Bahagia Pendekar Binal Jilid 32

“Hahaha, memang betul,” tambah Ha-ha-ji, “bila mana kutahu diriku akan mati, takkan kupeduli lagi siapa yang berada bersamaku, baik si Nem maupun si Yem, asalkan perempuan, pasti akan kukawini dia.”

Hoa Bu-koat bungkam saja, ia sudah bertekad takkan bicara apa pun.

“He, kita telah melupakan sesuatu!” seru Li Toa-jui mendadak sambil bertepuk.

“Sesuatu apa?” tanya Kiau-kiau.

“Keluarga Buyung sangat mengutamakan kehormatan, mana bisa mereka mengadakan pesta nikah di tempat sepi begini?” ujar Li Toa-jui.

“Peduli di mana mereka akan pesta, yang penting kita pun ikut pergi ke sana, apa bedanya?” kata Kiau-kiau.

“Jika begitu kita harus mencari keterangan dulu apakah mereka sudah pergi dan di mana mereka akan berpesta?” kata Li Toa-jui.

“Boleh suruh si setan judi saja ke sana, dia mempunyai hubungan baik dengan mereka,” ujar Kiau-kiau.

Pada saat itulah mendadak ada seorang menanggapi dengan suara serak, “Setan hidup sudah pergi ke sana, setan judi tidak diperlukan lagi.”

“Keparat,” damprat Han-wan Sam-kong dengan tertawa. “Kau anak kura-kura setengah manusia setengah setan ini rupanya belum lagi dijebloskan ke neraka.”

Yang bicara itu memang si Poan-jin-poan-kui atau Setengah Manusia Setengah Setan Im Kiu-yu. Mukanya yang seram itu menongol di luar jendela sambil tertawa.

“Jadi kabar tentang keluarga Buyung sudah kau ketahui?” tanya Toh Sat.

“Ya, semula mereka hendak pesta di rumah, tapi kemudian ganti acara,” tutur Im Kiu-yu.

“Sebab apa mereka berganti acara mendadak?” tanya Toh Sat.

Im Kiu-yu menggeleng, jawabnya, “Mereka tidak menjelaskan, juga tidak ada yang berani tanya mereka.”

“Kalau perempuan sudah ambil keputusan sesuatu hal dan tidak berubah pikiran, inilah baru aneh,” ujar Li Toa-jui.

“Sebab apa mereka ganti haluan, bisa jadi To Kiau-kiau mengetahuinya, sedikitnya dia kan setengah perempuan?” kata Ha-ha-ji.

“Betul, aku memang tahu,” ujar Kiau-kiau.

Ha-ha-ji melengak malah, tanyanya, “Kau benar-benar tahu? Dari mana kau tahu?”

“Jika kau mau peras otak sedikit, tentu kau dapat menerkanya,” kata Kiau-kiau. “Cuma pikiranmu rupanya sudah bebal dan perlu direparasi.”

Han-wan Sam-kong mengernyit kening, omelnya, “Keparat, kalian kawanan anak kura-kura ini apakah bisa mampus jika tidak saling memaki dan bertengkar.”

Li Toa-jui tertawa, katanya, “Selama dua puluh tahun ini kami hidup di tempat seperti neraka, selain bercanda, saling maki, dan bertengkar, bisa kerja apa lagi?”

Memang, bila serombongan orang hidup terasing, lalu apa yang dapat mereka lakukan selain mencari pelampiasan menurut keadaan. Dan bagi ok-jin seperti mereka itu, saling mencaci maki adalah seperti makanan sehari-hari bagi mereka.

“Coba katakan, apa yang menyebabkan mereka ganti acara?” tanya Toh Sat kepada Kiau-kiau.

Dengan tertawa Kiau-kiau menjawab, “Coba pikir, jika mereka hendak berpesta sungguh-sungguh menurut tradisi, tentu setiap orang kangouw yang terkenal pasti hadir, semua orang tentu ingin tahu tokoh macam apakah pasangan Nona Buyung Kiu yang terkenal pintar dan cantik itu.”

“Tapi sayang, Nona Kiu kita sekarang telah berubah menjadi linglung, bakal suaminya juga tidak menonjol tampangnya, bahkan agak angin-anginan. Bila mana pasangan suami-istri begini dilihat oleh sanak kadang yang hadir, apakah keluarga Buyung takkan kehilangan muka?”

“Benar, sanak famili mereka tentu terdiri dari keluarga terhormat, kalau bukan hartawan tentu juga bangsawan,” sambung Li Toa-jui dengan tertawa. “Orang-orang golongan atas begitu biasanya makan kenyang tanpa pekerjaan, saking isengnya, yang ditunggu hanya tontonan yang menarik saja dari orang lain, kalau ada bahan bicara, maka gemparlah seketika. Karena itulah keluarga Buyung tidak ingin dijadikan buah tutur dan bahkan tertawaan orang, dengan sendirinya mereka melangsungkan pernikahan Buyung Kiu secara sederhana.”

“Ya, makanya mereka lantas menikahkan pasangan pengantin yang memalukan itu di tempat terpencil ini saja,” kata Kiau-kiau. “Habis itu pengantin baru lantas dikirim ke suatu tempat agar dapat hidup dengan aman tenteram. Kelak bila ditanyakan orang tentu mereka cukup banyak alasan untuk memberi keterangan bahwa segala sesuatu itu sengaja dilangsungkan dengan sederhana, sebab pengantin baru tidak suka ramai-ramai dan sebagainya, tentang perjamuan boleh disediakan lagi dan macam-macam pula...”

“Benar, dengan demikian, seumpama orang lain merasa sangsi juga tak dapat mendesak lagi,” ujar Li Toa-jui.

“Walau pun demikian, tapi keluarga terkemuka begitu biasanya mati pun ingin menjaga muka, mereka pasti takkan menghemat dan tentu akan memperlihatkan kemampuan mereka dengan perjamuan yang meriah sebagai tanda bukan maksud mereka hendak menghemat uang. Cuma tamu yang mereka undang pastilah orang-orang yang tiada sangkut paut dengan keluarga mereka, dengan demikian tentu tiada seorang pun yang berani menertawakan mereka.”

“Haha, To Kiau-kiau memang tidak malu sebagai Khong Beng perempuan, apa yang diuraikan memang tidak salah,” kata Im Kiu-yu dengan tertawa.

“Di manakah mereka akan berpesta?” tanya Toh Sat.

“Di tepi sungai,” tutur Im Kiu-yu. “Di sana sudah mereka bangun sebuah bangsal panjang sekali, sudah tersedia pula santapan dengan acara bebas, siapa pun boleh hadir dan makan minum sesukanya, sampai pengemis juga diberi bagian setiap orang dua kati daging dan satu botol arak.”

“Bilakah pesta akan berlangsung?” tanya Toh Sat pula.

“Hari ini juga,” jawab Im Kiu-yu.

“Sudah tentu mereka berharap lebih cepat lebih baik,” kata Kiau-kiau. “Kalau tidak, bisa jadi sobat andai di tempat lain pun akan ikut datang bila mendengar kabar.”

“Haha, jika begitu, santapannya pasti tidak enak,” seru Ha-ha-ji.

“Pesta umum begitu, santapannya pasti tidak enak, arak yang disuguhkan pasti arak murahan,” ujar Li Toa-jui.

Sejak tadi Pek Khay-sim tidak bicara, mendadak sekarang ia menimbrung, “Kukira kau harus tahu diri sedikit, boleh makan minum gratis, masih berolok-olok lagi, sebenarnya kau ini memang pantas makan tahi saja.”

To Kiau-kiau terkikik-kikik geli, katanya, “Kenapa kau pakai istilah ‘tahi’ segala, jika kau ganti dengan istilah kotoran manusia kan jauh lebih sopan.”

********************

Di tepi sungai memang benar telah dibangun sebuah bangsal yang sangat panjang, meski hari belum lagi gelap tapi di luar bangsal itu sudah terpasang tanglung merah besar, malahan ditempeli kertas merah dengan macam-macam tulisan puja-puji selamat bahagia, suasana memang meriah.

Di dalam bangsal sudah penuh tetamu, hampir semuanya adalah penduduk setempat, orang kampung. Diundang melihat pengantin saja orang kampung akan kegirangan, apalagi disediakan pula daging dan arak dan boleh makan minum gratis sepuas-puasnya, keruan yang hadir berjubel-jubel.

Akan tetapi ada juga yang merasa rikuh bila cuma datang makan minum gratis, ada sementara orang yang membawa kado sekadarnya, ada juga yang menyumbang hilian, yakni kain merah bertuliskan kata-kata pujian kepada pengantin baru dan keluarga yang bahagia.

Di tepi sungai berlabuh tiga kapal layar besar, terlihat kaum pelayan keluar-masuk di kabin kapal dalam suasana yang semarak.

Orang-orang yang hadir dalam perjamuan di bangsal panjang ini berulang-ulang sama melongok ke arah ketiga kapal itu. Ada seorang di antaranya berkata, “Keluarga yang punya kerja ini juga sangat aneh, tanpa sebab kita diundang menghadiri pesta perkawinan, tapi yang punya kerja malah sembunyi saja di dalam kapal, kedua mempelai juga tidak mau keluar mengajak minum para tamu.”

“Ai, hendaklah kau tahu diri,” demikian kawannya menanggapi. “Tahukah kau yang punya kerja ini keluarga macam apa, mana orang sudi minum arak bersama kita.”

“Ya, melihat caranya mengadakan pesta besar ini sungguh sukar diduga mereka itu orang macam apa?” kata seorang lagi.

Segera yang lain menanggapi, “Konon mereka adalah hartawan nomor satu di daerah Kanglam, bahkan juga tokoh terkemuka di dunia kangouw. Bahwa kita ini diundang ke sini, paling-paling hanya untuk meramaikan saja. Maka lebih baik kita banyak makan dan sedikit bicara agar tidak menimbulkan gara-gara, bisa celaka sendiri nanti.”

Begitulah selagi ramai membicarakan pesta meriah ini, mendadak mereka bungkam seketika, sebab ketika mereka berpaling, tiba-tiba mereka melihat sesuatu yang luar biasa.

Kiranya sebuah kereta telah berhenti di luar bangsal, bentuk kereta kuda ini sangat aneh, orang yang turun dari kereta terlebih aneh. Yang menjadi kusir adalah seorang lelaki kekar, meski baju yang dipakainya tergolong baru dan dari kain pilihan, tapi tiada satu pun kancing yang dirapatkan, jadi bajunya terbuka sehingga kelihatan simbar dadanya, yaitu bulu dada yang hitam lebat.

Bila tertawa, lebar mulut orang ini hampir mencapai tepi telinga, tampaknya sepotong bakpao besar dapat ditelannya bulat-bulat dengan sekali mengap.

Menyusul dari atas kereta turun pula beberapa orang, ada yang gemuk dan pendek, ada yang berlenggak-lenggok, ada yang bertangan kaitan baja, mukanya yang pucat itu sangat menyeramkan.

Bahwa bentuk orang ini sudah aneh, siapa tahu mereka menyeret turun lagi tiga orang. Ketiga orang tampak lemas lunglai dan muka pucat dalam keadaan sudah kempas-kempis, tapi pakaiannya justru berwarna-warni dan serbabaru seperti dandanan pengantin baru.

Sudah tentu kedatangan orang-orang ini sangat menarik perhatian, beratus pasang mata sama memandang mereka, tapi mereka anggap tidak tahu saja, beramai-ramai mereka terus masuk ke bangsal.

Seorang di antaranya yang bertubuh tegap dan bewokan segera berteriak, “Keparat, kalian anak kura-kura ini tahu tidak di mana beradanya tuan rumah? Katakan tuan-tuan besar ini mencari mereka.”

Kebanyakan hadirin sama kenal pembicara ini adalah orang aneh yang membuka rumah judi itu dan cukup kenal kelihaiannya, meski dicaci maki, tapi tiada seorang pun berani balas mencaci.

Hanya ada dua orang yang baru datang dari kota, mereka bekerja di perusahaan pengawalan, dengan sendirinya berkepandaian lumayan, tentu saja mereka tidak terima dicaci maki, apalagi mereka sudah banyak menenggak arak, segera mereka berjingkrak sambil menggebrak meja, teriak mereka dengan geram, “Persetan, kau telur busuk ini memaki siapa?”

Baru saja kata-kata “telur busuk” terucapkan, tahu-tahu tengkuk mereka kena dicengkeram orang terus diangkat. Biasanya mereka menganggap kungfu mereka cukup hebat, tak tahunya mereka kena dicengkeram orang begitu saja seperti anak ayam tercengkeram oleh cakar elang.

Keruan semua orang terkesiap, terdengar seorang aneh berbaju hijau berkata dengan tertawa, “Haha, kedua bocah ini berani memaki Han-wan-heng sebagai telur busuk, sungguh besar juga nyali mereka, kalau Han-wan-heng tidak memberi hajaran setimpal kepada mereka, kelak setiap orang tentu dapat memakimu sebagai telur busuk.”

Si bewok atau Han-wan Sam-kong memang berwatak berangasan, kini dikipas-kipas lagi oleh orang itu, tentu saja hatinya tambah panas, sekali angkat segera kepala kedua itu hendak diadu.

Untunglah pada saat itu seorang gemuk telah menarik tangan Han-wan Sam-kong sambil berkata, “Hahaha, saat ini orang sedang berpesta pora, tapi datang-datang kau lantas hendak membunuh orang, tidakkah tuan rumahnya akan tersinggung nanti?”

Si mulut besar lantas tertawa juga dan berkata, “Ya, andaikan kau hendak membunuh orang juga tidak perlu menghancurkan kepala mereka, meski aku pantang makan kepala manusia, tapi seorang kalau kepalanya sudah pecah, tampaknya menjadi memualkan dan dagingnya tidak enak lagi.”

Si bewok tadi mendengus, mendadak ia melemparkan kedua orang itu dan tepat jatuh di atas meja, kepala masing-masing masuk ke dalam baki kuah panas, keruan mereka menjerit kesakitan, mangkuk piring di atas meja lantas hancur berantakan.

Suasana di dalam bangsal menjadi kacau-balau, orang perempuan dan anak kecil sama menjerit ketakutan dan lari serabutan.

Pada saat itulah tiba-tiba seseorang membentak, “Kawan dari manakah yang bikin onar ini, apakah sengaja hendak mencari gara-gara kepada kami?”

Suara orang ini tidak terlalu keras, tapi setiap kata-katanya terdengar dengan jelas oleh siapa pun, suaranya juga berwibawa sehingga membuat orang menurut.

Terlihatlah seorang pemuda berdiri di haluan kapal layar sana, kedua tangan tergendong di punggung, tampaknya lemah lembut seperti pelajar yang baru mau masuk sekolah, tapi sikapnya kereng, berdirinya sekukuh gunung. Bagi orang yang berpengalaman, sekali pandang saja pasti tahu orang ini adalah tokoh silat kelas wahid.

Rombongan orang aneh ini lantas berduyun ke sana, para tamu cepat menyingkir memberi jalan.

Si gendut lantas buka suara, “Haha, orang udik memang tidak tahu aturan, untuk itu hendaklah Sobat kecil ini suka memberi maaf.”

Tampaknya dia minta maaf, tapi menyebut orang sebagai “sobat kecil”, tentu saja orang itu kurang senang dan menarik muka. Tapi sebelum mengumbar marahnya, tiba-tiba seperti teringat sesuatu, air mukanya mengunjuk rasa kejut dan heran, sorot matanya menyapu sekejap orang-orang aneh ini, lalu ia lihat pula Hoa Bu-koat yang didandani secara tak keruan itu, ia tambah terkejut dan bertanya, “Apakah kalian...”

Si gendut lantas menukas, “Sobat kecil, nama kami sebaiknya jangan kau sebut agar tidak membikin kotor mulutmu.”

Orang itu berpikir sejenak, kemudian ia memberi hormat dan berkata, “Cayhe Cin Kiam...”

Baru saja ia menyebut namanya sendiri, dari kabin kapal telah muncul pula beberapa orang, ada lelaki ada juga perempuan, yang perempuan cantik dan molek, yang lelaki cakap dan ganteng. Jelas mereka pun tahu siapa-siapa rombongan orang aneh itu, namun wajah mereka sama menampilkan senyuman gembira.

Jika mereka tidak tahu asal-usul rombongan orang aneh ini dan menyambut kedatangan mereka dengan hormat, hal ini tidak perlu diherankan. Tapi setelah tahu seluk-beluk orang-orang ini dan mereka tetap menyambutnya dengan tersenyum, inilah yang aneh dan luar biasa.

Padahal orang kangouw umumnya bila bertemu dengan Cap-toa-ok-jin kebanyakan pasti akan marah dan benci, kalau tidak kontan melabrak mereka tentu juga lari terbirit-birit. Namun orang-orang di kapal ini ternyata lain dari pada yang lain.

Segera Ha-ha-ji membuka suara pula, “Hahaha, coba kalian lihat, betapa hormat dan terpelajarnya para tuan menantu keluarga Buyung, terhadap beberapa potong kotoran macam kita ini toh tetap menyambut dengan segala hormat.”

Dengan terkekeh-kekeh To Kiau-kiau menyambung, “Ini namanya di bawah orang ternama tidak ada anak buah yang jelek, kalau tidak mana para Nona Buyung yang ayu ini mau diperistri oleh mereka?”

Li Toa-jui lantas tampil ke muka dan menjura, ucapnya, “Kami mendengar para Kongcu sedang melangsungkan pesta nikah, maka kami sengaja datang buat mengucapkan selamat, entah para Kongcu apakah sudi menerima orang gunung yang kasar semacam kami ini?”

Han-wan Sam-kong mengernyitkan dahi, katanya, “Keparat, biasanya Li Toa-jui makan manusia tanpa buang tulang, cara bicaranya sekarang juga bisa sopan santun begini...”

“Memang,” tukas Pek Khay-sim dengan tertawa, “meski mulut orang-orang itu suka omong manis, yang benar ibarat musang memberi selamat kepada ayam, tidak nanti bermaksud baik. Jika kalian tahu gelagat, paling tepat lekas kalian mengusir mereka.”

Yang berdiri di haluan kapal itu selain samkohya (anak menantu ketiga) Cin Kiam terdapat pula toakohya (menantu pertama) Tan Hong-ciau, jikohya (menantu kedua) Lamkiong Liu, sikohya (menantu keempat) Bwe Tiong-liong, gokohya (menantu kelima) Loh Beng-to, semuanya bersama istri. Boleh dikatakan kesatria muda persilatan daerah Kanglam telah terwakili dan hadir seluruhnya di sini.

Mereka merasa heran melihat Hoa Bu-koat hanya diam saja dalam keadaan aneh dandanannya, namun begitu mereka menyambut dengan berseri tertawa dan penuh hormat.

Setelah Ha-ha-ji dan kawan-kawannya habis mengoceh barulah Tan Hong-ciau membuka suara sambil memberi hormat, “Bahwa kalian sudi berkunjung kemari, sungguh suatu kehormatan besar bagi kami dan kalian adalah tamu agung di sini.”

“Apalagi Han-wan-siansing adalah sahabat karib kohya (menantu) baru kami?” tukas Buyung Siang dengan tertawa. “Ayolah silakan kalian naik ke atas kapal.”

Li Toa-jui membalas hormat orang dan menjawab, “Jika demikian, mau tak mau kami harus menerima undangan dengan hormat.”

Di antara anak menantu keluarga Buyung itu hanya Cin Kiam dan Bwe Tiong-liong saja tampak waswas menghadapi kawanan tamu yang tak diundang ini.

Ketika lewat di depan mereka, dengan tertawa To Kiau-kiau berkata, “Jangan khawatir, kedatangan kami ini khusus untuk pesta pora dan makan enak, bukan bermaksud mencari setori, juga takkan mencuri segala, tidak perlu kalian mengawasi kami seperti pencoleng.”

Dengan suara keras Han-wan Sam-kong juga berteriak, “Betul, hari ini adalah hari bahagia Oh-laute kita, jika ada anak kura-kura yang berani mengoceh tidak keruan, aku Ok-tu-kui yang pertama-tama takkan tinggal diam.”

“Hm, hanya sedikit kemampuanmu kukira masih selisih jauh,” jengek Pek Khay-sim. “Apa bila penyakit makan orang Li Toa-jui sudah kumat, memangnya kau mampu menyumbat mulutnya dengan sebuah kepala manusia?”

Sembari bicara dan bergurau mereka lantas naik ke atas kapal, para tamu yang duduk di dalam bangsal sama melongo karena tidak tahu orang macam apakah rombongan orang aneh itu dan mengapa tuan-tuan muda itu pun sedemikian hormat pada mereka.

Di dalam kabin kapal ternyata sudah siap beberapa meja perjamuan, di situ masih ada lakkohya (menantu keenam), jitkohya (menantu ketujuh), dan patkohya (menantu kedelapan), juga hadir di situ Koh Jin-giok serta Siau-sian-li Thio Cing.

Melihat kedatangan rombongan Li Toa-jui, seketika Siau-sian-li melototi mereka. Tapi sorot mata kebanyakan orang justru sama tertuju ke arah Hoa Bu-koat. Mereka benar-benar tak habis mengerti mengapa ahli waris Ih-hoa-kiong bisa berubah menjadi runyam begitu.

Namun putra-putri keluarga terpelajar biasanya tidak suka bertanya urusan pribadi orang lain bila mana orang tidak bercerita, sekali pun dalam hati mereka ingin tahu setengah mati juga terpaksa pura-pura tidak tahu dan tidak berani bertanya.

Begitulah para tamu lantas dipersilakan duduk, rombongan Li Toa-jui tepat mengerumuni sebuah meja, Toh Sat duduk di tempat utama, yang duduk mengiring sebagai tuan rumah adalah Tan Hong-ciau dan Lamkiong Liu.

Kedua orang ini lemah lembut, sopan santun, duduk di tengah-tengah rombongan orang-orang yang berbentuk aneh, tentu saja lebih mencolok. Jika dalam keadaan biasa, tentu mereka dan Hoa Bu-koat akan saling menghormat dan bersahabat, tapi sekarang mereka sama sekali tidak memandangnya.

Bu-koat sendiri juga diam saja seperti patung, ia duduk termenung tanpa menghiraukan orang lain, tak dipusingkannya orang lain merasa kasihan kepadanya atau lagi menertawakan dia, sama sekali tak dipedulikan olehnya.

Setelah arak disuguhkan berulang tiga kali ternyata kedua mempelai belum lagi muncul.

“Ada pesta, kenapa tidak ada musiknya?” kata Li Toa-jui tiba-tiba.

“Ah, dalam keadaan terburu-buru, semuanya serbasederhana, mohon kalian sudi memberi maaf,” kata Tan Hong-ciau.

“Jika demikian, adat istiadat juga harus dilaksanakan,” kata Li Toa-jui pula. “Apalagi...”

“Apalagi di sini masih ada dua pasang mempelai lagi yang ingin membonceng pesta kalian serta melangsungkan pesta pernikahan bersama Nona Kiu serta kiukohya kalian,” sambung To Kiau-kiau dengan tertawa.

“Oo, ada dua pasang mempelai pula?” Tan Hong-ciau melenggong.

“Entah mempelai siapa?” tanya Lamkiong Liu.

Meski dia sangat sopan dan prihatin, tidak urung sekarang ia memandang ke arah Hoa Bu-koat, terlihat wajah Bu-koat yang pucat pasi itu tiada rasa gembira dan tiada rasa berduka.

Di sebelah Bu-koat duduk seorang nona cantik, air mukanya jelas kelihatan menanggung sedih, bahkan sukar untuk diterka bagaimana jalan pikirannya.

“Hahaha, jika sekarang tiga pasang mempelai melangsungkan pernikahan sekaligus, kelak ketiga pasang suami istri ini akan mendapat berkah ‘tiga banyak’, yakni banyak rezeki, banyak umur, dan banyak anak cucu,” kata Ha-ha-ji dengan tertawa.

Tan Hong-ciau tersenyum, katanya, “Doa restumu sungguh kami terima dengan hormat, cuma sayang...”

“Sayang apa?” tanya Li Toa-jui.

“Sayang upacara nikah Adik Kiu kami telah berlangsung dan sekarang sudah berangkat pergi dengan kapal lain,” jawab Tan Hong-ciau.

“Tentunya kalian tahu bahwa suami-istri Adik Kiu telah kenyang suka-duka,” sambung Lamkiong Liu. “Sebab itulah mereka ingin menikmati hari bahagia mereka dengan tenang, untuk itu tentunya kami pun setuju sepenuhnya.”

To Kiau-kiau dan Li Toa-jui saling pandang sekejap tanpa komentar.

Ha-ha-ji lantas berkata, “Haha, jika orang lain yang bicara demikian, tentu kami akan menganggap dia terlalu menghina kami, tapi kata-kata ini diucapkan oleh kalian, tentu saja bobotnya berbeda.”

“Terima kasih,” kata Tan Hong-ciau.

“Bila dalam keadaan biasa, bukan mustahil kalian akan bertindak demi keadilan apa bila bertemu dengan kami, sebab kalian adalah orang baik semua, sedangkan kami adalah orang jahat, tentunya kedua pihak tidak akan saling memberi kelonggaran.”

Tan Hong-ciau hanya tersenyum saja tanpa menanggapi ucapan To Kiau-kiau itu.

Maka Kiau-kiau lantas menyambung pula, “Makanya, jika dalam keadaan biasa, tentu kami pun tidak berani berkunjung kemari, sebab pengaruh keluarga Buyung teramat menakutkan, kami pun tidak berani mencari perkara padanya.”

“Ah, mana berani,” ucap Tan Hong-ciau sambil membungkukkan tubuh.

“Tapi suasana hari ini jelas tidak sama, justru kami sudah memperhitungkan kalian pasti tidak akan bertindak apa-apa kepada kami, makanya kami berani datang ke sini...”

“Hahaha, karena kami sudah datang betapa pun kami harus mengendon di sini. Syukur kalian adalah kesatria yang sopan, pula sedang ada kerja, seumpama kami bersikap kurang sopan, tentunya kalian pun takkan mengusir kami,” demikian Ha-ha-ji menambahkan.

“Ya, hanya manusia rendah saja yang suka mengusir kami, betul tidak?” tukas To Kiau-kiau dengan tertawa.

Mendadak Cin Kiam berdiri, tanyanya dengan kereng, “Sebenarnya Tuan-tuan ada keperluan apa, silakan...”

“Keperluan sih tidak ada,” tukas Li Toa-jui dengan tertawa. “Kami cuma ingin meminjam tempat ini sebagai ruangan pesta untuk melangsungkan pernikahan kedua pasang mempelai ini.”

Cin Kiam hendak bicara lagi, tapi telah dicegah Tan Hong-ciau, katanya sambil tersenyum, “Bahwa Tuan-tuan sudi berkunjung kemari, sungguh suatu kehormatan besar bagi kami. Cuma... cuma di sini tiada musik tabuh pengiring upacara.”

“Kalau cuma musik tabuh saja apa sukarnya?” seru Li Toa-jui sambil tertawa, mendadak ia jemput dua batang sumpit terus mulai memukul tepian mangkuk sehingga menimbulkan suara “trang-tring” yang nyaring, Ha-ha-ji juga lantas mendekap mulutnya dengan tangan dan meniupkan suara “tralala”.

To Kiau-kiau tertawa terpingkal-pingkal, katanya, “Dengan musik paling merdu ini, masa upacara tak dapat berlangsung?”

Segera ia tarik Pek-hujin dan Thi Sim-lan. Pek Khay-sim mendelik, tapi lantas tertawa, segera ia pun menarik Hoa Bu-koat ke depan.

Sambil menabuh mangkuk Li Toa-jui terus berkaok-kaok sebagai protokol atau pembawa acara, “Silakan kedua pasang mempelai maju ke depan! Silakan saling menghormat dengan menyembah kepada langit dan bumi! Pengantin baru menyuguh arak...”

Meski para kakak beradik Buyung itu tergolong perempuan terpelajar, kedelapan suami mereka juga kesatria ternama, tapi selama hidup ini belum pernah melihat kejadian aneh dan sukar dimengerti ini, seketika mereka hanya melenggong saja dan tidak tahu apa yang harus mereka lakukan.

Pada saat itulah mendadak terdengar suara Im Kiu-yu yang seram itu sedang membentak, “Siapa orang itu?”

Lalu terdengar lagi terdengar seorang tertawa terkekeh-kekeh dan menjawab, “Aku bukan orang!”

Tanya-jawab itu membuat semua orang terkejut. Agaknya Im Kiu-yu yang berjaga di sana juga melengak, terdengar ia bertanya lagi, “Kau bukan orang? Memangnya setan!”

“Betul, sedikit pun tidak salah, aku memang setan!” jawab orang itu.

Tiba-tiba Im Kiu-yu tertawa seram, katanya pula, “Kau setan? Tahukah kau aku ini siapa?”

“Kau cuma setengah setan setengah manusia, sebaliknya aku ini setan penuh,” kata orang itu.

Pek Khay-sim menjadi geli, ia berkeplok tertawa, katanya, “Haha, bagus, bagus! Tak tersangka Im Kiu-yu hari ini benar-benar ketemu setan di siang hari bolong.”

Semua orang pun terheran-heran dan juga merasa geli.

Terdengar orang tadi bergelak tawa dan berkata, “Memang betul, kalian telah melihat setan di siang bolong, aku inilah setan siang hari.” Di tengah gelak tertawanya, sesosok bayangan tampak melayang tiba di luar kabin sana.

Padahal yang berada di dalam kabin kapal hampir seluruhnya jago kelas satu, ginkang To Kiau-kiau, Pek Khay-sim, Loh Beng-to, dan lain-lain lagi juga sangat terkenal, tapi mereka pun terkejut demi melihat ginkang orang ini.

Li Toa-jui dan kawan-kawan juga sama tahu kemampuan Im Kiu-yu, bila mana dia sudah membayangi seseorang, maka jangan harap orang itu akan dapat meloloskan diri. Tapi sekarang dengan ringan saja orang itu dapat melayang masuk kabin tanpa rintangan apa pun, maka dapatlah diduga ginkangnya pasti jauh lebih tinggi dari pada Im Kiu-yu.

Sungguh mereka tidak berani membayangkan siapakah gerangan pendatang ini? Sebab selain Ih-hoa-kiongcu dan Yan Lam-thian di dunia ini tidaklah banyak orang yang memiliki ginkang setinggi ini.

Namun orang ini jelas bukan Yan Lam-thian, lebih-lebih bukan Ih-hoa-kiongcu.

Di bawah cahaya lampu tertampak perawakannya yang pendek, tidak sampai tiga kaki atau kurang dari satu meter. Nyata seorang kerdil.

Kebanyakan orang kerdil tentu akan buruk rupa dan cacat badan, namun si cebol ini ternyata lain dari pada yang lain, baik kepalanya, tangannya, kakinya, dan tubuhnya, semuanya tumbuh normal dan berimbang, malahan wajahnya juga kelihatan putih halus, boleh dikatakan cakap, juga berjenggot cabang lima dengan indah, tampaknya seorang yang berilmu dan saleh.

Cuma dandanannya yang agak ganjil, tidak preman dan tidak beragama, dia memakai jubah pendek berwarna kelabu, di punggung menyandang pedang pula. Cuma pedang ini sangat pendek, lebih pendek dari pada belati umumnya, jadi seperti barang mainan kanak-kanak.

Jika anak kecil ketemu si kerdil ini pasti akan diseretnya untuk diajak bermain, pemain akrobat yang suka berkeliling ketemu dia pasti akan dianggapnya menemukan pemain yang akan menarik penonton, kalau dia ketemu pembesar, bisa jadi dia akan dimasukkan ke istana raja dan dijadikan badut penghibur raja.

Tapi melihat orang kerdil atau manusia mini ini, To Kiau-kiau tak dapat tertawa lagi. Melihat air muka kawannya berubah, Toh Sat, Li Toa-jui, dan lain-lain lantas melenggong juga, tiba-tiba mereka teringat pada seseorang.

Sementara itu Im Kiu-yu juga sudah ikut melayang masuk kabin dan seperti hendak melabrak si manusia mini, namun To Kiau-kiau cepat mencegahnya, Li Toa-jui lantas membisikinya beberapa kata. Seketika Im Kiu-yu berubah pucat dan mengeluyur keluar lagi.

Dalam pada itu si kerdil telah menjura kepada segenap hadirin, ucapnya dengan tertawa, “Maaf, bila mana tamu yang tak diundang ini telah mengganggu kalian, maaf.”

Sudah tentu Tan Hong-ciau, Lamkiong Liu, dan lain-lain juga terkejut, tapi mereka tetap membalas hormat orang itu dengan sopan. Hanya Samkohnio Buyung San saja tiba-tiba ingat sesuatu, katanya, “Sewaktu kecil Wanpwe pernah mendengar bahwa di dunia kangouw ada seorang pendekar aneh yang jejaknya sukar diraba, sungguh sudah lama aku ingin berkenalan dengan beliau.”

Seketika terbeliak juga Buyung Siang, cepat ia menanggapi, “He, apakah maksud Sam-moay ialah pendekar aneh yang... yang bernama...”
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar