Bahagia Pendekar Binal Jilid 23

Hakikatnya Lian-sing bukan lagi Ih-hoa-kiongcu yang agung itu, tapi sudah berubah menjadi orang lain.

Ia tidak tahu bahwa perut kalau dalam keadaan kosong akan sangat mudah menjadi mabuk, ketika setengah botol arak masuk perut Lian-sing, sedikitnya dia sudah tujuh bagian mabuk, maka arak yang diminumnya lagi biar pun pahit akan terasa manis.

Seorang yang biasanya tidak suka minum arak memang tidak mudah untuk disuruh minum arak. Tapi sekali dia sudah minum, apalagi sudah tujuh bagian mabuk, bila ingin mencegahnya supaya jangan minum lagi, maka sukarnya jangan ditanya pula.

Siau-hi-ji tertawa kepada So Ing, katanya, “Nah, sekarang tentunya kau tahu bahwa segala apa boleh diminum secara perlahan-lahan, hanya arak saja yang tidak dapat.”

“Masa kau... kau benar-benar menghendaki dia mabuk?” tanya So Ing.

Siau-hi-ji tidak menjawab, tapi perlahan bersenandung pula, “Tengok pintu longok jendela sepi tiada orang, cepat mendekap buru-buru dicium. Sialan, omel si cantik, pura-pura menolak, belum diminta sudah mau....”

Pantun kampungan yang tidak keruan ini memang tidak menarik, tapi cukup melukiskan khusuk-masyuk muda-mudi yang sedang tenggelam berpacaran.

Tentu saja selama hidup Lian-sing Kiongcu tidak pernah mencicipi rasanya berpacaran, tanpa terasa ia menjadi kesima, pipinya bertambah merah dan panas.

Kiau-goat juga sudah minum beberapa ceguk arak, tapi ketika melihat adiknya menghabiskan lagi sebagian isi botol kedua, ia berkerut kening dan hendak merampas botol arak itu sambil mengomel, “Kau sudah mabuk, taruh saja botolnya, jangan minum lagi.”

Tapi Lian-sing mengipatkan tangan sang kakak dan berkata, “Siapa bilang aku mabuk? Selamanya aku tak pernah berpikir sejernih seperti sekarang ini.”

“Kubilang kau sudah mabuk!” seru Kiau-goat dengan bengis.

Lian-sing Kiongcu tergelak-gelak, jawabnya, “Kau bilang aku mabuk, lantas benar aku mabuk? Kukira kau sendiri yang mabuk.”

“Mabuk atau tidak, tidak boleh minum lagi,” kata Kiau-goat.

Mendadak Lian-sing berteriak, “Kau tidak perlu urus, aku justru ingin minum lagi.” Dia memelototi Kiau-goat dan berkata pula, “Sudah cukup hampir mati, masa kau hendak memerintah aku pula?”

Kejut dan gusar Kiau-goat, tapi demi mendengar dua-tiga kalimat yang terakhir itu, tanpa terasa ia pun menghela napas panjang dan minum arak seceguk, ucapnya dengan rawan, “Ya, memang benar, aku sendiri toh tidak jauh lagi dari ajal, untuk apa kucampur urusanmu.”

Lian-sing Kiongcu lantas berpaling dan tertawa kepada Siau-hi-ji, katanya, “Marilah, kusuguh kau secawan pula, kau memang anak yang menyenangkan.”

Siau-hi-ji seperti tidak mengacuhkan orang, seenaknya ia tanya, “Jika begitu, mengapa kau hendak membunuhku?”

Mendadak berubah air muka Kiau-goat, sedangkan Lian-sing cuma terkekeh-kekeh saja. Ucapnya, “Setelah dekat ajalmu, tentu rahasia ini akan kuberitahukan kepadamu.” Dalam keadaan demikian dia masih dapat menyimpan rahasia dan tidak mau membeberkannya.

Diam-diam Siau-hi-ji merasa gegetun, tapi dia sengaja tertawa dan berkata pula, “Baiklah, sekali pun aku sudah mati pasti juga akan kutunggu ceritamu ini, habis itu baru kupergi menghadap Giam-lo-ong (raja akhirat).”

“Baik, kita tetapkan begitu,” kata Lian-sing sambil tertawa.

“Bagus, akan... akan tetapi bagaimana bila engkau mati lebih dulu dari padaku?”

“Jika begitu boleh kau ikut mati bersamaku saja, di tengah jalan tentu akan kuceritakan padamu.”

“Ai, bisa mati bersamamu, tidak percumalah hidupku ini,” kata Siau-hi-ji dengan gegetun.

Lian-sing mengerling mesra, ucapnya, “Apa betul? Kau benar-benar mau ikut bersamaku?”

“Memangnya kau kira cuma Gui Bu-geh saja yang tergila-gila padamu? Wanita menyenangkan seperti dirimu, sungguh aku... aku ingin....”

“Apa benar aku sangat menyenangkan?” tanya Lian-sing dengan tertawa. “Mengapa kebanyakan orang bilang aku menakutkan?”

“Yang menakutkan adalah ilmu silatmu dan bukan dirimu,” Kata Siau-hi-ji. “Jika dirimu menakutkan, maka semua perempuan di dunia ini mungkin akan berubah menjadi kuntilanak seluruhnya.”

Lian-sing Kiongcu mengerling genit, tiba-tiba ia tuding So Ing dan berkata, “Apakah aku lebih menyenangkan dari pada dia?”

“Dia mana bisa dibandingkan denganmu?” jawab Siau-hi-ji. “Jika kau mau menjadi istriku, sekarang juga akan kukawini kau.”

Lian-sing terkikik-kikik dengan muka merah, ucapnya, “Setan cilik, meski orangnya kecil, tapi hatimu tidak kecil.”

Makin omong makin tidak keruan seakan-akan mereka sedang bercumbu rayu berduaan, orang lain dianggapnya sudah mati semua, sama sekali mereka tidak mau tahu bahwa wajah So Ing saat itu telah berubah menjadi pucat dan Kiau-goat juga gemetar karena gusarnya.

Omong punya omong sambil tertawa cekikik dan cekakak, akhirnya tubuh Lian-sing lantas jatuh ke pangkuan Siau-hi-ji, katanya pula dengan tertawa genit, “Selama hidupku belum pernah segembira sekarang, aku ingin....”

“Apa kau sudah gila!” bentak Kiau-goat mendadak dengan gusar.

Dengan suara keras Lian-sing menjawab, “He, apakah kau merasa cemburu lagi, dan kau hendak membuat susah diriku. Sekarang aku tidak mau tunduk lagi padamu, mati pun aku harus mati dengan gembira.”

Karena murkanya Kiau-goat terus menubruk maju. Tapi mendadak didengarnya Siau-hi-ji membisikinya dengan suara tertahan, “Kau ingin keluar dengan hidup tidak? Kau ingin membunuh Gui Bu-geh tidak?”

Seketika Kiau-goat melengak, katanya, “Kau… kau....”

Dengan suara lebih lirih lagi Siau-hi-ji berucap, “Jika kau ingin, kau harus bertindak menurut anjuranku. Padamkan dulu semua lampu di sini.”

Ternyata Gui Bu-geh senantiasa mengintip di luar, waktu dilihatnya Lian-sing menjatuhkan diri ke dalam pangkuan Siau-hi-ji, biji matanya lantas melotot seakan-akan melompat keluar, sekujur badannya terasa tegang dan gemetar, telapak tangan pun terasa berkeringat. Ia membayangkan adegan apa yang bakal terjadi.

Di luar dugaan, pada saat yang mendebarkan jantung itu, sekonyong-konyong lampu padam semuanya. Ruangan di bawah seketika gelap-gulita, jari sendiri saja tidak kelihatan.

Karena gelisah dan dongkolnya hampir saja Gui Bu-geh berjingkrak. Didengarnya macam-macam suara di dalam kegelapan, mula-mula adalah suara tawa genit Lian-sing Kiongcu, lalu bentakan Kiau-goat, menyusul lantas sambaran angin pukulan yang dahsyat. Agaknya kedua kakak beradik Ih-hoa-kiongcu telah saling labrak sendiri.

Kemudian terdengar Kiau-goat menjerit kaget, seperti telah dirobohkan.

Gui Bu-geh tambah kelabakan, tiba-tiba ia bergumam, “Ah, tidak mungkin, Lian-sing pasti bukan tandingan Kiau-goat, mana bisa Lian-sing merobohkan kakaknya, tentu mereka sengaja main sandiwara....” Tapi lantas terpikir lagi olehnya, “Namun juga bisa terjadi, sebab Lian-sing sudah banyak menenggak arak, tenaga banyak bertambah, sebaliknya Kiau-goat sudah lemas, ilmu silat mereka memang juga tidak banyak berselisih, dengan demikian Kiau-goat tentu juga bisa dirobohkan oleh adiknya.”

Dan kalau benar Kiau-goat telah dirobohkan, lalu apalagi yang bakal terjadi?

Dalam kegelapan mendadak setitik suara saja tidak terdengar lagi, keadaan sunyi senyap begini semakin merangsang orang untuk mengetahui apa yang terjadi, tentu saja Gui Bu-geh kelabakan setengah mati karena ingin tahu.

Dengan susah payah dia telah mengatur segalanya, maksud tujuannya hanya ingin melihat adegan yang merangsang ini. Untuk ini entah betapa banyak dia telah memeras morel dan materiel, bahkan telah mengorbankan segalanya.

Tapi sekarang dia justru tidak dapat melihat apa-apa.

Seperti orang gila dia mendorong kursi-rodanya pergi mengambil sebuah lentera, ia bermaksud menyinari keadaan di dalam ruangan dengan cahaya lampu itu. Siapa tahu, begitu dia dekatkan lentera itu ke lubang, segera angin pukulan menyambar keluar dan lentera itu pun padam.

“Tidak boleh mengintip,” terdengar suara Siau-hi-ji bergelak dengan napas tersengal-sengal.

Hati Gui Bu-geh merasa panas sekali seperti terbakar dan juga seperti dikili-kili karena ingin tahu. Akhirnya dia menggereget, ia menjadi nekat, gumamnya sambil menyeringai, “Hm, kau melarang aku mengintip, aku justru sengaja mau melihat, mati pun aku harus melihatnya.”

Menurut perhitungannya, setelah Kiau-goat dirobohkan, tentu sekarang Siau-hi-ji dan Lian-sing Kiongcu sedang asyik main cinta dan tidak sempat mengurus orang lain. Tertinggal So Ing saja tentu tidak terpikir olehnya.

Sudah berpuluh tahun dia menunggu dengan susah payah, baru sekarang dia mendapat sajian adegan merangsang ini, mana boleh kesempatan bagus ini disia-siakan. Segera ia menyalakan lentera dan membuka kunci pintu, pintu batu itu terpentang tanpa suara, lalu ia meluncur ke dalam dengan kursinya, sudah tentu dia menahan napas, karena tegangnya hingga tangannya gemetar, lentera yang dipegangnya juga ikut gemetar.

Terbayang adegan yang akan dilihatnya itu, jantungnya serasa mau melompat keluar dari rongga dadanya, sungguh tak terpikir olehnya adegan apa pula di dunia ini yang bisa lebih merangsang dan lebih menegangkan dari pada apa yang akan dilihatnya ini.

Tak terduga, pada saat itulah dalam kegelapan mendadak meledak suara gelak tertawa orang banyak.

“Hahaha, Gui Bu-geh,” terdengar Siau-hi-ji berseru sambil terbahak, Akhirnya kau tertipu juga olehku!”

Karena kagetnya, serasa pecah nyali Gui Bu-geh.

Di mana cahaya lenteranya menyorot, tiba-tiba dilihatnya Siau-hi-ji berdiri tegak di depannya, pakaiannya rapi, rambutnya teratur, tiada sesuatu apa pun yang dilakukannya sebagaimana dibayangkan Gui Bu-geh semula.

Segera Bu-geh hendak mundur kembali, namun Kiau-goat Kiongcu tahu-tahu sudah mengadang di pintu.

“Hahaha, memang sudah kuperhitungkan kau pasti tidak tahan dan ingin masuk ke sini untuk melihatnya dan semuanya ternyata tepat menurut dugaanku,” seru Siau-hi-ji sambil bergelak tertawa.

Gui Bu-geh menghela napas panjang, ucapnya dengan menyesal, “Manusia berusaha, Tuhan yang menentukan. Meski kalian sudah kukurung di sini, akhirnya semua rencanaku menjadi berantakan. Sungguh tak tersangka aku Gui Bu-geh yang selama hidup ini malang melintang akhirnya harus terjungkal di tangan anak ingusan seperti kau ini.”

“Hahaha, kau terjungkal di tangan orang pintar nomor satu di dunia ini, kenapa mesti penasaran?” ujar Siau-hi-ji dengan tertawa. “Jika ada orang mau mendirikan tugu peringatan bagiku, tentu kau juga akan ikut tercatat dalam sejarah dan namamu juga akan terukir abadi.”

Gui Bu-geh menelan ludah, ucapnya dengan parau. “Sekarang apa... apa kehendakmu?”

“Aku pun tidak menghendaki apa-apa, cuma minta kau mengeluarkan kami dari liang tikus ini,” kata Siau-hi-ji.

“Kan sudah kukatakan sejak tadi....”

Mendadak Siau-hi-ji menarik muka sebelum lanjut ucapan Gui Bu-geh, jengeknya, “Masa sekarang kau tetap menghendaki kami percaya pada ocehanmu tentang jalan keluar yang telah kau bikin buntu seluruhnya?” Sambil berkata ia terus melangkah maju mendekati orang.

Di sebelah sana Kiau-goat juga tampak beringas, ia pandang Gui Bu-geh dengan tajam dan penuh rasa benci.

Sinar mata Gui Bu-geh tampak gemerdep, tiba-tiba ia bergelak tertawa dan berkata, “Hahahaha, jadi kau ingin kubawa kalian keluar dari sini? Haha, apa susahnya untuk itu?”

Mencorong terang sinar mata Siau-hi-ji, cepat ia tanya, “Di mana jalan keluarnya?”

“Di sini,” jawab Gui Bu-geh.

“Di sini?” Siau-hi-ji menegas dengan melenggong. “Mana, di mana?”

“Sekarang juga aku sedang menuju keluar, masa kau tidak melihatnya?” kata Gui Bu-geh sambil terkekeh-kekeh.

“Kau sekarang....” mendadak suara Siau-hi-ji terhenti seperti tiba-tiba melihat setan, wajahnya penuh rasa kejut dan takut, tenggorokannya bersuara seperti mengorok, tapi tak dapat bicara.

Terkejut juga Kiau-goat melihat perubahan air muka anak muda itu. “Ada apa?” tanyanya bingung.

Siau-hi-ji menuding Gui Bu-geh tanpa menjawab, jarinya tampak gemetar.

Karena berdiri di belakang Gui Bu-geh, seketika Kiau-goat Kiongcu melenggong. Dilihatnya lentera masih terpegang di tangan Gui Bu-geh dengan cahaya yang cukup terang, selebar wajah Gui Bu-geh telah berubah menjadi warna hitam, mata dan mulutnya terkatup rapat, darah segar merembes keluar dari ujung mulutnya.

Muka Gui Bu-geh memangnya menakutkan, kini tampaknya menjadi lebih mengerikan. Tanpa terasa Kiau-goat menyurut mundur dua-tiga tindak, katanya dengan terkesima, “Jadi dia telah membunuh diri?”

“Betul,” ujar Siau-hi-ji, “Dia lebih suka mati dari pada mengeluarkan kita dari sini. Buset, nekat juga dia, sungguh keji, aku menjadi agak kagum padanya.”

Mulut Gui Bu-geh yang berdarah itu seperti tersenyum mengejek, seakan-akan hendak menyindir Ih-hoa-kiongcu, “Meski aku tidak dapat menyaksikan kematian kalian, tapi kalian pun tidak mungkin bisa keluar lagi.”

Kiau-goat berdiri terkesima di tempatnya. Waktu hidup Gui Bu-geh tidak dapat menandingi dia, tapi sesudah mati toh dapat memberikan suatu pukulan maut padanya sehingga dia tidak tahu cara bagaimana harus menangkisnya.

Dengan muka pucat So Ing lantas mendekati jenazah Gui Bu-geh, dengan khidmat ia memberi sembah hormat beberapa kali, air mata pun menetes.

Entah apakah dia berduka bagi Gui Bu-geh atau berduka bagi dirinya sendiri?

Pada saat itulah mendadak Siau-hi-ji menjerit kaget, “Wah, celaka!” Berbareng ia terus lari keluar.

Kiau-goat dan So Ing saling pandang sekejap, mereka tidak tahu apa yang ditemukan lagi oleh anak muda itu. Tapi sekarang yang menjadi pedoman mereka ialah Siau-hi-ji, bahwa anak muda itu berteriak khawatir dan lari keluar, tentu saja mereka menjadi pucat.

Sementara itu Lian-sing Kiongcu seperti tidur pulas. Rupanya dalam kegelapan tadi Kiau-goat telah menutuk Hiat-to tidurnya.

Selagi Kiau-goat bermaksud menyusul keluar, sekilas dipandangnya Gui Bu-geh sekejap, mendadak ia pandang Lian-sing dan dibawa lari keluar. Meski Gui Bu-geh sudah mati, namun dia tidak rela adiknya ditinggalkan bersama manusia kerdil yang rendah itu dalam suatu ruangan.

Setelah melayang keluar lorong itu, ruangan gua yang luas di atas sana masih tetap sunyi senyap tiada sesuatu perubahan apa pun, bahkan lentera di sekeliling ruangan juga masih menyala. Namun Siau-hi-ji berdiri di situ dengan muka pucat pasi.

“Terjadi apalagi?” tanya So Ing setelah menyusul tiba.

“Adakah kau dengar sesuatu suara?” tanya Siau-hi-ji dengan muram.

“Tidak, tidak terdengar suara apa pun,” jawab So Ing.

Memang suasana sekeliling terasa sunyi laksana di kuburan.

Siau-hi-ji menghela napas panjang, katanya, “Lantaran kau tidak mendengar sesuatu apa pun, makanya terasa menakutkan.”

Belum habis ucapannya, seketika pucat juga muka So Ing.

Ia tahu, apa bila Hoa Bu-koat masih terus menggali di luar sana, maka suara ‘trang-ting’, suara beradunya alat penggali dengan batu gunung pasti akan berkumandang ke dalam gua ini, namun sekarang keadaan sunyi senyap, itu berarti Hoa Bu-koat telah menghentikan usahanya.

Jadi sekarang setitik sinar harapan yang mereka bayangkan tadi juga telah lenyap.

“Kenapa dia tidak menggali lagi? Masa dia mengira kita sudah tak bisa tertolong lagi?” kata So Ing dengan cemas.

Siau-hi-ji memandang Kiau-goat Kiongcu sekejap, katanya, “Seumpama dia tahu kita tak bisa tertolong lagi, sepantasnya dia harus tetap berusaha menemukan mayat kita.”

Kiau-goat melenggong sekian lama dengan muka pucat, gumamnya kemudian, “Kukenal watak Bu-koat, pekerjaan apa pun, kalau dia sudah melakukannya, tidak mungkin dia tinggalkan setengah jalan. Sekarang mendadak dia berhenti menggali, pasti terjadi sesuatu yang tak terduga.”

“Sesuatu yang tak terduga?” So Ing menegas. “Memangnya bisa terjadi sesuatu apa yang tak terduga?”

“Jika dapat diterka namanya bukan lagi sesuatu yang tak terduga,” ujar Siau-hi-ji dengan menyengir.

Tiba-tiba Kiau-goat berkata pula, “Tapi kau pun tidak perlu khawatir baginya, apa pun yang dihadapinya pasti bisa diselesaikan olehnya.”

“Untuk apa harus khawatirkan dia, mengkhawatirkan diri sendiri saja sekarang tidak bisa lagi,” ucap Siau-hi-ji dengan masygul.

Dalam pada itu So Ing sedang duduk di samping sana sambil mendekap kepala, agaknya memeras otak. Siau-hi-ji berdiri di depannya dan memandangi si nona dengan tenang.

Suasana di dalam ruangan gua ini sangat seram, cahaya lampu juga terasa meremang, namun cahaya yang meremang ini terasa lembut ketika menyinari tubuh So Ing.

Meski rambut si nona sudah semrawut, namun masih tetap lembut memantulkan sinar yang halus, tangannya yang putih mulus itu tampak lebih gemilang.

Siau-hi-ji memandang dengan terkesima, sejenak kemudian baru dia mendekatinya, katanya sambil tepuk bahu si nona, “Apa yang sedang kau pikirkan?”

Perlahan So Ing merangkul kaki Siau-hi-ji, jawabnya, “Kupikir, Gui Bu-geh pasti meninggalkan suatu jalan keluar terakhir baginya sendiri, hal ini tidak perlu disangsikan lagi. Hanya saja mengapa kita tak dapat menemukan jalan keluar itu?” Dia menggigit bibir lalu menyambung pula, “Sudah kuperiksa sekeliling sini dengan sangat cermat, jelas setiap jalan keluarnya memang telah disumbat buntu olehnya. Jika di dinding gunung ini masih ada pintu rahasianya pasti juga akan kuketahui.”

“Ya, bila ada pintu rahasianya pasti kau dapat melihatnya,” kata Siau-hi-ji.

“Jika demikian, lalu di manakah letak jalan keluar yang terakhir ini?” tanya So Ing.

Tiba-tiba Siau-hi-ji tertawa, katanya, “Jalan keluar ini sudah kuketahui.”

Hampir melonjak kegirangan Kiau-goat dan So Ing demi mendengar ucapan Siau-hi-ji. Secepat angin Kiau-goat lantas melompat ke depan anak muda itu dan bertanya, “Mana, di mana?”

“Tempat ini sebenarnya kalian pun sudah melihatnya tadi, cuma kalian tidak memperhatikannya,” ujar Siau-hi-ji.

Kiau-goat melengak, ucapnya, “Apakah betul kami sudah melihatnya tadi?”

“Ya,” kata Siau-hi-ji sambil menunjuk ke sana. “Di pojok sana ada sepotong batu yang menonjol, tentunya kalian melihatnya.”

“Masa di situlah letak pesawat rahasianya?” seru Kiau-goat.

“Batu itu tiada pesawat rahasia apa-apa, tapi di bawah batu itu ada sebuah lubang hawa yang cukup besar, tentunya kalian melihatnya,” tutur Siau-hi-ji.

“Betul, meski lubang hawa itu lebih besaran, tapi garis tengahnya tidak sampai satu kaki, mana bisa orang menerobos dari situ?” ujar Kiau-goat.

Siau-hi-ji menghela napas panjang, katanya, “Kita hanya yakin Gui Bu-geh pasti meninggalkan jalan keluar terakhir bagi dirinya sendiri, tapi kita melupakan sesuatu.”

Seketika berubah juga air muka So Ing, katanya, “Betul, kita memang melupakan sesuatu yang paling penting.”

Kiau-goat jadi heran, tanyanya cepat, “Hal apa?”

“Kita sama lupa bahwa Gui Bu-geh adalah seorang cacat, tubuhnya kerdil, meski kita tak dapat keluar masuk melalui lubang hawa kecil itu, tapi Gui Bu-geh sendiri dapat menerobos keluar. Jadi jalan keluar terakhir ini bagi kita sama sekali tidak ada artinya.”

Tergetar tubuh Kiau-goat Kiongcu, hampir saja ia tak sanggup berdiri tegak lagi. Setitik sinar harapan mereka sekarang pun lenyap, kecuali mati sudah tiada jalan lain pula.

Dengan meringis Siau-hi-ji memandang So Ing dan berkata, “Dahulu kau suka bilang dapat mengatasi dia. Tapi sekarang aku baru tahu bahwa Gui Bu-geh memang lihai, rencananya rapi, cara kerjanya cermat, sedikit pun tidak ada lubang-lubang kelemahan. Kalau dia menghendaki kematian kita di sini, maka kita pun tak dapat keluar dengan hidup.”

Mendadak Kiau-goat berteriak, “Tapi Bu-koat pasti berusaha masuk kemari, dia pasti dapat, biar pun dia mendapat hambatan apa-apa, namun lambat atau cepat dia pasti....”

“Betul, lambat atau cepat dia pasti akan masuk kemari untuk menolong kita,” sela Siau-hi-ji. “Cuma sayang, kita tidak dapat menunggunya lagi.”

“Sebab apa?” tanya Kiau-goat. “Kalau Gui Bu-geh bisa memberi arak dan jeruk pada kita, tentu dia masih menyimpan bahan makanan, asalkan kita dapat menemukannya, tentu kita dapat bertahan hingga datangnya Bu-koat.”

“Sudah tentu kita dapat menemukannya,” kata Siau-hi-ji, “Cuma sayang, umpama kita bisa menemukannya, paling banyak hanya dapat memandangnya saja dan tidak sanggup memakannya.”

“Sebab apa?” tanya Kiau-goat.

“Sebab makanannya berbeda dengan makanan kita, barang yang dapat dimakan dia tak berani kita makan, kecuali kau pun doyan makan tikus, tikus hidup.”

Kiau-goat merasa mual mendengar keterangan ini.

Siau-hi-ji benar-benar dapat menemukan tempat penimbunan makanan Gui Bu-geh, di situ selain ada beberapa guci arak, selebihnya hanya satu kurungan tikus, tikus hidup.

Jangankan makan tikus, memandangnya saja Kiau-goat merasa mual dan mau muntah. Baru sekarang ia tahu rencana Gui Bu-geh memang sangat rapi dan tiada lubang kelemahan, yang paling hebat dalam rencana ini adalah jalan keluar yang dia tinggalkan ini. Orang lain jelas tidak mampu keluar, sedangkan makanan yang dia sediakan juga tidak mungkin dapat dimakan oleh orang lain.

Kiau-goat merasa kakinya menjadi lemas, rasanya mau ambruk. Akhirnya dia menuang secawan arak dan diminumnya seceguk.

Siau-hi-ji ambil satu guci arak, ia tarik So Ing dan mengajaknya ke ruang lain. Meski hati So Ing penuh rasa duka dan putus asa, tapi juga penuh rasa mesra dan bahagia. Ia berbisik di telinga Siau-hi-ji,

“Apakah telah kau lupakan apa yang diucapkan Gui Bu-geh?”

“Ucapan apa?” tanya Siau-hi-ji.

Dengan muka merah So Ing menjawab, “Katanya arak itu arak bahagia malam pengantin kita.”

Memandangi muka So Ing yang kemerah-merahan dan mesra itu, sekali pun Siau-hi-ji adalah patung juga tergerak hatinya. Perlahan dia memeluk si nona, ucapnya dengan tertawa, “Pengantin perempuanku, marilah kita... kau ingin tidak....”

So Ing menggigit bibirnya yang mungil dan menunduk, ia tidak menjawab melainkan tertawa malu.

“Cuma sayang, kamar pengantin kita berada di liang tikus ini, rasanya terlalu merendahkan dirimu,” ujar Siau-hi-ji.

“Asalkan... asalkan engkau baik padaku, sekali pun benar-benar tinggal di liang tikus juga aku puas,” kata So Ing.

Perlahan Siau-hi-ji memandang si nona, sekujur badan So Ing serasa lemas lunglai tak bertulang.

Di luar dugaan, baru Siau-hi-ji melangkah dua-tiga tindak, tiba-tiba ia berseru, “Wah, celaka!”

“Ada... ada apa?” tanya So Ing.

“Kamar pengantin kita ini mungkin akan segera kedatangan tamu jahat,” kata Siau-hi-ji.

“Maksudmu Kiau-goat Kiongcu?”

“Siapa lagi kalau bukan dia?”

“Kukira dia takkan bertindak kejam lagi pada kita, rasanya dia sekarang sudah banyak berubah. Sudah jauh lebih mengerti arti orang hidup ini,” kata So Ing “Malahan boleh dikatakan dia sudah mau menurut pada perkataanmu, mana bisa dia mencari perkara lagi padamu dalam keadaan demikian.

“Kalau tadi kita masih ada harapan untuk keluar, maka terpaksa kita harus bersatu untuk berdaya upaya mencari jalan keluarnya. Tapi sekarang segala harapan telah pupus sama sekali, maka ia pun tidak dapat melepaskan diriku lagi.”

“Akan... akan tetapi kita toh harus mati juga, untuk... untuk apa dia bertindak kejam pula padamu?”

“Sebab dia tidak ingin mati di depanku, ia pun tidak ingin aku mati di tangan orang lain. Kalau sekarang dia tidak mampu menyuruh Hoa Bu-koat membunuhku, terpaksa dia sendiri yang akan turun tangan.”

Baru saja habis ucapannya, mendadak bayangan orang berkelebat, tahu-tahu Kiau-goat Kiongcu sudah berada di depan mereka.

Siau-hi-ji pandang So Ing dengan tersenyum getir, katanya, “Tidak salah bukan perhitunganku? Sungguh terkadang aku pun berharap apa yang kuduga bisa meleset.”

Terdengar Kiau-goat Kiongcu menjengek, “Habis belum percakapan kalian?”

So Ing berkedip-kedip, jawabnya dengan tertawa, “Belum!”

“Baik, kuberi tempo sebentar lagi, lekas kalian bicarakan,” kata Kiau-goat.

“Kan kita masih bisa hidup dua-tiga hari lagi, mengapa engkau terburu-buru?” tanya So Ing sambil tersenyum.

“Waktu hidup kalian sudah tidak banyak lagi,” kata Kiau-goat.

“Meng... mengapa?” mau tak mau suara So Ing menjadi agak gemetar.

“Sebab akan kubunuh kalian,” jengek Kiau-goat. “Aku harus membuat kalian mati lebih dahulu dari padaku, aku harus menyaksikan kalian mati di tanganku.”

So Ing memandang Siau-hi-ji, katanya sambil tersenyum getir, “Dugaanmu benar-benar tepat.... Ya, mengapa kau tidak salah duga sekali-sekali.”

Mendadak Siau-hi-ji bergelak tertawa, katanya, “Baik, lambat atau cepat toh kita harus mengadu jiwa, tapi engkau telah berjanji akan memberi waktu sebentar lagi, tentunya engkau tidak akan mengintip di samping seperti Gui Bu-geh.”

Lalu dia tarik So Ing dan mengajaknya ke pojok sana, mereka bicara baik-baik, sambil omong, tampaknya So Ing mengangguk-angguk sampai akhirnya terdengar Siau-hi-ji berkata, “Nah, sekarang kau sudah paham?

“Ya, aku sudah paham,” terdengar So Ing menjawab dengan rawan. “Tapi... tapi hendaknya kau pun hati-hati.”

“Betapa dia berhati-hati juga tiada gunanya,” jengek Kiau-goat. “Nah, kemarilah!”

Siau-hi-ji tertawa, katanya, “Kau ingin membunuhku, mengapa bukan kau sendiri yang kemari?”

Kiau-goat menjadi gusar. Di luar dugaan, belum lagi dia bertindak, mendadak Siau-hi-ji mendahului beraksi, tahu-tahu dia mengapung ke atas terus menubruknya, secepat kilat ia melancarkan tiga kali pukulan.

Akan tetapi bagi pandangan Kiau-goat Kiongcu tiga kali pukulan maut Siau-hi-ji ini tidak lebih hanya seperti permainan anak kecil saja. Sama sekali dia tidak bergerak, namun serangan Siau-hi-ji itu menyenggol ujung bajunya saja tidak dapat.

So Ing hanya memandang sekejap saja lantas tahu Siau-hi-ji pasti bukan tandingan Kiau-goat. Ia tidak tega menyaksikannya, ia menunduk dan keluar.

Didengarnya Siau-hi-ji sedang berkata dengan tertawa, “Nah, sudah kau lihat bukan? Ilmu pukulan ini adalah ajaranmu, sekarang kugunakan untuk menghadapimu.”

“Hm, kau gunakan kepandaian ajaranku untuk bergebrak denganku bukankah kau cari mampus sendiri?” jengek Kiau-goat Kiongcu.

“Kau kira aku pasti tidak dapat melawanmu?” ucap Siau-hi-ji dengan tertawa. “Hehe, kukira belum tentu!”

Cara bertempur Siau-hi-ji ternyata semakin bersemangat, sedikit pun tidak gentar, setiap pukulannya selalu menderu dahsyat, dia telah menggunakan tenaga sepenuhnya.

Tapi betapa pun lihai tipu serangannya, Kiau-goat Kiongcu cukup mengebaskan tangannya perlahan saja dan daya serangan Siau-hi-ji lantas dipatahkan tanpa kesulitan apa pun. Dia bergerak dengan ringan, gayanya indah menakjubkan. Sebegitu jauh dia belum lagi mengeluarkan ilmu Ih-hoa-ciap-giok dan juga tidak melancarkan serangan maut balasan.

Siau-hi-ji berkedip-kedip, tiba-tiba ia berkata pula dengan tertawa, “Sesungguhnya kau ingin membunuhku atau cuma bergurau saja.”

“Hm, ikan sudah berada dalam jaring, untuk apa aku tergesa-gesa,” jengek Kiau-goat.

“Dari pada menderita lama lebih baik mati dengan cepat, kau tidak tergesa-gesa, aku yang merasa tidak sabar,” ujar Siau-hi-ji.

“Kapan aku menghendaki kematianmu, pada saat itu juga kau harus mati, biar pun kau ingin mati lebih lambat atau lebih cepat sedikit juga tidak boleh.”

“Wah, jika begitu bilakah kau menghendaki kematianku?” tanya Siau-hi-ji. Tanpa menunggu jawaban Kiau-goat, segera ia menyambung pula dengan tertawa, “Apakah kau sengaja menunggu setelah memahami cara kugunakan tenaga barulah kau hendak mematikan aku?”

Agak berubah juga air muka Kiau-goat, katanya sambil berkerut kening, “Untuk apa harus kutunggu sampai memahami kau menggunakan tenagamu?”

“Sebab kalau kau belum jelas benar-benar arah tenaga pukulanku, maka ilmu andalanmu Ih-hoa-ciap-giok sukar dikeluarkan, betul tidak?”

Sambil terus bicara, tangan Siau-hi-ji juga terus melancarkan serangan, tapi matanya tanpa berkedip tetap menatap Kiau-goat Kiongcu.

Benar juga, air muka Kiau-goat berubah pula, namun dia tetap menjengek, “Hm, bila mana aku mau menggunakan Ih-hoa-ciap-giok tentu dapat kukeluarkan dengan segera, buat apa terburu-buru.”

“Haha, tidak perlu lagi kau menipuku. Sudah kuketahui rahasia Kungfu Ih-hoa-ciap-giok andalanmu itu, apakah kau ingin kubeberkan bagimu?”

“Hanya dirimu ini kukira belum setimpal untuk bicara tentang Kungfu Ih-hoa-ciap-giok,” jengek Kiau-goat pula.....
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar