Bahagia Pendekar Binal Jilid 25

So Ing memandangnya dengan mesra, ucapnya dengan lembut, “Masa tidak dapat kau lihat, kan sudah lama aku yang terkail?”

Perasaan Kiau-goat Kiongcu yang bergolak hebat sudah mulai tenang kembali, dia sedang duduk bersemadi, lambat-laun telah memasuki keadaan yang hampa segalanya.

So Ing menghela napas, katanya, “Tampaknya ia sudah bertekad takkan menceritakan rahasia itu.”

“Tadinya kukira pikiran perempuan setiap saat pasti bisa berubah, tak tersangka dia ternyata harus dikecualikan.”

“Kuharap orang yang menggali di luar itu takkan terlalu cepat masuk ke sini, dengan demikian kita dapat menyumbat seluruhnya tempat ini lebih dahulu agar dia mati sesak napas di dalam situ. Sedangkan Lian-sing Kiongcu saat ini memang tiada ubahnya seperti orang mati...”

“Tapi sebelum mereka membeberkan rahasia itu, takkan kubiarkan mereka mati,” sela Siau-hi-ji.

“Namun kalau tidak kau bunuh mereka sekarang juga, apa bila Hoa Bu-koat sempat masuk ke sini, tentu dia akan menyuruh kalian mengadu jiwa pula.”

“Tapi kau pun jangan lupa, mereka masih harus mencarikan dulu obat penawar racun bagiku, untuk ini sedikitnya diperlukan waktu satu-dua tahun dan di dalam satu-dua tahun ini pasti kudapatkan akal bagus.”

Kembali So Ing menghela napas, ucapnya, “Hakikatnya engkau tidak keracunan, untuk apa mereka harus mencarikan dulu obat penawar bagimu?”

Siau-hi-ji melengak, katanya sambil melotot, “Siapa bilang aku tidak keracunan, sedikitnya ada tiga orang saksi hidup yang melihat kutelan jamur beracun jitu.”

“Apa sukarnya bagimu, asalkan kau sedikit main, jangankan tiga orang, biar pun tiga puluh orang juga dapat kau kelabui. Kutahu caramu main pasti jauh lebih cepat dari pada penglihatan mereka.”

Siau-hi-ji termenung sejenak, ucapnya kemudian dengan tertawa, “Masa kau anggap aku main sulap?”

“Main sulap atau tidak, yang pasti kau sengaja membikin orang mengira benar telah kau makan jamur beracun itu, lalu sengaja terjerumus pula ke gua sumur itu, tujuanmu adalah supaya mereka tidak dapat memaksa kau mengadu jiwa dengan Hoa Bu-koat. Caramu ini sebenarnya sangat bagus, cuma sayang pada saat tegang kau lupa melanjutkan sandiwara ini.”

“Apa yang kulupakan?” tanya Siau-hi-ji.

“Kau bilang tidak dapat bertempur dengan Hoa Bu-koat lantaran keracunan, tapi mengapa kau dapat bergebrak dengan Kiau-goat Kiongcu?”

“Bekerjanya racun Li-ji-hong memang tidak menentu, kalau tidak bekerja, rasanya tiada ubahnya seperti tiada keracunan apa-apa.”

“Tapi kau lupa, orang yang keracunan Li-ji-hong pasti akan kambuh apa bila minum arak.”

Kembali Siau-hi-ji melengak, sejenak kemudian baru dia berkata pula sambil menyengir, “Meski aku berlagak bodoh toh tetap tidak persis.”

So Ing tertawa, katanya, “Asalkan kau selamat, biar pun engkau tidak suka padaku juga bukan soal bagiku.”

Mendadak Siau-hi-ji menarik si nona dan memeluknya, katanya dengan lembut, “Apakah kau kira aku bisa menyukai orang bodoh?”

So Ing merangkul erat-erat pinggang Siau-hi-ji dan membenamkan kepalanya di pangkuan anak muda itu, selang agak lama barulah ia berkata pula dengan gegetun, “Aku pun tahu tiada maksudmu hendak membunuh mereka, tapi sekarang hanya jalan ini saja yang dapat kau tempuh.”

Siau-hi-ji terdiam sejenak, katanya kemudian, “Meski kau dapat mengetahui aku tidak keracunan, mereka belum pasti tahu.”

“Jangan kau nilai rendah mereka,” ujar So Ing. “Mungkin mereka tidak banyak mengetahui seluk beluk kehidupan bermasyarakat, sebab selama ini mereka selalu tinggi di atas, terlalu sedikit kontak dengan khalayak ramai, tapi selain ini, terhadap urusan lain mereka tidak kurang lihainya, kecerdasan mereka tidak di bawah kita, kalau tidak masakah mereka mampu meyakinkan ilmu silat setinggi ini.”

Siau-hi-ji termenung sejenak, lalu bergumam, “Tampaknya sekarang harus kukatakan padanya bahwa Hoa Bu-koat selekasnya akan masuk kemari.”

So Ing berkerut kening, ucapnya, “Jika dia tahu bakal ada orang akan menolongnya, bukankah rahasia itu lebih-lebih takkan diceritakan padamu?”

“Ini pun belum tentu, justru lantaran dia sudah putus asa, maka dia lebih suka mati dari pada membeberkan rahasia itu. Tapi kalau dia mengetahui ada harapan untuk hidup, bisa jadi pikirannya akan berubah.”

Terbeliak mata So Ing, katanya, “Betul, lebih dulu kita beritahukan padanya bahwa Hoa Bu-koat sudah hampir masuk ke sini. Lalu kita katakan bila mana dia tak mau menceritakan rahasia itu, maka tempat ini akan kita bikin buntu. Aku yakin sekali pun dia sangat memandang penting rahasia itu pasti juga takkan lebih penting dari pada jiwanya sendiri.”

Belum lenyap suaranya, mendadak di belakangnya bergema suara seorang, terdengarlah Lian-sing Kiongcu sedang berkata, “Kau salah, dia justru memandang rahasia itu jauh lebih penting dari pada jiwanya sendiri.”

Meski suara Lian-sing ini sangat perlahan dan halus, tapi bagi pendengaran Siau-hi-ji dan So Ing serasa seperti bunyi guntur di tepi telinga.

Di bawah sinar lampu kelihatan wajah Lian-sing Kiongcu yang pucat pasi.

Siau-hi-ji menghela napas, ucapnya sambil menyengir, “Rupanya Gui Bu-geh adalah makhluk paling pelit, ingin membuat mabuk orang tapi tidak rela menggunakan arak yang paling baik.”

Pandangan Lian-sing tampak sayu, biji matanya seolah-olah telah menjadi kelabu, seperti tidak tahu siapa yang berdiri di depannya dan seakan-akan tidak mendengar perkataannya.

Terpaksa Siau-hi-ji melanjutkan, “Arak yang berkualitas tinggi biasanya menimbulkan rangsangan kemudian. Kalau arak yang diberikan Gui Bu-geh tadi benar-benar arak bagus, sedikitnya orang akan mabuk setengah hari dan tidak mungkin sadar secepat ini.”

Lian-sing juga menyambung, “Mungkin akan lebih baik apa bila aku tidak sadar untuk selamanya.” Dia bicara seperti orang linglung, seolah-olah tidak menyadari apa yang diucapkannya.

Siau-hi-ji tertawa, katanya pula, “Tampaknya kau seperti sangat menderita, padahal, mabuk arak juga bukan sesuatu yang memalukan. Di dunia ini setiap hari sedikitnya berjuta-juta orang jatuh mabuk, kenapa engkau mesti merasa susah?”

Lian-sing menggeleng, katanya, “Tadi aku... aku...”

“Meski engkau tak pernah minum arak, tapi adatmu minum arak jauh lebih baik dari pada orang lain,” ujar Siau-hi-ji. “Kebanyakan orang, apa bila sudah mabuk tentu akan mengoceh tak keruan, tapi engkau ternyata sangat tenang dan prihatin.”

“Masa aku tidak... tidak melakukan sesuatu?” tanya Lian-sing.

“Memangnya kau kira dirimu telah berbuat sesuatu?” jawab Siau-hi-ji. “Setelah mabuk tadi engkau lantas terpulas, engkau cuma mengigau beberapa kata saja seperti sedang mimpi.”

Lian-sing Kiongcu menghela napas lega, perlahan-lahan matanya mulai bercahaya, wajahnya yang pucat juga mulai bersemu merah, gumamnya, “Benar, aku memang bermimpi, impian yang sangat aneh.”

“Orang hidup kalau terkadang bisa bermimpi yang aneh-aneh kukira kehidupan demikian pasti akan sangat menyenangkan,” ujar Siau-hi-ji.

So Ing memandang anak muda itu, sorot matanya penuh rasa mesra, rasa kagum dan memuji seperti sangat bangga baginya. Maklum, setiap anak perempuan tentu berharap kekasihnya berjiwa luhur, simpatik dan welas asih.

Siau-hi-ji, jika dalam keadaan kepepet, pada detik menentukan antara hidup dan mati, pada saat yang oleh seorang pujangga diistilahkan “to be or not to be”, berbuat atau tidak, dibunuh atau terbunuh. Dalam keadaan begitu, terkadang ia pun bisa bertindak tanpa mengenal cara, tujuan menghalalkan perbuatan, kata orang. Akan tetapi pada dasarnya Siau-hi-ji mempunyai sebuah hati yang baik, hati yang welas asih, hati yang cinta kepada sesamanya.

Begitulah, selang sejenak dengan perlahan Lian-sing berkata pula, “Sekarang dia tak dapat lagi membunuh kau, boleh kau bebaskan dia saja.”

Nada bicaranya ini sangat aneh, rasanya sedikit pun tidak memaksa, bahkan seperti seorang di luar garis yang membujuknya.

Siau-hi-ji memandangnya dua kejap, tanpa bicara apa pun ia lantas menarik So Ing dan diajak menuju ke tempat yang ada tombol pengendali pesawat rahasia itu. Lian-sing Kiongcu ternyata tidak ikut ke situ.

Kecuali alat buka-tutup ruangan di bawah itu, alat-alat lain ternyata sudah dihancurkan seluruhnya. Sambil memandangi tangkai putaran pintu yang mengkilat karena seringnya sentuhan tangan, tiba-tiba Siau-hi-ji berkata dengan tertawa, “Aneh, Lian-sing Kiongcu seolah-olah berubah percaya penuh padaku, masa dia tidak khawatir kalau alat pesawat ini pun kurusak?”

So Ing tersenyum, katanya, “Ya, sebab lambat laun dia merasa kau ini sesungguhnya seorang yang baik.”

“Mengapa?” tanya Siau-hi-ji.

“Kebanyakan perempuan memang mempunyai jalan pikiran yang aneh, biar pun kau telah beribu kali berbuat busuk padanya, asalkan kau berbuat baik padanya satu kali, maka dia akan merasakan kau sungguh orang baik dan akan sangat berterima kasih padamu.”

“Mengapa dia berterima kasih padaku?”

“Memangnya kau kira dia sama sekali tidak mengetahui perbuatanmu setelah mabuk? Soalnya karena kau telah menjaga martabatnya, telah menutupi tindakannya yang memalukan itu, kalau dia dapat mengelakkan kenyataan ini, maka ia pun boleh sekadar membohongi dirinya sendiri dan pura-pura tidak tahu.”

Membohongi dirinya sendiri, inilah kepandaian khas umat manusia. Misalnya seseorang tidak berhasil makan anggur, padahal kepingin setengah mati hingga keluar air liur, untuk menghibur dirinya yang gagal makan anggur itu ia lantas bilang: “Ah, anggur rasanya kecut, tidak enak.” Dengan demikian hatinya akan terhibur.

Manusia kalau tidak pintar membohongi dirinya sendiri, mungkin banyak yang tidak sanggup hidup lagi, sebab membohongi dirinya sendiri pada hakikatnya adalah semacam ‘obat penawar’ bagi manusia yang merasa kecewa, yang merasa gagal memperoleh sesuatu.

Sebab itu pula, bila mana seorang patah hati lantaran kehilangan pacar, paling baik kalau dia menghibur dirinya sendiri dengan cara demikian: “Ah, hakikatnya aku toh tidak menyukai dia. Apalagi di dunia kan masih banyak anak perempuan yang jauh lebih baik dari pada dia”.

Jika dia tidak membohongi dirinya sendiri secara demikian, mungkin dia akan runtuh benar-benar dan bisa jadi bunuh diri.

Begitulah Siau-hi-ji menggeleng-geleng kepala sambil menatap So Ing, gumamnya kemudian, “Tampaknya pikiran perempuan hanya bisa dipahami oleh kaum perempuan sendiri.”

Sembari bicara ia terus memegang putaran pesawat rahasia itu.

“He, kau benar-benar akan membebaskan Kiau-goat Kiongcu?” seru So Ing heran.

“Sudah tentu, masa tidak benar,” kata Siau-hi-ji.

“Akan... akan tetapi, apa bila pesawat rahasia itu kau rusak saja, kan urusannya menjadi lebih sederhana?” ujar So Ing.

“Betul, jika Kiau-goat kukurung di sini, menghadapi Lian-sing seorang tentu saja urusannya jadi lebih mudah, tapi aku tak dapat bertindak demikian.”

“Sebab apa?” tanya So Ing.

“Kan dia sudah percaya padaku, maka tidak boleh lagi kutipu dia,” tutur Siau-hi-ji. “Jika orang lain sama sekali tidak percaya padaku, maka bukan soal bagiku untuk menipu dan membohongi dia, biar pun seribu kali juga aku tidak sungkan,” Dia tertawa, lalu menyambung, “Mungkin di sinilah letak perbedaan lelaki dan perempuan. Perempuan selalu akan membohongi orang yang percaya padanya, jika kau tidak mempercayai dia, dia berbalik tak berdaya apa-apa padamu.”

“Hah, dari nadamu ini, tampaknya seakan-akan engkau sudah pernah tertipu beratus kali oleh perempuan,” ucap So Ing dengan tertawa.

“Keliru,” kata Siau-hi-ji. “Justru orang yang tidak pernah ditipu perempuan, makin jelas baginya mengenai seluk beluk perempuan, kalau benar aku pernah tertipu beratus kali oleh perempuan, aku bahkan tidak berani mengaku sangat memahami perempuan.”

So Ing menghela napas gegetun, ucapnya, “Tampaknya jalan pikiran lelaki juga cuma dipahami oleh kaum lelaki sendiri.”

Sementara itu pintu ruangan di bawah tanah sana sudah terbuka, seharusnya Kiau-goat Kiongcu sudah keluar sejak tadi-tadi, tapi sampai sekian lamanya masih belum nampak bayangannya.

“Aneh, mengapa Kiau-goat Kiongcu belum datang mencarimu?” ucap So Ing dengan ragu-ragu.

“Sekarang dia sudah tahu bakal datang penolong dari luar, dengan sendirinya dia tidak perlu membunuhku lagi,” ujar Siau-hi-ji.

“Menurut wataknya, seumpama dia tidak ingin lagi membunuhmu, sedikitnya ia kan mencari perkara padamu.”

“Bisa jadi mendadak ia merasa sangat enak di sana dan tidak ingin keluar lagi,” kata Siau-hi-ji dengan tertawa.

Akhirnya mereka ingin tahu juga apa yang terjadi, tapi sama sekali tak terpikir oleh Siau-hi-ji bahwa Kiau-goat Kiongcu benar-benar masih berada di kamar batu sana, bahkan sekarang Ih-hoa-kiongcu mahaagung itu telah duduk bersandar dinding.

Terlihat Lian-sing Kiongcu juga berdiri di samping sana dan sedang memandangi sang kakak dengan terkesima, air mukanya tampak mengunjuk rasa kejut dan heran, juga merasa kagum serta iri.

Tentu saja Siau-hi-ji heran, sikap Lian-sing Kiongcu itu tampak aneh, air muka Kiau-goat Kiongcu juga tidak kurang anehnya. Air mukanya kelihatan tidak putih, juga tidak merah, akan tetapi di antara putih kemerah-merahan itu tampaknya seakan-akan bening tembus cahaya.

Di bawah cahaya lampu kelihatan jelas setiap urat dan setiap tulang di bawah kulit daging raut wajahnya yang mahacantik itu kini telah berubah menjadi aneh dan misterius.

“Apa-apaan ini?” ucap So Ing dengan bingung. “Barangkali dia mengalami Cau-hwe-jip-mo (salah latihan hingga mengalami kelumpuhan)?”

Siau-hi-ji menggeleng, belum lagi bicara, Lian-sing Kiongcu telah muncul keluar dengan perlahan tapi tetap berdiri melenggong di situ, entah apa yang sedang direnungkan. Padahal Siau-hi-ji dan So Ing berdiri tepat di depannya, tapi Lian-sing seperti tidak melihat mereka.

Karena ingin tahu terpaksa Siau-hi-ji membuka suara, “Sungguh jarang terlihat wajah seorang bisa berubah menjadi bening tembus cahaya begini, apakah ini termasuk Kungfu yang kalian latih?”

Melihat Lian-sing dalam keadaan seperti orang linglung, sebenarnya Siau-hi-ji mengira orang pasti takkan menjawab pertanyaannya. Tak terduga meski Lian-sing tidak memandangnya barang sekejap, tapi toh berkata dengan perlahan, “Ya, betul memang beginilah gejalanya jika ‘Beng-giok-kang’ sudah terlatih sampai tingkatan terakhir.”

“Beng-giok-kang (ilmu kemala bening)? Ilmu apakah ini? Belum pernah kudengar selama ini?” kata Siau-hi-ji.

“Sedikitnya sudah ratusan tahun Kungfu ini menghilang di dunia persilatan dengan sendirinya tak pernah kau dengar,” ucap Lian-sing.

“Wah, jika begitu, Kungfu ini pasti sangat lihai?” Siau-hi-ji coba memancing pula.

“Kungfu ini terbagi sembilan tingkat,” tutur Lian-sing. “Tapi asalkan berhasil melatihnya hingga tingkat keenam, maka Kungfunya sudah dapat disejajarkan dengan tokoh utama persilatan jaman ini. Bila berlatih sampai tingkat kedelapan, maka dapatlah menjagoi dunia tanpa tandingan.”

“Jika demikian, kalian kakak beradik sudah berlatih hingga tingkat ke berapa?” tanya Siau-hi-ji sambil berkedip-kedip.

“Kedelapan,” jawab Lian-sing sambil menghela napas perlahan, tanpa menunggu komentar Siau-hi-ji segera ia menyambung pula, “Pada dua puluh tahun yang lalu kami sudah berhasil melatihnya hingga tingkat kedelapan, sebenarnya untuk mencapai tingkat kedelapan ini sedikitnya diperlukan ketekunan latihan selama tiga puluh dua tahun, tapi kami hanya berlatih selama dua puluh empat tahun saja, kemajuan kami ini boleh dikatakan telah melampaui kebiasaan dan merupakan rekor yang belum pernah dicapai orang lain. Tadinya kami mengira empat atau lima tahun lagi kami pasti dapat mencapai puncaknya yang tertinggi.”

Siau-hi-ji tahu selera bicara Lian-sing sudah terpancing keluar, maka ia tidak bersuara lagi melainkan menunggu cerita lebih lanjut.

Selang sejenak, benar juga Lian-sing Kiongcu lantas menyambung setelah menghela napas gegetun, “Siapa tahu, selama dua puluh tahun terakhir ini latihan kami tiada kemajuan sama sekali, seolah-olah cuma sampai di sini saja dan tidak mungkin naik lebih tinggi lagi.”

Tanpa tertahan So Ing bertanya, “Apakah sebelum ini tiada yang pernah mencapai tingkatan kesembilan?”

“Beng-giok-kang adalah ilmu sakti rahasia yang tak diajarkan, boleh dikatakan Kungfu yang diimpi-impikan oleh setiap orang persilatan,” tutur Lian-sing Kiongcu. “Sebab, tak peduli siapa dia, asalkan bisa memperoleh kunci dasar melatih ilmu ini, maka pasti akan berhasil meyakinkannya. Dan asalkan berhasil melatihnya, maka tiada tandingannya lagi di dunia ini. Biar pun orang yang tak berbakat, asalkan melatihnya dengan tekun dan tekad penuh, lambat atau cepat akhirnya pasti akan berhasil!”

“Jika demikian seorang bodoh juga dapat meyakinkan ilmu silat ini?” ucap Siau-hi-ji dengan tertawa.

“Ya, hanya makan waktu lebih lama saja,” kata Lian-sing.

“Kira-kira memerlukan waktu berapa lama,” tanya Siau-hi-ji.

“Untuk ini perlu diketahui dulu dia orang tolol macam apa, tololnya setengah-setengah atau sudah kelewatan,” jawab Lian-sing.

“Jika setolol Gui Bu-geh, umpamanya?”

“Gui Bu-geh bukan orang tolol, tapi kalau dia ingin meyakinkan Kungfu sakti ini hingga berhasil, sedikitnya juga perlu waktu 80-90 tahun,” tutur Lian-sing.

“Hah, begitu lama?” seru Siau-hi-ji dengan tertawa dan geli. “Wah, andaikan dia mulai berlatih pada usia sepuluh tahun, sampai berhasil dilatihnya mungkin dia sudah dipanggil menghadap Giam-lo-ong (raja akhirat) lebih dulu.”

“Memang,” ujar Lian-sing. “Makanya untuk meyakinkan ilmu silat ini harus dimulai selagi kanak-kanak, bahkan taraf kemajuannya harus cepat, dengan demikian baru berguna hasil latihannya, kalau tidak...”

“Kalau tidak orang itu harus berumur panjang seperti kita, begitu bukan?” tukas Siau-hi-ji dengan tertawa.

Lian-sing Kiongcu menarik muka, tapi tetap menjawab, “Betul, cuma orang yang dapat meyakinkan ilmu sakti ini hingga puncaknya juga harus orang yang berbakat, selama ini, dari dulu hingga kini, paling-paling juga cuma enam orang saja yang berhasil dengan baik.”

“Hanya enam orang? Wah, siapa saja mereka itu?” tanya So Ing.

“Selain kami kakak beradik, ada juga Jit-hou (permaisuri sang Surya) yang tinggal di Kong-beng-to di lautan selatan, lalu Siau-ong-sun di lembah Te-ong-kok, putra mahkota Jit-sik-cun (kapal tujuh warna) yang selalu malang-melintang di samudera serta tokoh ajaib dunia persilatan Sim Long.

Mendengar nama-nama itu, mau tak mau Siau-hi-ji menarik napas dingin juga. Maklum, tokoh-tokoh yang disebut itu sudah lama wafat, tapi nama kebesaran mereka tidak pernah pudar dari dunia persilatan, tapi cemerlang dan terukir dengan abadi.

Dengan menyesal kemudian Lian-sing menyambung pula, “Kecuali kami berdua, keempat orang yang lain itu sudah berhasil meyakinkan Kungfu ini dengan sempurna.”

“Ya, begitu kudengar nama mereka, segera kutahu mereka pasti berhasil meyakinkannya,” ujar Siau-hi-ji dengan tertawa.

“Dan kalian, mengapa, mengapa kalian tidak berhasil mencapai puncaknya?” tanya So Ing.

“Orang Kangouw umumnya tahu Sim-long, Sim-locianpwe adalah tokoh ajaib berbakat dunia persilatan, tapi setahuku ia pun memerlukan 24 tahun baru berhasil mencapai tingkatan kedelapan, enam tahun lagi barulah mencapai puncaknya. tapi nyatanya usaha kami selalu gagal, kami pun tidak tahu apa sebabnya tak dapat mencapai tingkatan terakhir itu.”

“Apakah kemudian kalian berhasil menyelami sebab-sebabnya?” tanya So Ing.

“Ya,” jawab Lian-sing.

“Bagaimana?” tertarik juga Siau-hi-ji.

Lian-sing menatapnya lekat-lekat hingga lama seperti lagi menimbang apakah harus menjawab pertanyaannya atau tidak. Terpaksa Siau-hi-ji juga berdiam menunggu.

Selang agak lama, akhirnya Lian-sing menghela napas panjang dan bertutur dengan perlahan, “Maklumlah, pada dua puluh empat tahun permulaan, cara berlatih kami sangat tekun tanpa terusik oleh pikiran lain, tapi dua puluh tahun berikutnya, kami juga seperti khalayak umumnya, kami pun mempunyai suka duka, tidak lagi khusuk seperti sebelumnya dan berlatih dengan sepenuh hati.”

Siau-hi-ji termenung sejenak, gumamnya kemudian, “Dua puluh tahun... dua puluh tahun yang lalu...”

Ia tidak melanjutkan, sedangkan wajah Lian-sing Kiongcu perlahan-lahan berubah pucat pula, sebab ia merasa anak muda itu pasti sudah dapat menerka apa yang menyebabkan suka-duka Ih-hoa-kiongcu pada dua puluh tahun yang lalu. Ya, dua puluh tahun yang lalu, bukankah itulah waktu untuk pertama kalinya mereka bertemu dengan Kang Hong, ayah Siau-hi-ji?

“Dan sekarang... sekarang apakah Kiau-goat Kiongcu sudah berhasil meyakinkannya hingga tingkat kesembilan, tingkat tertinggi?” tanya So Ing.

“Ya, betul,” jawab Lian-sing, kembali sorot matanya menampilkan rasa kagum dan iri, ucapnya pula dengan rawan, “Sungguh tak terduga olehku setelah selama dua puluh tahun, dalam keadaan demikian dan tempat begini dia justru berhasil mencapainya, sungguh aku... aku ikut bergirang baginya.”

Siau-hi-ji menggigit bibir, ucapnya kemudian dengan tertawa, “Mungkin disebabkan akulah yang telah membantunya.”

“Ya, mungkin begitu,” ucap Lian-sing gegetun. “Sebab dia terkurung olehmu di tempat begini, ia benar-benar putus harapan untuk hidup, dalam keadaan demikian pikiran manusia sering kali mengalami perubahan yang tak tersangka, bisa jadi dalam sekejap itu pikirannya menjadi ‘plong’, mungkin ia sendiri pun tidak menyangka akan mencapai hasil yang tak terduga ini.”

“Padahal setelah berlatih sampai tingkat kedelapan kan sudah tiada tandingannya, andaikan tidak mencapai tingkat kesembilan juga tidak soal lagi, bisa berhasil mencapainya memang lebih bagus, kalau tidak berhasil juga tidak perlu sedih,” ujar Siau-hi-ji.

Ucapan ini sebenarnya bermaksud menghiburnya, siapa tahu air muka Lian-sing Kiongcu bahkan berubah lebih murung, setelah termenung-menang sejenak dengan perlahan ia berkata, “Kalau bisa mencapai tingkat kedelapan memang sukar lagi ditandingi orang, tapi bila ketemu tokoh mahalihai seperti Yan Lam-thian, rasanya belum pasti menang.”

“Kalau ilmu silat kalian sudah mencapai tingkatan tiada tandingannya, mengapa dikatakan belum pasti menang?” tanya Siau-hi-ji dengan tertawa.

“Sebabnya, meski kekuatan kami lebih tinggi sedikit dari pada Yan Lam-thian, namun selisihnya tidak jauh,” tutur Lian-sing. “Pula pertarungan antara jago kelas top, selain kuat dan lemahnya ilmu silat, keadaan fisik masing-masing pada waktu itu, tempat dan waktu serta cuaca, unsur ini pun ikut menentukan kalah-menangnya.”

Siau-hi-ji berpikir sejenak, katanya kemudian, “Setelah dia berhasil mencapai tingkatan kesembilan, apakah Yan Lam-thian lantas tak dapat mengalahkan dia?”

“Ya, setitik harapan pun tidak ada,” jawab Lian-sing tegas.

Siau-hi-ji tidak bicara lagi, sebab ia tahu bila mana Lian-sing Kiongcu berani omong begini, maka pasti bukan bualan belaka, lalu apa yang perlu dikomentarinya?

Tiba-tiba Lian-sing berkata pula, “Menurut cerita kuno, bila mana Beng-giok-kang sudah terlatih sampai tingkat kesembilan, selain ilmu sakti ini tiada tandingannya di kolong langit, orang yang berhasil meyakinkannya juga akan awet muda dan panjang umur, konon ‘Permaisuri Surya’ mencapai umur seratus lima puluh tahun, ketika meninggal wajahnya tetap cantik dan segar seperti perawan likuran tahun.”

Selagi Siau-hi-ji asyik mendengarkan cerita Lian-sing Kiongcu itu, terdengar suara galian di luar sana masih terus berlangsung.

Sambil mengikuti suara “trang-tring” galian itu perasaan Siau-hi-ji sendiri sukar untuk dilukiskan. Ia pikir kalau benar ilmu silat Kiau-goat Kiongcu sudah tiada tandingannya di kolong langit ini, setelah bebas dari sini, maka entah apa pula yang akan terjadi atas dirinya.

Pada saat lain, mendadak suara galian di atas sana berhenti pula secara mendadak.

Tentu saja So Ing dan Lian-sing Kiongcu menjadi cemas, mereka coba menunggu lagi dengan sabar dengan harapan suara galian itu akan timbul lagi.

Tapi mereka benar-benar kecewa. Sampai seharian suasana tetap sunyi, tiada apa pun yang terdengar di luar. Satu hari ini bagi mereka rasanya seperti seribu tahun lamanya.

So Ing coba tanya Siau-hi-ji, “Sekali ini mendadak mereka berhenti menggali? Apakah mereka dirintangi lagi oleh seseorang? Dan siapakah gerangannya yang mampu menghentikan pekerjaan mereka?”

Siau-hi-ji hanya menggeleng saja, sekali ini ia tidak sanggup menerkanya. Maklumlah, memang tidak banyak orang yang sanggup menundukkan Cap-toa-ok-jin dan menghentikan pekerjaan mereka.

“Mungkinkah perbuatan Kang Piat-ho?” So Ing coba bertanya pula.

“Kang Piat-ho sudah jatuh di tangan Yan-tayhiap, sekali pun kepandaiannya setinggi langit, juga jangan harap bisa lolos,” kata Siau-hi-ji.

“Habis siapa, mungkinkah Yan-tayhiap sendiri?” tanya pula So Ing.

“Tidak mungkin,” jawab Siau-hi-ji. “Jika beliau mengetahui ada orang terkurung di sini, sekali pun orang ini musuhnya pasti juga dia akan menyelamatkan dulu orang ini dan urusan lain adalah soal belakang.”

“Mungkinkah -.” tapi So Ing tak dapat melanjutkan lagi, sebab meski sudah dipikirkan toh sukar teringat siapa di dunia ini yang mampu mencegah pekerjaan Cap-toa-ok-jin.

Semakin tak dapat memecahkannya, semakin diketahuinya urusan pasti tidak sederhana. Apalagi, seumpama sekarang ada orang hendak menolong mereka tentu juga sudah terlambat.

Hanya Kiau-goat Kiongcu saja, air mukanya sekarang tidak kelihatan bening tembus cahaya yang aneh, jelas ilmu saktinya telah berhasil dengan sempurna.

So Ing memandang Kiau-goat lekat-lekat, tiba-tiba ia mengikik tawa.

Siau-hi-ji bergumam, “Jika kau teringat kepada sesuatu lelucon yang menggelikan, kenapa tidak kau ceritakan mumpung sekarang aku masih bisa ikut tertawa.”

Dengan tenang So Ing berkata, “Baru sekarang kutahu bahwa di dunia ini memang ada banyak hal-hal yang menarik.”

“O, hal-hal menarik?” Siau-hi-ji menegas.

“Ya, umpamanya mati, biasanya yang paling kutakuti ialah mati, dan cita-citaku yang paling besar adalah hidup bersamamu. Tapi sekarang, meski Gui Bu-geh hampir berhasil membunuhku, tapi kalau dia tidak mengurung kita di sini cara bagaimana aku dapat selalu mendampingimu seperti ini? Nah, coba katakan, sesungguhnya aku harus berterima kasih atau benci padanya?”

“Baik kau akan berterima kasih atau akan benci padanya, yang pasti sekarang semua itu tiada sangkut-pautnya dengan dia,” kata Siau-hi-ji.

“Mati, memang kejadian yang paling menyedihkan,” ujar So Ing pula. “Meski sekarang aku akan mati, tapi kurasakan pula selama hidupku tidak pernah segembira sekarang ini.”

Siau-hi-ji menggerutu, “Ya, menarik, sungguh menarik hal ini, sebenarnya aku pun ingin tertawa, cuma sayang aku tidak sanggup tertawa lagi.”

Dengan rawan So Ing berkata pula, “Aku pun tidak benar-benar merasa hal ini sangat menarik dan lucu, hanya kurasakan banyak kejadian di dunia ini satu sama lain saling bertentangan, penuh sindiran, antara suka dan duka juga tiada pembatasan yang nyata, apalagi duka terkadang juga mendatangkan suka, sebaliknya suka juga sering mendatangkan duka.”

Siau-hi-ji hanya mendengar saja tanpa bersuara.

Yang dirasakannya sekarang hanya keletihan, maka apa pun tak ingin diucapkannya dan apa pun tak mau dipikirkannya, bahkan rasa takut pun tak dirasakannya lagi. Ia seakan-akan sudah berubah pati rasa.

Padahal orang keras tekadnya seperti Siau-hi-ji, sekali pun pada saat sudah putus asa juga tidak mungkin tinggal diam dan pasrah nasib. Namun kalau sudah ada setitik sinar harapan untuk kemudian terjadi lagi putus harapan untuk kedua kalinya, maka biar pun manusia paling teguh imannya juga tidak tahan pukulan-pukulan begini.

Saraf manusia memang bersifat elastis, bisa mulur dan mengkeret, bisa kencang dan kendur, apa bila sudah mengencang terus mengendur, habis mengendur terus ditarik kencang lagi, maka akhirnya daya elastis akan lenyap. Dan begitu pula keadaan Siau-hi-ji, setelah mengalami berbagai kejadian, kini pada hakikatnya dia sudah putus asa.

Meski luar biasa pintar dan cerdasnya Siau-hi-ji, betapa pun ia bukan superman yang memiliki mata telinga ajaib, ia pun tidak dapat menujum apa yang belum terjadi, apa yang diterkanya juga tidak selalu tepat.

Kejadian di dunia ini dengan perubahan-perubahan yang aneh terkadang ajaib dari pada yang pernah dibayangkan orang. Perkembangan sesuatu urusan terkadang juga bisa melampaui apa yang diperkirakan orang.

Begitu pula apa yang terjadi dengan Hoa Bu-koat, dia tidak berhasil menemukan Thi Sim-lan ketika dia meninggalkan gua tempat tinggal Gui Bu-geh itu. Secara misterius Thi-Sim-lan telah menghilang.....
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar