Bahagia Pendekar Binal Jilid 31

Han-wan Sam-kong berjingkrak gusar dan meraung, “Locu kan tidak menggali kuburan nenek moyangmu, kenapa kau anak kura-kura ini sengaja mencari gara-gara padaku?”

Pek Khay-sim merasa maksud tujuannya tercapai, maka tidak bersuara meski dicaci maki oleh Han-wan Sam-kong.

Li Toa-jui dan Ha-ha-ji menjadi lebih murka, Toh Sat juga tambah beringas, dengan bengis ia tanya pula, “Jadi tadi begitu melihat kami kau lantas lari?”

“Aku... aku... sialan, memang betul, aku lari,” jawab Ok-tu-kui.

“Mengapa lari?” tanya Toh Sat pula.

Mendadak Han-wan Sam-kong membusungkan dada dan menjawab tegas, “Sebab Locu telah meludeskan harta benda kalian.”

Keterangan ini membuat mereka terkejut.

“Harta benda kami, katamu?” tanya Ha-ha-ji cepat. “Harta benda apa?”

“Kalian hanya tahu Locu ini Ok-tu-kui,” tutur Han-wan Sam-kong, “tapi kalian tidak tahu watakku selain ingin menang, juga tak gentar kalah. Asalkan masih ada modal dan bisa kalah, maka rasanya terlebih menyenangkan dari pada menang. Lebih-lebih bila kukalah pada setan judi yang miskin dan melihat betapa senangnya mereka setelah menang, wah, kenikmatan itu jelas tak dapat dibayangkan oleh kalian kawanan anak kura-kura ini.”

Ia berhenti sejenak, lalu menyambung pula, “Bulan lalu aku diminta seorang kawan untuk mengantar suatu partai harta milik hartawan besar Toan Hap-pui di daerah Kanglam, meski lantaran urusan itu aku menjadi bermusuhan dengan Kang Piat-ho dan anaknya, tapi aku pun lantas kenal Toan Hap-pui, selama lebih setengah bulan kami mengadu jangkrik di rumahnya, dasar nasibku lagi mujur, aku telah menang beberapa puluh laksa tahil perak dari dia. Karena sudah punya modal, tanganku menjadi gatal dan ingin membuang sebagian harta karun itu.”

“Hm, tak tersangka setan judi macam kau juga punya hati bijak, apakah kau ingin menjadi pendekar yang merampas orang kaya untuk membantu orang miskin?” jengek Li Toa-jui.

Han-wan Sam-kong tidak menanggapi, ia meneruskan ceritanya, “Tapi semakin Locu ingin kalah, harta itu seakan-akan sengaja memusuhi aku, bukannya berkurang, malahan terus bertambah, bukannya kalah, malah selalu menang.”

“Orang judi tentu mengharapkan menang, tapi kau malah ingin kalah,” ujar Li Toa-jui. “Padahal apa sulitnya jika ingin kalah?”

“Judi yang menyenangkan harus berlangsung secara jujur dan pakai teknik sejati, kalah atau menang tidak boleh menggunakan cara curang, kalau tidak kan sama seperti makan nasi putih tanpa sayur, sedikit pun tiada rasanya,” kata Ok-tu-kui. “Nah, pada suatu hari, ketika aku lagi minum di suatu rumah makan, mendadak di sebelah ada orang main dadu. Tentu saja aku tertarik, maka aku pun ikut bermain dengan kawanan anak kura-kura itu.”

“Dan kau menang lagi?” tanya Li Toa-jui.

“Mungkin kawanan anak kura-kura itu yang lagi mujur, kebetulan juga kemujuranku itu harus ganti tempat, maka setiap kali lempar dadu selalu bijiku ketinggalan dari pada lemparan orang lain, selama beberapa hari dan beberapa malam berturut-turut Locu kalah terus-menerus.”

“Itu kan cocok dengan kehendakmu?” sela Pek Khay-sim.

Han-wan Sam-kong tidak menggubris, ia menyambung pula ceritanya, “Rumah makan itu terletak di suatu gang, karena Locu kalah terus-menerus selama tiga hari, tentu saja setiap orang di gang itu, tua maupun muda, hampir rata-rata memenangkan uangku. Hanya ada seorang kakek konyol, meski setiap hari dia juga datang minum ke rumah makan itu dan setiap hari menyaksikan kelemahanku, tapi dia sendiri tidak tertarik, satu kali pun tidak pernah ikut taruhan.”

Ia merandek sejenak, lalu menyambung pula dengan tertawa, “Hahaha, semakin dia tidak main judi, makin besar keinginanku untuk mengajak dia berjudi. Orang lain sama bilang kakek itu sangat alim, bukan saja tidak suka berjudi, bahkan juga tidak merokok, tidak minum arak, tidak main perempuan, jadi benar-benar seorang bersih, maka kebanyakan orang memberi julukan Li-lausit atau Li si Jujur padanya. Malahan ada orang yang menantang, katanya kalau aku mampu memancing Li-lausit ikut berjudi, maka mereka akan menyembah padaku.”

“Sungguh tidak tersangka keluarga Li bisa terdapat seorang tua sebaik itu,” ucap To Kiau-kiau dengan tertawa sambil melirik Li Toa-jui.

“Di gang itu bertempat tinggal pula seorang janda she To, konon dia akan mendapat piagam dari maharaja karena si janda dapat mempertahankan kesuciannya tanpa kawin selama berpuluh tahun,” demikian tutur Ok-tu-kui pula. “Janda To itu berjualan serabi di depan rumahnya, akan tetapi selama berpuluh tahun orang yang berlalu-lalang di situ belum pernah melihat tertawa si janda. Anehnya di rumah janda itu tiada orang lain lagi kecuali seekor anjing yang membantunya menjaga rumah.”

“Hahaha, tak menyangka keluarga To ada perempuan yang rela menjanda sampai tua, sungguh harus dipuji,” demikian Li Toa-jui balas berolok-olok pada To Kiau-kiau. “Cuma sayang, dia toh melahirkan seekor anjing... Hahaha, kita tahu kebaikan anjing yang paling utama ialah tak bisa bicara.”

Han-wan Sam-kong tersenyum, ia melanjutkan ceritanya lagi, “Tidak sampai empat hari, modalku hanya sisa empat laksa tahil saja, selebihnya sudah berpindah ke saku kawanan anak kura-kura itu. Maka sisa modalku itu sekaligus kusodorkan ke depan Li-lausit, kutantang dia bertaruh. Kataku, cukup kusebut satu kata saja pasti dapat membuat si janda To itu tertawa, kemudian kusebut satu kata lagi akan kubuat si janda memukulku, kutanya Li-lausit dia percaya atau tidak dan berani tidak bertaruh denganku?”

“Dan dia tidak percaya?” Ha-ha-ji ikut bertanya.

Dengan tertawa Han-wan Sam-kong menjawab, “Bahwa janda itu tidak pernah tertawa, antara lelaki dan perempuan juga ada batas-batasnya, lebih-lebih janda tidak mungkin memukul lelaki, semua ini dengan sendirinya membuat Li-lausit tidak percaya. Maka aku lantas bertaruh dengan dia, bila mana aku kalah, seluruh sisa perak milikku itu akan kuserahkan padanya, sebaliknya kalau aku menang, syaratnya ialah dia mesti bermain dadu sepuluh kali lemparan denganku.”

“Dan dia terima tantanganmu?” tanya Ha-ha-ji.

“Dia tidak lantas menjawab, ia pandang perak yang kusodorkan di depannya itu, paling tidak ada setengah jam ia memandang, akhirnya ia setuju bertaruh denganku,” tutur Ok-tu-kui pula. “Haha, biar pun orang jujur, kalau melihat tumpukan perak yang putih gilap itu disodorkan ke depan hidungnya pasti juga ingin memilikinya, sebab setiap orang mengira taruhan ini pasti akan dimenangkan oleh Li-lausit.”

“Akan tetapi akhirnya kau yang menang,” tutur Ha-ha-ji.

“Ya, agar dia mau berjudi lagi denganku, sudah tentu aku harus memenangkan pertaruhan itu,” kata Ok-tu-kui dengan tertawa.

Sampai di sini, akhirnya Toh Sat juga tertarik dan bertanya, “Cara bagaimana kau akan mengalahkan dia?”

To Kiau-kiau juga berseru, “Ya, bahwa kau dapat membuat tertawa si janda dengan satu kata, lalu satu kata lagi dapat kau buat dia marah dan memukul kau, sungguh aku sendiri pun bingung membayangkannya,” kata Kiau-kiau.

Seketika Li Toa-jui, Ha-ha-ji, Toh Sat, dan To Kiau-kiau hanya saling pandang, betapa pun mereka tidak tahu kata apa yang dimaksud Han-wan Sam-kong, masa mempunyai kekuatan gaib sebesar itu dapat membuat tertawa dan membuat marah seorang janda hanya dengan satu kata saja.

Dengan tenang dan perlahan Han-wan Sam-kong lantas bercerita pula, “Petangnya, waktu si janda mulai berjualan serabi lagi, anjing piaraannya yang setia itu sudah tentu selalu mendampinginya. Maka aku lantas mendekatinya, dengan hormat aku menyembah kepada anjing itu sambil memanggil: ‘ayah’. Si janda tampak melengak, maksudnya hendak marah, tapi toh akhirnya dia tertawa juga.”

Bahwa Ok-tu-kui Han-wan Sam-kong menyembah dan memanggil seekor anjing sebagai ayah, sudah tentu hal ini sangat lucu. Maka Li Toa-jui dan lain-lain juga bergelak tertawa geli.

Dengan tersenyum Ok-tu-kui menyambung pula, “Bahwa terbukti si janda benar-benar tertawa setelah mendengar satu kata ucapanku, tentu saja semua orang merasa kagum dan geli, tapi mereka tetap sangsi dengan satu kata lagi.”

“Terus terang, sampai saat ini pun aku tidak percaya kau mampu membuatnya marah hanya dengan satu kata saja,” ujar Kiau-kiau dengan tertawa.

“Untuk itu pun tidak sulit,” tutur Han-wan Sam-kong. “Segera kuberlutut di depan si janda dan memanggilnya ‘ibu’. Seketika mukanya berubah merah padam, dengan gemas ia tampar mukaku satu kali lalu lari masuk rumah.”

Belum habis uraiannya, karena gelinya Li Toa-jui dan lain-lain sama mendekap perut dan tertawa terpingkal-pingkal.

“Maka Li-lausit terpaksa main dadu denganku sesuai perjanjian,” sambung Ok-tu-kui pula. “Siapa tahu kemujuranku bertambah memuncak, berturut-turut kumenang belasan kali lemparan dadu. Semula Li yang mengaku lausit (jujur, polos) itu hanya bertaruh kecil-kecilan saja. Tapi setelah kalah, lama-lama ia menjadi bernafsu dan kalap, taruhannya bertambah besar dan kalahnya juga tambah banyak, akhirnya sampai kasur selimut dan pispot di rumahnya juga dijual untuk taruhan. Hanya dalam sehari saja dia telah kalah ludes, bangkrut habis-habisan.”

“Memang betul,” ujar Toa-jui dengan tertawa, “orang yang tidak pernah berjudi, sekali mulai berjudi dan kalah, makin bernafsu untuk berjudi terus, sebelum ludes takkan berhenti.”

“Pada umumnya, kalau sudah kalah, tentu ingin menang untuk mengembalikan modalnya, tapi akibatnya tambah ludes,” kata Ok-tu-kui. “Dalam hal ini Li-lausit pun tidak terkecuali. Sudah ludes, dia masih ngotot mengajak bertaruh lagi. Kutanya dia dengan apa dia akan bertaruh. Sesudah berpikir, rupanya ia menjadi nekat, ia mengajak aku ke rumahnya, isi rumahnya sudah bersih, tapi di suatu ruangan masih ada beberapa buah peti besar.”

“Peti besar? Bagaimana bentuk peti itu?” tanya Kiau-kiau cepat.

“Hitam warna peti-peti itu, penuh debu, jelas sudah lama tersimpan di situ,” tutur Ok-tu-kui. “Menurut cerita Li-lausit, katanya peti-peti itu sebenarnya adalah barang titipan orang, selama ini belum pernah disentuhnya. Tapi sekarang ia tidak peduli lagi.”

Setelah tertawa, lalu Ok-tu-kui menyambung pula, “Kalian tahu, bila seorang sudah kepepet karena kalah habis-habisan, jangankan barang titipan orang lain, biar pun istri dan anaknya juga tega dijadikan barang jaminan, bahkan dijual sekaligus.”

“Apakah... apakah peti-peti itu pun dikalahkan seluruhnya kepadamu?” tanya Kiau-kiau.

“Ya, cuma tak kusangka isi peti-peti itu adalah emas dan perak, lebih tak terpikir olehku peti itu adalah milik kalian, apa bila di dalam peti tiada tanda pengenal kalian, tidak nanti terpikir olehku bahwa kalian dapat menitipkan peti-peti berharga itu kepada seorang kakek. Haha, cara kalian itu sesungguhnya sangat bagus.”

Setelah berhenti sejenak lalu Ok-tu-kui menyambung lagi, “Tentu saja aku kejatuhan rezeki nomplok, beberapa juta tahil perak kudapatkan tanpa susah payah, maka aku dapat bertaruh dengan sepuas-puasnya, sampai sekarang kekalahanku sudah cukup lumayan, sisanya juga sudah kusumbangkan kepada orang sebagai kado perkawinan, sekarang kantong sudah kosong, aku sudah jatuh rudin lagi, bila kalian menagih utang padaku, jelas satu peser pun aku tidak punya lagi, kalau jiwa sih masih ada satu.”

Seketika melenggong Pek Khay-sim, Ha-ha-ji, Toh Sat, Li Toa-jui, dan To Kiau-kiau, muka mereka menjadi pucat, lesu, dan sedih seperti kematian ibunda.

“Haha, kiranya... kiranya Auyang Ting dan Auyang Tong tidak menyimpan harta benda itu di Ku-san, tapi dititipkan pada Li-lausit, akhirnya kita toh tetap tertipu olehnya,” seru Ha-ha-ji.

Dengan gemas Li Toa-jui menambahkan, “Siapa pun juga, bila sudah mendekati ajalnya seperti Auyang Ting dan Tong pasti tidak berani berdusta lagi, tak tersangka kedua Auyang bersaudara itu ternyata bukan manusia!”

Mendadak Ha-ha-ji membuang pacul dan sekop yang berserakan itu, lalu teriaknya dengan tertawa, “Sesungguhnya kita harus berterima kasih juga kepada setan judi ini.”

“Terima kasih? Mengapa?” tanya Pek Khay-sim.

“Coba bayangkan. Apa bila dia tidak menceritakan pengalamannya itu, tentu kita akan tetap menjadi kuli galian dan bekerja mati-matian di sini. Tapi sekarang kita tidak perlu menggali lagi dan dapat istirahat dengan baik.”

“Pantas kau gemuk seperti babi, nyatanya kau memang malas,” omel Pek Khay-sim.

“Ucapannya memang tidak salah,” tukas Toh Sat. “Jika tiada Han-wan Sam-kong, selamanya kita takkan tahu di mana beradanya peti-peti kita itu. Bahkan kita akan tambah banyak urusan dan kelabakan percuma.”

Mendadak Pek Khay-sim berseru, “Habis, kita harus minta ganti rugi tidak kepadanya?”

Li Toa-jui tertawa, katanya, “Dia sudah bilang tadi, satu peser saja dia tidak punya lagi, yang ada cuma jiwanya...”

“Kulihat kulit dagingnya kan juga lumayan, apakah kau tidak ingin mencicipinya?” tanya Pek Khay-sim.

“Jika setan judi begini kumakan, wah, bisa runyam,” kata Li Toa-jui dengan tertawa. “Jangan-jangan dia akan mempertaruhkan usus dan ginjalnya, kan celaka?”

Mendadak ia berhenti tertawa dan melototi Han-wan Sam-kong, tanyanya, “Kau telah menghabiskan harta karun itu, apakah beberapa buah peti itu pun kau habiskan pula di meja judi?”

“Tidak,” jawab Han-wan Sam-kong.

Bercahaya mata Li Toa-jui, cepat ia tanya pula, “Di mana peti-peti itu?”

“Di mana? Sudah kubuang,” jawab Ok-tu-kui. “Peti-peti itu sangat besar lagi berat, untuk apa kubawa kian kemari? Maka seluruhnya telah kubuang ke sungai.”

Kembali Li Toa-jui dan To Kiau-kiau saling pandang dengan melongo dan tidak sanggup bicara lagi.

Han-wan Sam-kong berludah keras-keras, lalu mengomel, “Keparat, biasanya kau anak kura-kura ini cuma gemar daging manusia, padahal daging manusia kan tidak dapat dibeli dengan uang, sekarang kau cuma kehilangan beberapa tahil perak, apa yang kau sedihkan?”

Li Toa-jui menghela napas, katanya, “Dalam hal ini kau masih hijau. Usia seorang kalau sudah mulai lanjut, maka pasti juga mulai kemaruk harta. Meski kutahu benda-benda emas perak begituan tak dapat dimakan dan tak dapat dipakai, pula tak mungkin dibawa masuk peti mati, tapi semakin tua usiaku semakin kusuka pula padanya.”

“Haha, memang betul,” tukas Ha-ha-ji. “Bagiku, setiap hari boleh tidak bekerja apa-apa, cukup asalkan tutup pintu di dalam kamar dan menghitung uang, maka puaslah hidupku ini.”

“Kukira kalian anak kura-kura ini mungkin sudah hampir masuk peti semua,” gerutu Han-wan Sam-kong. “Seorang kalau tidak suka apa-apa melainkan cuma suka uang, maka sebelah kaki mereka boleh dikatakan sudah melangkah ke dalam kubur.”

Setelah meludah, lalu ia menyambung, “Jika kalian masih kemaruk harta, mengapa kalian tidak merampok dan membegal lagi, harta yang kuhabiskan itu kan juga berasal dari rampokan?”

“Kau tidak paham lagi mengenai urusan ini,” kata Li Toa-jui. “Ok-jin kan juga harus menjaga gengsi, ok-jin yang berkedudukan seperti kita ini, kalau sekarang harus main bunuh lagi dan merampok, kan bisa ditertawakan orang?”

Han-wan Sam-kong tercengang sejenak, tiba-tiba ia pun tertawa dan berkata, “Hahaha, tak tersangka kalian anak kura-kura ini tidak berani lagi menjadi perampok, lalu apa gunanya kalian ini? Lebih baik bunuh diri saja atau cebur ke dalam sungai.”

“Kentut makmu, siapa bilang Cap-toa-ok-jin tiada gunanya lagi?” damprat To Kiau-kiau.

“Dua puluh tahun yang lalu mungkin kalian bisa tergolong Cap-toa-ok-jin, tapi setelah sembunyi sekian lamanya di lembah kura-kura itu, paling-paling kalian berlima ini cuma dapat di anggap sebagai Go-toa-ok-ku (lima ekor kura-kura jahat),” demikian Han-wan Sam-kong mengejeknya.

To Kiau-kiau menjadi gusar, dampratnya, “Hm, kau ini kutu macam apa, biar pun dua puluh tahun yang lalu kau juga tidak memenuhi syarat sebagai anggota Cap-toa-ok-jin, bahwa kau pun dianggap satu di antara kesepuluh top penjahat, soalnya orang ingin membuat genap bilangan sepuluh saja.”

“Baik, jika kita sesungguhnya belum tergolong ok-jin sejati, kenapa kita tak coba-coba menjadi ho-jin (orang baik) saja?” ucap Han-wan Sam-kong. “Dan untuk menjadi ho-jin kita juga perlu coba-coba berbuat baik.”

“Berbuat baik bagaimana?” tanya Li Toa-jui.

Han-wan Sam-kong menunjuk Hoa Bu-koat yang menggeletak di tanah dan Thi Sim-lan yang terkurung di dalam sangkar itu, katanya, “Kenapa kita tidak membebaskan mereka agar mereka selalu merasa berterima kasih kepada kita.”

Li Toa-jui termenung sejenak, katanya kemudian, “Betul juga, sudah sekian lama kita dibenci orang, kalau sekali tempo kita pun membikin orang berterima kasih kepada kita, kan menarik juga.”

“Bagaimana pendapatmu, Toh-lotoa?” tanya Han-wan Sam-kong.

“Tampaknya ketiga orang ini sudah sekarat, aku pun malas membunuh mereka,” jawab Toh Sat.

Pek Khay-sim juga sedang putar otak, mendadak ia berkata, “Jika kalian ingin menjadi orang baik, kenapa tidak menjadi baik-baik benar?”

“Haha, masakah orang yang selalu membuat rugi orang lain juga ingin berbuat sesuatu yang baik?” seru Ha-ha-ji dengan tertawa.

“Aku sudah berbuat jahat selama ini, sekarang aku pun ingin tahu bagaimana rasanya berbuat baik,” kata Pek Khay-sim. “Kalau tidak, kan sukar kupertanggung jawabkan perbuatanku di depan Giam-lo-ong bila mana kumati kelak.”

“Memangnya kau anak kura-kura ini ingin permainan apa?” tanya Ok-tu-kui.

Pek Khay-sim berdiri membelakangi Hoa Bu-koat dan Thi Sim-lan, ia menunjuk kedua anak muda itu di luar tahu mereka, katanya dengan tertawa, “Kedua bocah ini sudah sekian lama suka sama suka, cuma sayang di antara mereka terhalang oleh seorang Siau-hi-ji, sekarang Siau-hi-ji jelas sudah ‘bebas tugas’, kenapa kita tidak kawinkan mereka ini. Hahaha, biarkan semua kekasih di dunia ini terikat menjadi suami-istri abadi. Bukankah ini perbuatan yang menyenangkan dan mulia?”

“Haha, betul,” tukas Ha-ha-ji sambil bertepuk. “Kita sudah mengasingkan diri sekian tahun, kalau sekarang kita bisa pesta pora dengan gembira, kan menyenangkan sekali?”

“Benar,” sambung Li Toa-jui. “Sudah dua puluh tahun lebih tak pernah kuminum arak pesta perkawinan, kukira pasti sangat menyenangkan.”

Tapi mendadak To Kiau-kiau menunjuk hidung Pek Khay-sim dan mengomel, “Kutahu bocah ini tidak mungkin punya maksud baik, nyatanya memang urusan yang merugikan orang lain tanpa menguntungkan dia sendiri.”

“Menjadi comblang bagi orang lain adalah pekerjaan mulia, bila diketahui Giam-lo-ong tentu juga umurku akan diberi ekstra tiga tahun lebih panjang, mengapa kau bilang tindakanku ini merugikan orang lain?” teriak Khay-sim.

“Sudah jelas kau tahu kedua bocah ini sedang berduka, tapi kau menghendaki mereka kawin sekarang juga, ini kan lebih berdosa dari pada kau bunuh mereka?” ujar Kiau-kiau dengan tertawa.

Pek Khay-sim memicingkan mata dan berkata dengan tertawa, “Misalnya mereka sedang berduka, tapi nanti setelah kawin dan tahu rasanya, tanggung mereka tidak sempat berduka lagi.”

“Buset, dasar mulut anjing, mana mungkin keluar gadingnya,” gerutu Li Toa-jui.

“Sudahlah,” sela Ha-ha-ji. “Aku tidak peduli bagaimana pendapat kalian, yang pasti kedua bocah ini harus dikawinkan. Hahaha, dengan tanganku sendiri akan kuganti pakaian pengantin mereka, dengan tanganku sendiri akan kutuang arak bahagia mereka.”

Li Toa-jui melirik sekejap ke arah Pek Khay-sim dan mendadak ia tertawa dan berkata, “He, di sini kan masih ada seekor macan betina baginya?”

Ha-ha-ji memandang Pek-hujin, terus memandang pula Pek Khay-sim, lalu bergelak tertawa dan berseru, “Ya, betul, mereka memang pasangan yang cocok.”

Dengan terkikik-kikik To Kiau-kiau menambahkan, “Tampaknya Nyonya Pek kita memang besar rezekinya, ke sana dan ke sini dia memang berjodoh dengan orang she Pek, ganti suami juga tetap dengan orang yang punya she sama.”

Pek Khay-sim lalu berteriak, “Tapi kalian...” sembari bicara segera ia hendak mengeluyur pergi.

Namun To Kiau-kiau dan Li Toa-jui sempat bertindak, sekaligus mereka bekuk Pek Khay-sim dan diseret balik.

“Ini kan peristiwa bahagia, mengapa kau hendak kabur?” kata To Kiau-kiau dengan tertawa.

“Ya, jangan harap kau dapat kabur sesukamu,” sambung Li Toa-jui.

Sejak mendengar Siau-hi-ji sudah “bebas tugas” sebagaimana diucapkan Pek Khay-sim tadi, sejak itu Han-wan Sam-kong lantas tidak bersuara pula, sekarang mendadak ia pun nimbrung, “O, ya, kutahu di sana sudah ada sepasang pengantin, jika mau pesta, biarlah kita gabungkan saja dengan mereka, kan hemat biaya dan juga tambah ramai.”

“Apakah kau maksudkan Buyung Kiu dengan sahabatmu si hitam kecil itu?” tanya Kiau-kiau.

“Betul,” jawab Ok-tu-kui Han-wan Sam-kong.

“Tapi keluarga Buyung mana mau pesta pora bersama kita,” kata Li Toa-jui dengan tertawa. “Haha, kukira setan judi ini telah kambuh penyakit gilanya.”

“Kita tidak perlu berunding dengan mereka, bila tiba waktunya, beramai-ramai kita masuk saja ke ruangan pesta mereka, kita jajarkan dua pasang pengantin baru dan bersama merayakannya, dalam suasana gembira ria dan bahagia begitu masakah mereka sampai hati bertengkar dengan kita?”

“Haha, saran bagus, akal baik!” seru Ha-ha-ji sambil bertepuk tertawa.

“Kuharap di antara santapan yang mereka sajikan terdapat daging manusia, dengan demikian aku pun dapat menikmati kegemaranku dan semuanya benar-benar menjadi riang gembira,” kata Li Toa-jui.

“Dan kuharap pada waktu itu Yan Lam-thian juga hadir,” tukas Pek Khay-sim tiba-tiba.

Ucapan ini membuat semua orang tertegun dan tidak dapat tertawa lagi.

“Yan Lam-thian tidak akan ikut hadir ke sana,” kata Han-wan Sam-kong.

“Dari mana kau tahu? Kau kan bukan cacing pita dalam perutnya?” jengek Pek Khay-sim.

Ok-tu-kui tak menggubrisnya, ia berkata pula, “Yang jelas sementara ini Yan Lam-thian lagi sibuk mencari Siau-hi-ji, mana dia sempat hadir ke sana?”

“Tapi jangan lupa, untuk mencari orang harus mencarinya di tempat yang banyak orangnya, dan tempat berpesta pora adalah tempat yang banyak orangnya, apa bila aku menjadi Yan Lam-thian pasti akan hadir ke sana.”

“Tapi kau anak kura-kura ini pun jangan lupa, siapa orang yang menjadi penunjuk jalan Yan Lam-thian sekarang?” kata Han-wan Sam-kong.

Pek Khay-sim melengak dan tidak bersuara lagi.

Dengan tertawa To Kiau-kiau berkata, “Yang menjadi penunjuk jalan Yan Lam-thian sekarang ialah Kang Giok-long dan bocah she Kang itu juga tak mungkin membawa Yan Lam-thian ke rumah keluarga Buyung, bahkan juga tak mungkin membawanya ke tempat yang banyak orangnya, sebab ia khawatir orang lain akan membongkar akal kejinya.”

“Jika demikian, jadi tempat yang ramai justru adalah tempat yang lebih aman?” kata Pek Khay-sim.

“Memang, tempat yang paling aman sekarang adalah tempat pesta pernikahan keluarga Buyung sana,” sambung Han-wan Sam-kong.

“Betul juga,” tukas Kiau-kiau dengan tertawa. “Tak tersangka si setan judi akhir-akhir ini berubah menjadi cerdik.”

“Kalau betul, apa yang kita tunggu lagi?” seru Ha-ha-ji sambil berjingkrak girang. “Ayolah lekas berangkat! Haha, dasar watakku memang suka keramaian, makin banyak orang yang hadir di sana makin baik.”

Dalam keadaan demikian, Hoa Bu-koat menjadi sangat sedih dan menyesal mengapa dirinya masih bisa hidup di dunia ini, apalagi bila teringat apa yang akan dilakukan orang-orang ini terhadap dirinya dan Thi Sim-lan, sungguh remuk redam hatinya.

Yang paling menyedihkan dia adalah sekarang tiada seorang pun yang mau menggali lagi gua ini, maka Siau-hi-ji dan Ih-hoa-kiongcu pasti akan terkubur untuk selamanya di dalam gua.

Ia pun tahu saat ini Thi Sim-lan pasti jauh lebih berduka dari padanya, maka ia tidak berani memandang si nona.

Padahal sama sekali Thi Sim-lan tidak mencucurkan air mata, maklumlah, sejak tadi air matanya sudah kering.

Sekarang adalah hari keenam terkurungnya Siau-hi-ji dan Ih-hoa-kiongcu di dalam gua itu, harapan hidup mereka jelas sudah terputus sama sekali.

Berbondong-bondong para anggota Cap-toa-ok-jin ini lantas membawa Bu-koat, Thi Sim-lan, dan Pek-hujin ke bawah bukit.

Di kaki bukit memang ada sebuah kelenteng. Kawanan hwesio penghuni kelenteng itu benar-benar lagi sial, tanpa hujan tiada angin tahu-tahu kedatangan penyatron tak diundang itu, terpaksa mereka hanya menggerutu saja dan mengira malaikat tak mengizinkan mereka makan daging dan minum arak.

Di luar dugaan, tidak lama kemudian penyatron itu datang lagi, bahkan suatu rombongan besar. Anehnya orang-orang yang tampaknya bengis dan jahat ini, semuanya tertawa gembira seperti habis mendapat rezeki nomplok.

Di antara mereka ada lagi tiga orang pesakitan, namun ketiga orang ini sangat menarik, yang lelaki cakap dan yang perempuan cantik.

Berdebar juga jantung kawanan hwesio melihat perempuan yang menggiurkan ini. Malahan hati si hwesio ketua juga berdetak keras.

Yang paling aneh adalah rombongan orang ini membawa satu bungkus besar berisi pakaian yang beraneka warna serta memaksa ketiga orang pesakitan itu berganti pakaian. Tentu saja kawanan hwesio itu serbasusah dan lekas baca kitab suci, mereka bersumpah selanjutnya tak berani lagi melanggar pantangan makan daging.

Padahal rombongan Li Toa-jui dan To Kiau-kiau tidak mirip kaum perusuh, mereka lebih mirip anak nakal yang lepas sekolah, mereka tertawa cekakak dan cekikik melulu, bungkusan pakaian yang beraneka warna itu mereka keluarkan dan dilempar kian kemari, akhirnya mereka dapat memilih satu potong baju berwarna merah.

Baju merah itu lantas dikenakan pada Pek-hujin. Nyonya Pek ini pun tidak menolak, walau pun rasa gatalnya sudah lenyap, tapi tetap pura-pura genit, bergeliat, dan pasang aksi.

Dengan kuat Ha-ha-ji tepuk pundak Pek Khay-sim sambil berseru, “Haha, tampaknya perempuan ini benar-benar ingin menjadi istrimu.”

“Ya, kukira dia sudah bosan dengan suaminya yang dulu, maka ingin ganti suami baru,” sambung Li Toa-jui.

Dengan tertawa To Kiau-kiau juga berkata, “Mungkin dia merasa puas dipecuti oleh Pek Khay-sim untuk mencari kepuasan setiap hari, tentu saja ia pilih Pek Khay-sim.”

Ha-ha-ji lantas memilih pula sepotong baju hijau dan memaksa Pek Khay-sim ganti pakaian.

“Tukar yang lain saja, baju ini agak panjangan sedikit,” tawar Pek Khay-sim.

“Jika terlalu panjang, potonglah sedikit untuk dibuat topi,” ujar Li Toa-jui dengan tertawa.

“Haha, betul, setelah kau menikahi perempuan ini, selekasnya kau pun perlu pakai topi hijau,” sambung Ha-ha-ji. (Pakai topi hijau = kata olok-olok bagi lelaki yang masa bodoh terhadap istrinya yang menyeleweng).

Melihat tingkah laku orang-orang gila ini, hati Hoa Bu-koat menjadi tenang. Ia sudah ambil keputusan akan tinggal diam saja dan takkan memperlihatkan rasa derita meski diperlakukan bagaimanapun oleh kawanan orang gila ini. Ia tahu, bila dirinya mengunjuk rasa sedih dan tersiksa, maka orang-orang gila itu akan bertambah gembira dan akan lebih hebat mengerjainya.

Satu hal yang membuat lega hati ialah Thi Sim-lan telah jatuh pingsan, paling tidak si nona tidak perlu ikut merasa terhina dan tersiksa.

Dahulu Bu-koat lebih suka dirinya mati seribu kali dari pada Thi Sim-lan yang harus mati, tapi sekarang ia justru berharap semoga Thi Sim-lan takkan siuman untuk selamanya. Sebab orang kalau sudah mati, maka tiada sesuatu kejadian di dunia ini yang akan membuatnya sedih dan susah.

Dalam pada itu Ha-ha-ji juga telah memilih sepotong baju dan dikenakan di tubuh Bu-koat, katanya sambil berucap, “Hahaha, hari bahagiamu sudah tiba, untuk apa wajahmu selalu murung saja?”

“Kau pun tidak perlu merasa bersalah kepada Siau-hi-ji,” sambung To Kiau-kiau. “Bisa jadi Siau-hi-ji dan budak she So itu sudah menjadi pengantin di dalam gua sana.”
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar