Bahagia Pendekar Binal Jilid 30

Kuda merah membara, secepat terbang kuda itu menerjang ke jalanan ini dan tampaklah akan menumbuk seorang penjual bakmi di tepi jalan. Tentu saja orang yang sedang jajan bakmi sama menjerit kaget dan berlari menyingkir. Rupanya suara derapan kuda dan jerit kaget orang itulah yang telah menenggelamkan suara teriakan Pek Khay-sim tadi.

Si penunggang kuda merah itu ternyata sangat cekatan, pada detik yang gawat itu mendadak ia menahan kudanya sehingga kuda itu meringkik sambil berdiri dengan kaki belakang, namun tiada satu mangkuk pun yang tertumbuk.

Habis itu semua orang dapat melihat jelas si penunggang kuda itu ternyata sama dengan kudanya, juga memakai baju merah, malahan cambuk yang dipegangnya juga berwarna merah.

Di tengah ringkik kuda yang melengking itu, si penunggang kuda pun turun, yakni seorang nona cantik.

Baru sekarang semua orang melihat jelas si penunggang kuda, sepasang matanya yang besar dan jeli itu sungguh sangat memesona.

Setiap mata orang sama memandangnya, tapi si nona anggap orang lain seperti patung saja, hakikatnya dia tidak memperhatikan mereka, sambil bertolak pinggang ia berteriak ke arah sana, “Ayolah kemari, lekas! Apakah kuda tungganganmu cuma berkaki tiga? Kenapa begitu lambat?”

Pada saat itu juga dari ujung jalan sana baru muncul lagi seekor kuda, penunggangnya menjawab, “Bukan kudaku yang lambat, tapi kau yang terlampau cepat membedal kudamu.”

Sambil bicara pun orang itu melompat turun dari kudanya dengan gerakan gesit, orang ini adalah pemuda yang cakap dan lembut, pakaiannya juga perlente.

Si nona baju merah tadi agak kurang senang, dengan melotot ia mengomel, “Siapa bilang bedal kudaku terlalu cepat, memangnya pernah kutabrak orang?”

Si pemuda menjadi kikuk karena dipandang orang banyak, mukanya menjadi merah, cepat ia menjawab, “Ya, engkau ti... tidak cepat.”

“Kalau aku tidak cepat jelas kau yang lambat,” kata si nona baju merah.

“Ya, ya, aku yang lambat,” sahut si pemuda.

“Nah, harus menurut begini, nanti Cici menjamu kau,” kata si nona, baru sekarang ia tertawa puas.

Tentu saja muka si pemuda tambah merah sehingga kepala pun tertunduk.

Semua orang merasa tertarik oleh kedua muda-mudi itu dan merasa geli melihat sikap si pemuda yang lebih mirip anak perempuan itu, sebaliknya si nona tampak begitu garang.

Cuma sekarang semua orang sudah tahu juga bahwa kedua muda-mudi itu pasti bukan orang biasa, maka tiada seorang pun berani tertawa.

Pandangan orang banyak memang betul, si nona baju merah memang tidak boleh sembarangan direcoki, asalkan ada orang berani tertawa, mungkin kepalanya akan segera berkenalan dengan cambuknya.

Malahan si orang aneh tadi juga sedang memperhatikan gerak-gerik muda-mudi ini, hanya Kang Piat-ho saja yang segera menunduk demi melihat mereka. Sebab hanya Kang Piat-ho saja yang kenal siapa mereka.

Kiranya si nona baju merah tadi bukan lain dari pada Siau-sian-li Thio Cing dan pemuda yang pemalu ini adalah Koh Jin-giok.

Siau-sian-li telah memegang tangan Koh Jin-giok, katanya dengan tertawa, “Sudah kukatakan di sini banyak penjual makanan dan kau tidak percaya, sekarang kau lihat sendiri, aku tidak berdusta bukan?”

Dia bicara dengan bebas tanpa menghiraukan orang banyak yang sedang memandang padanya. Tapi Koh Jin-giok menjadi malu, dengan muka merah ia menjawab, “Lihatlah, begini banyak orang -.”

“Banyak orang apa sangkut-pautnya dengan kita, mereka juga sedang jajan, kenapa kau takut?” kata Siau-sian-li.

Koh Jin-giok tidak berani bersuara pula, tampaknya ia sangat takut pada si nona.

Dengan tertawa Siau-sian-li lantas berucap pula, “Hari ini boleh dikatakan hari bahagia si budak Kiu, aku pun sangat gembira, maka aku harus makan-minum sepuas-puasnya, bahkan harus minum arak barang dua cawan.”

Koh Jin-giok seperti merasa serba susah, ia menghela napas.

Kembali Siau-sian-li melotot dan mengomel, “Apa yang menyebabkan kau menghela napas? Budak kita sudah mendapatkan pasangan, kau menyesal bukan?”

“Masa aku menyesal,” Koh Jin-giok cepat-cepat menjawab dengan tersenyum, “Aku ma... malahan...”

Siau-sian-li tertawa melihat sikap Koh Jin-giok yang serba susah itu, maka katanya pula, “Baiklah jika kau tidak menyesal. Nah, lihatlah, di sini ada penjual bakmi, ada bakso, dan macam-macam lagi, sudah lama aku tidak makan bakso, kukira jajanan di sini pasti sangat enak.”

Dia terus saja mencerocos sambil tertawa, dan baru saja Koh Jin-giok diajaknya duduk di depan angkringan si penjual bakso, mendadak ia berdiri pula sambil melotot ke seberang sana dan berseru, “He, lihat, siapa itu?”

Yang dimaksud ternyata bukan lain dari pada Kang Piat-ho.

Waktu Koh Jin-giok ikut memandang ke arah sana, seketika air mukanya juga berubah, katanya dengan suara tertahan, “Mengapa dia juga berada di sini?”

“Memang, Kang-lam-tayhiap yang termasyhur itu mengapa bersembunyi di tempat kecil begini, apa barangkali sudah tidak berani bertemu dengan orang lain? Pantas di dunia Kangouw tersiar berita Kang-lam-tayhiap telah menghilang,” demikian Siau-sian-li sengaja berkata dengan suara keras sehingga setiap orang dapat mendengarnya.

Dengan sendirinya banyak orang yang kenal nama kebesaran Kang-lam-tayhiap, seketika banyak orang mengalihkan pandangan mereka ke arah Kang Piat-ho.

Hanya sekali lompat saja Siau-sian-li lantas berada di depan Kang Piat-ho, jengeknya, “Kang Piat-ho, Kang-tayhiap, mengapa kau tutup mulut? Biasanya kau kan pintar omong, bahkan kuingat betul wibawamu tidak kecil.”

Tapi Kang Piat-ho tetap bungkam, dan bahkan menunduk kepala.

Dengan gusar Siau-sian-li membentak pula, “Kang Piat-ho, kau tidak perlu berlagak dungu, tiada gunanya meski pura-pura bodoh. Tentunya kau tahu tidak sedikit orang yang sedang mencarimu untuk membuat perhitungan lama. Nah, sekarang juga kau pergi bersamaku.”

Namun Kang Piat-ho hanya berdiri mematung di tempatnya tanpa bergerak, air mukanya juga tidak mengunjuk sesuatu perasaan. Kang-lam-tayhiap yang biasanya gagah perwira itu kini telah berubah seperti pengecut.

Tiba-tiba orang aneh yang berada di sebelah Kang Piat-ho membuka suara, “Dia tidak dapat ikut pergi bersamamu.”

Suara orang ini rendah lagi serak, kerongkongannya seperti pecah sehingga suaranya bocor. Setiap katanya seolah-olah terdesak keluar dari sela-sela kerongkongan yang pecah itu.

Melengak juga Siau-sian-li melihat orang aneh dengan suara yang juga aneh ini. Tanpa pikir ia tanya, “Sebab apa dia tidak dapat ikut pergi bersamaku?”

“Sebab dia harus ikut bersamaku,” jawab si orang aneh.

“Ikut kau?” Siau-sian-li menjadi gusar. “Memangnya kau ini apa?”

Berbareng itu cambuknya langsung bekerja, “tarr”, kontan ia menyabet. Cambuk adalah benda mati, tapi di tangan Siau-sian-li telah berubah seperti ular hidup dan seolah-olah sejalur api terus menggulung ke muka orang aneh itu.

Reaksi orang aneh itu sangat lamban, hakikatnya seperti tidak tahu rasanya sakit bila tercambuk, dia hanya memandangi cambuk lawan dengan terkesima.

Tampaknya cambuk Siau-sian-li segera akan meninggalkan jalur berdarah di muka orang aneh itu. Tak terduga, tahu-tahu ujung cambuk yang panjang itu lantas putus menjadi belasan potong dan jatuh ke tanah. Siau-sian-li juga tak dapat berdiri tegak lagi, ia terhuyung-huyung ke belakang dan akhirnya jatuh di pangkuan Koh Jin-giok.

Orang lain hanya tahu putusnya cambuk menjadi berkeping-keping dan jatuhnya Siau-sian-li, tapi tidak seorang pun yang tahu jelas cara bagaimana si orang aneh turun tangan. Malahan Siau-sian-li juga tidak jelas apa yang terjadi, ia cuma merasakan suatu arus tenaga mahadahsyat tersalur tiba melalui cambuknya, lalu tubuhnya tergetar seperti kena aliran listrik.

Jika orang lain, setelah kesandung secara mengejutkan begini, andaikan tidak ketakutan setengah mati tentu juga sudah kapok dan tak berani turun tangan lagi.

Tapi dasar Siau-sian-li, si bidadari cilik, hanya namanya saja indah dan orangnya memang cantik juga, namun wataknya ternyata sangat berangasan. Apalagi sejak berkelana di dunia Kangouw belum pernah dia kecundang sehebat ini.

Belum lagi Koh Jin-giok sempat membujuknya karena sempat melihat Kungfu si orang aneh sesungguhnya teramat lihai, tahu-tahu si nona sudah melompat bangun, sekali bergerak, mendadak ia lolos keluar dua bilah pedang pandak.

Sementara itu orang-orang yang sedang makan di tepi jalan sudah sama menyingkir, meja dan bangku penjual bakso dan bakmi juga sudah sama disingkirkan, selain khawatir ikut menjadi korban, mereka pun ingin menonton pertarungan yang pasti menarik ini.

Maka tertampaklah sinar pedang berkelebat secepat kilat, hanya sekejap saja Siau-sian-li sudah melancarkan tujuh kali serangan, karena gemasnya dia menyerang tanpa kenal ampun, kalau bisa sekaligus ia hendak menembus dada orang aneh itu.

Ada penonton yang berkhawatir bagi si orang aneh sebab gerak-geriknya kelihatan lamban, seolah-olah tidak tahu bahwa setiap tikaman Siau-sian-li itu dapat merenggut jiwanya.

Sebaliknya juga ada orang yang menganggap si nona cilik baju merah itu terlalu ganas, masa menyerang orang sekejam itu. Sudah tentu lebih banyak lagi orang-orang yang suka keramaian, mereka justru berharap pertarungan berlangsung lebih sengit.

Hanya Koh Jin-giok saja yang benar-benar berkhawatir, dengan sendirinya ia khawatir bagi Siau-sian-li, tapi ia pun tahu bila si nona sudah umbar wataknya yang keras itu, maka siapa pun tak dapat melerainya, apalagi, seumpama dia dapat melerainya sekarang juga sudah terlambat.

Benar saja, terdengar si orang aneh membentak perlahan, tidak jelas cara bagaimana bergeraknya, tahu-tahu kedua pedang di tangan Siau-sian-li sudah terlepas dan mencelat ke udara, lenyap entah jatuh di mana. Waktu orang memandang Siau-sian-li nona itu kembali jatuh lagi ke dalam pelukan Koh Jin-giok, malahan sekali ini dia tidak sanggup berdiri lagi.

“Kau ini anak murid siapa? Mengapa tanpa sebab menyerang orang sekeji ini?” demikian ucap si orang aneh dengan kurang senang. “Ai, anak jaman sekarang mengapa makin lama makin tidak tahu aturan?”

“Kau sendiri tidak tahu aturan,” damprat Siau-sian-li. “Tahukah kau...”

Mendadak ucapannya terputus, sebab Koh Jin-giok telah mendekap mulutnya.

Tentu saja Siau-sian-li mendongkol, sekuatnya ia menyikut, meski Koh Jin-giok lantas melepaskan pegangannya karena kesakitan, tapi tubuh Siau-sian-li juga memberosot ke tanah dan jatuh terduduk.

Si nona terus saja duduk di tanah, omelnya sambil menunjuk hidung Koh Jin-giok, “Aku dihina orang cara begini, kau tidak membantu, sebaliknya malah melarangku bicara. Hm, apakah kau terhitung lelaki lagi? Pantas orang suka menyebut Koh-siumoay padamu.”

Muka Koh Jin-giok menjadi merah seperti kepiting rebus, ia tergagap-gagap, “Aku... aku tidak -.”

“Hah, rupanya aku salah menilai dirimu,” kata Siau-sian-li. “Tadinya kukira kau laki-laki sejati, siapa tahu... siapa tahu kau lebih empuk dari pada tahu, sungguh kau sangat mengecewakan aku.”

Sampai di sini ia menjadi sangat berduka dan air mata pun bercucuran.

Mendadak Koh Jin-giok mengertak gigi, dengan langkah lebar ia mendekati si orang aneh, katanya, “Sungguh lihai kungfumu, tapi Cayhe tetap ingin belajar kenal.”

Orang aneh itu hanya menarik muka saja dan tidak menanggapi.

“Awas, akan kuserang kau!” bentak Koh Jin-giok.

Walau pun pribadinya lemah-lembut seperti anak perempuan, tapi pukulannya ternyata sangat kuat, mantap, ganas, jitu dan cepat.

“Blang”, pukulan keras ini dengan tepat mengenai tubuh orang aneh. Entah mengapa, sama sekali orang itu tidak menghindar.

Siau-sian-li tidak menangis lagi, bahkan mencorong terang matanya, sebab ia kenal betapa lihai pukulan Koh Jin-giok. Meski gaya pukulan Koh Jin-giok tidak sedap dipandang, tapi sangat kuat, bila terkena pukulannya dengan telak, biar pun seekor kerbau juga akan gepeng.

Hampir saja Siau-sian-li bertepuk gembira apa bila tidak segera dilihatnya si orang aneh ternyata tidak terpukul gepeng bahkan bergerak saja tidak. Pukulan sakti Koh Jin-giok yang mengenai tubuhnya seakan-akan memijatnya saja, sebaliknya Koh Jin-giok sendiri malah tergetar mundur dan terhuyung-huyung.

Baru sekarang Siau-sian-li melongo kaget.

Didengarnya si orang aneh lagi menegur Koh Jin-giok dengan melotot, “Kau ini pernah apanya Koh-losi?”

Dahi Koh Jin-giok tampak berkeringat, jawabnya, “Ap... apakah Cianpwe kenal ayahku.”

“Hmk,” jengek orang itu. “Konon Koh-losi mempunyai peraturan keluarga yang keras, mana boleh anak muridnya sembarangan bertindak di luaran? Hendaklah diketahui, seorang yang semakin tinggi kungfunya juga harus semakin prihatin, apa bila sedikit-sedikit lantas main pukul, itu kan sama dengan perbuatan kaum pencoleng di tepi jalan, masa ajaran ini tak pernah diberikan oleh ayahmu?”

Seketika Koh Jin-giok tertunduk oleh dampratan orang aneh itu, mana berani lagi dia bersuara.

Siau-sian-li yang tidak tahan, ia berteriak, “Siapa kau sebenarnya? Berdasarkan apa kau beri kuliah segala?”

Sejak tadi Kang Piat-ho berdiri mematung di samping, sama sekali ia tidak terkejut terhadap apa yang terjadi di depannya, seolah-olah ia sudah tahu bila mana si orang aneh turun tangan, maka Koh Jin-giok dan Siau-sian-li pasti akan kecundang.

Sekarang mendadak Kang Piat-ho tertawa dan berkata, “Masa kalian sama sekali tidak tahu siapa gerangan beliau?”

“Siapa dia?” Siau-sian-li menegas dengan melotot.

Lebih dulu Kang Piat-ho menghela napas, lalu menjawab sekata demi sekata, “Beliau inilah Yan-tayhiap, Yan Lam-thian!”

Yan Lam-thian! Begitu mendengar nama ini, seketika kuncup nyali Siau-sian-li dan tidak berani bertingkah lagi, matanya terbeliak dan mulut pun tertutup.

Koh Jin-giok bahkan terus menyembah, sampai kawanan buaya darat yang tadi baru bubar dari rumah judi pun sama menahan napas demi mendengar nama Yan Lam-thian.

“Selanjutnya Kang Piat-ho takkan memalsukan nama dan berbuat jahat lagi, maka kalian pun tidak perlu mencari dia lagi untuk membuat perhitungan,” kata Yan Lam-thian kemudian. “Sebab sudah ada orang lain akan membuat perhitungan lebih dulu dengan dia untuk menyelesaikan utang-piutang yang sudah tertunggak dua puluh tahun lamanya.”

Berulang-ulang Koh Jin-giok mengiakan dengan hormat.

Lalu terdengar Yan Lam-thian menambahkan, “Dan selanjutnya hendaklah kalian pun jangan bertindak sembrono dan sembarangan membunuh orang.”

Dengan tertunduk kembali Koh Jin-giok mengiakan.

Yan Lam-thian lantas memberi tanda, katanya, “Baiklah, sekarang kalian boleh pergi.”

Kaki Pek Khay-sim dan To Kiau-kiau yang mengintip di balik pintu sana terasa seperti lemas dan baju mereka pun basah kuyup oleh keringat dingin.

Han-wan Sam-kong juga jeri terhadap Yan Lam-thian, tapi dia tidak ketakutan seperti kedua rekannya itu. Ia merasa geli melihat keadaan kedua kawannya itu, katanya dengan tertawa, “Ayo kalian anak kura-kura ini kenapa tidak berteriak lagi sekarang? Kabarnya kalian telah mengurung Yan Lam-thian di Ok-jin-kok selama dua puluh tahun, tadinya Locu merasa sangsi dan tidak percaya, tapi sekarang tampaknya hal itu memang bukan berita kosong belaka.”

“Ti... tidak...” mestinya To Kiau-kiau hendak menyangkal, tapi lidahnya terasa kaku dan sukar berucap pula.

“Itulah perbuatan si banci dengan serigala mulut besar mereka itu, tiada sangkut pautnya dengan aku,” cepat Pek Khay-sim mendahului bicara.

“Jika tiada sangkut pautnya dengan kalian anak kura-kura ini, kenapa kau anak kura-kura mesti ketakutan setengah mati?” tanya Han-wan Sam-kong dengan tertawa.

“Memangnya kau sendiri tidak takut?” ujar Pek Khay-sim.

“Kejahatan yang kulakukan kan tidak sebanyak perbuatan kalian, Locu tidak perlu takut seperti kau anak kura-kura ini,” kata Ok-tu-kui.

Mendadak Pek Khay-sim tertawa lebar, katanya, “Kata orang, yang ada biasanya cuma berzina paksa dan tidak ada judi paksa, ini tandanya memaksa orang berjudi jauh lebih jahat dari pada pemerkosaan. Nah, kejahatanku paling-paling juga cuma memerkosa saja. Tapi kau... hehehe, boleh kau lihat nanti, apa bila Yan Lam-thian tahu kau inilah Ok-tu-kui, mustahil kalau kepalamu tidak dipukulnya hingga pecah.”

Han-wan Sam-kong mengusap keringatnya, ia pun tidak sanggup bicara pula.

Sudah tentu ketiga orang sama berharap selekasnya Yan Lam-thian akan pergi sejauh-jauhnya bersama Kang Piat-ho. Siapa tahu, Yan Lam-thian justru lantas duduk di tempat penjual bakmi, ia minta satu botol arak, lalu menuang sendiri dan minum sendiri.

Kang Piat-ho hanya berdiri saja di samping, tidak berani pergi juga tidak berani ikut duduk. Agaknya orang-orang lain juga sama jeri sehingga satu per satu pembeli bakmi sama angkat kaki, sampai-sampai si penjual bakmi sendiri juga agak gemetar.

Namun Yan Lam-thian tetap tenang-tenang saja, ia minum sendirian secawan demi secawan tanpa berhenti. Setiap kali habis menenggak arak, setiap kali pula menghela napas panjang seperti orang menanggung tekanan batin.

Han-wan Sam-kong bergumam sambil berkerut kening, “Aneh, si anak kura-kura Kang Piat-ho itu mengapa bisa berada bersama Yan Lam-thian, sungguh kejadian mahaaneh.”

Dia mengira pertanyaan ini pasti tiada orang yang mampu menjawabnya, tak terduga To Kiau-kiau lantas menghela napas dan berucap, “Baru sekarang aku ingat asal-usul Kang Piat-ho ini.”

“Memangnya bagaimana asal-usulnya?” tanya Ok-tu-kui.

“Dia pasti Kang Khim adanya,” kata Kiau-kiau.

“Kang Khim? Siapa itu Kang Khim?” tanya Ok-tu-kui pula.

“Kang Khim adalah kacungnya Kang Hong, saudara angkat Yan Lam-thian,” tutur Kiau-kiau. “Tujuan Yan Lam-thian ke Ok-jin-kok dulu adalah untuk mencari Kang Khim, sebab Kang Khim telah mengkhianati Kang Hong.”

“Kang Hong? Nama ini seperti pernah kudengar,” ujar Ok-tu-kui.

“Sudah tentu pernah kau dengar dulu, cuma sudah terlalu lama,” kata Kiau-kiau. “Kang Hong bukan lain ialah ayah Kang Siau-hi-ji.”

Han-wan Sam-kong melengak, katanya kemudian, “Jika betul dia hendak menuntut balas pada Kang Khim alias Kang Piat-ho sekarang, mengapa dia tidak membinasakannya saja, tapi malah membawanya kian kemari untuk apa?”

“Sebab dia ingin menemukan dulu Siau-hi-ji agar anak muda itu dapat membalas dendam dengan tangannya sendiri,” tutur Kiau-kiau.

“Ya, betul, pasti inilah alasannya,” tukas Ok-tu-kui. “Akan tetapi bagaimana kalau tidak berhasil menemukan Siau-hi-ji?”

Tiba-tiba Pek Khay-sim tertawa lebar, katanya, “Selama hidupnya ini kukira dia takkan menemukan lagi si telur busuk kecil itu.”

“Memangnya kenapa?” tanya Ok-tu-kui.

Pek Khay-sim hanya tertawa saja dan tidak menjawab, sebab diam-diam To Kiau-kiau telah mencubitnya agar jangan banyak omong.

Pada saat itu juga, tiba-tiba ada seorang dengan membawa botol arak mendekati penjual bakmi tempat Yan Lam-thian duduk itu, lalu ia pun duduk di samping sang pendekar.

Lampu penjual bakmi itu tergantung di bagian atas sehingga dapat menyinari wajah orang yang baru datang ini, terlihat usianya masih muda, juga cukup tampan, hanya mukanya sangat pucat.

Han-wan Sam-kong terkejut, katanya, “Berengsek! Anak-kura-kura ini bukankah putra lelaki Kang Piat-ho yang bernama Kang Giok-long itu?”

“Memang betul,” tukas Pek Khay-sim.

Terlihat Kang Giok-long duduk di tempat penjual bakmi itu dan seakan-akan tidak melihat sang ayah, sebaliknya Kang Piat-ho juga berlagak seperti tidak kenal dia. Ayah beranak itu tidak saling pandang sama sekali.

“Kedua ayah beranak ini lagi main gila apa?” omel Han-wan Sam-kong sambil mengernyitkan dahi.

“Tampaknya ia bermaksud menolong bapaknya?” kata Kiau-kiau.

“Hm, hanya anak jadah ini, apakah dia mampu?” jengek Ok-tu-kui.

Kiau-kiau tertawa, katanya, “Meski dia tidak memiliki kemampuan besar, tapi cukup banyak tipu akalnya, sampai Siau-hi-ji terkadang juga tertipu olehnya.”

Han-wan Sam-kong melotot, jengeknya, “Hm, Locu juga tahu banyak tipu muslihatnya, tapi kalau dibandingkan Siau-hi-ji sedikitnya masih berselisih tiga pal jauhnya.”

Berputar biji mata To Kiau-kiau dan tidak bersuara pula. Jelas diketahuinya sekarang bahwa hubungan Ok-tu-kui dengan Siau-hi-ji ternyata cukup erat, kalau tidak, mana mungkin Ok-tu-kui bernada membela Siau-hi-ji.

Dalam pada itu tampak Kang Giok-long sedang menghormat arak kepada Yan Lam-thian, bahkan mengajaknya bicara dengan tertawa. Jelas Yan Lam-thian tidak tahu bahwa Kang Giok-long adalah putra Kang Piat-ho, ia pun tidak menolak ajakan bicara Kang Giok-long itu.

Tidak lama kemudian, mendadak Yan Lam-thian berbangkit dan berseru, “Apa betul kau kenal Kang Siau-hi?”

Kang Giok-long juga berdiri, jawabnya dengan mengiring tawa, “Bukan cuma kenal saja, bahkan boleh dikatakan sahabat sehidup-semati.”

Yan Lam-thian lantas memegang pundak Kang Giok-long dan bertanya, “Apakah akhir-akhir ini kau pernah melihatnya?”

“Dua hari yang lalu Wanpwe baru saja minum arak bersama dia,” jawab Giok-long.

“Dan ke mana dia sekarang?” tukas Yan Lam-thian cepat.

“Jejaknya memang tidak menentu,” tutur Giok-long. “Tapi rasanya Wanpwe masih sanggup menemukannya.”

“Betul?” Yan Lam-thian menegas.

“Masa Wanpwe berani berdusta kepada Cianpwe?” kata Giok-long.

“Bagus, bagus, bagus...” karena senangnya Yan Lam-thian mengucapkan “bagus” hingga beberapa kali, tangannya yang mencengkeram pundak Kang Giok-long juga lupa dilepaskan, keruan anak muda itu meringis kesakitan, tulang pundak serasa retak, tapi sedapatnya ia unjuk senyuman.

Sinar mata Kang Piat-ho tampak gemerdep, tiba-tiba ia menimbrung, “Asal-usul bocah ini tidak jelas, mana boleh Yan-tayhiap percaya kepada ocehannya?”

“Tutup mulutmu!” bentak Yan Lam-thian gusar. “Di depanku tiada bagianmu buat ikut bicara.”

Segera ia lemparkan sepotong uang perak kepada penjual bakmi, ia tarik Kang Giok-long terus diajak berangkat. Terpaksa Kang Piat-ho mengikut di belakang dengan lesu, tapi kalau diperhatikan jelas tersembul senyuman girang pada ujung mulutnya.

Melihat Yan Lam-thian kena diakali Kang Giok-long, To Kiau-kiau tertawa, gumamnya, “Memang sudah kuduga Yan Lam-thian pasti akan tertipu olehnya dan dugaanku ternyata tidak meleset.”

“Setan cilik ini boleh juga!” kata Pek Khay-sim dengan tertawa geli. “Hihihi! Caranya berpura-pura sungguh mirip benar, keparat! Dan Yan Lam-thian ternyata mau juga ikut pergi bersama dia, mungkin dia sudah keblinger.”

“Sekali ini bukan saja selamanya Yan Lam-thian takkan bertemu lagi dengan Siau-hi-ji, bahkan jiwanya mungkin juga akan melayang di tangan kedua ayah beranak itu,” ujar To Kiau-kiau.

Han-wan Sam-kong tampak termangu-mangu, mendadak ia menolak pintu terus hendak menerobos keluar. Tak terduga tangan To Kiau-kiau sudah menunggu di belakangnya, baru saja ia mendorong pintu, secepat kilat Kiau-kiau menutuk beberapa hiat-tonya, habis itu terus dipanggulnya dan dibawa keluar melalui jendela belakang.

Cepat Pek Khay-sim menyusulnya, sambil bertepuk tangan ia berolok-olok, “Haha, tak tersangka To Kiau-kiau bisa terpikat oleh Ok-tu-kui, rupanya kau hendak membawanya pulang untuk dijadikan suami. Tapi menjadi istri setan judi tidak terlalu enak, kau harus hati-hati kalau ikut terjual bila dia kalah judi.”

Kejut dan gusar sekali Han-wan Sam-kong, tapi apa daya, sama sekali ia tak dapat berkutik, bicara pun tidak bisa.

To Kiau-kiau mengitari belakang rumah dan keluar dari kota kecil itu, sementara itu hari sudah terang, jalan pegunungan dengan sendirinya masih sepi.

Sekuatnya To Kiau-kiau terus lari ke atas gunung, dengan sendirinya ia agak kepayahan karena harus memanggul Ok-tu-kui yang bertubuh tidak kecil itu.

Entah sudah berapa lama lagi, tiba-tiba terdengar suara gemerantang nyaring di depan sana, rupanya Li Toa-jui, Ha-ha-ji, dan Toh Sat sedang menggali gunung. Mendadak mereka melihat To Kiau-kiau dan Pek Khay-sim berlari datang seperti dikejar setan.

Yang paling aneh ialah punggung To Kiau-kiau memanggul seseorang.

Segera Li Toa-jui bertiga berhenti menggali dan menyongsong maju.

Sekilas pandang saja Ha-ha-ji lantas mengenali siapa yang dipanggul Kiau-kiau itu, serunya dengan tertawa, “Haha, kukira siapa, rupanya Ok-tu-kui adanya. Haha, selamat bertemu, sahabat lama!”

“Ya, kita sudah berpisah cukup lama, Ok-tu-kui,” Li Toa-jui juga menyapa. “Eh, baru saja bertemu mengapa engkau lantas merangkak ke atas tubuh To Kiau-kiau? Apakah kau setan judi ini telah berubah menjadi setan kundai licin?”

Toh Sat juga berkerut kening, tanyanya, “Apa-apaan ini?”

Kiau-kiau tidak lantas menjawab, ia banting Ok-tu-kui ke tanah, karena bantingan ini, hiat-to yang tertutuk seketika terbuka semua, belum lagi Ok-tu-kui melompat bangun sudah bergelak tertawa lebih dulu, “Hahahaha, kiranya kalian kawanan anak kura-kura ini sudah berada di sini semuanya. Bukit Kura-kura ini kedatangan anak kura-kura sebanyak ini, haha, benar-benar keadaan cocok dengan namanya.”

Pek Khay-sim tertawa, katanya, “Tanpa sebab musabab hiat-tomu ditutuk To Kiau-kiau, lalu seperti membanting seekor anjing kau dibanting ke tanah, tapi kau tidak melabraknya, sebaliknya terus bergurau. Hehe, tampaknya kau ini memang empuk dikerjai orang.”

Pada dasarnya Han-wan Sam-kong berwatak jujur dan terbuka, ketika mendadak melihat sahabat lama sama berkumpul, maka segala urusan telah dikesampingkan olehnya. Sekarang Pek Khay-sim membakarnya dengan mengingatkannya kejadian tadi, seketika ia naik pitam, ia melompat bangun dan menuding hidung To Kiau-kiau sambil berkata, “Ya, coba jawab, kau anak kura-kura bukan jantan bukan betina ini mengapa menutuk sesukamu?”

“Coba jawab dulu pertanyaanku,” kata Kiau-kiau. “Untuk apa tadi kau hendak lari keluar?”

“Apa yang kulakukan, peduli apa denganmu?” Ok-tu-kui meraung murka.

“Maksudmu hendak memberitahukan kepada Yan Lam-thian agar jangan tertipu oleh Kang Giok-long, begitu bukan?” tanya Kiau-kiau.

Mendengar nama “Yan Lam-thian”, tidak kepalang kejut Li Toa-jui, Ha-ha-ji, dan Toh Sat, kaki pun terasa lemas semua.

“Yan Lam-thian?” Toh Sat menegas.

“Kau... kau lihat Yan Lam-thian?” Ha-ha-ji bertanya.

“Apa... apakah dia sudah waras kembali?”

“Bukan saja sudah waras dan segar bugar, bahkan kungfunya kelihatan terlebih hebat dari pada dulu,” tutur To Kiau-kiau. “Waktu melihat orangnya tidak seketika kukenali dia, tapi setelah dia memperlihatkan satu jurus saja segera kuyakin dia itulah Yan Lam-thian, sebab selain dia di dunia ini tiada orang kedua yang memiliki ilmu silat setinggi itu.”

Ha-ha-ji menggigil ketakutan, bukan saja tidak sanggup tertawa lagi, bahkan bicara pun tidak sanggup.

“Dia... dia di mana sekarang?” tanya Li Toa-jui.

“Dia telah ditipu pergi oleh Kang Giok-long dan ayahnya, tapi Ok-tu-kui ingin mencarinya malah,” tutur Kiau-kiau.

Belum habis penuturan To Kiau-kiau ini, serentak Toh Sat, Li Toa-jui, dan Ha-ha-ji mengelilingi Han-wan Sam-kong dengan murka.

“Apa maksud tujuanmu itu?” tanya Toh Sat dengan melotot.

Ok-tu-kui tidak takut kepada orang lain, tapi jeri terhadap Toh Sat. Apalagi sekarang sikap Toh Sat kelihatan beringas dan penuh nafsu membunuh, diam-diam ia pun merinding, maka cepat ia menjawab, “Ah, hanya kuingin minta Yan Lam-thian membunuh Kang Piat-ho dan anaknya, masa ada maksud lain.”

“Jangan percaya, Toh-lotoa,” seru Pek Khay-sim.

“Habis, apakah mungkin kuminta Yan Lam-thian mencari perkara kepada kalian?” ujar Han-wan Sam-kong.

“Bisa jadi, bukan mustahil,” ujar Pek Khay-sim. “Sudah dua puluh tahun tidak berjumpa, siapa tahu apa pekerjaanmu sekarang? Mungkin sekali kau sudah menanjak ke atas dan ada hubungan baik dengan Yan Lam-thian, dengan sendirinya kau pun pandang sebelah mata lagi kepada kawan-kawan lama.”

“Ucapan anak kura-kura ini lebih busuk dari pada kentut, jangan kau percaya padanya, Toh-lotoa,” kata Ok-tu-kui.

“Coba jawab, jika kau tidak berbuat kesalahan apa-apa, mengapa lantas lari ketika melihat kami?” tanya Pek Khay-sim dengan tertawa.

Agak berubah juga air muka Ok-tu-kui Han-wan Sam-kong, jawabnya gelagapan, “Ini... ini...”

“Ayolah katakan, mengapa tak dapat kau jelaskan?” desak Pek Khay-sim. “Nah, bukankah lantaran berdosa dan takut tertangkap tangan?”
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar