Bakti Pendekar Binal Jilid 07

Kang Piat-ho berdiri dengan pongahnya di tengah ruangan, jengeknya, “Barangkali Thi-loenghiong mengira dengan menyembunyikan barisan pemanah ini akan dapat menjebak orang she Kang? Hehehe, teramat rendah sekali kalian menilai diriku.”

Dengan suara keras Thi Bu-siang menjawab, “Sesungguhnya apa yang terjadi ini sama sekali Lohu tidak tahu-menahu.”

“Tapi kalau tidak disetujui Thi-loenghiong rasanya Tio-cengcu juga tidak berani bertindak demikian,” jengek Kang Piat-ho.

Segera Thi Bu-siang berpaling kepada tuan rumah dan membentak dengan gusar, “Tio Hiang-leng, coba katakan, siapa yang suruh menggunakan cara rendah dan kotor ini?”

“Ini... ini....” Tio Hiang-leng gelagapan dan menunduk.

Sekonyong-konyong Lo Kiu berdiri dan berseru, “Kami bersaudara mengira Thi-locianpwe dan Tio-cengcu adalah ksatria sejati, makanya jauh-jauh kami datang ke sini, tak tahunya sekarang kalian menggunakan cara kotor begini....”

Dengan suara keras Lo Sam lantas menyambung, “Jelek-jelek kami bersaudara juga tidak sudi bergaul dengan manusia rendah begini. Mulai saat ini apa pun yang terjadi atas Te-leng-ceng sama sekali tiada sangkut-paut dengan kami bersaudara.”

“He, mengapa kalian berkata demikian, bukankah semua ini atas prakarsa kalian?” teriak Tio Hiang-leng.

“Hm, orang she Tio, setelah kepepet, kau berani menumplekkan semua persoalan kepada kami bersaudara?” jengek Lo Kiu.

“Biar pun kau menyangkal dengan cara apa pun juga tiada orang mau percaya,” sambung Lo Sam.

“Bagus, kau… bagus....” Tio Hiang-leng meraung dengan murka.

“Aku tidak ingin membela pihak mana pun, tapi urusan sudah jelas begini, apa pula yang dapat kalian katakan?” demikian Hoa Bu-koat membuka suara dengan tenang.

“Lohu…Ai, sungguh bikin gusar Lohu!” seru Thi Bu-siang dengan menggereget, mendadak darah tersembur dari mulutnya. Saking gemasnya orang tua ini jadi pingsan.

Anak muridnya menjadi kaget dan gusar pula, ada yang memburu maju untuk menolong sang guru, ada yang melolos pedang siap tempur. Pemuda baju ungu itu lantas berseru, “Sabar dulu, sebelum persoalan menjadi jelas, kita jangan sembarangan bertindak!”

Dengan sikap kereng Kang Piat-ho berkata, “Betul, kalau sang guru tidak berbudi, anak murid tidak perlu lagi taat padanya. Kalian harus dapat membedakan antara yang benar dan salah, dengan demikian kalian pasti akan dihormati setiap orang persilatan.”

“Tapi urusan ini sesungguhnya bagaimana, kami....” pemuda baju ungu tampak ragu-ragu.

“Urusan ini sudah jelas, bukti dan saksi sudah nyata, memangnya kalian masih tidak percaya?” kata Kang Piat-ho dengan tegas.

Mendadak pemuda baju ungu menghela napas sedih, katanya, “O, Suhu, janganlah engkau menyesali tindakan murid yang tak setia ini, soalnya engkau sendiri melakukan perbuatan yang tidak baik, demi kebenaran terpaksa Tecu....” dia merandek, setelah menggentak kaki, tiba-tiba ia menanggalkan pedangnya dan dilemparkan ke lantai.

Perbuatan pemuda baju ungu ini sungguh amat lihai, kalau setiap orang Kangouw sudah mengetahui anak murid Thi Bu-siang sendiri juga mengakui kesalahan gurunya, lalu orang lain mau bilang apa lagi?

Keenam murid Thi Bu-siang yang lain hanya taat kepada sang pimpinan, melihat tindakan pemuda baju ungu itu, tiga orang lainnya segera ikut membuang pedang, sebagian pedang yang tadinya terhunus siap tempur itu pun diturunkan ke bawah.

Dengan suara lantang Kang Piat-ho lantas berseru, “Kecuali Thi Bu-siang dan Tio Hiang-leng, urusan ini tiada sangkut-pautnya dengan orang lain, asalkan kalian tidak ikut-ikutan, maka pihak kami juga takkan membikin susah orang yang tak berdosa.”

Tio Hiang-leng ketakutan hingga giginya gemertuk, katanya dengan suara parau, “Sesungguhnya ada permusuhan apa antara kau dan aku, mengapa kau bikin susah diriku cara begini?”

“Meski Cayhe tiada permusuhan apa-apa dengan kau, tapi demi kebenaran dan keadilan tak dapat kuampunimu.”

Mendadak Tio Hiang-leng menjadi nekat, teriaknya dengan menyeringai, “Baik, kutahu kau bela Toan Hap-pui dan bertekad hendak melenyapkan diriku, tapi kau pun jangan menyalahkan aku, sebab saat ini Toan Hap-pui sudah berada dalam genggamanku, kalau aku mati dia juga takkan hidup.”

“Apa betul?” jengek Kang Piat-ho. Dia memberi tanda, segera dua joli digotong keluar dari ruangan belakang, pemikul joli bagian depan jelas adalah si tukang pikul yang pintar omong dan pandai berdebat itu.

“Siapa yang berada di dalam joli, apakah kau ingin tahu?” tanya Kang Piat-ho kepada Tio Hiang-leng.

Waktu “tukang pikul joli” itu menyingkap tirai joli, tertampak seorang gemuk duduk di dalam dengan tertawa, siapa lagi kalau bukan Toan Hap-pui.

Sampai di sini Tio Hiang-leng benar-benar sudah kalah habis-habisan, dengan pedih ia memandang sekelilingnya, mendadak ia meraung sekali, seperti orang gila terus berlari keluar.

Kang Piat-ho juga tidak mencegahnya, jengeknya, “Hm, memangnya kau masih ingin kabur?!”

Baru saja Tio Hiang-leng lari keluar ruangan tamu itu, dari samping yang gelap tiba-tiba sebuah tangan menariknya, lalu membisiki beberapa patah kata di telinganya.

Setelah mendengar bisikan itu, Tio Hiang-leng seperti habis minum obat mujarab, seketika semangatnya terbangkit…..

********************

Sementara itu Thi Bu-siang sudah siuman.

Dengan tenang Hoa Bu-koat berkata, “Mengingat namanya diperoleh dengan susah payah, biarlah dia membereskan dirinya sendiri saka.”

Walau pun menghadapi sesuatu keputusan besar, tapi sikap Hoa Bu-koat tetap tenang-tenang dan sabar, seakan-akan segala urusan tidak begitu penting baginya.

Segera Kang Piat-ho menjemput pedang yang dibuang si pemuda baju ungu tadi, perlahan-lahan ia sodorkan kepada Thi Bu-siang dengan pandangan tajam tanpa berucap. Dia memang tidak perlu lagi membuka suara.

Thi Bu-siang lantas menghela napas panjang sambil menengadah, serunya dengan suara parau, “O, Tuhan, betapa pun matiku tidak rela.” Sorot matanya yang penuh rasa pedih dan bengis itu menyapu pandang setiap anak muridnya, sampai-sampai pemuda baju ungu juga tidak berani menatapnya dan lekas menunduk.

Mendadak Thi Bu-siang berteriak dengan suara kereng, “Ini Thi Bu-siang berdiri di sini, jika di antara kalian ada yang anggap aku berdosa dan ingin mencabut nyawaku, ayolah maju sekarang juga! Kuyakin Tuhan takkan mengampuni orang yang berdosa!”

Di bawah cahaya lilin yang gemerlap tertampak sorot matanya tajam berapi, rambut jenggotnya seakan-akan berjengat, sikapnya yang murka penuh rasa duka itu membuat keder orang yang memandangnya.

Tanpa terasa Kang Piat-ho mundur satu tindak. Tapi si “tukang pikul joli” itu malah terus melompat maju sambil membentak, “Manusia yang tidak berbudi setiap orang boleh membunuhnya, kalau orang lain tidak tega turun tangan, biar aku saja yang membereskan kau.”

Pada saat itu juga tiba-tiba terdengar seorang membentak, “Kang Giok-long, kau benar-benar berani turun tangan?!”

“Tukang pikul” itu tergetar, cepat ia membalik tubuh, terlihat Tio Hiang-leng masuk kembali dengan langkah lebar, meski wajahnya tetap pucat pasi, tapi dadanya sudah terbusung, bicaranya juga lantang, tidak lagi takut seperti tadi.

Setelah Tio Hiang-leng sampai di tengah ruangan barulah semua orang melihat di belakangnya masih ikut satu orang lagi. Orang ini berjubah hijau dan berkaos kaki putih, kepalanya memakai sebuah kalo bambu untuk menutupi mukanya, jalannya bergoyang-goyang sehingga mirip “arwah halus” yang menempel di tubuh Tio Hiang-leng seperti lakon yang biasa dimainkan di atas panggung, seram tampaknya sehingga membuat orang bergidik.

Tapi hanya sekejap saja “tukang pikul” itu terkejut, segera dia dapat tenangkan diri, dengan tertawa ia lantas menjawab, “Haha, apakah kau maksudkan diriku ini Kang Giok-long, Kang Siauhiap? Masakah pendekar muda kita yang termasyhur itu sudi menjadi tukang pikul joli seperti diriku, apa matamu tidak buta?”

“Kang Giok-long,” teriak Tio Hiang-leng, “Orang lain mungkin dapat dikelabui olehmu, tapi jangan harap dapat mengelabui aku. Kau telah merampas harta kiriman keluarga Toan, lalu cepat-cepat pulang ke sini untuk menyamar sebagai tukang pikul joli, tujuanmu sudah tentu hendak membunuh Thi-locianpwe, dengan caramu ini tentu setiap orang Kangouw akan menganggap Thi-locianpwe tewas di tangan seorang kuli tukang pikul, andaikan kelak ada orang yang ingin menuntut balas juga tidak perlu mencari ayah beranak ‘Kang-lam-tayhiap’ yang munafik dan palsu itu…Wahai, Kang Giok-long, tindak tanduk kalian ayah beranak memang harus diakui teramat rapi sehingga setitik lubang saja tidak kentara sama sekali.”

“Tukang pikul” itu tergelak-gelak, katanya, “Nah, hadirin sudah dengar semua, keparat ini ternyata berani menuduh Kang-siauhiap sebagai perampok harta kiriman keluarga Toan…Hehe, coba Toan-loyacu, tidakkah keparat ini orang gila sembarangan mengoceh?”

Mata Toan Hap-pui yang menyipit itu sekilas gemerdep memancarkan cahaya yang licik, dengan tersenyum ia pandang Tio Hiang-leng, katanya dengan perlahan, “Mengapa kau berkata demikian? Padahal Kang-siauhiap sendiri yang merampaskan kembali harta kirimanku yang dirampok orang itu, jika dia yang merampok, kenapa pula dia merampasnya kembali?”

“Waktu pertama kali harta kirimanmu itu dirampok adalah kerja sama antara Siang-say-piaukiok dengan Kang Giok-long, jika Kang Giok-long tidak pura-pura merampas kembali harta kirimanmu itu tentu Siang-say-piaukiok yang wajib memberi ganti rugi padamu,” tutur Tio Hiang-leng.

“Untuk apa mereka membuat begitu?” tanya Toan Hap-pui.

“Dengan berbuat begitu, tentu nama Kang Giok-long akan tambah tersohor dan terhormat di dunia Kangouw, apa lagi....” Sampai di sini Tio Hiang-leng sengaja merandek.

Toan Hap-pui menjadi tidak sabar dan mendesak, “Apa lagi bagaimana?”

“Apa lagi kalau terjadi harta kiriman dirampok untuk yang kedua kalinya, tentu orang lain takkan curiga atas diri Kang Giok-long,” dengan perlahan Tio Hiang-leng menjelaskan.

“Kalau begitu, lalu orang-orang Siang-say-piaukiok mengapa terbunuh pula?”

“Untuk rapinya muslihat keji ini, dengan sendirinya orang-orang Siang-say-piaukiok harus dikorbankan,” sambung Tio Hiang-leng. “Dengan sendirinya Kang Giok-long harus membunuh mereka untuk melenyapkan saksi. Apa lagi kalau orang-orang Siang-say-piaukiok sudah mati semua, dengan sendirinya mereka tidak perlu ganti rugi lagi dan harta kiriman yang berjumlah besar itu akan jatuh ke tangan Kang-lam-tayhiap kita dengan aman sentosa.”

Kang Piat-ho mengernyitkan dahi dan melirik sekejap ke arah si “tukang pikul joli” tadi.

Dengan gusar “tukang pikul joli” itu lantas membentak, “Dasar maling berteriak maling, sudah kepepet malah kau menggigit orang, betapa pun takkan kuampuni kau!” Di tengah bentakannya ia terus menubruk ke arah Tio Hiang-leng dengan cepat luar biasa.

Tentu saja Tio Hiang-leng kaget dan tampak tidak sempat mengelak, pada saat itulah sekonyong-konyong sesosok bayangan berkelebat, tahu-tahu Hoa Bu-koat sudah mengadang di depan si “tukang pikul”.

Pukulan “tukang pikul” itu sudah telanjur dilontarkan dari sukar dikendalikan, tampaknya tubuh Hoa Bu-koat akan terpukul, tapi mendadak ia menggeser tubuh, tangan lain menepuk tangan yang lagi menghantam itu, dengan demikian tubuhnya lantas berputar dan pukulan juga menceng ke samping.

Gerakan yang gesit dan cekatan ini sungguh luar biasa, kalau tidak memiliki ilmu silat tingkat tinggi tidak mungkin bertindak demikian, dan ini dapat dilakukan oleh seorang “tukang pikul joli”.

Tentu saja hati semua orang tergerak, sedang dahi Kang Piat-ho berkerut semakin rapat. Hoa Bu-koat juga berkata dengan tersenyum, “Ilmu silat bagus! Gerak tubuh yang hebat....”

“Tukang pikul joli” itu memandangnya dengan terkesiap, tanyanya dengan tergagap, “Mengapa Hoa-kongcu ber....”

“Siapa pun yang ingin bicara harus kita terima dan dengarkan pendapatnya,” kata Hoa Bu-koat dengan tersenyum, “Sekali pun kita tidak percaya ucapannya juga harus memberi kebebasan bicara padanya. Betul tidak?”

Terpaksa “tukang pikul” itu mengiakan sambil menunduk.

Hoa Bu-koat lantas berpaling kepada Tio Hiang-leng, tanyanya, “Kau berani bicara begitu, memangnya kau mempunyai buktinya?”

Tio Hiang-leng termenung-menung sejenak, tapi segera ia berseru pula, “Bahwa orang-orang Siang-say-piaukiok terbunuh begitu saja tanpa melawan sama sekali, padahal kepandaian kedua ekor singa itu tidaklah lemah. Nah, sekarang Cayhe ingin tanya, seumpama orang berkepandaian tinggi seperti Hoa-kongcu, kalau sekaligus hendak membinasakan orang-orang itu, dapatkah engkau laksanakan tanpa mendapat perlawanan sama sekali dari mereka?”

Hanya setelah termenung sejenak lalu ia dapat bicara dengan lancar dan tajam seakan-akan mendadak diberi petunjuk oleh seseorang. Dengan sendirinya hal ini menimbulkan curiga Kang Piat-ho, sorot matanya yang tajam segera menyapu ke arah “badan halus” yang berada di belakang Tio Hiang-leng itu.

Dengan perlahan Hoa Bu-koat lantas menjawab, “Betul, seumpama orang berkepandaian lebih kuat dari padaku juga pasti akan mendapat perlawanan sekali pun dia dapat membinasakan mereka dengan mudah akhirnya.”

“Dan di dunia ini apakah masih ada orang yang berkepandaian lebih tinggi dari pada Hoa-kongcu?”

“Andai kata ada juga tidak banyak jumlahnya,” jawab Hoa Bu-koat dengan tersenyum.

“Bagus, makanya persoalan ini hanya ada satu jawabannya,” kata Tio Hiang-leng.

“Bagaimana jawabannya?” tanya Bu-koat.

“Yang membunuh mereka itu pastilah orang yang sangat karib dengan kedua ekor singa she Li itu, karena mereka tidak menyangka orang itu bakal turun tangan keji padanya, maka mereka tidak berjaga-jaga dan karena itu pula tidak sempat melawan....” Tio Hiang-leng menyeringai, lalu menyambung pula, “Dan tidak perlu ditanyakan pula bahwa orang itu dengan sendirinya ialah Kang Giok-long.”

“Tapi menurut saksi hidup si tukang kuda itu, katanya yang turun tangan keji itu adalah seorang kakek,” kata Bu-koat.

“Ilmu mengubah rupa di dunia Kangouw sekarang sudah bukan rahasia lagi, kalau dia dapat menyamar sebagai tukang pikul joli, mengapa dia tidak dapat menyamar sebagai seorang kakek....” ia merandek sejenak, lalu menyambung lagi, “dia sengaja membiarkan si tukang kuda tetap hidup supaya dari mulut tukang kuda itu dapat tersiar semua yang dilihatnya, kalau tidak dengan kepandaiannya masakah tukang kuda itu dapat mengelabui mata telinganya sungguhpun dia bersembunyi. Kecuali itu, setelah tukang kuda itu dapat menyelamatkan diri segera dia menyiarkan kejadian itu secara jelas dengan dibumbu-bumbui pula, coba pikir seorang yang terkejut mengalami kejadian ngeri itu masih dapat bicara sejelas itu, maka... maka tukang kuda itu pasti juga sekomplotan dengan dia dan sebelumnya telah diberi petunjuk cara bagaimana dia harus menyiarkan peristiwa itu....”

Pada bagian-bagian ucapannya selalu dia berhenti sejenak seakan-akan sedang memperhatikan apa yang dibisikkan oleh si “badan halus” yang berada di belakangnya itu.

Dengan tatapan tajam Kang Piat-ho lantas mengejek, “Dan apa yang kau uraikan ini atas petunjuk siapa pula?”

“Ini... ini... adalah hasil pemikiranku sendiri, aku....” sampai di sini kembali Tio Hiang-leng merandek pula, lalu menyambung dengan suara keras, “Oya, tadi aku keliru, bisa jadi si tukang kuda itu adalah samaran si ‘tukang pikul joli’ sekarang ini, ialah Kang Giok-long, sedangkan yang turun tangan keji itu ialah Kang Piat-ho.”

Mendadak Kang Piat-ho terbahak-bahak sambil menengadah, katanya, “Sebelumnya aku tidak peduli akan jalan pikiranmu, tapi lantaran kau mengoceh sembarangan, terpaksa tak bisa kuampuni kau.”

Ucapannya ini ternyata tidak ditujukan kepada Tio Hiang-leng, matanya juga tidak memandang tuan rumah itu, tapi sorot matanya yang tajam justru menatap ke arah si “badan halus” yang berada di belakang Tio Hiang-leng.

Sekonyong-konyong terdengar suara bentakan perlahan, entah sejak kapan si “tukang pikul joli” itu sudah berada di belakang “badan halus”, menyusul ia terus menubruk maju, secepat kilat telapak tangannya terus menghantam.

Perhatian semua orang sama tertarik oleh ucapan Kang Piat-ho tadi sehingga tiada yang memperhatikan tindakan “tukang pikul joli” itu, tahu-tahu dia menyerang secara tiba-tiba dan tampaknya pasti akan mengenai sasarannya.

Tak terduga “badan halus” itu seperti sudah memperhitungkan cara bagaimana dan dari arah mana akan diserang, tanpa menoleh sebelah tangannya lantas menampar ke belakang.

Gerakan yang kelihatannya sepele itu ternyata menuju ke titik lemah serangan si “tukang pikul joli” itu sehingga memaksa dia harus menyelamatkan diri lebih dulu sebelum sempat melukai lawan. Sebisanya ia menutul kedua kakinya dan melompat mundur, dengan terbelalak ia pandang “badan halus” ini dengan sangat ketakutan seperti melihat setan.

Padahal semua orang sudah menyaksikan betapa lihai ilmu silatnya ketika menyerang Thi Bu-siang tadi, kini dia dapat digempur mundur oleh gerakan sepele seorang yang tak menarik, tentu saja semua orang sama terkejut. Sudah tentu si “tukang pikul” sendiri lebih-lebih tidak menduga bahwa serangannya yang pasti akan berhasil itu bisa berubah menjadi seperti permainan anak kecil saja bagi lawan.

Dilihatnya “badan halus” itu membalik tubuh perlahan, dengan terkekeh-kekeh menegurnya, “Apakah kau kenal aku?”

“Sia…siapa kau?” tanya si ‘tukang pikul’ dengan suara parau.

“Kau tidak kenal aku, tapi kukenal kau…mati pun takkan kulupakan dirimu,” suaranya melengking tajam dan kedengaran rada-rada seram.

Tanpa terasa “tukang pikul” itu bergidik, katanya pula, “Sesungguhnya kau ini sia…siapa?”

“Sudah kukatakan sejak tadi, aku ini bukan manusia, tapi setan!” sambil bicara selangkah demi selangkah ia terus mendekati orang dan tanpa terasa “tukang pikul” itu pun mundur selangkah demi selangkah.

Entah mengapa, suasana di tengah ruangan yang terang benderang itu mendadak berubah menjadi seram.

Walau pun air muka “tukang pikul” itu tidak kelihatan berubah, namun sinar matanya jelas menampilkan rasa takut luar biasa, wajah yang kaku tanpa perasaan itu disertai sorot mata yang ketakutan itu semakin menambah seram orang yang melihatnya.

Hoa Bu-koat ternyata diam saja dan tiada tanda-tanda hendak turun tangan. Kang Piat-ho tampak mengedip, seperti memberi isyarat, habis itu lantas terdengar si pemuda baju ungu berteriak, “Wah, celaka! O, Suhu…Suhu…O, Suhu bunuh diri!”

Karena teriakan ini, seketika pandangan semua orang beralih dari si “badan halus” ke arah Thi Bu-siang, setelah melihat apa yang terjadi, semua orang ikut menjerit kaget.

Thi Bu-siang kelihatan masih duduk tegak di kursinya, tapi pedang tadi kini telah menancap di lehernya, bajunya berlumuran darah. Karena lehernya tertembus pedang sehingga tak dapat berteriak, kedua tangannya tampak memegangi batang pedang, seperti hendak menusukkannya lebih dalam, tapi juga seperti ingin mencabutnya, namun tidak kuat.

Kedua mata jago tua itu tampak melotot gusar, sorot mata sebelum ajalnya menampilkan rasa kaget, gusar dan penuh dendam, setelah mengembuskan napas terakhir, pandangannya yang masih penuh rasa benci dan dendam itu seakan-akan tetap menatap si pemuda baju ungu.

“Thi Bu-siang tidak malu sebagai seorang ksatria,” demikian Kang Piat-ho berkata dengan menghela napas menyesal. “Dia berani mengaku salah dan berani bertanggung jawab, dengan kematiannya ini, segala dosa dan nama busuk di waktu hidupnya boleh dikatakan sudah tercuci bersih.”

Mendadak “badan halus” itu berteriak, “Kentut busuk! Thi Bu-siang sekali-kali bukan membunuh diri!”

“Kalau Thi-locianpwe tidak bunuh diri, memangnya aku orang she Kang yang membunuhnya?” damprat Kang Piat-ho dengan gusar. Setelah merandek sejenak, lalu ia menyambung pula, “Seumpama aku mau membunuh dia tentu sudah kulakukan sejak tadi, untuk apa menunggu sampai sekarang?”

Tapi “badan halus” itu pun mengejek, “Hm, kalau Thi Bu-siang mau membunuh diri tentu sudah lama dia lakukan, tidak nanti dia menunggu sampai sekarang. Kalau tadi dia tidak sudi mati penasaran, sekarang duduknya perkara sudah terang, lebih-lebih tidak mungkin dia membunuh diri.”

“Jika Thi-locianpwe bukan membunuh diri, lalu siapa lagi yang mampu membunuhnya tanpa mendapat perlawanan? Kematian Thi-locianpwe ini justru mati dengan putih bersih, memangnya kau ingin dia mendapat nama busuk setelah mati?” bentak Kang Piat-ho dengan bengis.

Dengan suara tidak kalah bengisnya “badan halus” itu menjawab, “Kalau bertempur berhadapan, sudah tentu tiada seorang pun yang dapat membunuh Thi-locianpwe tanpa mendapat perlawanannya, tapi kalau membunuhnya secara gelap....”

“Memangnya aku Kang Piat-ho dapat membunuhnya secara menggelap?” teriak Kang Piat-ho murka.

“Sekali ini dengan sendirinya bukan perbuatanmu, kau sendiri tahu Thi Bu-siang sudah berjaga-jaga terhadap kecuranganmu, sekali pun kau hendak menyergapnya juga sukar berhasil,” jengek pula ‘badan halus’ itu.

“Kalau bukan aku, habis apakah Hoa-kongcu?” dengus Kang Piat-ho.

“Kan sudah kukatakan, yang turun tangan pastilah orang yang paling karib dengan Thi Bu-siang, karena tidak tersangka orang ini akan menyerangnya secara gelap, maka dengan mudah dapat berhasil.”

“Siapa yang membunuh guruku, biar aku adu jiwa dengan dia!” mendadak pemuda baju ungu berteriak.

“Yang membunuh gurumu ialah kau sendiri!” jengek ‘badan halus’ itu.

Tergetar badan pemuda itu, teriaknya dengan gusar, “Kentut busuk, betapa berbudi guruku terhadapku, mana bisa aku membunuh guruku sendiri, apa kau…sudah…sudah gila!”

“Kau sendiri yang sudah gila!” jengek orang itu. “Jika kau merasa utang budi kepada guru, seharusnya kau membalas kebaikannya itu, tapi kau justru membalas air susu dengan air tuba, diam-diam kau bersekongkol dengan orang she Kang. Tatkala perbuatanmu yang khianat ini akan terbongkar diam-diam kau menikam leher gurumu. Kau kira setelah gurumu mati tentu tiada saksi hidup lagi untuk membongkar perbuatanmu yang terkutuk ini, tapi kau lupa bahwa di sini masih ada aku!”

“Kau ini siapa? Berani sembarang memfitnah orang?” teriak pemuda baju ungu dengan parau.

“Memangnya kau mau bukti?”

“Mana buktinya? Coba perlihatkan!”

“Orang lain tidak punya bukti, tapi bukti lengkap berada padaku. Aku sendiri yang menyaksikan kau yang menaruh racun di dalam arak waktu kalian hendak meracun Tio Coan-hay tempo hari.”

Tubuh pemuda baju ungu kembali bergetar, tapi ia membentak pula, “Kentut busuk! Guruku yang mengundang Tio-congpiauthau untuk didamaikan dengan Sam-siang-piaukiok, untuk apa aku meracuni Tio-congpiauthau malah?”

“Soalnya kau telah bersekongkol dan diperintah berbuat begitu oleh Kang Giok-long agar perdamaian itu gagal dan sekaligus merusak nama baik gurumu, itu artinya sekali bertindak tiga korban, sungguh muslihat keji.”

“Kentut busuk! Siapa... siapa yang mau percaya ocehanmu ini?”

“Kau berani menyangkal lagi? Justru aku menyaksikan sendiri kau berunding dengan Kang Giok-long tentang muslihat keji itu di dapur restoran Su-hay-jun tempo hari.”

“Mana bisa kau menyaksikan sendiri? Kau... kau sembarangan memfitnah orang, biar ku…ku mampuskan kau!” teriak pemuda baju ungu sambil menubruk maju.

Tapi baru saja ia bergerak, mendadak “badan halus” itu membuka kalo bambu yang menutupi mukanya itu dan menyeringai, “Coba pandanglah dengan jelas siapakah diriku ini?”

Di bawah cahaya lampu tertampak wajahnya yang kotor, rambut semrawut sehingga seperti setan gentayangan.

Seketika pemuda baju ungu tergetar mundur, serunya dengan suara gemetar “Kau... kau....”

“Supaya tahu, aku adalah arwah halus orang yang kau bunuh bersama Kang Giok-long itu, kalian hendak menghilangkan saksi hidup dan membunuhku, aku mati penasaran, jadi setan juga akan kubongkar muslihat keji kalian, akan kutagih nyawa padamu.”

Belum habis ucapannya, seperti kesurupan pemuda baju ungu itu lantas menjerit, “Setan…setan…ada setan!” Berbareng ia terus mundur-mundur dan akhirnya lari terbirit-birit seperti orang gila.

Tapi belum beberapa jauh ia lari, sekonyong-konyong sinar pedang berkelebat, belum pemuda itu mencapai pintu sudah lantas jatuh tersungkur, sebilah pedang telah menembus tengkuknya hingga dia terpantek di tanah.

Pemuda baju ungu itu tidak sempat menjerit dan tahu-tahu sudah mati terkapar. Tapi sekali ini semua orang menyaksikan dengan jelas, pedang itu tersambit dari tangan Kang Piat-ho.

Tenang-tenang saja Kang Piat-ho, katanya dengan perlahan, “Orang ini menjadi tidak waras, kalau membiarkan dia pergi mungkin akan mengganggu ketenteraman umum, terpaksa aku membunuhnya.”

Tiba-tiba “badan halus” tadi membentak, “Kang Piat-ho, kau membunuhnya untuk menghilangkan saksi hidup, tapi malah bicara muluk-muluk, terkutuklah kau!”

“Huh, kau main sembunyi-sembunyi dan tidak berani memperlihatkan wajah aslimu, siapa yang mau percaya ocehanmu?!” jawab Kang Piat-ho tersenyum.

Ucapan ini dengan jitu mengenai titik kelemahan si “badan halus”.

Tidak perlu dijelaskan lagi, “badan halus” ini dengan sendirinya ialah Siau-hi-ji, di depan Hoa Bu-koat, dengan sendirinya ia tidak berani memperlihatkan muka aslinya.

Perlahan Kang Piat-ho berkata pula, “Seorang lelaki sejati harus berani bicara dan berani bertanggung jawab, jika apa yang kau katakan tadi menyangkut persoalan sepenting ini, seharusnya kau berani memperlihatkan muka aslimu di depan orang banyak.”

Tertegun juga Siau-hi-ji, akhirnya ia berteriak, “Asalkan apa yang kukatakan adalah betul, apa sangkut-pautnya dengan wajah asliku segala?”

“Nah, coba pikir, hadirin sekalian,” segera Kang Piat-ho menambahkan, “jika perkataan orang ini memang betul, mengapa dia tidak berani menghadapi orang dengan muka aslinya.”

Waktu Siau-hi-ji memandang sekelilingnya, tertampak sorot mata setiap orang sama menatap wajahnya dengan rasa sangsi.

Dengan tenang Kang Piat-ho lantas berkata pula, “Orang ini sengaja main sembunyi-sembunyi, sembunyi kepala memperlihatkan ekor, mengoceh semaunya untuk menakut-nakuti orang lain, maksud tujuannya jelas tidak baik....”

Sembari bicara ia pun senantiasa memperhatikan sikap hadirin, sampai di sini tiba-tiba ia berkata kepada Hoa Bu-koat dengan sekata demi sekata, “Hoa-kongcu adalah orang bijaksana, apakah engkau tidak ingin tahu asal usul mereka?”

“Mereka?” Hoa Bu-koat menegas.

“Ya, selain bocah ini tentu masih ada pula si ‘tukang pikul’ itu, Cayhe juga ingin tahu apakah dia memang anakku yang tak becus Giok-long sebagaimana dituduhkan orang ini.”

Ucapan Kang Piat-ho ini kedengaran adil dan tidak memihak. Maklumlah dalam waktu sesingkat ini suasana di ruangan ini sesungguhnya telah berubah terlalu banyak dan terlalu cepat.

Di tengah kegaduhan tadi banyak orang sudah melupakan urusan si “tukang pikul joli” itu. Kini setelah disebut oleh Kang Piat-ho, dengan sendirinya pandangan semua orang lantas mencari ke arah orang yang disebut, tapi bayangan “tukang pikul” itu ternyata tidak nampak lagi, bahkan para tukang joli yang ikut serta Toan Hap-pui dan Samkohnio dengan kedua jolinya juga sudah menghilang entah sejak kapan.

Tanpa terasa Siau-hi-ji menggentak kaki, meski dia pintar dan cerdik, tapi pengalaman masih cetek sehingga kurang rapi pengawasannya dan akibatnya terjadilah kelengahan yang fatal ini.

Kang Piat-ho tampaknya menjadi gusar dan berteriak, “He, mengapa ‘tukang pikul’ itu menghilang? Bilakah perginya?”

Lo Kiu yang sejak tadi hanya menjadi penonton itu tiba-tiba menanggapi, “Badan Toan-loyacu kurang sehat, dia terlalu tegang dan tidak tahan melihat semua kejadian ini, maka sejak tadi dia suruh mereka menggotongnya pulang.”

“Orang kalau terlalu gemuk memang tidak boleh merasa tegang, jika sering tegang bisa kena angin duduk, kami bersaudara juga mempunyai penyakit begitu,” demikian sambung Lo Sam dengan tertawa.

Kang Piat-ho berlagak menyesali Lo Kiu, katanya, “Jika kalian melihat kepergian mereka, seharusnya ‘tukang pikul’ itu ditahan di sini, kalau persoalan ini tidak dibikin terang, betapa pun Cayhe merasa tidak enak.”

“Huh, kau musang berbulu ayam ini, kalau bicara hal pura-pura dan berlagak, kau memang terhitung nomor satu di dunia,” damprat Siau-hi-ji saking gemasnya.

Kang Piat-ho balas mendengus, “Hm, bukan mustahil ‘tukang pikul’ itu sekomplotan denganmu dan sengaja hendak memfitnah diriku, kalau tidak mengapa kau membiarkan dia kabur begitu saja?”

Ternyata menghilangnya “tukang pikul” itu berbalik digunakannya untuk menghantam Siau-hi-ji dan cara bicaranya juga cukup beralasan, kini meski tidak semua orang percaya kepada ucapannya, sedikitnya sudah mulai meragukan tuduhan Siau-hi-ji tadi.....
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar