegas, “Tidak tersimpan di Ku-san katamu?”

Wajah Auyang Ting yang tadinya membuat setiap orang merasa kasihan bila melihatnya itu kini mendadak menggereget. “Ya, ketika kukatakan hal ini tadi tentu tiada seorang pun yang menyangka keteranganku adalah palsu. Nah, justru kuharap mereka akan berpikir demikian, kalau tidak masakah kawanan setan iblis itu dapat tertipu olehku?”

“Paling-paling mereka cuma kembali dengan tangan hampa saja, bukan sesuatu tipuan yang luar biasa?” ujar Siau-hi-ji.

Walau pun Auyang Tong tadi berkelejetan di lantai saking kesakitan, tapi sekarang dia masih dapat bergelak tawa dan berkata, “Hahaha, tipu kami masa cuma membuat mereka pulang-pergi dengan tangan hampa belaka?”

“Hm, sekali ini biar pun mereka dapat pulang dengan hidup, sedikitnya setengah nyawa mereka pun akan kecantol di Ku-san,” tukas Auyang Ting dengan menyeringai.

“Sebab apa?” Siau-hi-ji mengernyit kening.

Auyang Tong terkekeh-kekeh, katanya, “Sebab tempat yang kami katakan itu sebenarnya tiada tersimpan harta karun segala, yang ada cuma seorang iblis jahat, sudah lama sekali iblis itu tidak tampil di muka umum, mimpi pun mereka takkan menyangka iblis itu justru sembunyi di Ku-san sana.”

“Mereka cuma tahu betapa menakutkannya Yan Lam-thian, tapi tidak tahu iblis itu sesungguhnya berpuluh kali lebih menakutkan dari pada Yan Lam-thian,” demikian tutur Auyang Ting. “Cap-toa-ok-jin kalau dibandingkan iblis itu boleh diibaratkan anak kecil berbanding orang tua.”

“Mengapa aku tidak tahu di dunia masih ada manusia begitu?” tanya Siau-hi-ji.

“Hal-hal yang tidak kau ketahui masih cukup banyak,” ujar Auyang Tong.

“Umpama kami harus mati, tapi mereka pun tak bisa tenang,” kata Auyang Ting. “Bila ketemu iblis itu, penderitaan mereka mungkin berpuluh kali lebih hebat dari pada kami.”

“Kalau kalian sudah akan mati, untuk apa mesti membikin susah orang lain?” Siau-hi-ji menggeleng seraya tersenyum.

“Soalnya kutahu mereka toh takkan melepaskan kami, biarlah menderita dan bertambah tersiksa juga akan kami seret mereka ke dalam lumpur, aku Auyang Ting biar pun mengadu jiwa juga ingin mendapatkan untung,” kata Auyang Ting dengan tertawa.

“Ya, jiwa kami berdua mendapatkan imbalan lima jiwa mereka, jual beli ini cukup menguntungkan, aku Auyang Tong memang mati pun tidak mau rugi,” tukas Auyang Tong dengan terbahak.

Dalam keadaan menderita dan kesakitan, tapi suara tertawa kedua orang ini entah betapa gembiranya, tidak saja melupakan semua siksaan, bahkan mati dan hidup juga terlupakan seluruhnya.

Siau-hi-ji merinding sendiri melihat cara mereka bergelimpangan menahan sakit di samping tertawa gembira pula, ia menggeleng kepala dan tersenyum getir, katanya, “Manusia macam kalian ini sungguh jarang ada, pada hakikatnya kalian ini bukan lantaran akan mati maka ingin membikin susah orang lain, tapi lebih suka mati demi membikin susah orang lain.”

Dilihatnya kedua bersaudara yang lebih suka membikin susah orang ini mulai lemah suara tertawanya, Auyang Ting menggelinding ke samping Auyang Tong dan bertanya, “Lotoa, apakah kita benar-benar hendak beritahu bocah ini tempat penyimpanan harta karun itu?”

“Pembawaan bocah ini bukanlah orang baik-baik, setelah mendapat harta karun kita itu pasti tidak sedikit orang yang akan dicelakainya. Biar kita sudah mati, tapi harta yang kita tinggalkan masih dapat dimanfaatkan oleh bocah ini, bukanlah ini pun suatu hasil karya kita yang gemilang?” ujar Auyang Ting.

“Betul, betul,” seru Auyang Tong tertawa. “Betapa pun Lotoa memang... memang lebih pintar dari padaku....” dia tertawa terus dengan tubuh mengejang, suara bicaranya juga terputus-putus.

“Kata orang, manusia yang akan mati ucapnya tentu juga bajik, tapi ajal kalian sudah dekat, nyatanya tetap tidak mau mengucapkan beberapa patah kata yang baik,” kata Siau-hi-ji dengan gegetun.

“Ketika hidup jadi orang... jahat, setelah mati juga... juga akan menjadi setan jahat....” kata Auyang Tong dengan menyeringai.

“Biar pun kuberitahu, tempat penyimpanan harta karun yang sesungguhnya ialah berada di... di kota Hankau, di gang Pat-po pada rumah nomor tiga di ujung sebelah kanan yang berpintu warna kuning,” tutur Auyang Tong.

Dengan terkekeh-kekeh Auyang Ting menyambung, “Mereka sama mengira tempat penyembunyian harta karun itu pasti di suatu gua sepi dan jarang didatangi manusia, tapi tak tersangka bahwa kami justru menyimpan harta itu di suatu tempat yang ramai, di tengah kota yang penuh penduduk sehingga mimpi pun tak terduga oleh mereka.”

Suara mereka makin lama makin lemah sehingga hampir tak jelas lagi, luka mereka pun mulai mengering dan tidak mengalirkan darah pula.

Tiba-tiba Siau-hi-ji tertawa dan berkata, “Baiklah, sekarang boleh kalian menjadi setan jahat saja, cuma jangan lupa, jadi setan jahat harus masuk neraka, di sana pun kalian akan disiksa, mungkin terlebih menderita dari pada sekarang.”

Suara kedua Auyang bersaudara serentak berhenti, seketika terbayang oleh mereka adegan di neraka yang menyeramkan itu, ada bukit bergolok dan wajan minyak mendidih yang sedang menantikan kedatangan mereka.

Sekonyong-konyong tubuh Auyang Tong meringkal jadi satu, teriaknya dengan histeris, “Tidak, aku bukan orang jahat... aku pun tidak ingin menjadi setan jahat... aku tidak... tidak mau masuk neraka.”

Baru saja Auyang Ting masih bergelak tertawa, kini air mata sudah bercucuran, ratapnya, “Ampun, kumohon pertolonganmu, ampunilah kami.”

“Aku pun ingin mengampuni kalian, cuma sayang aku bukan Giam-lo-ong (raja akhirat),” ucap Siau-hi-ji.

“Tolong bantulah kami, gunakanlah harta karun kami itu untuk melakukan sesuatu yang mulia bagi kami,” seru Auyang Tong.

“Betul, sudah terlalu banyak perbuatan busuk yang kami lakukan, sudilah engkau berbuat sesuatu sekadar menebus dosa kami,” sambung Auyang Ting.

“Sungguh aneh, ada sementara orang mengira dengan uangnya yang busuk akan dapat digunakan menebus dosanya, jalan pikiran ini bukankah teramat naif? Sebab kalau benar demikian adanya, bukankah surga akan menjadi milik orang yang beruang dan si miskin harus masuk neraka seluruhnya?”

Mendadak kedua Auyang bersaudara meratap, “Tolonglah, sudikah engkau membantu kami!”

“Kalian sudah takut,” tanya Siau-hi-ji.

Sekujur badan mereka sama gemetar dan tidak sanggup bersuara pula, mereka hanya mengangguk saja sekuatnya.

Siau-hi-ji menggeleng-geleng, katanya, “Bila mana seluruh orang jahat di dunia ini menyaksikan keadaan kalian sekarang ini, mungkin selanjutnya akan banyak berkurang manusia yang berani berbuat jahat.” Setelah menghela napas gegetun, lalu ia menyambung, “Tapi apa pun juga pasti akan kucoba, biar pun kalian menyesal sesudah terlambat, namun toh lebih baik dari pada sama sekali tidak mau menyesal. Nah, kalian boleh mangkat dengan hati lega.”

Dalam hidup ini setiap orang kebanyakan mempunyai satu hari yang khusus pantas untuk dikenangkan. Siau-hi-ji juga mempunyai hari kenang-kenangan demikian.

Selama seharian ini mendadak Siau-hi-ji menemukan banyak persoalan yang sebelum ini tidak pernah dipikirkan dengan mendalam walau pun juga tidak asing lagi baginya.

Sehari ini pun berharga untuk dikenang sekali pun bagi Siau-hi-ji yang banyak ragam dan gayanya itu, dalam sehari ini ia telah mengalami rasa duka dan kecewa yang takkan terjadi di kemudian hari, jika sebelum ini dia masih tergolong anak-anak, maka sehari ini telah membuatnya dewasa.

Apa pun juga akhirnya hari ini telah lalu pula, kini Siau-hi-ji telah mencuci bersih mukanya, ia membeli seperangkat pakaian warna biru langit, setelah berdandan dan bercermin, ia merasa cukup puas akan diri sendiri.

Walau pun sudah sehari semalam tidak tidur, tapi selama ini semangat tak pernah sebaik sekarang, hanya perutnya saja yang berkeruyukan minta diisi. Maka ia mencari sebuah rumah makan yang terkenal enak dan dahar sekenyangnya.

Rumah makan yang besar ini ada berpuluh buah meja, semuanya sudah penuh tamu, kebanyakan adalah tokoh-tokoh dunia persilatan, rupanya orang-orang Kangouw yang datang kemari itu belum banyak yang meninggalkan Ankhing.

Orang-orang Kangouw ini paling gemar makan, suka makan enak, berani bayar, cara mereka membuang uang sama seperti uang didapatkan dari mencuri atau merampok. Dan juragan restoran mana pun paling suka pada tetamu yang demikian ini.

Dengan perasaan menikmati tontonan, Siau-hi-ji menyaksikan cara orang-orang Kangouw itu makan dan minum, ia merasa orang-orang yang kelihatan kasar-kasar itu juga ada segi-segi yang menyenangkan.

Didengarnya seorang di meja sebelah sana sedang berkata dengan tertawa, “Wah, malam nanti tentunya Au-heng juga akan hadir di Cong-goan-lau itu.”

Orang yang dipanggil “Au-heng” (saudara Au) itu bergelak tawa dan menjawab, “Ya, syukur Kang-tayhiap menghargai diriku dan juga mengirim sehelai undangan padaku, dengan sendirinya malam nanti Cayhe akan hadir di restoran ini untuk meramaikan suasana.”

Orang she Au ini sengaja bicara dengan suara keras, benar saja sorot mata dari berbagai arah seketika tertumpah kepadanya dengan rasa kagum dan juga iri.

Menyusul ada beberapa orang lain juga mengeluarkan kartu undangan masing-masing untuk pamer, orang yang tidak dapat memperlihatkan kartu undangan menjadi merah mukanya dan juga ada yang pucat. Bahwasanya Kang-lam-tayhiap menjamu tamu dan mereka tidak diundang, tentu saja mereka merasa malu.

Geli dan dongkol juga Siau-hi-ji menyaksikan semua itu. Bahwa Kang Piat-ho masih punya muka untuk pesta pora dan tamu yang diundang justru merasa bangga, ini benar-benar membuat dada Siau-hi-ji hampir meledak.

Tiba-tiba seorang yang duduk dekat jendela sana berkata dengan heran, “He, katanya malam ini Kang-tayhiap menjamu tamu untuk merayakan kemenangan Hoa-kongcu, tapi sekarang mengapa Hoa-kongcu akan pergi? Memangnya dia tidak mau beri muka kepada Kang-tayhiap?”

“Hoa-kongcu dan Kang-tayhiap adalah sahabat sehidup semati, Hoa-kongcu tidak segan berkorban bagi Kang-tayhiap sekali pun harus menghadapi bahaya, masa beliau malah tidak mau memberi muka kepada Kang-tayhiap?” demikian seorang lagi menanggapi.

“Ah, hari ini cuaca cerah dan hawa sejuk, Hoa-kongcu hanya membawa pacarnya melancong keluar kota, masa beliau benar-benar akan pergi begitu saja?” ujar orang ketiga.

Siau-hi-ji juga duduk dekat jendela, tanpa terasa ia pun melongok keluar. Dilihatnya sebuah kereta kuda sedang datang dari timur sana, tirai jendela tersingkap, samar-samar kelihatan bayangan si cantik berambut panjang gombyok.

Tertampak pula Hoa Bu-koat dengan gagahnya naik kuda dengan pelana mengkilat mengiring di samping kereta dan kadang-kadang bersenda gurau dengan penumpang di dalam kereta.

Siau-hi-ji jadi terkesima menyaksikan itu.

Sementara itu tetamu restoran itu sudah sama merubung di depan jendela, maka terdengar pula suara kagum dan takjub di sana-sini, bahkan ada lagi yang menyapa, “Selamat, Hoa-kongcu!”

Hoa Bu-koat mendongak dan membalas dengan senyuman tawar. Setiap orang si atas loteng restoran itu khawatir dirinya tidak terlihat tokoh muda itu, maka semuanya berusaha menjulurkan kepalanya masing-masing. Tapi Siau-hi-ji justru sebaliknya, kepalanya mengkeret ke dalam malah, khawatir dilihat oleh Hoa Bu-koat.

Setelah kereta Hoa Bu-koat itu lewat ke sana dan semua orang kembali ke tempat duduk masing-masing, tapi Siau-hi-ji masih temangu-mangu di tempatnya, tiba-tiba ia bergumam, “Caraku main sembunyi-sembunyi begini menghindari dia entah harus berlangsung sampai kapan? Memangnya selamanya aku harus menghindari dia?” berpikir sampai di sini, mendadak ia berbangkit terus lari ke bawah.

Apabila Siau-hi-ji sudah berpikir harus mengerjakan sesuatu, maka bagaimana akibatnya sama sekali tak terpikir lagi olehnya. Rupanya ini memang sifat keturunan ayah-ibunya.

Maklumlah, bila mana Kang Hong dan Hoa Goat-loh (ayah dan ibu Siau-hi-ji) tidak mempunyai sifat begitu, tentunya dahulu mereka takkan melarikan diri dari Ih-hoa-kiong tanpa memikirkan segala akibatnya! Orang she Kang kalau sudah ingin mengerjakan sesuatu, mati pun pasti akan dilaksanakannya, bila dia sudah mencintai seseorang, mati pun dia tetap mencintainya. Kang Hong itu tampaknya halus dan lemah, tapi wataknya lebih keras dari pada baja.

Dalam hal ini Siau-hi-ji ternyata serupa dengan sang ayah. Begitulah dia terus memburu ke arah kereta Hoa Bu-koat.

Hakikatnya Siau-hi-ji tidak peduli bahwa dirinya sedang menjadi sasaran pandangan orang yang berlalu-lalang dengan terheran-heran karena melihat dia berlari-lari sepanjang jalan. Maka hanya sebentar saja dia sudah dapat menyusul kereta kuda Hoa Bu-koat tadi.

Tatkala mana kereta itu sudah hampir ke luar kota, terdengar Hoa Bu-koat lagi berkata dengan tertawa, “Sudah beberapa hari engkau merasa masygul, maka perlu kita melancong keluar kota untuk menghirup hawa segar....”

Pada saat itulah tiba-tiba seorang berteriak dari belakang, “Berhenti dulu, Hoa Bu-koat!”

Tentu saja Hoa Bu-koat mengernyit kening dan menahan kudanya, baru saja kepala Thi Sim-lan sedikit menongol keluar, dengan cepat Siau-hi-ji sudah melayang tiba.

Munculnya Siau-hi-ji secara mendadak sudah tentu membuat Thi Sim-lan melongo terkejut, bahkan Hoa Bu-koat juga melengak dan hampir-hampir tidak percaya pada mata sendiri.

Sedapatnya Siau-hi-ji menahan perasaannya dan sama sekali tidak memandang sekejap pun ke arah Thi Sim-lan, ia cuma menatap Hoa Bu-koat tanpa berkedip, mendadak ia bergelak tertawa dan berkata, “Hahaha, tentunya kau tidak menyangka aku akan mencarimu bukan?”

“Ya, memang tak tersangka,” jawab Bu-koat. Ia seperti mau tertawa, tapi entah mengapa, ternyata tidak dapat tertawa.

“Kau kira kedatanganku ini untuk mengantarkan kematian bukan?” tanya pula Siau-hi-ji.

“Betul,” jawab Bu-koat sambil menghela napas.

“Kau memang orang jujur dan suka terus terang, tapi semua ini lantaran kau menganggap dirimu jagoan dan tidak gentar terhadap siapa pun juga, makanya kau tidak perlu pura-pura, begitu bukan?”

Tampak sinar mata Hoa Bu-koat berkelebat, tapi dia tetap menjawab dengan hambar, “Ya, betul!”

Menghadapi orang demikian, betapa pun Siau-hi-ji tidak sanggup tertawa lagi, teriaknya pula, “Jika kau bertekad akan membunuhku, mengapa kau tidak mencari diriku, tapi malah menunggu aku mencarimu?”

“Aku sendiri sebenarnya tidak ingin membunuhmu,” jawab Hoa Bu-koat dengan tenang, “sebab itulah aku tidak terburu-buru mencarimu. Tapi sekarang setelah kulihat dirimu, mau tak mau aku harus membunuhmu.”

Pada saat ini juga Thi Sim-lan baru tersadar dari kagetnya tadi, mendadak ia membuka pintu kereta dan menerobos keluar serta mengadang di depan Siau-hi-ji sambil berseru, “Sekali ini dia sendiri yang datang mencarimu, adalah tidak layak bila engkau membunuhnya.”

Sekonyong-konyong Siau-hi-ji mendorong dengan kuat sehingga Thi Sim-lan tertolak ke sana dan hampir menumbuk pada pintu kereta.

Air muka Hoa Bu-koat tampak berubah, tapi ia tetap bisa menahan diri dan tidak mau membuka suara.

Sambil menatap Siau-hi-ji, Thi Sim-lan berseru dengan suara gemetar, “Meng... mengapa engkau bersikap demikian padaku?”

Tapi sama sekali Siau-hi-ji tidak memandang nona itu, ia melototi Hoa Bu-koat dan mendengus, “Hm, kabarnya nona Thi ini adalah bakal istrimu, mengapa dia sengaja ikut campur urusanku? Padahal sama sekali aku tidak kenal siapa dia?”

Thi Sim-lan menggigit bibir dengan kuat, meski bibirnya sampai berdarah, meski air mata sudah meleleh, tapi dia tetap berdiri di situ.

Bagaimana pun Siau-hi-ji berbuat kasar terhadapnya, asal dia melihat anak muda itu, mau tak mau ia ingin mendekatinya, biar pun Siau-hi-ji menghalaunya dengan cambuk juga sukar mengusirnya.

Pedih hati Hoa Bu-koat, sedapatnya ia tidak memandang Thi Sim-lan, katanya dengan hambar kepada Siau-hi-ji, “Apakah sekali ini kau tidak perlu bantuan orang lain lagi?”

Siau-hi-ji menengadah dan bergelak tertawa, jawabnya, “Jika kuperlu bantuan orang mengapa kudatang mencarimu?” mendadak ia berhenti tertawa dan berteriak, “Kau sendiri juga tahu, orang macam diriku ini tidaklah mungkin datang untuk mengantar kematian belaka, lantas untuk apakah kudatang kemari? Soal ini tentu membuatmu heran bukan?”

“Ya, aku memang heran,” ucap Bu-koat.

“Bahwa kau bertekad ingin membunuhku, tapi selalu gagal, sampai-sampai aku pun merasa cemas bagimu. Apa lagi yang kau pikir hanya ingin membunuhku saja, mungkin kau tidak tahu bahwa aku pun ingin membinasakan kau.”

“Kau takkan mampu membunuhku,” kata Bu-koat.

“Kau anggap aku tidak mampu membunuhmu, tapi aku pun yakin kau tidak dapat membunuhku, jika keadaan begitu terus berlarut-larut, setelah dua ratus tahun lagi entah akhirnya kau yang benar atau aku yang tepat. Bahwa hatiku gelisah, mungkin kau terlebih gelisah dari padaku. Sebab itulah sekarang kudatang ke sini, tujuanku adalah untuk mengadakan pemberesan denganmu.”

“Kau ingin membereskannya dengan cara bagaimana?” tanya Bu-koat dengan tersenyum.

“Asalkan kau menentukan suatu tempat, tiga bulan kemudian kupasti menemui kau di sana untuk mengadakan pertarungan menentukan, sebelum salah satu pihak kalah atau mati, siapa pun tidak boleh lari.”

“Tentunya kau tahu tidak mungkin aku lari,” ucap Bu-koat dengan tersenyum tawar.

“Jadi kau setuju?” tanya Siau-hi-ji.

“Ya, setuju,” jawab Bu-koat.

Siau-hi-ji menghela napas lega, katanya pula, “Tapi sebelum janji waktu tiga bulan tiba, biar pun bertemu dengan aku juga kau harus pura-pura tidak tahu, lebih-lebih tidak boleh menyatroni aku lebih dulu.”

Bu-koat termenung tanpa menjawab.

Dengan suara keras Siau-hi-ji lantas menyambung, “Jika aku tidak datang mencari kau, selama tiga bulan ini jelas kau pun tak dapat menemukan diriku. Jadi syarat yang kukemukakan ini tidak merugikanmu, mengapa kau tidak berani menerimanya?”

“Di balik syaratmu ini kupikir pasti ada tipu muslihat lain,” kata Hoa Bu-koat perlahan.

“Jadi kau tidak... tidak setuju?” Siau-hi-ji menegas dengan melotot.

Mendadak Hoa Bu-koat memutar kudanya dan berkata, “Baik, tiga bulan kemudian aku akan berada di Bu-han, di sana kau pasti dapat menjumpaiku.”

“Bagus, sedemikian kupercaya padaku, aku pasti takkan mengecewakanmu” seru Siau-hi-ji, habis berkata segera ia pun membalik tubuh dan bertindak pergi dengan langkah lebar.

Thi Sim-lan berharap anak muda itu akan menoleh dan memandangnya sekejap, tapi Siau-hi-ji tetap tidak berpaling sama sekali, sampai bayangan anak muda itu sudah lenyap di kejauhan, Thi Sim-lan masih berdiri termangu-mangu di situ.

Dengan tenang Hoa Bu-koat menunggu di atas kudanya tanpa mengusiknya. Di samping mereka orang berlalu lalang, setiap orang sama memandang mereka dengan heran karena penunggang kuda dan penumpang kereta berhenti di situ. Sudah tentu tiada yang tahu bahwa meski mereka berhenti di situ, namun hati mereka telah melayang jauh ke sana.

Entah berselang berapa lama lagi, kemudian perlahan-lahan Thi Sim-lan naik ke atas keretanya, pintu kereta ditariknya, dilihatnya Bu-koat masih tetap bertengger di atas kudanya, bagaimana perasaannya sungguh sukar dilukiskan.

Si kusir kereta tidak tahu kedua muda-mudi itu sedang bertengkar urusan apa, setelah menunggu sekian lama dan akhirnya si nona masuk lagi ke dalam kereta, segera ia bersuit dan menghela keretanya keluar kota.

Maksud tujuan Hoa Bu-koat mengajak Thi Sim-lan pesiar keluar kota adalah untuk menghibur si nona, tapi kini setelah keluar kota perasaan kedua orang menjadi kusut dan sukar dipecahkan.

Berulang-ulang Thi Sim-lan menggulung tirai kereta, lalu diturunkan lagi, meski pemandangan alam di luar kota seindah lukisan, namun tiada minatnya lagi buat menikmatinya.

Sais kereta itu merasa serba susah oleh suasana dingin itu, ia bertanya mengiring senyum, “Nona dan Kongcu hendak ke mana?”

Hoa Bu-koat tidak bersuara, sekenanya ia angkat cambuk menuding ke depan.

Di depan sana tampak semak-semak bunga beraneka warna sedang mekar semerbak, sebuah sungai kecil mengalir di samping pepohonan berbunga, air sungai tampak berkilauan di bawah cahaya sang surya menjelang musim rontok.

Di kejauhan sana ada seorang lelaki rudin sedang berjemur sambil berbaring di tepi sungai, kicau burung dengan harum bunga, rumput hijau menyelimuti bumi laksana permadani.

Bu-koat lompat turun dari kudanya dan berdiri termangu-mangu di bawah pohon yang berbunga, angin sepoi-sepoi mengusap wajahnya yang cakap itu, pakaiannya yang serba putih melambai perlahan tertiup angin, mengapa dia tidak melanjutkan perjalanan?

Perlahan-lahan Thi Sim-lan membuka pintu kereta dan turun, ia berjalan di atas tanah berumput halus dan memandangi bayangan punggung Hoa Bu-koat, ia pun termangu-mangu sejenak, tiba-tiba ia berucap, “Sudah jelas tahu di balik usulnya itu pasti ada tipu muslihatnya, tapi mengapa engkau menerimanya?”

Hoa Bu-koat seperti menghela napas, tapi tidak menoleh dan juga tidak mau menjawab.

“Apakah karena aku?” tanya Sim-lan dengan lirih.

Hoa Bu-koat menggeleng, seperti mau bicara sesuatu tapi urung.

Thi Sim-lan melangkah lewat samping Hoa Bu-koat, ia petik setangkai bunga dari ranting pohon yang melambai rendah, bunga yang tak diketahui apa namanya itu diremasnya hingga hancur, mendadak ia berpaling menghadapi anak muda itu dan berkata, “Mengapa engkau tidak bicara?”

“Bungkam bukankah terkadang lebih baik dari pada bicara?” akhirnya Bu-koat berucap dengan tersenyum hambar.

Thi Sim-lan menunduk, katanya, “Tapi kutahu dalam hatimu banyak yang hendak kau katakan, bila kau katakan rasanya hatiku akan lega malah.”

“Apa yang hendak kukatakan bukankah sudah kau ketahui seluruhnya?” kata Bu-koat.

Sekonyong-konyong Thi Sim-lan memutar tubuh ke samping, katanya, “Selama dua tahun ini engkau senantiasa menjaga diriku, jika tiada engkau tentu sejak dulu aku telah mati, selama hidupku tiada orang sebaik ini terhadap diriku seperti engkau.”

Bu-koat memandangi rambut di belakang leher si nona yang bergerak-gerak terusap angin itu tanpa menjawab.

Si nona menghela napas perlahan, lalu berkata pula, “Selama hidupku ini juga tiada orang sebusuk padaku seperti dia itu, tapi... tapi entah mengapa, bila melihat dia pikiranku menjadi kusut dan tak berdaya.”

Bu-koat memejamkan mata, katanya, “Kata-kata ini sebenarnya tidak perlu kau katakan padaku.”

Bahu Thi Sim-lan rada gemetar, ucapnya, “Aku pun tidak tahu apakah kata-kata ini pantas kukatakan atau tidak, tapi bila tidak kukatakan terus terang, hatiku terasa susah dan merasa berdosa padamu.”

“Mana dapat aku menyalahkan engkau? Mana pula engkau berdosa padaku?” ucap Bu-koat dengan suara halus.

“Mengapa... mengapa engkau tidak marah padaku? Mengapa engkau tetap begini baik padaku? Kau... kau....” mendadak Thi Sim-lan mendekap batang pohon dan menangis terisak-isak.

Akhirnya Hoa Bu-koat mementang matanya kemudian mendekati si nona, seperti ingin membelai rambutnya, tapi baru saja tangan terjulur cepat ditarik kembali. Ia menengadah melihat cuaca, setelah menghela napas perlahan, kemudian berkata, “Hari sudah petang, marilah kita pulang saja.”

Di kejauhan sana si lelaki rudin tadi tampak menggeliat kemalas-malasan, tiba-tiba ia menggerundel, “Masih muda belia, hanya sedikit soal kecil lantas susah dan merasa tersiksa, bila kalian sudah dewasa, tentu akan tahu di dunia ini masih banyak urusan lain yang jauh lebih menderita.”

Sebenarnya Hoa Bu-koat tidak menaruh perhatian padanya, lebih-lebih tak terpikir olehnya bahwa percakapannya dengan suara lirih di sini dapat didengar orang itu dari jarak sejauh itu.

Malahan Thi Sim-lan juga melengak, ia berhenti menangis dan berpaling ke sana.

Tampak lelaki rudin itu menguap dan mendadak melompat bangun.

Mendingan kalau dia tetap berbaring di situ, begitu dia berdiri, seketika Hoa Bu-koat dan Thi Sim-lan terkejut.

Sungguh tak tersangka orang yang berbaring seperti kelaparan itu setelah berbangkit ternyata begini gagah dan tangkas, biji matanya memancarkan sinar tajam, kedipannya seakan-akan kilat berkelebat.

Jelas kelihatan mukanya yang halus, alis tebal dan wajah kotor mengkilap kehijau-hijauan, sekilas pandang sukar juga untuk diketahui berapa usianya.

Sejak tampil di Kangouw, ksatria mana pun di dunia ini hampir tiada yang terpandang oleh Hoa Bu-koat, tapi entah mengapa, lelaki rudin yang kelamas-malasan ini seakan-akan memiliki daya tarik yang sukar dilukiskan, meski perawakannya tidak terlalu tinggi besar, tapi siapa pun yang berhadapan dengan dia tentu akan merasa dirinya sendiri teramat kecil. Sinar matanya yang gemerdep juga membuat orang tak berani menatapnya.

Ketika melihat Hoa Bu-koat, agaknya laki-laki itu pun terkesiap. Ia bergumam perlahan, “Jangan-jangan dia inilah? Kalau tidak masa begini mirip? Urusan orang lain masih boleh kubiarkan, tetapi dia... mana boleh aku tinggal diam dan tidak membantu melaksanakan keinginannya.”

Bu-koat dan Sim-lan tidak mendengar apa yang digumamkannya, dalam pada itu lelaki itu pun melangkah ke sini dengan lamban, jalannya juga kemalas-malasan dan amat lambat. Namun aneh, hanya kelihatan dia melangkah beberapa tindak saja tahu-tahu ia sudah berada di depan Hoa Bu-koat.

Baru sekarang Bu-koat dapat melihatnya dengan jelas. Ternyata pakaian yang dipakainya semula berwarna hitam tapi sudah luntur sehingga lebih tepat dikatakan berwarna kelabu. Kaki memakai kasut rumput buntut, tangannya besar-besar dengan otot yang tampak merongkol, tangannya demikian panjang sehingga hampir melampaui dengkul. Pinggang terikat seutas tali rumput, tapi pada tali pinggang itu terselip sebatang pedang yang sudah karatan.

Lelaki itu pun mengawasi Hoa Bu-koat dengan teliti, dari kepala ke kaki, lalu dari bawah ke atas, tiba-tiba ia tertawa dan bertanya, “Apakah hatimu sangat menyukai nona ini?”

Sudah tentu Hoa Bu-koat tidak pernah menyangka akan ditanya demikian, ia jadi melengak dan tergegap, “Aku... aku....”

“Kalau suka ya bilang suka, tidak suka katakan tidak suka, seorang lelaki sejati kenapa kata-kata demikian saja tidak berani diucapkan?” bentak lelaki itu dengan berkerut kening.

Sejak kecil hingga sebesar ini belum pernah ada orang bicara sekasar ini kepada Hoa Bu-koat, maka ia jadi melengak pula dan tidak menjawab. Dahi orang itu terkerut lebih kencang, katanya, “Hm, kau bilang diam lebih baik dari pada bicara segala, semuanya itu kentut belaka. Coba jawab, bila mana kau tidak bicara, dari mana orang akan tahu kau menyukai dia?”

Mau tak mau muka Hoa Bu-koat menjadi merah dan lebih-lebih tidak sanggup bersuara. Bila orang lain bicara demikian padanya tentu akan dianggapnya sebagai kurang sopan, tapi entah mengapa, kata-kata yang diucapkan lelaki ini baginya terasa membawa semangat jantan dan menyentuh kalbunya.

Muka Thi Sim-lan juga merah mendengar kata-kata lelaki itu, tiba-tiba ia menimbrung, “Ada sementara kata-kata yang tidak perlu diucapkannya, tapi kutahu isi hatinya.”

Orang itu terbahak-bahak sambil menatap Thi Sim-lan dengan sorot matanya yang tajam, katanya, “Bagus, bagus sekali, tak tersangka kau lebih terus terang dari pada dia, anak perempuan macam begini, jangankan dia, bahkan aku pun rada-rada suka.”

Jika orang lain berkata demikian di hadapannya, bukan mustahil akan dipersen beberapa kali gamparan kontan oleh Thi Sim-lan. Tapi kini si nona hanya menunduk saja, sedikit pun tidak marah.

Dengan tertawa lelaki itu berkata pula, “Jika demikian, jadi kau memang tahu dia menyukaimu?”

“Ya, kutahu,” jawab Sim-lan dengan tabahkan hati.

“Dan kau sendiri menyukai dia atau tidak?”

“Aku bukan....” Sim-lan merandek dan memandang Hoa Bu-koat sekejap, lalu menunduk dan melanjutkan, ”...bukannya aku tidak suka, cuma....”
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar