Bakti Pendekar Binal Jilid 14

Akan tetapi Buyung Kiu tidak tahu sama sekali, dengan tersenyum dia menjawab, “Ya, dia pasti akan mencariku lagi nanti.”

“Apa... apa lagi yang dia katakan padamu?”

Mata Buyung Kiu yang sayu itu tiba-tiba bercahaya, jawabnya dengan tertawa, “Dia mengatakan juga bahwa aku ini perempuan pintar, asalkan aku menurut perkataannya, maka setiap hari dia akan mendampingiku. Dengan sendirinya aku akan menurut padanya, aku memang harus menurut perkataannya, betul tidak?”

“Tid...tidak, tidak!” mendadak Samkohnio menjerit dengan parau.

Buyung Kiu jadi melengak, ucapnya dengan setengah bergumam, “Kenapa tidak?”

Teriak Samkohnio seperti harimau meraung, “Sebab sama sekali kau tidak pintar, sedikit pun tidak cantik, kau cuma seorang gila yang bermuka buruk, tidak mungkin dia menyukaimu.”

Setelah melengong sejenak, akhirnya air mata Buyung Kiu berlinang-linang, katanya kemudian dengan terputus-putus, “Tidak, kau... kau bohong, kau dusta!”

Sorot mata Samkohnio yang sesungguhnya bijak itu tiba-tiba memancarkan sinar jahat, teriaknya, “Coba pikir, orang baik seperti dia mana bisa menyukai orang gila macam kau?”

Akhirnya Buyung Kiu tidak tahan dan menangis keras-keras, teriaknya sambil mendekap mukanya, “Bukan, aku bukan orang gila...aku bukan orang gila....”

“Kalau bukan orang gila, coba jawab, tahukah siapa dirimu?”

“Aku... aku....” sedapatnya Buyung Kiu mengingat-ingat, tapi tetap tidak ingat siapa dirinya, dia merasa kepalanya mendadak sakit seakan-akan pecah, ia pukul kepalanya sendiri dengan keras sambil menjerit, “O, kumohon jangan...janganlah katanya siapa diriku, aku tidak... tidak tahu....”

“Seorang kalau tidak tahu siapa diri sendiri, lalu apa kau bukan orang gila?” jengek Samkohnio.

Sekonyong-konyong Buyung Kiu berteriak dengan histeris, “Aku orang gila... dia tidak suka padaku... dia tidak suka padaku....” di tengah teriaknya itu dia terus berlari pergi sambil menangis.

Samkohnio tidak mencegah, dia pandang bayangan nona linglung itu menghilang di kejauhan, habis itu dia menghela napas lega, gumamnya, “Pergilah, pergilah sejauh-jauhnya agar selamanya dia takkan menemukan dirimu....” Tanpa terasa tersembul senyuman kemenangannya yang kejam.

Nona besar yang biasanya berhati baik itu sekarang ternyata tega berbuat sekejam itu, soalnya dia anggap demi untuk mendapatkan lelaki yang dicintainya, apa pun yang diperbuatnya adalah wajar, adil, tidak mungkin orang menyalahkan tindakannya itu.

Nyata, betapa pun sempurna dan rapi rencana yang telah diatur dan telah mulai dilaksanakan Siau-hi-ji itu, akhirnya dia toh melupakan sesuatu. Dia lupa bahwa di dunia ini mutlak tiada perempuan yang tidak cemburu.

Dia lupa bahwa hati perempuan kebanyakan mudah berubah, dia lupa bahwa janji perempuan baru dapat bertahan apabila janji itu masih menguntungkan perempuan itu.

Kalau perempuan dapat mempertahankan janji sendiri tanpa syarat, rasanya inilah baru keajaiban benar-benar.

Seorang lelaki kalau kebetulan melupakan pasal ini, maka biar pun apa yang diperbuatnya tentu takkan berhasil, kecuali dia memang lagi mujur.....

********************

Sementara Siau-hi-ji sedang menunggu dengan tenang di tempat yang gelap, tapi selama itu belum terlihat seorang pun, di luar kota yang sepi dengan sendirinya tidak terdengar tanda-tanda waktu, maka ia pun tidak tahu saat itu sudah tiba waktunya atau belum.

Namun Siau-hi-ji masih bisa bersabar, sebab dia yakin orang-orang itu mau tidak mau pasti datang, cuma caranya menunggu tanpa mengetahui waktu memang membuatnya kesal.

Akhirnya terdengarlah ada suara di kejauhan. Siau-hi-ji terbangkit, pikirnya, “Yang datang lebih dulu ini entah siapa? Meski kedua kelompok ini sama-sama gelisahnya, tapi Kang Piat-ho mungkin lebih mampu menahan perasaannya, jadi sepantasnya yang datang lebih dulu adalah Cin Kiam.”

Terdengar di antara suara itu bercampur pula dengan suara kereta serta ringkik keledai.

“Yang datang ini ternyata betul rombongan Cin Kiam, malahan mempergunakan kereta untuk mengangkut 80 laksa tahil perak itu,” demikian Siau-hi-ji membatin.

Tapi setelah direnungkan lagi, tiba-tiba ia merasakan gelagat tidak beres.

Cin Kiam dan Lamkiong Liu itu adalah putra keluarga bangsawan dan hartawan, kalau menggunakan kereta pengangkut tentunya pakai kereta kuda, tidak mungkin kereta keledai yang tidak dapat lari cepat itu.

Supaya maklum, biar pun Siau-hi-ji ini anak dugal, mbeling, tapi menghadapi suatu persoalan dia dapat berlaku hati-hati, cermat, sedikit keganjilan saja tidak dapat mengelabui dia.

Dengan sendirinya semua ini adalah berkat pengaruh lingkungan. Sejak dia dibesarkan di Ok-jin-kok, setiap hari dia bergaul dengan kawanan penjahat yang tidak ada taranya dan paling terkenal di dunia ini, tentu saja menghadapi sesuatu dia harus lebih hati-hati, sebabnya beberapa kali dia lolos dari kematian sesungguhnya juga bukan lantaran nasib mujur melulu.

Maklumlah, orang yang selalu berhati-hati pasti juga akan hidup lebih awet dari pada orang lain.

Dalam pada itu kereta sudah dalam jarak pandangnya. Yang datang ternyata bukan kelompok Cin Kiam dan Lamkiong Liu, tapi juga bukan kelompok Kang Piat-ho, akan tetapi yang muncul itu adalah beberapa orang perempuan udik yang berambut semrawut dan berbaju seperti umumnya kalau orang berkabung. Yang termuat di atas kereta itu pun bukan harta benda melainkan peti mati.

Siau-hi-ji melengak, sungguh sukar dimengerti bahwa mendadak bisa muncul pihak yang tak bersangkutan ini, untuk apakah tengah malam buta kawanan perempuan desa ini datang ke sini dengan membawa peti mati?

Terlihat beberapa perempuan itu langsung masuk ke Sutheng, semua lantas berlutut di lantai dan menangis sedih. Salah seorang yang berada paling kiri sana sembari menyembah sambil sesambatan, “O, Kongkong (bapak mertua) yang berada di alam baka, bila mana arwahmu maklum, sudilah engkau memberi keadilan padaku. Aku telah menjanda puluhan tahun bagi keluargamu, dengan susah payah akhirnya putra yatim kubesarkan dengan harapan dia akan berbakti padaku agar hidupku selanjutnya tidak sengsara lagi, siapa tahu putra yatim satu-satunya ini telah dicelakai orang, coba, hidupku selanjutnya lantas bagaimana?”

Perempuan ini tampaknya berusia setengah abad, meski memakai baju berkabung, tapi kelihatan prihatin dan terhormat, hal ini terbukti di sebelahnya seorang perempuan lain sedang mengurut-urut punggungnya sambil membujuk, “Ih-naynay (nyonya muda, sebutan untuk istri muda) janganlah engkau menyusahkan diri sendiri, kalau engkau terlalu berduka dan juga meninggal, maka harta warisanmu seluruhnya akan jatuh ke tangan orang lain, buat apa engkau menyusahkan diri sendiri dan malah membikin senang orang lain.”

Dengan menangisnya perempuan di sebelah sini, agaknya perempuan di sebelah sana juga tidak mau kalah, segera ia pun menangis sedih dan berseru, “O, Kongkong dan Popo yang telah meninggal, apabila arwah kalian mengetahui maka kalian harus membantu menantumu ini untuk merobek mulut perempuan hina itu. Meski anak itu bukan aku yang melahirkan, tapi apa pun juga darah daging keluarga kita dan kalau mau dianggap anak keluarga kita kan juga terhitung anakku pula. Sedang perempuan hina itu datangnya tidak terang, bicaranya tidak jelas, terhitung keluarga apa? Dia memfitnah aku, tujuannya tidak lain hanya ingin mengangkangi harta warisan saja.”

Perempuan sebelah kanan ini lebih tua, mukanya juga lebih jelek, badan kurus, kulit keriput, tapi suaranya ternyata lebih nyaring dari pada yang lain.

Segera seorang perempuan yang berusia lebih muda di sampingnya ikut menangis dan membujuk, “Toa-nay-nay (nyonya besar, sebutan istri pertama), janganlah engkau menyiksa badan sendiri, kita semua bermata, betapa pun takkan tinggal diam membiarkan perempuan jahat itu mengangkangi harta warisan.”

Setelah mengikuti tangisan mereka, diam-diam Siau-hi-ji dapat memahami duduknya perkara. Tampaknya kedua perempuan yang sahut menyahut itu masing-masing adalah istri kawin dan istri muda, suami mereka sudah lama mati, hanya mempunyai seorang putra yang dilahirkan istri muda.

Dalam masyarakat kuno yang mementingkan keturunan anak laki-laki, karena istri tua tidak mempunyai anak, istri muda jadi ikut bahagia lantaran dapat melahirkan anak laki-laki bagi keluarganya, bisa jadi kekuasaannya jadi lebih besar dari pada istri tua.

Tapi ketika anak itu mendadak mati, rasa mendongkol istri tua segera meledak dan bermaksud mengusir istri muda. Karena itulah lantas istri muda menuduh anaknya dibunuh oleh istri tua dan berbalik hendak memaksa istri tua pergi dari rumah mereka. Masing-masing pihak menganggap benar sendiri, maka tengah malam buta mereka telah datang ke Sutheng atau rumah abu leluhur mereka ini.

Bahwa mereka akan saling labrak di Sutheng ini adalah urusan mereka, celakanya mereka justru datang pada tengah malam buta ini. Sungguh tak pernah terpikir oleh Siau-hi-ji bahwa kejadian ini bisa sedemikian kebetulan. Diam-diam dia merasa mendongkol tapi juga geli sendiri, sungguh ia ingin menghalau pergi kawanan perempuan itu.

Namun jelek-jelek Sutheng itu adalah rumah abu keluarga mereka sendiri, apa lagi Siau-hi-ji juga khawatir bila saja dia unjuk diri sekarang, kalau mendadak Kang Piat-ho dan lain-lain juga muncul, kan bisa runyam?

Selagi Siau-hi-ji mengumpat di dalam hati, sekonyong-konyong dilihatnya beberapa sosok bayangan hitam melayang tiba, semua berpakaian hitam ketat, bahkan juga berkedok hitam.

“Itu dia Kang Piat-ho!” berdebar jantung Siau-hi-ji.

Beberapa perempuan itu masih menangis terus, dan bertengkar sendiri, sama sekali mereka tidak tahu bahwa di dalam Sutheng itu bertambah beberapa orang. Beberapa orang berbaju hitam itu pun berdiri saja di situ tanpa bersuara.

Terlihat Toa-nay-nay dan Ih-nay-nay itu masih saling mencaci, sekarang mereka tidak lagi bertengkar, tapi saling menuding dan memaki secara langsung.

“Kau perempuan hina dina,” demikian istri tua itu mendamprat sambil tunjuk hidung sang istri muda, “Berkat potonganmu yang mirip siluman kau memikat suamiku sehingga mati, sekarang anakmu juga sudah mati, itu namanya kualat, kenapa kau malah memfitnah dan menyalahkan aku?”

Sudah tentu istri muda itu tidak mau kalah, kontan ia pun balas memaki, “Kau ini siluman tua yang suka minum cuka, lebih baik kau bercermin dulu dengan air kencingmu, tapi kau lebih suka cemburu dan bersaing dengan orang lain. Suamiku justru mati gemas lantaran tingkah polahmu.”

“Memangnya siapa suamimu? Huh, tidak tahu malu, suami orang diaku-akui,” damprat istri tua dengan gusar.

“Kau sendiri tidak tahu malu,” balas istri muda, “sudah ditiduri sekian tahun, jangankan anak, kentut saja tidak keluar. Jika tidak ada aku, huh, yang meneruskan keturunannya saja tidak ada.”

Nyata istri muda ini lebih tajam lidahnya, cara berolok-olok juga lebih kena, keruan istri tua menjadi gemetar saking murkanya, sekonyong-konyong ia menubruk maju, “plak,” kontan ia tampar muka istri muda.

Sudah tentu sang istri muda tidak terima, segera ia memaki, “Bagus, kau berani memukul orang, biar kuadu jiwa denganmu!” Berbareng ia pun balas menjambak rambut sang istri tua, keduanya lantas bergumul.

Beberapa perempuan yang berusia lebih muda di sebelah mereka cepat hendak melerai, tapi akhirnya mereka pun kena digampar sana-sini, yang memisah itu jadinya ikut berkelahi dengan lebih sengit.

Begitulah beberapa perempuan itu lantas saling jambak dan saling betot, beberapa orang bergumul menjadi satu dan akhirnya terguling-guling di lantai, makin berguling makin mendekat ke arah beberapa orang berbaju hitam itu, mereka seperti sudah kalap, jelas di dekat mereka berdiri orang-orang berbaju hitam, tapi seakan tidak melihatnya.

Beberapa orang berbaju hitam itu pun aneh, mereka menyaksikan perkelahian kawanan perempuan itu dengan acuh, dianggapnya seperti tontonan murahan saja.

Pada saat itu juga, tiba-tiba terdengar serentetan suara mendesing, berpuluh sinar hitam mendadak menyambar keluar dari onggokan kawanan perempuan yang sedang bergumul itu.

Senjata rahasia sebanyak itu menyambar dengan cepat lagi keji, seketika beberapa orang berbaju hitam itu terkurung di bawah ancaman dan tampaknya tiada satu pun bisa menghindarkan diri.

Sejak tadi Siau-hi-ji memang sudah merasakan gelagat tidak beres. Meski rambut kawanan perempuan itu semrawut tak teratur, kulit muka mereka pun kasar dan keriput, tapi tangan mereka kelihatan putih halus, jari jemari pun lentik terpelihara.

Setelah menemukan titik yang mencurigakan ini, seketika mata Siau-hi-ji terbeliak, pikirnya, “Para nona keluarga Buyung memang lihai, tampaknya Kang Piat-ho pasti akan terjebak sekali ini.” Dan baru saja berpikir, pada saat itulah senjata rahasia tadi lantas dihamburkan. Di luar dugaan, ternyata orang-orang berbaju hitam itu pun sudah memperhitungkan akan kemungkinan ini. Begitu senjata rahasia musuh menyambar tiba, serentak mereka pun mengapung ke atas, “creng,” pedang dan golok segera mereka lolos, dari atas segera mereka menerjang kawanan perempuan itu.

Kawanan perempuan ternyata tiada satu pun yang lemah, serentak mereka menjatuhkan diri ke lantai dan menggelinding ke samping sehingga serangan musuh terelakkan, waktu mereka melompat bangun, tangan masing-masing ternyata sudah bertambah sejenis senjata.

Si baju hitam yang menjadi kepala mendengus, “Hm, perempuan konyol, berani main gila di depanku, memangnya kalian sangka kami mudah dijebak? padahal kami sebelumnya sudah menyelidiki Sutheng ini sudah tidak ada ahli warisnya, keturunannya sudah putus dan mati ludes. Siapa kalian dan untuk apa kalian datang ke sini? Kalau tidak mengaku terus terang, hm, jangan harap kalian dapat pergi dengan hidup.”

Diam-diam Siau-hi-ji mengakui kelicinan Kang Piat-ho, terhadap sesuatu persoalan, sebelum bertindak tentu diselidikinya dengan teliti.

Maka terdengar Toa-nay-nay tadi menjengek, “Hm, untuk apa kami datang ke sini, masakah tidak tahu?”

Jawaban ini sebenarnya wajar dan sederhana, tapi bagi si baju hitam yang banyak tipu akalnya dan suka berpikir mendalam, ucapan yang sederhana itu baginya menjadi sangat ruwet dan luas artinya, apa lagi persoalan ini menyangkut suatu partai harta benda yang bernilai besar serta nyawa Kang Giok-long.

Kedatangannya sendiri dengan menyerempet bahaya justru mengenai kedua persoalan penting itu. Kalau dia datang untuk itu, mana boleh dia menyatakan “tahu,” ini sama saja dia mengakui bahwa harta kiriman itu memang dirampas olehnya. Bila mana lawan sengaja memasang jeratan untuk memancing pengakuannya, maka ini berarti dia telah terjebak pula.

Melihat lawan ragu-ragu tak berani menjawab, mau tak mau para perempuan menjadi curiga, si Toa-nay-nay dan Ih-nay-nay saling memberi tanda, lalu Ih-nay-nay membuka suara, “Siapa kau sesungguhnya? Memangnya kedatanganmu ini bukan karena surat itu?”

Si baju hitam tidak sangsi lagi kini, jengeknya, “Kalau bukan soal itu masakah aku bisa datang ke sini?”

“Jika begitu, jadi pasti kau menghendaki harta itu?” tanya Ih-nay-nay.

Si baju hitam tambah mantap, jawabnya dengan bengis, “Bukan saja harta itu, bahkan juga orangnya.”

Air muka Toa-nay-nay rada berubah, tukasnya dengan gusar, “Selain harta juga kau tetap menghendaki orangnya.”

“Ya, dua-duanya, satu pun tidak boleh kurang!”

“Berdasarkan apa kau berani bersikap semena-mena begini?” damprat Ih-nay-nay gusar.

“Berdasar pedangku ini?” jengek si baju hitam.

Kini kedua pihak sama-sama yakin pihak lain adalah sasaran yang hendak dihadapinya, mereka tidak tahu bahwa salah paham mereka semakin dalam, bagi si baju hitam “harta rampasan” dan Kang Giok-long memang sama pentingnya dan tidak boleh berkurang satu pun, sebaliknya kawanan perempuan itu mengira pihak lawan selain menghendaki uang tebusan juga tetap hendak menahan Buyung Kiu.

Begitulah percakapan kedua pihak itu semakin menyenangkan Siau-hi-ji, dia berharap agar mereka akan lekas saling labrak, makin sengit makin baik.

Terlihat Toa-nay-nay dan Ih-nay-nay itu saling mengedip pula, lalu Ih-nay-nay itu berteriak, “Bicara terus terang, harta dan orang jangan kau harapkan, pada hakikatnya kami tidak membawa harta apa pun, tentang orang...jika kau menghendaki orangnya, maka kami menghendaki jiwamu!”

“Kan sudah kukatakan, harta dan orang tidak boleh kurang satu di antaranya, sekarang serahkan dulu hartanya!” jengek si baju hitam itu, diam-diam ia pun memberi tanda kepada kawan-kawan di belakangnya.

Serentak empat orang baju hitam melompat ke sana, kontan keledai penarik kereta itu dibacok terguling. Dua orang di antaranya lantas mengangkat peti mati di atas kereta terus dituang ke bawah, maka terdengar suara gemerencing nyaring, tak terhitung banyaknya potongan perak tertuang dari peti mati itu.

Meski di tengah malam gelap perak-perak itu pun kemilauan menyilaukan mata, beberapa orang berbaju hitam itu sampai melengak kesima, maklumlah selama hidup mereka mana pernah melihat harta sebanyak itu.

“Sudah kukatakan sejak tadi, jangan, kalian coba-coba main gila padaku, memangnya aku mudah ditipu?” seru si baju hitam yang menjadi pemimpin itu dengan bergelak tertawa. Setelah menyaksikan perak-perak ini, nafsu membunuhnya semakin berkobar. Pikir saja, di dunia ini mana ada orang sengaja menyembunyikan harta benda sebanyak itu di dalam peti mati tanpa sebab dan dibawa ke tempat ini. Jelas inilah sebagian dari pada harta yang pernah dirampasnya itu.

Dalam pada itu ia telah memberi tanda pula, beberapa orang berbaju hitam segera hendak menerjang kawanan perempuan itu, pada saat itu juga terdengar serentetan suara mendesing, dari dalam peti mendadak menyambar keluar berpuluh jalur sinar ke arah orang berbaju hitam.

Kontan beberapa orang itu menjerit dan roboh terkapar. Hanya si baju hitam yang menjadi pemimpinnya itu berdiri agak jauh, reaksinya juga cepat, sinar pedang segera berputar sehingga senjata rahasia yang menyambar ke arahnya itu disampuk jatuh. Mau tak mau ia pun terkejut dan gusar pula melihat anak buahnya telah menjadi korban seluruhnya.

“Perempuan keji,” dampratnya gusar, “Kau berani....”

“Hm, terhadap orang keji macam kau ini dengan sendirinya harus juga menggunakan cara keji begini!” jengek si Toa-nay-nay tadi. Bersama kawan-kawannya segera mengepung maju.

“Blang,” mendadak dasar peti mati bergetar mencelat, seorang telah melompat keluar pula dan berdiri di belakang si baju hitam, bentaknya dengan suara bengis, “Apa lagi yang hendak kau katakan?”

Meski terkepung di tengah, namun si baju hitam sedikit pun tidak gentar, sebaliknya ia malah menjengek, “Hm, rapi juga tindak tanduk kalian, agaknya aku teramat menilai rendah kemampuan kalian. Tapi masih agak terlalu pagi kalau sekarang kalian sudah merasa senang.”

Orang yang melompat keluar dari peti mati itu berpakaian ketat, bertubuh ramping, mukanya masih terselubung sehelai sutera tipis, tapi sekali pandang Siau-hi-ji lantas mengenalnya sebagai Siau-sian-li.

Mungkin watak Siau-sian-li terkenal berangasan, juga tidak pintar pura-pura menangis, maka kawan-kawannya menyuruh dia bersembunyi di dalam peti mati agar tindakan mereka tidak diketahui musuh.

Sudah sekian lamanya dia tersekap di dalam peti mati dengan rasa mendongkol yang tak terlampiaskan, kini sudah berhadapan dengan musuh, kontan pedang menusuk ke punggung si baju hitam sambil membentak, “Tidak perlu membacot, serahkan nyawamu.”

Si baju hitam tidak menoleh, pedangnya menangkis ke belakang dan ditarik ke atas, hampir saja pedang Siau-sian-li terlepas dari cekalan.

Setelah tangannya tergetar linu pegal barulah Siau-sian-li tahu si baju hitam ternyata bukan lawan lemah, ia terkejut dan gusar, bentaknya, “Keparat, sudah dekat ajalmu masih berani berlagak.”

Sekali putar pedangnya, si baju hitam mundur ke pojok dinding, lalu menjengek, “Hm, yang dekat ajal itu siapa? Bolehlah kalian lihat saja nanti!”

Tanpa terasa semua orang mengikuti arah sinar mata si baju hitam, tertampak di sekeliling Sutheng itu sudah bertambah sekawanan orang berbaju hitam, semuanya memegang busur dan anak panah siap dibidikkan, bahkan di antara lubang dinding dan celah-celah pintu juga kelihatan ujung anak panah yang gemerlapan.

Keruan kawanan perempuan terkejut, meski ilmu silat mereka tergolong kelas tinggi, tapi menghadapi barisan pemanah demikian, biar pun tokoh dunia persilatan paling terkemuka juga rada-rada gentar.

Segera si baju hitam menjengek, “Di sekitar Sutheng ini sudah siap ratusan pasang busur yang kuat, bila mana kuhitung sampai tiga dan kalian tidak meletakkan senjata serta menyerahkan diri, maka bagaimana akibatnya dapat kalian bayangkan sendiri.”

Barisan pemanah sebanyak itu, jika mereka terbagi dalam dua-tiga regu dan memanah secara sambung menyambung, maka betapa pun sukar untuk ditahan biar pun jago kelas wahid sekali pun. Dengan sendirinya kawanan perempuan itu pun tahu akan hal ini, andaikan ada satu-dua orang dapat meloloskan diri, tapi selebihnya pasti akan terkubur di rumah abu ini.

Maka mereka lantas berkumpul menjadi satu untuk berunding, dari sikap Siau-sian-li dan Ih-nay-nay, tampaknya mereka berpendirian akan melabrak musuh apa pun risikonya, tapi si Toa-nay-nay tampak mencegah mereka.

Si baju hitam mengikuti kasak-kusuk kawanan perempuan itu, kemudian tiba-tiba ia mulai menghitung, “Satu -.”

“Bagaimana kalau kami memberikan harta dan orangnya?” tiba-tiba seru si Toa-nay-nay.

Si baju hitam menjawab dengan ketus, “Lebih dulu orangnya di....”

Belum habis ucapannya, sekonyong-konyong terdengar jeritan ramai, beberapa orang baju hitam yang berada di luar Sutheng itu mendadak roboh terjungkal, barisan pemanah yang mengepung dengan ketat seketika kacau balau.

Cepat si Ih-nay-nay berteriak, “Sam-moay, Cing-moay, ayolah turun tangan, tunggu apa lagi!”

Di tengah teriakan itu, sinar pedangnya berkelebat terus menusuk ke arah si baju hitam.

Rupanya Siau-hi-ji tidak tinggal diam, setelah sekian lamanya kedua belah pihak belum lagi saling labrak seperti ada yang diharapkannya, apa lagi dilihatnya ada kecenderungan kedua pihak akan berunding, maka ia harus cepat-cepat bertindak, kalau tidak pasti muslihatnya akan terbongkar. Berpikir demikian, segera beberapa biji kerikil yang sudah dipersiapkan dihamburkannya.

Betapa kuat tenaga Siau-hi-ji sekarang, biar pun sepotong batu kecil juga sukar ditahan oleh orang-orang itu, serentak belasan orang telah tersambit batu kerikil hingga kepala pecah dan darah bercucuran serta bergelimpangan di tanah, tapi tiada seorang pun yang tahu dari mana datangnya senjata rahasia itu.

Sementara itu pedang Ih-nay-nay tadi dalam sekejap saja sudah melancarkan belasan kali serangan, meski orang perempuan, tapi ilmu pedangnya ternyata sangat ganas dan tidak kalah tangkasnya dari pada jago pedang yang pernah malang melintang di dunia Kangouw.

Diam-diam si baju hitam tadi terkejut oleh serangan pedang lawan yang hebat dan tanpa kenal ampun ini, bahkan tampaknya tidak gentar untuk gugur bersama. Apa lagi si Toa-nay-nay masih menunggu di samping dengan pedang terhunus, agaknya tiada maksud mengerubutnya.

Padahal perempuan melawan lelaki betapa pun juga kalah tenaga, jika pihak perempuan main keroyok juga takkan dicemoohkan orang Kangouw. Tapi Toa-nay-nay tetap menjaga harga diri dan tidak sudi main kerubut, perempuan yang berwibawa sedemikian sungguh jarang ada di dunia Kangouw.

Makin dilihat makin heran si baju hitam, makin dipikir juga makin terkejut. Yang lebih membuatnya terkesiap adalah kedua perempuan lain yang berdandan sebagai pelayan, cara mereka menyambitkan senjata rahasia ternyata sangat jitu, asalkan tangannya bergerak, seketika satu-dua orang di luar sana menjerit dan roboh.

Siau-hi-ji juga sudah menerjang keluar sejak tadi, ratusan laki-laki berseragam hitam itu kini sudah tersisa empat sampai lima puluh orang saja, untuk menjaga diri saja repot, jangankan hendak melepaskan panah.

Sungguh senang Siau-hi-ji menyaksikan pertarungan seru ini, sudah beberapa kali dikibuli Kang Piat-ho, baru sekarang rasa dendamnya itu sedikit terlampias.

Setelah belasan gebrak lagi, pedang si Ih-nay-nay bertambah cepat dan keji, setiap serangannya tidak pernah meninggalkan tempat mematikan di tubuh si baju hitam, malahan ujung pedangnya selalu mengincar tenggorokan lawan.

Melihat keadaan ini, orang lain tentu menganggap Ih-nay-nay itu sudah berada di atas angin. Tiada yang tahu bahwa si baju hitam justru sangat licin, sambil bertahan dia justru sedang memeras otak memikirkan sebab musabab kejadian ini.

Setelah paham duduk perkaranya, mendadak ia bergelak tertawa, dengan lurus pedangnya terus menabas.

Seketika Ih-nay-nay itu merasakan pedang lawan yang tampaknya mengambang itu membawa daya tekanan yang mahaberat, belum tiba pedangnya suatu arus kekuatan sudah membanjir tiba lebih dulu, untuk menghindar ternyata tidak keburu lagi, terpaksa ia angkat pedang menangkisnya.

Meski pun ilmu pedangnya cukup ganas, akan tetapi tenaga dalamnya selisih jauh kalau dibandingkan si baju hitam, apa lagi tebasan si baju hitam itu menggunakan sepenuh tenaga.

Agaknya tadi Ih-nay-nay rada meremehkan ilmu silat si baju hitam, kini setelah merasakan gelagat jelek, namun sudah terlambat, biar pun menyadari keadaan rada gawat, terpaksa ia harus mengadu tenaga sebisanya.

Toa-nay-nay itu pun dapat melihat gelagat jelek, dengan khawatir cepat ia berseru, “Awas, jangan mengadu tenaga dengan dia!”

Meski dia tidak sudi main keroyok, tapi kini keadaan sangat mendesak, tanpa pikir lagi ia terus menubruk maju, dibarengi bentakan pedangnya terus memapak ke depan.

“Creng,” terdengar suara nyaring disertai percikan lelatu api. Toa-nay-nay dan Ih-nay-nay berdua melawan satu dan ternyata tenaga mereka tetap kalah kuat, setengah badan mereka sama merasa kaku kesemutan, pedang mereka pun hampir terlepas dari pegangan.

Diam-diam Siau-hi-ji menggerutu, “Kawanan budak ini sungguh konyol, tidak menggunakan kepandaian andalan sendiri, sebaliknya malah mengadu tenaga dengan lawan, kan mencari penyakit namanya?”

Terlihat Toa-nay-nay dan Ih-nay-nay itu segera melompat ke samping hingga mepet dinding, tapi mereka tidak menjadi gugup, diam-diam sebelah tangan mereka sudah menyiapkan senjata rahasia.

Ginkang dan Am-gi keluarga Buyung sangat terkenal di dunia persilatan, bila mana si baju hitam kemaruk akan kemenangan dan memburu maju, bisa jadi ia akan celaka sendiri oleh serangan Am-gi lawan. Di luar dugaan ia hanya berhenti di tempatnya, serunya dengan tertawa lantang, “Hari ini aku tidak minta apa-apa kepada kalian, baik harta mau pun orang, sekarang juga kumohon diri!” Sembari bicara ia terus melangkah mundur.

Tindakan ini sungguh di luar dugaan Siau-hi-ji, Toa-nay-nay dan Ih-nay-nay pun terheran-heran, jelas pihak lawan sudah unggul, mengapa tidak menggempur lebih lanjut, sebaliknya malah mengundurkan diri.

“Tadi kau mendesak orang mati-matian, sekarang malah mau pergi begini saja, sebab apa sebenarnya?” tanya Ih-nay-nay.

“Tadi aku tidak tahu kalian ini siapa, jika kupergi begitu saja tentu kelak tidak mudah mencari kalian, dengan sendirinya tadi aku tak mau pergi secara begini,” jawab si baju hitam dengan tertawa.

“Dan sekarang?” tanya pula si Ih-nay-nay.

“Sekarang keadaan sudah berubah,” jawab si baju hitam. “Para nona keluarga Buyung punya nama dan alamat jelas, biar pun sekarang kugagal mendapatkan barangku, memangnya kelak aku tak dapat berkunjung ke kediaman kalian?”

“Maksud kau telah mengetahui asal-usul kami?” tanya Ih-nay-nay dengan melengak.

“Jikohnio (nona kedua) keluarga Buyung memang terkenal dengan ilmu pedangnya yang hebat, kalau hal ini tak dapat kukenali sama saja aku ini orang buta,” ucap si baju hitam.

Mendadak Ih-nay-nay itu menarik rambutnya dan mengeletek kedoknya, tertampaklah wajah putih nan bersih dengan mata yang melotot gusar, jengeknya, “Biar pun kau kenal aku, tapi aku tidak kenal kau, memangnya kau kira dapat pergi begitu saja?”

“Dia takkan dapat pergi lagi!” sambung seorang tiba-tiba, Siau-sian-li sudah mengadang di belakang si baju hitam.

Si baju hitam terkekeh-kekeh dan berkata, “Kalau aku tak dapat pergi, buat apa aku bicara seperti tadi?”

“Hm, ingin kulihat bagaimana caramu pergi dari sini?!” bentak Buyung Siang, si nona kedua keluarga Buyung, yang menyamar Ih-nay-nay tadi.....
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar