Bakti Pendekar Binal Jilid 17

“Selama beberapa tahun ini mereka sengaja membikin tubuh mereka menjadi besar dan gemuk sehingga lebih mirip gajah bengkak. Padahal semula mereka kurus seperti cacing, setelah gemuk, wajah mereka pun berubah jauh sehingga sukar lagi dikenali. Kedua orang ini sungguh pintar dan cerdik, entah dari mana mereka mendapatkan resep cara penyamaran yang bagus ini.”

“Ya, menyamar dengan daging yang tumbuh secara wajar di tubuhnya itu sungguh cara yang sukar dipelajari dan benar-benar cara alami yang paling bagus!” tukas Siau-hi-ji.

“Karena tak dapat menemukan kedua Auyang bersaudara, kemudian kudengar beberapa kejadian yang diperbuat kedua Lo bersaudara akhir-akhir ini, sehingga timbul rasa curigaku, makanya aku lantas menguntit ke sini. Tapi waktu pertama kali kulihat mereka rasanya aku sendiri pun tidak percaya mereka adalah kedua Auyang bersaudara yang dulunya sekurus kulit membungkus tulang itu.”

“Tapi engkau tetap curiga dan ingin menyelidiki dengan jelas, maka....”

“Maka salah satu pelayannya lantas kuseret keluar dan kusembelih, lalu aku menyamar menjadi pelayan itu sendiri dan mereka ternyata tidak dapat mengenaliku.”

“Orang sepintar engkau menyaru sebagai pelayan bodoh, memangnya siapa yang dapat mengetahui?” ucap Siau-hi-ji dengan gegetun.

“Dan akhirnya aku pun dapat melihat titik kepalsuan mereka dan ternyata mereka adalah Auyang bersaudara, tapi kalau kubongkar rahasia mereka pada saat itu juga, kukhawatir mereka akan sempat kabur, andaikan tertangkap juga mungkin mereka tak mau mengaku di mana barang titipan itu disembunyikan mereka.”

“Makanya engkau ingin menyelidiki dulu berada di mana barang titipan itu baru kemudian membekuk mereka,” tukas Siau-hi-ji.

“Ya, bila mana aku tidak sabar dan menunggu hingga kini, memangnya tadi kau kira dapat lolos dengan selamat?”

“Memang betul,” ucap Siau-hi-ji sambil menyengir. “Tidak perlu soal lain, hanya mengenai penyamaranmu sebagai budak bodoh itu, jika tidak setiap hari bergaul langsung dengan Buyung Kiu, cara bagaimana dalam waktu sesingkat itu engkau dapat menyaru sebagai Buyung Kiu dengan semirip ini?”

“Sebenarnya aku tidak tahu gadis linglung itu adalah Buyung Kiu, tapi kernudian aku merasa kelakuannya rada aneh, maka di waktu iseng aku lantas membuat sebuah kedok yang mirip wajah Buyung Kiu. Kalau tidak dalam waktu sesingkat ini mana aku sanggup menyamar dia?”

Biji mata Siau-hi-ji berputar, tiba-tiba ia menjengek, “Hm, kukira kedok yang kau buat ini bukan lantaran waktu iseng belaka.”

To Kiau-kiau tertawa, tanyanya, “Habis apa sebabnya menurut kau?”

“Pasti terpikir olehmu bila mana perlu Buyung Kiu akan kau sembelih. Lalu engkau menyaru dia, dengan demikian kedua Lo bersaudara lebih-lebih tidak akan curiga padamu, dan urusan yang akan kau selidiki menjadi lebih mudah pula.”

“Hihi, kau setan cilik ini memang pintar, hanya kau yang dapat menerka isi hatiku,” ucap To Kiau-kiau sambil mengikik.

“Meski rencanamu itu sangat baik, siapa tahu Buyung Kiu telah kubawa pergi sehingga kedokmu ini tiada gunanya lagi, maka sekaligus lantas kau gunakannya untuk menolong diriku.”

“Huh, kau setan cilik ini benar-benar tidak tahu kebaikan orang. Kuselamatkan kau, memangnya cuma lantaran kedok yang kau kira tak berguna lagi itu?”

Siau-hi-ji hanya tertawa dan tidak menjawab.

“Begitu kulihatmu waktu itu, segera kutahu kau pasti lagi main gila, makanya setiap saat selalu kuperhatikanmu. Pagi tadi, waktu kau dan Oh-ti-tu menyuruh Buyung Kiu menulis surat juga telah kudengar,” To Kiau-kiau tertawa genit, lalu menyambung pula, “Coba, kalau aku tidak berjaga di luar bagi kalian mungkin tadi pagi kalian sudah kepergok oleh Auyang bersaudara.”

Terkejut juga Siau-hi-ji dalam hati, tapi dia sengaja berlagak tenang, katanya dengan tertawa, “Seumpama kepergok juga tidak jadi soal.”

“Haha, rupanya mati pun kau tidak mau terima kebaikan orang,” ucap To Kiau-kiau tertawa.

“Agaknya kau dengar isi surat itulah, makanya kau tahu malamnya kami akan pergi ke Sutheng itu -.”

“Ya, kecuali itu aku pun telah bertemu dengan seorang.”

“Pek Khay-sim?” tukas Siau-hi-ji.

“Hihi, kulihat dengan jelas waktu kau menggelintir pil daki dari kelekmu.”

“Aneh, jadi engkau berada di sekitar situ, mengapa aku tidak mendengar?”

“Dengan kemampuanmu sekarang sebenarnya kau dapat mendengarnya,” kata To Kiau-kiau dengan tertawa. “Cuma waktu itu Pek Khay-sim duduk menghadap ke arahku, diam-diam aku telah memberi isyarat padanya agar dia berteriak-teriak untuk memencarkan perhatianmu, apa pula waktu itu kau sedang kegirangan, maka tidak memperhatikan hal lain.”

“Tampaknya dalam keadaan bagaimana pun seseorang tidak boleh terlalu gembira dan lupa daratan,” ucap Siau-hi-ji dengan nyengir. Mendadak ia menambahkan pula, “Hah, pantas tadi Pek Khay-sim tidak menanyakan obat penawar lagi padaku, rupanya kau telah memberitahukan padanya bahwa yang dimakannya itu bukan racun melainkan pil dari daki saja, makanya dia ingin mencelakai aku untuk melampiaskan dendamnya.”

“Kejadian ini sesungguhnya sangat kebetulan, kalau tidak mana kau dapat berbuat sesukamu?” ucap To Kiau-kiau dengan tertawa. “Cuma apa pun juga yang konyol adalah Kang Piat-ho itu.”

“Kalau mau membikin susah orang, baru ada artinya bila mana sasarannya orang macam dia itulah,” kata Siau-hi-ji. “Jika orang baik-baik juga diganggu, maka lebih baik tidur di rumah saja.”

To Kiau-kiau termenung sejenak, katanya kemudian, “Ya, ucapanmu juga betul, mengganggu orang busuk memang jauh lebih menarik dari pada membikin susah orang baik-baik. Apa lagi orang busuk pada umumnya dalam hati sendiri sudah merasa berdosa, jika kau ganggu dia paling-paling dia anggap dirinya yang sial dan tidak berani menyiarkan apa yang terjadi. Lagi pula seumpama orang lain mengetahui apa yang telah kau lakukan terhadap dia, tentunya kau akan dikagumi dan takkan ada yang membela orang busuk itu.”

“Sebab itulah, sebaiknya tirulah aku, hanya mengganggu orang busuk dan tidak mengganggu orang baik-baik, dengan demikian kegemaranmu mengganggu orang akan terpenuhi, sebaliknya kau pun tidak perlu main sembunyi dan selalu takut dicari pihak yang kau ganggu. Dengan demikian, perbuatanmu akan terpuji, terhormat dan memuaskan pula.”

“Tapi semua perbuatan yang memuaskan itu hampir seluruhnya telah dikerjakan oleh kau setan cilik ini,” ucap To Kiau-kiau dengan cekikik.

“Namun sampai saat ini tetap tak kupahami mengapa engkau meninggalkan Ok-jin-kok.”

To Kiau-kiau menghela napas, katanya kemudian, “Banyak kejadian di dunia ini sama sekali tak terpikir oleh manusia.”

Tergerak pikiran Siau-hi-ji melihat anggota terkemuka Cap-toa-ok-jin bicara dengan menghela napas, cepat ia tanya, “He, jangan-jangan di Ok-jin-kok sana telah terjadi sesuatu perubahan yang tak terduga.”

“Ya, memang begitulah,” jawab To Kiau-kiau.

“Wah, kejadian itu dapat membuat engkau meninggalkan Ok-jin-kok, tentu persoalan yang gawat.”

“Ya, memang sangat gawat.”

“Sesungguhnya urusan apakah? Lekas ceritakan!” desak Siau-hi-ji.

“Apakah kau tahu....”

Belum habis ucapan To Kiau-kiau, tiba-tiba sesosok bayangan melayang tiba dari atas pohon sana sambil berseru, “He, kiranya kalian berada di sini, payah benar kucari kian kemari.”

Yang muncul ini ternyata Oh-ti-tu adanya.

“Ah, kiranya kau!” seru Siau-hi-ji dengan tertawa. “Mengapa baru sekarang datang, keramaian yang terjadi tadi tidak kau lihat?”

Dengan menghela napas panjang Oh-ti-tu menjawab, “Wah, hampir saja aku tak dapat melihat kalian lagi.”

Baru sekarang Siau-hi-ji melihat pakaian Oh-ti-tu yang hitam gelap itu kini berlepotan lumpur, rambutnya juga kusut masai, cepat ia tanya, “He, mengapa kau berubah begini?”

“Apa lagi kalau bukan lantaran suratmu yang sialan itu?” jawab Oh-ti-tu.

“Aneh, kenapa dengan surat itu?”

“Waktu kuantar surat itu, di rumah Lamkiong Liu sana tiada terdapat seorang pun, diam-diam aku masuk ke sana dan menaruh surat di atas meja -.”

Belum habis cerita Oh-ti-tu, mendadak Siau-hi-ji menyela dengan membanting kaki, “Wah, runyam, mengapa kau masuk ke sana? Kan cukup kau lemparkan saja surat itu ke dalam rumah? Setelah pelayan pribadi mereka disembelih dan dimakan orang, mustahil kediaman mereka tidak dijaga dengan ketat.”

“Ya, memang akulah yang ceroboh,” tutur Oh-ti-tu sambil tersenyum kecut. “Baru saja kutaruh surat itu di meja, mendadak seutas cambuk panjang menyambar tiba, surat itu dililit ke sana. Aku menyadari gelagat jelek dan bermaksud kabur, namun semua jalan keluar sudah diadang orang.”

“Mereka sengaja mengosongkan rumah itu, tujuannya justru memancing kau masuk perangkap, kalau tidak masakan rumah tinggal Lamkiong Liu dan Buyung Siang dapat dibuat keliaran orang sesukanya?”

“Selama hidupku tak pernah berbuat hal-hal begitu, dari mana kutahu akan tindakan mereka yang licik itu,” ucap Oh-ti-tu dengan gusar.

“Ya, ya, engkau adalah ksatria besar yang tulus jujur, aku yang salah omong,” kata Siau-hi-ji tersenyum.

“Waktu itu aku terkejut dan segera hendak menerjang keluar,” tutur Oh-ti-tu lebih lanjut, “siapa tahu orang-orang itu tiada satu pun yang lemah, semuanya lihai, Am-gi mereka pun sangat ampuh, bukan saja tidak berhasil menerjang keluar, bahkan kupikir pasti akan terluka dan tertawan.”

“Setelah mereka membaca surat itu, dengan sendirinya kau harus mereka tawan, tapi demi mendapatkan pengakuanmu, rasanya mereka pun takkan melukaimu.”

“Aku pun tahu mereka cuma ingin menanyai asal-usulku dan tidak menghendaki jiwaku, sebab itu Am-gi mereka tidak diarahkan ke tubuhku yang mematikan, kalau tidak, jelas aku tak sanggup bertahan lagi.”

“Am-gi keluarga Buyung termasyhur sangat lihai, engkau dapat meloloskan diri di tengah kepungan mereka, ini berarti kau lebih lihai dari pada mereka,” kata Siau-hi-ji dengan tertawa.

“Tapi kalau melulu mengandalkan tenagaku sendiri mana kusanggup menerjang keluar?”

“Memangnya ada orang telah membantumu?”

“Ya, pada saat aku merasa kewalahan, tiba-tiba seorang melayang tiba, pukulan sakti Koh Jin-giok terkenal hebat, tapi hanya sekali dikebut oleh lengan baju orang itu, kontan orang she Koh itu terlempar jatuh!”

“Hah, begitu pandai ilmu silat orang itu?” seru Siau-hi-ji kaget.

“Sungguh tinggi sekali ilmu silat orang itu dan benar-benar tak pernah kulihat selama hidup ini,” tutur Oh-ti-tu dengan gegetun. “Pada hakikatnya mimpi pun tak terbayang olehku bahwa di dunia ini ada orang berilmu silat selihai itu.”

“Kalau engkau saja kagum padanya, maka pasti luar biasa,” ucap Siau-hi-ji.

“Orang itu hanya mengebaskan lengan bajunya, kontan seluruh senjata rahasia kena disampuk balik ke sana, bahkan jauh lebih kuat dari pada datangnya. Tentu saja mereka kaget dan waktu mereka berkelit itulah aku lantas ditarik kabur oleh penolongku itu,” Oh-ti-tu menyengir dan melanjutkan. “Sungguh konyol, aku telah dikempit di bawah ketiaknya dan tak bisa berkutik sama sekali. Tubuh orang itu hanya melejit enteng dan sekaligus sudah mengapung beberapa tombak tingginya laksana orang meluncur di atas awan saja.”

“Wah, ceritamu ini semakin mendewakan orang itu, masa di dunia ini ada manusia sehebat itu,” kata Siau-hi-ji dengan tertawa.

“Sekarang kau tidak percaya, malahan aku yang menyaksikan dengan mata kepala sendiri juga hampir-hampir tidak percaya kepada mataku sendiri,” tutur Oh-ti-tu dengan gegetun. “Namun boleh coba kau pikirkan, kalau ilmu silat orang itu tidak sedemikian tingginya mana dia mampu mengempit diriku di bawah ketiaknya?”

“Betul, orang yang mampu mengempit kau di bawah ketiaknya memang tidak mungkin ada di dunia ini,” ujar Siau-hi-ji.

“Tapi justru ada dan sudah terjadi, bukan?” tukas Oh-ti-tu.

“Dan sekarang tentunya kau sudah tahu siapa gerangannya bukan?”

Sampai di sini To Kiau-kiau lantas ikut bertanya, “Bagaimanakah bentuk orang itu?”

“Perawakan orang itu tidak tinggi besar, tapi memiliki tenaga yang sukar diukur,” jawab Oh-ti-tu. “Hanya sebentar aku terkempit di ketiaknya dan seluruh badanku lantas terasa kaku dan pegal, bergerak saja tidak sanggup.”

“Perawakannya tidak tinggi besar,” keterangan ini membuat To Kiau-kiau merasa lega.

Tapi Siau-hi-ji lantas tanya pula, “Dan bagaimana wajahnya?”

“Dia memakai kedok perunggu hijau yang kelihatan beringas, sepasang matanya melotot laksana hantu, selamanya nyaliku sangat besar, tapi melihat mukanya itu tidak urung aku pun merasa ngeri,” jawab Oh-ti-tu.

Melihat si labah-labah hitam yang misterius itu juga merasa ngeri terhadap wajah orang yang diceritakannya itu, tanpa terasa Siau-hi-ji merinding juga.

“Lalu kau dibawa ke mana dan diapakan?” tanya To Kiau-kiau.

“Aku digondol ke atas bukit, lalu melayang pula ke atas pohon dan ditaruh di atas dahan pohon,” tutur Oh-ti-tu. “Karena badanku kaku dan tak bisa bergerak, pada hakikatnya aku pun tak berani bergerak, khawatir kalau terguling ke bawah pohon.”

“Dan dia bagaimana?” tanya Siau-hi-ji.

“Dia sendiri duduk di suatu dahan pohon dan memandangi aku dengan dingin tanpa bicara. Ranting kayu itu sangat lemas dan ringkih, diduduki anak kecil saja mungkin patah, tapi cara duduknya ternyata sangat enak.”

“Wah benar-benar orang aneh,” ujar Siau-hi-ji dengan gegetun. “Apa orang yang berilmu silat mahatinggi biasanya memang suka berkelakuan aneh-aneh.”

Tio Kiau-kiau berpendapat sebaliknya, ia berkata, “Mungkin dia lagi menunggu ucapan terima kasihmu atas pertolongannya.”

“Tatkala mana meski aku pun bermaksud mengucapkan terima kasih padanya, tapi selama hidupku tidak pernah menerima kebaikan orang lain, betapa pun kata-kata ‘terima kasih’ sukar tercetus dari mulutku,” jawab Oh-ti-tu dengan menyesal.

“Wah, jika begitu mungkin kau bisa celaka,” ujar To Kiau-kiau dengan tertawa.

“Memang betul,” kata Oh-ti-tu. “Setelah menunggu sekian lama, akhirnya dia menutuk dua tempat Hiat-toku dan aku ditinggalkan begitu saja di atas pohon, dia sendiri lantas melayang pergi entah ke mana.” Sampai di sini mendadak ia seperti ingat sesuatu, katanya sambil memandang To Kiau-kiau dengan terbelalak, “Apakah pikiran nona Buyung ini sudah pulih kembali?”

“Hihi, apakah aku tampak sudah pulih kembali -. Aku kok tidak tahu?” jawab To Kiau-kiau dengan nyekikik, habis berkata ia terus berlari pergi secepat terbang.

“Nanti dulu, nona Buyung!” seru Oh-ti-tu terkejut.

Namun To Kiau-kiau tetap lari tanpa berhenti, hanya sekejap saja sudah menghilang di kejauhan.

Oh-ti-tu bermaksud menyusulnya, tapi Siau-hi-ji sempat menariknya, katanya dengan tertawa, “Biarkan saja dia pergi.”

“Tapi dia... mengapa dia....”

“Jangan urus dia, coba ceritakan lagi apa yang terjadi setelah kau ditinggalkan di atas pohon?”

Sorot mata Oh-ti-tu menampilkan rasa bingung, ia termangu-mangu sejenak, akhirnya ia menyambung ceritanya, “Waktu itu angin meniup semakin keras sehingga tubuhku ikut bergoyang-goyang dan dahan pohon itu seakan-akan patah, dalam keadaan tak bisa bergerak sama sekali, sungguh aku menjadi khawatir dan kelabakan.”

“Kalau dia mau menyelamatkan jiwamu, mengapa dia perlakukan kau pula secara begitu?” ujar Siau-hi-ji.

“Cara begitu dia menolong aku, sungguh akan lebih baik kalau dia tidak menolong aku saja,” ujar Oh-ti-tu dongkol. “Hatiku gelisah dan cemas serta gusar pula, kalau bisa akan kupegang dia dan kugigit dia dengan geregetan. Tapi bila teringat pada ilmu silatnya yang mahatinggi itu, selama hidup rasanya jangan kuharap akan dapat menuntut balas.”

“Kemudian cara bagaimana kau turun dari pohon itu?” tanya Siau-hi-ji.

“Selagi kupikir hendak menuntut balas padanya, tiba-tiba orang itu datang lagi, dia seperti tahu akan jalan pikiranku, tiba-tiba ia tanya, ‘Apakah kau pikir hendak menuntut balas padaku?'”

Siau-hi-ji tertawa, katanya, “Apa yang kau pikirkan aku pun dapat melihatnya, sebab meski mulutmu tidak bicara, tapi sorot matamu sudah mengatakan segalanya.”

“Karena isi hatiku dengan tepat kena dibongkar, aku tambah dongkol dan melototinya dengan gemas,” tutur Oh-ti-tu pula. “Kupikir biar pun diriku akan ditendang ke bawah pohon juga lebih baik dari pada tersiksa di atas pohon. Siapa tahu dia malah tertawa, katanya, ‘Sudah kutolong jiwamu, kau tidak berpikir akan balas budi, tapi malah berpikir akan balas dendam?'”

“Lucu juga pertanyaannya,” ucap Siau-hi-ji dengan tertawa.

“Ya, waktu itu pun aku tak bisa menjawabnya. Sakit hati harus kubalas, tapi budi juga harus kubalas, aku si hitam ini mana boleh menjadi manusia yang lupa budi dan ingkar kebaikan. Cuma ilmu silatnya kelihatan tinggi, jelas aku tidak mampu membalas dendam, bahkan ingin membalas budi juga tidak tahu bagaimana jalannya. Untuk membalas budi terkadang ternyata jauh lebih sulit dari pada membalas dendam.”

“Isi hatimu ini mungkin diketahuinya pula?” ujar Siau-hi-ji.

“Persis, memang betul telah diketahuinya pula,” tukas Oh-ti-tu dengan gegetun, “Belum lagi kubicara dia sudah mendahului bersuara pula, ‘Kau tidak tahu cara bagaimana harus membalas budi, bukan?’ Aku hanya mendengus saja tanpa menjawab, maka ia berkata pula, ‘Jika kau dapat mengantarkan surat bagi orang lain, kenapa kau tidak boleh mengantarkan surat bagiku?’ Tanpa terasa aku lantas tanya, ‘Setelah kuantarkan surat bagimu, apa itu berarti aku sudah membalas budimu?’ Dia hanya mengangguk dan mengeluarkan sepucuk surat dan menyuruh aku mengantarkan kepada...Eh, coba terka, kepada siapa surat itu harus kuantar?”

“Wah, aku tak dapat menerkanya,” jawab Siau-hi-ji.

“Surat itu ternyata ditujukan kepada Hoa Bu-koat,” kata Oh-ti-tu.

Mata Siau-hi-ji bercahaya, katanya dengan tertawa, “Aha, cerita ini benar-benar semakin menarik. Ada hubungan apakah antara dia dengan Hoa Bu-koat? Mengapa kau yang disuruh mengantarkan surat itu? Bukankah dia sendiri dapat bicara langsung dengan Hoa Bu-koat.”

“Bisa jadi dia tidak ingin bertemu dengan Hoa Bu-koat,” ujar Oh-ti-tu.

“Seumpama dia tidak ingin bertemu dengan Hoa Bu-koat, dengan Ginkangnya yang mahatinggi itu sekali pun surat itu dia taruh di samping bantal Hoa Bu-koat juga takkan diketahui oleh orang she Hoa itu.”

Setelah berpikir sejenak, akhirnya Oh-ti-tu tertawa geli, katanya, “Haha, jelas-jelas suatu urusan yang sangat sederhana, tapi setelah direnungkan olehmu persoalan lantas berubah menjadi ruwet. Tadinya kurasakan sangat gamblang persoalan ini, setelah mendengar ucapanmu aku menjadi bingung sendiri.”

“Tapi persoalan ini sekali-kali tidak sederhana,” kata Siau-hi-ji.

“Mungkin lantaran dia merasa aku tidak sanggup membalas budi kebaikannya, maka aku disuruh menjadi pengantar suratnya,” ujar Oh-ti-tu.

“Mungkin betul demikian, orang aneh seperti dia itu memang bisa timbul pikiran aneh pula,” ucap Siau-hi-ji setelah berpikir sejenak. “Bahwa kau tidak sudi utang budi padanya, mungkin juga dia tidak ingin mempunyai piutang budi pada orang lain.”

“Betul, aku tidak punya utang, dengan sendirinya juga tidak ingin memberi kredit pada orang lain, kedua pihak sama-sama tidak berutang, hidup begini barulah aman tenteram, bila mana kutahu ada orang ingin membalas budi padaku, tentu pula aku sendiri akan merasa kikuk.”

“Jika demikian, jadi tabiat kalian berdua ternyata sama anehnya, pantas kalau dia mau menolongmu. Tapi mengenai isi surat itu, apakah kau membacanya?”

“Buset, memangnya kau kira aku si hitam ini suka mengintip surat orang lain?” omel Oh-ti-tu. “Setelah dia membuka Hiat-toku, segera pula kuantarkan suratnya kepada Hoa Bu-koat, apa pun yang tertulis di sampul suratnya pun tak kupandang sama sekali.”

“Engkau benar-benar seorang lelaki sejati, tapi setelah membaca surat itu tentunya Hoa Bu-koat memberi reaksi?” tanya Siau-hi-ji.

“Justru lantaran habis membaca surat itu dia lalu bicara secara aneh, makanya buru-buru kucari kau.”

“Apa yang dia katakan?” tanya Siau-hi-ji.

“Dia bilang, meski belum lama kukenal Kang Piat-ho, tapi antara kami sudah cukup ada saling pengertian, mana bisa hanya desas-desus orang lain, lantas kutuduh Kang Piat-ho sebagai orang jahat, Locianpwe ini suka berpikir yang bukan-bukan.”

“He, jika begitu surat orang aneh itu ternyata menyangkut diri Kang Piat-ho, bahkan nadanya seperti minta Hoa Bu-koat mempercayai Kang Piat-ho adalah orang baik-baik,” seru Siau-hi-ji.

“Ya, memang begitulah,” jawab Oh-ti-tu.

“Lantas orang aneh itu pernah apanya Kang Piat-ho? Mengapa dia membela Kang Piat-ho?”

“Sesudah Hoa Bu-koat bicara begitu, selagi hendak kutanya siapakah Locianpwe yang dimaksudkan itu, tiba-tiba ia malah tanya padaku lebih dulu, ‘Kau sungguh beruntung dapat melihat Locianpwe itu, entah bagaimana bentuk beliau, apakah benar-benar selalu memakai topeng perunggu?'”

“O, jadi Hoa Bu-koat sendiri tidak pernah melihat orang aneh itu?”

“Ya, begitulah,” jawab Oh-ti-tu.

“Aneh, jika Hoa Bu-koat tidak pernah melihatnya, memangnya dia mau menurut perkataannya?”

“Aku pun merasa heran, tapi kemudian dapat kuketahui bahwa sebelum Hoa Bu-koat berkelana di dunia Kangouw, dia telah dipesan oleh Ih-hoa-kiongcu agar kelak bila bertemu dengan seorang Tong-siansing (tuan perunggu), maka jangan sekali-kali membangkang perkataannya, apa pun yang dikatakan ‘Tong-siansing’ itu harus diturutnya.”

“Kiranya orang aneh itu bernama ‘Tong-siansing’, sungguh nama sama aneh dengan orangnya!” ucap Siau-hi-ji.

“Konon Ih-hoa-kiongcu memberi pesan pula bahwa Tong-siansing ini adalah tokoh kosen nomor satu di dunia Kangouw dan tiada bandingannya dari dulu kala hingga jaman kini, ilmu silatnya juga sukar diukur, malahan Ih-hoa-kiongcu sendiri mengaku masih berselisih jauh apabila dibandingkan ‘Tong-siansing’ itu.”

“Masa Ih-hoa-kiongcu yang angkuh itu pun bicara demikian?” tergerak juga hati Siau-hi-ji. “Dan kalau Ih-hoa-kiongcu juga demikian tunduk padanya, maka ilmu silat Tong-siansing itu pasti benar-benar sangat menakutkan.”

“Sebab itulah kalau Kang Piat-ho telah mendapatkan bantuan orang kosen seperti Tong-siansing itu, maka tiada setitik harapan pun bagimu untuk mengalahkan Kang Piat-ho.”

Siau-hi-ji mengernyitkan dahi dan berpikir sejenak, tiba-tiba ia berkata pula dengan tertawa, “Tapi menurut pendapatku, tokoh macam Tong-siansing itu pasti takkan turun tangan sendiri, kalau dia mau tampil ke muka tentu dia takkan menulis surat kepada Hoa Bu-koat dan lebih-lebih takkan menyuruhmu mengantarkan suratnya.”

“Namun Hoa Bu-koat jelas sangat tunduk kepada segala kehendak Tong-siansing, maka kelak dia juga pasti akan membela Kang Piat-ho sepenuh tenaga, dengan bantuan tokoh seperti dia, tentu kau akan bertambah kepala pusing menghadapi Kang Piat-ho.”

“Kukira tidak menjadi soal bagiku,” ucap Siau-hi-ji dengan tersenyum hambar.

Oh-ti-tu memandang Siau-hi-ji dengan tajam, sejenak kemudian mendadak ia berkata, “Sampai berjumpa kelak!”

“He, hendak ke mana kau?” tanya Siau-hi-ji.

“Aku sudah membalas budi, tapi belum lagi membalas dendam!”

“Apa katamu? Maksudmu hendak mencari Tong-siansing itu untuk menuntut balas?”

“Ya, memangnya tidak boleh?”

“Tapi... tapi ilmu silatnya....”

“Kalau ilmu silatnya lebih tinggi dari padaku lantas aku tidak berani menuntut balas padanya? Memangnya aku si hitam ini hanya berani pada yang lemah dan takut pada yang kuat?”

“Tapi sudah jelas kau bukan tandingannya!”

“Bukan tandingannya juga akan kuhantam dia, kalau tidak sanggup melawannya biar aku mengadu jiwa dengan dia. Siapa yang telah menelantarkan aku di atas pohon, betapa pun aku akan membuatnya tidak enak tidur.”

Sambil berteriak segera pula ia lari pergi secepat terbang.

Siau-hi-ji menggeleng kepala, gumamnya, “Tabiat orang ini sungguh aneh dan kepala batu, tapi di sini pula letak sifat menarik orang ini.”

Sekarang dalam benak Siau-hi-ji telah bertambah pula tiga tanda tanya yang belum terjawab.

Pertama, ke manakah perginya Buyung Kiu asli itu?

Kedua, kejadian gawat apa yang timbul di Ok-jin-kok sana?

Ketiga, orang macam apakah ‘Tong-siansing’ itu sesungguhnya? Apa pula hubungannya dengan Kang Piat-ho? Mengapa dia berkeras menyatakan Kang Piat-ho adalah orang baik?

Sementara itu hari sudah terang, Siau-hi-ji menanggalkan kedoknya. Di siang hari dia tidak suka menyaru dalam bentuk Li Toa-jui. Sambil garuk-garuk kepala ia meninggalkan hutan itu, beberapa tanda tanya tadi membuat kepalanya pusing. Baru sekarang inilah ia merasa tidak mudah untuk menjadi “orang pintar nomor satu di dunia.”

Ia menggeleng kepala dan menyengir sendiri, gumamnya, “Jika ada orang yang ingin menjadi ‘orang pintar nomor satu di dunia’, bisa jadi ia sendiri justru adalah si tolol nomor satu di dunia.”

Orang berlalu lalang di jalanan sudah mulai banyak, tapi sembilan di antara sepuluh orang itu dari barat menuju ke timur, bahkan tampaknya adalah kawan-kawan Kangouw, ada yang pakai pita hitam di lengan baju, ada yang kelihatan bersemangat dan gembira sambil bercakap sepanjang jalan dan entah apa yang dibicarakan.

Siau-hi-ji tahu orang-orang ini kebanyakan adalah kawan-kawan yang melayat ke Thian-hiang-tong, pita hitam di lengan baju adalah tanda berkabung bagi Thi Bu-siang. Tapi sekarang mereka hendak menuju ke mana? Mengapa rata-rata kelihatan bersemangat dan bergembira, apa pula yang dibicarakan mereka? Inilah yang membuat Siau-hi-ji terheran-heran.

Pada saat itulah, sekonyong-konyong ada sebuah kereta kuda berbentuk aneh dan terpajang dengan mewah dihalau tiba terus berhenti mendadak di depan Siau-hi-ji. Waktu pintu kereta terbuka, seorang melongok dan berseru, “Lekas naik kemari!”

Cahaya matahari menyinari wajah orang itu, mukanya cantik, tapi kulitnya kasap, kiranya To Kiau-kiau yang telah menyamar sebagai Buyung Kiu itu. Betapa pun mahirnya orang merias kulit badan, setelah menyamar tentu kelihatan rada kasap, cuma kalau tidak diperhatikan dengan cermat memang tiada orang yang tahu.

Tanpa pikir Siau-hi-ji terus melompat ke atas kereta, dilihatnya kamar kereta itu terpajang sangat mentereng, joknya tebal dan empuk serta luas pula, rasanya enak sekali duduk di situ.

“Wah, engkau benar-benar mahasakti, entah dari mana engkau mendapatkan kereta sebagus ini?” tanya Siau-hi-ji.

To Kiau-kiau tidak menjawab, sebaliknya ia balas tanya, “Sudah lama kutunggu kau mengapa baru sekarang keluar dari sana, apa yang kau bicarakan dengan Oh-ti-tu itu?”

“Kami asyik membicarakan seorang yang di sebut ‘Tong-siansing’, apakah pernah kau dengar nama ini?”

Tiba-tiba To Kiau-kiau menegas, “He, jadi orang aneh yang menolongnya itu adalah ‘Tong-siansing’ yang dimaksud?”

“Kau tahu orang aneh itu?” tanya Siau-hi-ji.

To Kiau-kiau seperti tercengang, tapi cepat ia berteriak, “Tidak, aku tidak tahu orang aneh itu, belum pernah kudengar namanya.”

Meski tidak dapat melihat air mukanya yang asli, tapi dari nada ucapannya Siau-hi-ji yakin To Kiau-kiau pasti menyembunyikan sesuatu. Tapi kalau To Kiau-kiau tidak mau menjelaskan sesuatu urusan, maka siapa pun jangan harap akan mampu memaksanya bicara.

Siau-hi-ji kenal watak orang ini, ia pun tidak tanya lebih lanjut, dilihatnya kereta ini pun dilarikan ke timur, jurusan yang sama seperti kawan-kawan Kangouw itu.

“Orang-orang ini tampaknya tergesa-gesa menuju ke sana, entah ada urusan apa?” tanya Siau-hi-ji.

“Menonton keramaian,” jawab To Kiau-kiau.

“Wah, aku pun suka menonton keramaian, entah menarik tidak tontonan itu?”

“Kalau anak murid suatu golongan yang berilmu silat paling tinggi di dunia ini bertarung dengan kelompok Kang Piat-ho yang berkedudukan tinggi dan berpengaruh, coba bayangkan, bakal ramai apa tidak?”

“He, jangan-jangan Hoa Bu-koat lawan para menantu keluarga Buyung?” tanya Siau-hi-ji.

“Siapa bilang bukan?” To Kiau-kiau tertawa.

“Jangan-jangan juga lantaran urusan Kang Piat-ho?”

“Kalau bukan urusan ini, habis urusan apa lagi?” To Kiau-kiau tersenyum dan menyambung pula, “Mula-mula Lamkiong Liu dan Cin Kiam mencari Kang Piat-ho untuk membikin perhitungan, tapi Hoa Bu-koat berani menjamin Kang Piat-ho adalah orang baik-baik dan bersih, karena kedua pihak sama-sama ngotot, terpaksa harus diselesaikan dengan adu Kungfu. Manusia di mana-mana sama saja, baik dia orang terhormat atau kuli pikul di tepi jalan, kalau sudah marah dan kalap, maka jalan penyelesaian yang terbaik adalah berkelahi.”

“Menarik juga pertarungan ini,” terbeliak mata Siau-hi-ji, “Cuma persoalan ini baru terjadi pagi tadi, mengapa sudah diketahui orang sebanyak ini?”
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar