Bahagia Pendekar Binal Jilid 33

“Hahaha, Nona tidak perlu pantang omong,” seru si kerdil dengan tertawa. “Katakan saja ‘Kui-tong-cu’ (Anak Setan), nama ini sudah biasa bagiku, tidak nanti kumarah dengan nama ini.”

Mendengar nama “Kui-tong-cu” seketika Tan Hong-ciau, Lamkiong Liu, dan lain-lain sama terkesiap. Sejak kecil mereka sudah pernah mendengar cerita tentang “anak setan”, konon ginkangnya tinggi luar biasa, adalah ahli waris “yim-sut”, semacam ilmu gelut di kepulauan lautan timur (kepulauan Okinawa Jepang).

Konon Kui-tong-cu ini seakan-akan mahir ilmu menghilang, jika dia hendak mencari rahasiamu, sekali pun dia sembunyi di bawah kursimu juga takkan kau ketahui.

Cuma tokoh aneh ini sudah terkenal pada lima puluh tahun yang lalu, selama tiga puluh tahun terakhir ini hampir tidak pernah lagi terdengar kabar beritanya, konon dia telah pergi lagi jauh ke lautan timur sana untuk menikmati kehidupan bebas di pulau yang mengasyikkan itu.

Ada pula cerita, katanya di kepulauan timur sana kebanyakan penghuninya adalah orang pendek (bangsa Ainu, penduduk asli kepulauan Jepang memang rata-rata bertubuh pendek), sebab itulah ia merasa cocok berdiam di sana. Sekarang tokoh ini mendadak muncul lagi di daerah Tionggoan, hal ini sungguh aneh dan entah apa maksud tujuannya.

Dengan hormat Tan Hong-ciau lantas buka suara, “Sudah lama Wanpwe sekalian mendengar nama kebesaran Cianpwe, kini dapat berjumpa, sungguh sangat menggembirakan.”

“Haha, mulutmu omong manis begini, dalam hati mungkin kalian waswas dan ingin tanya untuk apa makhluk tua aneh ini datang kemari, betul tidak?” kata Kui-tong-cu dengan tertawa.

“Ah, mana berani,” jawab Tan Hong-ciau.

“Padahal tanpa kau tanya juga akan kukatakan,” ujar Kui-tong-cu.

Tan Hong-ciau hanya mengiakan tanpa memberi komentar lagi.

Maka si kerdil lantas berkata pula, “Kedatanganku ini adalah untuk urusan: pertama, kudengar Nona Thi ini hendak menikah, maka sengaja kupanggilkan satu rombongan pemain musik, kujamin rombongan musik ini adalah pemain kelas satu. Tapi saat ini rombongan pemusik itu belum tiba dan upacara pernikahan Nona Thi telah berlangsung, ini kan membikin malu padaku, sebab itulah sedapatnya kuharap Nona Thi menunda sebentar upacara nikah ini.”

Diam-diam Tan Hong-ciau dan lain-lain menghela napas lega setelah mengetahui kedatangan orang aneh ini bukan hendak mencari perkara kepada mereka.

Sedangkan Li Toa-jui dan kawan-kawannya diam-diam terkejut, mereka heran ada hubungan apakah antara si kerdil aneh dengan Thi Sim-lan? Mengapa dia ikut sibuk bagi urusan nona ini?

Kui-tong-cu tertawa dan berkata pula, “Sebenarnya aku ini tidak pernah kenal Nona Thi ini, cuma pembawaanku saja yang suka ikut campur urusan tetek bengek.”

Meski di dalam hati Li Toa-jui dan kawan-kawannya sama sangsi dan penuh tanda tanya, tapi tiada seorang pun berani bertanya.

Bahwa mereka sudah berdiam selama dua puluh tahun di Ok-jin-kok dengan batin tersiksa, kini mereka muncul lagi di dunia kangouw, meski tindak tanduk mereka agak mendekati main gila dan mengacau, tapi apa pun juga mereka adalah “Cap-toa-ok-jin”, nama Cap-toa-ok-jin itu tidak diperoleh dengan begitu saja. Maka bila benar-benar menghadapi urusan gawat, pada umumnya mereka dapat menahan perasaan dan berpikir panjang.

Terdengar Kui-tong-cu berkata pula, “Dan urusan kedua, jika kuceritakan tentu akan sangat menarik.”

“Wanpwe siap mendengarkan,” ujar Tan Hong-ciau dengan tersenyum.

“Soalnya tanpa sengaja aku telah menyelamatkan satu orang, kabarnya orang ini manusia berengsek. Tapi dasar watakku memang juga aneh dan paling suka berkawan dengan orang berengsek. Sebab pada umumnya orang tidak suka berkawan dengan orang berengsek, jika aku pun serupa orang lain, kan kasihan orang berengsek itu. Dan kalau seorang perlu dikasihani kan tidak dapat dikatakan berengsek lagi?”

Diam-diam para Buyung bersaudara itu sama geli mendengar ocehan si kerdil yang lucu itu.

Tiba-tiba Pek Khay-sim menyela, “Wah, jika begitu, mungkin kawan berengsek Cianpwe ada satu barisan bila dikumpulkan.”

Dasar mulut usil dan suka pada kata-kata yang menyakitkan hati, bila mana Pek Khay-sim bungkam saja mungkin tenggorokannya akan terasa gatal, maka pada setiap kesempatan dia pasti ikut menimbrung, hal ini serupa seekor anjing yang melihat najis, sulit untuk melarangnya agar jangan makan kotoran.

Kui-tong-cu memandangnya dengan tertawa, “Tampaknya kau inilah yang bernama Pek Khay-sim yang suka merugikan orang lain tanpa menguntungkan diri sendiri itu. Hehe, kau memang tidak bernama kosong. Kedatanganku ini antara lain juga ingin mencarimu.”

Keruan Pek Khay-sim terkesiap, cepat ia berkata, “Men... mencari aku? Untuk... untuk apa? Aku kan tidak makan manusia juga tidak... berjudi, betapa pun aku kan lebih bersih dari pada mereka?”

“Sebenarnya bukan aku yang ingin mencarimu, hanya kawanku yang berengsek itulah merasa ada urusan yang belum dibereskan bersamamu, maka dia ingin berunding lebih lanjut dengan kau,” sampai di sini mendadak si kerdil berseru, “Ayolah, lekas kemari, kau harimau ompong, apakah kau tak berani menemui orang lagi?”

Mendengar kata-kata terakhir ini segera Pek Khay-sim hendak mengeluyur pergi, sebab ia sudah tahu orang yang dimaksud itu. Pek-hujin yang sejak tadi tampak berlagak kemalu-maluan itu, demi mendengar ucapan si kerdil ini, seketika mukanya juga berubah pucat.

Namun sudah terlambat bagi Pek Khay-sim untuk mengeluyur pergi, baru saja ia lompat ke sana, tahu-tahu Kui-tong-cu sudah mengadang di depannya dengan tertawa.

Pada saat itu pula terdengar berdetaknya geladak kapal, seorang muncul dengan langkah lebar. Siapa lagi dia kalau bukan orang yang istrinya hendak direbut Pek Khay-sim, yaitu Pek San-kun.

Pek Khay-sim menghela napas gegetun, gumamnya, “Ai, persoalan yang rumit ini cara bagaimana harus diselesaikan?”

“Kalau sukar diselesaikan, boleh dihitung saja secara perlahan-lahan,” ujar Li Toa-jui dengan tertawa. “Kalian kan sudah menjadi sekutu dalam perusahaan, apa pula yang sulit dirundingkan?”

Dengan geregetan Pek Khay-sim melototi Li Toa-jui, kalau bisa ia hendak melabraknya dengan mati-matian. Cuma saat itu Pek San-kun sudah berada di depannya, cepat ia menyapa dengan tertawa, “Kita sama-sama she Pek dan berasal dari satu kandang, janganlah kita percaya kepada mulut usil orang lain yang hendak mengadu domba sehingga keluarga Pek kita bertengkar sendiri.”

“Hm, berasal dari satu kandang, tentu juga berkongsi dalam kamar,” ujar Li Toa-jui.

Kembali Pek Khay-sim menjadi murka, segera ia hendak menubruk maju, tapi Pek San-kun malah mencegahnya dan berkata dengan tertawa, “Sebenarnya ucapan Saudara ini juga betul, aku...”

“Ucapannya betul? Hm, hakikatnya dia lagi kentut,” teriak Pek Khay-sim. “Aku dan binimu tidak... tidak ada sesuatu hubungan apa pun, aku pun tidak... tidak ingin menikahi dia, kedatanganmu ini sungguh sangat kebetulan bagiku.”

“Ah, mana boleh jadi begitu?” ujar Pek San-kun. “Jika biniku itu telah menikah denganmu, untuk selanjutnya dia adalah istrimu. Jelek-jelek aku pun tahu istri kawan sendiri jangan diganggu, mana boleh kuganggu istrimu sekarang.”

Bahwa Pek San-kun dapat bicara demikian, ini benar-benar membuat semua orang tercengang dan tidak terkecuali Pek Khay-sim, dengan tergagap-gagap ia berkata, “Ap... apa artinya ucapanmu ini? Masa... masa kau tidak mengambil kembali binimu?”

“Sama sekali tiada maksudku untuk bertindak begini,” jawab Pek San-kun dengan tertawa. “Kedatanganku justru akan mengadakan penyelesaian prosedur denganmu, yakni mengadakan timbang terima resmi, habis itu siapa pun tidak boleh mengganggu gugat lagi.”

“Aku merebut binimu, masa... masa kau tidak mengadu jiwa denganku?” teriak Pek Khay-sim dengan tergagap.

“Tidak, sama sekali tiada maksudku hendak bertengkar denganmu, bahkan aku harus berterima kasih padamu,” kata Pek San-kun.

Keruan Pek Khay-sim melongo tidak habis mengerti, ucapnya kemudian, “Masa... masa kau... kau berterima kasih...?”

“Hahaha!” Pek San-kun bergelak tertawa dan berkata pula, “Cayhe sudah menikmati dia selama dua puluh tahun, sekarang sudah waktunya kau pun boleh mencicipi dia. Meski perangainya memang kurang baik, cemburunya juga gede, tidak dapat menanak nasi, juga tidak mahir mengurus rumah tangga, tapi terkadang ia pun bisa goreng telur, cuma sayang lebih sering kebanyakan garam sehingga asinnya minta ampun...”

Sungguh sukar dibayangkan Pek San-kun bisa bicara seperti ini, keruan Pek Khay-sim melenggong dan menyengir.

Sedangkan Pek-hujin lantas berjingkrak girang, teriaknya parau, “Kau... kau tua bangka mau mampus, kau berani... berani membusuk-busukkan nyonya besar...”

“Eh, jangan Toaso (kakak ipar) salah sasaran,” kata Pek San-kun sambil tertawa. “Sekarang Cayhe bukan lagi suami Toaso, untuk ini hendaklah Toaso selalu mengingatnya dengan baik.”

Seketika Pek-hujin juga melenggong dan tidak dapat bersuara lagi.

Pek San-kun memberi hormat dan berkata pula, “Terimalah ucapan selamat dariku, semoga kalian hidup rukun bahagia hingga hari tua, atas kebaikan kalian berdua yang telah sudi membebaskan tanggung jawabku, sungguh Cayhe takkan lupa dan kelak pasti akan membalas budi kebaikan kalian ini.”

Dia menghela napas lega dan terbahak-bahak, lalu membalik dan melangkah pergi.

Semua orang saling pandang dengan bingung, siapa pun tidak menyangka di dunia ini ada manusia macam begini dan kejadian demikian.

Selang sejenak barulah Pek-hujin bergumam, “O, dia tidak menghendaki diriku lagi, dia telah meninggalkan diriku, apakah benar ini...”

“Akan lebih baik jika tidak benar,” ujar Pek Khay-sim. “Cuma sayang, tampaknya dia memang tidak pura-pura.”

“Tidak, ini pasti tidak benar,” teriak Pek-hujin. “Kutahu... kutahu saat ini dia pasti sangat sedih, tak dapat kubiarkan dia pergi begitu saja.”

Sambil berteriak ia terus lari keluar. Padahal dia sudah kelaparan selama tiga-empat hari, selama itu Pek Khay-sim hanya memberi makan sepotong bakpao dan secangkir air, sekarang setitik tenaga itu telah dikeluarkan semua untuk berlari sekuatnya seperti khawatir kalau kedua kakinya akan ditarik orang dari belakang. Padahal tiada seorang pun yang akan punya pikiran untuk menariknya, lebih-lebih Pek Khay-sim.

Sebenarnya Pek Khay-sim juga merasakan perempuan ini agak menarik, yang paling menarik adalah karena dia istri orang lain. Kaum lelaki pada umumnya memang cenderung mempunyai suatu pendapat yang sama, yaitu bahwa istri orang selalu jauh lebih menarik. Apalagi Pek Khay-sim yang suka merugikan orang lain tanpa menguntungkan diri sendiri. Sebab itulah ketika orang menghendaki dia menikah dengan Pek-hujin tentu saja dia tidak menolak.

Mestinya dia berharap bila mana Pek San-kun mengetahui kejadian ini tentu akan keki setengah mati dan akan melabraknya habis-habisan, siapa tahu Pek San-kun sama sekali tidak bertindak demikian, sebaliknya malah menyerahterimakan istrinya itu kepadanya dengan hormat seakan-akan istrinya itu cuma seonggok sampah belaka dan malahan seperti berkhawatir kalau Pek Khay-sim tidak mau menerimanya.

Sekali ini Pek Khay-sim benar-benar kecewa karena semua itu di luar dugaannya. Tiba-tiba ia pun merasakan Pek-hujin ini sesungguhnya memang tidak lebih menarik dari pada seonggok sampah.

Rupanya ini pun merupakan penyakit kebanyakan lelaki di dunia ini, kalau ada dua lelaki bersaing memperebutkan seorang perempuan, sekali pun perempuan itu mirip seekor babi betina, namun bagi pandangan kedua lelaki itu tentu cantik luar biasa, setiap bagian tubuhnya mungkin akan dipandang indah seperti bidadari. Akan tetapi bila salah seorang lelaki itu mendadak melepaskan haknya, maka lelaki yang lain tentu akan segera sadar, “Ah, kiranya dia cuma seekor babi betina dan tidak lebih dari pada itu.”

Begitu pula keadaan Pek Khay-sim sekarang. Sekarang ia merasa Pek-hujin lebih memuakkan dari pada seekor babi betina, ia berharap perempuan itu bisa lekas-lekas lari pergi dan menghilang, kalau bisa terjerumus ke sungai tentu akan lebih baik lagi.

Tak tahunya, baru saja Pek-hujin berlari sampai di depan Kui-tong-cu, mendadak sebelah tangan kakek mini itu meraih, kontan kuduk Pek-hujin kena dicengkeramnya.

Padahal tubuh Kui-tong-cu jauh lebih pendek dari pada Pek-hujin, tapi entah bagaimana, tahu-tahu perempuan itu dapat diangkatnya begitu saja, bahkan tampaknya tidak makan tenaga.

Kui-tong-cu menyeretnya ke depan Pek Khay-sim, lalu dilepaskan. Pek-hujin tampak melenggong, agaknya ia ketakutan melihat kesaktian si kakek kerdil, ia sendiri bingung mengapa dirinya bisa diangkat dan diseret begitu saja tanpa berdaya oleh seorang kecil begini.

“Tapi... aku ingin mencari suamiku, masa tidak boleh?” kata Pek-hujin dengan tergagap-gagap.

“Suamimu berada di sini, kau hendak mencarinya ke mana?” kata Kui-tong-cu dengan menarik muka.

“Tetapi... tetapi aku tidak ingin menjadi istrinya, orang... orang lain yang memaksakan perkawinan ini,” kata Pek-hujin.

“Jika kau benar tidak ingin menjadi istrinya, mengapa tadi kau berlagak seperti malu-malu kucing dan jinak-jinak merpati serupa pengantin baru?” tanya Kui-tong-cu.

Pek-hujin mengucek matanya agar keluar air mata, tapi sayang air matanya tidak banyak, pula tidak mau menurut, sengaja dikucek malah tidak mau keluar.

“Hendaklah kau bicara secara jujur saja,” kata Kui-tong-cu pula. “Jika kau banyak tingkah lagi dan kalau Kakek menjadi marah, bisa jadi akan kujodohkan kau pada anjing jantan.”

Benar juga, Pek-hujin tak berani bersuara pula, ia tahu si kakek kerdil ini tidak boleh dibuat main-main, apa yang sudah diucapkan bisa terus dilaksanakan. Betapa pun ia tidak ingin menjadi istri anjing jantan, paling tidak Pek Khay-sim kan lebih baik dari pada anjing jantan.

Kui-tong-cu tertawa, mendadak ia tepuk-tepuk pundak Hoa Bu-koat, untuk itu ia harus berdiri dengan ujung kaki barulah tangannya dapat mencapai pundak anak muda itu.

“Anak muda,” kata Kui-tong-cu dengan tertawa, “kau benar-benar mujur dapat memperistri keponakan she Thi kami ini.”

Saat itu Hoa Bu-koat berdiri diam di situ, selain berdiri saja ia memang tiada tenaga untuk berbuat urusan lain, mungkin ia pun masih dapat bicara, tapi dalam keadaan demikian apa yang dapat dikatakannya?

Kui-tong-cu memandangnya pula, ia mengerut kening demi melihat sikap Bu-koat yang acuh-tak acuh itu, katanya, “Apa pun juga, kau akan mendapatkan istri baik seperti ini, apa pula yang membuat kau kurang gembira?”

Mendadak Thi Sim-lan berkata, “Cianpwe, aku... aku...”

To Kiau-kiau dan kawan-kawannya memang tidak menutuk hiat-to bisu anak dara itu, sebab mereka tidak khawatir dia bicara, andai kata dia bicara hal-hal yang tidak pantas dikemukakannya juga mereka dapat mencegahnya setiap saat.

Tapi sekarang, di hadapan Kui-tong-cu, terpaksa mereka tak berani mencegahnya bicara, sebab tiada seorang pun ingin dicengkeram batang lehernya dan diseret serupa seekor anjing seperti tindakan Kui-tong-cu terhadap Pek-hujin tadi.

Seumpama Kui-tong-cu tidak mempunyai kepandaian lain, cukup melulu caranya membekuk orang itu sudah membuat ciut nyali mereka. Sebab mereka tahu bila mana ingin menghindarkan cengkeraman Kui-tong-cu itu mereka memang belum mampu.

Tapi untunglah Thi Sim-lan hanya bicara dua-tiga patah saja dan tidak melanjutkan lagi.

Dengan tertawa Kui-tong-cu lantas berkata, “Kutahu ada banyak urusan akan kau tanyakan padaku, tapi jangan terburu-buru sekarang, sebentar lagi tentu segala urusan akan menjadi jelas baginya.”

Dalam pada itu para kakak beradik Buyung sudah saling memberi isyarat dan sedang memikirkan cara bagaimana harus melayani tamu aneh ini. Maklum, selamanya anggota keluarga Buyung tidak ingin kurang adat terhadap tamunya.

Tapi sebelum mereka buka suara, Kui-tong-cu sudah berkata lebih dulu dengan tertawa, “Kalian tidak perlu menyuguh arak padaku, selamanya aku tidak suka minum arak, sebab perawakanku kecil, bila minum arak tentu tak dapat melebihi orang lain, maka lebih baik aku tidak mau minum.”

Dengan tertawa Tan Hong-ciau bertanya, “Jika demikian, entah Cianpwe...”

“Apakah kau hendak tanya apa kesukaanku, begitu bukan?” tukas Kui-tong-cu. “Baiklah, akan kukatakan padamu, kegemaranku adalah melihat perempuan menari dengan bugil. Nah, jika kalian ingin memuaskan aku sebagai tamu kalian, lekas kalian membuka baju dan menari.”

Keruan permintaan tidak senonoh ini membuat kakak beradik Buyung kurang senang, serentak Tan Hong-ciau, Lamkiong Liu, dan lain-lain berbangkit.

Sorot mata To Kiau-kiau bercahaya, diam-diam ia bergembira dan berharap kedua pihak itu lekas saling labrak.

Tak terduga, pada saat itu juga, dari hilir sungai sana tiba-tiba berkumandang tiba suara musik yang merdu terbawa sayup-sayup oleh angin. Betapa pun tegangnya suasana bila mendengar suara musik yang merdu ini pasti tak jadi berkelahi lagi.

Seketika suasana menjadi hening, setiap orang pasang telinga mengikuti irama musik yang mengasyikkan itu. Sampai-sampai orang macam Toh Sat juga tergetar perasaannya, sorot matanya mulai berubah menjadi tenang dan hangat. Suara musik ini ternyata dapat menghanyutkan orang kepada kenangan masa lalu, mengenangkan kejadian yang paling menggembirakan.

Tanpa terasa beberapa pasang suami-istri keluarga Buyung itu saling berdekapan, sorot mata masing-masing penuh rasa bahagia.

Sorot mata Hoa Bu-koat tanpa terasa juga memandang ke arah Thi Sim-lan.

Ternyata Thi Sim-lan juga sedang menatapnya. Dalam hati masing-masing sama terkenang kepada pengalaman masa lampau. Pada waktu itu meski mereka pun banyak mengalami suka-duka dan siksa derita, tapi yang terkenang sekarang hanya saat-saat yang menyenangkan, hanya kejadian-kejadian yang menggembirakan saja.

Kui-tong-cu tersenyum memandangi semua orang, gumamnya kemudian, “Nah, sekarang tentunya kalian mau percaya bahwa rombongan pemusik yang kudatangkan ini bukan saja nomor satu di dunia, bahkan belum pernah ada sejak dahulu dan juga masa mendatang. Sekali pun kaisar di zaman dulu juga tidak mampu mendengar musik semerdu ini.”

Suara musik ini semakin mendekat, tertampaklah sebuah perahu meluncur tiba, di atas perahu terang benderang dengan belasan lampu hias, cahaya lampu yang terbayang di air sungai menambah indah perahu itu sehingga tampaknya seperti sebuah rumah mewah berjalan.

Di atas perahu ada tujuh atau delapan orang yang meniup seruling, ada yang membunyikan harpa dan sebagainya, malahan satu di antaranya sedang memukul tambur. Meski suara tambur itu kedengarannya berat, monoton, berulang-ulang tetap begitu saja bunyinya, namun setiap pukulannya seakan-akan mengetuk lubuk hati pendengarnya dan membuat orang mabuk dan lupa daratan.

Di bawah cahaya lampu terlihat jelas orang-orang itu ada lelaki dan ada juga perempuan, tapi semuanya orang tua yang sudah beruban, bahkan ada yang bertubuh bungkuk reyot, malahan sebagian besar pasti sudah ompong.

Ketika mereka sudah berada di atas kapal barulah semua orang melihat jelas mereka ternyata beberapa kali lebih tua dari pada dipandang dari jauh. Bagi orang yang belum melihat mereka tentu sukar membayangkan. Pikir saja, beberapa kakek dan nenek membunyikan musik semerdu ini, benar-benar sukar untuk dibayangkan.

Malahan yang benar-benar tak terbayangkan oleh siapa pun juga adalah suara musik yang penuh gairah hidup, penuh rasa gembira dan bahagia justru dibawakan oleh serombongan orang tua yang boleh dikatakan pasti sudah pikun. Hal ini kalau tidak menyaksikan dengan mata kepala sendiri tentu takkan percaya.

Akan tetapi sekarang semua orang telah menyaksikan sendiri, cuma siapa pun tidak tahu cara bagaimana rombongan orang tua ini naik di atas kapal, soalnya kedatangan perahu kecil ini terlalu cepat. Baru saja kakak beradik Buyung Siang hendak menyambut, tahu-tahu rombongan orang tua ini sudah berada di haluan kapal, bahkan bunyi musik mereka tidak pernah berhenti sejenak pun.

Kini terlihat lebih jelas kakek penabuh tambur itu rambutnya sudah putih seperti salju, tapi kulit badannya hitam seperti arang, tubuhnya kurus tinggal kulit membungkus tulang, tapi bajunya justru tidak terkancing sehingga kelihatan deretan tulang iganya yang mirip pagar bambu.

Tamburnya cukup besar dan tampaknya jauh lebih tua dari pada si penabuhnya serta jauh lebih berat bobotnya. Akan tetapi kakek itu tidak memanggul tamburnya melainkan menjepitnya dengan kedua kakinya dibawa serta melayang ke atas kapal dengan enteng.

Cepat Tan Hong-ciau mendahului memapak maju dan memberi hormat, ucapnya, “Para Cianpwe sudi berkunjung, sungguh kami sangat...”

Belum habis ucapannya, tiba-tiba salah seorang kakek itu berseru, “He, apakah ada di antara kalian ini orang she Ciong?”

Kakek ini tinggi kurus, dia inilah pemetik kecapinya.

Pek Khay-sim mengira si kakek ada sengketa apa-apa dengan orang she Ciong yang ditanyakannya. Maka ia cepat menunjuk Li Toa-jui dan berkata, “Ini dia orang she Ciong!”

Dia menyangka sekali ini Li Toa-jui pasti akan runyam dan dilabrak habis-habisan oleh si kakek. Ia tahu para nona keluarga Buyung pasti juga takkan membela Li Toa-jui dan apa yang akan terjadi nanti pasti sangat menarik.

Tak tahunya si kakek pemetik kecapi itu lantas menjura malah kepada Li Toa-jui dan berkata, “Aku Ji Cu-geh, dahulu kakek-moyangmu Ciong Cu-ki Siansing adalah satu-satunya pengagum leluhurku yang terkenal ahli pemetik kecapi. Sekarang anak cucunya saling bertemu pula di sini, apa bila Saudara tidak menolak, bagaimana kalau kupetik satu lagu bagimu?”

Pada waktu mudanya Li Toa-jui memang juga terpelajar, kalau tidak masakan Thi Bu-siang mau memungutnya sebagai menantu? Sudah tentu ia paham ceritanya tentang persahabatan Cu-geh Siansing dengan Ciong Cu-ki di zaman Ciancok, makanya waktu Pek Khay-sim bilang dia she Ciong, dia hanya diam saja dan tidak membantah.

Segera ia menanggapi ucapan si kakek tadi, “Apa bila Cianpwe berminat tentu saja Cayhe siap mendengarkan.”

Tanpa bicara lagi Ji Cu-geh lantas duduk memangku kecapi. “Creng”, mulailah dia memetik kecapinya, begitu kecapi mulai berbunyi, terasa segarlah setiap orang seperti berada di tempat kediaman dewata.

Li Toa-jui juga berlagak seperti seorang peminat musik sejati, ia pejamkan mata dan mengikuti irama kecapi sambil manggut-manggut dan berulang-ulang menyatakan perasaan kagum dan pujiannya.

Selesai membawakan satu lagu, Ji Cu-geh lantas berbangkit, katanya dengan gegetun, “Sungguh tidak nyana setelah beratus tahun kemudian keluarga Ciong masih ada peminat kecapi sebagaimana leluhurnya, lagu yang kubawakan barusan ini biasanya memang tidak sembarangan kuperdengarkan kepada orang lain.”

Diam-diam To Kiau-kiau menggeleng. Sudah diketahuinya para kakek dan nenek ini pasti memiliki kepandaian yang mahatinggi, tapi tak disangkanya bahwa mereka dapat dibohongi semudah ini, agaknya orang makin tua akan semakin pikun ternyata juga ada benarnya, buktinya orang-orang tua ini kan cukup nyata.

Ji Cu-geh memegang tangan Li Toa-jui dan memperkenalkan kawan-kawannya itu. Ternyata kawanan kakek dan nenek itu mempunyai nama dan she yang aneh, kebanyakan menirukan she seniman di zaman kuno, yang meniup siau atau seruling juga she Siau, yang memetik harpa mengaku she Han, katanya masih keturunan Han Siang-cu, itu anggota Pat-sian atau delapan dewa dalam dongeng.

Geli para nona keluarga Buyung mendengar nama kakek-kakek yang lucu ini, mereka merasa orang-orang tua ini tidak saja pikun, bahkan juga sinting.

Padahal siapa pun dapat menduga bahwa she mereka itu cuma samaran belaka, terutama kakek yang mengaku she Han itu jelas bukan keturunan Han Siang-cu, sebab umum mengetahui Han Siang-cu tidak pernah beristri, lalu dari mana datangnya anak, kalau tidak punya anak, tentu saja tidak mungkin mempunyai keturunan lebih lanjut.

Tapi para kakek dan nenek itu tetap mengaku bernama dan she begitu mau tak mau semua orang percaya saja. Meski semua orang juga tahu orang-orang tua ini pasti kaum pendekar ternama pada beberapa puluh tahun yang lalu, namun tiada yang tahu asal-usul dan nama asli mereka.

Lebih-lebih Thi Sim-lan, ia merasa bingung untuk apakah beberapa orang tua ini sengaja datang membawa musik baginya. Padahal usia setiap orang cukup untuk menjadi nenek moyangnya, mana mungkin ada sangkut paut kekeluargaan dengannya?

Nona besar Buyung adalah istri bijaksana dan berwibawa, pembawaannya juga pendiam, sejak tadi ia hanya duduk diam saja dengan mengulum senyum, kini mendadak ia menarik ujung baju sang suami dan membisikinya, “Waktu sudah larut, semua orang tentu juga lelah, lebih baik kita...”

Tan Hong-ciau menepuk perlahan tangan sang istri, katanya dengan tersenyum, “Kutahu maksudmu, sabarlah sebentar.”

Padahal ia takut keadaan akan bertambah ruwet, ia pun tidak ingin terlibat dalam urusan dengan orang-orang aneh yang tak jelas asal-usulnya ini, segera ia menjura dan berseru, “Kini pemain musik sudah siap, bolehlah silakan kedua pasang mempelai menjalankan upacara agar selanjutnya kita dapat minum beberapa cawan arak bahagia.”

“Tepat, setuju!” To Kiau-kiau mendahului bertepuk tangan.

“Haha, kata peribahasa, waktu adalah uang, kita hanya bersendau gurau saja sejak tadi sehingga melupakan para pengantin baru yang ingin lekas-lekas masuk kamar,” sambung Ha-ha-ji dengan tertawa.

Sudah tentu mereka pun tahu orang-orang tua ini tak boleh dibuat main-main, maka sedapatnya mereka ingin lekas-lekas pergi.

Siapa tahu Kui-tong-cu lantas berseru, “Tidak, tidak boleh sekarang, harus tunggu lagi sebentar.”

“Tunggu apa?” tanya To Kiau-kiau.

“Tunggu satu orang,” jawab Kui-tong-cu.

“Memangnya Cianpwe juga telah mengundang tamu untuk menghadiri pesta ini?” tanya Kiau-kiau.

“Bukan tamu, tapi tuan rumah,” kata Kui-tong-cu.

Tentu saja To Kiau-kiau dan lain-lain sama melengak, “Tuan rumah? Bukankah tuan rumahnya sudah berada di sini?”

Tapi Kui-tong-cu tidak menjawabnya, sebaliknya dia berpaling pada seorang tamu yang bernama Ni Cap-pek dan bertanya, “Di mana bocah itu, tidakkah dia datang bersama kalian?”

Ni Cap-pek melotot, jawabnya, “Memangnya dia datang bersama siapa jika tidak bersama kami?”

“Lalu di mana dia?” tanya Kui-tong-cu.

“Di mana dia, kenapa tidak kau tanya langsung padanya?” jawab Ni Cap-pek.

“Jika kutahu di mana dia, untuk apa kutanya, monyong!” omel Kui-tong-cu.

“Kau tidak tahu, dari mana pula kutahu? Aku kan bukan bapaknya?” jawab Ni Cap-pek dengan melotot.

Diam-diam Li Toa-jui merasa geli, beberapa tua bangka ini ternyata juga seperti anak kecil, kalau sudah bertengkar tampaknya tidak kurang lucunya dari pada dirinya.

Untunglah sebelum urusan menjadi lebih bertele-tele, seorang kakek bernama Lamkwe Siansing menukas, “Bocah itu sebenarnya datang bersama satu perahu dengan kami, tapi dia mengomel katanya laju perahu terlampau lambat, maka dia lantas melompat ke daratan dan ingin memburu ke sini lebih dahulu.”

“Ini namanya ingin cepat jadi lambat,” tambah Ji Cu-geh.

“Ai, wataknya yang tidak sabaran itu mungkin sampai mati pun sukar berubah,” kata Kui-tong-cu dengan tertawa.

Si nenek peniup seruling she Siau menimbrung, “Tapi kalau menurut kecepatan larinya, sekali pun harus mengitar tentu saat ini pun sudah berada di sini. Bisa jadi penyakitnya telah kumat lagi dan berkelahi dengan orang di tengah jalan.”

“Ya, bila mana dia sudah berkelahi, mungkin tiga hari tiga malam juga takkan selesai,” sambung si kakek she Han.

Tergerak hati Kiau-kiau, tanyanya cepat, “Apakah sahabat para Cianpwe itu suka berkelahi dan bila sudah berkelahi sukar lagi dilerai?”

“Ai, memang begitulah sifatnya, bila lawannya belum jera dan minta ampun, maka pasti akan dilabraknya terus,” jawab Kui-tong-cu.

To Kiau-kiau juga ingat pada seseorang, tanyanya segera, “Apakah sahabat para Cianpwe itu ialah...”
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar