Bakti Pendekar Binal Jilid 12

“Membikin susah padaku?” Oh-ti-tu menegas.

“Setelah kita kabur begini, aku sendiri dapat pergi tanpa embel-embel apa pun, sebaliknya kau Oh-ti-tu punya nama terkenal, kalau tersiar kelak, katanya Oh-ti-tu dan Li Toa-jui sama-sama suka makan manusia, lalu dapatkah kau berkecimpung pula di dunia Kangouw?”

“Mengapa kau berbuat demikian dan membikin susah diriku?” damprat Oh-ti-tu dengan gusar.

“Sebabnya aku ingin menjerumuskan engkau ke dalam lumpur, dengan demikian barulah kau mau bekerja bagiku,” dengan tertawa Siau-hi-ji menjelaskan pula, “Tapi kau pun jangan marah, justru kupandang engkau ini cukup berharga, makanya aku mau membikin susah padamu. Ada sementara orang memohon dengan sangat dan bahkan hendak membayar padaku agar aku membikin susah dia, malahan kutolak.”

“Setelah kau membikin susah padaku, mestinya kucekik mati kau, mana kumau bekerja lagi bagimu,” bentak Oh-ti-tu dengan bengis.

“Jika orang lain, setelah kubikin susah dia, tentu dia akan bikin perhitungan dengan aku, tapi engkau Oh-ti-tu lain dari pada yang lain, watakmu ini cukup kukenal dengan baik.”

Oh-ti-tu melototi anak muda itu sekian lamanya, mendadak ia lepaskan pegangannya dan tertawa, katanya, “Bagus, kau bocah ini ternyata kenal betul watakku si hitam. Menghadapi persoalan yang aneh ini, biar pun sudah tahu tertipu juga takkan kulepaskan begitu saja.”

“Kalau tidak begini namamu bukan Oh-ti-tu lagi,” ucap Siau-hi-ji.

“Caramu menyeret aku masuk lumpur ini masa tiada maksud tujuan lain?”

“Sudah tentu ada,” jawab Siau-hi-ji. “Soalnya kulihat Lamkiong Liu dan Cin Kiam itu sok meremehkan orang lain, dalam keadaan biasa jika aku mengundang mereka keluar, memangnya mereka mau? Tapi sekarang, biar pun tengah malam buta kusuruh mereka datang ke sini juga mereka pasti akan hadir, satu detik pun tak berani terlambat.”

“Baik, kini aku sudah telanjur terjerumus, ekor mereka pun sudah kupegang, lalu cara bagaimana melangsungkan permainan sandiwara ini, coba jelaskan.”

“Kau tahu ‘tuan omong kosong’ itu sengaja menyembelih orang dan diam-diam kau disuruh makan dagingnya, tapi diam-diam pula dia menyampaikan laporan rahasia kepada keluarga Buyung untuk menangkapmu, cara licik demikian ini disebut apa?”

“Cara keji ini dapat dikatakan ‘lempar batu sembunyi tangan’,” jawab Oh-ti-tu dengan gemas.

“Perbuatan keji begini, cara bagaimana harus kita layani menurut pendapatmu?”

“Bila berjumpa lagi dengan dia, mustahil kalau tidak kucekik mampus dia,” ucap Oh-ti-tu dengan geregetan.

“Tahukah kau bahwa manusia jahat begitu kecuali si tuan ‘omong kosong’ masih banyak di dunia ini, bahkan tindak tanduk mereka sesungguhnya lebih menggemaskan dari pada si tuan omong kosong itu. Lalu cara bagaimana harus kita hadapi mereka!”

“Akan kubekuk satu per satu dan kucekik mampus mereka,” ucap Oh-ti-tu.

“Masih untung bagi mereka jika cuma kau cekik mati saja, apa lagi juga tidak gampang biar pun hendak cekik mati mereka.”

“Memangnya siapa yang kau maksudkan?”

“Kang Piat-ho!” jawab Siau-hi-ji sekata demi sekata.

Hampir saja Oh-ti-tu melonjak kaget, serunya, “Apa katamu? Masa Kang-lam-tayhiap dapat berbuat demikian?”

“Kau tidak percaya padaku?” Siau-hi-ji menatap tajam si labah-labah hitam.

Oh-ti-tu juga menatap Siau-hi-ji, katanya pula, “Kau ini selalu main sembunyi kepala perlihatkan ekor, tindak tandukmu juga aneh-aneh dan macam-macam, di dunia ini siapa yang mau percaya padamu?” Dia menghela napas, lalu menyambung pula dengan perlahan, “Tapi aku Oh-ti-tu justru dapat mempercayaimu.”

“Plak,” dengan keras Siau-hi-ji tepuk pundak Oh-ti-tu, serunya dengan tergelak, “Haha, kau memang seorang kawan, sudah lama kutahu kau ini seorang kawan baik.”

“Kupercaya padamu, soalnya kau ini meski anak busuk, tapi bukan lelaki munafik!” kata Oh-ti-tu dengan tertawa.

“Betul, manusia yang paling menggemaskan adalah kaum munafik,” ucap Siau-hi-ji dengan gegetun. “Dan kaum munafik di dunia ini justru sangat banyak. Satu di antaranya yang paling jahat adalah Kang Piat-ho.”

“Dan cara bagaimana hendak kau hadapi dia?”

“Dengan caranya untuk digunakan terhadap dia sendiri,” kata Siau-hi-ji. “Mereka suka ‘lempar batu sembunyi tangan’, aku juga akan membayarnya dengan cara yang sama, ini namanya ‘senjata makan tuan’.”

“Cara bagaimana akan kau bayar dia? Coba jelaskan!”

“Apakah kau tahu siapakah gerangan nona yang berada di loteng kecil itu?”

Mendadak Oh-ti-tu melengos, katanya, “Kan sudah kukatakan aku tidak tahu.”

“Biarlah sekarang kuberitahukan padamu, dia adalah nona Kiu dari keluarga Buyung.”

“Dia itu Buyung Kiu katamu?” Oh-ti-tu menegas dengan terbelalak.

“Betul, dia itulah yang kini sedang dicari ubek-ubekan oleh Cin Kiam, Lamkiong Liu, Siau-sian-li dan Koh Jin-giok. Apabila mereka tahu nona linglung itu disembunyikan orang, pasti mereka akan mencari dan melabrak orang itu.”

Bercahaya mata Oh-ti-tu, katanya, “Makanya, kau ingin menimpakan kejadian ini atas diri Kang Piat-ho?”

“Ya, ingin kubikin dia juga merasakan betapa enaknya dikerjai orang,” Siau-hi-ji berkeplok tertawa.

“Tapi Kang Piat-ho sangat licin lagi cerdik, masa dia akan masuk perangkapmu?”

“Biar pun Kang Piat-ho selicin belut, asalkan kau membantu, tentu dapat kujebak dia.”

“Sekarang aku sudah ikut terjerumus, seandainya tidak mau membantu juga sukar bagiku.”

“Bagus, jika kau ingin mencuci bersih namamu yang sudah tercemar, maka kau harus bertindak menurut rencanaku. Tapi kau pun jangan khawatir, setelah mengerjakan urusan ini, tentu kau akan merasa tenteram dan pasti takkan menyesal,” habis berkata segera Siau-hi-ji melompat bangun sambil menarik Oh-ti-tu, katanya, “Ayolah, sudah tiba waktunya kita harus bekerja.”

Dengan cepat mereka lantas melayang masuk ke kota.

Sepanjang jalan Oh-ti-tu masih terus menggerundel, “Sampai saat ini aku tetap tidak paham, si tuan ‘omong kosong’ itu sengaja menyembelih orang keluarga Buyung dan bikin susah pula padaku, tapi apa manfaatnya bagi dia?”

Sekarang ia pun dapat menduga bahwa Wan-ji yang disembelih itu pasti ada hubungan erat dengan keluarga Buyung, besar kemungkinan adalah pelayan pribadi nona Buyung.

“Tuan ‘omong kosong’ yang kau maksudkan itu bukanlah Li Toa-jui melainkan Pek Khay-sim,” kata Siau-hi-ji dengan tertawa, “dia mempunyai julukan ‘merugikan orang lain tanpa menguntungkan dirinya sendiri’, tujuannya asalkan membikin orang lain tertipu dan meringis, maka dia sendiri pun merasa puas dan gembira.”

“Masa di dunia ini ada orang macam begitu?” ucap Oh-ti-tu.

“Kau bilang tidak ada, buktinya memang ada,” kata Siau-hi-ji. “Dia tahu para anak menantu keluarga Buyung pasti akan mencari Buyung Kiu, maka dia sengaja menyembelih pelayan yang bernama Wan-ji itu agar para anak menantu keluarga Buyung menyangka Buyung Kiu juga telah disembelih serta menjadi isi perut orang. Umpama mereka tak dapat menemukan nona yang dicarinya itu dan merasa berduka serta kelabakan, maka Pek Khay-sim akan merasa ‘Khay-sim’ (senang).”

“Tapi aku kan....”

“Sebenarnya dia sendiri hendak menyamar sebagai Li Toa-jui yang gemar makan daging manusia itu, tapi lantaran ada orang sialan macam kau dapat ditonjolkan olehnya, dengan sendirinya sangat kebetulan baginya,” demikian Siau-hi-ji memotong sebelum Oh-ti-tu bicara. “Dengan demikian dia berhasil mencelakai orang keluarga Buyung dan kau pun terkecoh, rencana kerjanya yang rapi dan bagus ini sungguh tidak malu sebagai salah seorang Cap-toa-ok-jin yang termasyhur itu.”

“Aneh juga bahwa kau malah memuji dia,” omel Oh-ti-tu.

“Jika bukan akalnya yang rapi ini, mana bisa kubonceng tipu muslihatnya, dan bila di dunia ini tidak ada manusia seperti Pek Khay-sim, maka sandiwara ini jelas tak dapat dipentaskan.”

“Di dunia ini ada manusia macam Pek Khay-sim dan ditambah lagi orang seperti kau, kalian saling menjebak dan saling mengecoh, yang konyol adalah aku si hitam ini.”

“Jika tidak ada diriku malam ini kau pasti lebih konyol lagi. Kau tertangkap tangan dengan bukti nyata sedang makan daging manusia, biar pun kau bermulut seribu juga tidak dapat menyangkalnya.”

“Betapa pun juga seharusnya kau jangan mengaku....”

“Bilakah aku mengaku? Bilakah kubilang Buyung Kiu telah kau makan? Aku kan cuma berkata, ‘Telah kuapakan dia, memangnya perlu kukatakan pula?’ Memangnya kenapa dengan persoalan ini? Kenapa kau takut....?”

Oh-ti-tu berpikir sejenak, ia menjadi tertawa geli sendiri, katanya, “Ya, betul, memang begitulah ucapanmu ketika itu, cuma saja seperti tidak terucap apa-apa....”

“Di situlah letak kehebatannya,” kata Siau-hi-ji dengan memicingkan mata. Sembari bicara ternyata dia telah membawa Oh-ti-tu ke loteng kecil itu.

Sekitar sudah sunyi senyap, hanya sinar lampu masih kelihatan bercahaya di loteng itu. Buyung Kiu mendekap di atas meja, mungkin terlalu lelah melamun sehingga akhirnya tertidur di situ.

“Nona ini paling menurut pada ucapanmu,” kata Siau-hi-ji, “Kau suruh dia membawa belati, maka belati itu pun selalu dibawanya, kau suruh dia membunuh, segera dia akan membunuh, sekarang aku cuma minta kau suruh dia menulis secarik surat saja.”

“Dalam keadaan demikian untuk apa mendadak menulis surat segala?” tanya Oh-ti-tu.

“Ayolah suruh dia menulis: Jika ingin menebus nyawaku, harap bawa 80 laksa tahil perak ke tempat yang telah ditentukan mereka. Mohon diusahakan sedapatnya, kalau tidak adik pasti akan menjadi isi perut mereka.”

“80 laksa tahil perak, katamu?!” Oh-ti-tu menegas dengan melongo.

“Ya, meski angka 80 laksa tidaklah sedikit, tapi Lamkiong Liu dan Cin Kiam pasti tidak kaget mendengar jumlah sekian mengingat kekayaan mereka yang sukar diukur, orang lain tidak sanggup mengumpulkan jumlah sekian dalam waktu sehari, mereka pasti dapat.”

“Memangnya mereka kau kira mau?”

“Kenapa tidak? Di waktu biasa mungkin mereka tidak mau, tapi setelah kejadian semalam, mereka tentu mengira Wan-ji yang telah disembelih orang itu sengaja kita jadikan sebagai bukti untuk menakuti mereka, jadi tanpa sengaja kita telah mencapai sasarannya dengan tepat, tentu mereka takkan curiga lagi,” setelah tertawa, lalu Siau-hi-ji menyambung pula, “Apa lagi surat ini jelas ditulis sendiri oleh Buyung Kiu, maka persoalannya sekarang adalah kau, harus kau katakan kepada mereka bahwa 80 laksa tahil perak itu semuanya harus kontan dalam bentuk perak murni, emas atau batu manikam takkan kita terima.”

“Harus kukatakan begitu kepada mereka?” Oh-ti-tu menegas.

“Ya, dengan sendirinya harus kau bicara dengan mereka dan surat ini pun harus kau sendiri yang mengantarkannya, Oh-ti-tu biasanya pergi datang tanpa meninggalkan bekas, di dunia ini rasanya tiada kurir pengirim surat yang lebih mahir dari pada kau ini.”

Oh-ti-tu termenung sejenak, akhirnya ia menghela napas dan berkata, “Baiklah...aku hanya tidak paham, mengapa harus bentuk kontan uang perak.”

“Keajaiban urusan ini akan kau ketahui bila sudah tiba saatnya nanti,” kata Siau-hi-ji.

“Dan setelah surat ini kukirim, lalu bagaimana?” tanya Oh-ti-tu.

“Setelah mengirim surat, boleh kau tunggu dan menyaksikan tontonan menarik saja.”

“Sampai waktunya nanti apakah betul-betul kau sendiri akan menerima 80 laksa tahil perak itu?”

“Pada waktunya nanti yang akan menerima perak itu adalah calon setan yang akan kukirim ke sana.”

“Jika begitu...bila Cin Kiam dan Lamkiong Liu melihat yang datang itu bukan kau melainkan orang lain, bukankah mereka akan curiga juga?”

“Memangnya Cin Kiam dan Lamkiong Liu mengetahui siapa diriku ini? Yang mereka lihat semalam adalah wajahku yang kuning pucat serta gerakan Ih-hoa-ciap-giok yang kumainkan, mereka pasti mengira diriku ini samaran anak murid Ih-hoa-kiong, padahal saat ini anak murid Ih-hoa-kiong tulen justru lagi berada bersama Kang Piat-ho.”

Oh-ti-tu termenung sejenak, katanya kemudian dengan gegetun, “Ai, kiranya setiap gerak-gerikmu selalu mempunyai tujuan tertentu. Di dunia ini kalau bertambah lagi beberapa orang macam dirimu ini tentu suasana akan kacau balau.”

Siau-hi-ji tertawa, katanya, “Jangan khawatir, manusia seperti diriku ini tiada duanya lagi di dunia ini.”

Pagi-pagi sekali, itu kasir Ging-ih-tong yang masih tidur nyenyak di kolong ranjangnya telah diseret bangun oleh Siau-hi-ji dan disuruh menyampaikan sepucuk surat kepada Samkohnio.

Sementara itu Siau-hi-ji sudah berdandan kembali sebagai pegawai toko obat itu dan tidur di kamarnya di bagian belakang toko.

Kemudian Samkohnio pun tiba, sekali ini nona gede ini tidak berkaok-kaok lagi dari balik jendela melainkan terus menerobos masuk ke kamar dan setengah mendongkol ia mengomeli anak muda itu, “He, selama dua hari ini kau ke mana, tahukah betapa gelisah orang mencarimu?”

Siau-hi-ji kucek-kucek matanya yang masih mengantuk, jawabnya dengan tertawa, “Jika kau benar gelisah lantaran aku, maka kau harus membantu sesuatu padaku.”

“Bilakah pernah kutolak permintaanmu?” omel Samkohnio dengan suara perlahan.

“Tapi urusan ini sama sekali tidak boleh kau katakan kepada orang ketiga.”

“Memangnya kau tidak percaya padaku?” ucap Samkohnio sambil menunduk.

“Baiklah, ingin kutanya lebih dulu, selama dua hari ini apakah kau lihat Kang Giok-long?”

“Tidak,” jawab si nona gede.

Siau-hi-ji memandangnya dengan terbelalak, katanya pula, “Coba ingat-ingat lagi, adakah salah seorang yang berada di sekitar Kang Piat-ho itu mungkin adalah samaran Kang Giok-long?”

Samkohnio lantas mengingat-ingat kembali, lalu menjawab tegas, “Tidak ada, pasti tidak ada, selama dua hari ini Kang Giok-long jelas tidak berada di sini.”

Siau-hi-ji merasa lega, katanya, “Itu dia, perasaan perempuan walau rada membingungkan, tapi terkadang juga jitu. Jika kau sudah yakin demikian halnya, rasanya Kang Giok-long memang betul tidak sedang di sini.”

“Kau memanggilku ke sini hanya ingin menanyakan dia?” tanya Samkohnio dengan rasa hampa.

“Soalnya dia ada sangkut-paut yang sangat erat dengan dirimu,” ucap Siau-hi-ji dengan tertawa.

“Jangan ngaco, memangnya ada sangkut-paut apa antara aku dengan dia?” omel si nona.

“Tahukah bahwa uang kiriman ayahmu itu justru dirampok olehnya?”

“Apa katamu? Masa begitu?” seru Samkohnio.

“Selama dua hari ini mendadak dia menghilang, pertama karena dia ingin menghindarkan diriku, kedua, kepergiannya ini justru hendak menyembunyikan harta rampokan itu pada suatu tempat yang baik, soalnya dia mengetahui, rahasia yang kuketahui jauh lebih banyak dari pada sangkaannya.”

Samkohnio berkedip-kedip, tanyanya kemudian, “Sesungguhnya kau ini siapa? Mengapa dia begitu takut padamu?”

“Bicara sungguh-sungguh, sampai saat ini dia memang belum mengetahui siapa diriku ini.”

Samkohnio terdiam sejenak, lalu berkata pula dengan perlahan, “Tapi aku tak peduli kau ini siapa, aku....”

Mendadak Siau-hi-ji menyela, “Asalkan dugaanku tidak meleset, asalkan dia tidak berada di sini, maka rencanaku pasti akan berhasil. Untuk ini kau harus bantu mengawasi dia bagiku, begitu dia pulang hendaklah cepat kau beritahukan padaku.”

“Sesungguhnya apa rencanamu? Mengapa rencanamu baru akan berhasil bila mana Kang Giok-long tidak berada di sini?”

Siau-hi-ji menarik tangan si nona, katanya dengan suara lembut, “Urusan ini pasti akan kau ketahui nanti, sekarang kumohon engkau jangan bertanya.”

Di dunia ini kalau ada sesuatu yang dapat membuat perempuan tutup mulut, maka itu adalah ucapan mesra sang kekasih.

Benar saja, Samkohnio lantas tutup mulut dan tidak tanya lebih lanjut. Dia menunduk, lalu berucap dengan perlahan, “Tia...tiada ucapan lain lagi yang ingin kau katakan padaku?”

“Malam nanti, lewat tengah malam, harap engkau menunggu di luar pintu belakang taman rumahmu...”

Seketika mata Samkohnio memancarkan cahaya kegirangan, tukasnya dengan suara rada gemetar, “Malam... malam nanti... di... di taman....”

“Betul, jangan lupa, hendaklah menunggu tepat pada waktunya.”

“Tidak mungkin kulupakan, biar pun langit akan ambruk juga akan kutunggu di sana tepat pada waktunya.”

Dengan tertawa genit ia lantas melangkah pergi dengan bayangan pertemuan mesra tengah malam yang indah nanti.

Maklumlah, janji pertemuan rahasia bagi gadis yang sedang kasmaran memang gaib dan penuh rasa bahagia, tiada urusan lain di dunia ini yang dapat menggetarkan hati mereka kecuali janji pertemuan dengan sang kekasih.

Siangnya Siau-hi-ji terus putar kayun kian kemari ke segenap pelosok kota, banyak restoran dan rumah minum yang dilaluinya, tapi ia tidak masuk ke situ, sebaliknya dia mendatangi sebuah warung bakmi yang kecil dan kotor di ujung timur kota. Jelek-jelek warung bakmi ini pun punya nama yang indah, yakni “Su-hiang-koan” atau “rindu kampung halaman.”

Siau-hi-ji menghabiskan semangkuk besar pangsit mi serta beberapa biji siomoy, lalu menyuruh si pemilik restoran orang Santung yang tampaknya sudah lebih dari tiga tahun tidak pernah mandi itu memberikan alat tulis dan beberapa puluh helai kertas.

Ia memulai menulis dengan huruf sebesar kepalan, semua kertas itu ditulisnya dengan huruf yang sama, rupanya ia menulis selebaran yang berbunyi, “Sahabat yang sok senang (Khay-sim), malam nanti antara pukul sembilan seorang she Li menanti kedatanganmu di Su-hiang-koan yang terletak di sudut timur kota, mau tak mau kau harus datang.”

Habis menulis, dia menyewa dua-tiga orang gelandangan agar menyebarkan pelakat-pelakat itu ke segenap penjuru kota dan ditempelkan di tempat-tempat yang mencolok mata.

Sudah tentu orang Santung itu terheran-heran memandangi kelakuan Siau-hi-ji yang aneh itu. Namun Siau-hi-ji tidak ambil pusing, dia mendatangi toko rombengan untuk membeli seperangkat pakaian bekas warna hitam, lalu dibelinya di toko kelontong beberapa macam alat rias. Akhirnya ia mendapatkan sebuah hotel yang tidak terlalu besar dan tidak terlalu kecil, ia minta kamar yang ada cerminnya, di situlah ia telanjang bulat dan tidur sepuasnya.

Waktu mendusin hari pun hampir magrib. Menghadapi cermin, seperti anak gadis saja Siau-hi-ji bersolek sekian lamanya, pakaian hitam itu dipakainya, lalu dia beraksi di depan cermin...Hah, mana bisa orang mengenalnya lagi sebagai Kang Siau-hi melainkan mirip Li Toa-jui yang gemar daging manusia itu.

Siau-hi-ji sendiri pun sangat puas akan hasil samarannya ini, dia tertawa dan bergumam, “Haha, walau pun tidak persis seratus persen, tapi mengingat Pek Khay-sim itu sudah puluhan tahun tidak pernah berjumpa dengan Li Toa-jui, apa lagi di tengah malam gelap, rasanya sudah bolehlah.”

Perawakan Siau-hi-ji memang juga tidak pendek, setelah mengalami gemblengan selama dua tahun ini tubuhnya telah menjadi kekar, kalau membusungkan dada, bukan saja hampir serupa dengan Li Toa-jui bahkan potongan tubuh dan tegapnya juga hampir sama, kalau tidak di teliti dengan cermat, bahkan orang yang setiap hari bertemu dengan Li Toa-jui juga sukar membedakannya.

Pakaian yang bekas dipakainya itu digulung menjadi satu, lalu dimasukkan ke kolong selimut sehingga kalau dipandang dari luar kelihatan ada orang sedang tidur nyenyak.

Habis itu ia menulis pula dengan peralatan yang ada di situ sepucuk surat untuk Kang Piat-ho, ia menulis dengan tangan kiri sehingga kelihatan reyat-reyot, begini bunyinya: “Kang Piat-ho, putramu dan harta pengawalan yang kalian rampok itu telah jatuh di tangan Tuanmu sekarang, jika kau ingin berunding dengan syarat tertentu, silakan datang tengah malam nanti di sutheng yang berada di luar kota.”

Dia tutup sampul surat itu dan di atasnya ditulis pula, “Kepada Kang Piat-ho pribadi, orang lain dilarang membaca.”

Setelah simpan surat itu di dalam baju, Siau-hi-ji bergumam dengan tertawa, “Kang Giok-long tidak berada di kota, besar kemungkinan sedang mengatur penyimpanan harta rampokannya, asalkan malam ini dia tidak pulang, tentu Kang Piat-ho akan masuk perangkapku, biar pun dia selicin belut, seumpama dia tidak percaya penuh juga pasti akan sangsi dan tengah malam nanti saking tak tahan dia pasti akan datang ke tempat yang kusebut itu.”

Dia tertawa puas, lalu memberosot keluar melalui jendela.

Setiba di rumah makan Su-hiang-koan itu, sementara itu cuaca sudah mulai gelap. Inilah saatnya orang makan malam, tapi Su-hiang-koan itu ternyata tiada pengunjungnya, bahkan orang Santung itu pun tidak kelihatan, hanya seorang tamu tampak sedang minum arak sendirian.

Orang ini memakai baju sutera baru, di atas kopiah yang dipakainya tersunting sebiji mutiara yang bercahaya, dandanannya mirip saudagar kaya, tapi sikapnya ala buaya darat, dia tidak duduk secara beraturan, tapi nongkrong di atas bangku sambil minum arak, sepasang matanya jelilatan seperti maling khawatir konangan.

Ketika Siau-hi-ji masuk rumah makan itu dengan langkah lebar, dengan terbahak langsung ia menegur, “Aha, anak baik, kau ternyata datang benar? Sudah sekian tahun tidak berjumpa, kau keparat ini ternyata belum melupakan kawanmu orang she Li ini dan telah menunggu tepat pada waktunya.”

Sejak kecil Siau-hi-ji berkumpul dengan Li Toa-jui, dengan sendirinya lagak-lagunya mirip benar cara menirukan tokoh Cap-toa-ok-jin yang disegani itu.

Tak terduga orang itu cuma mendelik saja, jawabnya sambil menarik muka, “Memangnya kau ini siapa? Aku tidak kenal.”

“Hah, masa ingin mengelabui aku, meski kau berdandan menyerupai manusia, tapi bentukmu yang lebih mirip monyet ini tetap sukar diubah,” kata Siau-hi-ji dengan tertawa.

Akhirnya orang itu bergelak tertawa, katanya, “Kau keparat yang suka makan manusia tanpa buang tulang ini, setelah sekian tahun tidak berjumpa, caramu bicara dengan bapakmu masih tetap kasar begini?”

Siau-hi-ji duduk di depannya, di atas meja sudah ada dua pasang sumpit dan dua cawan, tapi masakan Ang-sio-bak hanya satu mangkuk. Siau-hi-ji mengernyitkan dahi, katanya, “Tampaknya kau maling rudin ini semakin lama semakin bangkrut, lekas panggil si Santung itu, biar kusuguh kau makan sepuasnya.”

“Dia takkan muncul lagi?” jawab orang itu yang bukan lain dari pada Pek Khay-sim adanya.

“Mengapa? Di mana dia?” tanya Siau-hi-ji.

Dengan tertawa Pek Khay-sim menunjuk Ang-sio-bak itu dan berkata, “Dia berada di dalam mangkuk ini.”

Siau-hi-ji tidak terpengaruh oleh keterangan itu, katanya dengan terbahak, “Hahaha, tampaknya kau pintar menjilat pantat, kau masih ingat bapakmu gemar makan apa, maka lebih dulu sudah kau sediakan. Cuma Santung tua itu sudah bertahun-tahun tidak mandi, mungkin dagingnya berbau apek.”

“Jangan khawatir, sebelumnya sudah kucuci bersih dari kepala hingga kakinya, habis itu baru masuk kuali,” ucap Pek Khay-sim dengan nyekikik, segera dia angkat cawan menyuguh Siau-hi-ji satu cawan penuh, lalu menuanginya pula satu cawan.

“Hm, kau benar-benar putra berbakti,” Siau-hi-ji berolok-olok dengan tertawa. Terpaksa dia menyumpit sepotong Ang-sio-bak, tapi baru saja dikunyah dua kali, mendadak ditumpahkannya, lalu berkata dengan melotot, “Huh, ini daging apa? Berani kau palsukannya sebagai daging manusia?”

Mendadak Pek Khay-sim berkeplok gembira, katanya, “Hehe, orang she Li, kau memang hebat, mulutmu yang kotor ini sekali coba lantas tahu daging apa, memangnya tak kau pikirkan apakah aku sudi menyembelih orang hanya untuk memenuhi seleramu?”

Rupanya Pek Khay-sim sengaja menggunakan cara ini untuk menguji apakah yang hadir ini benar-benar Li Toa-jui tulen atau bukan. Sudah tentu Siau-hi-ji merasa geli, ia pun tidak membongkar persoalan ini, dengan mendelik ia berkata, “Habis kalau anak tidak berbakti kepada bapak sendiri mau berbakti kepada siapa? Santung tua itu memang kotor, tapi dagingnya cukup gempal, memang sudah lama aku ingin menyembelihnya untuk diolah menjadi Ang-sio-bak, sekarang kau telah kemanakan dia?”

“Dia telah pulang kampung halamannya, rumah makan ini sudah kubeli. Haha, dia menerima lantakan emas yang kutuang tengahnya dengan timah, malahan dia sangat senang mengira mendapatkan pembeli yang picak dan menyangka aku yang tertipu.”

“Tapi untuk apakah kau membeli rumah makan brengsek ini? Kau memang telah berhasil menipu dia, tapi bapakmu menjadi gagal makan Ang-sio-bak. Ai, sifat malingmu yang suka ‘merugikan orang lain tanpa menguntungkan diri sendiri’ itu tampaknya selama hidup takkan berubah.”

“Sifatku tak dapat berubah, tapi sifat malingmu apakah dapat berubah? Anjing tetap makan tahi, sifat ini tidak mungkin berubah...Eh, sudah sekian tahun kau mengkeret di sarang anjingmu, untuk apa mendadak muncul di sini?”

Dengan mata melotot Siau-hi-ji berseru, “Ingin kutanya kau lebih dulu, kau memalsukan namaku serta mengirimkan panji berdukacita atas kematian Thi Bu-siang, lalu memalsukan namaku pula setelah menyembelih pelayan orang, sesungguhnya apa kehendakmu?”

Pek Khay-sim melengak, katanya kemudian, “Jadi kau tahu semuanya?”

“Memangnya urusan apa yang dapat mengelabui mataku?” jawab Siau-hi-ji dengan tergelak.

“Ya, orang-orang itu terlalu iseng, maka aku sengaja mencarikan pekerjaan buat mereka, kumasak daging manusia dan mengundang tamu untuk memakannya, tapi diam-diam aku sendiri menyampaikan laporan rahasia kepada keluarga yang bersangkutan, dengan demikian mereka berdua pihak akan saling labrak habis-habisan dan dengan demikian pula aku menjadi senang...Coba katakan secara jujur, apa yang kulaksanakan itu bagus atau tidak?”

“Herannya kedua bocah she Cin dan Lamkiong itu mau percaya begitu saja kepada laporan orang yang tak dikenal, jika aku yang dapat laporan, tentu akan kubekuk kau lebih dulu untuk ditanyai dari mana kau tahu ada orang sedang makan daging manusia?”

“Untuk menyampaikan laporan itu masa aku tak dapat mengirim surat kaleng saja, buat apa aku pergi ke sana sendiri?”

“Hanya sepucuk surat kaleng saja lantas dipercaya oleh mereka?”

“Biar pun tidak percaya, mau tak mau mereka akan melihatnya ke tempat yang kusebut itu.”

Mendadak Siau-hi-ji menggebrak meja dan berseru, “Tepat, memang kalimat inilah yang ingin kudengar dari mulutmu.”

Pek Khay-sim tampak heran, katanya, “Kau sedang merancang akal setan apa lagi untuk menjebak aku?”

“Kau telah memalsu nama, untuk sementara dapat kukesampingkan persoalan ini dan takkan kuhukum, asalkan saja kau menulis lagi sepucuk surat kepada bocah she Cin dan Lamkiong itu. Mereka sudah membuktikan bahwa isi suratmu yang pertama itu memang tidak dusta, maka suratmu yang kedua pasti semakin dipercaya oleh mereka.”

“Lalu surat apa maksudmu?” tanya Pek Khay-sim.

“Dengan sendirinya surat untuk membikin susah orang, kalau bukan surat beginian masakah kau mau menulisnya?”

“Hehehe, jika surat untuk membikin celaka orang memang dapat kulakukan bagimu. Entah siapa yang menjadi sasaran perangkapmu ini?”

“Tentang siapa sasarannya kelak pasti akan kau ketahui. Yang penting harus kau beritahukan kepada mereka agar tengah malam nanti mereka datang ke halaman belakang rumah Toan Hap-pui, di sana mereka pasti akan melihat sesuatu yang sangat menyenangkan mereka. Harus kau tegaskan supaya datang tengah malam tepat, tidak boleh lebih dini dan tidak boleh lebih lambat.”

“Tapi kalau tuanmu tidak mau menulis, lalu bagaimana?” ucap Pek Khay-sim.

“Kutahu kau pasti mau menulis,” bujuk Siau-hi-ji. “Mustahil kau dapat tidur nyenyak jika ada kesempatan mencelakai orang tapi tidak kau lakukan. Apa lagi, jika kau tidak mau menulis surat ini tetap aku ada cara lain yang dapat memaksa kau.”

Sampai di sini mendadak ia keluarkan surat yang telah disiapkan untuk Kang Piat-ho itu, berbareng ia padamkan lampu di atas meja.

Seketika air muka Pek Khay-sim berubah dan berseru, “He, apa yang kau lakukan?”

Siau-hi-ji mendesis, “Ssst, jangan bersuara, ada orang datang hendak menangkap kita, lekas bersiap-siap untuk lari.”

Belum lenyap suaranya, benar saja di luar jendela sudah ada sinar golok berkelebat. Lalu seorang telah membentak, “Orang she Li dan orang she Pek, kejahatan kalian sudah kelewat takaran, hari ini kalian jangan harap akan bisa kabur lagi. Ayolah keluar untuk terima kematian!”

Dalam kegelapan tertampak bayangan orang berseliweran di luar, agaknya rumah makan ini sudah terkepung rapat.....
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar