Bakti Pendekar Binal Jilid 08

Tentu saja Siau-hi-ji geregetan dan kelabakan, baru sekarang ia tahu Kang Piat-ho memang benar-benar bukan tokoh yang mudah dilayani, hanya beberapa patah kata saja suasana yang tidak menguntungkannya telah dapat diputar balik olehnya. Tanpa menggerakkan satu jari pun kini Siau-hi-ji telah didesaknya ke jalan buntu.

Ruangan tamu ini sangat luas, banyak pintu dan jendelanya, kalau mau, dengan mudah sekali Siau-hi-ji dapat menerobos keluar. Tapi sekarang Siau-hi-ji tidak dapat pergi, sebab mata Hoa Bu-koat sekarang sedang menatap tajam padanya.

Dengan tenang didengarnya Kang Piat-ho berkata pula, “Meski tukang pikul itu sudah kabur, tapi saudara mungkin tidak dapat lolos lagi, saudara ternyata tetap tidak sudi memperlihatkan wajah aslimu, jangan-jangan disebabkan kau telah berbuat sesuatu yang tidak boleh dilihat orang?”

Benak Siau-hi-ji terus bekerja, tapi tidak mendapatkan sesuatu akal yang baik.

Tiba-tiba Hoa Bu-koat membuka suara, “Jika sahabat tidak sudi turun tangan sendiri, rasanya Cayhe perlu melakukannya bagimu.”

“Hoa Bu-koat,” damprat Siau-hi-ji, “sebenarnya kuanggap kau ini orang pintar, siapa tahu kau ternyata sudi diperalat orang lain seperti boneka, sungguh aku merasa malu bagimu.”

Sama sekali Hoa Bu-koat tidak marah, ia malah tersenyum dan berkata, “Jika engkau bermaksud memancing kemarahanku, maka usahamu ini cuma sia-sia belaka.”

“Orang yang tidak bisa marah adalah orang yang tak berguna, memangnya ada harganya untuk dibuat bangga dan pamer?”

“Bukannya aku tidak pernah marah, soalnya orang seperti kau ini belum ada harganya untuk kumarahi.”

Dengan tertawa Kang Piat-ho menukas, “Biar pun masih muda, tapi kesabaran Hoa-kongcu sungguh sangat terpuji, untuk bisa memancing kemarahannya kau harus....”

“Untuk memancing kemarahannya kau harus merebut Thi Sim-lan dari pelukannya, begitu bukan?” teriak Siau-hi-ji.

Air muka Hoa Bu-koat benar-benar rada berubah demi mendengar perkataan ini, dengan suara berat ia menjawab, “Urusan ini tiada sangkut-pautnya dengan dia, sebaiknya saudara jangan menyinggung namanya.”

“Thi Sim-lan kan bukan milikmu, dengan hak apa kau larang orang lain menyebut namanya?” teriak Siau-hi-ji dengan tertawa.

Entah mengapa, bicara tentang Thi Sim-lan, seketika darah seakan-akan bergolak di sekujur badan anak muda itu, segala apa tidak membuatnya gentar lagi, yang dituju hanya memancing kemarahan Hoa Bu-koat saja, supaya Hoa Bu-koat malu pula, biar pun menyadari dirinya sekali-kali bukan tandingan Hoa Bu-koat, tapi dia justru ingin mengadu jiwa dengan Hoa Bu-koat agar perasaannya yang bergolak itu terlampiaskan.

Seorang yang biasanya dapat menguasai perasaan dan dapat berpikir dengan tenang kini mendadak terangsang oleh emosi yang tak terkendalikan, perubahan ini nampaknya sangat luar biasa dan tidak masuk akal, tapi kalau dipikir lebih jauh, hal ini tidak perlu diherankan.

Maklumlah, selama beberapa tahun terakhir ini Siau-hi-ji selalu berusaha mengekang diri, lebih-lebih terhadap Hoa Bu-koat. Semua ini disebabkan karena Siau-hi-ji memang benar-benar seorang yang mahapintar, bukan saja dia sangat memahami orang lain tapi juga memahami dirinya sendiri, ia tahu dirinya sesungguhnya tidak dapat membandingi Hoa Bu-koat, makanya dia harus bersabar dan menahan diri. Kalau saja tiada tekanan lain, kalau tiada sumbu penyebab, bisa jadi dia akan terus bersabar dan menahan perasaannya ini sehingga tiba saatnya dia dapat mengalahkan Hoa Bu-koat.

Tapi sekarang dia benar-benar kepepet, dia terdesak hingga tak dapat bernapas, sedangkan nama Thi Sim-lan justru adalah sumbu penyebabnya, pergolakan darah yang telah dikekang sebisanya akhirnya meledak.

Dengan tertawa ngakak Siau-hi-ji berteriak pula, “Hoa Bu-koat, bicara terus terang, sejak lama Thi Sim-lan sudah mempunyai kekasih, hatinya sudah lama menjadi milik orang itu, betapa pun kau tidak dapat merebutnya, andaikan kau dapat memperistrikan dia, tapi kau tidak dapat memiliki hatinya.”

Di tengah tertawa keras itu mendadak tubuh Siau-hi-ji melambung tinggi ke atas. Pada saat itu juga tangan Hoa Bu-koat sudah terayun ke depan, kalau saja Siau-hi-ji terlambat setengah jengkal mungkin dadanya sudah hancur terhantam.

Belandar ruangan besar itu sedikitnya lima meter tingginya, tapi sekali loncat Siau-hi-ji meraih belandar itu, tubuhnya bergelantungan laksana anak main ayunan dan seakan-akan setiap saat bisa jatuh. Tapi Kang Piat-ho dapat melihatnya bahwa gerak tubuh Siau-hi-ji adalah Ginkang yang paling tinggi, tampaknya tubuh bergoyang-goyang hendak jatuh, padahal setiap gerakan itu tersembunyi serangan maut.

Apa lagi dengan bergelantungan di atas berarti menduduki tempat yang lebih menguntungkan, dalam keadaan demikian, siapa pun kalau meloncat ke atas dan menyerangnya mungkin akan mengalami nasib malang lebih dulu.

Namun Hoa Bu-koat tiada bermaksud menyerang ke atas, bahkan memandang sekejap saja tidak, dia tetap berdiri tenang di tempatnya, ia malah menatap ke ujung kakinya sendiri laksana seorang paderi tua yang sedang bersemadi, apa yang terjadi di sekelilingnya seperti tak digubrisnya lagi.

Sudah tentu semua orang menjadi heran melihat sikap Hoa Bu-koat yang aneh itu, yang lebih mengherankan adalah Siau-hi-ji, kesempatan baik itu ternyata tidak digunakan untuk kabur.

Namun Siau-hi-ji tahu bahwa saat ini Hoa Bu-koat justru sedang memusatkan pancaindera, tampaknya dia tidak melihat dan tidak mendengar segala apa pun, padahal setiap gerak-gerik siapa pun juga tak terhindar dari mata telinganya.

Karena Siau-hi-ji menduduki tempat yang lebih menguntungkan, mungkin Hoa Bu-koat tidak mau sembarangan turun tangan, tapi kalau Siau-hi-ji bertindak sedikit, seketika dia akan kehilangan inisiatif dan mungkin akan mengalami serangan fatal dari Hoa Bu-koat.

Sebab itulah Siau-hi-ji tidak berani kabur, dia memang tidak dapat pergi.

Begitulah yang satu bergelantungan di atas dan yang lain berdiri diam di bawah, keduanya lantas saling bertahan dalam posisi demikian.

Orang lain tidak tahu ketergantungan apa yang terkandung di antara kedua seteru itu, tapi aneh, suasana yang tadinya rada kacau itu kini berubah menjadi sunyi senyap. Semakin lama suasana tegang semakin terasa mencekam.

Siau-hi-ji masih terus bergelantungan, tapi semua orang tidak merasakan lagi dia akan jatuh ke bawah, bahkan terasakan ayunan yang tak menentu itu membuat kepala mereka pusing dan mata berkunang-kunang. Akhirnya mereka tidak berani memandang ke atas lagi, tapi cahaya lilin di ruangan seakan-akan ikut bergoyang-goyang oleh gerak ayunan Siau-hi-ji itu, sampai akhirnya seluruh ruangan seperti juga ikut bergoyang. Semua orang merasa seperti terombang-ambing di sebuah sampan dan terasa mabuk laut.

Hanya Kang Piat-ho saja, dia menatap Hoa Bu-koat dengan tajam dan sikapnya tetap tenang.

Hoa Bu-koat masih berdiri tegak seakan-akan sebuah tombak di tengah damparan ombak samudera, berdirinya tegak kuat sehingga membawa rasa aman juga bagi orang lain. Tapi selain Kang Piat-ho tiada orang lain lagi yang berani memandangnya, rasanya dari tubuhnya yang tegak itu terpancar semacam hawa membunuh yang menyesakkan napas

Yang satu bergerak dan yang lain berdiam, sungguh perbandingan yang sangat kontras. Jarak kedua pemuda itu ada beberapa meter jauhnya, namun di tengah-tengah mereka sudah tidak boleh terselip sesuatu benda apa pun.

Satu bergerak dan satu lagi berdiam, keadaan ini terus bertahan, namun lama-lama yang bergerak dengan sendirinya tidak sekuat yang berdiam. Sudah tentu Kang Piat-ho memahami hal ini, tanpa terasa tersembul senyum senang di ujung mulutnya.

Malam sudah larut, sudah mulai terasa dingin, meski tidak keras hawa dingin di malam musim panas, namun semua orang yang berada di situ sudah mulai menggigil.

Sekonyong-konyong seekor burung seriti menerobos masuk dari jendela, itulah burung walet yang kesasar dan kebetulan menerobos ke tempat yang ada cahayanya, tujuannya mungkin untuk mencari selamat. Burung itu langsung terbang ke tengah-tengah antara Siau-hi-ji dan Hoa Bu-koat yang sedang saling bertahan itu.

Tiada seorang pun yang melihat sesuatu gerakan dari Siau-hi-ji mau pun Hoa Bu-koat, tapi entah mengapa, tahu-tahu burung seriti tidak mampu menerobos hawa pembunuhan yang tak berwujud itu, langsung burung itu jatuh ke bawah dan menyerempet muka Hoa Bu-koat.

Pada saat itu juga tubuh Siau-hi-ji mendadak anjlok ke bawah dengan berputar seperti gangsingan, dipandang dari jauh tangan dan kaki anak muda itu seperti sedang menari-nari menyilaukan mata, seakan-akan malaikat bertangan seribu yang mendadak turun dari langit.

Namun Hoa Bu-koat tetap tenang-tenang saja dan tidak menengadah sama sekali.

Tiba-tiba Siau-hi-ji membentak selagi masih terapung di udara, bersamaan ia melancarkan delapan kali tendangan dan enam belas kali pukulan.

Betapa cepat serangannya sungguh sukar diukur, tampaknya tubuhnya seakan-akan tumbuh delapan tangan dan enam belas kaki sekaligus serta menyerang secara serentak, seluruhnya mengarah Hoa Bu-koat.

Pandangan semua orang terasa berkunang-kunang, jika mereka yang menghadapi serangan yang demikian, jangankan hendak menangkis, mengelak mungkin juga tidak tahu caranya.

Mendadak Hoa Bu-koat mendongak, di bawah cahaya lampu yang bergoyang-goyang itu sorot matanya gemerlap laksana bintang berkelip, wajahnya senyum tak senyum, telapak tangan terayun, dengan perlahan ia menarik dan ditolak pula ke samping, tampaknya bukan gerak serangan tapi juga bukan pertahanan. Tapi aneh, hanya gerakan yang sepele ini tahu-tahu serangan Siau-hi-ji yang lihai itu telah dapat dipatahkan.

Segera terdengar suara “plak-plak” beberapa kali, tangan kiri Siau-hi-ji memukul pada tangan kanan sendiri, kaki kanan juga menendang kaki kiri sendiri, serangan Siau-hi-ji yang lihai itu ternyata mengenai tubuhnya sendiri sehingga terlempar mundur dan jatuh tersungkur.

Senang sekali hati Kang Piat-ho melihat kejadian itu, katanya sambil tertawa, “Hebat, sungguh jurus ‘Ih-hoa-ciap-giok’ yang bagus!”

Tertampak kedua telapak tangan Siau-hi-ji merah bengkak, napas terengah-engah dan tidak sanggup merangkak bangun lagi.

Sambil memandangi Siau-hi-ji, dengan tersenyum Hoa Bu-koat berkata, “Ilmu silatmu terhitung juga tokoh kelas satu, kekuatan tenaga dalammu juga di luar dugaanku, cuma sayang, semakin kuat tenagamu, semakin berat pula lukamu.” Sembari bicara ia pun mendekati Siau-hi-ji dengan perlahan.

Pada saat itu juga sekonyong-konyong suara mendesing memenuhi seluruh ruangan tamu, cahaya lampu mendadak padam, bahkan berpuluh senjata rahasia dengan suara mendesing keras menyambar ke arah Kang Piat-ho dan Hoa Bu-koat.

Bahwa sekaligus senjata-senjata rahasia itu dapat memadamkan lampu dan berbareng menyerang lawan pula, betapa hebat cara menyambitnya dan betapa kuat tenaganya boleh dikatakan jarang ada bandingannya di dunia Kangouw.

Namun hujan senjata rahasia itu tetap tidak dapat melukai Kang Piat-ho dan Hoa Bu-koat, hanya sedikit melompat saja dapatlah mereka mengelaknya.

Selagi suasana kacau-balau, terdengar Lo Kiu membentak, “Harap semua orang berdiri tenang di tempat masing-masing dan jangan sembarang bergerak!”

“Ya, jangan sampai keparat itu kabur di tengah kekalutan ini!” Lo Sam juga berteriak.

Ucapan itu memang cocok dengan pikiran Kang Piat-ho, diam-diam ia memuji, “Kedua Lo bersaudara itu ternyata jagoan juga.”

Dalam pada itu terdengar suara Lo Kiu berseru pula, “Biar kujaga di luar agar dia tidak dapat kabur dan lekas menyalakan lampu!”

“Baiklah, kau boleh keluar!” jawab Lo Sam. Menyusul cahaya api lantas menyala. Waktu semua orang memandang si “badan halus” yang jatuh tadi, ternyata betul sudah menghilang.

Berubah air muka Kang Piat-ho, cepat ia melompat ke tepi jendela, namun di luar tetap gelap gulita dan tiada bayangan seorang pun.

“Cepat benar kaburnya keparat tadi, lekas kita mengejarnya!” kata Lo Sam sambil menghentak lantai.

“Banyak sekali jalan lolos di sini, mungkin percuma saja mengejarnya,” ujar Hoa Bu-koat.

“Apakah membiarkan dia kabur begitu saja?” kata Kang Piat-ho penasaran.

“Dengan tenaga pukulannya tadi setelah kugeser balik sehingga dia melukai kaki tangan sendiri, kuyakin dia tidak sanggup kabur begitu saja,” kata Hoa Bu-koat.

“Kalau begitu jelas orang yang menghamburkan senjata rahasia dan memadamkan lampu itulah yang membawa lari dia,” ucap Kang Piat-ho dengan gemas.

“Tapi saudaraku mungkin telah mengejarnya, entah dapat menyusulnya atau tidak?” kata Lo Sam.

“Kukira kakakmu tidak dapat menyusulnya,” ujar Hoa Bu-koat. “Kalau orang itu mampu membawa lari pecundangku di depan mataku dengan sendirinya dia memiliki kepandaian lain dari pada yang lain, apa lagi kita sudah terhalang sejenak oleh senjata rahasia yang dihamburkan tadi, hendak mengejarnya juga sia-sia belaka.”

“Betul, kalau orang itu mampu menolong keparat itu di depan Hoa-kongcu, dengan sendirinya saudaraku juga tidak mampu menyusulnya,” kata Lo Sam dengan gegetun.

“Kukira kakakmu akan lebih baik tidak berhasil menyusulnya, kalau tidak dalam keadaan sendirian tentu dia akan menghadapi bahaya, inilah yang membuat hatiku tidak tenteram,” ujar Kang Piat-ho dengan tertawa.

“Keparat itu berani sembarangan mengoceh dan merusak nama baik Kang-tayhiap, dengan sendirinya dia harus dibekuk untuk bisa mencuci bersih nama Kang-tayhiap yang tercemar. Sekarang dia telah kabur, betapa penting soal ini. Namun Kang-tayhiap ternyata tidak ambil pusing dan malah memikirkan keselamatan saudaraku, sungguh budi luhur Kang-tayhiap sukar dibandingi orang lain,” demikian Lo Sam mengumpak.

“Ah, benar atau salah tentu orang Kangouw dapat membedakannya, orang macam apa diriku Kang Piat-ho ini tentu juga sudah cukup diketahui oleh kawan-kawan Kangouw, bagiku cukup asalkan merasa tidak berbuat sesuatu yang memalukan, pada hakikatnya aku tidak pedulikan fitnah dan nista orang lain,” seru Kang Piat-ho dengan lantang.

“Benar,” kata Lo Sam pula dengan tertawa, “orang yang terkenal tentu tidak luput dari desas-desus jahat, nama Kang-tayhiap segemilang sang surya di tengah cakrawala, hanya sedikit fitnah yang tidak masuk akal itu mana dapat menggoyahkan nama baik Kang-tayhiap di mata orang Kangouw?”

“Sebab itu juga kuyakin orang itu pasti takkan pergi begitu saja,” ucap Kang Piat-ho dengan tersenyum. “Kalau dia bertekad hendak menjatuhkan namaku, tentu dia akan datang kembali....”

“Jika dia datang lagi, tentu engkau takkan membiarkan dia lolos lagi, begitu bukan?” sela Hoa Bu-koat dengan mengulum senyum.

“Bila mana dia datang lagi, Cayhe hanya ingin tahu sesungguhnya dia itu orang macam apa?” ucap Kang Piat-ho sekata demi sekata…..

********************

Tadi, begitu lampu padam dan terdengar suara mendesing ramai, segera Siau-hi-ji tahu telah kedatangan bintang penolong. Selagi dia hendak merangkak bangun, tahu-tahu seorang telah merangkulnya terus dibawa lari menerobos keluar jendela.

Ginkang orang itu tergolong tokoh kelas satu, hanya beberapa kali gerakan saja sudah berada beberapa puluh tombak jauhnya. Pada saat itulah Siau-hi-ji masih sempat mendengar suara Lo Kiu lagi berseru di dalam ruangan agar semua orang jangan sembarang bergerak dan tetap berdiri di tempat masing-masing.

Habis itu ia tidak dengar lagi apa yang terjadi di sana, sejenak kemudian ia sudah dibawa kabur meninggalkan perkampungan yang kacau itu.

Terasa angin malam meniup sejuk, tangan dan kaki Siau-hi-ji masih terasa sakit akibat saling genjot sendiri tadi, diam-diam ia terkejut juga teringat kepada ilmu silat Hoa Bu-koat yang ajaib dan lihai itu.

Sekejap tadi sesungguhnya sangat berbahaya bagi keselamatan Siau-hi-ji kalau saja tiada orang menolongnya tentu dia tak dapat lolos.

Dan siapakah penolongnya ini?

Selama hidup Siau-hi-ji boleh dikatakan cuma ada musuh dan tiada kawan, lalu siapakah yang sudi turun tangan menyelamatkannya dan untuk apakah menolongnya?

Karena ingin tahu, Siau-hi-ji lantas tanya, “Sungguh sangat berterima kasih atas pertolongan saudara ini.”

“Ehm!” terdengar orang itu bersuara singkat sambil tetap lari. Karena terkempit olehnya, maka Siau-hi-ji tidak dapat melihat wajah orang.

Selang sejenak, kembali Siau-hi-ji bertanya, “Apakah kau tahu bahwa diriku ini bukanlah orang yang baik, mengapa engkau menolong aku?”

“Tapi kau pun tidak busuk,” ucap orang itu dengan tertawa.

“Jika demikian, jadi kau kenal aku?”

“Ehm,” kembali orang itu cuma mendengus.

“Namun aku tidak kenal engkau, siapakah engkau?”

“Coba tebak!”

“Dengan sendirinya engkau seorang lelaki.”

“Betul!”

“Dari suaramu kukira usiamu belum tua.”

“Tapi juga tidak muda lagi.”

“Dengan sendirinya pula engkau bukan Sin-sik Totiang,” kata Siau-hi-ji pula.

“O,” kembali orang itu bersuara singkat.

“Jika engkau Sin-sik Totiang tentu aku takkan disuruh menerka, orang beragama pasti tidak suka main sembunyi seperti maling takut ketahuan.”

Dasar anak dugal, orang menolongnya, dia malah memaki orang. Soalnya dia sengaja hendak memancingnya supaya orang bicara lebih banyak, dengan demikian ia berharap dapat mengenali dari suaranya.

Tak disangka orang itu pun tidak marah, sebaliknya menjawab dengan tertawa, “Betul juga ucapanmu.”

Karena tidak dapat menerka siapa penolongnya ini, tiba-tiba Siau-hi-ji berkata, “He, jangan-jangan engkau ini Han-wan Sam-kong?”

“Aku tidak kenal setan judi itu,” jawab orang itu dengan tertawa.

“Habis siapa? Sesungguhnya engkau ini setan atau manusia?”

“Selamanya kau takkan mampu menerka siapa diriku ini.”

“Kalau tidak kau katakan, awas akan kumaki kau!”

“Makilah, tak pernah kutakut dimaki orang.”

“Hm, jangan kau kira kaki tanganku tak dapat bergerak, jika kau tak mau mengaku, segera kututuk Hiat-tomu, lalu meringkusmu dan akan kulihat kau ini siapa sebenarnya,” sembari bicara tangan Siau-hi-ji benar-benar mulai menggerayangi pinggang orang.

“Tapi jangan kau lupa aku adalah tuan penolongmu.”

“Aku tidak sudi menerima budimu ini!” ucap Siau-hi-ji. “Ada sementara orang sengaja menolong orang dengan harapan mendapatkan imbalan, kau menolong aku, bukan mustahil kau pun ingin peralat diriku, bisa jadi kau handak mencelakakan aku dengan lebih kejam.”

“Kau ternyata sukar dilayani, tidak sedikit orang yang kukenal, tapi belum pernah kulihat orang macam kau....” sambil berkata orang itu mendadak melayang masuk jendela sebuah rumah, lalu Siau-hi-ji diturunkan.

Daun jendela rumah itu ternyata terbuka sepanjang malam, di dalam rumah malahan lampu masih menyala. Di bawah cahaya lampu akhirnya Siau-hi-ji dapat melihat wajah penolongnya.

Orang ini bukan lain dari pada Lo Kiu yang penuh rahasia itu!

Dengan tersenyum-senyum Lo Kiu memandang Siau-hi-ji, katanya kemudian, “Aku, tak tersangka olehmu bukan?”

“Kau…mengapa bisa kau?” gumam Siau-hi-ji dengan mata terbelalak.

“Kutahu selamanya kau takkan mampu menerka,” Lo Kiu tertawa.

“Tapi... tapi jelas kudengar kau berseru di ruangan tadi.”

“Itu suara saudaraku Lo Sam, dia sengaja bersuara dua orang dan orang lain tentu menyangka aku masih berada di sana, dengan sendirinya takkan terpikir bahwa akulah yang menolongmu.”

“Aha, benar-benar akal bagus, sampai aku pun tertipu, apa lagi orang-orang itu.”

“Untuk mengelabui mata rase tua macam Kang Piat-ho itu bukanlah permainan yang mudah.”

“Betul, hendak menipu Kang Piat-ho memang bukan pekerjaan mudah,” kata Siau-hi-ji dengan sorot mata tajam. “Tapi engkau toh berhasil menipu Kang Piat-ho, sesungguhnya engkau ini siapa?”

“Cayhe she Lo bernama Kiu, bukankah sejak tadi kau sudah tahu?”

“Kau dapat mengelabui orang lain tapi jangan harap dapat mengelabui aku. Kutahu kau ini pasti bukan sembarangan orang, tapi sengaja berlagak bodoh dan pura-pura dungu, kau sengaja menyembunyikan nama aslimu serta mengubah tingkah lakumu, kau pasti mempunyai muslihat tertentu.”

“Kau sendiri menyembunyikan wajah aslimu, memangnya kau pun mempunyai muslihat tertentu?” balas Lo Kiu dengan tertawa.

Siau-hi-ji melengak, akhirnya ia tertawa, katanya, “Baiklah, anggap kau memang pintar bicara, aku pun takkan tanya dirimu lagi, tak peduli siapa kau dan muslihat apa yang terkandung di balik tindakanmu ini, akhirnya toh pasti akan kuketahui kelak.”

“Akhirnya pasti akan kau ketahui bahwa Cayhe sama sekali tidak mempunyai tipu muslihat apa-apa,” kata Lo Kiu.

“Jika begitu, coba jawab pertanyaan ini, pertama kita bukan sanak bukan kadang, kedua selamanya kita belum kenal. Nah, untuk apa kau menolong aku?”

“Cayhe cuma kagum dan bersimpatik padamu, tidak tega melihat engkau terdesak begitu, makanya turun tangan menyelamatkanmu.”

“Hm, mungkin karena kau lihat aku mempunyai kemampuan sejurus-dua, makanya ingin memperalat diriku....”

“Haha, ucapan saudara ini terasa berlebihan, maksud baikku malah kau terima dengan pengertian keliru.”

“Jika kau ini orang baik, maka di dunia ini pasti tiada orang busuk,” ujar Siau-hi-ji, “Ada lebih baik kau bicara terus terang, apa maksud tujuanmu menolong aku dengan menyerempet bahaya tadi?”

“Tentang ini....”

“Di antara manusia dan manusia memang kebanyakan saling memperalat, kau ingin memperalat diriku, siapa tahu aku pun ingin memperalatmu. Maka, bila kau menginginkan sesuatu, katakan saja terus terang, sekali-kali aku takkan menyalahkan kau.”

“Haha, saudara benar-benar seorang yang suka bicara blak-blakan, sungguh Cayhe sangat kagum,” Lo Kiu bergelak tertawa, mendadak ia berhenti tertawa dan menatap Siau-hi-ji, lalu menyambung dengan suara berat, “Soalnya Cayhe melihat tindakan saudara berniat membongkar kedok Kang Piat-ho yang munafik itu, padahal Cayhe juga sudah lama berniat demikian, sebab itulah....”

“Sebab itulah kau menyelamatkan aku, begitu?”

“Jika saudara mau bekerja sama dengan kami bersaudara, betapa pun licinnya Kang Piat-ho sekali ini mungkin sukar mempertahankan diri.”

Dia menatap Siau-hi-ji, tapi anak muda itu pun menatapnya, katanya dengan perlahan, “Sudah jelas kau berada di pihak Thi Bu-siang dan Tio Hiang-leng, tapi diam-diam kau bersekongkol pula dengan Kang Piat-ho, sudah terang kau berkomplot dengan Kang Piat-ho, tapi diam-diam ingin bersekongkol pula dengan diriku, sesungguhnya apa sebabnya?”

Lo Kiu meraba-raba dagunya yang gemuk itu, jawabnya dengan tertawa, “Tujuanku berkawan denganmu benar-benar timbul dari lubuk hati yang murni, masa saudara tidak percaya padaku?”

“Baik, tak peduli apa maksud tujuanmu, asalkan kau mau benar-benar membongkar kedok Kang Piat-ho, maka aku bersedia berserikat denganmu, dalam hal ini aku pasti menyokongmu sampai detik terakhir.”

“Bagus, sekali janji pasti jadi!” seru Lo Kiu girang.

“Mestinya aku hendak bertepuk tangan denganmu sebagai janji seorang lelaki, cuma sayang tanganku bengkak kesakitan karena terpukul tanganku sendiri tadi,” kata Siau-hi-ji dengan tertawa.

Tempat mereka berada ini ternyata sebuah loteng kecil, namun terpajang cukup indah, permadani tebal dengan bunga sulaman menarik, berjalan di atas permadani tebal ini sedikit pun tidak menerbitkan suara.

Baru sekarang Siau-hi-ji sempat mengawasi sekelilingnya, tertampak di atas meja terpajang barang-barang antik yang bernilai tinggi, di dinding banyak hiasan indah, ada benda-benda kecil sebangsa golok dan pedang terbuat dari emas murni, ada pula kuda-kudaan dan orang-orangan ukiran batu kemala, ada pula boneka siluman iblis yang bermuka buruk serta bidadari yang cantik. seluruh ruangan penuh suasana gaib laksana dunia khayalan dalam dongeng kanak-kanak.

“Bagaimana rumah ini menurut pandangan saudara?” tanya Lo Kiu dengan tertawa.

“Sebenarnya rumah ini milik siapa? Mengapa kau sembarangan menerobos kemari?” tanya Siau-hi-ji.

“Inilah tempat tinggalku,” jawab Lo Kiu.

“Ini rumahmu?” Siau-hi-ji menegas dengan terkejut. “Memangnya kau tidak takut Kang Piat-ho mencari ke sini?”

“Saudara tidak perlu khawatir, tempat tinggalku tidak diketahui oleh siapa pun.”

“Tampaknya kau dapat berpikir panjang dan pintar mengatur sehingga dapat merancang suatu tempat tinggal begini di sini....” Siau-hi-ji memandang pula sekitarnya, lalu menyambung dengan tertawa, “Tapi aku benar-benar tidak mengerti bahwa kalian berdua orang gede dapat mengatur tempat tinggal sebagus ini.”

“Meski tempat tinggal ini milik kami bersaudara, tapi bukan kami sendiri yang mengaturnya?” jawab Lo Kiu.

“O, jadi ada orang lain yang mengaturnya?”

“Ya, orang yang mengatur tempat ini tentu sangat menarik perhatian saudara bila mana kau melihatnya.”

“Memangnya sebab apa,” tanya Siau-hi-ji.

“Sebab dia adalah wanita yang mahacantik.”

“Wanita cantik? Hahaha!” Siau-hi-ji bergelak tertawa. “Justru kepalaku jadi pusing bila melihat wanita cantik.”

“Biar pun saudara tidak bakal terpikat oleh wanita cantik, tapi dia…dia benar-benar lain dari pada yang lain. Bukan saja cantik, bahkan membawa semacam perasaan yang misterius, kukira pasti mencocoki seleramu.”

“Caramu propaganda ini rada menarik juga, aku menjadi ingin melihatnya,” ucap Siau-hi-ji.

Segera Lo Kiu menarik tali keleningan, katanya dengan tertawa, “Segera saudara dapat melihatnya.”

“Orang yang dapat mengatur tempat seindah ini tentu rada-rada lain dari pada yang lain....” belum lanjut ucapannya, tiba-tiba Siau-hi-ji membelokkan pokok percakapan, katanya, “He, apakah Kang Piat-ho masih tinggal di tempat yang bobrok itu?”

“Meski masih di sana, tapi rumah itu sudah tidak bobrok lagi,” jawab Lo Kiu tertawa.

“Bukankah dia lebih suka tinggal di rumah rusak dan tidak ingin diperbaiki, mengapa sekarang dia berubah pikiran?” tanya Siau-hi-ji.

“Soalnya Hoa Bu-koat yang memperbaiki rumahnya itu dan Hoa Bu-koat juga berdiam di sana.”

“Tak tersangka bahwa Hoa Bu-koat bisa bergaul dengan manusia munafik begitu, sungguh aku merasa sayang baginya.”

“Lahirnya Kang Piat-ho berlagak seperti orang berbudi luhur, orang yang tidak tahu kemunafikannya tentu suka bersahabat dengan dia. Ilmu silat Hoa Bu-koat sangat hebat, namun dia masih muda belia dan kurang berpengalaman....”

“Hoa Bu-koat justru pintar luar dalam, cuma dia dapat menyembunyikan semuanya ini, jika kau anggap dia masih muda dan hijau, maka kau sendirilah yang kurang pengetahuan.”

“Jangan-jangan saudara dan Hoa Bu-koat kenalan lama?” sinar mata Lo Kiu tampak gemerlap.

Siau-hi-ji tersenyum, jawabnya “Apakah kau tahu pemeo yang mengatakan ‘siapa yang paling mendalam, memahami pribadi seseorang, seringkali dia adalah musuhnya yang paling besar’.”

Sekonyong-konyong ia merasakan sesuatu di belakangnya, cepat ia berpaling, benar saja tahu-tahu. seorang telah berdiri di situ, cahaya lampu dengan jelas menyinari wajahnya.

Ternyata sebuah wajah yang mahacantik, alis yang lentik, mata yang besar dengan pandangan yang rawan.

Tampaknya dia memandang Siau-hi-ji, tapi justru seperti tidak tahu Siau-hi-ji berada di situ, dia tetap berdiri tegak seperti orang linglung.

Dia ternyata bukan lain dari pada Buyung Kiu adanya, itu nona kesembilan dari keluarga Buyung yang termasyhur.

Seketika Siau-hi-ji juga melenggong.

Lo Kiu seperti tidak memperhatikan perubahan sikap Siau-hi-ji itu, dia malah berkata dengan tertawa, “Nona linglung inilah yang mengatur ruangan ini.”

“Nona linglung?” Siau-hi-ji menegas.

“Ya, waktu kutemukan dia, keadaannya justru begitu, berlari kian kemari seperti orang linglung. Kutanya dia apakah mau ikut aku pulang, dengan tertawa dia mengangguk. Kutanya siapa namanya, dia tetap tertawa dan mengangguk…Ai, hari-hari dia seperti orang suka berjalan di waktu tidur, maka kusebut dia nona linglung atau nona mimpi.”

Siau-hi-ji tahu, semakin pintar seseorang, semakin banyak memeras otak, semakin tidak tahan oleh suatu pukulan batin, kalau mengalami guncangan batin yang keras, pasti jiwanya akan terganggu dan jadi abnormal.

Sudah tentu Siau-hi-ji tahu Buyung Kiu mengalami pukulan batin apa dan mengapa berubah menjadi begini, namun dia tidak mau menerangkannya, dia hanya menghela napas dan berkata, “Nona linglung, nona mimpi, ehm, baik juga nama ini.”

Lo Kiu mengawasi Siau-hi-ji sejenak, tiba-tiba ia tanya, “Jangan-jangan saudara kenal dia?”

“Apakah kelihatan dia kenal aku?” jawab Siau-hi-ji.

Sinar mata Buyung Kiu tampak buram seakan-akan tidak mengenal siapa pun juga.

“Tentunya saudara tidak kenal dia, tapi... tapi bagaimana pandanganmu terhadap dia?” tanya Lo Kiu.

Tergerak pikiran Siau-hi-ji, jawabnya, “Biar pun kubilang bagus juga tiada gunanya, masa kau rela memberikan dia padaku?”
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar